Anda di halaman 1dari 179

FILSAFAT

PENDIDIKAN ISLAM
(Landasan Filosofis Keilmuan dan Dimensi Spiritual)
FILSAFAT
PENDIDIKAN ISLAM
(Landasan Filosofis Keilmuan dan Dimensi Spiritual)

Dr. Budiman, M.A.

Editor:
Khairiah, M.A
Perpustakaan Nasional RI: Katalog dalam Terbitan (KDT)
Budiman
Filsafat Pendidikan Islam (Landasan Filosofis Keilmuan dan
Dimensi Spiritual)/Budiman.
—Ed. 1, Cet. 1. —Deli: Merdeka Kreasi Group, 2021
viii, 162 hlm., 21 cm.
Bibliografi: hlm. 143
ISBN 978-623-6198-14-8

1. Filsafat dan Teori I. Judul


tentang Agama Islam.
297.01

Hak Cipta © 2021, pada penulis


Dilarang mengutip sebagian atau seluruh isi buku ini
dengan cara apapun, termasuk dengan cara penggunaan
mesin fotokopi, tanpa izin sah dari penerbit
2021.
Dr. Budiman, M.A.
Filsafat Pendidikan Islam (Landasan Filosofis Keilmuan
dan Dimensi Spiritual)
Cetakan ke-1, Juli 2021
Hak penerbitan pada CV. Merdeka Kreasi Group
Editor : Khairiah, M.A.
Layout : Tim Kreatif Merdeka Kreasi
Desain Cover : Tim Kreatif Merdeka Kreasi
Dicetak di Merdeka Kreasi Group

CV. Merdeka Kreasi Group


Penerbit Nasional
Anggota IKAPI No. 148/SUT/2021

Alamat : Jl. Gagak Hitam, Komplek Bumi Seroja Permai


Villa 18, Medan Sunggal 20128
Telepon : 061 8086 7977
Email : merdekakreasi2019@gmail.com
KATA PENGANTAR

P
uji dan syukur penulis ucapkan sebanyak-banyaknya
kepada Allah swt., yang telah melimpahkan segala nikmat
kebaikan kepada penulis, sehingga dapat melaksanakan
penulisan buku daras ini. Ṣalawat dan salam penulis sampaikan
kepada Muhammad Rasulullah saw. yang telah dijadikan Allah
sebagai rahmat bagi sekalian alam.
Buku ini berjudul: FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM
(Landasan Filosofis Keilmuan dan Dimensi Spiritual), ditulis
untuk membantu mahasiswa Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Ilmu
Keguruan dalam perkuliahan pada Universitas Islam Negeri
(UIN) Sumatera Utara Medan khususnya dan mahasiswa pada
umumnya.
Semoga buku ini dapat bermanfaat bagi penulis dan
mahasiswa Tarbiyah khususnya serta bagi pembaca sekalian
umumnya.

v
vi Filsafat Pendidikan Islam
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR v
DAFTAR ISI vii
LANDASAN ONTOLOGI FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM 1
1. Pengertian Filsafat Pendidikan Islam 1
2. Ruang Lingkup Filsafat Pendidikan Islam 7
LANDASAN EPISTIMOLOGIS FILSAFAT PENDIDIKAN
ISLAM 11
1. Sumber Filsafat Pendidikan Islam 12
2. Pendekatan dan Metode dalam Studi Filsafat
Pendidikan Islam 16
LANDASAN AKSIOLOGIS FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM 49
1. Urgensi dan Fungsi Filsafat Pendidikan Islam 49
2. Perbandingan Antara Filsafat Pendidikan Islam
dengan Filsafat Pendidikan Barat 52
KONSEP SPIRITUALITAS DALAM PENDIDIKAN ISLAM 55
1. Pengertian Spiritualitas 55
2. Spiritualitas dalam Pendidikan Islam 57

vii
SPIRITUALITAS GURU PENDIDIKAN ISLAM 125
1. Spiritualitas Mu’alim/Ustāz 126
2. Spiritualitas Mudarriz 131
3. Spiritualitas Murabbi 137
4. Spiritualitas Muaddib 139
5. Spiritualitas Mursyid 140
DAFTAR PUSTAKA 143
BIOGRAFI PENULIS 161

viii Filsafat Pendidikan Islam


LANDASAN ONTOLOGI FILSAFAT
PENDIDIKAN ISLAM

K
ajian Filsafat Pendidikan Islam pada aspek ontologi,
membahas tentang hakikat substansi dari pendidikan
Islam. Bahwa pendidikan Islam adalah hakikat
dari kehidupan manusia yang berpradaban dan berpikir
menggunakan akal dalam peradabannya. Tanpa adanya akal,
maka pendidikan tidak akan terjadi.1 Karena eksistensi akal
tersebut, maka diperlukan adanya pendidikan sebagai usaha
pengembangan potensi diri manusia. Selain itu, secara ontologis
pemahaman terhadap pendidikan Islam tidak dapat dipisahkan
dari eksistensi Allah swt. Sebab tujuan pendidikan Islam adalah
memenuhi tujuan Allah swt dalam menciptakan manusia, yaitu
sebagai insan pengabdi.

1. Pengertian Filsafat Pendidikan Islam


a. Filsafat
Pembicaraan tentang Filsafat Pendidikan Islam sangat erat
kaitannya dengan Filsafat Pendidikan umumnya dan Filsafat

1
Hasan Basri, Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2009), h.
18.

1
Islam khususnya. Dalam kamus Bahasa Indonesia, filsafat
diartikan: 1. Pengetahuan dan penyelidikan dengan akal budi
mengenai hakikat segala yg ada, sebabnya, asalnya, hukumnya;
2. Teori yang mendasari alam pikiran atau suatu kegiatan; 3. Ilmu
yang berintikan logika, estetika, metafisika, dan epistomologi;
4. Kumpulan anggapan, gagasan, dan sikap batin yang dimiliki
orang atau masyarakat.2 Filsafat menurut arti katanya adalah
cinta akan kebenaran. Dengan demikian, dapat dipahami
bahwa makna filsafat adalah cinta kepada ilmu pengetahuan
atau kebenaran, suka kepada hikmah dan kebijaksanaan.3 Plato
(427-347 SM), seorang filosof Yunani Kuno mengatakan bahwa
filsafat adalah pengetahuan tentang segala sesuatu yang ada.4
Aristoteles (348-322 SM) mengatakan filsafat adalah
pengetahuan dan penelitian tentang sebab-sebab dan
prinsip-prinsip segala sesuatu.5 Omar Mohammad Al-Toumy
Al-Syabany, menjelaskan bahwa filsafat bukanlah hikmah
itu sendiri melainkan cinta terhadap hikmah dan berusaha
mendapatkannya, memusatkan perhatian padanya dan
menciptakan sikap positif terhadapnya. Filsafat dapat pula
berarti mencari hakekat sesuatu, berusaha menautkan sebab
dan akibat, dan berusaha menafsirkan pengalaman-pengalaman
manusia.6 Sidi Gazalba mengartikan filsafat dengan kegiatan
berpikir secara mendalam, sistematik, radikal, dan universal
dalam rangka mencari kebenaran, inti, atau hakikat mengenai
segala sesuatu yang ada.7
2
Kamus Bahasa Indonesia/Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa
(Jakarta: Pusat Bahasa, 2008), h. 410.
3
Omar Amin Hosein, Filsafat Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1961), h. 14.
4
K. Bertens, Sejarah Filsafat Yunani (Yogyakarta: Kanisius, 1981), h. 155.
5
Ibid.
6
Omar Mohammad al-Toumy al-Syabany, Falsafah Pendidikan Islam
(terj. Hasan Langgulung (Jakarta: Bulan Bintang, 1979, cet. 2), h. 1.
7
Sidi Gazalba, Sistematika Filsafat, Jilid 1, cet 2 (Jakarta: Bulan Bintang,

