Anda di halaman 1dari 15

ANALISIS STILISTIKA PUISI “SURAT UNTUK IBU”

KARYA JOKO PINURBO

A. PENDAHULUAN

Puisi merupakan karya sastra yang indah pengungkapannya. Puisi selalu


menghadirkankan diksi yang indah sebagai simbol keunikan dan menggugah hati
untuk terhanyut dalam makna dari puisi tersebut. Senada dengan itu, Waluyo
(2003:1) menyatakan bahwa puisi adalah karya sastra dengan bahasa yang
dipadatkan, dipersingkat, dan diberi irama dengan bunyi yang padu dan pemilihan
kata-kata kias (imajinatif). Dunia sangat mengenal puisi bahkan puisilah yang
menjadi sastra tertulis yang paling awal ditulis oleh manusia sehingga wajar pada
zaman sekarang puisi sangat semerbak dan membumi.

Dengan demikian, patutlah puisi dikaji dari berbagai teori, metode, pendekatan,
dan strategi untuk mengungkapkan makna yang terkandung di dalamnya. Adapun
teori atau pendekatan yang akan diterapkan dalam tulisan ini adalah teori atau
pendekatan analisis stilistika yang dewasa ini merupakan salah satu teori sastra yang
dimanfaatkan dalam bidang kritik sastra di Indonesia. Stilistika memiliki hal-hal
mendasar untuk dijadikan sebagai studi stilistik dalam konteks kajian sastra yang bisa
dihubungkan dengan kegiatan penelitian sastra, kritik sastra, dan apresiasi sastra.

Aminuddin (1997:64) menegaskan bahwa sesuai dengan terdapatnya kata


stilistik, studi tersebut ditinjau dari sasaran dan penjelasan yang dibuahkan hanya
berpusat pada aspek gayanya. Meskipun kajian yang dilakukan hanya berfokus pada
aspek gaya, patut disadari bahwa aspek gaya secara esensial berkaitan dengan wujud
pemaparan karya sastra sebagai bentuk penyampaian gagasan pengarangnya.
Deskripsi yang dibuahkan mempunyai peranan sangat penting dalam upaya
memahami karya sastra secara keseluruhan. Selain itu, perlu diketahui bahwa bahasa
sastra bukan sekadar referensial yang mengacu pada hal tertentu melainkan
mempunyai fungsi ekspresif, menunjukan nada, dan sikap pengarangnya. (Al-Ma’ruf,
2009: 68). Begitu pula halnya pada puisi “Surat untuk Ibu Karya Joko Pinurbo”.
Peneliti tertarik menganalisis puisi “Surat untuk Ibu” karya Joko Pinurbo dikarenakan
puisi ini memiliki fungsi ekspresif dan menunjukkan nada dan suasana hati
pengarang melalui gaya estetis yang diungkapkan dalam puisi tersebut.

Isu politik dalam puisi ini disajikan dengan “indah” oleh Joko Pinurbo. Puisi
“Surat untuk Ibu” terbit di koran Kompas edisi 24 Desember 2016. Jika kita melihat
kondisi Indonesia pada saat itu, maka kita dapat mengaitkannya dengan peristiwa
penistaan agama yang dilakukan oleh Ahok. Momen tersebut juga bertepatan pada
“Hari Natal” yang dalam puisi juga diungkapkan oleh Joko Pinurbo. Segala bentuk isi
hati dan kritik yang diungkapkan pengarang melalui puisi ini, mampu dibungkus
dengan estetis, sehingga pengkajian stilistika pada puisi ini sangat menarik untuk
dilakukan.

