Anda di halaman 1dari 22

BAB 13

SISTEM PEREKONOMIAN DALAM ISLAM


Oleh :
Nor Ainah, S.Th.I, M.Pd

A. Sistem Ekonomi Islam dan Kesejahteraan Umat


Al-Ghazali dalam kitabnya Ihya ’Ulum al-Din dan Al-Mustasfa fi ’Ilm al-Ushul,
mengartikan atau memaknai ilmu ekonomi sebagai sarana untuk mencapai tujuan akhirat adalah
dengan mencari nafkah (harta yang halal). Semua ilmu itu bermanfaat dan dapat digolongkan
menjadi dua kategori, yakni wajib dituntut secara Fardu ’Ain dan Fardu Kifayah (termasuk ilmu
ekonomi), dan tujuan hidup manusia adalah untuk mencapai kemaslahatan/ kesejahteraan hidup
(maslahah).
Berdasarkan deskripsi al-Ghazali di atas, pengertian ilmu ekonomi dapat diartikan
sebagai ilmu yang mempelajari tentang upaya manusia dalam memenuhi kebutuhan yang wajib
dituntut (fardu kifayah) berlandaskan etika syariah dalam upaya membawa dunia ke gerbang
kemaslahatan menuju akhirat. Definisi ini membawa kepada pemikiran bahwa ilmu ekonomi
memiliki dua dimensi, yakni dimensi ilahiyah dan dimensi insaniyah.1
Sedangkan pengertian kesejahteraan menurut Kamus Bahasa Indonesia berasal dari kata
sejahtera yang mempunyai makna aman, sentosa, makmur, dan selamat (terlepas dari segala
macam gangguan, kesukaran, dan sebagainya).2 Kata sejahtera mengandung pengertian dari
bahasa sansekerta catera yang berarti payung. Dalam konteks kesejahteraan, catera adalah orang
yang sejahtera, yakni orang yang dalam hidupnya bebas dari kemiskinan, kebodohan, ketakutan,
atau kekhawatiran sehingga hidupnya aman dan tentram, baik lahir maupun batin.3
Undang-Undang Nomor 13 tahun 1998 menjelaskan juga tentang arti dari kesejahteraan.
Kesejahteraan didefinisikan sebagai suatu tata kehidupan dan penghidupan sosial baik material
maupun spiritual yang diliputi rasa keselamatan, kesusilaan, dan ketentraman lahir batin yang
memungkinkan bagi setiap warga negara untuk mengadakan pemenuhan jasmani, rohani, dan

1
Abdur Rohman, Ekonomi Al-Ghazali, Menelusuri Konsep Ekonomi Islam dalam Ihya’ Ulum al-Din,
(Surabaya: Bina Ilmu, 2010), h. 53-57.
2
W.J.S. Poerwadarminto, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1999), h. 887.
3
Adi Fahrudin, Pengantar Kesejahteraan Sosial, (Bandung: Refika Aditama, 2012), h. 8.

1
sosial yang sebaik-baiknya bagi diri, keluarga, serta masyarakat dengan menjunjung tinggi hak
dan kewajiban asasi manusia sesuai dengan Pancasila.4
Kesejahteraan menurut al-Ghazali adalah tercapainya kemaslahatan. Kemaslahatan
sendiri merupakan terpeliharanya tujuan syara’. Manusia tidak dapat merasakan kebahagiaan dan
kedamaian batin melainkan setelah tercapainya kesejahteraan yang sebenarnya dari seluruh umat
manusia di dunia melalui pemenuhan kebutuhan-kebutuhan ruhani dan materi. Untuk mencapai
tujuan syara’ agar dapat terealisasinya kemaslahatan, beliau menjabarkan tentang sumber-sumber
kesejahteraan, yakni: terpeliharanya agama, jiwa, akal, keturunan dan harta. Harta merupakan
sarana yang penting dalam menciptakan kesejahteraan umat. Dalam hal tertentu harta juga dapat
membuat bencana dan malapetaka bagi manusia. Al-Ghazali menempatkan urutan prioritasnya
dalam urutan yang kelima dalam maqasid al-syari’ah. Keimanan dan harta benda sangat
diperlukan dalam kebahagiaan manusia. Namun imanlah yang membantu menyuntikkan suatu
disiplin dan makna, sehingga dapat menghantarkan harta sesuai tujuan syariah.5
Kesejahteraan masyarakat berdasarkan khazanah literatur Islam adalah kepemilikan
harta, meliputi kepemilikan individu, kepemilikan umum, dan kepemilikan negara. Pengelolaan
harta harus mencakup pemanfaatan dan pengembangan harta. Politik ekonomi Islam yang
dilaksanakan oleh negara untuk menjamin tercapainya semua kebutuhan pokok (primer) setiap
individu masyarakat secara keseluruhan, disertai jaminan yang memungkinkan setiap individu
untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan pelengkap (sekunder dan tersier) sesuai dengan
kemampuan mereka.6
Dalam menjalani kehidupan ini, memang akan terjadi perbedaan dan kesenjangan
ekonomi atau rezeki di antara pelaku ekonomi, karena hal tersebut merupakan sunnatullah.
Kondisi inilah yang secara agama akan menciptakan mekanisme ekonomi, yang berkelebihan
menolong yang kekurangan sehingga kesenjangan akan semakin menyempit walaupun tidak bisa
dihilangkan sama sekali. Dengan demikian hanya dengan tolong menolong dan saling
memberilah, maka kebutuhan manusia itu dapat terpenuhi, karena yang kaya membutuhkan yang
miskin dan sebaliknya yang miskin membutuhkan yang kaya.7

4
Adi Fahrudin, Pengantar Kesejahteraan Sosial..., h. 45.
5
Adi Fahrudin, Pengantar Kesejahteraan Sosial..., h. 84-86.
6
Muhammad Sholahuddin, World Revolution With Muhammad, (Sidoarjo: Mashun, 2009), h. 220-221.
7
Muhammad Nafik HR, Benarkah Bunga Haram? Perbandingan Sistem Bunga dengan Bagi Hasil &
Dampaknya Pada Perekonomian, (Surabaya: Amanah Pustaka, 2009), h. 16.

2
Ajaran ekonomi Islam tidak bisa dilepaskan dari sumber utamanya, yakni al-Quran,
hadis, dan khazanah Islam lainnya. Konsep-konsep ekonomi Islam yang didalamnya membahas
tentang kesejahteraan individu, keluarga, masyarakat, dan negara telah tergambar secara jelas
dalam ayat-ayat al-Quran. Kesejahteraan dalam perspektif ekonomi Islam tidak hanya berhenti
pada tataran konsep tetapi telah terwujud dalam praktek kehidupan Rasulullah saw dan para
sahabatnya. Implementasi nilai-nilai kesejahteraan ini tidak hanya dirasakan oleh umat Islam saat
itu tetapi juga umat non muslim, bahkan rahmat bagi seluruh alam hingga masa modern saat ini.
Kesejahteraan dalam perspektif ekonomi Islam adalah terpenuhinya kebutuhan materi
dan non materi, dunia dan di akhirat berdasarkan kesadaran pribadi dan masyarakat untuk patuh
dan taat (sadar) terhadap hukum yang dikehendaki oleh Allah swt melalui petunjuk-Nya dalam
al-Quran, melalui contoh dalam keteladanan Rasulullah saw, dan melalui ijtihad dan kebaikan
para ulama. Oleh karenanya kesejahteraan bukanlah sebuah cita-cita yang tanpa pengorbanan
tetapi membutuhkan perjuangan yang terus menerus dan berkesinambungan.
Ajaran Islam telah menjelaskan bahwa sesungguhnya tujuan dasar Islam adalah
terwujudnya kesejahteraan baik di dunia maupun akhirat. Dalam prakteknya, Rasulullah saw
membangun suatu perekonomian yang dulunya dari titik nol menjadi suatu perekonomian
raksasa yang mampu menembus keluar dari jazirah Arab. Pemerintahan yang di bangun
Rasulullah saw di Madinah mampu menciptakan suatu aktivitas perekonomian yang membawa
kemakmuran dan keluasan pengaruh pada masa itu.8
Kegiatan ekonomi telah menjadi sarana pencapaian kesejahteraan atau kemakmuran.
Nabi Muhammad saw memperkenalkan sistem ekonomi Islam. Hal ini berawal dari kerja sama
antara kaum Muhajirin dan Anshar. Sistem ekonomi Islam yang diperkenalkan, antara lain,
syirkah, qirad, dan khiyar dalam perdagangan. Selain itu, juga diperkenalkan sistem muzara’ah
dalam bidang pertanian dan perkebunan. Para sahabat juga melakukan perdagangan dengan
penuh kejujuran. Mereka tidak mengurangi timbangan dalam berdagang.
Semenjak hijrah ke Madinah, kehidupan telah banyak berubah. Para sahabat Nabi
Muhammad saw dari kaum Muhajirin bahu membahu dengan penduduk lokal Madinah dari
kaum Anshar dalam membangun kegiatan ekonomi. Berbagai bidang digeluti oleh beliau dan
para sahabatnya, baik itu pertanian, perkebunan, perdagangan maupun peternakan. Pasar-pasar
dibangun di Madinah. Kebun-kebun kurma menghasilkan panenan yang melimpah. Peternakan

