Anda di halaman 1dari 23

MAKALAH PENDIDIKAN

CRITICAL RESEARCH

Disusun Untuk Memenuhi Salah satu Tugas Mata Kuliah Praktikum PAR

Dosen Pengampu : Drs.Deden Rohandi, M.Pd

Disusun :

Dede Ina Karmilawati

Siti Rohmah Nurazizah

Usfa Yajliyah

PENDIDIKAN AGAMA ISLAM (PAI)

STAI AL-AZHARY CIANJUR

2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kita panjatkan kepada Allah SWT yang telah memberikan
taufik dan hidayahnya sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah ini.
Kami ucapkan terima kasih kepada bapak Dosen pengampu yang selalu
mendukung dan memberikan ilmunya kepada kami.
Penulis berharap semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan
pengalaman bagi pembaca.
Bagi kami sebagai penyusun merasa bahwa masih banyak kekurangan
dalam penyusunan makalah ini karena keterbatasan pengetahuan dan pengalaman
kami. Untuk itu kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun
dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini.

Cianjur, 16 Oktober 2021

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.........................................................................................................................ii

DAFTAR ISI.......................................................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN....................................................................................................................1

A. Latar Belakang Masalah.........................................................................................................1

B. Rumusan Masalah...................................................................................................................2

C. Tujuan......................................................................................................................................3

BAB II STUDY KEPUSTAKAAN.....................................................................................................4

A. Perbandingan Pradigma Riset ilmu sosial positif dan kritis................................................4

B. Pembebasan Kaum Dhuafa Oleh Islam.................................................................................6

C. Pengertian dan Sejarah PAR..................................................................................................7

BAB III PEMBAHASAN..................................................................................................................10

A. Perbandingan Pradigma Riset Ilmu Sosial Ktitik dan Positif............................................10

B. Pembebasan Kaun Dhuafa Oleh Islam................................................................................11

C. Sejarah dan Pengertian PAR................................................................................................15

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN...........................................................................................17

A. KESIMPULAN......................................................................................................................17

B. SARAN...................................................................................................................................17

DAFTAR PUSTAKA........................................................................................................................18

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Menurut Harmon (dalam Moleong, 2004: 49), paradigma adalah cara
mendasar
untukmelakukan persepsi, berpikir, menilai dan melakukan yang berkait
sesuatu secara khusus tentang realitas.
Bogdan & Biklen (dalam Mackenzie & Knipe, 2006) menyatakan
bahwa paradigma adalah kumpulan longgar dari sejumlah asumsi, konsep,
atau proposisi yang berhubungan secara logis, yang mengarahkan cara
berpikir dan penelitian.
Dalam pikiran manusia, kerangka pemikiran ini digunakan untuk
tujuan tertentu, sehingga kerangka pemikiran ini memiliki fungsi, yakni
untuk memahami kenyataan, mendefinisikan kenyataan, menentukan
kenyataan yang dihadapi, menggolongkannya ke dalam kategori-kategori,
dan kemudian menghubungkannya dengan definisi kenyataan lainnya,
sehingga terjalin relasi-relasi pada pemikiran tersebut, yang kemudian
membentuk suatu gambaran tentang kenyataan yang dihadapi.1
Oleh karena itu, tidaklah terlalu mengherankan jika sebagian
ilmuwan tidak mengetahui dengan baik berbagai asumsi dasar paradigma
yang kebetulan digunakannya dalam memandang dan mempelajari suatu
gejala sosial-budaya. Diskusi yang lebih eksplisit tentang asumsi dasar
biasanya sudah berada pada tataran yang berbeda dengan diskusi tentang
teori-teori yang dihasilkan oleh kajian-kajian yang bersandarkan pada
asumsi-asumsi dasar tersebut. Walaupun demikian, seorang ilmuwan yang
kritis biasanya akan menelaah sebuah teori yang dilontarkan dengan
pertama-tama memperhatikan secara teliti terlebih dahulu asumsi-asumsi
dasar yang ada di balik teori yang dikemukakan. Jika ternyata asumsi-
asumsi dasar ini dapat diterima kebenaran-nya, maka si kritikus ini akan