2 Filsafat Pendidikan Islam


Rasa keingintahuan manusia adalah awal dari filsafat,
sehingga kemudian melahirkan pemikiran terhadap apa
yang ingin diketahuinya. Pemikiran inilah yang kemudian
disebut sebagai filsafat. Dengan berfilsafat manusia memiliki
ilmu pengetahuan dan menjadi bijaksana. Bijaksana adalah
tujuan dari mempelajari filsafat itu sendiri. Dengan demikian,
berfilsafat berarti mencintai kebenaran ilmu pengetahuan,
sehingga mendapatkan hikmah serta dapat bersikap bijaksana.
Berfilsafat adalah berpikir, tetapi tidak setiap berpikir itu
berfilsafat. Berpikir filosofis adalah berpikir secara mendalam,
sistematis, radikal dan universal tentang segala yang ada dan
mungkin ada, agar diketahui hakikat kebenarannya.8 Dari
pengertian tersebut, beberapa unsur yang mendasari pemikiran
filosofis adalah:
1. Menggunakan rasio atau akal dalam memikirkan sesuatu
yang ada atau mungkin ada.
2. Bertujuan mendapatkan pengetahuan yang benar tentang
sesuatu yang ada atau mungkin ada.
3. Segala sesuatu yang ada dan mungkin ada, menjadi objek
material filsafat. Sesuatu yang ada yaitu dunia empiris
dan ada yang tidak kelihatan yaitu alam metafisik.
Sedangkan objek formal filsafat adalah sudut pandang yang
menyeluruh, radikal, sistematis dan logis tentang yang ada,
untuk diketahui hakekatnya.
4. Berpikir filosofis adalah logis, sistematis, radikal dan
universal. Logis maksudnya mengedepankan argumentasi
yang dapat diterima akal sehat. Karena kebenaran filosofis
berbasis pada rasio manusia, maka kebenaran filosofis
merupakan kebenaran tentatif dan relatif.
1967, cet.2), h. 15.
8
Ibid.

Kebenaran Ilmu Pengetahuan 3


Berfilsafat merupakan sikap sikap seseorang dalam melihat
permasalahan dalam kehidupan. Dengan melakukan penyikapan
terhadap permasalahan kehidupan, maka manusia dapat
mengetahui hakikat kehidupan ini. Pengetahuan tentang hakikat
kehidupan ini menjadi penerang dalam menjalani kehidupan.
Setelah manusia memiliki jalan yang terang dalam menatap
kehidupan, maka manusia dapat mencapai tujuan hidupnya.
Jawaban-jawaban yang diperoleh manusia dalam memandang
permasalahan hidup ini, melahirkan ilmu pengetahuan yang
beragam. Keragaman tersebut juga merupakan hikmah,
walaupun penemuan manusia terhadap pertanyaan-pertanyaan
yang diajukan terkadang saling bertentangan. Karena itu pula
pentingnya arahan wahyu bagi manusia sebagai pembimbing
akal untuk mendapatkan kebenaran ilmu pengetahuan.

b. Pendidikan Islam.
Omar Muhammad al-Toumy al-Syaibany, mengartikan
pendidikan Islam sebagai usaha mengubah tingkah laku
individu dalam kehidupan pribadinya atau kehidupan
kemasyarakatannya dan kehidupan dalam alam sekitarnya
melalui proses kependidikan, perubahan itu dilandasi dengan
nilai-nilai Islam.9 Istilah yang dipergunakan untuk menunjuk
kepada pendidikan Islam adalah al-Tarbiyyah, al-Ta’līm, dan al-
Ta’dīb. Ketiga istilah tersebut merupakan istilah bahasa Arab
yang memiliki konotasi (pengertian) masing-masing.
Yusuf Amir Faisal mengemukakan istilah al-Tarbiyyah dan al-
Ta’dīb memiliki pengertian lebih dalam dibanding dengan istilah
al-Ta’līm. Al-Ta’līm berarti hanya pengajaran (penyampaian
pengetahuan) sedangkan al-Tarbiyyah dan al-Ta’dīb mengandung
9
Al-Syabany, Falsafah, h. 5.

4 Filsafat Pendidikan Islam


makna pembinaan, pimpinan dan pemeliharaan.10 Al-ta’līm
telah digunakan sejak periode awal pelaksanaan pendidikan
Islam. Mengacu pada pengetahuan, berupa pengenalan dan
pemahaman terhadap segenap nama-nama atau benda ciptaan
Allah. Menurut Rasyid Rida, sebagaimana dikutip Jalaluddin, al-
Ta’līm sebagai proses transmisi berbagai Ilmu pengetahuan pada
jiwa individu tanpa adanya batasan dan ketentuan tertentu.11
Sedangkan kata al-Tarbiyyah pengertian dasarnya menunjukan
kata tumbuh, berkembang, memelihara, merawat, mengatur dan
menjaga kelestarian atau eksistensi sesuatu dan kata ini paling
banyak dipergunakan dibandingkan dengan istilah lainnya.12
Penggunaan kata al-Tarbiyyah, tidak terbatas pada manusia
saja, melainkan meluas pada species-species lain seperti
tanaman dan hewan. Makna semantiknya yang begitu luas
menyebabkan istilah al-Tarbiyyah tidak tepat untuk mengartikan
pendidikan yang dalam konsep pendidikan Islam hanya
berlaku untuk manusia. Beberapa alasannya, sebagaimana
kekemukakan al-Attas berikut: Pertama, istilah al-Tarbiyyah
dipergunakan juga untuk peternakan hewan dan perkebunan.
Padahal pendidikan dalam Islam adalah sesuatu yang khusus
untuk manusia.13 Kedua, sebagaimana yang digunakan dalam al-
Qur’an, istilah al-Tarbiyyah tidak mencerminkan faktor-faktor
esensial pengetahuan dan intelektual yang pada dasarnya
merupakan komponen-komponen inti dalam pendidikan Islam.
Ketiga, kalaupun istilah al-Tarbiyyah bisa diberikan pengertian
yang berkaitan dengan pengetahuan, maka konotasinya
10
Yusuf Amir Faisal, “Beberapa Langkah Pemula Menuju Pembaharuan
Pendidikan Tinggi Islam”(Jakarta: Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia, 1995),
h. 108.
11
Jalaluddin, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 2012), h. 124.
12
Ibid.
13
Syed Naquib Al- Attas, Konsep Pendidikan Dalam Islam, Suatu Rangka Pikir
Filsafat Pendidikan Islam” (Bandung, Mizan 1988 cet, ketiga), h. 68.

