PENDIDIKAN ISLAM
(Landasan Filosofis Keilmuan dan Dimensi Spiritual)
FILSAFAT
PENDIDIKAN ISLAM
(Landasan Filosofis Keilmuan dan Dimensi Spiritual)
Editor:
Khairiah, M.A
Perpustakaan Nasional RI: Katalog dalam Terbitan (KDT)
Budiman
Filsafat Pendidikan Islam (Landasan Filosofis Keilmuan dan
Dimensi Spiritual)/Budiman.
—Ed. 1, Cet. 1. —Deli: Merdeka Kreasi Group, 2021
viii, 162 hlm., 21 cm.
Bibliografi: hlm. 143
ISBN 978-623-6198-14-8
P
uji dan syukur penulis ucapkan sebanyak-banyaknya
kepada Allah swt., yang telah melimpahkan segala nikmat
kebaikan kepada penulis, sehingga dapat melaksanakan
penulisan buku daras ini. Ṣalawat dan salam penulis sampaikan
kepada Muhammad Rasulullah saw. yang telah dijadikan Allah
sebagai rahmat bagi sekalian alam.
Buku ini berjudul: FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM
(Landasan Filosofis Keilmuan dan Dimensi Spiritual), ditulis
untuk membantu mahasiswa Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Ilmu
Keguruan dalam perkuliahan pada Universitas Islam Negeri
(UIN) Sumatera Utara Medan khususnya dan mahasiswa pada
umumnya.
Semoga buku ini dapat bermanfaat bagi penulis dan
mahasiswa Tarbiyah khususnya serta bagi pembaca sekalian
umumnya.
v
vi Filsafat Pendidikan Islam
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR v
DAFTAR ISI vii
LANDASAN ONTOLOGI FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM 1
1. Pengertian Filsafat Pendidikan Islam 1
2. Ruang Lingkup Filsafat Pendidikan Islam 7
LANDASAN EPISTIMOLOGIS FILSAFAT PENDIDIKAN
ISLAM 11
1. Sumber Filsafat Pendidikan Islam 12
2. Pendekatan dan Metode dalam Studi Filsafat
Pendidikan Islam 16
LANDASAN AKSIOLOGIS FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM 49
1. Urgensi dan Fungsi Filsafat Pendidikan Islam 49
2. Perbandingan Antara Filsafat Pendidikan Islam
dengan Filsafat Pendidikan Barat 52
KONSEP SPIRITUALITAS DALAM PENDIDIKAN ISLAM 55
1. Pengertian Spiritualitas 55
2. Spiritualitas dalam Pendidikan Islam 57
vii
SPIRITUALITAS GURU PENDIDIKAN ISLAM 125
1. Spiritualitas Mu’alim/Ustāz 126
2. Spiritualitas Mudarriz 131
3. Spiritualitas Murabbi 137
4. Spiritualitas Muaddib 139
5. Spiritualitas Mursyid 140
DAFTAR PUSTAKA 143
BIOGRAFI PENULIS 161
K
ajian Filsafat Pendidikan Islam pada aspek ontologi,
membahas tentang hakikat substansi dari pendidikan
Islam. Bahwa pendidikan Islam adalah hakikat
dari kehidupan manusia yang berpradaban dan berpikir
menggunakan akal dalam peradabannya. Tanpa adanya akal,
maka pendidikan tidak akan terjadi.1 Karena eksistensi akal
tersebut, maka diperlukan adanya pendidikan sebagai usaha
pengembangan potensi diri manusia. Selain itu, secara ontologis
pemahaman terhadap pendidikan Islam tidak dapat dipisahkan
dari eksistensi Allah swt. Sebab tujuan pendidikan Islam adalah
memenuhi tujuan Allah swt dalam menciptakan manusia, yaitu
sebagai insan pengabdi.
1
Hasan Basri, Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2009), h.
18.
1
Islam khususnya. Dalam kamus Bahasa Indonesia, filsafat
diartikan: 1. Pengetahuan dan penyelidikan dengan akal budi
mengenai hakikat segala yg ada, sebabnya, asalnya, hukumnya;
2. Teori yang mendasari alam pikiran atau suatu kegiatan; 3. Ilmu
yang berintikan logika, estetika, metafisika, dan epistomologi;
4. Kumpulan anggapan, gagasan, dan sikap batin yang dimiliki
orang atau masyarakat.2 Filsafat menurut arti katanya adalah
cinta akan kebenaran. Dengan demikian, dapat dipahami
bahwa makna filsafat adalah cinta kepada ilmu pengetahuan
atau kebenaran, suka kepada hikmah dan kebijaksanaan.3 Plato
(427-347 SM), seorang filosof Yunani Kuno mengatakan bahwa
filsafat adalah pengetahuan tentang segala sesuatu yang ada.4
Aristoteles (348-322 SM) mengatakan filsafat adalah
pengetahuan dan penelitian tentang sebab-sebab dan
prinsip-prinsip segala sesuatu.5 Omar Mohammad Al-Toumy
Al-Syabany, menjelaskan bahwa filsafat bukanlah hikmah
itu sendiri melainkan cinta terhadap hikmah dan berusaha
mendapatkannya, memusatkan perhatian padanya dan
menciptakan sikap positif terhadapnya. Filsafat dapat pula
berarti mencari hakekat sesuatu, berusaha menautkan sebab
dan akibat, dan berusaha menafsirkan pengalaman-pengalaman
manusia.6 Sidi Gazalba mengartikan filsafat dengan kegiatan
berpikir secara mendalam, sistematik, radikal, dan universal
dalam rangka mencari kebenaran, inti, atau hakikat mengenai
segala sesuatu yang ada.7
2
Kamus Bahasa Indonesia/Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa
(Jakarta: Pusat Bahasa, 2008), h. 410.
3
Omar Amin Hosein, Filsafat Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1961), h. 14.
4
K. Bertens, Sejarah Filsafat Yunani (Yogyakarta: Kanisius, 1981), h. 155.
5
Ibid.
6
Omar Mohammad al-Toumy al-Syabany, Falsafah Pendidikan Islam
(terj. Hasan Langgulung (Jakarta: Bulan Bintang, 1979, cet. 2), h. 1.
7
Sidi Gazalba, Sistematika Filsafat, Jilid 1, cet 2 (Jakarta: Bulan Bintang,
b. Pendidikan Islam.
Omar Muhammad al-Toumy al-Syaibany, mengartikan
pendidikan Islam sebagai usaha mengubah tingkah laku
individu dalam kehidupan pribadinya atau kehidupan
kemasyarakatannya dan kehidupan dalam alam sekitarnya
melalui proses kependidikan, perubahan itu dilandasi dengan
nilai-nilai Islam.9 Istilah yang dipergunakan untuk menunjuk
kepada pendidikan Islam adalah al-Tarbiyyah, al-Ta’līm, dan al-
Ta’dīb. Ketiga istilah tersebut merupakan istilah bahasa Arab
yang memiliki konotasi (pengertian) masing-masing.
Yusuf Amir Faisal mengemukakan istilah al-Tarbiyyah dan al-
Ta’dīb memiliki pengertian lebih dalam dibanding dengan istilah
al-Ta’līm. Al-Ta’līm berarti hanya pengajaran (penyampaian
pengetahuan) sedangkan al-Tarbiyyah dan al-Ta’dīb mengandung
9
Al-Syabany, Falsafah, h. 5.
14
Ibid. h. 72.
15
Al Rasyidin, Filsafat Pendidikan Islam (Jakarta: Ciputat Press, 2005), h.
26-30.
E
pistemologi berasal dari bahasa Yunani, Episteme, yang
berarti cabang ilmu filsafat yang mempelajari dasar-
dasar dan batas-batas pengetahuan.1 Epistemologi
secara khusus membahas tentang teori ilmu pengetahuan.2
Pengetahuan adalah semua yang diketahui.3 Epistemologi
meliputi segala permasalahan fisik dan metafisik dan diperlukan
sebagai upaya untuk pertangungjawaban ilmiah.
Epistemologi menentukan pola pikir dan kebenaran ilmiah
yang dihasilkannya. Bangunan dasar epistemologi berbeda
antara suatu peradaban dengan lainnya. Perbedaan pola pikir
dan kebenaran ilmiah dalam epistemologi, berpengaruh besar
terhadap konstruksi bangunan pemikiran manusia. Pandangan
manusia tentang dunia bahkan dibentuk oleh konsepsinya
1
Kamus Bahasa Indonesia/Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa (Jakarta:
Pusat Bahasa, 2008), h. 396.
2
M. Amin Abdullah, Studi Agama Normativitas atau Historisitas? (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2002), h. 43.
3
Pengetahuan diperoleh melalui dua cara. Pertama, pengetahuan yang
diperoleh tanpa niat, tanpa motif, tanpa keingintahuan dan tanpa usaha. Kedua,
pengetahuan yang didasari motif ingin tahu. Pengetahuan jenis ini sangat
penting karena ia didasarkan logika dan bukti empiris. Ahmad Tafsir, Filsafat
Ilmu, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2006), h. 4-6.
11
tentang epistemologi.4 Karena itu perlu mendudukkan kajian
Filsafat Pendidikan Islam pada landasan epistemologi Islam.
Sehingga analisis filosofis terhadap permasalahan pendidian
Islam dilakukan berdasarkan epistemologi Islam.
11
Untuk informasi lebih lengkap tentang pusat-pusat studi dan
daerah-daerah yang mewariskan keilmuan terhadap Islam, baik yang
langsung maupun tidak langsung, dapat dibaca dalam Rene Ristelhuever,
A History of the Balkan Peoples, terj. Sherman David Spector (New
York: Twayne Publisher, INC., 1971), h. 6; Ira Lapidus, A History of
Islamic Societies (Cambridge: Cambridge University Press, 1988), h. 93;
Philip K. Hitti, History of the Arabs (London: The Macmillan Press Ltd.,
1974), h. 309; Seyyed Hossein Nasr, Science and Civilization in Islam
(New York: New American Library, 1970), h. 190. Adapun mengenai
ulasan transmisi keilmuan non-Islam di kalangan umat Islam dapat
dilihat dalam Franz Rosenthal, The Classical Heritage in Islam (London:
Routledge & Kegan Paul, 1975), h. 47.
12
Informasi tentang hal ini dapat dibaca dalam Harun Nasution, Islam
Ditinjau dari Berbagai Aspeknya (Jakarta: UI Press, 1985), h. 68; dan lihat juga
J.H. Krammers, “Geography and Commerce”, dalam Thomas Arnold dan Alfred
Guillaume (Ed.), The Legacy of Islam (London: Oxford University Press, 1952),
h. 98-99.
a. Pendekatan Normatif
Pendekatan normatif disebut juga dengan pendekatan
doktriner.13 Yaitu melakukan kajian dengan membangun dan
memformulasikan pemikiran Filsafat Pendidikan Islam melalui
dasar-dasar doktrinal-teologis dari Alquran dan Hadis. M. Amin
Abdullah menyebutkan bahwa Islam sebagai agama memiliki
“hardcore” yang diperlukan dalam pendekatan normatif melalui
doktrinal-teologis. Karena berangkat dari kajian terhadap teks
yang terdapat dalam kitab suci, maka pendekatan normatif
dilakukan secara literalis, tektualis dan skriptualis.14
b. Pendekatan Historis
Dengan pendekatan ini, kajian Filsafat Pendidikan Islam
dilakukan berdasarkan urutan dan renang waktu yang terjadi
13
M.Amin Abdullah, Studi Agama: Normativitas atau Historitas?, cet 2
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999), h. 9.
