Anda di halaman 1dari 19

KELOMPOK XII

“JINAYAH DAN HUDUD”

Disusun untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah:


FIQIH
Dosen Pengampu: Moh Noor Hidayat, S.Th

Disusun oleh:
ANDIKA NIRWAN ARIEF
NIM 2111110343
NADI
NIM 2111110355

FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN


JURUSAN TARBIYAH
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
TAHUN 2021 / 1443 H
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas rahmat dan limpahan karunianya
sehingga makalah ini dapat terselesaikan dengan baik. Tidak lupa sholawat serta
salam juga selalu dihaturkan kepada junjungan besar Nabi Muhammad SAW hingga
akhir zaman.
Makalah ini kami buat untuk memenuhi salah satu mata kuliah program studi
Pendidikan Agama Islam yakni mata kuliah FIQIH yang diampu oleh bapak Moh
Noor Hidayat, S.Th Makalah ini kami buat menggunakan bahasa yang mudah untuk
dipahami pembaca sehingga pembaca dapat dengan mudah memahami isi dari
makalah yang pemakalah tuliskan.
Pemakalah tidak lupa untuk meminta maaf apabila dalam penulisan makalah ini
terdapat kata yang kurang sopan, typo, dan malah membuat pembaca sulit memahami
isi makalah. Kritik dan saran sangat dinanti pemakalah untuk perbaikkan kedepannya.

Wassalamu’alaikum Warahmatullahi wabarakatuh


Palangka Raya, Oktober 2021

Penyusun

i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ..................................................................................... i
DAFTAR ISI .................................................................................................. ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ..................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ............................................................................... 2
C. Tujuan Penulisan ................................................................................. 2
BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian Jinayah................................................................................ 3
B. Unsur-unsur dalam jinayah.................................................................. 5
C. Perbedaan Hukum Pidana Islam(Jinayah) Dan Hukum Barat.............. 6
D. Pengertian Hudud................................................................................. 7
E. Dasar Hukum Hudud............................................................................ 9
F. Macam-Macam Hudud......................................................................... 11
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan .......................................................................................... 13
B. Saran .................................................................................................... 15
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 15

ii
iii
BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dalam literatur masyarakat, khusus dalam kehidupan Islam terdapat berbagai


permasalahan yang menyangkut tindakan pelanggaran yang dilakukan manusia.
Dengan adanya hal itu, maka dibuatlah aturan yang mempunyai kekuatan hukum
dengan berbagai macam sangsi. Sangsi yang diberikan sesuai dengan tingkat
pelanggaran yang dilakukan.

Maka dari itu, dalam hukum Islam diterapkan jarimah (hukuman) dalam
hukum Jinayah Islam yang bertindak sebagai preventif (pencegahan) kepada setiap
manusia, dan tujuan utamanya adalah supaya jera dan merasa berdosa jika ia
melanggar.

Istilah jinayat (jinayah) merupakan salah satu dari bagian syari’at Islam,
jinayah ini bermacam-macam jenis dan sebabnya.

Hukum Jinayah Islam yang bertindak sebagai pencegahan kepada setiap


manusia, dan tujuan utamanya adalah supaya jera dan merasa berdosa jika ia
melanggar.

Maka dari itu adanya Hudud bukan sebagai tindakan yang sadis namun ini
sebuah alternatif demi terciptanya hidup dan kehidupan yang sesuai dengan Sunnah
dan ketentuan-ketentuan Ilahi.

Walaupun dalam kenyataannya, masih banyak umat islam yang belum tahu
dan paham tentang apa dan bagaimana hukum pidana islam itu, serta bagaimana
ketentuan-ketentuan hukum tersebut seharusnya disikapi dan diterapkan dalam
kehidupan sehari-hari. Maka pada kesempatan ini pemakalah akan mencoba
menjelaskan tentang jinayah dan hudud.

1
B. Rumusan Masalah

a. Pengertian Jinayah?
b. Apa Saja Unsur-unsur dalam jinayah?
c. Perbedaan Hukum Pidana Islam(Jinayah) Dan Hukum Barat?
d. Pengertian Hudud?
e. Apa Dasar Hukum Hudud?
f. Apa Saja Macam-Macam Hudud?