Kebenaran Ilmu Pengetahuan 5


cenderung kepada kepemilikan pengetahuan, bukan kepada
proses penanamannya. Sedangkan menurut al-Attas inti dari
pendidikan Islam adalah “proses penanaman”, bukan kepada
pemilikannya.14 Al-Ta’dīb, menurut al-Attas, sebagaimana
dikutip Al Rasyidin, adalah istilah yang paling tepat untuk
menunjukan pendidikan Islam, makna dari kata ini adalah
pengenalalan dan pembinaan yang secara berangsur-angsur
(berproses) dilakukan dan ditanamkan ke dalam diri manusia
(peserta didik) tentang nilai-nilai segala sesuatu di dalam
tatanan penciptaan.15
Dengan demikian, pendidikan Islam adalah suatu sistem
yang dapat mengarahkan kehidupan manusia (peserta didik)
sesuai dengan ideologi Islam.
Berdasarkan pembahasan tentang arti dari Filsafat dan
Pendidikan Islam, maka pengertian Filsafat Pendidikan Islam
adalah aktivitas berpikir yang sistematis (logis, metodologis),
radikal dan universal tentang pendidikan Islam pada tingkatan
teoretis (nas al-Qur’an dan hadis serta khazanah intelektual
muslim klasik dan kontemporer), untuk dijadikan panduan
praktik pendidikan Islam. Dengan demikian, Filsafat Pendidikan
Islam berupaya memberikan jawaban dari pertanyaan-
pertanyaan dalam bidang pendidikan. Karenanya, Filsafat
Pendidikan Islam melakukan analisa filosofis bidang pendidikan
Islam berbasis pada nas (al-Qur’an dan hadis) serta khazanah
intelektual muslim klasik dan kontemporer.

14
Ibid. h. 72.
15
Al Rasyidin, Filsafat Pendidikan Islam (Jakarta: Ciputat Press, 2005), h.
26-30.

6 Filsafat Pendidikan Islam


2. Ruang Lingkup Filsafat Penddikan Islam
Kajian tentang Filsafat Pendidikan Islam meliputi
permasalahan; pertama, filsafat, kedua, pendidikan Islam.
Karena itu, menganalisis Filsafat Pendidikan Islam sejatinya
didahului dengan memahami dasar-dasar tentang filsafat dan
pendidikan Islam. Sebab permasalahan masing-masing aspek
dari terma tersebut memiliki ruang lingkup yang sangat luas.
Kajian dan pemikiran mengenai pendidikan Islam misalnya,
pendidikan Islam itu pada dasarnya menyangkut seluruh aspek
kebutuhan dan/atau kehidupan umat manusia, khususnya
umat Islam. Ketika dilakukan kajian dan dirumuskan pemikiran
mengenai tujuan Pendidikan Islam, maka tidak dapat dilepaskan
dari tujuan hidup umat Islam. Karena tujuan pendidikan Islam
pada hakekatnya dalam rangka mencapai tujuan hidup umat
Islam, sehingga dasar tujuan pendidikan Islam sesungguhnya
sama dengan tujuan hidup umat Islam.
Filsafat Pendidikan Islam merumuskan tujuan pendidikan
Islam dalam rangka mencapai tujuan hidup umat Islam.
Bila tujuan hidup umat Islam untuk mencapai derajat
ketakwaan yang sempurna, maka tujuan pendidikan Islam
yang dirumuskan melalui Filsafat Pendidikan Islam adalah
pembinaan peserta didik agar menjadi insan bertakwa. Dengan
demikian, mewujudkan ketakwaan dalam diri peserta didik
menjadi tujuan akhir pendidikan Islam.16 Dengan demikian,
pada dasarnya ruang lingkup kajian Filsafat Pendidikan Islam
bertumpu pada pendidikan Islam itu sendiri, baik menyangkut
rumusan/konsep dasar pelaksanaan, maupun rumusan
pemikiran antisipatif untuk mengatasi problematika yang
dihadapi dalam pelaksanaan pendidikan Islam.
16
Ahmad Syar’i, Filsafat Pendidikan Islam, cet ke 1 (Jakarta: Pustaka Firdaus,
2005), h. 8.

Kebenaran Ilmu Pengetahuan 7


Adapun ruang lingkup kajian Filsafat Pendidikan Islam
mempunyai dua orientasi; objektif teoretis dan objektif praktis.
Orientasi pertama, menghendaki penelitian agama agar bersifat
murni dan teoretis melalui bidang; tradisi keIslaman (sumber
ajaran Islam yang diyakini sebagai sumber kebenaran abadi),
dan bidang dasar eksistensi ajaran Islam yang dapat dilakukan
dengan pendekatan teologis. Orientasi kedua, bidang yang
menyangkut prilaku keagamaan umat Islam dan aturan-
aturan keIslaman yang mengatur bagaimana umat Islam
harus berprilaku sesuai dengan ajaran agamanya dan bidang
eksperimen atau pengalaman keagamaan, baik pengalaman
pribadi maupun masyarakat muslim.
Melalui kajian objektif teoretis dan objektif praktis,
pendidik muslim dapat mengetahui esensi dari unsur-unsur
pokok pendidikan Islam. Satu di antaranya pendidik dapat
memilih kurikulum yang sesuai dengan bakat dan kemampuan
peserta didik, sehingga bakat dan kemampuan tersebut dapat
dibina dan dikembangkan untuk mencapai tujuan pendidikan
Islam.
Dengan demikian, ruang lingkup Filsafat Pendidikan
Islam meliputi pengkajian terhadap objektif teoretis dan
objektif praktis dalam rangka menggali, menyusun, dan
mengembangkan pemikiran kefilsafatan tentang pendidikan
Islam melalui pemikiran kefilsafatan yang bersifat sistematis,
radikal dan universal.
Berpikir sistematis yaitu berfikir logis dan rasional
tentang inti permasalahan kependidikan Islam yang dihadapi
dan hasil pemikirannya tersusun secara sistematis, satu
aspek dengan aspek yang lainnya saling berhubungan dan
holistik. Berpikir radikal yaitu melakukan penyelidikan
sampai ke akar permasalahan kependidikan Islam. Berpikir

8 Filsafat Pendidikan Islam


universal yaitu menyeluruh dan mengandung generalisasi
pada semua jenis dan tingkat kenyataan yang ada di dalam
lingkup kependidikan Islam, baik di masa lalu, sekarang
maupun di masa mendatang.