14
Ibid., h. vi.
c. Pendekatan Bahasa
Pendekatan bahasa dalam studi Filsafat Pendidikan Islam
digunakan melalui analisis bahasa dan analisis konsep.17
Analisis bahasa yaitu melakukan interpretasi terhadap makna
kebahasaan. Bahasa dalam hal ini adalah aspek rasionalnya,
bukan aspek emosionalnya. Analisis bahasa akan fokus pada
sumber-sumber tertulis sebagai sumber data. Sedangkan
analisis konsep dilakukan dengan menganalisis istilah-istilah
yang mewakili gagasan atau konsep. Dalam melaksanakan
analisis konsep, hal-hal yang perlu diperhatikan yaitu;
menemukan arti istilah-istilah, menganalisis konsep secara
objektif, menggunakan logika, memahami hubungan antara
pikiran, bahasa dan realitas. Sehingga dengan demikian,
analisis konsep bertujuan menganalisis kata-kata kunci dari
sebuah konsep dan analisis bahasa bertujuan mengetahui arti
sesungguhnya dari suatu hal.
15
Imam Barnadib, Filsafat Pendidikan: Sistem dan Metode, Cet IX (Yogyakarta:
Andi Opset, 1997), h. 89-90.
16
Nourouzzaman Shiddiqy, Jeram-Jeram Peradaban Muslim, Cet I
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), h. 73.
17
Barnadib, Filsafat, h. 90-95.
Ibid., h. 89.
18
g. Pendekatan Hermeneutik
Pendekatan hermeneutik dalam studi Filsafat Pendidikan
Islam dimaksudkan yaitu melakukan interpretasi terhadap teks
yang bernuansa kependidikan, untuk dipahami kronologi dan
konteksnya, sehingga menghasilkan makna baru yang berbeda
dengan pendekatan normatif.
Argumentasinya bahwa setiap teks dalam sebuah wacana
memiliki banyak variabel, seperti suasana politik, ekonomi,
sosiologi, psikologi dan lainnya. Sehingga teks sangat potensial
untuk menjadikan salah paham di kalangan pembacanya. Sebab
dalam proses pemahaman, penafsiran dan penerjemahan
sebuah teks, tidak terlepas dari keberadaan; pengarang teks,
dunia teks dan pembaca teks. Persoalan akan menjadi rumit
ketika jarak waktu, tempat dan budaya antara pembaca dengan
pengarang dan dunia teks demikian jauh. Teks keagamaan yang
hadir di Timur Tengah ribuan tahun lalu, dihadirkan untuk
masyarakat Indonesia kontemporer, tentu merupakan sesuatu
yang asing.21 Keterasingan inilah yang menjadi fokus kerja
hermeneutik, untuk menafsirkan teks klasik (sesuatu yang
20
M. Amin Abdullah, Mencari Islam: Studi Islam dengan Berbagai Pendekatan,
Cet 1 (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2000), h. 1-25.
21
Komaruddin Hidayat, Memahami Bahasa Agama: Sebuah Kajian
Hermeneutik, cet 1 (Jakarta: Paramadina, 1996), h. 17.
h. Pendekatan Perbandingan
Pendekatan perbandingan dalam studi Filsafat Pendidikan
Islam yaitu mencari titik kelebihan dan kekurangan serta
persamaan dan perbedaan, sehingga melahirkan konsep yang
merupakan sintesa dari dua pemikiran kependidikan yang
berbeda.
Berbagai pendekatan di atas, bukan merupakan final dari
pendekatan studi Filsafat Pendidikan Islam. Diharapkan akan
ada pendekatan lainnya yang bertujuan untuk pengembangan
metodologi berpikir, pengembangan metodologi pemaknaan dan
pengembangan metodologi dalam mengkonstruk sebuah teori.22
Berdasarkan pendekatan pengkajian Filsafat Penddikan Islam,
pandangan epistemologis akan menjawab bahwa pengetahuan
manusia diperoleh melalui sinergisitas antara subyek yang
mengetahui dan obyek yang diketahui. Pengetahuan manusia
tidak mungkin ada tanpa salah satunya, sehingga pengetahuan
manusia selalu subyektif-obyektif atau obyektif subyektif.
Di sini terjadi sinergisitas antara subyek dan obyek. Subyek
dapat mengetahui obyeknya, karena dalam dirinya memiliki
23
Al-Jabīrī adalah Guru Besar Filsafat Islam pada Universitas Muhammad
V, Rabat, Maroko. Lihat; M. Abid Al-Jabīrī, Bunyah al-Aql al-Arabī (Beirut, al-
Markaz al-Tsaqāfi al-Arabī, 1991), h. 12.
24
Mulyadhi Kartanegara, Menyibak Tirai Kejahilan; Pengantar Epistemologi
Islam (Bandung: Mizan, 2003), Cet I, h. 52.
25
Ibid. Lihat juga; Mulyadhi Kartanegara, Nalar Religius, Memahami Hakikat
Tuhan, Alam dan Manusia (Jakarta: Erlangga, 2007), h.70-74.
34
Ibid. h. 268.
35
Ibid.
45
M. Quraish Shihab, Lentera Hati: Kisah dan Hikmah Kehidupan, Cet. XVII
(Bandung: Mizan, 1999), h. 52.
46
M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam, Cet. III (Jakarta: Bumi Aksara, 1994),
h. 88-96.
53
Al-Jabīrī, Bunyah, h. 38.
54
Abd. Wahab Khallāf, Ilm Uṣul al-Fiqh, terj. Madar Helmi (Bandung: Gema
Risalah Pres, 1996), h. 22.
55
Al-Jabīrī, Bunyah, h. 116.
56
Ibid, h. 58-62.
57
Ibid, h. 530.
58
Al-Syāṭībī, al-Muwāfaqat fī Uṣūl al-Ahkām, Cet. III (Beirut, Dār al-Fikir,
tt), h. 62-4.; Lihat juga; Al-Būṭi, Dawābiṭ al-Maṣlahah fī al-Syarī`at al-Islāmiyah
(Beirut, Muassasat, tt), h. 249-54.
59
QS. Al-Hasyr; 7/2.
60
Khallāf, Ilm, h. 127-35.
61
Fathur Rahman Jamil, Filsafat Hukum Islam (Jakarta: Logos, 1997), h.
139-141.
62
Khallāf, Ilm, h. 154.
68
Muḥammad Ismāil Ibrāhim, Mu’jam al-Alfāẓ wa al-A‘lām al-Qur’āniyyāt
(Kairo: Dār al-Fikr al-Arabi, 1968), h. 351.
69
Al-Qusyairi (w. 1072 M) mencatat ada 49 tahapan yang harus dilalui,
Abū Sā’id ibn Abū al-Khaīr mencatat 40 tahapan, Abū Naṣr al-Tūsi mencatat 7
tingkatan, sedang Ṭabaṭaba’ī menulis 24 jenjang. Lihat, al-Qusyairi, al-Risālah
(Beirut: Dār al-Khair, tt), h. 89-350; Husein Naṣr, Tasawuf Dulu dan Sekarang,
terj. Abd. Hadi (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994), h. 89-96; Muṭahhari, Menapak
Jalan Spiritual, terj. Nasrullah (Bandung: Pustaka Hidayah, 1997), h. 120-155.
70
Mehdi Hairi Yazdi, Ilmu Huḍūrī, terj. Ahsin Muhamad (Bandung: Mizan,
1994), h. 51-53. Uraian tentang kasyf, lihat al-Qusyairi, al-Risālah, h. 75.
71
Mehdi Yazdi, Ilmu Huḍūrī, h. 245-268; William James, The Verievities of
Religious Experience (New York: 1936), h. 271-72; Steven K. Katz, Mysticism and
Philosophical Analysis (London: Sheldon Press, 1998), h. 23.
72
Al-Jabīrī, Bunyah, h. 295-296.
73
Ibid, h. 288.
74
Q.S. Al-Kahfi/18:66.
75
Q.S. al-Syams/91: 8-10.
76
Mir Valiudin, Contemplative Disciplines in Sufism terj. MS. Nasrullah,
Dzikir dan Kontemplasi dalam Tasawuf (Jakarta: Pustaka Hidayat, 1996), h. 45.
77Ibid., h. 38.
78
Takḥalli adalah proses pembersihan, taḥalli proses penghiasan dan tajjali
merupakan tahapan sebagai hasil dari proses tersebut. Tajalli adalah penampakan
Tuhan dalam hati seorang hamba yang telah cemerlang karena proses takḥalli
dan taḥalli. Musṭafā Zuhri, Kunci Memahami Ilmu Tasawuf (Surabaya: Bina Ilmu,
1995), h. 74-89.
79
Merendahkan diri dan tidak takabbur.
80
Dalam proses takḥalliyat amalan lebih ditekankan pada aspek akhlak dan
menjaga kesucian lahir dan batin, yang menurut metode suluknya al-Ḥākim
al-Tirmīzī, terdiri dari tiga akhlak utama, yaitu; kebenaran anggota tubuh,
keadilan hati dan kejujuran akal. Ibrāhim, M. al-Jayāṣi al-Ḥākim al-Tirmīzī
Muḥammad ibn Ālī al-Tirmīzī, Dirāsat fī Aṡārihī wa afkārihī (Kairo: Dār al-
Naḥḍat al-Arabiyah, t.t.), h. 325.
81
Analogi yang lain untuk penempaan jiwa adalah dimensi tazkiyat al-
nafs, yang menggambarkan proses takḥalliyat sebagai pembersihan jiwa dan
proses taḥalliyat sebagai pengobatannya. Walaupun tujuan akhir dari tazkiyat
al-nafs dalam arti umum berbeda dengan psikoterapi kaum sufi, tetapi keduanya
memiliki proses yang searah dan obyek yang sama. Baca Hanna Djumhana
Bustaman, Integrasi Psikologi dengan Islam: Menuju Psikologi Islami (Yogyakarta:
Insān al-Kāmil, Pustaka Pelajar, 1995), h. 130-131.
82
Itulah sebabnya sehingga orang awam pun banyak yang menggapai
kehidupan kesufian dengan melalui tarekat, dalam tarekat yang diajarkan
langsung praktek takḥalliyat yang berupa zikir. Jiwanya lebih tenang dan zikir
ini harus diterima secara mutalaqqīn. Ṣahibudin, Metode Mempelajari Ilmu Tasawuf
Menurut Ulama Sūfi (Surabaya: Media Varia Ilmu, 1996), h. 37.
83
Abū Bakr al-Makky, Kifāyat al-Atqiyā’ wa Minḥāj al-Aṣfiyā’ (Surabaya:
Sahabat Ilmu, t.t.), h. 49-51.
84
Sulaiman ibn Asy’at Abū Dāwud al-Sijistānī al-Azdi, Sunan Abū Dāwud,
juz 2 (Beirut: Dār al-Fikr, t.t.), h. 632.
A
ksiologi adalah teori tenteng nilai. Teori yang membahas
tentang nilai, manfaat atau fungsi sesuatu yang diketahui
dalam hubungan dengan seluruh yang diketahui.
