Jinayah Dan Hudud
Jinayah Dan Hudud
Disusun oleh:
ANDIKA NIRWAN ARIEF
NIM 2111110343
NADI
NIM 2111110355
Puji syukur kehadirat Allah SWT atas rahmat dan limpahan karunianya
sehingga makalah ini dapat terselesaikan dengan baik. Tidak lupa sholawat serta
salam juga selalu dihaturkan kepada junjungan besar Nabi Muhammad SAW hingga
akhir zaman.
Makalah ini kami buat untuk memenuhi salah satu mata kuliah program studi
Pendidikan Agama Islam yakni mata kuliah FIQIH yang diampu oleh bapak Moh
Noor Hidayat, S.Th Makalah ini kami buat menggunakan bahasa yang mudah untuk
dipahami pembaca sehingga pembaca dapat dengan mudah memahami isi dari
makalah yang pemakalah tuliskan.
Pemakalah tidak lupa untuk meminta maaf apabila dalam penulisan makalah ini
terdapat kata yang kurang sopan, typo, dan malah membuat pembaca sulit memahami
isi makalah. Kritik dan saran sangat dinanti pemakalah untuk perbaikkan kedepannya.
Penyusun
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ..................................................................................... i
DAFTAR ISI .................................................................................................. ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ..................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ............................................................................... 2
C. Tujuan Penulisan ................................................................................. 2
BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian Jinayah................................................................................ 3
B. Unsur-unsur dalam jinayah.................................................................. 5
C. Perbedaan Hukum Pidana Islam(Jinayah) Dan Hukum Barat.............. 6
D. Pengertian Hudud................................................................................. 7
E. Dasar Hukum Hudud............................................................................ 9
F. Macam-Macam Hudud......................................................................... 11
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan .......................................................................................... 13
B. Saran .................................................................................................... 15
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 15
ii
iii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Maka dari itu, dalam hukum Islam diterapkan jarimah (hukuman) dalam
hukum Jinayah Islam yang bertindak sebagai preventif (pencegahan) kepada setiap
manusia, dan tujuan utamanya adalah supaya jera dan merasa berdosa jika ia
melanggar.
Istilah jinayat (jinayah) merupakan salah satu dari bagian syari’at Islam,
jinayah ini bermacam-macam jenis dan sebabnya.
Maka dari itu adanya Hudud bukan sebagai tindakan yang sadis namun ini
sebuah alternatif demi terciptanya hidup dan kehidupan yang sesuai dengan Sunnah
dan ketentuan-ketentuan Ilahi.
Walaupun dalam kenyataannya, masih banyak umat islam yang belum tahu
dan paham tentang apa dan bagaimana hukum pidana islam itu, serta bagaimana
ketentuan-ketentuan hukum tersebut seharusnya disikapi dan diterapkan dalam
kehidupan sehari-hari. Maka pada kesempatan ini pemakalah akan mencoba
menjelaskan tentang jinayah dan hudud.
1
B. Rumusan Masalah
a. Pengertian Jinayah?
b. Apa Saja Unsur-unsur dalam jinayah?
c. Perbedaan Hukum Pidana Islam(Jinayah) Dan Hukum Barat?
d. Pengertian Hudud?
e. Apa Dasar Hukum Hudud?
f. Apa Saja Macam-Macam Hudud?
C. Tujuan Penulisan
a. Mengetahui apa itu Jinayah.
b. Mengetahui unsur-unsur dalam Jinayah.
c. Mengetahui Perbedaan Hukum Pidana Islam(Jinayah) Dan Hukum Barat.
d. Mengetahui apa itu Hudud.
e. Mengetahui Dasar Hukum hudud.
f. Mengetahui Macam-macam Hudud.
