Anda di halaman 1dari 11

MAKALAH

KAIDAH CABANG-CABANG ALQAWAID ALFIQHIYYAH

Untuk Memenuhi Tugas

Mata Kuliah: Alqawa’id Alfiqhiyyah

Dosen Pembimbing: Dr. Nury Firdausia M.Pd.I

Oleh:

Alfatin Amalia: 2077011616

Roichatul Ismiyah: 2077011670

Indy Nurulil: 2077011555

SEKOLAH TINGGI ISLAM MA’HAD ALY AL-HIKAM

MALANG

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

November 2021
DAFTAR ISI
BAB I..........................................................................................................................................................2
PENDAHULUAN.......................................................................................................................................2
A. Latar Belakang 2
B. Rumusan Masalah 3
C. Tujuan 3
BAB II.........................................................................................................................................................3
PEMBAHASAN.........................................................................................................................................3
A. URGENSI QOWAID ALFIQHIYAH SAAT INI 3
B. CONTOH PERMASALAHAN YANG DAPAT DISELESAIKAN DENGAN QOWAIDHUL
FIQHIYYAH 4
BAB III.......................................................................................................................................................9
PENUTUP..................................................................................................................................................9
Kesimpulan 9
DAFTAR PUSTAKA...................................................................................................................10

2
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Qawaidul fiqhiyah (kaidah – kaidah fikih) adalah suatu kebutuhan bagi kita semua.
Banyak dari kita yang kurang mengerti bahkan ada yang belum mengerti sama sekali apa itu
Qawaidul fiqhiyah. Maka dari itu, kami selaku penulis mencoba untuk menerangkan tentang
Relevansi Qawaidul fiqhiyyah di Era milenial

Dengan menguasai kaidah kaidah fiqih kita akan mengetahui benang merah yang yang
menguasai fiqih, karena kaidah fiqih itu menjadi titik temu dari masalah-masalah fiqih, dan lebih
arif di dalam menerapkan fiqh dalam waktu dan tempat yang berbeda untuk kasus, adat
kebiasaan, keadaan yang berlainan. Selain itu juga akan lebih moderat di dalam menyikapi
masalah-masalah sosial, ekonomi, politik, budaya, dan lebih mudah mencari solusi terhadap
masalah-masalah yang terus muncul dan berkembang dalam masyarakat.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana urgensi Qowaid Alfiqhiyah untuk saat ini?

2. Apa saja permasalahan permasalahan yang dapat diselesaikan dengan Qawaid Fiqhiyah?

C. Tujuan

1. Untuk mengetahui urgensi Qowaid Alfiqhiyah untuk saat ini?

2. untuk mengetahui permasalahan permasalahan yang dapat diselesaikan dengan Qawaid


Fiqhiyah?

3
BAB II

PEMBAHASAN

A. URGENSI QOWAID ALFIQHIYAH SAAT INI

Perubahan-perubahan sosial yang dihadapi umat Islam dari generasi ke generasi hingga
saat ini, telah mengundang berbagai persoalan atau masalah baru yang memerlukan ketetapan
hukum. Meskipun demikian, dalam menjawab berbagai persoalan atau masalah baru di
masyarakat yang sangat memerlukan ketetapan hukumnya, Alquran dan Hadis seakan tidak
mampu menghadapinya Menurut A. Athaillah, yang dimaksud Alquran menjelaskan segala
sesuatu, tidaklah menjelaskan segala sesuatu dengan detail. Akan tetapi, yang dimaksudkan
adalah menjelaskan segala sesuatu yang bersifat alqawanin al-‘ammah (aturan-aturan umum) dan
al-mabadi al-kulliyah (prinsipprinsip yang universal) yang dapat diaplikasikan untuk semua
kasus dan problem yang muncul dalam kehidupan manusia, baik untuk mereka yang hidup di
masa lalu dan masa kini maupun untuk mereka yang hidup pada masa yang akan datang.
Kemudia untuk menjawab masalah-masalah baru yang belum ada penegasan tentang hukumnya
di dalam Alquran dan Sunnah, seperti masalah masalah yang keluar pada masa pandemi ini,
yang menyebabkan para ulama’ mecari jawaban jawaban atas semua hukum hukum masalah
terbaru ini, maka para pakar hukum Islam (fuqaha) berupaya memecahkan dan mencari hukum-
hukumnya dengan menggunakan ijtihad, Begitu pentingnya peran ijtihad dalam Islam sehingga
sumber hukum Islam dapat diklasifikasikan menjadi tiga, yaitu Alquran, hadis dan ijtihad.