1
Heddy shri ahimsa, Pradigma Ilmu Sosial Budaya, 2002, h 1, Vol

1
mencoba mencari kelemahan-kelemahan dari teori tersebut dengan
memeriksa model-modelnya, konsep-konsepnya, dan kemudian
komponen-komponen lain dari teori tersebut, sebelum akhirnya
menyentuh teori itu.2
Penelitian Participatory Action Research merupakan salah satu
model penelitian yang mencari sesuatu untuk menghubungkan proses
penelitian ke dalam proses perubahan sosial. Perubahan sosial yang
dimaksud adalah bagaimana dalam proses pemberdayaan dapat
mewujudkan tiga tolak ukur, yakni adanya komitmen bersama dengan
masyarakat, adanya local leader dalam masyarakat dan adanya institusi
baru dalam masyarakat yang dibangun berdasarkan kebutuhan. Penelitian
ini membawa proses penelitian dalam lingkaran kepentingan orang dan
menemukan solusi praktis bagi masalah bersama dan isu-isu yang
memerlukan aksi dan refleksi bersama, dan memberikan kontribusi bagi
teori praktis.
Al-Qur’an merupakan kitab petunjuk sekaligus regulasi yang
mengatur seluruh aspek kehidupan.  Kendati masalah-masalah yang
dibicarakan terkadang bersifat global yang membutuhkan uraian dan
kajian lebih lanjut.  Eksistensi al-Qur’an sebagai firman Allah seharusnya
selalu diposisikan sebagai acuan dalam merespon dan memberikan solusi 
terhadap persoalan-persoalan kemanusiaan.
Dengan makalah ini kami mencoba untuk membahas perbandingan
pradigma riset ilmu kritis, pembebasan kaum dhuafa dan sejarah PAR.

B. Rumusan Masalah
Dalam makalah ini kami merumuskan
1. Bagaimana perbandingan riset ilmu ssosial positif dan kritis ?
2. Bagaimana pembebasan kaum dhuafa oleh islam
3. Apa pengertian Par dan apa Sejarahnya ?

2
Ibid h 4 dan 5

2
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui perbandingan riset ilmu sosial positif dan Kritis
2. Untuuk megetahui islam dan pembebasan kaum dhuafa
3. Untuk mengetahui sejarah PAR

3
BAB II
STUDY KEPUSTAKAAN

A. Perbandingan Pradigma Riset ilmu sosial positif dan kritis


1. Pradigma Riset Ilmu Sosial

Paradigma kritis pada dasarnya banyak dipengaruhi oleh pemikiran


sorang Yahudi Jerman yang bernama Karl Marx. Dan bisa dikatakan
bahwa gagasangagasan pemikiran Marx ini merupakan gerakan Post
Pencerahan, kebalikan dari jaman Pencerahan di abad 18 yang dipandang
titik kluminasi rasionalisme barat yang yakin dengan individualisme dan
kebebasan universal (positivisme).

Max Horkheimer dan rekan-rekannya di Mazhab Frankfurt


menjadikan pemikiran Marx sebagai landasan mereka dalam mengkaji
gejala, kasus dan permasalahan yang ada di masyarakat. Mereka dapat
dikatakan sebagai pengintepretasi pemikiran Marx dan sedikit
memodifikasinya sesuai dengan kajian mereka. Karena Marx sendiri
misalnya tidak menyinggung secara langsung atau barangkali sedikit
membahas bagaimana peran dan posisi media massa dan ranah komunikasi
secara langsung.

Selain Horkheimer, banyak lagi para pendiri pendekatan kritis ini.


