Analisis Stilistika Puisi Surat Untuk Ib
Analisis Stilistika Puisi Surat Untuk Ib
A. PENDAHULUAN
Dengan demikian, patutlah puisi dikaji dari berbagai teori, metode, pendekatan,
dan strategi untuk mengungkapkan makna yang terkandung di dalamnya. Adapun
teori atau pendekatan yang akan diterapkan dalam tulisan ini adalah teori atau
pendekatan analisis stilistika yang dewasa ini merupakan salah satu teori sastra yang
dimanfaatkan dalam bidang kritik sastra di Indonesia. Stilistika memiliki hal-hal
mendasar untuk dijadikan sebagai studi stilistik dalam konteks kajian sastra yang bisa
dihubungkan dengan kegiatan penelitian sastra, kritik sastra, dan apresiasi sastra.
Isu politik dalam puisi ini disajikan dengan “indah” oleh Joko Pinurbo. Puisi
“Surat untuk Ibu” terbit di koran Kompas edisi 24 Desember 2016. Jika kita melihat
kondisi Indonesia pada saat itu, maka kita dapat mengaitkannya dengan peristiwa
penistaan agama yang dilakukan oleh Ahok. Momen tersebut juga bertepatan pada
“Hari Natal” yang dalam puisi juga diungkapkan oleh Joko Pinurbo. Segala bentuk isi
hati dan kritik yang diungkapkan pengarang melalui puisi ini, mampu dibungkus
dengan estetis, sehingga pengkajian stilistika pada puisi ini sangat menarik untuk
dilakukan.
Menurut Al-Ma’ruf (2009:68), style atau ‘gaya bahasa’ dalam karya sastra
merupakan sarana sastra yang turut memberikan kontribusi signifikan dalam
memperoleh efek estetik dan penciptaan makna. Oleh karena itu, Al-Ma’ruf
(2009:68)menyatakan bahwa, stilistika merupakan studi tentang gaya yang meliputi
pemakaian gaya bahasa dalam karya sastra, merupakan bagian penting bagi ilmu
sastra sekaligus bagi studi linguistik. Hal ini akan berarti puisi dengan stilistika harus
menyatu.
Al-Ma’ruf (2009: 69) juga berpendapat bahwa stilistika adalah ilmu yang
mengkaji style yakni wujud performansi bahasa dalam karya sastra melalui
pemberdayaan segenap potensi bahasa yang unik dan khas meliputi bunyi, diksi,
kalimat, wacana, bahasa figuratif, dan citraan. Senada dengan itu, stilistika (stylistic)
dapat diterjemahkan sebagai ilmu tentang gaya. Secara etimologis stylistic
berhubungan dengan kata style yaitu gaya. Dengan demikian stilistika adalah ilmu
pemanfaatan bahasa dalam karya sastra. Penggunaan gaya bahasa secara khusus
dalam karya sastra. Gaya bahasa yang muncul ketika pengarang mengungkapkan
idenya. Gaya bahasa ini merupakan efek seni dan dipengaruhi oleh hati nurani.
Melalui gaya bahasa itu seorang penyair mengungkapkan idenya. Pengungkapan ide
yang diciptakan melalui keindahan dengan gaya bahasa pengarangnya (Endraswara,
2011:72—73).
Dalam pengertiannya secara luas stilistika merupakan ilmu tentang gaya,
meliputi berbagai cara yang dilakukan dalam kegiatan manusia (Ratna, 2011:167).
Jadi, jelas bahwa stilistika merupakan studi tentang style atau gaya bahasa yang
menjadi segenap daya dalam menimbulkan makna yang sebenarnya baik dari sudut
estetik dan tujuan pemaknaanya yang bersifat khas. Penelitian stilistika menuju
kepada bahasa, dalam hal ini merupakan bahasa yang khas. Menurut Ratna (2011:14)
bahasa yang khas bukan pengertian bahwa bahasa dan sastra berbeda dengan bahasa
sehari-hari dan bahasa karya ilmiah. Ciri khasnya yaitu pada proses pemilihan dan
penyusunan kembali. Hal tersebut merupakan analog dengan kehidupan sehari-hari
dan merupakan proses seleksi, manipulasi dan mengombinasikan kata-kata. Bahasa
yang memiliki unsur estetis, berbagai fungsi mediasi, dan emonsionalitas.