Berdasarkan latar belakang tersebut, maka permasalahan yang akan dikaji


dalam tulisan ini, adalah bagaimana bentuk stilistika pada puisi “Surat untuk Ibu
Karya Joko Pinurbo”. Adapun tujuan tulisan ini adalah untuk mendeskripsikan unsur
stilistika pada puisi “Surat untuk Ibu Karya Joko Pinurbo. Manfaat teoritis kajian ini
adalah hasil kajian stilistika ini dapat memberikan kontribusi bagi perkembangan
linguistik terapan dan studi sastra sekaligus dalam analisis karya sastra. Adapun
manfaat praktis kajian ini adalah untuk : 1) memberikan wawasan bagi akademisi
linguistik dan kritikus sastra dalam melakukan analisis karya sastra; 2) memberikan
pemahaman kepada pemerhati sastra dalam mengapresiasi karya sastra; 3)
memberikan alternatif bahan ajar bagi pengajar bahasa dan sastra baik di perguruan
tinggi dan sekolah dalam pengajaran stilistika.
B. KAJIAN TEORI

Menurut Al-Ma’ruf (2009:68), style atau ‘gaya bahasa’ dalam karya sastra
merupakan sarana sastra yang turut memberikan kontribusi signifikan dalam
memperoleh efek estetik dan penciptaan makna. Oleh karena itu, Al-Ma’ruf
(2009:68)menyatakan bahwa, stilistika merupakan studi tentang gaya yang meliputi
pemakaian gaya bahasa dalam karya sastra, merupakan bagian penting bagi ilmu
sastra sekaligus bagi studi linguistik. Hal ini akan berarti puisi dengan stilistika harus
menyatu.

Menurut Nurgiyantoro (2005:280) stilistika kesastraan merupakan sebuah


metode analisis karya sastra yang mengkaji berbagai bentuk dan tanda-tanda
kebahasaan yang digunakan seperti yang terlihat pada struktur laihirnya. Metode
analisis ini menjadi penting, karena dapat memberikan informasi tentang karakteristik
khusus sebuah karya sastra. Bahkan, ia dapat memberikan manfaat yang besar bagi
studi sastra jika dapat menentukan prisip yang mendasari kesatuan karya sastra, dan
jika dapat menemukan suatu tujuan estetika umum yang menonjol dalam sebuah
karya sastra dari keseluruhan unsurnya.

Al-Ma’ruf (2009: 69) juga berpendapat bahwa stilistika adalah ilmu yang
mengkaji style yakni wujud performansi bahasa dalam karya sastra melalui
pemberdayaan segenap potensi bahasa yang unik dan khas meliputi bunyi, diksi,
kalimat, wacana, bahasa figuratif, dan citraan. Senada dengan itu, stilistika (stylistic)
dapat diterjemahkan sebagai ilmu tentang gaya. Secara etimologis stylistic
berhubungan dengan kata style yaitu gaya. Dengan demikian stilistika adalah ilmu
pemanfaatan bahasa dalam karya sastra. Penggunaan gaya bahasa secara khusus
dalam karya sastra. Gaya bahasa yang muncul ketika pengarang mengungkapkan
idenya. Gaya bahasa ini merupakan efek seni dan dipengaruhi oleh hati nurani.
Melalui gaya bahasa itu seorang penyair mengungkapkan idenya. Pengungkapan ide
yang diciptakan melalui keindahan dengan gaya bahasa pengarangnya (Endraswara,
2011:72—73).
Dalam pengertiannya secara luas stilistika merupakan ilmu tentang gaya,
meliputi berbagai cara yang dilakukan dalam kegiatan manusia (Ratna, 2011:167).
Jadi, jelas bahwa stilistika merupakan studi tentang style atau gaya bahasa yang
menjadi segenap daya dalam menimbulkan makna yang sebenarnya baik dari sudut
estetik dan tujuan pemaknaanya yang bersifat khas. Penelitian stilistika menuju
kepada bahasa, dalam hal ini merupakan bahasa yang khas. Menurut Ratna (2011:14)
bahasa yang khas bukan pengertian bahwa bahasa dan sastra berbeda dengan bahasa
sehari-hari dan bahasa karya ilmiah. Ciri khasnya yaitu pada proses pemilihan dan
penyusunan kembali. Hal tersebut merupakan analog dengan kehidupan sehari-hari
dan merupakan proses seleksi, manipulasi dan mengombinasikan kata-kata. Bahasa
yang memiliki unsur estetis, berbagai fungsi mediasi, dan emonsionalitas.