Misalnya Antonio Gramsci yang terkenal dengan istilah “Hegemoni”-nya
yang menunjuk pada sebuah konsep yang melihat bahwa pada dasarnya
kekuatan bahasa menjadi sebuah kekuatan yang dapat memelihara
kekuasaan suatu kelompok atas kelompok lain, media massa juga menjadi
sebuah media efektif dalam memelihara kekuasaan tersebut. Lain lagi
dengan Louis Althusser yang menawarkan istilah “Ideological State
Aparatus”, “Repressive State Apparatus” dimana pemikiran ini melihat
bahwa media massa hingga militer berkontribusi besar panda pengendalian
gagasan sebuah masyarakat oleh orang yang berkuasa. Penerus dari
Horkheimer, Ardono hingga Althuser adalah Juergen Habermans.

4
Inti pendekatan kritis ini pada dasarnya sebagai kritik terhadap
positivisme. Mereka menunjukkan bahwa positivisme itu sangat
bermasalah, karena pandangannya adalah bagaimana penerapan metode
ilmu-ilmu alam pada ilmu-ilmu sosial tak lain dari saintisme dan ideologi,
bahkan pendekatan kritis menilai positivisme hanya
meng”kontemplasikan” masyarakat, positivisme melestarikan status quo
konfigurasi masyarakat yang ada (Budi Hardiman. 2007 :24) Jadi, bagi
pendekatan kritis, setiap penelitian harus memperoleh pengetahuan tentang
das sein (apa yang ada) dan bukan das sollen (apa yang seharusnya ada).
Sehingga yang terjadi pengetahuan tidak mendorong pada perubahan yang
lebih baik, namun hanya menyalin data sosial tersebut.

Tetapi pendekatan kritis ini bukanlah tanpa cela dan kekurangan.


Bahkan hebatnya, pengakuan dari kekurangan dari pendekatan kritis ini
datang dari orang yang ikut membesarkan pendekatan ini yaitu Juergen
habermans. Meskipun pendekatan ini sangat tajam namun masih sangat
berbau moralistis. Selain itu, sebelum hadinya Habermans, persoalan
epistemologi tidak dijabarkan secara langsung oleh pendahulunya (Budi
Hardiman, 2007 :24). Habermans juga mengkritik tentang makna
pendekatan kritis yang dikembangkan saat in sangat mengikuti arus
modernitas, yang ditandai dengan akumulasi modal yang secara rasional
dan birokrasi rasional didukung teknologi. Namun justru hal tersebut
malah menumpulkan kesadaran kritis tersebut, karena secara sadar atau
tidak sadar makna yang didapat adalah bagian dari modernitas yang
individualistik.

Wacana dalam bentuk teks, percakapan atau apapun tidak


dipandang sebagai sesuatu yang alamiah wajar dan netral tetapi merupakan
bentuk pertarungan kekuasaan. Konsep kekuasaan yang dimaksudkan
adalah salah satu kunci hubungan antara wacana dan masyarakat. Ideologi
pun menjadi konsep penting dalam analisis wacana kritis, karena dalam
setiap bentuk teks, percakapan atau apapun itu adalah merupakan praktik

5
ideologi yang merupakan pancaran suatu ideologi tertentu. Wacana bagi
ideologi adalah media bagi suatu kelompok untuk mempersuasikan,
menyebarkan, dan memberikan pemahaman kepada khalayak mengenai
suatu konsep kehidupan yang mereka miliki sehingga dianggap wajar dan
benar, yang kemudian dapat diterima oleh masyarakat.

2. Pradigma Riset Ilmu Positif

Positivis memerupakan istilah umum untuk posisi filosofis yang


menekankan aspek faktual pengetahuan, khususnya pengetahuan ilmiah.
Pos itivi sme merupakan suatu aliran filsafat yang menyatakan ilmu-ilmu
alam (empiris) sebagai satu-satunya sumber pengetahuan yang benar dan
menolak nilai kognitif dari suatu filosofis atau metafisik. Dapat pula
dikatakan positivisme ialah “aliran yang bependirian bahwa filsafat itu
hendaknya semata-mata mengenai dan berpangkal pada peristiwa-
peristiwa positif artinya peristiwa-peristiwa yang dialami oleh 1 manusia. 3

Tujuan akhir dari penelitian positivisme logis adalah untuk


mengatur kembali pengetahuan ilmiah ke dalam sistem yang dikenal
sebagai kesatuan ilmu yang akan menghilangkan perbedaan antara
masing-masing ilmu. Logika dan ilmu matematika itu adalah formal.