Pengkajian stilistika akan dibagi dalam empat aspek, yaitu gaya bunyi, gaya
kata, gaya kalimat, dan citraan. Berikut ini akan diuraikan secara jelas mengenai
keempat aspek tersebut.
(2016)
Bunyi, dalam puisi memiliki peran yang penting, yaitu untuk menimbulkan
efek dan kesan tertentu. Bunyi dapat menekankan arti kata, mengintensifkan makna
kata dan kalimat, bahkan dapat mendukung penciptaan suasana tertentu dalam puisi.
Puisi “Surat Untuk Ibu” karya Joko Pinurbo terdiri atas tiga bait. Gaya bunyi pada
puisi tersebut adalah sebagai berikut.
Bait pertama terdiri atas empat baris. Keseluruhan bait tersebut didominasi
oleh bunyi vokal /a/. Hal ini dapat kita lihat pada baris pertama, yaitu Akhir tahun ini
saya tak bisa pulang, Bu. Begitu pula pada baris kedua, yaitu Saya lagi sibuk demo
memperjuangkan nasib saya. Baris ketiga masih di dominasi oleh bunyi vokal /a/
yaitu pada kata yang, nantilah, jika, dan pekerjaan. Bait keempat, terdapat beberapa
gaya bunyi yang menarik, yaitu 1) pengulangan bunyi vokal /a/ pada setiap kata
dalam baris ini, yaitu sudah kelar, saya sempatkan pulang sebentar; 2) terdapat
aliterasi (s), yaitu pada kata sudah, saya, sempatkan, sebentar; 3) terdapat rima datar
(kata-kata yang berima terdapat dalam satu baris), yaitu pada kata kelar dan sebentar.
Bait kedua terdiri atas enam baris. Keseluruhan bait tersebut didominasi oleh
bunyi vokal /u/, kecuali pada baris ke enam. Bunyi vokal /u/ pada baris pertama
hingga kelima dapat dilihat pada kutipan berikut ini.
Baris keenam lebih menonjol dalam analisis gaya bunyi. Hal ini dikarenakan terdapat
rima datar “an” yang terbentuk akibat adanya pengulangan kata pada baris yang
sama, yaitu kawan menjadi lawan, lawan menjadi kawan.
Bait ketiga terdiri atas sepuluh baris. Secara keseluruhan, bait ini didominasi
oleh bunyi vokal /a/. Bentuk dominasi tersebut dapat dilihat pada kutipan berikut ini.
Aliterasi bunyi (s) terlihat mencolok pada baris pertama, yaitu pada kata semoga,
selalu, sehat. Kemudian, pada baris keempat terdapat aliterasi (m), yaitu pada kata
mencoba dan meralat. Gaya bunyi semakin bervariasi pada bait ini dengan
ditemukannya rima datar pada: 1) baris kedelapan, yaitu kata Bu, hatimu, merdu; 2)
baris kesembilan, yaitu pada kata berdentang dan nyaring; 3) pada baris kesepuluh
yaitu pada kata hujan dan kuburan.
Berdasarkan kajian gaya bunyi di atas, dapat dikemukakan bahwa puisi “Surat
Untuk Ibu” karya Joko Pinurbo memanfaatkan pengulangan bunyi dan pengulangan
kata untuk memperoleh efek estetis. Pada bait terakhir misalnya, dominasi bunyi
vokal /u/ mampu menciptakan nada dan suasana yang sendu, yaitu pada larik Semoga
hatimu yang merdu berdentang nyaring dan malam damaimu diberkati hujan.
Sungkem buat Bapak di kuburan. Efek estetis juga dapat dilihat pada pemilihan kata
kelar (bait pertama, baris keempat) dibandingkan kata selesai. Kata ini dipilih agar
dapat disandingkan dengan kata sebentar, sehingga terciptalah rima baris yang dapat
menambah nilai estetis. Dengan demikian, secara keseluruhan, pemberdayaan gaya
bunyi dengan adanya kombinasi bunyi dan rima pada puisi tersebut, berhasil
menciptakan efoni (bunyi yang merdu), sehingga menimbulkan suasana dan
menciptakan efek estetis.
a. Bait 1 (Pertama)
b. Bait 2 (Kedua)
Erotesis atau pertanyaan retoris dalam bait kedua tampak dari bentuk interogatif.