Kebenaran Ilmu Pengetahuan 9


[halaman sengaja dikosongkan]

10 Filsafat Pendidikan Islam


LANDASAN EPISTIMOLOGIS FILSAFAT
PENDIDIKAN ISLAM

E
pistemologi berasal dari bahasa Yunani, Episteme, yang
berarti cabang ilmu filsafat yang mempelajari dasar-
dasar dan batas-batas pengetahuan.1 Epistemologi
secara khusus membahas tentang teori ilmu pengetahuan.2
Pengetahuan adalah semua yang diketahui.3 Epistemologi
meliputi segala permasalahan fisik dan metafisik dan diperlukan
sebagai upaya untuk pertangungjawaban ilmiah.
Epistemologi menentukan pola pikir dan kebenaran ilmiah
yang dihasilkannya. Bangunan dasar epistemologi berbeda
antara suatu peradaban dengan lainnya. Perbedaan pola pikir
dan kebenaran ilmiah dalam epistemologi, berpengaruh besar
terhadap konstruksi bangunan pemikiran manusia. Pandangan
manusia tentang dunia bahkan dibentuk oleh konsepsinya

1
Kamus Bahasa Indonesia/Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa (Jakarta:
Pusat Bahasa, 2008), h. 396.
2
M. Amin Abdullah, Studi Agama Normativitas atau Historisitas? (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2002), h. 43.
3
Pengetahuan diperoleh melalui dua cara. Pertama, pengetahuan yang
diperoleh tanpa niat, tanpa motif, tanpa keingintahuan dan tanpa usaha. Kedua,
pengetahuan yang didasari motif ingin tahu. Pengetahuan jenis ini sangat
penting karena ia didasarkan logika dan bukti empiris. Ahmad Tafsir, Filsafat
Ilmu, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2006), h. 4-6.

11
tentang epistemologi.4 Karena itu perlu mendudukkan kajian
Filsafat Pendidikan Islam pada landasan epistemologi Islam.
Sehingga analisis filosofis terhadap permasalahan pendidian
Islam dilakukan berdasarkan epistemologi Islam.

1. Sumber Filsafat Pendidikan Islam


Filsafat Pendidikan Islam berbeda dengan Filsafat
Pendidikan, sebab Filsafat Pendidikan Islam bersumber pada
pada ajaran Islam.5 Dengan demikian, Filsafat Pendidikan Islam
sebagai suatu disiplin ilmu pengetahuan tidak bercorak liberal/
bebas, tanpa batas etika. Tetapi sangat terikat oleh nilai-nilai
yang terkandung dalam sumber ajaran Islam.
Filsafat Pendidikan Islam menjadikan Alquran dan Hadis
Rasul saw sebagai landasan dalam menganalisis permasalahan
pendidikan Islam. Walaupun keyataannya selama ini terdapat
beberapa kelompok pengkaji permasalahan pendidikan Islam.
Kelompok pertama, mengadopsi hasil-hasil pemikiran filosofis
kependidikan Barat dan memadukannya ke dalam pemikiran
pendidikan Islam. Kelompok kedua, secara konsisten menjadikan
Alquran dan Hadis Rasul saw sebagai sumber dalam pemikiran
pendidikan Islam.6 Namun jika melihat pada kenyataan bahwa
di kalangan umat Islam, ada sumber ajaran Islam dan ada
pula praktik pendidikan Islam sebagaimana ditemukan dalam
sejarah perkembangan umat. Dengan demikian, sumber
Filsafat Pendidikan Islam dapat dikategorikan pada sumber
normative dan sumber historis. Sumber normatif yaitu konsep
Filsafat pendidikan Islam yang berasal dari nas (Alquran dan
4
Abdullah, Studi, h. 261.
5
Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, cet I (Jakarta: Logis, 1997), h. 15.
6
Abdurrahman Ṣālih Abdullah, Educational Theory: A Qur’anic Outlook
(Makkah al-Mukarromah: Um al-Qurra University, t.th), h. 35-36.

12 Filsafat Pendidikan Islam


Hadis). Sedangkan sumber historis yaitu pemikiran filosofis
kependidikan Islam (klasik).
Sumber normatif Filsafat Pendidikan Islam adalah Alquran
yang merupakan petunjuk,7 bagi umat Islam dalam kehidupan.
Sedangkan pedoman khusus tentang pendidikan, sebagaimana
surat al-Alaq ayat 1 sampai 5, berisikan perintah untuk membaca
dan mengajarkan menulis agar mendapat pengetahuan. Wahyu
yang pertama kali turun ini memberi porsi pada gerakan ilmiah
yang lebih utama dilakukan terlebih dahulu, dibanding dengan
pemantapan akidah maupun ibadah. Gerakan ilmiah yang
tertuang dalam perintah iqra’ (membaca, meneliti, mengamati)
mengarah pada obyek bacaan ilmiah yang secara dikotomis
terpisah pada kawasan qauliyyah dan kauniyyah. Ayat-ayat
dalam surat ini redaksinya bukan dalam bentuk cerita, tetapi
redaksinya mengandung perintah yang tegas, agar umat Islam
membaca dan menulis serta menghasilkan ilmu pengetahuan.
Sedangkan Hadis Rasul saw sumber normatif dapat dilihat
dari berbagai Hadis yang isinya menjelaskan tentang ilmu
pengetahuan dan keteladanan Rasul saw. Rasul saw. sejak awal
sudah mencontohkan dalam mengimplementasikan pendidikan
yang tepat terhadap para sahabatnya. Strategi pembelajaran
yang beliau lakukan sangat akurat dalam menyampaikan ajaran
Islam. Rasul saw. sangat memperhatikan situasi, kondisi dan
karakter seseorang, sehingga nilai-nilai Islami dapat ditransfer
dengan baik. Rasulullah saw. juga sangat memahami naluri
dan kondisi setiap orang, sehingga beliau mampu menjadikan
mereka suka cita, baik meterial maupun spiritual, beliau
senantiasa mengajak orang untuk mendekat pada Allah swt.
dan syari’at-Nya. Rasul saw. adalah teladan dalam pendidikan,
sebagaimana Alquran surat al-Ahzâb berikut:
7
QS.Al-Baqarah/2: 185. Dan QS.Ali Imran/3: 4.