2
BAB II PEMBAHASAN
a. Pengertian Jinayah
Hukum pidana Islam sering disebut dalam fiqh dengan istilah jinayah atau
jarimah. Jinayah merupakan bentuk verbal noun (masdar) dari kata jana. Secara
etimologi jana berarti berbuat dosa atau salah, sedangkan jinayah diartikan
perbuatan dosa atau perbuatan salah. Seperti dalam kalimat jana'ala qaumihi
jinayatan artinya ia telah melakukan kesalahan terhadap kaumnya. Kata Jana juga
berarti "memetik", seperti dalam kalimat jana as-samarat, artinya "memetik buah
dari pohonnya". Orang yang berbuat jahat disebut jani dan orang yang dikenai
perbuatan disebut mujna alaih. Demikian pula menurut Imam al-San'any bahwa
al- jinayah itu jamak dari kata "jinayah" masdar dari "jana" (dia mengerjakan
kejahatan/kriminal).
Kata jinayah dalam istilah hukum sering disebut dengan delik atau tindak
pidana. Secara terminologi kata jinayah mempunyai beberapa pengertian, seperti
yang diungkapkan oleh oleh Abd al-Qadir Awdah, jinayah adalah perbuatan yang
dilarang oleh syara' baik perbuatan itu mengenai jiwa, harta benda, atau lainnya.
Pengertian yang sama dikemukakan Sayyid Sabiq bahwa kata jinayah menurut
tradisi syariat Islam ialah segala tindakan yang dilarang oleh hukum syariat
melakukannya. Perbuatan yang dilarang ialah setiap perbuatan yang dilarang oleh
syariat dan harus dihindari, karena perbuatan ini menimbulkan bahaya yang nyata
terhadap agama, jiwa, akal (intelegensi), harga diri, dan harta benda.
Sebagian fuqaha menggunakan kata jinayah untuk perbuatan yang berkaitan
dengan jiwa atau anggota badan, seperti membunuh, melukai, menggugurkan
kandungan dan lain sebagainya. Dengan demikian istilah fiqh jinayah sama
dengan hukum pidana. sebagian fuqaha lain memberikan Pengertian “jinayah”
yang digunakan para fuqaha adalah sama dengan istilah “jarimah, yang
didefinisikan sebagai larangan-larangan hukum yang diberikan Allah yang
pelanggarnya dikenakan hukum baik berupa hal atau ta‟zir.
3
Haliman dalam desertasinya menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan
hukum pidana dalam syari'at Islam adalah ketentuan-ketentuan hukum syara' yang
melarang untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu, dan pelanggaran terhadap
ketentuan hukum tersebut dikenakan hukuman berupa penderitaan badan atau
harta.
Para ahli hukum Islam, jinayah adalah sinonim dengan kejahatan. Namun di
Mesir, istilah ini memiliki konotasi yang berbeda. Ia diterapkan untuk kejahatan
yang diancam dengan hukuman mati, kerja paksa seumur hidup atau penjara.
Dengan kata lain hanya ditujukan bagi kejahatan- kejahatan berat. Sementara
syari‟ah memerlukan setiap kejahatan sebagai jinayah.
4
artinya berbuat salah, sehingga jarimah mempunyai arti perbuatan salah. Dari segi
istilah, al-Mawardi mendefinisikan jarimah adalah perbuatan-perbuatan yang
dilarang oleh syara, yang diancam oleh Allah SWT dengan hukuman had atau
ta'zir.
5
2. Rukun maddi atau disebut juga unsure material, yaitu adanya perbuatan pidana
yang dilakukan.
3. Rukun adabi yang disebut juga unsur moril, yaitu pelaku perbuatan itu dapat
diminta pertanggung jawaban hukum, seperti anak kecil, orang gila atau orang
terpaksa, tidak dapat dihukum.
Adapun unsur khusus adalah unsur-unsur tersebut berbeda-beda sesuai dengan
tindak pidananya. Unsur yang terkandung di dalam pencurian tidak sama dengan
unsur yang terkandung di dalam perzinahan.
6
lebih luas cakupannya dibandingkan dengan hukum Barat. Menurut pemikiran
para ahli hukum barat bahwasanya hukum Barat adalah hukun yang dinyatakan,
atau setidak-tidaknya dapat dinyatakan dan berlaku pada badan-badan peradilan.