B. Pembebasan Kaum Dhuafa Oleh Islam


1. Pengertian islam sebagai agama.

Agama adalah matriks dan pandangan-hidup (worldview) yang


melaluinya seluruh aktivitas manusia, usaha, kreasi, dan pemikiran
mengambil tempat atau posisi. Ringkasnya, Islam adalah agama sebagai
satu cara hidup yang total (a total way of life).4

Agama Islam juga menjadi satu-satunya agama yang diridhai oleh


Allah SWT. Kata Islam berasal dari kata dari “aslama”, “yuslimu”,
“islaaman” yang berarti tunduk, patuh, dan selamat. Islam berarti

3
Endang Saifuddin Anshari, Ilmu Filsafat dan Agama, Bina Ilmu Surabaya, 1987, hlm.99
4
S.H. Nasr & Huston Smith, Islam: Religion, History, and civilization, 5.

6
kepasrahan atau ketundukan secara total kepada ajaran-ajaran Islam yang
diberikan oleh Allah SWT.

Secara terminologis (istilah, maknawi) dapat dikatakan Islam


adalah agama wahyu berintikan tauhid atau keesaan Tuhan yang
diturunkan oleh Allah SWT kepada Nabi Muhammad Saw sebagai utusan-
Nya yang terakhir dan berlaku bagi seluruh manusia, di mana pun dan
kapan pun, yang ajarannya meliputi seluruh aspek kehidupan manusia.

Wahyu yang diurunkan oleh Allah SWT kepada Rasul-Nya untuk


disampaikan kepada segenap umat manusia sepanjang masa dan setiap
persada. Suatu sistem keyakinan dan tata-ketentuan yang mengatur segala
perikehidupan dan penghidupan asasi manusia dalam berbagai hubungan:
dengan Tuhan, sesama manusia, dan alam lainnya. Bertujuan: keridhaan
Allah, rahmat bagi segenap alam, kebahagiaan di dunia dan akhirat. Pada
garis besarnya terdiri atas akidah, syariat dan akhlak.

Oleh karena itu sebagai ummat muslim yang baik maka kita harus
memiliki rasa kasih sayang kepada semua orang sekalipun kepada orang-
orang yang tidak sama kemampuannya dengan kita baik itu dari segi
ekonomi, sosial ataupun yang lainnya. Karena sejatinya Alloh SWT tidak
pernah membeda-bedakan hambanya kecuali sosial ataupun yang lainnya.
Karena sejatinya Allah SWT tidak pernah membeda-bedakan yang mana
Islam hadir sebagai rahmat bagi seluruhnya bahkan kepada nonmuslim
sekalipun.

C. Pengertian dan Sejarah PAR


1. Pengertian PAR

Participation Action Research (PAR) adalah suatu cara


membangun jembatan untuk menghubungkan orang. Jenis penelitian ini
adalah suatu proses pencarian pengembangan pengetahuan praktis dalam
memahami kondisi sosial, politik, lingkungan, atau ekonomi. PAR
(Participation Action Research) adalah suatu metoda penelitian dan

7
pengembangan secara partisipasi yang mengakui hubungan sosial dan nilai
realitas pengalaman, pikiran dan perasaan kita. Penelitian ini mencari
sesuatu untuk menghubungkan proses penelitian ke dalam proses
perubahan sosial. Penelitian ini mengakui bahwa poses perubahan adalah
sebuah topik yang dapat diteliti. Penelitiain ini membawa proses penelitian
dalam lingkaran kepentingan orang dan menemukan solusi praktis bagi
masalah bersama dan isu-isu yang memerlukan aksi dan refleksi bersama,
dan memberikan kontribusi bagi teori praktis.