Dengan demikian, dalam hal ini aksiologi mempertanyakan
tentang kegunaan dan fungsi Filsafat Pendidikan Islam.
49
diketahuinya, ketika berhubungan secara realistic
dengan konteks dunia global.1
Dari sudut pandangan lain, urgensi Filsafat Pendidikan
Islam bagi para pendidik adalah:
a. Filsafat Pendidikan Islam berfungsi karena
permasalahan pendidikan selalu ada pada setiap kurun
waktu. Permasalahan kependidikan Islam hanya dapat
diselesaikan melalui Filsafat Pendidikan Islam.
b. Pendidik yang memahami Filsafat Pendidikan Islam
akan memiliki jangkauan pandangan yang melampaui
temuan empirik atau eksperimental ilmu pengetahuan.
c. Melalui berpikir sistematis, radikal dan universal,
berarti pendidik memiliki intlektualitas yang baik.2
Dengan demikian, Filsafat Pendidikan Islam memiliki
urgensi bagi para perencana dan pelaksana pendidikan, sebab
dapat dijadikan landasan dalam menentukan berbagai kebijakan
pendidikan, landasan dalam menilai keberhasilan pendidikan
dan dasar bagi upaya pemberian pemikiran pendidikandalam
hubungannnya dengan masalah spiritual, kebudayaan, sosial,
ekonomi dan politik. Pada gilirannya Filsafat Pendidikan Islam
dijadikan sebagai pedoman dalam menghasilkan generasi baru
yang berkepribadian muslim. Generasi baru tersebut diharapkan
pula dapat mengkonstruk kebijakan pendidikan yang relevan
dengan perkembangan ilmu pengetahuan di zamannya, akan
tetapi tetap berlandaskan pada nilai-nilai filosofis kependidikan
Islam.
1
George R. Knight, Issues and Alternative in Educational Philosophy (Michigan:
Andrews University Press, 1982), h. 3.
2
Imam Barnadib, Filsafat Pendidikan: Sistem dan Metode, Cet IX (Yogyakarta:
Andi, 1997), h. 16.
3
Mohammad Noor Syam, Filsafat Pendidikan dan Dasar Filsafat Pendidikan
Pancasila, Cet 2 (Surabaya: Usaha Nasional, 1984), h.51-52.
4
Ali Khalil Abū al-‘Ainainī, Falsafah al-Tarbiyyah al-Islamiyyah, Cet 1 (t.kp,
Dār al-Fikr al-Araby, 1980), h. 62-63.
7
Ibid., h. 77-78.
8
Ibid., h. 83.
9
Al-Syabany, Falsafah, h. 51.
1. Pengertian Spiritualitas
S
piritual berasal dari kata spirit yang mempunyai
banyak arti, baik dalam bentuk kata benda maupun
kata kerja. Beberapa arti spiritual dalam bentuk kata
benda yaitu; jiwa, sukma, roh, semangat.1 Jadi kata spiritual
sebagai suatu hal yang berkaitan dengan kemampuan dalam
membangkitkan semangat atau bagaimana seseorang benar-
benar memperhatikan jiwa dalam kehidupannya. Istilah yang
digunakan untuk “spiritualitas” adalah rūḥāniyyah (bahasa
Arab), ma‘nāwiyyah (bahasa Persia), atau berbagai turunannya.2
Rūḥāniyyah diambil dari kata al-rūḥ.3 Kata ma‘nāwiyyah berarti
makna yang mengandung konotasi kebatinan, hakiki, sebagai
lawan dari yang kasatmata dan juga rūḥ, yaitu berkaitan dengan
suatu kenyataan yang lebih tinggi daripada realitas yang bersifat
1
W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, cet 17 (Jakarta:
Balai Pustaka, 2002), h. 963.
2
Seyyed Hossein Nasr, (ed.), Islamic Spirituality Foundations, terj. Rahmani
Astuti, judul: Ensiklopedi Tematis Spiritual Islam; Fondasi (Bandung: Mizan, 2002),
h. 43.
3
Q.S. al-Isra’/17: 85. Lihat juga Muḥammad ibn Jārir ibn Yāzid ibn Khālid
at-Tabārī Abū Ja’far, Jāmi‛ al-Bayān ‘an Ta’wīl Ayy al-Qur’ān, juz 8 (t.kp, t.p, tt.),
h. 141.
55
material dan kejiwaan serta berkaitan pula secara langsung
dengan realitas ilahi.
Spiritualitas merupakan sesuatu yang lain dari fisik dan
bentuknya berbeda dengan bentuk fisik. Menurut al-Ghazali,
spiritualitas diwakili oleh berfungsinya secara tepat term al-
rūḥ, al-qalb, al-nafs, al-‘aql dalam diri manusia yang semuanya
merupakan sinonim.4 Wawasan tentang spiritualitas manusia,
sesungguhnya menggambarkan tentang keberadaan Tuhan.
Sebab sifat-sifat manusia adalah pantulan sifat-sifat Tuhan,
tidak dibatasi oleh ruang dan tidak mengandung kategori
kuantitas dan kualitas, bentuk, warna serta ukuran, sehingga
sulit memahami konsep ini.5 Namun demikian, spiritualitas
memegang peranan penting dalam pendidikan manusia,
sehingga untuk mengetahui eksistensi spiritualitas dalam
hubungannya dengan pendidikan, maka perlu mengenal
berbagai potensi spiritual dalam pendidikan.
Spiritualitas merupakan potensi, sehingga seseorang
berkemampuan mengelola dan mendayagunakan makna-
makna, nilai-nilai dan kualitas-kualitas kehidupan spiritual,
memiliki hasrat untuk hidup bermakna yang memotivasi
kehidupan manusia untuk senantiasa mencari makna hidup
dan mendambakan hidup bermakna. Dengan demikian dapat
dipahami bahwa seseorang yang taat beragama belum tentu
memiliki spiritualitas yang tinggi, jika masih memiliki sikap
fanatisme berlebihan, eksklusivisme dan intoleransi terhadap
pemeluk agama lain, yang dapat mengakibatkan permusuhan
dan peperangan. Sebaliknya, bisa jadi seseorang yang humanis-
non-agamis, memiliki spiritualitas yang tinggi, sehingga sikap
4
Abū Ḥāmid Muḥammad ibn Muḥammad al-Ghazālī, Ma‘ārij al-Quds fī
Madārij Ma‘rifah al-Nafs (Kairo: Maktabah al-Jundi, 1970), h. 19.
5
Abū Ḥāmid Muḥammad ibn Muḥammad al-Ghazālī, Misykah al-Anwār
(Kairo: Dār al-Qudsiyah, 1969), h. 124.
َ َّ َ ُ َ ْ َ َ َّ َ َ ُ َ ْ َ َ َّ َ َْ ْ َ ْ ُ
swt. berfirman:
11
Substansi adalah jauhar dalam arti yang lebih umum, yaitu segala sesuatu
yang ada dalam realitas, baik dapat dilihat maupun tidak. Para filosof menyebut
al-nafs sebagai substansi yang berdiri sendiri, karena dipandang bebas dari (tidak
terikat pada) badan. Lihat M. Saed Syaikh, A Dictionary of Muslim Philosophy
(Lahore: Institute of Islamic Culture, 1976), h. 40.
12
Q.S. al-Baqarah/2:75.
diri badani, tetapi kepada diri ruhani. Ini karena beberapa alasan, antara lain:
Pertama, ‘’saya’’ saja yang kekal. Sedangkan jasad atau badan akan mati dan
berganti. Jadi badan selalu baru dan tidak berterusan. Sedangkan ‘’saya’’ tetap
dan berterusan, dalam semua usia diri itu. Badan manusia, dari usia awal
hingga dewasa selalu mengalami perubahan dan pengurangan. Namun, tidak
dengan ‘’saya’’. ‘’Saya’’ selalu ada, selalu ingat apa yang dapat terjadi di masa
kanak-kanak hingga usia senja, tetaplah ‘’saya’’, walaupun diri badan sudah
keriput renta. Kedua, ‘’saya’’ yang berperan dalam kesadaran. Ketika seseorang
melaksanakan suatu perbuatan, seperti belajar atau menulis, maka dalam
kondisi ini, yang meminta dirinya berbuat itu adalah ‘’saya’’. Jadi ‘’saya’’ ini yang
berperan menyuruh diri melaksanakan sesuatu. Maka yang beraktivitas itu
bukan saja badan, tetapi ‘’saya’’yang berperan sebagai ruh tadi. Ketiga, ‘’saya’’
yang bisa berbuat sesuatu yang tidak tunggal. ‘’Saya’’ bisa mengerjakan berbagai
hal yang berbeda-beda dan bahkan dalam waktu yang bersamaan. Sedangkan
badan akan beraktivitas secara terpisah-pisah, seperti ‘’saya’’ makan, minum,
berjalan, duduk, mendengar, berucap, berkhayal, dan berpikir, maka ‘’saya’’
adalah yang mengumpulkan aktivitas itu dalam diri ‘’saya’’. Yang bisa berbuat
demikian itu hanya ‘’saya’’, bukan badan. Al-Sayyid al-Syārif Abū al-Ḥāsan ‘Alī
ibn Muḥammad ibn ‘Alī al-Ḥusaini al-Jurjānī al-Ḥanafi, al-Ta’rifāt (Beirut: Dār
al-Kutub al-‘Ilmiyyah, t.t.), h. 197-198. Lihat juga; Yohana Qumaer, Falāsifat al-
Arab: Ibn Sīnā, cet. 2 (Beirut: Dār al-Masyriq, 1985), h. 37-39.
19
Syed Muhammad Naquib al-Attas, The Concept of Education in Islam,
a Framework an Islamic Philosophy of Education (Kuala Lumpur: International
Institute of Islamic Thought and Civilization (ISTAC), 1999), h. 14.
1) Indera Eksternal
25
Kartanegara, Menyibak, h. 30-31.
26
Al-Fārābī, Mabādi’, h. 170-171.
2) Indera Internal
27
Friedrich Dieterici (ed), Al-Ṡamrah al-Marḑiyyah (Leiden: EJ. Brill, 1890),
h. 74.
28
Osman Bakar, Hirarki Ilmu, terj. Purwanto (Bandung: Mizan, 1997), h.
70.
29
Dieterici (ed), Al-Ṡamrah, h. 86.
30
Qumaer (ed), Falāsifah, h. 65-66.
31
Al-Fārābī, Mabādi‘, h. 164-170.
32
Qumaer (ed), Falāsifah, h. 65.
33
Abū ‘Alī al-Ḥusain ibn ‘Abdullah ibn Sīna, Kitāb al-Nafs (De Anima), ed.
Fazlur Raḥmān (Oxford: Oxford University Press, 1970), h. 44-45.
34
Abu Naḥr Muḥammad ibn Muḥammad ibn Tarkhān ibn
Auzalaqoh al-Fārābī, Fathūl al-Madanī (Aphorisme of the Statesman), terj.
DM. Dunlop (Cambridge: Cambridge University Press, 1961), h. 63.
Istilah “intelek” sendiri, dalam bahasa Arab, disebut dengan akal (al-‘aql).