Keberadaan stilistika memberikan sumbangsih pemahaman yang lebih


mendalam tentang makna karya sastra, dengan menggunakan studi stilistika, ranah
pemakaian bahasa khas penyair dalam penulisan puisi-puisinya bisa
diperdalam sehingga ekspresi dan pemilihan kata-kata dalam puisi lebih dipahami.
Meskipun bunyi merupakan sarana stilistika. Orang beranggapan bahwa pengkajian
stilistika lebih sering dan tepat diterapkan pada karya beragam puisi, karena struktur
puisi lebih singkat dan padat dengan kata yang umum, terutama dalam pengkajian
struktural, pengkajian dilakukan pada tataran linguistik.

Al-Ma’ruf (2009:47) menyatakan bahwa untuk mengkaji karya sastra dengan


pendekatan stilistika, maka ada aspek-aspek yang harus diperhatikan, yaitu gaya
bunyi (fonem), gaya kata (diksi), gaya kalimat (sintaksis), dan citraan.
C. METODE PENELITIAN

Penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan, yang tidak terbatas pada


waktu maupun tempat penelitian. Objek penelitian ini adalah puisi Surat untuk ibu
karya Joko Pinurbo yang dimuat dalam harian Kompas pada tanggal 24 Desember
2016 dengan dikaji menggunakan pendekatan stilistika. Penelitian ini menggunakan
pendekatan analisis stilistika, yaitu pendekatan dengan melihat gaya bunyi, gaya kata,
gaya kalimat, dan citraan.

Penelitian menggunakan metode penelitian kualitatif deskriptif. Hal tersebut


dikarenakan stilistika merupakan data kualitatif, yaitu data yang disajikan dalam
bentuk kata verbal. Penelitian ini cara kerja participant observation yaitu peneliti
sebagai instrument memasuki dunia data yang ditelitinya, memahami, dan terus-
menerus menyistemtikan objek yang diteliti berupa stilistika puisi surat untuk ibu.
Setelah data terkumpul, kemudian data akan direduksi, disajikan dan ditarik
kesimpulan.

D. HASIL DAN PEMBAHASAN

Pengkajian stilistika akan dibagi dalam empat aspek, yaitu gaya bunyi, gaya
kata, gaya kalimat, dan citraan. Berikut ini akan diuraikan secara jelas mengenai
keempat aspek tersebut.

Surat untuk Ibu


Joko Pinurbo

Akhir tahun ini saya tak bisa pulang, Bu.


Saya lagi sibuk demo memperjuangkan nasib saya
yang keliru. Nantilah, jika pekerjaan demo
sudah kelar, saya sempatkan pulang sebentar.
Oh ya, Ibu masih ingat Bambung ’kan?
Itu teman sekolah saya yang dulu sering numpang
makan dan tidur di rumah kita. Saya baru saja
bentrok dengannya gara-gara urusan politik
dan uang. Beginilah Jakarta, Bu, bisa mengubah
kawan menjadi lawan, lawan menjadi kawan.

Semoga Ibu selalu sehat bahagia bersama penyakit


yang menyayangi Ibu. Jangan khawatirkan
keadaan saya. Saya akan normal-normal saja.
Sudah beberapa kali saya mencoba meralat
nasib saya dan syukurlah saya masih dinaungi
kewarasan. Kalaupun saya dilanda sakit
atau bingung, saya tak akan memberi tahu Ibu.
Selamat Natal, Bu. Semoga hatimu yang merdu
berdentang nyaring dan malam damaimu
diberkati hujan. Sungkem buat Bapak di kuburan.

(2016)

1. Gaya Bunyi (Fonem)

Bunyi, dalam puisi memiliki peran yang penting, yaitu untuk menimbulkan
efek dan kesan tertentu. Bunyi dapat menekankan arti kata, mengintensifkan makna
kata dan kalimat, bahkan dapat mendukung penciptaan suasana tertentu dalam puisi.
Puisi “Surat Untuk Ibu” karya Joko Pinurbo terdiri atas tiga bait. Gaya bunyi pada
puisi tersebut adalah sebagai berikut.