8
Muhammad Sholahuddin, World Revolution wth Muhammad..., h. 46.

3
kambing menghasilkan susu yang siap dipasarkan maupun hanya sekedar untuk diminum. Dalam
sejarah, dikenal tokoh Islam yang terkenal dengan kekayaannya dan kepiawaiannya dalam
berdagang dan berbagai bidang lainnya.9 Mereka adalah Abdurahman bin Auf, Abu Bakar,
‘Umar bin Khattab, dan sebagainya. Mereka sadar dapat hidup di Madinah hanya dengan usaha
mereka sendiri. Masyarakat Madinah terus berupaya meningkatkan aktivitas ekonomi dengan
etos kerja yang tinggi. Ibadah dan kerja adalah dua jenis aktivitas ukhrawi dan duniawi yang
menghiasi hari-hari mereka silih berganti. Pada awal tahun kedua Hijrah, Allah swt sudah
mewajibkan kaum muslimin membayar zakat. Tentu saja, zakat yang diwajibkan hanya bagi
mereka yang telah berkecukupan.10

B. Manajemen Zakat
Kata manajemen diartikan sama dengan kata administrasi atau pengelolaan, meskipun
kedua istilah tersebut sering diartikan berbeda. Berdasarkan fungsi pokoknya istilah manajemen
dan administrasi mempunyai fungsi yang sama. Gaffar (1989) mengemukakan bahwa
manajemen pendidikan mengandung arti sebagai suatu proses kerja sama yang sistematik,
sistemik dan komprehensif dalam rangka mewujudkan tujuan pendidikan nasional.11
Adapun P J Hills dalam bukunya A Dictionary of Education berpendapat tentang
manajemen, yaitu management is a difficult term to define and managers jobs are difficult to
identify with precision.12
Manajeman dalam bahasa Arab disebut dengan idarah. Idarah diambil dari perkataan
adartasy–syai’a atau perkataan ‘darta bihi juga dapat didasarkan pada kata ad-dauran. Pengamat
bahasa pengambilan bahasa yang kedua yaitu :’darta bihi itu lebih tepat, oleh karena itu, dalam
Elias Modern Dictionary English Arabic kata management sepadan dengan kata tadbir, idarah,
siyasah, dan qidarah dalam bahasa Arab. Dalam al–Quran dari term-term tersebut hanya ditemui
tema tadbir dalam berbagai devirasinya. Tadbir adalah bentuk masdar dari kata kerja dabbara,
yudabbiru, tadbiran. Tadbir berarti penerbitan, pengaturan, pengurusan, perencanaan, dan

Muhammad Husain Haekal, Sejarah Hidup Muhammad, (Jakarta: Litera Antar Nusa, 1989), h.197.
9

Zainal Abidin Ahmad, Negara Adil Makmur Menurut Ibnu Siena, (Jakarta: Bulan Bintang, 1974), h. 11.
10

11
Mulyasa, Manajemen Berbasis Sekolah: Konsep, Strategi dan Implementasi, (Bandung: Remaja
Rosdakarya, 2003), h. 19.
12
P J. Hills, A Dictionary of Education, (London: Roultledge Books:1982), h. 54.

4
persiapan.13 Secara singkat dapat dikatakan bahwa, manajemen adalah persoalan untuk mencapai
suatu tujuan tertentu dengan suatu kelompok orang.
Zakat berarti tumbuh dan berkembang. Sedangkan secara istilah zakat adalah nama bagi
harta khusus yang diambil dari harta yang khusus dengan cara yang khusus dan digunakan untuk
kelompok tertentu.14 Zakat bertujuan membersihkan diri dari sifat rakus dan kikir, dan
mendorong manusia untuk mengembangkan sifat kedermawanan dan sensitivitas kesetiaan sosial
dalam bermasyarakat.15
Seluruh jumhur ulama sependapat, bahwa yang menjadi objek zakat adalah segala harta
yang mempunyai nilai ekonomi dan potensial untuk berkembang. Pengumpulan zakat tidak bisa
dilaksanakan karena adanya kebutuhan negara serta maslahat komunitas. Zakat merupakan jenis
harta khusus yang wajib diserahkan kepada lembaga amil zakat atau baitul maal setelah
memenuhi nishab, baik ada kebutuhan atau tidak. Zakat tidak gugur dari seorang muslim selama
diwajibkan dalam hartanya.16
Orang-orang yang berhak menerima zakat itu, sebagaimana di tunjukkan oleh Nabi
Muhammad saw dan para sahabatnya, adalah sebagai berikut:
1. Orang fakir: orang yang amat sengsara hidupnya, tidak mempunyai harta dan tenaga untuk
memenuhi penghidupannya.
2. Orang miskin: orang yang tidak cukup penghidupannya dan dalam keadaan kekurangan.
3. Pengurus zakat (amil): orang yang diberi tugas untuk mengumpulkan dan membagikan zakat.
4. Muallaf: orang kafir yang ada harapan masuk Islam dan orang yang baru masuk Islam yang
imannya masih lemah.
5. Memerdekakan budak: mencakup juga untuk melepaskan muslim yang ditawan oleh orang-
orang kafir.
6. Orang berhutang: orang yang berhutang karena untuk kepentingan yang bukan maksiat dan
tidak sanggup membayarnya. Adapun orang yang berhutang untuk memelihara persatuan
umat Islam dibayar hutangnya itu dengan zakat, walaupun ia mampu membayarnya.

13
Muhammad, Manajeman Dana Bank Syari’ah, (Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2014), h. 68.
14
Jaih Mubarok, Modifikasi Hukum Islam, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2002), h. 171-172.
15
Ibnu Qodamah, Minhajul Qashidin, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 1997), h. 39.
16
Syed Muhammad, Islam Konsepsi dan Sejarahnya, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2005), h. 397.