Kata-kata ingat Bambang kan? menunjukkan adanya efek yang lebih mendalam dan
penekanan yang sama sekali tidak menghendaki adanya suatu jawaban. Pertanyaan
retoris tersebut juga sebagai bentuk perbandingan antara waktu dulu dan sekarang.
Unsur alegori dalam puisi menceritakan bahwa Bambang yang dulu adalah sahabat
baik dan dekat dengan penyair kemudian seiringnya waktu ketika di dunia kerja atau
politik menjadi “lawan” yang menyebabkan adanya perselisihan. Hal tersebut tampak
pada kata-kata, seperti makan dan tidur di rumah, bentrok urusan politik dan uang,
lawan jadi kawan, serta kawan jadi lawan.
c. Bait 3 (Ketiga)
d. Bait 4 (Keempat)
3. Gaya Kalimat
Setiap sajak dalam puisi memerlukan kepadatan dan ekspresivitas karena
sajak tersebut hanya mengemukakan inti dariapa yang ingin disampaikan
olehpengarang kepada pembaca. Oleh karena itu, hanya yang perlu dinyatakan saja
yang disampaikan secara tersurat sedangkan kalimat-kalimat yang lain dinyatakan
secara implisit, hanya tersirat saja. Gaya kalimat demikian disebut gaya kalimat
implisit. Kepadatan kalimat dengan gaya implisit juga terdapat dalam puisi Surat
untuk Ibu karya Joko Pinurbo.
Pada bait satu, terdapat kata yang diimplisitkan, yakni kata “Mohon maaf”
yang seharusnya terdapat di awal kalimat kedua pada bait satu. Jadi, kalimat kedua
pada bait satu seharusnya berbunyi:
(Mohon maaf)/ Akhir tahun ini saya tak bisa pulang, Bu/.
Demikian pula kalimat ketiga pada bait satu tersebut terdapat bagian kalimat yang
diimplisitkan, yakni “untuk”. Bunyi yang tepat pada baris ketiga ini, sebagai berikut.
/Nantilah, jika pekerjaan demo sudah kelar, saya sempatkan (untuk) pulang
sebentar/.
Kedua kata baik terdapat pada kalimat pertama maupun ketiga ini sengaja tidak
ditampilkan atau diimplisitkan agar kalimat tersebut terasa lebih padat dan efektif.
Pada bait dua, pemadatan juga dilakukan penyair dengan mengimplisitkan
bagian kalimat tertentu. Pada baris pertama, sebenarnya terdapat kata “dengan” di
depan kata “Bambang”.
/Oh ya, Ibu masih ingat (dengan) Bambung ’kan?/.
Akan tetapi, kata tersebut sengaja diimplisitkan sehingga menjadi kalimat yang lebih
efektif.Pada baris kedua kalimat kata ganti orang ketiga juga diimplisitkan, yaitu
“Bambang” menjadi “itu”.Seharusnya, kalimat tersebut berbunyi sebagai berikut.
/(Bambang) Itu teman sekolah saya yang dulu sering numpang makan dan
tidur di rumah kita./
Penggantian kata ganti orang tersebut tidak mengganggu hubungan antar kalimat
melainkan justru menambah efektifitas kalimat dan menimbulkan efek makna khusus
sekaligus mampu mencapai efek estetis. Kalimat ketiga dan keempat pada bait kedua
juga terdapat gaya implisit yakni dihilangkannya kata “mengalami” sebelum kata
“bentrok”, kata “kehidupan” danawalan “-di” sebelum kata “Jakarta” serta kata “dan”
sebelum kata “lawan”.
/Saya baru saja (mengalami) bentrok dengannya gara-gara urusan politik
dan uang./
/Beginilah (kehidupan) (di) Jakarta, Bu, bisa mengubah kawan menjadi
lawan, (dan) lawan menjadi kawan./
Dari kajian gaya kalimat di atas, dapat dikemukakan bahwa dalam puisi Surat
untuk Ibu karya Joko Pinurbo tersebut terlihat kalimat-kalimat mengalami pemadatan
dengan gaya implisit. Pemadatan kalimat dengan gayaimplisit initidak
menggangguhubungan antar kalimat melainkan justrumenambah efektivitas kalimat
dan menimbulkan efek makna khusu ssekaligus mampu mencapai efekestetis.