Namun, ia tidak sama dengan rasio yang juga terjemahan dari kata al-
‘aql. Al-Fārābī memakai dua istilah dalam masalah ini: al-‘aql al-juz’ī
yang diterjemahkan dengan rasio, dan al-‘aql al-kullī yang diterjemahkan
sebagai intelek. Lihat; Dieterici (ed), Al-Ṡamrah, h. 39.
35
Ibid., h. 42.
ْ َْ َ ّ َْ ُ َْ َ َ َ َ َ َ ْ َّ َ ْ َ َ َ
laut, sebagaimana firman Allah swt. berikut:
ْ
ولقد كرمنا ب ِني آدم وحملناهم ِفي الب ِر والبح ِر َ
َ ُ َ ْ َّ َ َ
ْاه ْم َع َلى كثير ِ َّمن ن ل ض فو ات ب
َّ
َ الط ّي نَ اه ْم م ُ َ َْ ََ
ورزقن
ٍ ِ ِ ِ ِ
َْ َ َْ َ
.خلقنا تف ِضيلا
Artinya:
“Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak
Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan,
Kami beri mereka rezeki dari yang baik-baik dan Kami
lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas
kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan”.37
Kedua, alat yang mengandung daya pikir untuk memahami
segala yang ditangkap oleh hati dan daya indera, baik yang
berkaitan dengan makhluk maupun khalik. Dengan potensi
pendengaran dan penglihatan serta hati, manusia dapat
bersyukur kepada Allah swt. sebagaimana firman Allah swt.
berikut:
36
Bakar, Hirarki Ilmu, h. 99. Al-Fārābī membandingkan antara intelek
dengan rasio seperti suatu benda dengan bayangannya. Intelek ibarat matahari
yang bersinar dalam diri manusia, sedang rasio adalah pantulan matahari
tersebut yang berada di atas dataran pikiran manusia. Lihat; Husein Nasr, Sufi
Essays (Albany: SUNY Press, 1972), h. 54.
37
Q.S. al-Isra’/17: 70.
َ
ً َ ْ ُ ْ ُ َ ْ َ ْ َ َّ ُ َ َ َّ َ ُّ َ
hatinya. Sebagaimana firman Allah swt. berikut:
ُ َّ َ ْ
لكم فرقانا تتقوا الل يجعل يا أيها ال ِذين آمنوا ِإن
ْ َْ ُ َّ َ ْ ُ َ ْ ْ َ َ ُ ُ َ
َْو ُيك ّف ْر َع ْنك ْم َس ّي َئاتكم
ذو الفض ِل ويغ ِفر لكم والل ِ ِ ِ
َْ
.يم
ِ الع ِظ
Artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, jika kamu bertakwa
kepada Allah, niscaya Dia akan memberikan kepadamu
furqan dan menghapuskan segala kesalahan-
kesalahanmu dan mengampuni (dosa-dosa) mu. Dan
Allah mempunyai karunia yang besar”.39
38
Q.S. an-Naḥl/16: 78.
39
Q.S. al-Anfāl/8: 29.
ُ َ َ ْ ْ َ ْ ْ َ ََ ْ َ َ َْ ْ
dan lainnya). Sebagaimana firman Allah swt. berikut:
Rosdakarya, 1994), h. 2.
3) Ranah Iman
5) Ranah Afektif
49
Munandar, Kreativitas, h. 79-80.
ََ ْ ُ ّ َ ْ ُّ َ ْ ُ ُ َ َ ْ َ ُ َّ َ ُّ َ َ ْ ُ
Sebagaimana firman Allah swt. berikut:
َ َ
berfirman:
َ ّ َ ْ َ َ َ َ َ َّ َ َ َ َ َ ْ َ َ َ َ
الل وما أصابك ِمن س ِيئ ٍة
ِ ما أصابك ِمن َحسن ٍة ف ِمن
َّ َ
َ َ َّ َ َ ْ َ ْ َ َ ْ َ ْ َ
الل
ِ اس رسولا وكفى ِب ُ َ
ِ ف ِمن نف ِسك وأرسلناك ِللن
ً َ
.ش ِهيدا
Artinya:
”Apa saja nikmat yang kamu peroleh adalah dari Allah,
dan apa saja bencana yang menimpamu, maka dari
(kesalahan) dirimu sendiri. Kami mengutusmu menjadi
Rasul kepada segenap manusia. Dan cukuplah Allah
menjadi saksi”.53
52
Q.S. Yūnus/10:108. Al-nafs menerima risiko perbuatannya secara adil
dan menunjukkan bahwa al-nafs menerima taklīf atau beban syara’.
53
Q.S. an-Nisa’/4: 79.
ْ َ َ َ ُّ َ َ َّ َ ُ ْ َ َ ْ ْ ُ
sebagaimana ayat berikut:
ُ َْ َ ْ َ
قل ِإن ضللت ف ِإنما أ ِضل على نف ِسي و ِإ ِن اهتديت
ٌ َ ٌ َ ُ َّ ّ َ َ ُ َفب َما
.وحي ِإل َّي ر ِبي ِإنه س ِميع ق ِريب
ِ ي ِ
Artinya:
”Katakanlah: “Jika aku sesat maka sesungguhnya aku
sesat atas kemudaratan diriku sendiri; dan jika aku
mendapat petunjuk maka itu adalah disebabkan apa
yang diwahyukan Tuhanku kepadaku. Sesungguhnya
Dia Maha Mendengar lagi Maha Dekat”.54
4. Mengingat Allah swt. dalam al-nafs, sebagaimana ayat
َ ْ َ ُ َ ً َ َ ً ُّ َ َ َ ْ َ َ َّ َ ْ ُ ْ َ
berikut:
ْ
واذكر ربك ِفي نف ِسك تضرعا و ِخيفة ودون الجه ِر
َ َْ َ ْ ُ َ َ َ َ ّ ُ ُْ ْ َْ َ
.ال ولا تكن ِمن الغ ِاف ِلين
ِ ِمن القو ِل ِبالغد ِو والآص
Artinya:
”Dan sebutlah (nama) Tuhanmu dalam hatimu dengan
merendahkan diri dan rasa takut, dan dengan tidak
mengeraskan suara, di waktu pagi dan petang, dan
janganlah kamu termasuk orang-orang yang lalai”.55
54
Q.S. Saba’/34: 50.
55
Q.S. al-A‘rāf/7: 205.
ْ
ْ… َي ْع َل ُم َما َت ْكس ُب ُك ُّل َن ْفس َو َس َي ْع َل ُم ال ُك َّف ُار ل َمن
sebagaimana ayat berikut:
ِ ٍ ِ
َّ ْ ُ
.عق َبى الدار
Artinya:
”Dia mengetahui apa yang diusahakan oleh setiap diri,
dan orang-orang kafir akan mengetahui untuk siapa
tempat kesudahan (yang baik) itu”.56
6. Setiap al-nafs manusia tidak akan merasakan kematian jika
َ ْ َ َ
tidak atas izin Allah swt., sebagaimana ayat berikut:
َ َّ َ ُ ً َ َّ ْ َ َُ ْ َ َ
ِ َوما كان ِلنف ٍس أن تموت ِإلا ِب ِإذ ِن
.الل ِكتابا مؤجلا
Artinya:
”Sesuatu yang bernyawa tidak akan mati melainkan
dengan izin Allah, sebagai ketetapan yang telah
ditentukan waktunya”.57
Pada beberapa ayat, juga diisyaratkan keanekaragaman
al-nafs serta perangkat-perangkatnya. Secara eksplisit
disebutkan beberapa istilah, yaitu: Al-nafs al-ammārah, nafsu
ini mengumbar dan tunduk sepenuhnya terhadap hasrat-
hasrat rendah, kepribadian yang cenderung pada tabiat dan
mengejar kenikmatan jasmaniah.58 Nafsu yang selalu menarik
kalbu untuk melakukan hal yang tidak baik.59 Nafsu ammārah
ini adalah kesadaran yang cenderung pada tabi’at badaniah,
56
Q.S. ar-Ra‘du/13: 42.
57
Q.S. Ali Imrān/3: 145.
58
Q.S. Yūsuf/12: 5.
59
Abd. al Razzāq al-Kalsyāniy, Mu’jam Isṭilāhāt al-Ṣūfiyyah (Kairo: Dār al-
‘Inād, 1992) h. 115.
60
Ibid., h. 91.
61
Al-Kalsyānī, Mu’jam, h. 115-116.
62
Yūsuf al-Qaraḑāwī, al-Imām al-Ghazālī Bayn Madi’iyuhū wa Naqidiyyuhū
(Kairo: Dār al-Wafa’, 1992), h. 43-44.
63
Al-Ḥawa berbeda dengan an-nafs, namun keduanya berkaitan yang dalam
bahasa Indonesia diterjemahkan menjadi hawa nafsu. Lihat Abū al-Fudā’ Ismāil
ibn Umar ibn Kāsir al-Qarsyi al-Damsiqy, Tafsīr al-Qur’an al-‘Azīm, Juz 1 (t.k.,
Dār Tayyibah lī al-Naḥr wa al-Tauzi‘, 1999), h. 601., menyebut al-ḥawā sebagai
ḥawā an-nafs. Dengan demikian, al-ḥawā adalah suatu kecenderungan dari jiwa,
al-ḥawā adalah sebagian fungsi dari jiwa, Ibid., Juz 3, h. 251.
64
Q.S. al-Najm/ 53: 1.
َ
ْ َ َ َْ ُْ َ
menghancurkan negeri kaum Luṭh. Allah swt. berfirman:
َ
.والمؤت ِفكة أهوى
Artinya:
“dan negeri-negeri kaum Luṭh yang telah dihancurkan
Allah”.65
ٌ َ َ ُ ُّ ُ َ
3. Al-ḥawā dalam arti jurang neraka. Allah swt. berfirman:
.اوية
ِ فأمه ه
Artinya:
“maka tempat kembalinya adalah neraka Hāwiyah”.66
4. Hawa nafsu adalah keinginan diri atau keinginan yang
berasal dari diri (al-nafs), yaitu nafsu yang buruk. Hawa
nafsu di samping bertentangan dengan hal-hal yang positif,
juga mendorong kepada kesombongan diri, menolak
kebenaran, menolak keadilan, menolak petunjuk, sesat dan
menyesatkan, mengada-ada dengan larangan dan perintah
Allah swt., menjual agama, melihat kepada yang rendah dan
ُ َ ٌ ُ َ ْ ُ َ َ َّ ُ َ َ
duniawi, sebagaimana firman Allah berikut:
َ َ ّ َ َّ
kecuali jika hati dalam keadaan lalai. Allah swt. berfirman:
َ ْ َْ ْ َ َ َّ ّ ُ ْ ُ ْ ْ َ
ع ِعندَْ ٍ ربنا ِ ِإن ْي أسكنت ِمن ذ ِري ِتي ِبو ٍاد غي ِر َ ِذي ز ْر
ً َ َ ْ َ َّ ُ ك ال ُم َح َّرم َربَّ َنا ل ُيقَ َْ
يموا الصلاة فاجعل أف ِئدة ِ ِ ِ بي ِت
َ ْ ُ ُْ ْ َ ْ ْ َ
َ َّ َْ َّ
ِم َن الن
اتِ اس ته ِوي ِإلي ِهم وارزقهم ِمن الثم َر ِ
َ ُ ُ ْ َ ْ ُ َّ َ َ
.لعلهم يشكرون
Artinya:
“Ya Tuhan kami, sesungguhnya aku telah menempatkan
sebahagian keturunanku di lembah yang tidak
mempunyai tanam-tanaman di dekat rumah Engkau
(Baitullah) yang dihormati, ya Tuhan kami (yang
demikian itu) agar mereka mendirikan shalat, maka
jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada
mereka dan beri rezkilah mereka dari buah-buahan,
mudah-mudahan mereka bersyukur”. 68
6. Berulang kali disebutkan larangan dan celaan mengikuti
hawa nafsu (al-ḥawā) dan celaan yang lebih keras ditujukan
kepada mereka yang menyembah atau mempertuhankan
67
Q.S. al-Baqarah/2: 87. Al-ḥawā yang merupakan bagian dari an-nafs
ini seringkali ditafsirkan sebagai an-nafs al-ammārah, yakni jiwa lapisan paling
rendah dalam struktur jiwa.