C. Tujuan Penulisan
a. Mengetahui apa itu Jinayah.
b. Mengetahui unsur-unsur dalam Jinayah.
c. Mengetahui Perbedaan Hukum Pidana Islam(Jinayah) Dan Hukum Barat.
d. Mengetahui apa itu Hudud.
e. Mengetahui Dasar Hukum hudud.
f. Mengetahui Macam-macam Hudud.

2
BAB II PEMBAHASAN

a. Pengertian Jinayah
Hukum pidana Islam sering disebut dalam fiqh dengan istilah jinayah atau
jarimah. Jinayah merupakan bentuk verbal noun (masdar) dari kata jana. Secara
etimologi jana berarti berbuat dosa atau salah, sedangkan jinayah diartikan
perbuatan dosa atau perbuatan salah. Seperti dalam kalimat jana'ala qaumihi
jinayatan artinya ia telah melakukan kesalahan terhadap kaumnya. Kata Jana juga
berarti "memetik", seperti dalam kalimat jana as-samarat, artinya "memetik buah
dari pohonnya". Orang yang berbuat jahat disebut jani dan orang yang dikenai
perbuatan disebut mujna alaih. Demikian pula menurut Imam al-San'any bahwa
al- jinayah itu jamak dari kata "jinayah" masdar dari "jana" (dia mengerjakan
kejahatan/kriminal).

Kata jinayah dalam istilah hukum sering disebut dengan delik atau tindak
pidana. Secara terminologi kata jinayah mempunyai beberapa pengertian, seperti
yang diungkapkan oleh oleh Abd al-Qadir Awdah, jinayah adalah perbuatan yang
dilarang oleh syara' baik perbuatan itu mengenai jiwa, harta benda, atau lainnya.
Pengertian yang sama dikemukakan Sayyid Sabiq bahwa kata jinayah menurut
tradisi syariat Islam ialah segala tindakan yang dilarang oleh hukum syariat
melakukannya. Perbuatan yang dilarang ialah setiap perbuatan yang dilarang oleh
syariat dan harus dihindari, karena perbuatan ini menimbulkan bahaya yang nyata
terhadap agama, jiwa, akal (intelegensi), harga diri, dan harta benda.
Sebagian fuqaha menggunakan kata jinayah untuk perbuatan yang berkaitan
dengan jiwa atau anggota badan, seperti membunuh, melukai, menggugurkan
kandungan dan lain sebagainya. Dengan demikian istilah fiqh jinayah sama
dengan hukum pidana. sebagian fuqaha lain memberikan Pengertian “jinayah”
yang digunakan para fuqaha adalah sama dengan istilah “jarimah, yang
didefinisikan sebagai larangan-larangan hukum yang diberikan Allah yang
pelanggarnya dikenakan hukum baik berupa hal atau ta‟zir.

3
Haliman dalam desertasinya menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan
hukum pidana dalam syari'at Islam adalah ketentuan-ketentuan hukum syara' yang
melarang untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu, dan pelanggaran terhadap
ketentuan hukum tersebut dikenakan hukuman berupa penderitaan badan atau
harta.

Para ahli hukum Islam, jinayah adalah sinonim dengan kejahatan. Namun di
Mesir, istilah ini memiliki konotasi yang berbeda. Ia diterapkan untuk kejahatan
yang diancam dengan hukuman mati, kerja paksa seumur hidup atau penjara.
Dengan kata lain hanya ditujukan bagi kejahatan- kejahatan berat. Sementara
syari‟ah memerlukan setiap kejahatan sebagai jinayah.

Dalam Undang-undang Hukum Pidana Republik Persatuan Arab (KUHP


RPA) terdapat tiga macam penggolongan tindak pidana yang didasarkan pada
berat- ringannya hukuman, yaitu jinayah, janhah dan mukhalafah. Jinayah di sini
adalah jinayah yang disebutkan dalam konstitusi dan merupakan tindakan yang
paling berbahaya. Konsekuensinya, pelaku tindak pidana diancam dengan
hukuman berat, seperti hukuman mati, kerja keras, atau penjara seumur hidup
(Pasal 10 KUHP RPA). Sedangkan janhah adalah perbuatan yang diancam
dengan hukuman lebih dari satu minggu tetapi tidak sampai kepada penjatuhan
hukuman mati atau hukuman seumur hidup (Pasal 11 KUHP RPA). Adapun
mukhalafah adalah jenis pelanggaran ringan yang ancaman hukumannya tidak
lebih dari satu minggu (Pasal 12 KUHP RPA).