Sebaliknya hukum Islam memasukkan segala perbuatan manusia dalam
cakupannya karena hukum Islam mencakup segala lapangan hukum baik hukum
publik, hukum privat, hukum nasional dan hukum internasional sekaligus, bahkan
hukum Islam mengenal adanya rakp balasan artinya; manusia yang melakukan
perbuatan melawan hukum dan tidak terdeteksi oleh aparat atau orang lain
sehingga lepas dari jeratan hukum dunia maka orang tersebut dalam hukum Islam
tetap akan mendapatkan balasan di akheratnya (kecuali orang tersebut bertaubat
dan taubatnya diterima oleh Allah SWT).
d. Pengertian Hudud
Kata hudud adalah bentuk plural dari kata had yang berarti mencegah
(alman’u). Sanksi-sanksi pidana (al-uqubat) disebut hudud karena ia bisa
mencegah seseorang untuk melakukan pelanggaran terhadap larangan syariah.
AlQur’an sendiri menggunakan kata hudud bukan untuk makna hukuman,
melainkan untuk makna batas-batas yang telah ditentukan Allah. Kurang lebih 13
kali Allah menggunakan kata hudud, 1 kali dalam konteks puasa (alBaqarah,
187), 6 kali dalam konteks perceraian (al-Baqarah, 229-230), 1 kali dalam
konteks aturan waris (an-Nisa’, 4:13), 1 kali dalam konteks dhihar (alMujadilah,
58:4), 1 Kali dalam konteks aturan pasca perceraian menyangkut hak dan
kewajiban suami-istri (at-Thalaq, 65:1 ) dan 2 kali menyangkut segala sesuatu
yang telah diturunkan Allah. Al-Qur’an teryata sama sekali tidak menggunakan
hudud dalam konteks jarimah atau jinayah, baik jarimah hudud maupun qishas.
Jika hudud dianggap sebagai ajaran yang penting, maka seharusnya ajaran itu
adalah menyangkut hal-hal yang disebutkan al-Qur’an. Ini berarti ada pergeseran
makna hudud.
7
Menurut ulama Hanafiyah secara terminologis had adalah sanksi-sanksi pidana
(uqubat) yang telah ditentukan bentuk dan ukurannya oleh syariah sebagai upaya
untuk melindungi Hak Allah (hak universal atau hak kolektif manusia). Ta’zir
tidak disebut had karena bentuk dan ukuran sanksi pidananya ditentukan oleh
qadli atau hakim. Qishas juga tidak termasuk had karena meskipun bentuk dan
ukuran sanksinya ditentukan oleh syariat, namun qishasdisyariatkan untuk
melindungi Hak Adami (hak individual manusia), bukan Hak Allah (hak
universal manusia). Berbeda dengan Ulama Hanafiyah, jumhur ulama memaknai
had atau hudud sebagai sanksi- sanksi pidana yang ukuran dan bentuknya telah
ditentukan oleh Allah baik disyariatkan untuk melindungi Hak Adami maupun
Hak Allah. Perbedaan definisi di atas menyebabkan perbedaan pendapat
mengenai jumlah hudud. Menurut Hanafiyah, hudud yang menjadi hak Allah ada
lima, yaitu had as-sariqah (pencurian), had az-zina (zina), had asy-syurbi
(minuman keras), had as-sukri (mabuk-mabukan), dan had al-qadzaf (pencemaran
nama baik). Jumhur Ulama menyebutkan hudud ada delapan macam, yaitu had
assariqah (pencurian), had az-zina (zina), had asy-syurbi (minuman keras), had al-
qadzaf (pencemaran nama baik), had al-qishas, had ar-riddah, had al-baghyu
(pemberontakan), dan had quttha’u at-thariq (pembegalan). Ibnu Jizziy AlMaliki
berpendapat, jinayah atau jarimah yang mendapatkan sanksi pidana (uqubat) ada
13 macam, yaitu pembunuhan, pelukaan, zina, pencemaran nama baik, minum
khamer, pencurian, pemberontakan, pemurtadan, kemunafikan, mencaci Allah,
mencaci para Nabi dan Malaikat, praktik sihir, dan meninggalkan shalat dan
puasa.
