Anda di halaman 1dari 3

Jurnal : kamis, 2 januari 2020

Ada sebuah cerita yang ingin kubagi. Tentang mereka yang menyadarkan aku, jika hidupku terlalu biasa.
Berbeda dengan mereka. Jika semua tentang diriku adalah hal yang biasa.

Dia, tiasya. Teman yang awalnya aku hendak jauhi. Namun takdir menarikku untuk dekat dengannya.
Rekan praktek yang membuatku ingin bersaing untuk menunjukkan bahwa aku lebih baik. Tadinya aku
ingin memutus hubungan pertemanan layaknya aku menyudahi dengan semua kawan lama. Aku tak bisa
beradaptasi dengan semua sikap manusia yang membuatku tak nyaman. Itu sebabnya aku tidak punya
banyak teman.

Selama aku sekolah, hanya Elfi, Denia, Finka, Novita, dan Syifani yang bisa aku anggap sebagai sahabat.
Sayangnya aku belum sedekat itu dengan sahabatku. Nyatanya kami bersahabat untuk membagi suka - -
khusus untukku. Sebutan sahabat hanya label semata. Masih banyak rahasia yang belum kubagi kepada
mereka.

Kemudian, menginjak SHS, aku kembali mendapat kawan. Namanya Delia. Dia baik, tapi sering marah-
marah. Dia tomboy, tapi mana ada cewek tomboy yang sibuk perawatan muka tapi katanya dia benci?
Dia pendiam tapi menyebalkan. Naasnya, rahasia tentang self harm-ku diketahui olehnya. Aku baru
menyesal sekarang. Karena aku merasa perannya tak lebih dari seorang teman yang akan ikut menjauh
jika kujauhi. Dia terlalu pasif, tidak akan bergerak sebelum digerakkan. Dan eeperti yang kubilang, aku
sedang menjauhinya. Aku baru menemukan ketidakcocokan yang membuatku tidak nyaman. Orang
bilang perbedaan membawa banyak warna. Sayangnya aku bukanlah si sabar yang akan terus bertahan
setidak nyaman apapun.

Kembali lagi. Dia Tiasya, teman yang juga tahu tentang rahasia self harm milikku. Kami sama. Sedang
berusaha menyembuhkan jiwa dari kefrustasian - - sebenarnya hanya dia, aku belum bisa melepas utuh
kebiasaan self harm-ku. Maaf, Yas. Aku belum menepati janji untuk bisa melepas siluet yang soalnya
sangat aku butuhkan. Jadi, awalnya dia adalah si introvert yang berusaha jadi ekstrovert. Sayangnya
tidak bisa. Penilaiannya salah. Dia adalah si ramah yang akan selalu memberi sapaan dengan senyum.
Berbanding balik denganku yang akan menunduk atau tidak merasa disapa karena terlalu cuek. Dia
adalah si kakak yang akan memberi nasehat tentang kesehatan jiwa - - katanya efek setelah jadi
subscriber channel youtube milik Dedy Susanto. Pertama kali aku membuka rahasia tentang self harm-
ku padanya adalah ketika dia yang bercerita tentang titik puncak kelelahannya yang berakhir dengan
tangis. Kala itu hari Jumat masih di penghubung November. Katanya, beban berat di hatinya
membuatnya sesak. Sebabnya adalah dia yang terlalu berambisi mengejar kesibukan. Dari PKL hingga
kerja paruh waktu. Motivasinya sebagaimana pebisnis pemula ataupun senior, menghasilkan uang. Dia
tinggal di rumah yang isinya bukan hanya dia dan ibunya - - kami sama-sama anak yatim, ada anak-anak
dari nenek - - ibu ibunya. Perihal alasannya ingin segera keluar dari rumah neneknya dan hidup bersama
ibunya didasari karena kehadiran om yang merepotkan. Aku saja tak habis pikir, saat dia bercerita
katanya omnya memilih untuk tetap berjualan padahal ibunya baru saja meninggal dan dimakamkan.
Dia lelah dengan aktivitas padatnya yang dipaksakan. Belum lagi target penjualan bisnisnya yang
memang harus selalu tercapai. Saat hari Jumat itu dia menyerah. Menemui pak Ratsongko dan
melakukan bimbingan konseling dengan beliau menjadi pilihannya. Katanya setelah kejadian itu, dia
malu setiap bertatap muka dengan beliau. Kendati saat itu pak Ratsongko sedang disibukkan dengan
organisasi binaannya - PIK, dan dia malah dengan tidak tahu diri mendesak beliau - - katanya. Begitu
konseling dimulai, Tiasya langsung meraung keras. Melepas semua beban dengan cerita yang terhambat
oleh sisa tangis. Hingga setelah maghrib, dia merasa bebas jiwanya. Bebannya lepas. Tapi dia merasa
kehampaan melingkupi selama beberapa bulan. Aku harus mengapresiasi inisiatifnya yang mulai
mencari pengobatan jiwanya dengan terapi psikologi. Hingga sampai menemukan channel milik Dedy
Susanto. Dan sekarang, dia sudah mulai bangkit dari sisa-sisa luka, dan menemukan jati dirinya sebagai
seorang introvert. Dia lebih fokus untuk menyibukkan diri memberi waktu untuk dirinya sendiri tanpa
kegiatan padat yang dulu dia geluti. Dan sekarang dia benar-benar telah menemukan dirinya yang
hilang. Satu-satunya mimpi yang masih ingin dia wujudkan adalah hidup berdua terlepas dari keluarga
yang terus ikut campur. Cita-citanya hanya ingin pergi bekerja di luar negeri, Negeri Sakura tepatnya. Dia
sudah mempersiapkan diri dari jauh-jauh hari. Dan kuharap mimpinya akan terwujud, sama seperti aku
yang juga sedang berjuang untuk tembus di UNY.