Pengertian jinayah dalam bahasa Indonesia sering disebut dengan istilah


peristiwa pidana, delik atau tindak pidana. Para fuqaha sering pula menggunakan
istilah jinayah dan jarimah. Istilah jarimah mempunyai kandungan arti yang sama
dengan istilah jinayah, baik dari segi bahasa maupun dari segi istilah. Dari segi
bahasa jarimah merupakan kata jadian (masdar) dengan asal kata jarama yang

4
artinya berbuat salah, sehingga jarimah mempunyai arti perbuatan salah. Dari segi
istilah, al-Mawardi mendefinisikan jarimah adalah perbuatan-perbuatan yang
dilarang oleh syara, yang diancam oleh Allah SWT dengan hukuman had atau
ta'zir.

Sejalan dengan menurut TM Hasbi ash Shiddieqy, jarimah adalah perbuatan-


perbuatan yang dilarang syara diancam allah dengan hukuman had atau hukuman
ta'zir. Dengan demikian kesimpulan yang dapat diambil dari kedua istilah tersebut
adalah bahwa kedua istilah tersebut memiliki kesamaan dan perbedaannya. Secara
etimologis, kedua istilah tersebut bermakna tunggal, mempunyai arti yang sama
serta ditujukan bagi perbuatan yang berkonotasi negatif, salah atau dosa. Adapun
perbedaannya terletak pada pemakaian, arah pembicaraan, serta dalam rangka apa
kedua kata itu digunakan.

Adapun al-Ahkam al-Jinayah adalah hukum pidana disebut juga hukum


publik. al-Ahkam al-Jinayah dalam Islam untuk melindungi kepentingan dan
keselamatan umat manusia dari ancaman tindak kejahatan atau pelanggaran,
sehingga tercipta situasi kehidupan yang aman dan tertib.

b. Unsur-Unsur Dalam Jinayah


Di dalam hukum Islam, suatu perbuatan tidak dapat dihukum, kecuali jika
terpenuhi semua unsur-unsurnya, baik unsur umum maupun unsur khusus. Unsur-
unsur umum tersebut ialah :
1. Rukun syar‟I (yang berdasarkan Syara‟) atau disebut juga unsur formal, yaitu
adanya nas Syara‟ yang jelas melarang perbuatan itu dilakukan dan jika dilakukan
akan dikenai hukuman. Nas Syara‟ ini menempati posisi yang sangat penting
sebagai azaz legalitas dalam hukum pidana Islam, sehingga dikenal suatu prinsip
la hukma li af‟al al-uqala‟ qal wurud an-nass (tidak ada hukum bagi perbuatan
orang yang berakal sebelum datangnya nas).

5
2. Rukun maddi atau disebut juga unsure material, yaitu adanya perbuatan pidana
yang dilakukan.
3. Rukun adabi yang disebut juga unsur moril, yaitu pelaku perbuatan itu dapat
diminta pertanggung jawaban hukum, seperti anak kecil, orang gila atau orang
terpaksa, tidak dapat dihukum.
Adapun unsur khusus adalah unsur-unsur tersebut berbeda-beda sesuai dengan
tindak pidananya. Unsur yang terkandung di dalam pencurian tidak sama dengan
unsur yang terkandung di dalam perzinahan.