5
7. Pada jalan Allah (sabilillah): yaitu untuk keperluan pertahanan Islam dan kaum muslimin. Di
antara mufassirin ada yang berpendapat bahwa fisabilillah itu mencakup juga kepentingan-
kepentingan umum seperti mendirikan sekolah, rumah sakit dan lain-lain.
8. Orang yang sedang dalam perjalanan yang bukan maksiat mengalami kesengsaraan dalam
perjalanannya.17
Sebagaimana di jelaskan di dalam Firman-Nya QS At–Taubah: 60 yang artinya:
Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin,
pengurus-pengurus zakat, Para mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak,
orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yuang sedang dalam
perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi
Maha Bijaksana.
Zakat terbagi atas dua jenis yaitu:
1. Zakat fitrah, zakat yang wajib dikeluarkan muslim menjelang Idul Fitri pada bulan
Ramadhan. Besar Zakat ini setara dengan 2,5 kilogram/3,5 liter makanan pokok yang ada di
daerah bersangkutan.
2. Zakat maal (zakat harta), mencakup hasil perniagaan, pertanian, pertambangan, hasil laut,
hasil ternak, harta temuan, emas dan perak. Masing-masing tipe memiliki perhitungannya
sendiri-sendiri.18
Zakat yang terkumpul dari dana masyarakat muslim melalui lembaga pengelola zakat
dapat menjadikan zakat menjadi salah satu instrumen yang secara khusus dapat mengatasi
masalah kemiskinan dan dapat mensejahterakan masyarakat ekonomi lemah. Namun demikian,
dalam rangka penyaluran dana zakat sebagai kekuatan ekonomi masyarakat, maka keberadaan
institusi zakat sebagai lembaga publik yang ada di masyarakat menjadi amat sangat penting.19
Pengembangan zakat bersifat produktif dengan cara dijadikannya dana zakat sebagai
modal usaha, untuk pemberdayaan ekonomi penerimanya, dan supaya fakir miskin dapat
menjalankan atau membiayai kehidupannya secara konsisten. Dengan dana zakat tersebut fakir
miskin akan mendapatkan penghasilan tetap, meningkatkan usaha, mengembangkan usaha serta
mereka dapat menyisihkan penghasilannya untuk menabung.
17
Yusuf Qardhawi, Fiqih Zakat, Terj. Salman Harun, Didin Hafidhuddin dan Hasanuddin, (Jakarta: Pustaka
Litera dan Badan Amil Zakat dan Infaq/Shodaqoh DKI Jakarta, 2002), h. 225.
18
Jaih Mubarok, Modifikasi Hukum Islam, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2002), h. 166.
19
Djamal Doa, Pengelolaan Zakat Oleh Negara Untuk Memerangi Kemiskinan, (Jakarta: Nuansa Madani,
2004), h. 93.

6
Dana zakat untuk kegiatan produktif akan lebih optimal bila dilaksanakan Lembaga Amil
Zakat karena sebagai organisasi yang terpercaya untuk pengalokasian, pendayagunaan, dan
pendistribusian dana zakat, mereka tidak memberikan zakat begitu saja melainkan mereka
mendampingi, dan memberikan pengarahan. Di Indonesia terdapat organisasi atau lembaga
pengelola zakat, di mana keberadaan organisasi tersebut diatur dalam Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 38 Tahun
1999 tentang Pengelolaan Zakat. Pengelolaan zakat dilakukan oleh badan yang dibentuk
pemerintah atau lembaga yang didirikan oleh masyarakat. Lembaga tersebut meliputi Lembaga
Amil Zakat (LAZ), Unit Pengumpul Zakat (UPZ), dan Badan Amil Zakat (BAZ).
Badan Amil Zakat merupakan organisasi pengelola zakat yang dibentuk oleh pemerintah,
terdiri dari unsur pemerintah dan masyarakat dengan tugas mengumpulkan, mendistribusikan,
dan mendayagunakan zakat. Di samping itu, BAZ tidak hanya mengelola zakat, tetapi juga
mengelola infak, sedekah, dan dana sosial keagamaan lainnya. Dengan dikeluarkannya Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 2011, telah mendorong upaya pembentukan lembaga pengelola zakat
yang kuat dan dipercaya masyarakat. Tentu saja hal ini dapat meningkatkan pengelolaan zakat
sehingga peran zakat menjadi lebih optimal.
Adapun hikmah dari zakat antara lain:20
1. Sebagai perwujudan keimanan kepada Allah swt, menyukuri nikmat-Nya, akan
menumbuhkan akhlak mulia dengan rasa kemanusiaan yang tinggi, menghilangkan rasa
kikir, rakus, dan matrealistis.
2. Zakat berfungsi untuk menolong, membantu dan membina mereka, terutama fakir miskin,
kearah kehidupan yang lebih baik dan lebih sejahtera, sehingga mereka dapat memenuhi
kebutuhan hidupnya dengan layak, dapat beribadah kepada Allah swt, terhindar dari bahaya
kekufuran, sekaligus menghilangkan sifat iri, dengki yang mungkin timbul dari kalangan
mereka, ketika mereka melihat orang kaya yang memiliki harta cukup banyak.
3. Dengan zakat yang dikelola dengan baik, dimungkinkan pembangunan pertumbuhan
ekonomi sekaligus pemerataan pendapatan.

C. Manajemen Wakaf

20
Abdurrachman Qadir, Zakat Dalam Dimensi Mahdhah dan Sosial, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2001),
h. 79.

7
Adapun mengenai wakaf, secara etimologi berasal dari kata waqafa yaqifu-waqfan yang
berarti berhenti atau berdiri tegak, menahan.21 Menurut Istilah wakaf adalah penahanan harta
yang dapat diambil manfaatnya tanpa musnah seketika dan untuk penggunaan yang mubah serta
dimaksudkan untuk mendapatkan keridhaan Allah.22 Undang-Undang nomor 41 tahun 2004
tentang wakaf adalah perbuatan hukum waqif untuk memisahkan atau menyerahkan sebagian
harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai
dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan atau kesejahteraan umum menurut syariah.23
Menurut istilah syara’, wakaf adalah jenis pemberian yang pelaksanaannya dilakukan
dengan jalan menahan (pemilikan) asal (‫ ْاﻷَﺻْ ِﻞ‬Lٌ‫)ﺗَﺤْ ﺒِﯿْﺲ‬, lalu menjadikan manfaatnya berlaku
umum. Yang dimaksud dengan ‫ ﺗَﺤْ ﺒِﯿْﺲٌ ْاﻷَﺻْ ِﻞ‬ialah menahan barang yang diwakafkan itu agar tidak
diwariskan, namun digunakan dalam bentuk usaha, dan pemanfaatannya digunakan sesuai
dengan kehendak pemberi wakaf tanpa imbalan.24 .Menurut Muhammad al-Syarbini al-Khatib
wakaf adalah penahanan harta yang memungkinkan untuk dimanfaatkan disertai dengan
kekalnya zat benda dengan memutuskan thasarruf (penggolongan) dalam penjagaannya atas
pengelolaan yang telah disepakati.25
Sedangkan jumhur ulama berpendapat bahwa akad wakaf bersifat mengikat (luzum),
yaitu wakif tidak dapat menarik kembali harta yang telah dia wakafkan dan tidak dapat menjual
maupun mewariskannya. Menurut mayoritas ulama, harta yang telah diwakafkan tidak lagi
menjadi milik wakif tapi berpindah menjadi milik Allah swt yang digunakan untuk kemaslahatan
umat Islam. Pendapat ini berdasarkan pada hadis Nabi saw yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar,
bahwa Umar bin Khattab mendapatkan harta di Khaibar, sedangkan ia hendak mendekatkan diri
kepada Allah swt melalui hartanya itu. Kemudian, Nabi saw berkata “Tahanlah pokoknya dan
sedekahkan hasilnya”.26
Dalam pasal 1 Undang-Undang RI Nomor 41 tahun 2004 tentang wakaf merumuskan,
wakaf adalah perbuatan hukum wakif untuk memisahkan dan atau menyerahkan sebagian harta

21
Nurul Huda dan Muhammad Heykal, Lembaga Keuangan Islam: Tinjauan Teoretis dan Praktis, (Jakarta:
Kencana, 2013), h.308.
22
Mukhtar Lutfi, Pemberdayaan Wakaf Produktif: Konsep Kebijakan dan Impelemntasi, (Makassar:
Alauddin University Press, 2012), h.1.
23
Kementrian Agama Republik Indonesia, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 2004,
http://www.kemenag.go.id. Diakses pada tanggal 04 Mei 2018.
24
Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab, (Jakarta: Lentera, 2010), h. 635.
25
Hendi Suhendi, Fiqih Muamalah, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007), h.239.
26
Dzaqiyuddin Abdul Adzim bin Qawi Al-Mundziri, Mukhtashar Shahih Muslim, Kitab Wakaf, terj. Pipih
Imran Nurtsani dan Fitri Nurhayati, Ringkasan Shahih Muslim, (Surakarta: Insan Kamil, 2014), h. 491.