Setelah ia bercerita tentang rahasia itu, aku pun akhirnya ikut menceritakan tentang apa yang
kusembunyikan selama beberapa tahun ini. Yang tanpa kusadari, aku mengalami gangguan jiwa yang
menuntutku untuk menyakiti diriku sendiri. Aku telah berpikir, kecelakaan kecil hingga sekarang, tanpa
disadari aku menyakiti diriku sendiri. Remaja mana yang akan memecah jerawat yang baru tumbuh
dengan jarum? Atau menjambak rambutnya ketika mengingat hal memalukan tentang dirinya?
Sayangnya tanda-tanda itu tak kusadari. Awalnya aku takut terluka yang sesungguhnya. Luka kecil
dengan darah tak seberapa itu masih menyakitkan. Aku akan selalu berhati-hati untuk merawat hingga
sembuh. Yang kemudian aku kembali merusuhi bekas lukaku sendiri. Tapi semenjak aku menemukan
artikel tentang self-harm, mencari tahu, dan mendalaminya, lalu terjun ke dunianya, aku menemukan
diriku tidak lagi takut terluka. Darah seolah jadi teman setiaku bersama kesakitan yang mengalihkan rasa
sakit hatiku. Hingga aku berpikir, dari pada sakit hati tak berujung lebih baik aku terus menyakiti fisikku.
Karena aku jadi lupa tentang apa yang membuat hatiku terluka dan lebih fokus untuk menggores bagian
lenganku - - dimanapun yang bisa aku lukai asalkan nantinya tertutupi baju. Nyatanya selama aku
melakukan hal itu aku terus menyembunyikan ya dari ibuku. Hingga bekas lukanya diketahui, aku
beralasan itu hanyalah kecelakaan biasa. Sayangnya sampai sekarang aku masih menikmati dan tidak
ingin cepat sembuh. Karena masih banyak tumpukan tekanan yang kerap kali ku ingat saat sendiri
sampai membuatku ingin menghilang. Contohnya hadirnya kenangan yang memalukan saat dulu. Aku
benci kepada diriku sendiri.

Dari Tiasya aku menemukan kebiasaan baru. Mampir ke perpustakaan sekolah - - yang sering ku
kunjungi kala kelas 10 selain untuk pelajaran matematika aku menemukan banyak novel yang aku sukai
sejak dari smp.

Jurnal : Rabu, 15 Januari 2020


Hari ini aku berada di perjalanan untuk pergi ke Cilacap dalam rangka kunjungan ke kantor imigrasi.
Teman dudukku, Sekar --si Anak penuh problem(?)

Anda mungkin juga menyukai