Ijtihad yang diperlukan untuk menjawab berbagai persoalan baru yang muncul saat ini
tentunya memerlukan sebuah metodologi istinbath hukum. Salah satu metodologi istinbath
hukum, selain ushul al-fiqh- yang kiranya sangat signifikan dalam menyelesaikan permasalahan
tersebut ialah dengan menggunakan al-Qawa’id al-Fiqhiyyah atau kaidah-kaidah fikih dalam
bahasa Indonesia, yaitu kaidah-kaidah yang disimpulkan secara general dari materi fikih dan
kemudian digunakan pula untuk menetapkan hukum dari kasus-kasus baru yang timbul yang
tidak jelas hukumnya di dalam nas.

Adapun contoh permasalahan urgensi kaidah fikih dalam istinbath al-ahkam atas
masalah masalah yang baru muncul serta mengaplikasikan kaidah fikih sebagai berikut:

4
B. CONTOH PERMASALAHAN YANG DAPAT DISELESAIKAN DENGAN
QOWAIDHUL FIQHIYYAH

1. Contoh permasalahan fiqhiyah yang berhubungan era milenial saat ini yaitu hukum fiqhi
yang menyikapi shalat jum’at pada masa pandemi covid-19, untuk menyikapi hal itu
Majelis Ulama dan Pemerintahan memberi himbauan untuk tidak melaksanakan sholat
jum’at pada daerah yang dinyatakan zona merah dikarenakan kondisi yang darurat. Hal
ini terkadang menimbulkan masalah disaat keadaan menuntut sebagian masyarakat untuk
melakukan sholat jum’at karena wajib, tetapi keadaan waspada daari pemerintah dengan
tim kesehatannya menganjurkan masyarakat untuk mengganti sholat jum’at dengan
sholat duhur, karena itulah yang terbaik dengan alasan kondisi pemukiman, kapasitas
tempat beribadah, dan interaksi sosial di tengah tengah mereka adalah adalah faktor-
faktor potensial pemicu tertularnya wabah Covid 19. Menyikapi perkembangan di atas,
pernyataan mayoritas ulama secara tegas menghukumi tidak wajib melakukan shalat
jum’at di satu tempat yang terkena zona merah wabah covid 19. Karena adanya dorurot
maka dorurot ini bisa diartikan kesulitan dalam hal peribadahan, dan kesulitan tersebut
dapat diatasi dengan cara kemudahan yang sebagaimana dikaitkan dengan kaidah yang
menghukumi tentang kesulitan mendatangkan kemudahan yaitu

‫المشقّة تجلب التّيسير‬


“Kesulitan Mendatangkan Kemudahan”

2. Ketentuan tentang pencatatan perkawinan dan perceraian diatur oleh pemerintah untuk
menjaga kemaslahatan rakyatnya terutama dalam bidang perkawinan yang sejalan dengan
tujuannya yaitu mewujudkan keluarga yang sakinah, mawaddah warahmah.
Terdapat pasal yang berbunyi tentang:
1) Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan
kepercayaannya itu.
2) Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

5
Dalam pasal tersebut terlihat dengan jelas bahwa perkawinan selain harus menurut
hukum agama dan kepercayaan masing-masing agama, perkawinan untuk mendapat
kesahannya juga harus dicatat menurut peraturan yang diatur oleh pemerintah supaya
perkawinan itu mendapat legalisasi kesahannya secara hukum perundang-undangan.
Kebijakan yang dibuat oleh pemerintah itu sejalan dengan nilai yang terkandung dalam
kaidah fiqhiyyah :

‫التصرف االمام على الرعية منوط بالمصلحة‬


Kebijakan (pemimpin) atas rakyat bergantung pada maslahat
Yang artinya benar dan tidaknya kebijakan pemerintah dalam pandangan syariat islam
bergantung pada maslahat atau tidaknya kebijakan itu pada rakyat, dan jika memang
benar maslahat bagi rakyat maka itu benar, dan jika tidak maslahat maka itu tidak benar.