PAR (Participation Action Research) melibatkan pelaksanaan


penelitian untuk mendefinisikan sebuah masalah maupun menerapkan
informasi ke dalam aksi sebagai solusi atas masalah yang telah terdefinisi.
PAR (Participation Action Research) adalah “penelitian oleh, dengan, dan
untuk orang” bukan “penelitian terhadap orang”. PAR (Participation
Action Research) adalah partisipatif dalam arti bahwa ia sebuah kondisi
yang diperlukan dimana orang memainkan peran kunci di dalamnya dan
memiliki informasi yang relevan tentang sistem sosial (komunias) yang
tengah berada di bawah pengkajian, dan bahwa mereka berpartisipasi
dalam rancangan dan implementasi rencana aksi itu didasarkan pada hasil
penelitian. PAR (Participation Action Research) dikenal dengan banyak
nama, termasuk partisipation research, action research, collaborative
inquiry, collaborative action

2. Sejarah PAR

Pada awalnya PAR dikembangkan oleh seorang psikolog


bernama Kurt Lewin di awal hingga pertengahan 1900an. Freire kemudian
mengembangkan PAR sebagai kritik atas model pendidikan tradisional
dimana guru berdiri di depan dan memberikan informasi kemurid sebagai
penerima pasif. PAR ini juga merupakan kritikan terhadap penelitian yang
lazimnya dilakukan oleh universitas maupun pemerintah dimana para ahli
datang pada komunitas dan mempelajari subjek penelitian kemudian pergi
membawa data untuk ditulis dalam laporan maupun tulisan.

8
BAB III
PEMBAHASAN

A. Perbandingan Pradigma Riset Ilmu Sosial Ktitik dan Positif


Menurut Harmon (dalam Moleong, 2004: 49), paradigma adalah cara
mendasar untuk mempersepsi, berpikir, menilai dan melakukan yang
berkaitan dengan sesuatu secara khusus tentang realitas. Bogdan &
Biklen (dalam Mackenzie & Knipe, 2006) menyatakan bahwa paradigma
adalah kumpulan longgar dari sejumlah asumsi, konsep, atau proposisi
yang berhubungan secara logis, yang mengarahkan cara berpikir dan
penelitian. Sedangkan Baker (dalam Moleong, 2004: 49) mendefinisikan
paradigma sebagai seperangkat aturan yang (1) membangun atau
mendefinisikan  batas-batas; dan (2) menjelaskan bagaimana sesuatu
harus dilakukan dalam batas-batas itu agar berhasil. Cohenn & Manion
(dalam Mackenzie & Knipe, 2006) membatasi paradigma sebagai tujuan
atau motif filsofis pelaksanaan suatu penelitian. Berdasarkan definisi
definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa paradigma merupakan 
seperangkat konsep, keyakinan, asumsi, nilai, metode, atau aturan  yang
membentuk kerangka kerja pelaksanaan sebuah penelitian.
Diskursus terpenting yang dibicarakan dalam penelitian sosial yaitu
apakah penelitian sosial itu bebas nilai atau selalu terikat dengan nilai
tertentu. Paradigma pengetahuan atau epistemologi menjadi persoalan
mendasar dalam sosiologi sebelum seorang sosiolog melakukan
penelitian sosial. Pendekatan positivistis, yang sudah menjadi tradisi
metodologi ilmu-ilmu alam, merupakan faktor dominan berkembangnya
teori-teori sosiologi. Perkembangan ilmu-ilmu sosial terpengaruh oleh
pemikiran model rasionalitas teknokratis, yang dianut oleh para
teknokrat, politisi, birokrat, kelompok profesional lainnya serta ilmuwan
dari berbagai disiplin ilmu yang beragam. Ilmu-ilmu sosial
dikembangkan sejauh menjadi sarana teoritis untuk mencapai tujuan-
tujuan praktis

9
Kritik yang membangun dari berbagai penganut paradigma yang
berbeda akan membantu meluruskan dan menjernihkan ide-ide yang
ditawarkan. Kritik yang adan akan menjelaskan posisi dan persoalan yang
dibahas yang mungkin semuala masih belum jelas dari tawaran sang
pengarang. Dalam proses dialektika antara pengarang dan pengkritik justru
akan memunculkan kejelasan dan memungkin menggali isu-isu lain yang
jauh lebih baik. hal yang jauh lebih penting adalah bahwa kritik yang
dilakukan oleh penganut paradigma lain justru akan memperkaya dan
menjadi sumbangan yang berharga terhadap paradigma yang sedang
dikembangkannya. Sikap terbuka dalam menerima kritik inilah yang
menjadi persoalan penting dalam pengembangan paradigma selanjutnya.