c. Perbedaan Hukum Pidana Islam (Jinayah) Dan Hukum Barat


Hakikat dan etos hukum Islam sangat berbeda dengan konsep- konsep hukum
barat. Satu hal yang tidak dapat diragukan adalah bahwa perbedaan pertama yang
mendasar dan yang paling jelas, yaitu hukum barat pada dasarnya bersifat sekular
sedangkan hukum Islam pada dasarnya bersifat keagamaan. Hukum sipil yang
diwarisi oleh negara- negara di dunia sekarang ini bersumber pada hukum
Romawi yang merupakan hukum buatan manusia dan sewaktu-waktu dapat
dirubah bila suasana menghendaki demikian, sebagaimana ketika hukum tersebut
disusun sebelumnya.
Berbeda dengan hukum Islam yang secara fundamental dianggap sebagai
hukum Tuhan yang pada pokoknya tidak dapat dirubah. Bagi setiap muslim
berlaku nilai etik terhadap semua perbuatan yang dilakukannya yang disebut qubh
(keburukan, ketidak sopanan) di satu pihak dan husn (keindahan, kesopanan) di
lain pihak. Akan tetapi nilai etik ini tidak semuanya dapat dinilai dengan nalar
manusia, bahkan dalam hubungan ini manusia sepenuhnya terikat dengan wahyu
Tuhan. Karena itu semua perbuatan manusia tercakup, menurut klasifikasi yang
secara merata diakui, dalam 5 macam kategori: wajib, sunnah , mubah, makruh
dan haram sesuai dengan ketetapan Allah.
Tetapi kenyataan ini secara langsung menjurus pada perbedaan pokok yang
kedua di antara kedua sistem hukum tersebut, yakni bahwa hukum Islam jauh

6
lebih luas cakupannya dibandingkan dengan hukum Barat. Menurut pemikiran
para ahli hukum barat bahwasanya hukum Barat adalah hukun yang dinyatakan,
atau setidak-tidaknya dapat dinyatakan dan berlaku pada badan-badan peradilan.
Sebaliknya hukum Islam memasukkan segala perbuatan manusia dalam
cakupannya karena hukum Islam mencakup segala lapangan hukum baik hukum
publik, hukum privat, hukum nasional dan hukum internasional sekaligus, bahkan
hukum Islam mengenal adanya rakp balasan artinya; manusia yang melakukan
perbuatan melawan hukum dan tidak terdeteksi oleh aparat atau orang lain
sehingga lepas dari jeratan hukum dunia maka orang tersebut dalam hukum Islam
tetap akan mendapatkan balasan di akheratnya (kecuali orang tersebut bertaubat
dan taubatnya diterima oleh Allah SWT).

d. Pengertian Hudud
Kata hudud adalah bentuk plural dari kata had yang berarti mencegah
(alman’u). Sanksi-sanksi pidana (al-uqubat) disebut hudud karena ia bisa
mencegah seseorang untuk melakukan pelanggaran terhadap larangan syariah.
AlQur’an sendiri menggunakan kata hudud bukan untuk makna hukuman,
melainkan untuk makna batas-batas yang telah ditentukan Allah. Kurang lebih 13
kali Allah menggunakan kata hudud, 1 kali dalam konteks puasa (alBaqarah,
187), 6 kali dalam konteks perceraian (al-Baqarah, 229-230), 1 kali dalam
konteks aturan waris (an-Nisa’, 4:13), 1 kali dalam konteks dhihar (alMujadilah,
58:4), 1 Kali dalam konteks aturan pasca perceraian menyangkut hak dan
kewajiban suami-istri (at-Thalaq, 65:1 ) dan 2 kali menyangkut segala sesuatu
yang telah diturunkan Allah. Al-Qur’an teryata sama sekali tidak menggunakan
hudud dalam konteks jarimah atau jinayah, baik jarimah hudud maupun qishas.
Jika hudud dianggap sebagai ajaran yang penting, maka seharusnya ajaran itu
adalah menyangkut hal-hal yang disebutkan al-Qur’an. Ini berarti ada pergeseran
makna hudud.