Bait pertama terdiri atas empat baris. Keseluruhan bait tersebut didominasi
oleh bunyi vokal /a/. Hal ini dapat kita lihat pada baris pertama, yaitu Akhir tahun ini
saya tak bisa pulang, Bu. Begitu pula pada baris kedua, yaitu Saya lagi sibuk demo
memperjuangkan nasib saya. Baris ketiga masih di dominasi oleh bunyi vokal /a/
yaitu pada kata yang, nantilah, jika, dan pekerjaan. Bait keempat, terdapat beberapa
gaya bunyi yang menarik, yaitu 1) pengulangan bunyi vokal /a/ pada setiap kata
dalam baris ini, yaitu sudah kelar, saya sempatkan pulang sebentar; 2) terdapat
aliterasi (s), yaitu pada kata sudah, saya, sempatkan, sebentar; 3) terdapat rima datar
(kata-kata yang berima terdapat dalam satu baris), yaitu pada kata kelar dan sebentar.
Bait kedua terdiri atas enam baris. Keseluruhan bait tersebut didominasi oleh
bunyi vokal /u/, kecuali pada baris ke enam. Bunyi vokal /u/ pada baris pertama
hingga kelima dapat dilihat pada kutipan berikut ini.

Oh ya, Ibu masih ingat Bambung ’kan?


Itu teman sekolah saya yang dulu sering numpang
makan dan tidur di rumah kita. Saya baru saja
bentrok dengannya gara-gara urusan politik
dan uang. Beginilah Jakarta, Bu, bisa mengubah

Baris keenam lebih menonjol dalam analisis gaya bunyi. Hal ini dikarenakan terdapat
rima datar “an” yang terbentuk akibat adanya pengulangan kata pada baris yang
sama, yaitu kawan menjadi lawan, lawan menjadi kawan.

Bait ketiga terdiri atas sepuluh baris. Secara keseluruhan, bait ini didominasi
oleh bunyi vokal /a/. Bentuk dominasi tersebut dapat dilihat pada kutipan berikut ini.

Semoga Ibu selalu sehat bahagia bersama penyakit


yang menyayangi Ibu. Jangan khawatirkan
keadaan saya. Saya akan normal-normal saja.
Sudah beberapa kali saya mencoba meralat
nasib saya dan syukurlah saya masih dinaungi
kewarasan. Kalaupun saya dilanda sakit
atau bingung, saya tak akan memberi tahu Ibu.
Selamat Natal, Bu. Semoga hatimu yang merdu
berdentang nyaring dan malam damaimu
diberkati hujan. Sungkem buat Bapak di kuburan.

Aliterasi bunyi (s) terlihat mencolok pada baris pertama, yaitu pada kata semoga,
selalu, sehat. Kemudian, pada baris keempat terdapat aliterasi (m), yaitu pada kata
mencoba dan meralat. Gaya bunyi semakin bervariasi pada bait ini dengan
ditemukannya rima datar pada: 1) baris kedelapan, yaitu kata Bu, hatimu, merdu; 2)
baris kesembilan, yaitu pada kata berdentang dan nyaring; 3) pada baris kesepuluh
yaitu pada kata hujan dan kuburan.
Berdasarkan kajian gaya bunyi di atas, dapat dikemukakan bahwa puisi “Surat
Untuk Ibu” karya Joko Pinurbo memanfaatkan pengulangan bunyi dan pengulangan
kata untuk memperoleh efek estetis. Pada bait terakhir misalnya, dominasi bunyi
vokal /u/ mampu menciptakan nada dan suasana yang sendu, yaitu pada larik Semoga
hatimu yang merdu berdentang nyaring dan malam damaimu diberkati hujan.
Sungkem buat Bapak di kuburan. Efek estetis juga dapat dilihat pada pemilihan kata
kelar (bait pertama, baris keempat) dibandingkan kata selesai. Kata ini dipilih agar
dapat disandingkan dengan kata sebentar, sehingga terciptalah rima baris yang dapat
menambah nilai estetis. Dengan demikian, secara keseluruhan, pemberdayaan gaya
bunyi dengan adanya kombinasi bunyi dan rima pada puisi tersebut, berhasil
menciptakan efoni (bunyi yang merdu), sehingga menimbulkan suasana dan
menciptakan efek estetis.