Kebenaran Ilmu Pengetahuan 13


َ َ ْ َ ٌ َ َ َ ٌ َ ْ ُ َّ ُ َ ْ
ُ َ َ َ ْ ََ
‫الل أسوة حسنة ِلمن كان‬ ِ ‫ول‬ ‫لقد كان لكم ِفي رس‬
َ َّ َ َ ِ ْ َّ ُ
ً َ َ َ
.‫الآخر وذكر الل ك ِثيرا‬ ‫م‬َ ْ
‫و‬ َ
‫ي‬ ‫ال‬ ‫و‬َ ‫الل‬ ‫َي ْرجو‬
ِ
Artinya:
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu
suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang
mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari
kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” 8
Dengan demikian, keteladanan menjadi penting dalam
pendidikan dan keteladanan sempurna, adalah keteladanan
Rasulullah saw., yang dapat menjadi acuan bagi guru
sebagai teladan utama, sehingga diharapkan peserta didik
mempunyai figur guru yang dapat dijadikan panutan. Pada
intinya, konsep pendidikan yang dapat ditemukan dalam
Hadis yaitu; merupakan penjelasan sistem pendidikan Islam
yang dikemukakan Alquran dan keteladanan Rasul saw dalam
implementasi pendidikan Islam.9
Adapun sumber historis bagi Filsafat Pendidikan Islam,
yaitu peradaban umat Islam klasik. Pada masa klasik, diskursus
keilmuan Islam mencapai tingkat yang tinggi, sehingga
kemudian memberikan kontribusi besar pada perkembangan
ilmu pengetahuan di masa-masa sesudahnya. Yang demikian
ini disebabkan oleh adanya beberapa hal, yang di antaranya;
motivasi internal Islam sendiri,10 untuk menuntut ilmu
dengan tanpa batasan waktu. Hal yang tak dapat dipungkiri
adalah adanya faktor eksternal, yaitu terjadinya kontak
8
Q.S Al-Ahzāb/33:21.
9
Abdurrahman an-Nahlāwī, Prinsip-Prinsip dan Metode Pendidikan Islam,
terj. Herry Noer Ali, cet 1 (Bandung: Diponegoro, 1989), h. 46-47.
10
Charles Michael Stanton, Higher Learning in Islam (Maryland: Rowman &
Littlefield Publishers, INC., 1990), h. 96-97.

14 Filsafat Pendidikan Islam


antara orang-orang Islam dan kalangan non-Islam atau lebih
tepatnya dengan kebudayaan lain yang jauh lebih maju jika
dibandingkan dengan kebudayaan yang dimiliki umat Islam
sendiri pada masa itu, seperti di Bizantium, Persia dan
India.11 Stabilitas sosial, ekonomi dan politik,12 setelah kaum
muslimin dapat mengembangkan kekuasaannya ke daerah-
daerah sekitarnya, juga turut menyumbangkan semarak
perkembangan keilmuan umat Islam. Degan demikian,
sikap terbuka dan toleransi umat Islam untuk mempelajari
dan menerima budaya-budaya taklukan dan daerah lainnya
ikut andil dalam menyemarakkan perkembangan ilmu
pengetahuan di kalangan umat Islam. Dari integrasi beberapa
kondisi ini, ada banyak peluang bagi umat Islam untuk
mencapai prestasi yang gemilang sebagaimana tercatat dalam
lembaran sejarah.

11
Untuk informasi lebih lengkap tentang pusat-pusat studi dan
daerah-daerah yang mewariskan keilmuan terhadap Islam, baik yang
langsung maupun tidak langsung, dapat dibaca dalam Rene Ristelhuever,
A History of the Balkan Peoples, terj. Sherman David Spector (New
York: Twayne Publisher, INC., 1971), h. 6; Ira Lapidus, A History of
Islamic Societies (Cambridge: Cambridge University Press, 1988), h. 93;
Philip K. Hitti, History of the Arabs (London: The Macmillan Press Ltd.,
1974), h. 309; Seyyed Hossein Nasr, Science and Civilization in Islam
(New York: New American Library, 1970), h. 190. Adapun mengenai
ulasan transmisi keilmuan non-Islam di kalangan umat Islam dapat
dilihat dalam Franz Rosenthal, The Classical Heritage in Islam (London:
Routledge & Kegan Paul, 1975), h. 47.
12
Informasi tentang hal ini dapat dibaca dalam Harun Nasution, Islam
Ditinjau dari Berbagai Aspeknya (Jakarta: UI Press, 1985), h. 68; dan lihat juga
J.H. Krammers, “Geography and Commerce”, dalam Thomas Arnold dan Alfred
Guillaume (Ed.), The Legacy of Islam (London: Oxford University Press, 1952),
h. 98-99.

Kebenaran Ilmu Pengetahuan 15


2. Pendekatan dan Metode dalam Studi Filsafat
Pendidikan Islam
Pendekatan dalam studi Filsafat Pendidikan Islam
dimaksudkan adalah penggunaan pendekatan tertentu
dalam kajian Filsafat Pendidikan Islam, sehingga eksis dalam
melahirkan teori pendidikan Islam. Beberapa pendekatan
dalam kajian Filsafat Pendidikan Islam, antara lain; pendekatan
normatif, pendekatan historis, pendekatan bahasa, pendekatan
kontekstual, pendekatan filsafat tradisional, pendekatan
filsafat kritis, pendekatan hermeneutika dan pendekatan
perbandingan.

a. Pendekatan Normatif
Pendekatan normatif disebut juga dengan pendekatan
doktriner.13 Yaitu melakukan kajian dengan membangun dan
memformulasikan pemikiran Filsafat Pendidikan Islam melalui
dasar-dasar doktrinal-teologis dari Alquran dan Hadis. M. Amin
Abdullah menyebutkan bahwa Islam sebagai agama memiliki
“hardcore” yang diperlukan dalam pendekatan normatif melalui
doktrinal-teologis. Karena berangkat dari kajian terhadap teks
yang terdapat dalam kitab suci, maka pendekatan normatif
dilakukan secara literalis, tektualis dan skriptualis.14

b. Pendekatan Historis
Dengan pendekatan ini, kajian Filsafat Pendidikan Islam
dilakukan berdasarkan urutan dan renang waktu yang terjadi
13
M.Amin Abdullah, Studi Agama: Normativitas atau Historitas?, cet 2
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999), h. 9.
14
Ibid., h. vi.

16 Filsafat Pendidikan Islam


di masa lampau. Imam Barnadib menyebut pendekatan
ini dengan “historiko filosofis”. Pendekatan historis akan
mengungkap konsep-konsep dan teori Filsafat Pendidikan Islam
yang dikemukakan para tokoh sepanjang sejarah.15 Studi dari
analisis sejarah akan menghasilkan penjelasan periodesasi dan
rekonstruksi historis yang meliputi; genesis, perubahan dan
perkembangan.16 Dengan demikian, dapat dipahami bahwa pada
setiap periode dalam pendekatan historis, mengandung aspek
rekonstruksi sejarah (asal-usul, perubahan dan perkembangan).

c. Pendekatan Bahasa
Pendekatan bahasa dalam studi Filsafat Pendidikan Islam
digunakan melalui analisis bahasa dan analisis konsep.17
Analisis bahasa yaitu melakukan interpretasi terhadap makna
kebahasaan. Bahasa dalam hal ini adalah aspek rasionalnya,
bukan aspek emosionalnya. Analisis bahasa akan fokus pada
sumber-sumber tertulis sebagai sumber data. Sedangkan
analisis konsep dilakukan dengan menganalisis istilah-istilah
yang mewakili gagasan atau konsep. Dalam melaksanakan
analisis konsep, hal-hal yang perlu diperhatikan yaitu;
menemukan arti istilah-istilah, menganalisis konsep secara
objektif, menggunakan logika, memahami hubungan antara
pikiran, bahasa dan realitas. Sehingga dengan demikian,
analisis konsep bertujuan menganalisis kata-kata kunci dari
sebuah konsep dan analisis bahasa bertujuan mengetahui arti
sesungguhnya dari suatu hal.