7
Menurut ulama Hanafiyah secara terminologis had adalah sanksi-sanksi pidana
(uqubat) yang telah ditentukan bentuk dan ukurannya oleh syariah sebagai upaya
untuk melindungi Hak Allah (hak universal atau hak kolektif manusia). Ta’zir
tidak disebut had karena bentuk dan ukuran sanksi pidananya ditentukan oleh
qadli atau hakim. Qishas juga tidak termasuk had karena meskipun bentuk dan
ukuran sanksinya ditentukan oleh syariat, namun qishasdisyariatkan untuk
melindungi Hak Adami (hak individual manusia), bukan Hak Allah (hak
universal manusia). Berbeda dengan Ulama Hanafiyah, jumhur ulama memaknai
had atau hudud sebagai sanksi- sanksi pidana yang ukuran dan bentuknya telah
ditentukan oleh Allah baik disyariatkan untuk melindungi Hak Adami maupun
Hak Allah. Perbedaan definisi di atas menyebabkan perbedaan pendapat
mengenai jumlah hudud. Menurut Hanafiyah, hudud yang menjadi hak Allah ada
lima, yaitu had as-sariqah (pencurian), had az-zina (zina), had asy-syurbi
(minuman keras), had as-sukri (mabuk-mabukan), dan had al-qadzaf (pencemaran
nama baik). Jumhur Ulama menyebutkan hudud ada delapan macam, yaitu had
assariqah (pencurian), had az-zina (zina), had asy-syurbi (minuman keras), had al-
qadzaf (pencemaran nama baik), had al-qishas, had ar-riddah, had al-baghyu
(pemberontakan), dan had quttha’u at-thariq (pembegalan). Ibnu Jizziy AlMaliki
berpendapat, jinayah atau jarimah yang mendapatkan sanksi pidana (uqubat) ada
13 macam, yaitu pembunuhan, pelukaan, zina, pencemaran nama baik, minum
khamer, pencurian, pemberontakan, pemurtadan, kemunafikan, mencaci Allah,
mencaci para Nabi dan Malaikat, praktik sihir, dan meninggalkan shalat dan
puasa.
Paparan ini menunjukkan bahwa ulama berbeda dalam mendefinisikan
jarimah atau jinayah, dan berbeda pula dalam menentukan mana yang masuk
dalam kategori hudud. Perbedaan ulama dalam menentukan hukuman apa yang
masuk dalam kategori hudud, cukup sebagai alasan untuk menggugurkan
hukuman dalam hal-hal yang diperselisihkan tersebut. Hal ini sejalan dengan
kaidah fikih yang sangat masyhur yaitu al-Hudud Tudra’u bi as-Syubuhat

8
(hukuman hudud wajib dihindarkan jika terdapat keraguan), termasuk didalamnya
keraguan madzhab yang dicerminkan oleh perbedaan pendapat di atas.

Hudud juga didefinisikan sebagai hukuman yang telah menjadi ketentuan dan
sebagai Hak Allah sehingga tidak boleh ditukar, diganti, diubah dengan dapat
diganti atau diubah dalam definisi terebut adalah tidak tepat karena dalam
beberapa kasus zina dan pembunuhan, Rasulullah Saw seringkali berupaya
mencari alternatif lain dan melakukan rekayasa hukum agar seseorang terhindar
dari hukuman hudud. Demikian pula peryataan tidak dapat dimaafkan oleh
siapapun juga tidak tepat sebab hukuman hudud, khususnya yang menjadi Hak
Allah dapat digugurkan dan dimaafkan dengan pertaubatan kepada Allah
(pertaubatan individual) dan melakukan islah atau amal shalih (pertaubatan
sosial) meskipun tentu saja tanpa mengabaikan hak korban jika ada pihak yang
dirugikan karena perbuatan pidana tersebut.

Manusia memang tidak dapat menggugurkan hudud yang menjadi Hak murni
Allah, tetapi Allah dapat mengugurkan jika pelaku bertaubat dan memperbaiki
kesalahannya termasuk memenuhi hak korban jika ada pihak yang dirugikan.
Bahkan dalam sebuah kaidah fikih dinyatakan bahwa pertaubatan kepada Allah
jauh lebih mudah ketimbang pemaafan dari manusia (huququllahi mabniyatun ala
al-musamahah wa huququ al-ibad mabniyatun ala almusyahhah). Ini berarti
pengguguran Hudud yang menjadi hak Allah lebih mudah dari pada pengguguran
hudud yang menjadi hak murni manusia. Pertaubatan dari hukuman zina,
pencurian, qadzaf, minuman keras dan had lain yang dinyatakan sebagai hak
Allah, lebih mudah dari pada pertaubatan dari had pembunuhan. Sekali lagi tentu
saja dengan tanpa mengabaikan hak korban ketika ada pihak yang dirugikan.