2. Gaya Kata (Diksi)

Gaya kata/diksi bertujuan untuk menghidupkan lukisan dan memberikan


gambaran yang jelas sesuai dengan gagasan yang ingin dikemukan penyair dalam
puisi “Surat untuk Ibu”. Pemilihan kata tentu dilakukan dalam rangka kepentingan
tertentu. Gaya kata/diksi bisa dikelompokkan menjadi dua jenis kata, yaitu (1) kata
konkret dan (2) kata konotatif. Kata konkret disebut juga kata denotasi yang berarti
lugas dan sesuai dengan kamus, sedangkan konotasi adalah arti kias, yang
diasosiasikan atau disarankannya.

Secara keseluruhan dalam puisi “Surat untuk Ibu” menggunakan kata-kata


konotatif. Artinya, terdapat kata kiasan untuk mewakili makna tertentu. Adapun kata-
kata konkret yang mewakili puisi “Surat untuk Ibu”, seperti pulang, demo, nasib,
Jakarta, teman, bentrok, politik, Natal, dan ibu. Penggunaan kata-kata konotatif
dalam puisi itu terutama pemanfaatan alegori, pertanyaaan retoris, paradoks,
perbandingan, dan metafora.
Puisi “Surat untuk Ibu” menyiratkan cerita singkat yang mengandung makna
kiasan. Jadi, penyair mencoba melukiskan perasaannya melalui cerita singkat yang
memiliki makna tersirat. Makna tersebut tampak kondisi yang bertentangan antara
bertahan hidup di Jakarta dan bertemu ibunya di kampung. Joko Pinurbo
menunjukkan kondisi bentrok politik di ibukota yang dapat berpengaruh pada seluruh
aspek, seperti hubungan antar teman, keluarga, dan rekan kerja. Surat ini sebagai
bentuk perasaan penyair ang sedang berada di lingkaran setan sehingga tidak
memiliki banak waktu untuk bertemu keluarga, terutama ibu. Selain itu, berikut
analisis kata konotatif sebagai pembentuk majas.

a. Bait 1 (Pertama)

Pada bait pertama, penyair memanfaatkan oksimoron pada kata-kata


memperjuangkan nasib saya yang keliru. Maksudnya, ada gabungan kata-kata yang
bertentangan untuk mencapai efek tertentu. Kata “memperjuangkan” seharusnya
digunakan untuk sesuatu hal yang positif atau baik, tetapi Joko Pinurbo memilih kata
“nasib yang keliru”. Ada makna tersirat, yaitu bentuk tindakan atau perasaan dari
penyair yang tidak bisa berubah atau lepas dari kondisi yang salah.

b. Bait 2 (Kedua)

Erotesis atau pertanyaan retoris dalam bait kedua tampak dari bentuk interogatif.
Kata-kata ingat Bambang kan? menunjukkan adanya efek yang lebih mendalam dan
penekanan yang sama sekali tidak menghendaki adanya suatu jawaban. Pertanyaan
retoris tersebut juga sebagai bentuk perbandingan antara waktu dulu dan sekarang.
Unsur alegori dalam puisi menceritakan bahwa Bambang yang dulu adalah sahabat
baik dan dekat dengan penyair kemudian seiringnya waktu ketika di dunia kerja atau
politik menjadi “lawan” yang menyebabkan adanya perselisihan. Hal tersebut tampak
pada kata-kata, seperti makan dan tidur di rumah, bentrok urusan politik dan uang,
lawan jadi kawan, serta kawan jadi lawan.
c. Bait 3 (Ketiga)