Sedangkan paradigma riset ilmu kritis lahir sebagai kritik bagi


positivisme, pandangannya adalah bagaimana penerapan metode ilmu-
ilmu alam pada ilmu-ilmu sosial tak lain dari saintisme dan ideologi. Kritis
memandang bahwa positivisme hanya mengkontenflasikan masyarakat,
melestarikan status quo yang ada dalam masyarakat bagi pendekatan kritis,
setiap penelitian harus memperoleh pengetahuan tentang das ein (apa
yang ada) dan bukan das sollen (apa yang seharusnya ada). Sehingga
yang terjadi pengetahuan tidak mendorong pada perubahan yang lebih
baik, namun hanya menyalin data sosial tersebut.
B. Pembebasan Kaun Dhuafa Oleh Islam
1. Islam dan pembebasan kaum duafa

Tersebarnya Islam yang dibawa oleh nabi Muhammad saw. Di


permukaan bumi ini, dimana kedatangannya merupakan sebuah revolusi
yang selama berabad-abad telah berperan secara sangat signifikan dalam
panggung sejarah kehidupan umat manusia. Dengan demikian Islam
bermakna sebagai pembebas, yaitu membebaskan manusia dari kondisi-
kondisi ketidakadilan. Hal ini sebagaimana diajarkan dalam al-Qur’an dan
hadis-hadis Nabi saw. yang secara tersurat maupun tersirat, langsung atau

10
tidak langsung menggugat kondisi-kondisi ketidakadilan yang terjadi di
tengah masyarakat, bangsa dan negara.

Kata dhuafa juga terdapat dalam QS Al-Qasas ayat 4.


“Sesungguhnya Fir'aun telah berbuat sewenang-wenang di muka bumi
dan menjadikan penduduknya berpecah belah, dengan menindas
segolongan dari mereka, menyembelih anak lakilaki mereka dan
membiarkan hidup anak-anak perempuan mereka. Sesungguhnya Fir'aun
termasuk orang-orang yang berbuat kerusakan”.5

Dalam ayat tersebut, dapat kita pahami bahwa dhuafa juga bisa
berarti sebagai kaum yang lemah karena terlahir akibat penindasan atau
kesewenang-wenangan adanya pemerintah atau sistem yang zalim.
Akibatnya, masyarakat yang lemah tersebut menjadi miskin secara
struktural. Muncul banyaknya anak yatim, kaum miskin, gelandangan,
atau pengemis di jalanan.

Di dalam Al-Quran terdapat beberapa orang yang disebutkan dan


termasuk ke dalam golongan kaum dhuafa. Golongan ini perlu umat Islam
ketahui agar tidak salah memahami tentang siapa sebenarnya yang
dimaksud dengan dhuafa. Beberapa diantaranya adalah sebagai berikut

1. Orang-orang miskin

Orang-orang miskin adalah mereka yang jelas-jelas kekurangan


secara harta atau finansial untuk memenuhi kebutuhan pokok dalam
hidupnya. Mereka lemah karena ketidakmampuan mereka mendapatkan
harta. Orang-orang ini berhak dibantu dan mendapatkan zakat atau
sedekah. Orang miskin juga termasuk ke dalam 8 golongan yang berhak
untuk menerima zakat.

5
Q.S Al-Qasas:4.

11
1. Hamba sahaya atau orang dalam tahanan atau tawanan

Di masa kini, hamba sahaya memang sudah jarang terdengar.


Namun hamba sahaya ini bisa berarti sebagai budak yang tidak memiliki
kebebasan, orang yang dalam tahanan atau tawanan bukan karena
kesalahan namun karena kezaliman orang lain. Mereka ini bisa tergolong
sebagai dhuafa, yang lemah dan tidak berdaya secara fisik, finansial atau
psikisnya.