Paparan ini menunjukkan bahwa ulama berbeda dalam mendefinisikan
jarimah atau jinayah, dan berbeda pula dalam menentukan mana yang masuk
dalam kategori hudud. Perbedaan ulama dalam menentukan hukuman apa yang
masuk dalam kategori hudud, cukup sebagai alasan untuk menggugurkan
hukuman dalam hal-hal yang diperselisihkan tersebut. Hal ini sejalan dengan
kaidah fikih yang sangat masyhur yaitu al-Hudud Tudra’u bi as-Syubuhat
8
(hukuman hudud wajib dihindarkan jika terdapat keraguan), termasuk didalamnya
keraguan madzhab yang dicerminkan oleh perbedaan pendapat di atas.
Hudud juga didefinisikan sebagai hukuman yang telah menjadi ketentuan dan
sebagai Hak Allah sehingga tidak boleh ditukar, diganti, diubah dengan dapat
diganti atau diubah dalam definisi terebut adalah tidak tepat karena dalam
beberapa kasus zina dan pembunuhan, Rasulullah Saw seringkali berupaya
mencari alternatif lain dan melakukan rekayasa hukum agar seseorang terhindar
dari hukuman hudud. Demikian pula peryataan tidak dapat dimaafkan oleh
siapapun juga tidak tepat sebab hukuman hudud, khususnya yang menjadi Hak
Allah dapat digugurkan dan dimaafkan dengan pertaubatan kepada Allah
(pertaubatan individual) dan melakukan islah atau amal shalih (pertaubatan
sosial) meskipun tentu saja tanpa mengabaikan hak korban jika ada pihak yang
dirugikan karena perbuatan pidana tersebut.
Manusia memang tidak dapat menggugurkan hudud yang menjadi Hak murni
Allah, tetapi Allah dapat mengugurkan jika pelaku bertaubat dan memperbaiki
kesalahannya termasuk memenuhi hak korban jika ada pihak yang dirugikan.
Bahkan dalam sebuah kaidah fikih dinyatakan bahwa pertaubatan kepada Allah
jauh lebih mudah ketimbang pemaafan dari manusia (huququllahi mabniyatun ala
al-musamahah wa huququ al-ibad mabniyatun ala almusyahhah). Ini berarti
pengguguran Hudud yang menjadi hak Allah lebih mudah dari pada pengguguran
hudud yang menjadi hak murni manusia. Pertaubatan dari hukuman zina,
pencurian, qadzaf, minuman keras dan had lain yang dinyatakan sebagai hak
Allah, lebih mudah dari pada pertaubatan dari had pembunuhan. Sekali lagi tentu
saja dengan tanpa mengabaikan hak korban ketika ada pihak yang dirugikan.
9
Adapun dasar hukum ḥudūd antar lain yaitu berupa perbuatan zina dera atau
cambuk seratus kali adalah firman Allah dalam surah Al-Nur ayat 2 yang
berbunyi:
هّٰلل هّٰللا
ِ وْ نَ بِاVُةٌ فِ ْي ِد ْي ِن ِ اِ ْن ُك ْنتُ ْم تُ ْؤ ِمنVَا َر ْأفVذ ُك ْم بِ ِه َمV
ْ َد ٍة ۖ َّواَل تَأْ ُخVةَ َج ْلVَ﴿اَل َّزانِيَةُ َوال َّزانِ ْي فَاجْ لِ ُدوْ ا ُك َّل َوا ِح ٍد ِّم ْنهُ َما ِمائ
﴾ ٢ َفَةٌ ِّمنَ ْال ُم ْؤ ِمنِ ْينVِط ۤا ِٕٕى
َ َو ْاليَوْ ِم ااْل ٰ ِخ ۚ ِر َو ْليَ ْشهَ ْد َع َذابَهُ َما
Artinya: “ Pezina perempuan dan laki-laki hendaklah dicambuk seratus kali dan
janganlah merasa belas kasihan kepada keduanya sehingga mencegah kamu
dalam menjalankan hukum Allah, hal ini jika kamu beriman kepada Allah dan
hari akhir. Dan hendaklah dalam menjatuhkan sanksi (mencambuk) mereka
disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman.