Pada bait ketiga, penyair menggunakan kata-kata bahagia bersama penyakit


yang menyayangi ibu menunjukkan adanya gaya bahasa yang mengandung
pertentangan yang nyata dengan fakta-fakta yang ada. Jadi, kata-kata konotatif
tersebut memanfaatkan majas paradoks. Penyair mengibaratkan juga bahwa penyakit
yang sudah lama dirasakan ibunya sebagai bentuk wujud yang tidak selalu perlu
dikhawatirkan atau dikeluhkan. Kata-kata seperti, penyakit, menyayangi
menunjukkan bahwa penyair memberikan rasa tenang kepada ibunya bahwa penyakit
yang diderita sebagai teman atau diri sendiri yang wajib selalu disayangi agar tidak
menimbulkan rasa resah. Keseluruhan kata-kata dalam bait ini menunjukkan
kelanjutan cerita dari bait 1 dan 2 yang sudah pada proses pesan dan harapan penyair
kepada ibunya.

d. Bait 4 (Keempat)

Penyair sudah memakai makna konotatif bermajas metafora pada kata-kata


hatimu yang merdu berdentang nyaring. Penyair mengibaratkan hati ibunya selalu
memiliki merdu yang nyaring. Artinya, hati ibunya sangat baik untuknya. Pada bait
ini, penyair sudah menunjukkan pada tahap penutupan atau perpisahan dengan ibunya
dan memberikan ucapan “Natal” dan kata “sungkem. Kata “Natal” juga
menginterpretasikan setting waktu pada puisi ini atau kondisi puisi dengan penyair
saat itu.

3. Gaya Kalimat
Setiap sajak dalam puisi memerlukan kepadatan dan ekspresivitas karena
sajak tersebut hanya mengemukakan inti dariapa yang ingin disampaikan
olehpengarang kepada pembaca. Oleh karena itu, hanya yang perlu dinyatakan saja
yang disampaikan secara tersurat sedangkan kalimat-kalimat yang lain dinyatakan
secara implisit, hanya tersirat saja. Gaya kalimat demikian disebut gaya kalimat
implisit. Kepadatan kalimat dengan gaya implisit juga terdapat dalam puisi Surat
untuk Ibu karya Joko Pinurbo.
Pada bait satu, terdapat kata yang diimplisitkan, yakni kata “Mohon maaf”
yang seharusnya terdapat di awal kalimat kedua pada bait satu. Jadi, kalimat kedua
pada bait satu seharusnya berbunyi:
(Mohon maaf)/ Akhir tahun ini saya tak bisa pulang, Bu/.

Demikian pula kalimat ketiga pada bait satu tersebut terdapat bagian kalimat yang
diimplisitkan, yakni “untuk”. Bunyi yang tepat pada baris ketiga ini, sebagai berikut.
/Nantilah, jika pekerjaan demo sudah kelar, saya sempatkan (untuk) pulang
sebentar/.

Kedua kata baik terdapat pada kalimat pertama maupun ketiga ini sengaja tidak
ditampilkan atau diimplisitkan agar kalimat tersebut terasa lebih padat dan efektif.
Pada bait dua, pemadatan juga dilakukan penyair dengan mengimplisitkan
bagian kalimat tertentu. Pada baris pertama, sebenarnya terdapat kata “dengan” di
depan kata “Bambang”.
/Oh ya, Ibu masih ingat (dengan) Bambung ’kan?/.

Akan tetapi, kata tersebut sengaja diimplisitkan sehingga menjadi kalimat yang lebih
efektif.Pada baris kedua kalimat kata ganti orang ketiga juga diimplisitkan, yaitu
“Bambang” menjadi “itu”.Seharusnya, kalimat tersebut berbunyi sebagai berikut.
/(Bambang) Itu teman sekolah saya yang dulu sering numpang makan dan
tidur di rumah kita./