8
benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan
kepentingannya guna keperluan dan atau kesejahteraan umum menurut syariat.27
Dasar hukum wakaf menurut al-Quran, ijtihad para ulama, sekalipun tidak ada ayat yang
turun langsung yang mengatur tentang konsep wakaf. Akan tetapi para ulama sepakat dengan
mengambil beberapa ayat sebagai dasar hukum wakaf dengan melihat bahwa perbuatan wakaf
itu menyangkut perbuatan yang baik dan merupakan amal jariyah. Diantaranya terdapat dalam
QS al-Baqarah: 267 yang artinya:
Hai orang yang beriman! Infakkanlah sebagian hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian
dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untukmu. Dan janganlah kamu memilih yang buruk
untuk kamu keluarkan, padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan
memincingkan mata (enggan) terhadapnya. Dan ketahuilah, bahwa Allah Maha Kaya, Maha
Terpuji.”
At-Tirmidzi, al-Hakim, Ibnu Majah, dan lainnya meriwayatkan dari al-Barra’ ra dia
berkata, “Ayat ini turun berkenaan dengan kaum Anshar, yang merupakan pemilik kebun kurma.
Saat itu, tiap orang menyedekahkan sebagian hasil kebunnya sesuai dengan jumlah yang
dimilikinya. Ada seseorang yang mengeluarkan sedekahnya dengan satu tandan kurma, dan
menggantungnya di masjid. Saat itu orang-orang (para penghuni Shuffah) tidak mempunyai
makanan, dan apabila mereka sedang lapar, mereka mendatangi tandan kurma tersebut, lalu
memukulnya dengan tongkat hingga kurma yang masih muda berjatuhan lalu memakannya.
Namun ada beberapa orang tidak suka dengan perintah bersedekah, apabila bersedekah mereka
memberikan tandan kurma basah yang terdiri dari kurma jelek yang keras bijinya dan kurma
basah yang sudah rusak serta tandan yang telah patah. Atas hal tersebut, Allah swt menurunkan
ayat ini.28
Menginfakkan harta yang dicintai termasuk perbuatan amal jariyah (wakaf). Dalam QS.
Ali Imran: 92 yang artinya:
Kamu tidak akan memperoleh kebajikan, sebelum kamu menginfakkan sebagian harta yang
kamu cintai dan apa saja yang kamu infakkan, tentang hal itu sungguh, Allah Maha
Mengetahui.

27
Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam, “Undang-Undang Nomor 41 tahun 2004 tentang
Wakaf,” dalam Himpunan Peraturan Perundang-Undangan tentang Wakaf Tahun 2012 Pasal 1, simbi.kemenag.go.id
28
Kementrian Agama RI, Quran Tajwid Maghfirah, (Jakarta: Maghfirah Pustaka, 2006), h. 62.

9
Ayat ini terkait dengan perbuatan Abu Thalhah ra seorang sahabat terkaya di Madinah
dari kalangan Anshar yang menyumbangkan hartanya berupa tanah Bairukha untuk kepentingan
agama Islam. Ayat ini menjadi landasan berwakaf dan merupakan sebab turunnya ayat, atas
perbuatan Abu Thalhah ra dan juga terkait dengan lahan di Khaibar yang dimiliki oleh sahabat
Umar bin Khattab ra untuk menahan pokoknya dan menginfakkan buahnya di jalan Allah swt.29
Sedangkan dalam QS al-Baqarah: 261 mengandung keutamaan berinfak di jalan Allah
swt yang artinya:
Perumpamaan orang yang menginfakkan hartanya di jalan Allah seperti sebutir biji yang
menumbuhkan tujuh tangkai, pada setiap tangkai ada seratus biji. Allah melipatgandakan bagi
siapa yang dia kehendaki.dan Allah Maha Luas, Maha mengetahui.”
Secara umum ketiga surah di atas menyatakan agar menginfakan harta di jalan Allah swt
beramal saleh, tolong menolong sebagai tanda bukti keimanan seseorang. Meski tidak satupun
terdapat kata wakaf, namun pada dasarnya wakaf adalah menginfakkan sebagian rezeki dari
Allah swt untuk menolong atau berbagi kepada orang lain dalam rangka ibadah. Sebagaimana
sifat harta benda diwakafkan bernilai kekal, maka derma wakaf ini bernilai kontinyu (terus
menerus). Oleh sebab itu wakaf merupakan sedekah jariyah. Kata tanfiqu pada ketiga ayat
tersebut mengandung makna umum, yaitu mengandung makna menginfakkan harta di jalan
kebaikan. Sedangkan wakaf ialah menyisihkan atau menafkahkan harta di jalan Allah swt.
sehingga dijadikan sebagai dalil wakaf.30
Adapun hadis yang berkenaan dengan wakaf yaitu perwakafan setelah datangnya Islam.
Menurut para ulama peristiwa wakaf yang pertama terjadi ketika sahabat Umar bin Khattab
meminta nasihat kepada Rasulullah saw atas tanahnya di Khaibar. Kemudian Nabi saw
menyarankan untuk menahan pokok tanah tersebut lalu menyedekahkan hasilnya. Tetapi
pendapat lain menyebutkan bahwa mula-mula wakaf dalam Islam adalah tanah yang diwakafkan
oleh Rasulullah saw untuk masjid.31
Hadis lain yang menjelaskan wakaf adalah hadis yang diceritakan oleh imam Muslim dari
Abu Hurairah tentang tiga hal yang bersifat abadi yang dimiliki oleh orang yang telah
meninggal. Bunyi hadis tersebut adalah:

29
Kementrian Agama RI, Quran Tajwid Maghfirah..., h. 62.
30
Rozalinda, Manajemen Wakaf Produktif, (Jakarta: Raja Grafindo Persada. 2015), h.19.
31
Mukhtar Lutfi, Optimalisasi Pengelolaan Wakaf, (Makassar: Alauddin Press, 2011), h.52.

10
Dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah saw bersabda: "Apabila salah seorang manusia
meninggal dunia, maka terputuslah segala amalannya kecuali tiga perkara; sedekah jariyah, ilmu
yang bermanfaat baginya dan anak shalih yang selalu mendoakannya."32
Hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar telah menjadi pegangan kuat oleh pakar-pakar
hukum Islam sebagai landasan yang kuat bagi pembentukan wakaf. Di samping itu pula telah
memberikan gambaran dalil pembentukan wakaf serta adanya amal jariyah. Sedekah jariyah
yang dimaksud dalam hadis Abu Hurairah ialah harta yang diwakafkan yang pahalanya mengalir
secara terus menerus, selama benda wakaf itu ada dan dimanfaatkan.33
Dari berbagai hasil pemikiran para ulama Islam terkait dengan ijma’ dan qiyas
perwakafan merupakan kumpulan yurisprudensi hukum Islam yang dikumpulkan dalam kitab
fiqh (fiqh ijtihadi). Fiqh ijtihadi tersebut adalah ijtihad para ulama untuk menetapkan hukum
wakaf yang secara prinsipil (ushuli) tidak ada perbedaan pendapat mengenai wakaf, tetapi secara
cabang (far’i) ada perbedaan pendapat.34
1. Rukun Wakaf
Wakaf dinyatakan sah apabila telah terpenuhi rukun dan syaratnya. Di antara rukun
wakaf yaitu:
a) Wakif (orang yang mewakafkan harta);
b) Mauquf bih (barang atau harta yang diwakafkan);
c) Mauquf ‘alaih (pihak yang diberi wakaf/peruntukan wakaf);
d) Sighat (pernyataan atau ikrar wakif sebagai maksud untuk mewakafkan sebagian harta
bendanya).35
2. Syarat Wakaf
Seseorang yang akan mewakafkan hartanya (wakif) disyaratkan memiliki kecakapan
hukum dalam membelanjakan hartanya. Kecakapan hukum tersebut meliputi empat kriteria,
yaitu:
a) Merdeka
Wakaf tidak sah dilakukan oleh seorang budak, karena wakaf adalah pengguguran hak
milik dengan cara memberikan hak milik itu kepada orang lain. Sedangkan budak tidak

32
Dzaqiyuddin Abdul Adzim bin Qawi Al-Mundziri, Mukhtashar Shahih Muslim..., h. 492.
33
Mukhtar Lutfi, Optimalisasi Pengelolaan Wakaf..., h.53.
34
Mukhtar Lutfi, Optimalisasi Pengelolaan Wakaf..., h.57.
35
Kementrian Agama RI, Fiqih Wakaf, (Jakarta: Direktorat Pengembangan Zakat dan Wakaf, 2005), h. 21.