10
Artinya: “…Hai Daud, sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah
(penguasa) di muka bumi, Maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia
dengan adildan jangalah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan
menyesatkan kamudari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat dari
jalan Allah akan mendapat adzab yang berat, karena mereka melupakan hari
perhitungan.”
f. Macam-Macam Hudud
Adapun Macam-macam ḥudūd yaitu meliputi beberapa tindak pidana dalam
fiqh jinayah yaitu berupa perbuatan sebagai berikut:
1. Khamar
Khamar adalah cairan yang di hasilkan dari peragian bijibijian atau
buah-buahan dan mengubah sari patinya menjadi alkohol dan menggunakan
katalisator (enzim) yang mempunyai kemampuan untuk memisah unsur-unsur
tentu yang berubah melalui proses peragian atau khamr adalah minuman yang
memabukkan. Orang yang minum khamr diberi sangsi dengan dicambuk 40
kali. Khamr diharamkan dan diberi sangsi yang berat karena mengganggu
kesehatan akal pikiran yang berakibat akan melakukan berbagai tindakan dan
11
perbuatan di luar kontrol yang mungkin akan menimbulkan ekses negatif
terhadap lingkungannya.
2. Zina
Zina adalah melakukan hubungan seksual di luar ikatan perkawinan
yang sah, baik dilakukan secara sukarela maupun paksaan. Sanksi hukum bagi
yang melakukan perzinahan adalah dirajam (dilempari dengan batu sampai
mati) bagi pezina mukhshan; yaitu perzinahan yang dilakukan oleh orang
yang telah melakukan hubungan seksual dalam ikatan perkawinan yang sah.
Atau dicambuk 100 kali bagi pezina ghoiru mukhshan; yaitu perzinahan yang
dilakukan oleh orang yang belum pernah melakukan hubungan seksual dalam
ikatan perkawinan yang sah.
3. Qadzaf
Asal makna qadzaf adalah ramyu melempar, umpamanya dengan batu
atau dengan yang lainya. Menurut istilah adalah menuduh orang melakukan
zina. Sangsi hukumnya adalah dicambuk 80 kali. Sangsi ini bisa dijatuhkan
apabila tuduhan itu dialamatkan kepada orang Islam, baligh, berakal, dan
orang yang senantiasa menjaga diri dari perbuatan dosa besar terutama dosa
yang dituduhkan. Namun ia akan terbebas dari sangsi tersebut apabila dapat
mengemukakan 4 orang saksi dan atau bukti yang jelas. Suami yang menuduh
isterinya berzina juga dapat terbebas dari sangsi tersebut apabila dapat
mengemukakan saksi dan bukti atau meli’an isterinya yang berakibat
putusnya hubungan perkawinan sampai hari kiamat.
4. Riddah
Riddah adalah kembali kejalan asal (setatus sebelumnya). Disini yang
di maksud dengan riddah adalah kembalinya orang yang telah beragama Islam
yang berakal dewasa kepada kekafiran karena kehendaknya sendiri tanpa ada
paksaan dari oraing lain : baik yang kembali itu laki-laki maupun perempuan.
5. Mencuri
12
Pencurian adalah mengambil sesuatu milik orang lain secara diam-
diam dan rahasia dari tempat penyimpannya yang terjaga dan rapi dengan
maksud untuk dimiliki. Pengambilan harta milik orang lain secara terang-
terangan tidak termasuk pencurian tetapi Muharobah (perampokan) yang
hukumannya lebih berat dari pencurian. Dan Pengambilan harta orang lain
tanpa bermaksud memiliki itupun tidak termasuk pencurian tetapi Ghosab
(memanfaatkan milik orang lain tanpa izin). Pelaku pencurian diancam
hukuman potong tangan dan akan diazab diakherat apabila mati sebelum
bertaubat dengan tujuan agar harta terpelihara dari tangan para penjahat,
karena dengan hukuman seperti itu pencuri akan jera dan memberikan
pelajaran kepada orang lain yang akan melakukan pencurian karena beratnya
sanksi hukum sebagai tindakan defensif (pencegahan).