68
Q.S. Ibrāhīm/14: 37.
ُ ُ َْ َ ْ َ َ َْ ََْ
kebinasaan. Allah swt. berfirman:
َ
َ َ ََ ْ ُ َ َ ْ ُّ َ ْ َ
berfirman:
ُ َ َ َّ َ َّ
َول ِو اتبع الحق أهواء َهم لفسد ِت السماوات َ
ْ ُ َ ْ َ ْ َ َّ
ْاه ْم بذكره ْم َف ُه ْم َعن يهن بل أتين ف ن ْ ض َو َم ُ ْ َ
والأر
ِ ِ ِ ِ ِ ِ
َ ُ ْ ُ ْ ْ
.ِذك ِر ِهم مع ِرضون
Artinya:
“Andai kata kebenaran itu menuruti hawa nafsu mereka,
pasti binasalah langit dan bumi ini, dan semua yang ada
di dalamnya. Sebenarnya Kami telah mendatangkan
70
Q.S. al-Baqarah/2: 145.
71
Q.S. al-Mukminūn/23: 71. Langit, adalah simbol struktur atas
spiritualitas; sementara bumi adalah simbol struktur bawah spiritualitas. Jika
struktur ini dibolak-balik oleh manusia dengan mengikuti hawa nafsunya, maka
spiritualitas manusia, dari atas sampai bawah, menjadi kacau dan hancur.
َ َ
َ ْ ُ ُ َُ ْ َ ْ ُ َ ْ ْ َّ َّ ُ ُ ُ َ ُ
sebagaimana firman Allah swt. berikut:
اخذكم ِبما
ِ اخذكم الل ِباللغ ِو ِفي أيما ِنكم ول ِكن يؤِ لا يؤ
ُ ُ َ
َ ٌ ُ َ َّ َ ْ ُ ُ ْ َ َ
.كسبت قلوبكم والل غفور ح ِليم
Artinya:
“Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpahmu
yang tidak dimaksud (untuk bersumpah), tetapi Allah
menghukum kamu disebabkan (sumpahmu) yang
disengaja (untuk bersumpah) oleh hatimu. Dan Allah
Maha Pengampun lagi Maha Penyantun”.81
Meskipun al-nafs dan al-qalb sama-sama merupakan ‘sisi
dalam manusia’, tetapi posisi keduanya mempunyai perbedaan.
Al-qalb berada dalam satu kotak tersendiri yang berada dalam
kotak besar al-nafs. Sebagai wadah, al-qalb dapat diisi dan dapat
pula diambil isinya.82 Bahkan al-Qur’an menggambarkan bahwa
ada kalbu yang disegel atau dikunci oleh Allah.83 Wadah al-qalb
dapat diperlebar dengan amal saleh dan olah jiwa,84 dan bisa
dipersempit dengan kejahatan dan kesesatan.85 Dalam beberapa
ayat, al-qalb juga dipahami sebagai ‘alat’.86 Sebagai alat, al-qalb
80
Q.S. Ṭāhā/20: 7.
81
Q.S. al-Baqarah/2: 225.
82
Q.S. al-Hijr/15: 47.
83
Q.S. al-Baqarah/2: 7.
84
Q.S. al- Hujurāt / 49: 3.
85
Q.S. al-An‘ām/6: 125.
86
Q.S. al-A‘raf/7: 179.
َْ
kerisauan dan penyakit hatinya, sebagaimana ayat berikut:
ُ َ ْ ُ ََ ْ َ َ ْ ّ ُ ُ ْ َ َّ
اء َو َيق ِد ُر َوف ِرحوا ِبالحي ِاة
َ الرزق ِلمن يش ِ ْ الل يبس
ط
ٌ َ َ َ ْ ُّ ُ َ َ َ َ َ ْ ُّ
.الآخ َر ِة ِإلا متاعِ الدنيا وما الحياة الدنيا ِفي
Artinya:
“Allah meluaskan rezeki dan menyempitkannya bagi
siapa yang Dia kehendaki. Mereka bergembira dengan
kehidupan di dunia, padahal kehidupan dunia itu
(dibanding dengan) kehidupan akhirat, hanyalah
kesenangan (yang sedikit)”.89
Kedudukan hati sebagai pusat spiritualitas, menunjukkan
pentingnya al-qalb dalam keseluruhan aktivitas pendidikan.
Dalam al-Qur’an al-qalb menjadi lokus berbagai perlakuan,
karena al-qalb menempati sentralitas manusia sebagai individu.
Karena itu, sesuai dengan makna bahasanya, al-qalb mengalami
proses yang senantiasa berubah-ubah, tergantung dari
bagaimana manusia memperlakukan hatinya untuk menerima
atau menolak berbagai perlakuan yang diterimanya. Hukum
moral dan spiritual yang ditetapkan Allah swt. sepenuhnya
berlaku dalam hati manusia. Al-Qur’an menjelaskan prilaku
batiniah manusia sebagai penggambaran keadaan hati yang
87
Q.S. al-Naḥl/16: 78.
88
Q.S. al-Anfāl/8: 24.
89
Q.S. al-Ra‘d/13: 28.
َ َ َ ْ َ َ ُ ُ ُ ُ ْ َ َ ْ َ َ َّ َ َ ُ َ ْ
swt. berikut:
َ
الل فقد صغت قلوبكما و ِإن تظاهرا ِ ِإن تتوبا ِإلى
َ ْ
ْ ُ ُ َ َ ُ ْ َ ُ ْ َ َ ُ َّ َّ َ ْ َ َ
علي ِه ف ِإن الل هو مولاه و ِجب ِريل وصا ِلح المؤ ِم ِنين
ٌ.ك َظهيرَ َ َ َْ ُ َ َ
ْ
َ
ِ لائكة بعد ذ ِل
ِ والم
Artinya:
“Jika kamu berdua bertobat kepada Allah, maka
sesungguhnya hati kamu berdua telah condong (untuk
menerima kebaikan); dan jika kamu berdua bantu-
membantu menyusahkan Nabi, maka sesungguhnya
Allah adalah Pelindungnya dan (begitu pula) Jibril dan
orang-orang mukmin yang baik; dan selain dari itu
malaikat-malaikat adalah penolongnya pula”.90
2. Hati orang kafir yang dicengkeram rasa takut karena
melakukan tindakan syirik yang mengundang siksa neraka,
ُ َْ َ َ َ َ َّ ُُ ُْ َ
sebagaimana ayat al-Qur’an berikut:
َ َ ْ ُّ ُ
وب ال ِذين كفروا الرعب ِبما أشركوا ِْ سنل ِقي ِف َي قل
َْ َ ُ َّ ُ ُ َ ْ َ َ ً َ ْ ُ َّ َّ
الل َما ل ْم ُين ِزل ِب ِه سلطانا ومأواهم النار و ِبئسِ ِب
َ َّ ْ َ
.مث َوى الظا ِل ِمين
90
Q.S. at-Taḥrīm/66: 4.
ُُ
sebagaimana ayat al-Qur’an berikut:
َ ْ ُّ ُ َ َ ََ
.وب ِهم الرعب
ِ … وقذف ِفي قل
Artinya:
“Dia memasukkan rasa takut dalam hati mereka”.92
4. Hati yang menyimpan rasa penyesalan yang ditimbulkan
ُُ ً َ ْ َ َ َ َّ َ َ ْ َ
oleh Allah di dalamnya, sebagaimana ayat al-Qur’an berikut:
ْ ُ َّ َ ْ
وب ِهم والل يحيي
ِ ِليجعل الل ذ ِلك ح ُسرة ِفي قل
ِ َ َ ْ َ َ َّ َ ُ ُ َ
ٌ.ون َبصير وي ِميت والل ِبما تعمل
ِ
Artinya:
“yang demikian itu, Allah menimbulkan rasa penyesalan
yang sangat di dalam hati mereka. Allah menghidupkan
dan mematikan. Dan Allah melihat apa yang kamu
kerjakan”.93
5. Hati yang bergetar karena mengingat Allah dan bertambah
iman dan tawakkalnya kepada Allah ketika dibacakan ayat-
ayat-Nya, sebagaimana ayat al-Qur’an berikut:
91
Q.S. Ali Imrān/3: 151.
92
Q.S. al-Aḥzāb/33: 26.
93
Q.S. Ali Imrān/3: 156.
ُ ُ ُ ُ َّ َْ َ ْ ُ َ َ ُْ َّ ُ َ َ َ َ َ
(busyrā) dari Allah, sebagaimana ayat berikut:
ْ َ
وما جعله الل ِإلا بشرى لكم و ِلتطم ِئن قلوبكم ِب ِه
َْ َ ْ َّ ْ ْ ْ َّ َ
ِ َوما النص ُر ِإلا ِمن ِعن ِد
ِ الل الع ِز ِيز الح ِك
.يم
Artinya:
“Dan Allah tidak menjadikan pemberian bala-
bantuan itu melainkan sebagai kabar gembira
bagi (kemenangan) mu, dan agar tenteram hatimu
karenanya. Dan kemenanganmu itu hanyalah dari Allah
Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”. 95
7. Hati orang beriman dapat tenang karena mengingat Allah
dan Allah menanamkan ketenangan (sakīnah) di dalamnya,
sebagaimana ayat berikut:
94
Q.S. al-Anfāl/8: 2.
95
Q.S. Ali Imrān/3: 126.
ُ ْ
sebagaimana ayat berikut:
ُ ََ ً َ َّ َ َ ْ
الل ج ِم َيعا َولا تف َّرقوا َواذكروا
ُ ِ َواعت ِص ُموا ِبح ْب ِل
ُ َّ َ ُ ُ َ َّ َ ْ
ْاء َفأل َف َب ْي َن ُق ُلوبكم
ً الل َعل ْيك ْم إ ْذ ك ْن ُت ْم أ ْع َد
ِ ِنع َمة
ِ ِ َ
ً َ ْ َ ْ ْ ُ ْ َ ْ َ
.فأصبحتم ِب ِنعم ِت ِه ِإخوانا
Artinya:
“Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali
(agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai,
dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu
dahulu (masa Jahiliah) bermusuh musuhan, maka Allah
mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena
nikmat Allah orang-orang yang bersaudara”.97
9. Hati yang bertakwa (taqwā al-qulūb), yang menyebabkan
seseorang mengagungkan tanda-tanda kebesaran Allah,
sebagaimana ayat berikut:
96
Q.S. ar-Ra‘d/13: 28.