2. Kaum difabel atau cacat fisik

Kaum difabel atau yang mengalami cacat fisik, biasanya


mengalami kendala atau keterbatasan untuk mendapatkan penghasilan,
apalagi jika tidak didukung oleh keluarganya juga. Untuk itu, mereka yang
lemah dalam aspek fisik ini termasuk ke dalam golongan dhuafa yang
wajib dibantu.

3. Orang lanjut usia

Orang lanjut usia, biasanya sudah mengalami kelemahaan secara


fisik dan psikis. Mereka sudah tidak mampu lagi bekerja dan wajib dibantu
secara finansial dan kebutuhan pokoknya. Untuk itu, sedekah untuk dhuafa
lanjut usia juga sangat baik, terlebih kita memperlakukan memereka
selayaknya orang tua sendiri.

4. Janda miskin

Janda adalah perempuan yang sudah ditinggal wafat oleh


suaminya. Dalam kondisi tertentu, janda yang lemah biasanya tidak
memiliki sumber penghasilan, memiliki tanggungan anak-anak, sedangkan
pemberi nafkah sudah tidak ada lagi untuk membantu kehidupannya.
Perempuan seperti ini masuk ke dalam golongan dhuafa yang bisa dibantu
melalui sedekah.

5. Orang dengan penyakit tertentu

12
Orang yang memiliki penyakit tertentu termasuk dalam
dhuafa yang lemah secara fisik dan tentu membutuhkan bantuan untuk
bisa sembuh dari penyakitnya. Apalagi jika termasuk ke dalam golongan
keluarga miskin yang kesulitan dari aspek ekonomi.

6. Buruh atau pekerja kasar

Buruh atau pekerja kasar biasanya adalah mereka yang bekerja


dengan kekuatan fisik dan dalam waktu yang lama, namun secara
penghasilan masih kurang cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-
harinya. Mereka yang seperti ini bisa tergolong kaum dhuafa dan
membutuhkan bantuan agar lebih berdaya.

7. Rakyat kecil yang tertindas

Rakyat kecil yang tertindas ini misalnya seperti saudara-saudara kita


yang ada di Palestina. Mereka sebagai masyarakat yang negaranya
terjajah, tidak memiliki kemerdekaan, dan membutuhkan bantuan untuk
bisa terbebas. Untuk itu, rakyat kecil yang tertindas bisa termasuk pada
kaum dhuafa.

8. Korban Bencana

Korban bencana bisa masuk dalam kaum dhuafa. Mereka adalah


orang-orang yang kehilangan banyak harta benda, kehilangan tempat
tinggal bahkan segala hal yang dimiliki. Untuk itu, para korban bencana
bisa termasuk ke dalam kaum dhuafa karena lemah secara finansial.
Bahkan ada juga korban bencana yang terancam nyama dan memiliki
trauma, sehingga mereka lemah dalam aspek fisik dan psikis juga.

13
Dalam islam juga dikenal dengan istilah Islam rahmatan lil alamin
adalah Islam yang sesuai dengan fitrah manusia, islam yang membawa
kasih sayang. Dan setelah mengetahui pengertian dan beberapa kelompok
yang termasuk dalam golongan kaum dhuafa, maka saatnya kita pun ikut
membantu dan menolong mereka agar hidupnya lebih berdaya lewat
sedekah. Ada banyak sekali keutamaan sedekat menurut Al-Quran.