e. Dasar Hukum Hudud

9
Adapun dasar hukum ḥudūd antar lain yaitu berupa perbuatan zina dera atau
cambuk seratus kali adalah firman Allah dalam surah Al-Nur ayat 2 yang
berbunyi:
‫هّٰلل‬ ‫هّٰللا‬
ِ ‫وْ نَ بِا‬Vُ‫ةٌ فِ ْي ِد ْي ِن ِ اِ ْن ُك ْنتُ ْم تُ ْؤ ِمن‬Vَ‫ا َر ْأف‬V‫ذ ُك ْم بِ ِه َم‬V
ْ ‫ َد ٍة ۖ َّواَل تَأْ ُخ‬V‫ةَ َج ْل‬Vَ‫﴿اَل َّزانِيَةُ َوال َّزانِ ْي فَاجْ لِ ُدوْ ا ُك َّل َوا ِح ٍد ِّم ْنهُ َما ِمائ‬
﴾ ٢ َ‫فَةٌ ِّمنَ ْال ُم ْؤ ِمنِ ْين‬Vِ‫ط ۤا ِٕٕى‬
َ ‫َو ْاليَوْ ِم ااْل ٰ ِخ ۚ ِر َو ْليَ ْشهَ ْد َع َذابَهُ َما‬

Artinya: “ Pezina perempuan dan laki-laki hendaklah dicambuk seratus kali dan
janganlah merasa belas kasihan kepada keduanya sehingga mencegah kamu
dalam menjalankan hukum Allah, hal ini jika kamu beriman kepada Allah dan
hari akhir. Dan hendaklah dalam menjatuhkan sanksi (mencambuk) mereka
disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman.

Begitu bahayanya tindak kejahatan zina ini, sampai-sampai Alqur’an


memperhatikannya secara khusus, sebab perbuatan ini sangat populer dikalangan
jahiliyah, sebagaimana halnya minum khamr, sehingga pelarangannya pun
dilakukan secara bertahap. Menurut kebanyakan ulama fiqh, penetapan hukuman
zina itu secara bertahap, Sedangkan dasar penetapan hukum rajam adalah hadis

Nabi yang berbunyi:

Artinya: “Terimalah dariku! Terimalah dariku! Sungguh Allah telah memberi


jalan kepada mereka. Bujangan yang berzina dengan gadis dijilid seratus kali
dan diasingkan selama satu tahun. Dan orang yang telah kawin yang berzina
didera seratus kali dan dirajam”.
Dari definisi tersebut dapat kita kemukakan bahwa hukuman merupakan
balasan yang setimpal atas perbuatan pelaku kejahatan yang mengakibatkan orang
lain menjadi korban akibat perbuatannya. Adapun dasar penjatuhan hukuman
tersebut antaranya Q.S. Shad ayat 26 :

ِ ُ‫ق َواَل تَتَّبِ ِع ْالهَ ٰوى فَي‬


‫ضلَّكَ ع َْن‬ ِّ ‫اس بِ ْال َح‬ ِ َّ‫ض فَاحْ ُك ْم بَ ْينَ الن‬ َ ‫د اِنَّا َج َع ْل ٰن‬Vُ ‫﴿ ٰيد َٗاو‬
ِ ْ‫ك َخلِ ْيفَةً فِى ااْل َر‬
‫هّٰللا‬ ‫هّٰللا‬
﴾ ٢٦ ࣖ ‫ب‬ ِ ‫د ۢبِ َما نَسُوْ ا يَوْ َم ْال ِح َسا‬Vٌ ‫ضلُّوْ نَ ع َْن َسبِ ْي ِل ِ لَهُ ْم َع َذابٌ َش ِد ْي‬ ِ َ‫َسبِ ْي ِل ِ ۗاِ َّن الَّ ِذ ْينَ ي‬

10
Artinya: “…Hai Daud, sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah
(penguasa) di muka bumi, Maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia
dengan adildan jangalah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan
menyesatkan kamudari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat dari
jalan Allah akan mendapat adzab yang berat, karena mereka melupakan hari
perhitungan.”

Dalam Hukum Islam, sejak abad ketujuh masehi, perbuatanperbuatan tersebut


sudah dilarang secara tegas, karena teramat jelas pula kemadaratannya.
Kenyataan-kenyataan ini sebenarnya jelas memperkuat andangan syari’at Islam,
bahwa zina bukan hanya urusan pribadi yang menyinggung hubungan individu
semata-mata, melainkan pula mempunyai dampak negatif bagi masyarakat. Oleh
karena itu, sungguh tepatlah apabila syariat Islam melarang semua bentuk
perbuatan zina, baik yang dilakukan oleh gadis dengan jejaka secara sukarela,
maupun oleh orang-orang yang sudah bersuami atau beristeri.