11
mempunyai hak milik, dirinya dan apa yang dimiliki adalah milik tuannya. Namun, Abu Zahrah
mengatakan bahwa para fuqaha sepakat bila seorang budak mewakafkan hartanya apabila telah
memperoleh izin dari tuannya, karena ia sebagai wakil darinya.36
b) Berakal sehat
Wakaf yang dilakukan oleh orang gila tidak sah hukumnya, sebab ia tidak berakal, tidak
mumayyiz, dan tidak mampu melakukan akad serta tindakan lainnya. Demikian juga wakaf
orang lemah mental (idiot), berubah akal karena factor usia, sakit atau kecelakaan, maka
hukumnya tidak sah karena akalnya tidak lagi sempurna dan tidak cakap untuk menggugurkan
hak miliknya.
c) Dewasa (baligh)
Tidak sah wakaf yang dilakukan oleh anak yang belum dewasa (baligh), karena ia
dipandang tidak layak untuk melakukan akad dan tidak mampu untuk menggugurkan hak
miliknya.
d) Tidak berada dibawah pengampuan (boros/lalai)
Orang yang berada dibawah pengampuan dipandang tidak layak untuk berbuat kebaikan
(tabarru’), maka wakaf yang dilakukan hukumnya tidak sah. Tetapi berdasarkan istihsan, wakaf
orang yang berada dibawah pengampuan terhadap dirinya sendiri selama hidupnya hukumnya
sah. Karena tujuan dari pengampuan adalah untuk menjaga harta wakaf supaya tidak habis
dibelanjakan untuk sesuatu yang sia-sia, dan untuk menjaga dirinya agar tidak menjadi beban
orang lain.37

D. Pemberdayaan Ekonomi Umat di Perkotaan, Pedesaan dan Wilayah Pesisir


Berdasarkan Ajaran Islam
Pemberdayaan menurut arti secara bahasa adalah proses, cara, perbuatan membuat
berdaya, yaitu kemampuan untuk melakukan sesuatu atau kemampuan bertindak yang berupa
akal, ikhtiar atau upaya (Depdiknas, 2003). Dalam beberapa kajian mengenai pembangunan
komunitas, pemberdayaan masyarakat sering dimaknai sebagai upaya untuk memberikan
kekuasaan agar suara mereka didengar guna memberikan kontribusi kepada perencanaan dan
keputusan yang mempengaruhi komunitasnya (Foy, 1994). Memberdayakan orang lain pada
hakikatnya merupakan perubahan budaya, sehingga pemberdayaan tidak akan jalan jika tidak

36
Kementrian Agama RI, Fiqih Wakaf..., h. 22.
37
Kementrian Agama RI, Fiqih Wakaf..., h. 23.

12
dilakukan perubahan seluruh budaya organisasi secara mendasar. Perubahan budaya sangat
diperlukan untuk mampu mendukung upaya sikap dan praktik bagi pemberdayaan yang lebih
efektif (Sumaryadi, 2005: 105). Robinson (dalam Maharani, 2012) menjelaskan bahwa
pemberdayaan adalah suatu proses pribadi dan sosial; suatu pembebasan kemampuan pribadi,
kompetensi, kreatiitas dan kebebasan bertindak. Sedangkan Ife (1995) mengemukakan bahwa
pemberdayaan mengacu pada kata “empowerment” yang berarti memberi daya, memberi
”power” (kuasa), kekuatan, kepada pihak yang kurang berdaya.38
Berdasarkan beberapa pengertian di atas, secara umum pemberdayaan masyarakat dapat
diartikan sebagai upaya untuk memulihkan atau meningkatkan kemampuan suatu komunitas
untuk mampu berbuat sesuai dengan harkat dan martabat mereka dalam melaksanakan hak-hak
dan tanggung jawabnya selaku anggota masyarakat. Dengan adanya pemberdayaan, diharapkan
masyarakat memiliki budaya yang proaktif untuk kemajuan bersama, mengenal diri dan
lingkungannya serta memiliki sikap bertanggung jawab dan memposisikan dirinya sebagai
subjek dalam upaya pembangunan di lingkungannya.39
Pemberdayaan ekonomi umat pada dasarnya adalah suatu upaya mengoptimalkan dan
meningkatkan kemampuan per orang, kelompok dan masyarakat dalam suatu lingkungan tertentu
agar memiliki kemampuan untuk meningkatkan kualitas hidupnya secara mandiri, utamanya
dalam masalah ekonominya. Ekonomi umat dalam hal ini adalah juga ekonomi rakyat, karena
hakekat keduanya adalah sama. Ekonomi kerakyatan adalah sistem ekonomi yang
mengikusertakan seluruh lapisan masyarakat dalam proses pembangunan. Sistem ekonomi
kerakyatan mencakup administrasi pembangunan nasional mulai dari sistem perencanaan hingga
pemantauan dan pelaporan. Sesungguhnya ekonomi kerakyatan adalah demokrasi ekonomi. Di
Indoensia demokrasi ekonomi dikembangkan berdasarkan UUD 1945 dan Pancasila.
Secara praktis, ajaran Islam menuntut umatnya untuk selalu berupaya melakukan
pemberdayaan dalam kehidupannya, sehingga terlepas dari berbagai masalah sosial seperti
kemiskinan, kebodohan, penyakit, dan kebatilan. Masalah kemiskinan merupakan suatu
lingkaran utuh, yaitu sebuah sistem yang saling berhubungan satu sama lainnya. Artinya satu
masalah memiliki potensi untuk menghasilkan masalah lain yang lebih besar dan dahsyat
dampaknya. Kemiskinan akan melahirkan keterbelakangan pendidikan, kriminalitas, dan
38
Syarif Mahmud dkk, Pemberdayaan Masyarakat Perkotaan di Kecamatan Pontianak Timur Kota
Pontianak, Jurnal Tesis PMIS UNTAN-PSIIS-2015, h. 3.
39
Syarif Mahmud dkk, Pemberdayaan Masyarakat Perkotaan di Kecamatan Pontianak Timur Kota
Pontianak..., h. 3.

13
masalah sosial lainnya. Sebagaimana ungkapan yang akrab di telinga kita bahwa kemiskinan
mendorong kita kepada kekafiran, maka kita harus bersama-sama menghilangkan kemiskinan
dalam kehidupan saudara-saudara kita dan menyelamatkan saudara kita dari jurang kemiskinan
agar terhindar dari kekafiran.40
Konsep pemberdayaan mulai tampak ke permukaan sekitar dekade 1970-an dan terus
berkembang sepanjang dekade 1980-an hingga 1990-an (akhir abad ke-20). Kemunculan konsep
ini hampir bersamaan dengan aliran-aliran eksistensialisme, fenomenologi, dan personalisme.
Disusul kemudian oleh masuknya gelombang pemikiran neo-marxisme, freudianisme, termasuk
di dalamnya aliran-aliran strukuralisme dan sosiologi kritik sekolah Frankurt. Bermunculan pula
konsep-konsep elit, kekuasaan, anti kemapanan, ideologi, pembebasan, dan civil society.41
Pada awal gerakan modern, konsep pemberdayaan bertujuan untuk menemukan
alternatif-alternatif baru dalam pembangunan masyarakat. Pada hakikatnya, proses
pemberdayaan dapat dipandang sebagai depowerment dari sistem kekuasaan yang mutlak-
absolut (intelektual, religius, politik, ekonomi dan militer). Konsep ini digantikan oleh sistem
baru yang berlandaskan idiil manusia dan kemanusiaan (humanisme). Doktrin konsep ini sama
dengan aliran fenomenologi, eksistensialisme dan personalisme yang menolak segala bentuk
power yang bermuara hanya pada proses dehumanisasi eksistensi manusia. Aliran ini bercita-cita
untuk dapat menemukan sistem yang sepenuhnya berpihak kepada manusia dan kemanusiaan.42
Pemberdayaan dan partisipasi merupakan strategi yang sangat potensial dalam rangka
meningkatkan ekonomi, sosial dan transformasi budaya. Proses ini pada akhirnya akan dapat
menciptakan pembangunan yang lebih berpusat pada rakyat.43 Sementara itu pemberdayaan
meletakkan partisipasi aktif masyarakat ke dalam efektivitas, efisiensi, dan sikap kemandirian.
Secara khusus, pemberdayaan dilaksanakan melalui kegiatan kerja sama dengan para
sukarelawan, bukan bersumber dari pemerintah, tetapi dari LSM, termasuk organisasi dan
pergerakan masyarakat.44
Dalam konteks ke-Indonesiaan, konsep pemberdayaan dianggap merupakan antitese dari
konsep pembangunan (development). Konsep pembangunan lebih mencerminkan hadirnya