3. Kasus Hukum Meminta Wakaf di Jalan Raya


Islam telah mengatur bagaimana seorang muslim dapat menolong orang lain dengan
hartanya, misalnya melalui zakat, infak, sedekah, wakaf, dan hibah. Walaupun istilahnya
berbeda, akan tetapi tujuan semuanya adalah untuk membantu orang lain yang sedang
memerlukan bantuan, khususnya sesama muslim. Dalam hal pembangunan atau
perbaikan tempat ibadah misalnya, umat Islam tidak asing lagi dengan istilah wakaf atau
perwakafan.
Praktik wakaf yang ada di masyarakat sekarang ini, sebagiannya terlihat berbeda dengan
praktik di awal-awal Islam –orang yang ingin berwakaf menyerahkan sendiri hartanya
untuk kepentingan Islam dengan cara-cara tertentu yang telah diatur oleh Islam.
Sedangkan pada saat ini, sebagian kecil umat Islam memanfaatkan pembangunan atau
perbaikan sarana tempat ibadah dengan melakukan praktik meminta wakaf di jalan raya.
Padahal jalan raya semestinya bukanlah tempat meminta wakaf, melainkan tempat arus
berlalu lintas yang digunakan oleh setiap orang untuk kenyamanan beraktivitas sehari-
hari. Maka, tampak adanya pertentangan antara praktik meminta wakaf di jalan raya
dengan kenyamanan berlalu lintas di jalan raya. Dalam hal ini setidaknya masyarakat
terbagi kepada dua kelompok, yaitu kelompok yang menyukai (membolehkan) serta
kelompok yang tidak menyukai (melarang) praktik meminta wakaf di jalan raya.

6
Dalam menyelesaikan permasalahan di atas, Alquran dan hadis secara spesifik tidak
menyinggung masalah ini, sebab praktik ini lahir karena perubahan dan perkembangan
zaman saat ini. Namun demikian, permasalahan ini dapat juga diselesaikan dengan
menggunakan kaidah fikih. Menurut A. Rahmani, pada mulanya perbaikan maupun
pembangunan rumah ibadah yang dilakukan oleh masyarakat, dananya bersumber dari
dana masyarakat setempat sendiri. Akan tetapi, karena dana yang diperlukan untuk itu
sangat besar -sedangkan kemampuan masyarakat setempat tidak memungkinkan- maka
timbullah inisiatif dari pihak panitia perbaikan atau pembangunan rumah ibadah tersebut
dan didukung oleh masyarakat setempat untuk meminta wakaf di jalan raya.
Permasalahan tersesebut termasuk ke dalam bidang muamalah dan termasuk persoalan
prioritas atau mana yang lebih diutamakan. Sesuai kaidah fikih yaitu
ِ ّ‫تحريمها على دليل يد ّل ان اال‬
‫االباحة المعاملة في االصل‬
“Hukum asal dalam semua bentuk muamalah adalah boleh dilakukan kecuali ada dalil
yang mengharamkannya.”
Dengan demikian, karena tidak ada nas yang melarang atau mengharamkan praktik
meminta wakaf di jalan raya, maka berdasarkan hukum asalnya kegiatan tersebut adalah
boleh dilaksanakan. Namun, pada sisi lain sebagaimana telah dikemukankan bahwa
praktik meminta wakaf di jalan raya bertentangan dengan kenyamanan berlalu lintas di
jalan raya.
4. Kaidah fikih dalam transaksi
Penjual dan pembeli telah melaksanakan akad jual beli. Si pembeli telah menerima
barang dan si penjual telah menerima uang. Kemudian kedua belah pihak membatalkan
jual beli tadi. Maka, hak pembeli terhadap barang menjadi batal dan hak penjual terhadap
harga barang menjadi batal. Artinya, si pembeli harus mengembalikan barangnya dan si
penjual harus mengembalikan uang (harga barangnya).
Sesuai kaidah fikih :
‫اذا بطل ال ّشيء بطل ما في ضمنه‬
“Apabila sesuatu akad batal, maka batal pula yang ada dalam tanggungannya.”
5. Kasus Hukum Penggusuran Tanah Wakaf untuk Kepentingan Publik
Allah telah menjadikan bumi (tanah) untuk kepentingan bersama semua makhluk-Nya.
Tidak ada hak istimewa pada suatu pihak atau kelompok untuk memonopoli atau