A. Kesimpulan
Kata jinayah dalam istilah hukum sering disebut dengan delik atau tindak
pidana. Secara terminologi kata jinayah mempunyai beberapa pengertian, seperti
yang diungkapkan oleh oleh Abd al-Qadir Awdah, jinayah adalah perbuatan yang
13
dilarang oleh syara' baik perbuatan itu mengenai jiwa, harta benda, atau lainnya.
Pengertian yang sama dikemukakan Sayyid Sabiq bahwa kata jinayah menurut
tradisi syariat Islam ialah segala tindakan yang dilarang oleh hukum syariat
melakukannya. Perbuatan yang dilarang ialah setiap perbuatan yang dilarang oleh
syariat dan harus dihindari, karena perbuatan ini menimbulkan bahaya yang nyata
terhadap agama, jiwa, akal (intelegensi), harga diri, dan harta benda.
Pengertian jinayah dalam bahasa Indonesia sering disebut dengan istilah
peristiwa pidana, delik atau tindak pidana. Para fuqaha sering pula menggunakan
istilah jinayah dan jarimah. Istilah jarimah mempunyai kandungan arti yang sama
dengan istilah jinayah, baik dari segi bahasa maupun dari segi istilah. Dari segi
bahasa jarimah merupakan kata jadian (masdar) dengan asal kata jarama yang
artinya berbuat salah, sehingga jarimah mempunyai arti perbuatan salah. Dari segi
istilah, al-Mawardi mendefinisikan jarimah adalah perbuatan-perbuatan yang
dilarang oleh syara, yang diancam oleh Allah SWT dengan hukuman had atau
ta'zir.
Hudud juga didefinisikan sebagai hukuman yang telah menjadi ketentuan dan
sebagai Hak Allah sehingga tidak boleh ditukar, diganti, diubah dengan dapat
diganti atau diubah dalam definisi terebut adalah tidak tepat karena dalam
beberapa kasus zina dan pembunuhan, Rasulullah Saw seringkali berupaya
mencari alternatif lain dan melakukan rekayasa hukum agar seseorang terhindar
dari hukuman hudud.
Manusia memang tidak dapat menggugurkan hudud yang menjadi Hak murni
Allah, tetapi Allah dapat mengugurkan jika pelaku bertaubat dan memperbaiki
kesalahannya termasuk memenuhi hak korban jika ada pihak yang dirugikan.
Bahkan dalam sebuah kaidah fikih dinyatakan bahwa pertaubatan kepada Allah
jauh lebih mudah ketimbang pemaafan dari manusia (huququllahi mabniyatun ala
al-musamahah wa huququ al-ibad mabniyatun ala almusyahhah). Ini berarti
pengguguran Hudud yang menjadi hak Allah lebih mudah dari pada pengguguran
14
hudud yang menjadi hak murni manusia. Pertaubatan dari hukuman zina,
pencurian, qadzaf, minuman keras dan had lain yang dinyatakan sebagai hak
Allah, lebih mudah dari pada pertaubatan dari had pembunuhan. Sekali lagi tentu
saja dengan tanpa mengabaikan hak korban ketika ada pihak yang dirugikan.
B. Saran
Jika ditinjau ulang, tentu didalam makalah ini tidak akan lepas dari
koreksi para pembaca. Karena kami menyadari apa yang kami sajikan ini
sangatlah jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kami mengharapkan kritik
dan saran yang membangun dari para pembaca agar nantinya makalah ini akan
menjadi lebih sempurna dan baik untuk dikonsumsi otak kita.
DAFTAR PUSTAKA
Dr. Nur Rofiah, Kajian tentang Hukum dan Penghukuman dalam Islam:
Konsep Ideal Hudud dan Praktiknya. Jakarta : Komnas Perempuan.2016
https://sg.docworkspace.com/d/sIJLq8t6HAfq74I0G
15