40
Muhammad Istan, Pengentasan Kemiskinan Melalui Pemberdayaan Ekonomi Umat Menurut Perspektif
Islam, Jurnal of Islamic Economics, Vol. 2, No. 1, 2017, h. 92.
41
Kusnadi, Filosofi Pemberdayaan Masyarakat Pesisir, (Bandung: Humaniora, 2006), h. 2.
42
Harry Hikmah, Startegi Pemberdayaan Masyarakat, (Bandung: Humaniora Utama, 2006), h. 4.
43
Harry Hikmah, Strategi Pemberdayaan Masyarakat..., h. 5.
44
Kusnadi, Filosofi Pemberdayaan Masyarakat Pesisir..., h. 1.

14
model perencanaan dan implementasi kebijakan yang bersifat top down, elitis dan jauh dari nilai-
nilai keadilan, sedangkan pemberdayaan lebih bersifat bottom up, lebih mengedepankan
komunikasi antara masyarakat dan pemerintah sebagai pengambil kebijakan. Sikap aspiratif
inilah yang dimaknai sebagai upaya menggali dan menemukan persoalan dari masyarakat
sendiri. Artinya, masyarakatlah yang menemukan permasalahannya sendiri dan kemudian
memberikan alternatif pemecahan masalah tersebut.45
Menurut Kusnadi (2006) bahwa filososi pemberdayaan pada masyarakat dapat
dieksplorasi melalui nilai-nilai yang mendasari hakikat hubungan antara (1) manusia dan Allah
Yang Maha Kuasa (2) manusia dengan manusia (3) manusia dengan alam. Ketiga jenis hakikat
hubungan vertikal – horizontal ini melahirkan prinsip-prinsip kehidupan sebagai berikut:
1. Tuhan Yang Maha Esa menciptakan jagad raya dengan segala isinya semata-mata untuk
kehidupan dan kesejahteraan manusia dunia dan akhirat. Pada akhirnya nanti, amanah ini
harus dipertanggung jawabkan sepenuhnya oleh manusia di hadapan Sang Pencipta. Prinsip
ini akan mendorong pikiran dan sikap manusia untuk menghormati dan menghargai seluruh
ciptaan Tuhan Yang Maha Esa, khususnya manusia dan sumber daya alam, serta berhati-hati
dalam menjalani kehidupan.
2. Manusia menyadari dan mengakui bahwa sumber daya alam yang ada di lingkungan
merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa yang harus dikelola secara baik dan bijaksana
untuk kesejahteraan sosial dan kelangsungan hidupnya. Prinsip ini melahirkan sikap menjaga
kelestarian alam dan memanfaatkannya secara proporsional dengan tetap memperhatikan
kemampuan daya dukung lingkungan.
3. Manusia adalah makhluk sosial. Ia tidak dapat mengatasi sendiri seluruh persoalan
kehidupannya tanpa bantuan orang lain. Prinsip ini akan melahirkan sikap untuk bekerja
sama, kebersamaan, saling membantu atau gotong-royong dan persatuan.
4. Manusia adalah makhluk berbudaya yang memiliki identitas dan potensi sosial-budaya
sebagai basis eksistensinya. Prinsip ini melahirkan sikap menghargai terhadap nilai-nilai
budaya, pranata (kelembagaan) sosial, dan pengakuan akan eksistensi suatu masyarakat.
5. Manusia memiliki kehendak dan hak untuk mencapai kualitas kehidupan yang sempurna
lahir batin. Prinsip ini akan melahirkan sikap apresiatif terhadap etos kerja, kreativitas, dan
aspirasi sosial yang berkembang.

45
Kusnadi, Filosofi Pemberdayaan Masyarakat Pesisir..., .h. 6.

15
6. Manusia memiliki martabat atau harga diri, otonomi diri, dan kewajiban-kewajiban sosial
dalam kehidupannya. Prinsip ini melahirkan sikap menghargai kebebasan sosial yang
bertanggung jawabn dan konstruktif, mengembangkan ruang demokratisasi dan dialogis,
serta menghormati keinginan-keinginan dan cita-cita warga masyarakat.
7. Dalam tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara, masyarakat berhak memperoleh
perlindungan dan pemenuhan kebutuhan dasar kehidupan dari negara, baik secara sosial,
budaya dan ekonomi maupun politik-kebijakan.
Tujuh prinsip dasar pemberdayaan tersebut memiliki sifat universal sehingga daya
dukung dan keberterimaan masyarakat dimanapun mereka berada cukup besar. Norma-norma
keagamaan, adat-istiadat, nilai-nilai tradisi, etika sosial masyarakat, dan tata normatif kehidupan
berbangsa dan bernegara merupakan ranah yang memungkinkan ketujuh prinsip tersebut dapat
diterapkan dengan baik dalam proses pemberdayaan masyarakat. Dengan demikian,
pemberdayaan adalah sebuah proses dan tujuan.
Sebagai proses, pemberdayaan adalah serangkaian kegiatan untuk memperkuat
kekuasaan atau keberdayaan kelompok lemah dalam masyarakat, termasuk individu-individu
yang mengalami masalah kemiskinan. Sebagai tujuan, maka pemberdayaan menunjuk pada
keadaan atau hasil yang ingin dicapai oleh perubahan sosial, yaitu masyarakat yang berdaya,
memiliki kekuasaan atau mempunyai pengetahuan dan kemampuan dalam memenuhi kebutuhan
hidupnya baik yang bersifat fisik, ekonomi maupun sosial seperti memiliki kepercayaan diri,
mampu menyampaikan aspirasi, mempunyai mata pencarian, berpartisipasi dalam kegiatan
sosial, dan mandiri dalam melaksanakan tugas-tugas kehidupannya.46
Sejak awal peradaban manusia, masyarakat baik secara individual maupun kelompok,
mamiliki peranan penting dalam perekonomian. Kesejahteraan ekonomi yang berhasil dicapai
oleh masyarakat adalah merupakan hasil kerja kolektif dari semua komponen dalam masyarakat
tersebut. Pada dasarnya peran masyarakat ini merefleksikan kepedulian mereka terhadap sasama.
Mereka bekerja tidak selalu untuk kepentingan dirinya semata, tetapi juga untuk kepentingan
orang lain, misalnya keluarga, kerabat, dan masyarakat di sekitarnya. Terdapat berbagai motivasi
tentang mengapa seseorang rela ‘berkorban’ untuk kepentingan orang lain meskipun tanpa

46
Edi Sugarto, Membangun Masyarakat Memberdayakan Rakyat: Kajian Strategis Pembangunan
Kesejahteraan Sosial dan Pekerjaan Sosial, (Bandung: Refika Aditama, 2005), h. 59.