97
Q.S. Ali Imrān/3: 103.
ْ ْ ُ ْ َ َ ُْ َ
segala gangguan setan, sebagaimana ayat berikut:
َ َ َ َْ َ َ ْ َّ َ
ان لِو ير ِبط على
ِ …وي ُذ ِهب عنكم ِرجز الشيط
ْ
َ.الأق َدام َ ََُّ ْ ُُ
وبكم ويث ِبت ِب ِه
ِ قل
Artinya:
“dan menghilangkan dari kamu gangguan-gangguan
setan dan untuk menguatkan hatimu dan memperteguh
dengannya telapak kaki (mu)”. 99
11. Hati yang dihilangkan panasnya oleh Allah, sebagaimana
ُ ُ َ ْ َ ْ ُْ َ
ayat berikut:
98
Q.S. al-Hajj/22: 32.
99
Q.S. al-Anfāl/8: 11.
100
Q.S. at-Taubah/9: 15.
َ َّ َ َ َ ُ ُ
ُالل أ ْع َلم َون بأ ْفواهه ْم َما ل ْي َس في ُق ُلوبه ْم و
ayat berikut:
َ
ِِ ِ ِ ِ ِ … ي ْقول
َ ُ َ
.ِبما َيكت ُمون
Artinya:
“Mereka mengatakan dengan mulutnya apa yang tidak
terkandung dalam hatinya. Dan Allah lebih mengetahui
apa yang mereka sembunyikan”.101
Beberapa ayat al-Qur’an di atas menunjukkan bahwa
keadaan-keadaan hati merupakan hasil timbal balik antara
tindakan atau perilaku dan akibat-akibat hukum spiritual yang
secara otomatis mengenainya. Dengan kata lain, keadaan hati
ditentukan oleh dua hal; perbuatan dan hukum spiritual Allah.
Kedua hal tersebut dapat menciptakan keadaan hati yang sehat,
sakit, keras, mati, kuat, lemah, fungsional dan disfungsional.
Karena hukum spiritual itu berjalan otomatis, maka keadaan-
keadaan hati seperti tersebut di atas sepenuhnya tergantung
kepada bagaimana seseorang mengaturnya. Seperti halnya hati
fisik yang kehidupannya tergantung kepada nutrisi dan vitamin
yang relevan bagi kesehatannya; demikian juga hati spiritual
membutuhkan tindakan dan perlakuan moral dan spiritual yang
sesuai, untuk menjamin kesehatan dan kelangsungan hidupnya.
Memperhatikan modus penjelasan al-Qur’an mengenai hati,
sebagaimana diuraikan di atas, tampak sekali bahwa sebagian
besar ayat-ayat al-Qur’an mengungkapkan keadaan-keadaan
hati yang kurang baik karena berbagai bentuk perbuatan yang
101
Q.S. Ali Imrān/3: 167.
102
Q.S. an-Naḥl/16: 22.
103
Q.S. Al-Fatḥ/48: 26.
104
Q.S. at-Taubah/9: 127.
105
Q.S. az-Zumār/39: 22.
106
Q.S. al-An‘ām/6: 122.
107
Q.S. al-Muṭaffifīn/83: 14.
108
Q.S. al-Baqarah/2: 10.
109
Q.S. al-An‘ām/6: 125.
110
Q.S. an-Nisa’/4: 155.
111
Q.S. al-Baqarah/2: 7.
112
Q.S. al-Ḥajj/22: 46.
113
Q.S. an-Naḥl/16: 22.
114
Q.S. az-Zumār/39: 45.
115
Q.S. al-A‘rāf/7: 100.
116
Q.S. al-A’rāf/7: 179.
117
Q.S. ar-Rūm/30: 59.
118
Q.S. Yūnus/10: 74.
119
Q.S. Muḥammad/47: 16.
120
Q.S. al-Baqarah/2: 74.
121
Q.S. al-An‘ām/6: 43.
122
Q.S. az-Zumār/39: 22.
123
Q.S. al-Baqarah/2: 10.
124
Q.S. Ali Imrān/3: 7.
125
Q.S. al-Mu’minūn/23: 63.
126
Q.S. al-Baqarah/2: 88.
127
Q.S. al-An‘ām/6: 25.
128
Q.S. al-Muṭaffifīn/83: 14.
129
Q.S. at-Taubah/9: 45.
130
Q.S. at-Taubah/ 9: 77.
131
Q.S. al-Māidah/5: 41.
132
Q.S. al-Mujādilah/58: 22.
133
Q.S. at-Tagābun/64: 11.
َ
َ َ َ َُ َْ َ
ayat berikut:
134
Q.S. al-Fuṣilat/41: 30.
135
Pemuatannya pada surat Q.S. al-Baqarah, Q.S. al-Naḥl, Q.S. al-Isra’,
sebanyak 2 (dua) kali dan surat Q.S. al-Nisa’, Q.S. al-Māidah, Q.S. al-Hijr, Q.S.
Maryam, Q.S. al-Anbiyā’, Q.S. al-Syu’arā’, Q.S. al-Sajadah, Q.S. Ṣād, Q.S. Ghāfir,
Q.S. al-Syura, Q.S. al-Mujādalah, Q.S. al-Tahrīm, Q.S. al-Ma’ārij, Q.S. an-Nabā’
dan Q.S. al-Qadr, masing-masing 1 (satu) kali. Abd. al-Bāqi’, al-Mu‘jam, h. 413-
414.
َ
َ َ ْ ُ َّ
sebagai wahyu, sebagaimana ayat berikut:
َ ْ َ َ ْ َ َ َ ْ ْ
ُ ُ
لائكة ِبالرو ِح ِ َمن أم ِر ِه على من يشاء ِمن ِعب ِاد ِه ّ
َ ِ َُين ِز َل الم
َ
ُ َّ َ َ َ
.ون ق ات ف ا ن أ لا إ
َ
ه ل إ لا
ُ َّ
ه ن أ وا ر ُ أ ْن أ ْنذ
ِ ِ ِ ِ
Artinya:
“Dia menurunkan para malaikat dengan (membawa)
wahyu dengan perintah-Nya kepada siapa yang
Dia kehendaki di antara hamba-hamba-Nya, yaitu:
“Peringatkanlah olehmu sekalian, bahwasanya tidak
ada Tuhan (yang hak) melainkan Aku, maka hendaklah
kamu bertakwa kepada-Ku”.138
136
Q.S. al-Isra’ /17: 85.
137
Muḥammad Ismāil Ibrāhim, Mu‘jam al-Alfāz wa al-A‘lam al-Qur’aniyyat
(Kairo: Dār al-Fikr al-Arabī, 1968), h. 213.
138
Q.S. al-Naḥl/16: 2.
َ َ ُ َ َْ َْ َ ََْ ً َ ْ َ َ َّ َ
sebagaimana ayat berikut:
ْ ُ ْ
ون ِهم ِحجابا فأرسلنا ِإليها روحنا ِ فاتخذت ِمن د
ً ّ َ ً َ َ َ َ َ َّ َ َ َ
.فتمثل لها بشرا س ِويا
Artinya:
“maka ia mengadakan tabir (yang melindunginya) dari
mereka; lalu Kami mengutus roh Kami kepadanya, maka
ia menjelma di hadapannya (dalam bentuk) manusia
yang sempurna”. 139
Selanjutnya al-rūḥ dipahami sebagai sesuatu yang membuat
ُ َ
َ َ َ َُ َْ َ
badan menjadi hidup, sebagaimana ayat berikut:
ُ
ْيتم َ َ ّ َ ْ ْ ُ ُّ ُ ُ ّ
وت
ِ ويس ْألونك ع ِن الرو ِح ق ِل الروح ِمن أم ِر ر ِبي وما أ
َ ْ
. ِم َن ال ِعل ِم ِإلا ق ِليلا
Artinya:
“Dan mereka bertanya kepadamu tentang roh.
Katakanlah: “Roh itu termasuk urusan Tuhan-ku, dan
tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit”.140
Kata al-rūḥ juga dikaitkan dengan manusia dalam berbagai
konteks, misalnya al-rūḥ sebagai yang dianugerahkan kepada
139
Q.S. Maryam/19: 17.
140
Q.S. al-Isra’/17: 85. Menurut para mufassir klasik, seperti Abd. Allāh
ibn ‘Umar al-Baiḍawī, Anwār al-Tanzīl wa Asrār al-Ta’wīl (Beirut: Dār al-Fikr,
t.t.), h. 382. Menurut Ibn Abbas, rūḥ di sini maksudnya Jibril atau tentara Allah.
Selain pemaknaan tersebut, ada juga yang menafsirkannya dengan al-Qur’an,
atau Nabi Isa atau nyawa binatang, manusia, malaikat dan syetan. Lihat
Sulaiman al-Jāmil, al-Futuhāt al-Ilāhiyyat bī Tauḍih Tafsīr al-Jalalain, Juz 1 (Mesir:
Maktabat al-Taqaddum al-Islāmiyat, t.t.), h. 645.
َ ْ َ َ َ ً َ ْ ُ َ َ َ َ ْ َ ْ َ َ َ ً َ َ َ َ َ ْ ُّ َ ْ َ َ َّ ُ
makhluk lain, sebagaimana ayat berikut:
141
Q.S. Ghāfir/40: 15.
142
Q.S. al-Mujādalah/58: 22.
143
Q.S. Ṣād/38: 72.
144
Q.S. al-Mu’minūn/23: 14.
َ
ُان م ْن ُن ْط َفة أ ْم َشاج َن ْب َتليه َف َج َع ْل َناه َ ْ َ َ َّ
dengan sel telur, sebagaimana ayat berikut:
َ َْ
ِ ِ ٍ ٍ ِ إنا خلقنا الإنس
ً يعا َبص ً َ
.يرا ِ س ِم
Artinya:
“Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia
dari setetes mani yang bercampur yang Kami hendak
mengujinya (dengan perintah dan larangan), karena itu
Kami jadikan dia mendengar dan melihat”. 145
Sementara itu, al-rūḥ ditiupkan dalam diri manusia setelah
selesai pembentukan fisiknya.146
Hadis tersebut memberikan pemahaman bahwa Allah
swt. menetapkan berbagai ketentuan yang bersamaan dengan
peniupan al-rūḥ ke dalam kandungan yang berusia 4
(empat) bulan. 147 Keterkaitan potensi al-rūḥ dengan
pendidikan bahwa pendidikan adalah usaha sadar
untuk mengoptimalkan potensi manusia agar dapat
melaksanakan tugas kehidupannya dengan baik.
Adapun potensi beramal ibadah yang telah ditetapkan
di alam al-rūh, pengembangannya dilakukan melalui
pendidikan Islam dengan materi tauhid, akhlak, pikih,
145
Q.S. al-Insān/76: 2.
146
Muḥammad ibn Ismāil Abū Abdullah al-Bukhāri al-Ja’fi, al-Jāmi‘ al-Ṣagīr
al-Mukhtasar, Juz 11 (Beirut: Dār ibn Kaṡīr al-Yamāmah, 1987), h. 113.