Penggantian kata ganti orang tersebut tidak mengganggu hubungan antar kalimat
melainkan justru menambah efektifitas kalimat dan menimbulkan efek makna khusus
sekaligus mampu mencapai efek estetis. Kalimat ketiga dan keempat pada bait kedua
juga terdapat gaya implisit yakni dihilangkannya kata “mengalami” sebelum kata
“bentrok”, kata “kehidupan” danawalan “-di” sebelum kata “Jakarta” serta kata “dan”
sebelum kata “lawan”.
/Saya baru saja (mengalami) bentrok dengannya gara-gara urusan politik
dan uang./
/Beginilah (kehidupan) (di) Jakarta, Bu, bisa mengubah kawan menjadi
lawan, (dan) lawan menjadi kawan./

Dengan diimplisitkannya kata “mengalami”, “kehidupan”, “di”, dan “dan” tersebut,


kalimat menjadi lebih ekspresif dan efektif.
Bait ketiga pada baris pertama dan kedua juga terdapat kata yang
diimplisitkan. Kata “dan” sesudah kata “sehat”, kata “dengan” sesudah kata
“bersama”, dan kata ”mohon” atau “tolong” di awal kalimat ketiga sebelum kata
“jangan”.
/Semoga Ibu selalu sehat (dan) bahagia bersama (dengan) penyakityang
menyayangi Ibu./

(Mohon) atau (Tolong)/Jangan khawatirkankeadaan saya./

Bait keempat pada keseluruhan kalimat juga mengandung kata yang


diimplisitkan. Padabaris pertama terdapat kata “saya” dan “ucapkan” sebelum kata
“selamat”. Pada baris kedua terdapat kata “bersuara” sebelum kata “merdu”, kata
“dengan” sesudah kata “berdentang”, serta kata ”tetesan” dan “air” sebelum kata
“hujan”. Adapun pada kalimat ketiga terdapat kata “sampaikan” di awal kalimat
sebelum kata “sungkem”
(Saya) (ucapkan)/Selamat Natal, Bu./

/Semoga hatimu yang (bersuara) merdu berdentang (dengan) nyaring dan


malam damaimu diberkati (tetesan) (air) hujan./

(Sampaikan)/Sungkem buat Bapak di kuburan./

Dari kajian gaya kalimat di atas, dapat dikemukakan bahwa dalam puisi Surat
untuk Ibu karya Joko Pinurbo tersebut terlihat kalimat-kalimat mengalami pemadatan
dengan gaya implisit. Pemadatan kalimat dengan gayaimplisit initidak
menggangguhubungan antar kalimat melainkan justrumenambah efektivitas kalimat
dan menimbulkan efek makna khusu ssekaligus mampu mencapai efekestetis.
4. Citraan
a. Citraan visual

Citraan visual pada puisi surat untuk ibu ditunjukkan melalui baris pertama
bait kedua puisi yang berbunyi

Oh ya, ibu masih ingat Bambang kan?

Citraan visual yang ditonjolkan pada baris ini diperlihatkan melalui kalimat ”masih
ingat Bambang” . kata “ingat” merepresentasikan proses penyimpanan memori
manusia yang didapat melalui hasil olah pancaindera, yang dapat berupa indera
penciuman, pendengaran, maupun penglihatan. Pada baris ini, pancaindera yang
ditonjolkan adalah penglihatan, dengan mengacu pada seseorang bernama
“Bambang”, sehingga baris tersebut mengungkapkan citra visual dan dapat membuat
pembaca membayangkan seseorang bernama “Bambang” bergantung referensi
masing-masing pembaca mengenai ingatan tersebut.

b. Citraan kemarahan

Citraan kemarahan merupakan citraan yang menggambarkan rasa marah


dalam karya sastra, sehingga seolah-olah pembaca dapat merasakan kemarahan yang
terdapat dalam karya sastra. citraan kemaraahn pada puisi surat untuk ibu ditunjukkan
melalui baris kedua sampai keempat bait kedua puisi yang berbunyi

Itu teman sekolah saya yang dulu sering numpang


Makan dan tidur di rumah kita. Saya baru saja
Bentrok dengannya gara-gara urusan politik