7
menguasai bumi untuk kepentingan mereka sendiri. Akan tetapi, justru yang ditekankan
adalah bagaimana bumi itu dikelola secara adil untuk kemakmuran dan kesejahteraan
bersama, yang untuk tujuan itulah diangkatnya khalifah Allah di muka bumi atau kepala
negara (pemerintah) di masing-masing wilayahnya.
Imam Syafi‟i berpendapat tidak boleh menjual masjid secara mutlak, sekalipun masjid itu
roboh. Al-Syairazi dalam al-Muhadzab memberikan alasan bahwa masjid masih dapat
ditempati sholat walaupun dalam keadaan roboh.31 Tentang bolehkah bagi Nadzir tanah
wakaf untuk mesjid ditukarkan dengan tanah yang lebih banyak manfaatnya? Nahdhatul
Ulama (NU) menjawab, “haram menukarkan tanah wakaf, menurut mazhab Syafi’i, dan
boleh menurut mazhab Hanafi asal dengan tanah yang lebih banyak manfaatnya. Adapun
menurut NU (pengikut mazhab Syafi’i) adalah tidak boleh mengganti barang wakaf.”

Menurut Abu Zahrah, Imam Ahmad ibn Hambal menyatakan bahwa menjual masjid itu
diperbolehkan bila masjid tersebut tidak sesuai lagi dengan tujuan pokok perwakafan,
seperti masjid yang sudah tidak dapat menampung jamaahnya dan tidak mungkin
diperluas, atau sebagian masjid itu roboh sehingga tidak dapat dimanfaatkan. Maka
dalam keadaan seperti ini masjid boleh dijual kemudian uangnya digunakan untuk
membangun masjid yang lain.
Ahmad ibn Hambal juga memperbolehkan pemindahan masjid dari satu tanah ke tanah
yang lain karena adanya maslahat (kebaikan). Bahkan apabila diperbolehkan
menggantikan satu masjid dengan yang bukan masjid karena suatu maslahat, sehingga
masjid dijadikan pasar, maka hal itu disebabkan bolehnya mengganti objek lain yang
lebih utama dan layak. Yang demikian juga merupakan qiyas terhadap pendapat Ahmad
tentang penggantian hadiah dengan yang lebih baik daripadanya. Ahmad menggariskan
bahwa masjid yang bercokol di suatu tanah apabila mereka mengangkatnya dan
membangun pengairan di bawahnya, sedang orang-orang yang tinggal berdampingan
dengan masjid itu menyetujuinya, maka hal itupun dapat dilakukannya.
Kaidah fikih menyebutkan :
ّ ‫الوالية الخا‬
‫صا اقوى من الوالية العا ّمة‬
“Wilayah khusus lebih kuat daripada wilayah umum"

8
Dalam hal ini, wilayah khusus adalah dimiliki oleh Nadzir wakaf yang berdasarkan
peraturan perundangan bertugas memelihara dan mengelola tanah wakaf. Dengan
demikian pemerintah tidak bisa dengan seenaknya ingin menguasai tanah wakaf tanpa
kesepakatan dari Nadzir wakaf tersebut.
Juga kaidah yang berbunyi :
‫اليجوز الحد ان ياءخذ مال احد بال سبب شرعي‬
“Seseorang tidak boleh mengambil harta orang lain kecuali dengan sebab yang
dibenarkan syara‟.

9
BAB III
PENUTUP

Kesimpulan

10
DAFTAR PUSTAKA

Athaillah, H. A., Prof. Dr, “Mengenal Qawa‟id Fiqhiyyah (Legal Maxim)”,


Makalah, Program Pascasarjana IAIN Antasari Banjarmasin, 2007
………. ,"Mengenal 'Ulum Alquran", Makalah, Program Pascasarjana IAIN
Antasari Banjarmasin, 2005
……… , Rasyid Ridha: Konsep Teologi Rasional dalam Tafsir al-Manar, (Jakarta:
Erlangga, 2006
………. , Sejarah Alquran: Verifikasi tentang Otentisitas Alquran, Banjarmasin:
Antasari Press Banjarmasin, 2006, Cet. ke-1
„Azzami, „Abd al-„Aziz Muhammad, Dr., Al-Qawa’id al-Fiqhiyyah, Kairo: Dar alHadits, 2005
M/1426 H
Bakry, H. Nazar, Dr., Fiqh dan Ushul Fiqh, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2003,
Cet. ke-4

11

Anda mungkin juga menyukai