…ِاللُ إِلَْي ِه َملَ ًكا ِب َْربَع ِ ِ
َّ ث َ ضغَةً ِمثْ َل َذل
ُ ك ُثَّ يـَبـَْع ْ ك ُثَّ يَ ُكو ُن ُم َ ني يـَْوًما ُثَّ يَ ُكو ُن َعلَ َقةً ِمثْ َل َذل ِ ِِ
َ َح َد ُك ْم ُْي َم ُع ِف بَطْ ِن أ ُّمه أ َْربَع ِ
َ إ َّن أ
وح الر
ُّ ِ
يه ِ
ف خ فَ ـ نـ ي ث
َُّ د
ٌ يِع س َو أ ي ِ
ق ش و هُق
ز ِ
ر و هُل َج أ
و هُل م ع ب ْتك ي ـ ف ٍ َكلِم.
ات
ُ ُ ُْ َ ْ ٌّ َ ْ
َ ُ َ ُ َ َ ُ َ ُ َُ َ َ َ
147
Berbagai ketetapan tersebut terdiri dari amal, ajal, rizki dan susah atau
senang, dan ketika telah lahir potensi yang ditetapkan tersebut disebut sebagai
fitrah. Adapun tugas pendidikan yaitu mengoptimalkan berbagai potensi yang
telah ditetapkan.
1994), h. 88-96.
Ibid. h. 101.
151
S
piritualitas dalam kajian pendidikan Islam adalah
berfungsinya komponen nafsāniah (al-‘aql, al-qalb dan
al-nafs) dan komponen rūḥāniah (al-rūḥ dan al-fiṭrah)
guru pendidikan Islam dalam melaksanakan pendidikan dan
pembelajaran. Menurut Baharuddin, aktivitas komponen
nafsāniah dan rūḥāniah dapat berubah-ubah dan pada
gilirannya akan menghasilkan tingkah laku yang berbeda-beda
pula, sesuai dengan situasi dan kondisi komponen nafsāniah (al-
‘aql, al-qalb, al-nafs) dan rūḥāniah (al-rūḥ dan al-fiṭrah).1 Untuk
lebih memahami tentang komponen nafsāniah dan rūḥāniah
guru, perlu diketahui hakikat,2 yaitu hakikat spiritualitas guru
sebagai individu, sebagaimana dikemukakan dalam al-Qur’an.
Eksistensi aspek nafsāniah dan rūḥāniah yang terbina,
dalam pendidikan Islam adalah perwujudan spiritualitas dalam
diri seorang guru. Spiritual merupakan potensi yang dapat
1
Baharuddin, Paradigma Psikologi Islami, Studi Tentang Elemen Psikologi dari
al-Qur’an, cet 2 (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), h. 230.
2
Hakikat mengandung makna sesuatu yang tetap, tidak berubah-
ubah, yaitu identitas esensial yang menyebabkan sesuatu menjadi dirinya dan
membedakannya dari yang lain. Lihat Murād Wahbah, dkk., al-Mu‘jam al-Falsafī
(Kairo: al-Tsaqāfat al-Jadīdat, 1971), h. 84.
125
dibina dan dikembangkan melalui pembinaan intelektualitas,
pengendalian emosional dan pengamalan ibadah wajib serta
ibadah sunnah, sehingga melahirkan spiritualitas dalam diri
seorang guru. Dalam perspektif pendidikan Islam, eksistensi
spiritualitas guru dapat dilihat dari aktualisasi daya-daya
nafsāniah dan rūḥāniah pada berbagai aktivitas pendidikan
dan pembelajaran. Daya-daya nafsāniah dan rūḥāniah yang
tumbuh dan berkembang dengan baik, akan melahirkan
eksistensi spiritualitas yang tinggi dalam diri seorang guru.
Perwujudan spiritualitas guru dapat dilihat dari karakteristik
guru pendidikan Islam sebagai mu‘allim/ustāz, murabbi,
muaddib, mudarris, mursyid, yang memiliki integralitas antara
keilmiahan, pola sikap dan perilakunya dalam pelaksanaan
tugas dan tanggung jawab pendidikan.
1. Spiritualitas Mu’allim/Ustāz
Kata mu‘allim berarti teacher (guru), instructor (pelatih),
trainer (pemandu).3 Sebutan mu‘allim dalam bahasa Arab
adalah isim fā‘il dari ‘allama (mengajar). Dengan demikian,
mu‘allim adalah orang yang menguasai ilmu dan mampu
mengembangkannya serta menjelaskan fungsinya dalam
kehidupan, menjelaskan dimensi teoretis dan praktisnya,
sekaligus melakukan transfer ilmu pengetahuan, internalisasi
dan implementasi (amaliah).
Kata ustāz, berarti guru, professor, gelar akademik, jenjang
di bidang intelektual, pelatih, penulis dan penyair.4 Ustāz adalah
orang yang berkomitmen dengan profesionalitas yang melekat
pada dirinya, sikap dedikatif, komitmen terhadap mutu proses
3
Hans Wehr, A Dictionary of Modern Written Arabic (Beirut: Library Duliban,
1974), h. 637.
4
Ibid., h. 279.
5
Q.S. al-A‘raf/7:179.
6
Q.S. Yūnus/10: 100.
7
Q.S. Yūsuf/12: 2.
8
Q.S. al-Ankabūt/ 29: 35.
9
Q.S. Hūd/11:51.
10
Q.S. al-Baqarah/2: 164.
11
Q.S. al-An‘ām/6: 151.
ُ َْ ََ ْ َ ُ َ ْ َ ْ َ
sebagaimana ayat berikut:
َ َّ َ ُ
ِ ْو ِتلك الأمثال نض ِربها ِللن
اس وما يع ِقلها ِإلا
َ َ
.العا ِل ُمون
Artinya:
“Dan perumpamaan-perumpamaan ini Kami buatkan
untuk manusia; dan tiada yang memahaminya kecuali
orang-orang yang berilmu”.12
2. Daya manusia dalam hal ini berbeda-beda, sebagaimana
diisyaratkan dalam memahami ayat-ayat tentang kejadian
langit dan bumi, silih bergantinya siang dan malam,
َّ ْ َ
sebagaimana ayat berikut:
ْ ْ َ ْ َ َ َ َّ َّ
لاف اللي ِل ت
ِ ِ اخ و ضِ الأر و اتِ او م الس ق ِ لخ ي فِ ِإ ن
َْ َ ْ ْ ْ َ َ ّ ْ ُ ْ َّ
ك ال ِتي تج ِري ِفي ال َبح ِر ِبما َينف ُع ِ َوالن َه ِار َوالَفل
َ
َ ْ َ َ ْ َ َّ َ َّ َ َ ْ َ َ َ َّ
السم ِاء ِمن م ٍاء فأحيا ِب ِه الناس وما أنزل الل ِمن
ْ َ َ ُ ّ َّ َ َ َ ْ َ َ ْ َ َ ْ
يها ِم ْن ك ِل د َّاب ٍة َوتص ِر ِيف َ ثف
ِ الأرض بعد مو ِتها وب
ْ َ َ َّ َ ْ َ َّ َ ُ ْ َ َّ َ َ ّ
اب المسخ ِر بين السم ِاء والأر ِض ُِ الري ِاح والسح ِ
َ َْ ْ َ َ
.ات ِلقو ٍم يع ِقلون ٍ لآي
Artinya:
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih
bergantinya malam dan siang, bahtera yang berlayar
di laut membawa apa yang berguna bagi manusia, dan
12
Q.S. al-Ankabūt/29: 43.
ُ ُْ َ ُ ََ ُ ُ َ َ
ََ ْ ُ
3. Dorongan keimanan dan moral, sebagaimana ayat berikut:
َ ْ
قل تعال ْوا أتل ما ح َّرم َربك ْم عليك ْم أ َلا تش ِركوا ِب ِه
ْ ُ ّ َ َ
ُ َ ْ
ْلادك ْم من َْش ْي ًئا َوبال َوال َديْن إ ْح َس ًانا َولا َت ْق ُت ُلوا أو
ِ ِ ِ ِ ِ
َ ََ ْ ُ َ ْ َ َ ْ ُ َّ َ ْ ُ ُ ُ ْ َ ُ ْ َ
احش ِ لاق نحن نرزقكم و ِإياهم ولا تقربوا الفو ٍ ِإ ْم
َّ ْ َّ ُُ َْ َ َ ََ ََ َ ْ َ
َما ظ َه َر ِمنها وما بطن ولا تقتلوا النفس ال ِتي
َ
َ ُ ْ َ ْ ُ َّ َ َ ْ ُ َّ َ ْ ُ َ ّ َ ْ َّ َ
.ح َّر َم الل ِإلا ِبالح ِق ذ ِلكم وصاكم ِب ِه لعلكم تع ِقلون
Artinya:
“Katakanlah: “Marilah kubacakan apa yang
diharamkan atas kamu oleh Tuhanmu, yaitu: janganlah
kamu mempersekutukan sesuatu dengan Dia, berbuat
baiklah terhadap kedua orang ibu bapa, dan janganlah
kamu membunuh anak-anak kamu karena takut
kemiskinan. Kami akan memberi rezeki kepadamu
dan kepada mereka; dan janganlah kamu mendekati
perbuatan-perbuatan yang keji, baik yang nampak di
antaranya maupun yang tersembunyi, dan janganlah
kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah
(membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab)
13
Q.S. al-Baqarah/2: 164.
2. Spiritualitas Mudarris
Kata Mudarris, berarti teacher atau guru, instructor atau
pelatih, lecture atau guru.17 Mudarris adalah orang yang memiliki
kepekaan intelektual dan informasi serta pengembangan
pengetahuan dan keahliannya secara berkelanjutan, berusaha
mencerdaskan peserta didiknya, serta melatih keterampilan
sesuai minat, bakat dan kemampuannya. Spiritualitas mudarris
sebagai pendidik dilihat dari upayanya dalam mencerdaskan,
melatih keterampilan sesuai minat, bakat dan menyajikan
berbagai informasi baru untuk pengembangan kreativitas
peserta didik. Adapun karakteristik utama yang ditampilkan
mudarris dalam pendidikan Islam yaitu kemampuan dalam
pengembangan dan pengendalian potensi fitrah peserta didik.
Fitrah adalah potensi diri yang dapat berkembang untuk
lebih baik, erat kaitannya dengan citra manusia yang merupakan
gambaran tentang diri manusia yang berhubungan dengan
kualitas-kualitas asli manusiawi. Kualitas tersebut merupakan
ketetapan Allah swt. yang ada pada manusia sejak lahir. Kondisi
citra manusia secara potensial tidak dapat dirubah, sebab
jika berubah maka eksistensi manusia menjadi hilang, namun
secara aktual citra tersebut dapat berkembang sesuai dengan
kehendak dan pilihan manusia itu sendiri.
17
Wehr, A Dictionary, h. 279.
29
M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an, Tafsīr Maudu’i Atas Pelbagai
Persoalan Umat, cet. VII (Bandung: Mizan, 1998), h. 283.
30
Fitrah Allah maksudnya ciptaan Allah. Manusia diciptakan Allah swt.
mempunyai naluri beragama yaitu agama tauhid. Kalau ada manusia tidak
beragama tauhid, maka hal itu tidaklah wajar, mereka tidak beragama tauhid itu
sebagai pengaruh lingkungan.
