Didik Fotunadi, Happening Art, lapangan Rumah Sakit INCO, August 2000
BAGIAN SATU
Ketika itu pagi hari, matahari yang baru terbit membuat warna emas
gemerlap di atas riak-riak laut yang tenang.
Satu mil dari pantai sebuah perahu nelayan meluncur di permukaan air,
dan berita untuk kawanan makan pagi menyebar di udara, sampai satu kelompok
yang terdiri dari seribu ekor camar dating menukik dan berebut makanan. Itu
adalah awal dari hari yang sibuk.
Tetapi disana, jauh dari perahu-perahu dan pantai, Jonathan Camar sedang
berlatih sendirian tanpa teman. Setinggi seratus kaki di langit dia menurunkan
kakinya yang berselaput, mengangkat paruhnya, dan “strained” untuk menahan
sakit dalam usaha keras untuk melengkungkan sayap-sayapnya. Lengkungan
berarti dia akan terbang perlahan-lahan, dan sekarang dia melambatkan
Setelah dia sadarkan diri kembali, hari sudah lewat senja, dan dia
terapung-apung dalam sinar bulan di permukaan samudra. Saypnya seperti
cabikan-cabikan batangan timah, tetapi beban kegagalan bahkan lebih berat pada
punggungnya. Dia menginginkan, dengan lemah, bahwa bobot badanya cukup
berat sehingga bisa menyeretnya pelahan ke dasar laut, dan mengakhiri segala-
galanya.
Sementara dia tenggelam tidak terlalu dalam di air, suara aneh yang
kosong berbunyi pada di dalam dirinya. Tidak ada cara untuk menghindarinya.
BAGIAN DUA
Jadi inilah sorga, pikirnya, dan dia tersenyum sendiri. Sama sekali tanpa
rasa hormat pada saat itu menganalisis sorga yang bisa dimasuki dengan terbang
ke dalamnya.
Sebagaimana dia datang dari Bumi yang ada di bawah sekarang, di atas
awan dan dalam formasi yang berdekatan dengan dua camar yang gemerlapan, dia
melihat tubuhnya sendiri semakin bercahaya terang seperti mereka. Benar,
Jonathan Camar muda yang sama masih ada di sana yang selalu hidup di belakang
matanya yang keemasan, tetapi bentuk luarnya sudah berubah.
Tubuhnya masih terasa seperti tubuh seekor burung camar, tetapi dia
sudah terbang jauh lebih baik daripada yang dilakukan oleh tubuhnya yang lama.
Wah, hanya dengan upaya separuhnya, pikirnya, aku akan mendapatkan
kecepatan dua kali lipat, kemampuan dua kali lipat hari-harinya yang terbaik di
Bumi!
Bulu-bulunya sekarang bersinar putih cemerlang, demikian pula sayapnya
halus dan sempurna seperti lembaran perak yang dipoles. Dengan rasa senang dia
mulai mempelajari tentang sayapnya, untuk menekankan kekuatan ke dalam
sepasang sayapnya yang baru.
Pada kecepatan dua ratus lima puluh mil per jam dia merasakan bahwa dia
hampir mencapai kecepatan terbang maksimum. Pada kecepatan dua ratus tujuh
puluh tiga mil per jam dia merasa dia sudah terbang paling cepat yang bisa
dilakukannya, dan dia samar-samar merasa kecewa. Ada batas tentang sebanyak
apa yang bisa dilakukan oleh tubuhnya yang baru, dan walaupun ini jauh lebih
cepat daripada rekor terbang mendatarnya yang lama, rasanya itu masih
merupakan batas yang bisa dipecahkannya dengan usaha besar. Di sorga,
pikirnya, seharusnya tidak ada batas.
Awan menyibak, kedua pengawalnya berseru, “ Selamat mendarat,
Jonathan,” dan lenyap tanpa bekas.
Pada suatu sore burung-burung camar yang tidak terbang malam berdiri
berkumpl di pasir, berpikir. Jonathan mengerahkan semua keberanian yang
dimilikinya dan berjalan menghampiri camar tertua, yang dikatakan tidak lama
lagi akan pindah meninggalkan dunia ini.
“Chiang …” katanya, sedikit gelisah.
Camar tua ini melihat kepadanya dengan sikap manis. “Ya anakku?”
Bukannya dilemahkan oleh usianya, Tetua bahkan mendapatkan kekuatan dengan
bertambahnya umur; dia bias terbang mengalahkan camar mana pun juga dalam
Kawanan, dan dia telah mempelajari keahlian yang hanya dengan cara berangsur-
angsur baru, mulai diketahui oleh yang lain-lainnya.
“Chiang, dunia ini sama sekali bukan sorga, bukan?
Tetua tersenyum dalam sinar bulan. “Kau belajar lagi, Jonathan Camar,”
katanya.
“Nah apa yang terjadi setelah ini? Ke mana kita akan pergi? Adakah tempat
yang namanya sorga?”
“Tidak, Jonathan, tidak ada tempat yang seperti itu. Sorga bukan tempat, dan
bukan waktu. Sorga adalah keadaan menjadi sempurna.” Dia terdiam sesaat. “
Kau penerbang yang cepat sekali, bukan?” “Aku…aku menyukai kecepatan,”
Jonathan berkata, terkejut tetapi bangga karena Tetua memperhatikan.
“Kau akan mulai menyentuh sorga, Jonathan, pada saat kau menyentuh kecepatan
yang sempurna. Dan itu bukanlah terbang dengan kecepatan seribu mil per jam,
atau sejuta mil per jam, atau terbang dengan kecepatan cahaya. Sebab bilangan
apa saja adalah batas, dan kesempurnaan tidak punya batas. Kecepatan yang
sempurna, anakku, adalah berada disana.”
Tiba-tiba sekali, Chiang menghilang dan muncul di tepi air sejauh lima puluh
kaki dari sana, hanya dalam sekejap mata. Kemudian dia menghilang kembali dan
BAGIAN TIGA