Hal ini seperti yang ada dalam ayat berikut,“Mereka bertanya tentang
apa yang mereka nafkahkan. Jawablah: “Apa saja harta yang kamu
nafkahkan hendaklah diberikan kepada ibu-bapak, kaum kerabat, anak-
anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang sedang dalam
perjalanan”. Dan apa saja kebaikan yang kamu buat, maka sesungguhnya
Allah Maha Mengetahuinya.” (QS : Al-Baqarah: 215).6

C. Sejarah dan Pengertian PAR


Participatory Action Research (PAR) adalah metode riset yang
dilaksanakan secara partisipatif di antara warga masyarakat dalam suatu
komunitas aras bawah yang semangatnya untuk mendorong terjadinya
aksi-aksi transformatif melakukan pembebasan masyarakat dari belenggu
ideologi dan relasi kekuasan (perubahan kondisi hidup yang lebih baik).
Dengan demikian, sesuai istilahnya PAR memiliki tiga pilar utama, yakni
metodologi riset, dimensi aksi, dan dimensi partisipasi. Artinya, PAR
dilaksanakan dengan mengacu metodologi riset tertentu, harus bertujuan
untuk mendorong aksi transformatif, dan harus melibatkan sebanyak
mungkin masyarakat warga atau anggota komunitas sebagai pelaksana
PAR-nya sendiri.
PAR merupakan kegiatan riset yang berbeda dengan metode
penelitian ilmiah lainnya yang biasa dilakukan oleh para akademisi,
lembaga survey, dll. Di dalam metode penelitian ilmiah pada umumnya
seorang researcher menjadikan suatu kelompok masyarakat hanya sebagai

6
QS : AL-BAQARAH:215.

14
objek yang diteliti untuk mendapatkan suatu inti permasalahan tanpa
memberikan perubahan (transformasi) nilai di dalam suatu masyarakat
tersebut.
Di dalam kegiatan PAR, peneliti/praktisi PAR tidak memisahkan
diri dari situasi masyarakat yang diteliti, melainkan melebur ke dalamnya
dan bekerja bersama warga dalam melakukan PAR. PAR membahas
kondisi masyarakat berdasarkan sistem makna yang berlaku di situ, bukan
menurut disiplin ilmu tertentu di luar budaya masyarakat tersebut. PAR
tak bisa lagi berposisi “bebas nilai” dan tidak memihak seperti yang
dituntut ilmu pengetahuan sebagai syarat obyektivitas, melainkan harus
memihak pada kelompok yang lemah, miskin, dirugikan, dan menjadi
korban. Selain itu, PAR tidak berhenti pada publikasi hasil riset (laporan)
dan rekomendasi untuk riset berikutnya, melainkan berorientasi pada
perubahan situasi, peningkatan pengetahuan dan kemampuan masyarakat
warga untuk memahami dan mengubah situasi mereka menjadi lebih baik.

BAB IV
KESIMPULAN

15
A. KESIMPULAN
Perkembangan ilmu-ilmu sosial terpengaruh oleh pemikiran model
rasionalitas teknokratis, yang dianut oleh para teknokrat, politisi,
birokrat, kelompok profesional lainnya serta ilmuwan dari berbagai
disiplin ilmu yang beragam. Ilmu-ilmu sosial dikembangkan sejauh
menjadi sarana teoritis untuk mencapai tujuan-tujuan praktis
Kritik yang membangun dari berbagai penganut paradigma yang
berbeda akan membantu meluruskan dan menjernihkan ide-ide yang
ditawarkan. Kritik yang adan akan menjelaskan posisi dan persoalan
yang dibahas yang mungkin semuala masih belum jelas dari tawaran
sang pengarang.
Dhuafa adalah istilah umum yang merujuk kepada suatu kondisi
seseorang atau kelompok atau golongan yang hidup dala
ketidakberdayaan baik secara ekonomi maupun secara sosial.

B. SARAN

16
DAFTAR PUSTAKA

Romadhon, Sukron. "SOSIOLOGI SPIRITUALITAS & KESALEHAN


SOSIAL." Spiritualita 4.2 (2020).

Susanto, Happy. "Konsep Paradigma Ilmu-ilmu Sosial dan Relevansinya bagi


Perkembangan Pengetahuan." Muaddib: Studi Kependidikan dan Keislaman 4.2 (2016).

Supraja, Muhamad. Pengantar metodologi ilmu sosial kritis Jurgen Habermas. UGM


PRESS, 2018.

17
18
19
20

Anda mungkin juga menyukai