3. Spiritualitas Murabbi
Menurut bahasa, murabbi berasal dari kata rabba yang
artinya mengasuh, mendidik dan memelihara.32 Murabbi adalah
orang yang mendidik dan mempersiapkan peserta didik agar
mampu berkreasi serta mampu mengatur dan memelihara hasil
kreasinya untuk tidak menimbulkan malapetaka bagi dirinya,
masyarakat dan alam sekitarnya. Spiritualitas murabbi sebagai
pendidik yaitu pelaksanaan tanggung jawab untuk mengasuh,
mendidik dan memelihara. Karena itu, sifat-sifat kepengasuhan,
pendidikan dan pemeliharaan (rabbānī) yang ada pada Allah swt.
sedapat mungkin dimiliki pula oleh seorang murabbi, sehingga
dapat menampilkan diri sebagai pendidik yang bijaksana
dalam proses pembelajaran. Adapun karakteristik utama yang
ditampilkan murabbi dalam pendidikan yaitu kemampuan
dalam pengendalian dimensi al-qalb.
Kedudukan hati sebagai pusat spiritualitas murabbi,
menunjukkan pentingnya al-qalb dalam keseluruhan aktivitas
pendidikan. Dalam al-Qur’an al-qalb menjadi lokus berbagai
perlakuan, karena al-qalb menempati sentralitas manusia
sebagai individu. Karena itu, sesuai dengan makna bahasanya,
al-qalb mengalami proses yang senantiasa berubah-ubah,
31
Q.S. Ali Imrān/3: 14.
32
Ibn Manżūr, Lisān al-Arab, juz 9 (Mesir: Dār al-Miṣriyah, 1992), h. 98.
33
Q.S. at-Taḥrīm/66: 4.
34
Q.S. Ali Imrān/3: 151.
35
Q.S. al-Aḥzāb/33: 26.
36
Q.S. Ali Imrān/3: 156.
37
Q.S. al-Anfāl/8: 2.
38
Q.S. Ali Imrān/3: 126.
39
Q.S. ar-Ra’d/13: 28.
40
Q.S. Ali Imrān/3: 103.
41
Q.S. al-Ḥajj/22: 32.
4. Spiritualitas Muaddib
Kata mu’addib berarti educator pada lembaga pendidikan
al-Qur’an.45 Secara bahasa, muaddib adalah isim fā‘il dari kata
addaba yang artinya orang yang menanamkan adab ke dalam
diri seseorang, tentunya karena dirinya adalah orang yang
beradab.
42
Q.S. al-Anfāl/8: 11.
43
Q.S. at-Taubah/9: 15.
44
Q.S. Ali Imrān/3: 167.
45
Wehr, A Dictionary, h. 11.
5. Spiritualitas Mursyid
Mursyid adalah orang yang mampu menjadi model atau
sentral identifikasi diri atau menjadi panutan, teladan dan
konsultan spiritual bagi peserta didiknya. Spiritualitas mursyid
sebagai pendidik yaitu penghayatan spiritual sebagai hasil dari
pengamalan agama melalui ṭarīqah tertentu. Sebagai pendidik
spiritual yang memberikan bimbingan rūḥāniah kepada
peserta didik agar dapat mendekatkan diri kepada Allah swt.,
juga berupaya menanamkan nilai-nilai akhlak, kepribadian
dan penghayatan spiritualnya kepada peserta didik, baik
dalam aktivitas pembelajaran maupun pada aktivitas lainnya,
semuanya disandarkan kepada niat karna Allah swt. semata.
46
Aḥmad Mubārok, Jiwa dalam al-Qur’an (Jakarta: Paramadina, 2000) h.
61-62.
48
Para malaikat adalah jiwa jiwa yang universal/akal aktual. Urutan
selanjutnya adalah al-Abrār dan ar-Raḥmān yaitu pendidik yang memiliki
kebersihan batin dan berada pada usia sekitar 25 tahun. Ar-Ru’asā’ dan al-Mālik
yaitu pendidik yang memiliki kekuatan pisik, mental dan bersikap memelihara
persaudaraan dan dermawan serta berada pada usia sekitar 30 tahun. Al-
Mulk dan as-Sulṭān yaitu pendidik yang menguasai suatu disiplin ilmu secara
mendalam dan berusia sekitar 40 tahun. Yang terakhir adalah pendidik yang
menginjak usia 50 tahun, berkompetensi dalam mengarahkan peserta didik
untuk memiliki pada tiap-tiap jenjang pendidikan yang ada sesuai dengan
tingkatannya masing-masing, sehinga mampu tampil sebagai pewaris para nabi.
Aḥmad Fūad al-Aḥwāni, at-Tarbiyyah fī al-Islām (Mesir: Dār al-Ma’arif, t.t), h.
277.
143
Ahmadi Abu dan Supriyono,Widodi. Psikologi Belajar. Jakarta:
Rineka Cipta, 2004.
Ahmadi, Abu. Psikologi Umum. Jakarta: Rineka Cipta, 1992.
Al- Attas, Syed Naquib. Konsep Pendidikan Dalam Islam, Suatu
Rangka PikirFilsafat Pendidikan Islam” Bandung, Mizan
1988.
Al Rasyidin, Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Ciputat Press,
2005.
Al-Ahwāni, Fuad Ahmad al-Falsafat al-IsIāmiyat. Kairo: al-
Maktabat al-Tsaqafiyat,1962.
Al-’Aqqād, Mahmud, Abbas, Al-Insān fī al-Qur’ān al-Karīm. Kairo:
Dār al-Islam, 1973.
Al-Attas, Naquib, Syed Muhammad. The Concept of Education
in Islam, a Framework an Islamic Philosophy of Education.
Kuala Lumpur: International Institute of Islamic Thought
and Civilization (ISTAC), 1999.
Al-Attas, Naquib, Syed Muḥammad. The Nature of Man and The
Psychology of Human Soul. Kuala Lumpur: ISTAC, 1990.
Al-Azdi, al-Sijistānī, Abū Dāwūd, ibn As’at, Sulaiman. Sunan Abū
Dāwud, juz 2. Beirut: Dār al-Fikr, t.t.
al-Baiḍawī, ibn ‘Umar, Abd. Allāh. Anwār al-Tanzīl wa Asrār al-
Ta’wīl. Beirut: Dār al-Fikr, t.t.
Al-Bukhāri, Ismāil, ibn Muḥammad, Abū Abdullah. al-Jāmi’ as-
Şaḥīḥ al-Mukhtasar, Juz 1. Beirut: Dār ibn Kaṣīr al-Yamāmah,
1987.
Al-Būṭi, Dawābiṭ al-Maṣlahah fī al-Syarī`at al-Islāmiyah. Beirut,
Muassasat, tt.
A. IDENTITAS DIRI
1. Nama : Dr. Budiman, MA
2. Tempat/Tgl. Lahir :Halaban Langkat/12 Agustus 1968
3. No. KTP : 1174021208680003
4. NIP : 19680812 2008 01 1 007
5. NIDN : 2012086802
6. Unit Kerja : Prodi Pendidikan Islam Pascasarjana UIN SU
Medan.
7. Mata Kuiah : Dosen Filsafat Pendidikan Islam, Metodologi
Keahlian Penelitian Pendidikan Islam dan Pendekatan
dalam Pengkajian Islam.
8. Alamat : Ds. Damai Gdb. Jawa Kec. Langsa Baro
Rumah Kota Langsa.
Jl Bambu Runcing No. 25 Tanjung Pura
Langkat.
9. Alamat : Jl. Sutomo no. 1 Medan.
Kantor
161
10. Nomor : 081397307443
HP/Telp
11. Email : budimanmadr@gmail.com
12. Nama Ayah : Zakaria
13. Nama Ibu : Ratni Lubis
14. Nama Isteri: Khairiah, MA
15. Nama Anak : 1) Alsinati Salqaura
2) M. Almahbubun Nasa
3) M. Alfarodisu
B. RIWAYAT PENDIDIKAN
1. Pendidikan Formal
a. S-1 : Tarbiyah PAI IAIN SU Medan
b. S-2 : Pendidikan Islam Pascasarjana IAIN SU Medan
c. S-3 : Pendidikan Islam Pascasarjana IAIN SU Medan
2. Pendidikan Non-Formal dan Pelatihan
a. Diklat Prajabatan Kementran Agama.
b. Shortcourse Penelitian Kuantitatif Diktis.
c. Shortcourse Penelitian Islam dan Budaya Diktis.
E. KARYA ILMIAH
1. Buku
a. Kontribusi Gaya Kepemimpinan Dosen Terhadap
Kreativitas dan Etika Belajar Mahasiswa STAN Zawiyah
Cot Kala Langsa
b. Flsafat Pendidikan Islam (Ontologi, Epistemologi dan
Aksiologi Pendidikan Islam).
c. Madrasah dalam Perubahan.
d. Dimensi Psikologis dalam Pemikiran Pendidikan Islam
(Landasan Teoretis dan Praktik dalam Pengembangan
Pembelajaran).
e. Dimensi Spiritual Pendidik dalam Pemikiran Pendidikan
Islam: Relevansi Spiritualitas dalam Perwujudan
Kompetensi Kepribadian Guru.
Metode dalam
ISSN 2086- Vol.I No.1 Jan-
5 At-Tarbawi Perspektif Filsafat
9754 Mar 2009
Pendidikan Islam
Korelasi Spiritualitas
P-ISSN: 0854- http://jurn-
Kependidikan denganb
2627 altarbiyah.
Jurnal Sikap Pelestarian
E-ISSN: 2597- uinsu.ac.id/
8 Tarbiyah Lingkungan Hiudp
4270 index.php/
Mahasiswa Tarbiyah
Vol 23, No 1 tarbiyah/arti-
IAIN Zawiyah Cot Kala
(2016) cle/view/108
Langsa
Bentuk
Sumber
No Judul Penelitian dan Bidang Tahun
Anggaran
Penelitian
Kontribusi Efektivitas
kepemimpinan Kepala Ma-
drasah dan Locus of Control Individu/
1 DIPA 2008 2008
Terhadap Kepuasan Kerja Kependidikan
Guru Madrasah Aliyah Neg-
eri (MAN) Kota Langsa
EFEKTIVITAS PEMBELA-
JARAN (Kontribusi Penge-
tahuan Manajemen Pem-
6 DIPA 2013 Individu 2013
belajaran dan Pengelolaan
Kelas Guru Pada MAN 2
Langsa).
Kontribusi Spiritualitas,
Sikap Inovatif dan Komit-
men Kerja Dosen Terhadap
Perilaku Akademik Maha-
7 DIPA 2014 2014
siswa Tarbiyah Pada TAIN
Zawiyah Cot Kala Langsa
dan UIN Arraniry Banda
Aceh
Korelasi Spiritualitas
Kependidikan dengan Sikap
Pelestarian Lingkungan
8 DIPA 2015 Individu 2015
Hidup Mahasiswa Tarbi-
yah IAIN Zawiyah Cot Kala
Langsa
Spiritualitas Kependi-
dikan dan Etika Akademik
Berbasis Epistemologi
10 DIPA 2018 Individu 2018
Pendidikan Islam Pada Ma-
hasiswa Ilmu Tarbiyah dan
Keguruan UIN SU Medan
169
170 Filsafat Pendidikan Islam