15
Imam Barnadib, Filsafat Pendidikan: Sistem dan Metode, Cet IX (Yogyakarta:
Andi Opset, 1997), h. 89-90.
16
Nourouzzaman Shiddiqy, Jeram-Jeram Peradaban Muslim, Cet I
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), h. 73.
17
Barnadib, Filsafat, h. 90-95.

Kebenaran Ilmu Pengetahuan 17


d. Pendekatan Kontekstual
Dimaksudkan dengan pendekatan kontekstual yaitu
mencoba memahami Filsafat Pendidikan Islam dalam
konteks sosial, politik dan budaya, dimana pendidikan Islam
dilaksanakan. Pendekatan ini bermaksud menjelaskan situasi
dan perkembangan pendidikan yang tidak dapat dipisahkan
dari berbagai konteks. Pendekatan ini pada dasarnya
mempertanyakan apakah proses pendidikan yang secara
sosiologis-antropologis dilaksanakan, telah sesuai ataupun
belum, dengan tujuan pendidikan yang dirumuskan secara
filosofis. Atau sebaliknya, apakah tujuan pendidikan yang telah
dirumuskan secara filosofis, sesuai atau tidak, dengan tuntutan
secara sosiologis-antropologis di masyarakat.

e. Pendekatan Filsafat Tradisional


Filsafat tradisional yaitu filsafat sebagaimana terdapat
dalam system, jenis serta aliran filsafat.18 Dengan demikian,
studi Filsafat Pendidikan Islam dengan pendekatan ini selalu
mengedepankan pemikiran kependidikan sesuai dengan sistem
dan aliran filsafat,19 mulai dari filsafat tradisional, filsafat
modern, sampai pada filsafat kontemporer.

f. Pendekatan Filsafat Kritis


Pendekatan filsafat kritis lebih bersifat keilmuan, terbuka
dan dinamis, tidak tersekat-sekat dan tidak terkotak-kotak
oleh sebuah tradisi. Ciri utama pendekatan ini yaitu; kajian

Ibid., h. 89.
18

Aliran-aliran filsafat ini misalnya rasionalisme, eksistensialisme,


19

pragmatisme, materialisme dan spiritualisme.

18 Filsafat Pendidikan Islam


kefilsafatan fokus pada perumusan ide-ide dasar objek
permasalahan yang dikaji, perumusan ide dasar tersebut
dapat menciptakan berpikir kritis, kajian kefilsafatan dapat
membentuk mentalitas dan kepribadian yang mengutamakan
kebebasan intlektual, sehingga terlepas dan dogmatism dan
fanatisme.20

g. Pendekatan Hermeneutik
Pendekatan hermeneutik dalam studi Filsafat Pendidikan
Islam dimaksudkan yaitu melakukan interpretasi terhadap teks
yang bernuansa kependidikan, untuk dipahami kronologi dan
konteksnya, sehingga menghasilkan makna baru yang berbeda
dengan pendekatan normatif.
Argumentasinya bahwa setiap teks dalam sebuah wacana
memiliki banyak variabel, seperti suasana politik, ekonomi,
sosiologi, psikologi dan lainnya. Sehingga teks sangat potensial
untuk menjadikan salah paham di kalangan pembacanya. Sebab
dalam proses pemahaman, penafsiran dan penerjemahan
sebuah teks, tidak terlepas dari keberadaan; pengarang teks,
dunia teks dan pembaca teks. Persoalan akan menjadi rumit
ketika jarak waktu, tempat dan budaya antara pembaca dengan
pengarang dan dunia teks demikian jauh. Teks keagamaan yang
hadir di Timur Tengah ribuan tahun lalu, dihadirkan untuk
masyarakat Indonesia kontemporer, tentu merupakan sesuatu
yang asing.21 Keterasingan inilah yang menjadi fokus kerja
hermeneutik, untuk menafsirkan teks klasik (sesuatu yang

20
M. Amin Abdullah, Mencari Islam: Studi Islam dengan Berbagai Pendekatan,
Cet 1 (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2000), h. 1-25.
21
Komaruddin Hidayat, Memahami Bahasa Agama: Sebuah Kajian
Hermeneutik, cet 1 (Jakarta: Paramadina, 1996), h. 17.

Kebenaran Ilmu Pengetahuan 19


asing) menjadi milik pembaca yang hidup di zaman dan tempat
serta budaya yang berbeda.
Adapun ciri dari pendekatan hermeneutik yaitu; adanya
kesadaran bahwa untuk menangkap makna sebuah teks tidak
dapat hanya mengandalkan pemahaman secara gramatika
bahasa, tetapi memerlukan data dan imajinasi konteks sosial
serta psikologis, baik dari sisi pembaca maupun pengarang teks.

h. Pendekatan Perbandingan
Pendekatan perbandingan dalam studi Filsafat Pendidikan
Islam yaitu mencari titik kelebihan dan kekurangan serta
persamaan dan perbedaan, sehingga melahirkan konsep yang
merupakan sintesa dari dua pemikiran kependidikan yang
berbeda.
Berbagai pendekatan di atas, bukan merupakan final dari
pendekatan studi Filsafat Pendidikan Islam. Diharapkan akan
ada pendekatan lainnya yang bertujuan untuk pengembangan
metodologi berpikir, pengembangan metodologi pemaknaan dan
pengembangan metodologi dalam mengkonstruk sebuah teori.22
Berdasarkan pendekatan pengkajian Filsafat Penddikan Islam,
pandangan epistemologis akan menjawab bahwa pengetahuan
manusia diperoleh melalui sinergisitas antara subyek yang
mengetahui dan obyek yang diketahui. Pengetahuan manusia
tidak mungkin ada tanpa salah satunya, sehingga pengetahuan
manusia selalu subyektif-obyektif atau obyektif subyektif.
Di sini terjadi sinergisitas antara subyek dan obyek. Subyek
dapat mengetahui obyeknya, karena dalam dirinya memiliki

Noeng Muhadjir, Ilmu Pendidikan dan Perubahan Sosial: Teori Pendidikan


22

Pelaku Sosial Kreatif , Eds V (Yogyakarta: Rake Sarasin, 2003), h. 29-30.