16
mendapatkan imbalan atau keuntungan secara langsung. Salah satu motivasi adalah karena
seseorang menyadari, bahwa hidupnya akan selalu membutuhkan orang lain.47
Dalam memberdayakan masyarakat perkotaan, banyak sekali program pemerintah, yang
dijalankan dalam mengatasi kemiskinan khususnya di Indonesia. Salah satu program pemerintah
dalam menanggulangi kemiskinan yaitu Program Nasional Pemeberdayaan Masyarakat (PNPM)
Mandiri Perkotaan. Tujuan PNPM Mandiri Perkotaan yaitu untuk menanggulangi kemiskinan di
Kota melalui 3 (tiga) kegiatan Interval atau Tri Daya, yaitu:
1. Infrastruktur, yaitu program yang dilaksanankan berupa pembuatan jalan setapak, yang
ukurannya kurang lebih dari 180 Cm, serta pembuatan MCK, jembatan serta drainase atau
saluran air agar memudahkan masyrakat untuk melaksanakan aktivitas sehari-hari.
2. Ekonomi, kegitan yang dilaksanakan berupa pemberian Bantuan Langsung Masyarakat
(BLM), serta pinjaman bergulir bagi masyrakat yang ingin mengembangkan usahanya, tujuan
dari pemebrian pinjaman bergulir yaitu, untuk merangsang masyrakat khususnya masyarkat
miskin untuk mengembangkan ushanya, sehingga dana yang di terima dapat di jadikan modal
usaha serta membantu memenuhi kebutuhan hidup.
3. Sosial, selain infrastruktur serta ekonomi, PNPM mandiri perkotaan juga melaksanakan
kegiatan sosial, berupa pelatihan serta kursus kepada masyrakat, agar masyarakat dapat
meningkatkan wawasan serta skil dalam keterampian, sehingga diharapkan masyrakat
mampu membuka peluang kesejahteraan bukan saja untuk dirinya, tetapi juga untuk orang
lain. Selain pelatihan dan kursus, kegiatan sosial lainnya yaitu pemberian bantuan beasiswa
kepada siswa-siswa yang kurang beruntung.48
Komponen kegiatan PNPM Mandiri Perkotaan meliputi:
1. Pengembangan sumber daya manusia yang meliputi pelatihan keterampilan. Pelaksanaan
kegiatan yang berkaitan dengan upaya pemberdayaan masyarakat dan peningkatan Sumber
Daya Manusia (SDM), yaitu meliputi antara lain: pelatihan manajemen (komputer, menjahit,
memasak, dan lain-lain.
2. Pengembangan Usaha Kecil Menengah. Pelaksanaan kegiatan sebagai upaya untuk
pengembangan usaha kecil menegah, membuka peluang atau kesempatan kerja dalam rangka

47
Pusat Pengkajian dan Pengembangan Ekonomi Islam (P3EI), Ekonomi Islam, (Jakarta: Rajawali Pers,
2011), h. 463.
48
Aswari Madjid, dkk, PNPM Mandiri Perkotaan Terhadap Tingkat Kemiskinan di Kota Kotamabago,
Jurnal Berkala Ilmiah Efisiensi, Vol. 15 No. 4 Tahun 2015, h. 114-115.

17
peningkatan taraf hidup masyarakat, meliputi pelatihan industri kecil dan pemberian kredit
untuk modal usaha.
3. Perbaikan Prasaranan Lingkungan. Pelaksanaan perbaikan fisik lingkungan (Prasarana)
permukiman, meliputi perbaikan jalan lingkungan, saluran, fasilitas persampahan dan MCK
Umum.
4. Perbaikan rumah. Kegiatan-kegiatan yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas rumah
tinggal baik fisik maupun kejelasan status perizinannya, meliputi perbaikan dapur,wc
ataupun komponen rumah lainnya.49
Sedangkan menurut Undang-undang Nomor 5 Tahun 1979, tentang pemerintahan desa
disebutkan bahwa desa adalah wilayah yang ditempati oleh sejumlah penduduk sebagai kesatuan
masyarakat termaksud di dalamnya kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai organisasi
pemerintahan terendah, langsung dibawah pembinaan Camat dan berhak menyelenggarakan
rumah tangganya sendiri dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Masyarakat pedesaan dalam konteks pemberdayaan masyarakat untuk membangun
kemandirian dan kesejahteraan masyarakat perlu dilakukan agar terbentuk dan tercipta
masyarakat yang madani. Pada prosesnya harus menitikberatkan pada keikutsertaan dan
keterlibatan seluruh elemen masyarakat terutama masyarakat nelayan yang berada di desa
sebagai faktor penggerak. Kunci dari pelaksaan pembangunan adalah agar pembangunan dapat
berjalan dengan optimal yakni dengan memanfaatkan seluruh sumber daya lokal yang ada di
desa, sumber daya manusia juga harus dimanfaatkan dengan baik, dengan tidak memandang
gender sebagai pemisah antara kaum laki-laki dan kaum perempuan.
Adapun dalam memberdayakan masyarakat pesisir tidaklah seperti memberdayakan
kelompok-kelompok masyarakat lainnya, karena di dalam habitat pesisir terdapat banyak
kelompok kehidupan masyarakat diantaranya:
1. Masyarakat nelayan tangkap, adalah kelompok masyarakat pesisir yang mata pencaharian
utamanya adalah menangkap ikan di laut. Kelompok ini dibagi lagi dalam dua kelompok
besar, yaitu nelayan kelompok modern dan nelayan tangkap tradisional. Keduanya kelompok
ini dapat dibedakan dari jenis kapal atau peralatan yang digunakan dan jangkauan wilayah
tangkapnya.

49
Suhartini, dkk, Model-Model Pemberdayaan Masyarakat, (Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2005), h. 12.

18
2. Masyarakat nelayan pengumpul atau bakul, adalah kelompok masyarakat pesisir yang
bekerja di sekitar tempat pendaratan dan pelelangan ikan. Mereka akan mengumpulkan ikan-
ikan hasil tangkapan baik melalui pelelangan maupun dari sisi ikan yang tidak terlelang yang
selanjutnya dijual ke masyarakat sekitarnya atau di bawah ke pasar-pasar lokal, pada
umumnya yang menjadi pengumpul ini adalah kelompok masyarakat pesisir perempuan.50
Peningkatan kualitas sumber daya manusia nelayan merupakan jawaban atas sebagian
persoalan di sektor penangkapan. Fokus pada aspek ini didasari oleh pertimbangan pemikiran
sebagai berikut.
1. Aspek sumber daya manusia merupakan unsur terpenting dari sebuah organisasi ekonomi.
Aspek ini menjadi penentu keberhasilan dan kegagalan dari sebuah kegiatan ekonomi.
2. Nelayan adalah berposisi sebagai produsen hasil laut. Keberhasilan usaha nelayan akan
menentukan secara signifikan aktivitas ekonomi di sektor pengolahan an pemasaran, karena
itu, jika musim barat tiba (Desember-Februari) dan nelayan tidak melaut, maka hasil
tangkapan menurun drastis, sehingga aktivitas ekonomi disektor pengolahan dan pemasaran
juga menjadi lumpuh. Dalam kondisi demikian, sebagian besar masyarakat pesisir akan
kehilangan pendapatan.
3. Sebagai pelaku usaha, nelayan memiliki tanggung jawab untuk menjaga kelastarian
ekosistem sumber daya laut. Kerusakan ekosistem akan berpengaruh besar terhadap
penurunan hasil tangkapan. Karena itu, harus dihindari kegiatan penangkapan yang merusak
ekosistem. Tugas dan tanggung jawab sosial ekonomi nelayan sangat berat dan sekaligus
mulia, karena ia menjadi pinjaman kelangsungan hidup keluarganya dan masyarakatnya.51
Untuk mengubah pandangan kita terhadap masyarakat pedesaan, masyarakat petani dan
nelayan, kita perlu merubah kehidupan mereka, yaitu dengan pendekatan pembangunan ekonomi
yang dimulai dari desa. Para nelayan di Philipina, khususnya di General Santos, adalah para
nelayan yang kaya raya. Hal ini dikarenakan pemerintah Philipina sekitar tahun 1990, telah
memberikan perhatian kepada kaum nelayan, dengan memberikan bantuan pendanaan usaha
perikanan dan pertanian di daerah tersebut. Sehingga usaha perikanan dan pertanian di General
Santos telah mengalami kemajuan yang sangat pesat. Bahkan mereka telah meraup keuntungan
besar dengan melakukan penangkapan ikan di perairan Indonesia.
50
Sugeng, Budiharsono, Analisis dan Formulasi Pembangunan Wilayah Pesisir dan Lautan, (Jakarta:
Pradya Paramita, 2001), h. 13.
51
Kusnadi, Keberdayaan Nelayan dan Dinamika Ekonomi Pesisir, (Yogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2009) h.
84.