Citraan kemarahan yang ditonjolkan pada baris ini diperlihatkan melalui kalimat
“saya baru saja bentrok dengannya gara-gara urusan politik” disini kemarahan penulis
diperlihatkan melalui kalimat tersebut. Kemarahan penyair pun diungkapkan karena
salah satu temannya yang sering makan dan tidur di rumah penyair, bentrok dengan
penyair hanya gara-gara masalah politik. Hal ini menjelaskan kemarahan penyair
kepada teamannya yang dianggap tidak tahu diri dan tidak tahu berterima kasih
kepada penyair.

c. Citraan kekotaan

Citraan kekota-kotaan merupakan citraan yang menggambarkan suasana


maupun keadaan sosial perkotaan yang terdapat dalam karya sastra, sehingga
pembaca dapat merasakan bagaimana kondisi yang terjadi di kota. Citraan kekotaan
pada puisi surat untuk ibu ditunjukkan melalui baris kelima sampai dengan baris
keenam bait kedua yang berbunyi

dan uang. Beginilah Jakarta, Bu, bisa mengubah


kawan menjadi lawan, lawan menjadi kawan

melalui baris tersebut diperlihatkan kondisi kota Jakarta yang begitu menakutkan.
Citra kota metropolitan yang sanggup mengubah segalanya diperlihatkan dengan jelas
melalui kalimat “bisa mengubah kawan menjadi lawan, lawan menjadi kawan”.
Baris ini berkaitan erat dengan baris sebelumnya yang menunjukkan kemarahan
penyair akibat berubahnya sikap temannya gara-gara kota Jakarta.

d. Citra auditori
Citra auditori atau pendengaran merupakan citraan yang menggambarkan
pendengaran yang terdapa dalam puisi. Citraan ini mampu membuat pembaca seolah-
olah mampu mendengar apa yang penyair dengar. Citraan auditori pada puisi surat
untuk ibu ditunjukkan melalui baris pertama dan kedua pada bait keempat yang
berbunyi:
Selamat Natal, Bu. Semoga hatimu yang merdu
Berdentang nyaring dan malam damaimu
Citraan auditori yang ditonjolkan dalam baris ini ditunjukkan dalam kalimat “semoga
hatimu yang merdu berdentang nyaring dan malam damaimu”. Kalimat tersebut
seolah-olah membuat pembaca mampu mendengarkan suara merdu yang dimaksud
oleh penyair yang berasal dari suara hati ibunya. Suara denting tersebut berhubungan
dengan hari Natal, dimana suara merdu tersebut seolah-olah disamakan dengan suara
lonceng Natal.

e. Citra kesedihan
Citraan kesedihan meruppakan citraan yang menggambarkan suasana sedih
yang terdapat alam puisi. Citraan ini mampu membuat pembacca seolah-olah turut
merasakan kesedihan yang dialami oleh penyair. Citraan kesedihan pada puisi surat
untuk ibu ditunjukkan melalui baris terakhir pada bait keempat yang berbunyi:
Diberkati hujan. Sungkem buat bapak di kuburan
Citraan kesedihan yang ditonjolkan dalam baris ini ditunjukkan dalam kalimat
“sungkem buat bapak di kuburan”. Citraan ini menggambarkan suasana sedih penyair
yang sudah ditinggal mati ayahnya, kesedihan tersebut ditunjukkan penyair melalui
rasa rindu terhadap sang ayah.

DAFTAR PUSTAKA

Al-Ma’ruf, Ali Imron. 2009. Teori, Metode, dan Aplikasi Pengkajian Estetika
Bahasa. Solo : Cakra Books.

Aminnuddin. 1997. Stilistika, Pengantar Memahami Karya Sastra. Semarang: CV.


IKIP Semarang Press.

Endraswara, Suwardi. 2011. Metodelogi Penelitian Sastra. Yogyakarta: CAPS.

Nurgiyantoro, Burhan. 2005. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta : Gajah Mada


University Press.

Ratna, Nyoman Kutha. 2011. Stilistika, Kajian Puitika Bahasa, dan Budaya.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Waluyo, Herman J. 2003. Pengkajian Sastra Rekaan. Salatiga : Widyasari Press

Anda mungkin juga menyukai