20 Filsafat Pendidikan Islam


kemampuan-kemampuan, khususnya kemampuan akal dan
inderawi serta intuisi.
Selain menggunkan pendekatan, pada kajian Filsafat
Pendidikan Islam, terdapat beberapa metode ilmiah dalam
kaitannya dengan teori pengetahuan (epistemologi).
Setidaknya, menurut al-Jabīrī, metode ilmiah dalam Islam yakni
bayānī, burhānī dan irfānī, yang masing-masing mempunyai
pandangan yang sangat berbeda tentang pengetahuan.23
Metode ilmiah adalah cara-cara untuk mengetahui suatu objek
ilmu sebagaimana adanya serta berhubungan dengan upaya-
upaya yang dapat dilakukan berdasarkan langkah-langkah
dan prosedur ilmiah untuk mengetahui obyek-obyek ilmu
sebagaimana adanya.24 Metode ilmiah yang dipergunakan untuk
mendekati kebenaran, harus disesuaikan dengan sifat dasar,
karakter dan status ontologis dari objek-objeknya yang berbeda-
beda. Dalam epistemologi Islam ditemukan beberapa metode
ilmiah yang antara satu dengan lainnya saling keterkaitan
dan tak terpisahkan. Menurut Mulyadhi Kartanegara yaitu;
metode tajrībī, bayānī, burhānī dan irfānī.25 Metode-metode
ilmiah tersebut memiliki kekhasannya masing-masing dalam
proses kerja ilmiah untuk mendapatkan ilmu pengetahuan.
Demikian pula dengan studi Filsafat Pendidikan Islam, dapat
menggunakan berbagai metode tersebut. Adapun implementasi

23
Al-Jabīrī adalah Guru Besar Filsafat Islam pada Universitas Muhammad
V, Rabat, Maroko. Lihat; M. Abid Al-Jabīrī, Bunyah al-Aql al-Arabī (Beirut, al-
Markaz al-Tsaqāfi al-Arabī, 1991), h. 12.
24
Mulyadhi Kartanegara, Menyibak Tirai Kejahilan; Pengantar Epistemologi
Islam (Bandung: Mizan, 2003), Cet I, h. 52.
25
Ibid. Lihat juga; Mulyadhi Kartanegara, Nalar Religius, Memahami Hakikat
Tuhan, Alam dan Manusia (Jakarta: Erlangga, 2007), h.70-74.

Kebenaran Ilmu Pengetahuan 21


metode tajrībī, bayānī, burhānī dan irfānī dalam Studi Filsafat
Pendidikan Islam, sebagaimana berikut:
1. Implementasi metode tajrībī.
Metode tajrībī disebut juga dengan metode observasi
atau eksperimen terhadap objek-objek fisik. Metode ini
dapat dipergunakan secara bersama-sama dengan metode
demonstratif (burhāni). Sebagaimana pernyataan, ‘’metode
demonstratif menemukan ekspresinya yang paling utama dalam
metode eksperimen’’.26 Sedangkan menurut al-Kindi, metode
matematika yang lebih mewakili metode demonstratif sebagai
metode ilmiah utama. Masih dalam penggabungan metode
ilmiah, menurut ibn Haitsam metode ilmiah yang paling tepat
adalah gabungan dari metode eksperimen dan matematika
serta menggunakan keduanya dalam penelitian optik.27 Jadi
metode ilmiah ini lebih mengutamakan potensi indrawi dalam
kerja-kerja ilmiah untuk mendapatkan pengetahuan.
Sebagaimana dikemukakan terdahulu, bahwa metode
observasi atau eksperimen ini berkaitan dengan pengamatan
terhadap objek-objek empiris, guna mendapatkan pengetahuan
ilmiah. Namun karena untuk mendapatkan pengetahuan yang
objektif dari metode observasi dan eksperimen ini ternyata
sangat minim (utamanya penggunaan indra penglihatan), maka
diperlukanlah alat-alat bantu untuk meminimalisir gagalnya
tujuan memperoleh informasi sebagaimana adanya suatu objek
empiris. Contoh penggunaan alat bantu ini dapat dilihat dari
penggunaan observatorium (penggunaan alat optik/teleskop),
untuk mendapatkan gambaran yang akurat tentang benda
angkasa. Contoh lainnya, seorang ekspedis muslim abad ke 11
(al-Birūnī), bidang geologi dan geografi, berupaya mengukur
26
Kartanegara, Menyibak, h. 52.
27
Ibid.

22 Filsafat Pendidikan Islam


keliling bumi.28 Karena sangat mustahil untuk berlayar keliling
bumi, maka beliau menggabungkan metode observasi dengan
teori trigonometri matematika. Dimulai dari membuat asumsi
bahwa bumi ini bulat, lalu observasi dilakukan dengan berdiri di
atas gunung dan melihat tempat matahari tenggelam di sebelah
Barat. Selanjutnya menggunakan rumus trigonometri (lingkaran,
garis lurus, segitiga), dilakukan pula penjumlahan, pembagian
dan perkalian sudut. Akhirnya sampai pada kesimpulan bahwa
keliling bumi adalah 24.778,5 mil dan berdiameter 7.878 mil.29
Ternyata di era modern, penghitungan yang dilakukan dengan
alat yang sangat canggih bahwa keliling bumi adalah 24.585
mil dan diameter 7.902 mil. Jadi memang ada selisih, namun
metode yang dilakukan al-Biruni ini berkontribusi sangat besar
pada zamannya.
Penggunaan metode tajrībī lebih berorientasi pada observasi
dan eksperimen kealaman. Pada kenyataannya, manusia dapat
memperoleh pengetahuan melalui berbagai sumber atau
sarana seperti pengalaman inderawi dan pengalaman mental,
penalaran (baik melalui penalaran deduktif maupun induktif),
wahyu, keyakinan, authority (orang yang ahli dalam bidangnya);
dan dari tradisi serta pendapat umum.30 Meskipun manusia
dengan segala kemampuannya telah dan akan berupaya terus
untuk mengetahui suatu obyek secara total dan utuh, namun
manusia tidak mampu untuk memahami obyek tersebut secara
total dan utuh. Apa yang diketahui manusia selalu saja ada
batasnya. Dalam istilah ini, “ada sisi-sisi yang tak terungkap
oleh pengetahuan manusia”, dengan kata lain, manusia
hanya mampu mengetahui yang fenomenal saja dan tidak
28
Ibid. h. 55.
29
Ibid.
30
Jacques P. Thiroux, Philosophy Theory and Practice (New York: Macmillan
Publishing Company, 1985), h. 478-483.