19
Sementara masyarakat nelayan kita masih jauh tertinggal, karena alat penangkapan serta
sarana pendukung dan pengetahuan serta skill penangkapan yang jauh tertinggal dibanding
dengan nelayan Philipina. Pemerintah perlu mencari suatu pendekatan yang tepat dan dituangkan
dalam sebuah konsep yang mampu menumbukan perekenomian masyarakat di pedesaan.
Pendekatan pembangunan ekonomi yang mulai dari pedesaan, dengan memadukan budaya
masyarakat yang ada di pedesaan, kebiasaan-kebiasaan yang baik, yang perlu kita kemas kembali
dipadukan dengan konsep ekonomi yang mudah dipahami oleh masyarakat.
Pengelolaan sumber daya wilayah pesisir dan laut Indonesia dari sudut pandang
pembangunan berkelanjutan dihadapkan pada posisi yang tidak mendua, atau berada di
persimpangan jalan. Disatu pihak, ada beberapa kawasan pesisir yang telah dimanfaatkan
(dikembangkan) dengan intensif. Akibatnya, indikasi telah terlampauinya daya dukung atau
kapasitas berkelanjutan (potensi lestari) dari ekosistem pesisir atau kelautan, seperti pencemaran,
tangkap lebih, degradasi fisik habitat pesisir, dan abrasi pantai, telah muncul di kawasan-
kawasan pesisir termaksud. Fenomena ini telah dan masih berlangsung, terutama di kawasan-
kawasan pesisir padat penduduknya, dan tinggi tingkap pembangunannya, seperti Selat Malaka,
Pantai Utara Jawa, Bali, dan Sulawesi Selatan.52
Wilayah pesisir dan lautan Indonesia juga memiliki berbagai macam jasa lingkungan
yang sangat potensial bagi kepentingan pembangunan dan bahkan kelangsungan hidup manusia.
Jasa-jasa lingkungan yang dimaksud meliputi fungsi kawasan pesisir dan lautan sebagai tempat
rekreasi dan pariwisata, media transportasi dan komunikasi, sumber energi, sarana pendidikan
dan penelitian, pertahanan keamanan, penampungan limbah, pengatur iklim, kawasan
perlindungan (konservasi dan preservasi), dan sistem penunjang kehidupan serta fungsi ekologis
lainnya.53

DAFTAR PUSTAKA

(P3EI), Pusat Pengkajian dan Pengembangan Ekonomi Islam. Ekonomi Islam. Jakarta: Rajawali
Pers, 2011.
52
Mulyadi S. Ekonomi Kelautan, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2007), h. 4.
53
Mulyadi S. Ekonomi Kelautan..., h. 3-4.

20
Ahmad, Zainal Abidin. Negara Adil Makmur Menurut Ibnu Siena. Jakarta: Bulan Bintang, 1974.
Al-Mundziri, Dzaqiyuddin Abdul Adzim bin Qawi. Mukhtashar Shahih Muslim, Terj. Pipih
Imran Nurtsani dan Fitri Nurhayati, Ringkasan Shahih Muslim. Surakarta: Insan Kamil,
2014.
Budiharsono, Sugeng. Analisis dan Formulasi Pembangunan Wilayah Pesisir dan Lautan.
Jakarta: Pradya Paramita, 2001.
Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam, “Undang-Undang Nomor 41 tahun 2004
tentang Wakaf,” dalam Himpunan Peraturan Perundang-Undangan tentang Wakaf Tahun
2012 Pasal 1, simbi.kemenag.go.id
Doa, Djamal. Pengelolaan Zakat Oleh Negara untuk Memerangi Kemiskinan. Jakarta: Nuansa
Madani, 2004.
Fahrudin, Adi. Pengantar Kesejahteraan Sosial. Bandung: Refika Aditama, 2012.
Haekal, Muhammad Husain. Sejarah Hidup Muhammad. Jakarta: Litera Antar Nusa, 1989.
Heykal, Nurul Huda dan Muhammad. Lembaga Keuangan Islam: Tinjauan Teoretis dan Praktis.
Jakarta: Kencana, 2013.
Hikmah, Harry. Strategi Pemberdayaan Masyarakat. Bandung: Humaniora Utama, 2006.
Hills, P J. Hills. A Dictionary of Education. London: Roultledge Books, 1982.
Istan, Muhammad. Pengentasan Kemiskinan Melalui Pemberdayaan Ekonomi Umat Menurut
Perspektif Islam, Jurnal of Islamic Economics, Vol. 2, No. 1, 2017, h. 92.
Kementrian Agama Republik Indonesia, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun
2004, http://www.kemenag.go.id. Diakses pada tanggal 04 Mei 2018.
Kusnadi. Filosofi Pemberdayaan Masyarakat Pesisir. Bandung: Humaniora, 2006.
Kusnadi. Keberdayaan Nelayan dan Dinamika Ekonomi Pesisir. Yogjakarta: ArRuzz Media,
2009.
Lutfi, Mukhtar. Optimalisasi Pengelolaan Wakaf . Makassar: Alauddin Press, 2011.
Lutfi, Mukhtar. Pemberdayaan Wakaf Produktif: Konsep Kebijakan dan Impelemntasi.
Makassar: Alauddin University Press, 2012.
Madjid, Aswari, dkk, PNPM Mandiri Perkotaan Terhadap Tingkat Kemiskinan di Kota
Kotamabago, Jurnal Berkala Ilmiah Efisiensi, Vol. 15 No. 4 Tahun 2015, h. 114-115.
Mahmud, Syarif dkk. Pemberdayaan Masyarakat Perkotaan di Kecamatan Pontianak Timur
Kota Pontianak, Jurnal Tesis PMIS UNTAN-PSIIS-2015, h. 3.

21
Mubarok, Jaih. Modifikasi Hukum Islam. Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2002.
Mughniyah, Muhammad Jawad. Fiqih Lima Mazhab. Jakarta: Lentera, 2010.
Muhammad, Syed. Islam Konsepsi dan Sejarahnya. Bandung: Remaja Rosdakarya, 2005.
Muhammad. Manajeman Dana Bank Syari’ah. Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2014.
Mulyadi S. Ekonomi Kelautan. Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2007.
Mulyasa. Manajemen Berbasis Sekolah: Konsep, Strategi dan Implementasi. Bandung: Remaja
Rosdakarya, 2003.
Nafik HR, Muhammad. Benarkah Bunga Haram? Perbandingan Sistem Bunga dengan Bagi
Hasil & Dampaknya pada Perekonomian. Surabaya: Amanah Pustaka, 2009.
Poerwadarminto, W.J.S. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 1999.
Qadir, Abdurrachman. Zakat dalam dimensi Mahdhah dan Sosial. Jakarta: RajaGrafindo
Persada, 2001.
Qardhawi, Yusuf. Fiqih Zakat, Terj. Salman Harun, Didin Hafidhuddin dan Hasanuddin. Jakarta:
Pustaka Litera dan Badan Amil Zakat dan Infaq/Shodaqoh DKI Jakarta, 2002.
Qodamah, Ibnu. Minhajul Qashidin. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 1997.
RI, Kementrian Agama. Fiqih Wakaf. Jakarta: Direktorat Pengembangan Zakat dan Wakaf,
2005.
RI, Kementrian Agama. Quran Tajwid Maghfirah. Jakarta: Maghfirah Pustaka, 2006.
Rohman, Abdur. Ekonomi Al-Ghazali, Menelusuri Konsep Ekonomi Islam dalam Ihya’ Ulum al-
Din. Surabaya: Bina Ilmu, 2010.
Rozalinda. Manajemen Wakaf Produktif. Jakarta: Raja Grafindo Persada. 2015.
Sholahuddin, Muhammad. World Revolution with Muhammad. Sidoarjo: Mashun, 2009.
Sugarto, Edi. Membangun Masyarakat Memberdayakan Rakyat: Kajian Strategis Pembangunan
Kesejahteraan Sosial dan Pekerjaan Sosial. Bandung: Refika Aditama, 2005.
Suhartini, dkk. Model-Model Pemberdayaan Masyarakat. Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2005.
Suhendi, Hendi. Fiqih Muamalah. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007.

22

Anda mungkin juga menyukai