f. Macam-Macam Hudud
Adapun Macam-macam ḥudūd yaitu meliputi beberapa tindak pidana dalam
fiqh jinayah yaitu berupa perbuatan sebagai berikut:
1. Khamar
Khamar adalah cairan yang di hasilkan dari peragian bijibijian atau
buah-buahan dan mengubah sari patinya menjadi alkohol dan menggunakan
katalisator (enzim) yang mempunyai kemampuan untuk memisah unsur-unsur
tentu yang berubah melalui proses peragian atau khamr adalah minuman yang
memabukkan. Orang yang minum khamr diberi sangsi dengan dicambuk 40
kali. Khamr diharamkan dan diberi sangsi yang berat karena mengganggu
kesehatan akal pikiran yang berakibat akan melakukan berbagai tindakan dan

11
perbuatan di luar kontrol yang mungkin akan menimbulkan ekses negatif
terhadap lingkungannya.
2. Zina
Zina adalah melakukan hubungan seksual di luar ikatan perkawinan
yang sah, baik dilakukan secara sukarela maupun paksaan. Sanksi hukum bagi
yang melakukan perzinahan adalah dirajam (dilempari dengan batu sampai
mati) bagi pezina mukhshan; yaitu perzinahan yang dilakukan oleh orang
yang telah melakukan hubungan seksual dalam ikatan perkawinan yang sah.
Atau dicambuk 100 kali bagi pezina ghoiru mukhshan; yaitu perzinahan yang
dilakukan oleh orang yang belum pernah melakukan hubungan seksual dalam
ikatan perkawinan yang sah.
3. Qadzaf
Asal makna qadzaf adalah ramyu melempar, umpamanya dengan batu
atau dengan yang lainya. Menurut istilah adalah menuduh orang melakukan
zina. Sangsi hukumnya adalah dicambuk 80 kali. Sangsi ini bisa dijatuhkan
apabila tuduhan itu dialamatkan kepada orang Islam, baligh, berakal, dan
orang yang senantiasa menjaga diri dari perbuatan dosa besar terutama dosa
yang dituduhkan. Namun ia akan terbebas dari sangsi tersebut apabila dapat
mengemukakan 4 orang saksi dan atau bukti yang jelas. Suami yang menuduh
isterinya berzina juga dapat terbebas dari sangsi tersebut apabila dapat
mengemukakan saksi dan bukti atau meli’an isterinya yang berakibat
putusnya hubungan perkawinan sampai hari kiamat.
4. Riddah
Riddah adalah kembali kejalan asal (setatus sebelumnya). Disini yang
di maksud dengan riddah adalah kembalinya orang yang telah beragama Islam
yang berakal dewasa kepada kekafiran karena kehendaknya sendiri tanpa ada
paksaan dari oraing lain : baik yang kembali itu laki-laki maupun perempuan.
5. Mencuri

12
Pencurian adalah mengambil sesuatu milik orang lain secara diam-
diam dan rahasia dari tempat penyimpannya yang terjaga dan rapi dengan
maksud untuk dimiliki. Pengambilan harta milik orang lain secara terang-
terangan tidak termasuk pencurian tetapi Muharobah (perampokan) yang
hukumannya lebih berat dari pencurian. Dan Pengambilan harta orang lain
tanpa bermaksud memiliki itupun tidak termasuk pencurian tetapi Ghosab
(memanfaatkan milik orang lain tanpa izin). Pelaku pencurian diancam
hukuman potong tangan dan akan diazab diakherat apabila mati sebelum
bertaubat dengan tujuan agar harta terpelihara dari tangan para penjahat,
karena dengan hukuman seperti itu pencuri akan jera dan memberikan
pelajaran kepada orang lain yang akan melakukan pencurian karena beratnya
sanksi hukum sebagai tindakan defensif (pencegahan).

6. Muharabah (berbuat kekacauan)


Muharobah adalah aksi bersenjata dari seseorang atau sekelompok
orang untuk menciptakan kekacauan, menumpahkan darah, merampas harta,
merusak harta benda, ladang pertanian dan peternakan serta menentang aturan
perundang-undangan. Latar belakang aksi ini bisa bermotif ekonomi yang
berbentuk perampokan, penodongan baik di dalam maupun diluar rumah atau
bermotif politik yang berbentuk perlawanan terhadap peraturan perundang-
undangan yang berlaku dengan melakukan gerakan yang mengacaukan
ketentraman dan ketertiban umum.