4. Citraan
a. Citraan visual
Citraan visual pada puisi surat untuk ibu ditunjukkan melalui baris pertama
bait kedua puisi yang berbunyi
Citraan visual yang ditonjolkan pada baris ini diperlihatkan melalui kalimat ”masih
ingat Bambang” . kata “ingat” merepresentasikan proses penyimpanan memori
manusia yang didapat melalui hasil olah pancaindera, yang dapat berupa indera
penciuman, pendengaran, maupun penglihatan. Pada baris ini, pancaindera yang
ditonjolkan adalah penglihatan, dengan mengacu pada seseorang bernama
“Bambang”, sehingga baris tersebut mengungkapkan citra visual dan dapat membuat
pembaca membayangkan seseorang bernama “Bambang” bergantung referensi
masing-masing pembaca mengenai ingatan tersebut.
b. Citraan kemarahan
Citraan kemarahan yang ditonjolkan pada baris ini diperlihatkan melalui kalimat
“saya baru saja bentrok dengannya gara-gara urusan politik” disini kemarahan penulis
diperlihatkan melalui kalimat tersebut. Kemarahan penyair pun diungkapkan karena
salah satu temannya yang sering makan dan tidur di rumah penyair, bentrok dengan
penyair hanya gara-gara masalah politik. Hal ini menjelaskan kemarahan penyair
kepada teamannya yang dianggap tidak tahu diri dan tidak tahu berterima kasih
kepada penyair.
c. Citraan kekotaan
melalui baris tersebut diperlihatkan kondisi kota Jakarta yang begitu menakutkan.
Citra kota metropolitan yang sanggup mengubah segalanya diperlihatkan dengan jelas
melalui kalimat “bisa mengubah kawan menjadi lawan, lawan menjadi kawan”.
Baris ini berkaitan erat dengan baris sebelumnya yang menunjukkan kemarahan
penyair akibat berubahnya sikap temannya gara-gara kota Jakarta.
d. Citra auditori
Citra auditori atau pendengaran merupakan citraan yang menggambarkan
pendengaran yang terdapa dalam puisi. Citraan ini mampu membuat pembaca seolah-
olah mampu mendengar apa yang penyair dengar. Citraan auditori pada puisi surat
untuk ibu ditunjukkan melalui baris pertama dan kedua pada bait keempat yang
berbunyi:
Selamat Natal, Bu. Semoga hatimu yang merdu
Berdentang nyaring dan malam damaimu
Citraan auditori yang ditonjolkan dalam baris ini ditunjukkan dalam kalimat “semoga
hatimu yang merdu berdentang nyaring dan malam damaimu”. Kalimat tersebut
seolah-olah membuat pembaca mampu mendengarkan suara merdu yang dimaksud
oleh penyair yang berasal dari suara hati ibunya. Suara denting tersebut berhubungan
dengan hari Natal, dimana suara merdu tersebut seolah-olah disamakan dengan suara
lonceng Natal.
e. Citra kesedihan
Citraan kesedihan meruppakan citraan yang menggambarkan suasana sedih
yang terdapat alam puisi. Citraan ini mampu membuat pembacca seolah-olah turut
merasakan kesedihan yang dialami oleh penyair. Citraan kesedihan pada puisi surat
untuk ibu ditunjukkan melalui baris terakhir pada bait keempat yang berbunyi:
Diberkati hujan. Sungkem buat bapak di kuburan
Citraan kesedihan yang ditonjolkan dalam baris ini ditunjukkan dalam kalimat
“sungkem buat bapak di kuburan”. Citraan ini menggambarkan suasana sedih penyair
yang sudah ditinggal mati ayahnya, kesedihan tersebut ditunjukkan penyair melalui
rasa rindu terhadap sang ayah.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Ma’ruf, Ali Imron. 2009. Teori, Metode, dan Aplikasi Pengkajian Estetika
Bahasa. Solo : Cakra Books.
Ratna, Nyoman Kutha. 2011. Stilistika, Kajian Puitika Bahasa, dan Budaya.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.