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan
Kata jinayah dalam istilah hukum sering disebut dengan delik atau tindak
pidana. Secara terminologi kata jinayah mempunyai beberapa pengertian, seperti
yang diungkapkan oleh oleh Abd al-Qadir Awdah, jinayah adalah perbuatan yang

13
dilarang oleh syara' baik perbuatan itu mengenai jiwa, harta benda, atau lainnya.
Pengertian yang sama dikemukakan Sayyid Sabiq bahwa kata jinayah menurut
tradisi syariat Islam ialah segala tindakan yang dilarang oleh hukum syariat
melakukannya. Perbuatan yang dilarang ialah setiap perbuatan yang dilarang oleh
syariat dan harus dihindari, karena perbuatan ini menimbulkan bahaya yang nyata
terhadap agama, jiwa, akal (intelegensi), harga diri, dan harta benda.
Pengertian jinayah dalam bahasa Indonesia sering disebut dengan istilah
peristiwa pidana, delik atau tindak pidana. Para fuqaha sering pula menggunakan
istilah jinayah dan jarimah. Istilah jarimah mempunyai kandungan arti yang sama
dengan istilah jinayah, baik dari segi bahasa maupun dari segi istilah. Dari segi
bahasa jarimah merupakan kata jadian (masdar) dengan asal kata jarama yang
artinya berbuat salah, sehingga jarimah mempunyai arti perbuatan salah. Dari segi
istilah, al-Mawardi mendefinisikan jarimah adalah perbuatan-perbuatan yang
dilarang oleh syara, yang diancam oleh Allah SWT dengan hukuman had atau
ta'zir.

Hudud juga didefinisikan sebagai hukuman yang telah menjadi ketentuan dan
sebagai Hak Allah sehingga tidak boleh ditukar, diganti, diubah dengan dapat
diganti atau diubah dalam definisi terebut adalah tidak tepat karena dalam
beberapa kasus zina dan pembunuhan, Rasulullah Saw seringkali berupaya
mencari alternatif lain dan melakukan rekayasa hukum agar seseorang terhindar
dari hukuman hudud.

Manusia memang tidak dapat menggugurkan hudud yang menjadi Hak murni
Allah, tetapi Allah dapat mengugurkan jika pelaku bertaubat dan memperbaiki
kesalahannya termasuk memenuhi hak korban jika ada pihak yang dirugikan.
Bahkan dalam sebuah kaidah fikih dinyatakan bahwa pertaubatan kepada Allah
jauh lebih mudah ketimbang pemaafan dari manusia (huququllahi mabniyatun ala
al-musamahah wa huququ al-ibad mabniyatun ala almusyahhah). Ini berarti
pengguguran Hudud yang menjadi hak Allah lebih mudah dari pada pengguguran

14
hudud yang menjadi hak murni manusia. Pertaubatan dari hukuman zina,
pencurian, qadzaf, minuman keras dan had lain yang dinyatakan sebagai hak
Allah, lebih mudah dari pada pertaubatan dari had pembunuhan. Sekali lagi tentu
saja dengan tanpa mengabaikan hak korban ketika ada pihak yang dirugikan.

B. Saran

Jika ditinjau ulang, tentu didalam makalah ini tidak akan lepas dari
koreksi para pembaca. Karena kami menyadari apa yang kami sajikan ini
sangatlah jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kami mengharapkan kritik
dan saran yang membangun dari para pembaca agar nantinya makalah ini akan
menjadi lebih sempurna dan baik untuk dikonsumsi otak kita.

DAFTAR PUSTAKA

Dr. Nur Rofiah, Kajian tentang Hukum dan Penghukuman dalam Islam:
Konsep Ideal Hudud dan Praktiknya. Jakarta : Komnas Perempuan.2016

Fuad Thohari, Kajian Hadis-hadis Hukum Pidana Islam(Hudud, Qishash, dan


Ta’zir). Yogyakarta : Deepublish.2018

https://sg.docworkspace.com/d/sIJLq8t6HAfq74I0G

15

Anda mungkin juga menyukai