Kebenaran Ilmu Pengetahuan 23


mampu menjangkau yang noumenal. Hal inilah yang memicu
munculnya anggapan bahwa pengetahuan manusia itu relatif.
Relativitas pengetahuan manusia itu disebabkan sekurang-
kurangnya karena keterbatasan kemampuan manusia sebagai
subyek yang mengetahui dan juga karena kompleksitas obyek
yang akan diketahui. Jika dikaitkan dengan filsafat pendidikan
Islam, masalah pengetahuan antara lain terkait dengan masalah
tujuan pendidikan, kurikulum, pendidik, peserta didik, milliu
dan metode pembelajaran. Karena pengetahuan manusia tidak
dapat dilepaskan dengan masalah isi pengetahuan (realitas),
maka dalam pandangan Filsafat Pendidikan Islam, masalah
realitas tercermin “in the subjects, experiences and skills of the
curriculum”.31 Para ilmuwan muslim memahami sains sebagai
bagian yang tak terpisahkan dari filsafat sebagai induk ilmu
pengetahuan rasional. Ilmu didefinisikan sebagai “pengetahuan
tentang sesuatu sebagaimana adanya”.32 Dengan kata lain
ilmu adalah pengetahuan yang benar tentang sesuatu atau
pengetahuan yang sesuai dengan realitas objek yang sedang
dikaji. Dengan demikian, terdapat hubungan yang erat antara
pengetahuan dengan realitas atau wujud.
Para ilmuwan muslim juga meyakini bahwa realitas atau
wujud memiliki hirarki, sehingga muncul istilah marātib al-
mawjūdāt (hirarki wujud). Dalam pandangan ilmuan muslim,
ilmu yang benar adalah yang berpadanan (berkorespondensi)
dengan wujud atau realitas eksternal. Karena realitas mempunyai
hirarki, maka demikian juga ilmu pengetahuan. Ketika ada
wujud metafisik, maka ada ilmu metafisik. Ketika ada wujud
31
Allan C. Ornstein dan Daniel U. Levine, An Introduction to the Foundations
of Education, Boston: Houghton Mifflin Company, 1985, h. 186.
32
Mulyadhi Kartanegara, Studi Islam (Bahan Kuliah Pascasarjana IAIN SU
Medan, Bab Sains, 2010), Tidak diterbitkan, h. 266.

24 Filsafat Pendidikan Islam


yang bersifat imaginal (imajinasi), maka ada kelompok ilmu
matematik dan ketika ada wujud yang bersifat fisik, maka ada
kelompok ilmu fisik, yang biasanya disebut ilmu alam. Dengan
demikian, ilmu etika didasarkan pada psikologi dan psikologi
pada fisika dan fisika pada filsafat. Dalam hal ini berbagai
disiplin ini saling terkait satu sama lain dalam sistem tertentu,
sehingga dapat dengan mudah dikenali antar hubungan di
antara disiplin ilmu. Selain mengenal hirarki wujud (ontologis)
dan ilmu (epistemologis), pandangan ilmiah Islam juga
mengenal hirarki etik. Bahwa kemuliaan dari suatu disiplin ilmu
akan tergantung pada kemuliaan objek yang dikajinya. Semakin
tinggi hirarki objek yang dikaji, maka semakin tinggi derajat
kemuliaan disiplin ilmu tersebut. Semakin tinggi kemulian
sebuah ilmu, semakin bahagia orang-orang yang menekuninya.
Jadi dapat dimengerti mengapa studi tentang Tuhan (metafisik)
adalah studi yang paling mulia dalam pandangan ilmiah Islam
dan paling membahagiakan bagi para penuntut serta ahlinya.
Berdasarkan pada hirarki tersebut, maka ilmu disusun
menurut klasifikasi tertentu. Ada ilmu yang bersifat otoritatif
dan menjadikan Alquran dan Hadis sebagai sumber utamanya,
yang disebut sebagi ilmu-ilmu naqliyyah (transmitted sciences)
dan ilmu yang didasarkan pada penalaran akal, disebut ilmu-
ilmu ‘aqliyyah (rational sciences). Hirarki ilmu naqliyyah sering
dipandang lebih tinggi dari ilmu aqliyah, sehingga ada sebagian
ulama yang mengatakan farḍu‘ain untuk menuntutnya.
Sedangkan ilmu-ilmu rasional hanya farḍu kifāyah. Tapi di
antara ilmu-ilmu rasional pun terdapat perbedaan derajat
kemuliaannya, tergantung pada substansinya. Ilmu yang paling
tinggi hirarkinya akan menjadi dasar pijakan bagi ilmu-ilmu
yang ada di bawahnya. Dan ilmu-ilmu yang ada di bawahnya,
pada gilirannya akan menjadi dasar bagi ilmu-ilmu lain yang

Kebenaran Ilmu Pengetahuan 25


ada di bawahnya lagi. Secara umum dapat dikatakan bahwa
ilmu-ilmu teoretis berada di atas dan menjadi dasar bagi ilmu-
ilmu praktis. Maka ilmu-ilmu metafisik biasanya menjadi basis
filosofis bagi ilmu praktis. Seperti dikemukakan di atas, etika,
sebagai ilmu praktis, telah menjadikan psikologi yang masuk ke
dalam bidang teoretis, sebagai dasar pijakannya.
Akibat saling keterkaitan antara satu disiplin ilmu dengan
disiplin ilmu lainnya, maka penjelasan ilmiah suatu bidang
ilmu tidak bisa diisolasi dengan ketat dari bidang lainnya.
Ini juga bisa dilihat dari penjelasan-penjelasan ilmiah yang
diberikan para ilmuwan muslim dalam bidang sains, seperti
fisika, biologi, psikologi dan bahkan sosiologi. Suatu fenomena
alam, seperti peredaran planet, dihubungkan misalnya oleh
Ikhwān al-Syafā’ dengan jiwa universal (al-nafs al-kullī), yang
dipandang sebagai jiwa alam semesta yang bertanggung
jawab atas pergerakan alam dan makhluk hidup yang ada di
dalamnya. Mereka mengatakan, sebagaimana anggota tubuh,
tidak akan bisa bergerak kecuali ada jiwa di dalamnya, maka
demikian juga menurut mereka alam semesta, beserta bagian-
bagiannya, tidak mungkin bisa bergerak kecuali ada jiwa di
dalamnya, sebagai kekuatan immaterial yang disebutnya jiwa
universal.33 Jiwa universal tersebut mempertahankan struktur
peredaran alam semesta tetap berdiri kokoh seperti sekarang.
Kalau jiwa universal ini kembali ke sumbernya yaitu Allah
swt., maka alam semesta pasti akan ambruk. Dan apabila ini
terjadi maka itulah yang dinamakan kiamat kubrā. Di sini jelas,
betapa ilmu fisika bisa saja diterangkan dengan memakai teori-
teori metafisika ketika memang diperlukan. Hal ini tentu tidak
berlaku dalam teori fisika sekuler, yang harus hanya membatasi
penjelasannya pada hal-hal yang empiris dan terlarang untuk
33
Ibid., h. 267.

26 Filsafat Pendidikan Islam


menghubungkannya dengan sesuatu yang bersifat supernatural
atau metafisik. Bukti lain dari keterlibatan unsur metafisika
dalam penjelasan sains dapat ditemukan dalam penjelasan
yang diberikan Ikhwān al-Shafā’ berkenaan dengan hewan-
hewan bawah tanah. Mereka mengatakan bahwa ada makhluk
yang hidup selamanya di permukaan tanah, dalam arti tidak
pernah muncul ke permukaan Bumi, yang tidak memiliki indera
penglihatan (mata). Tapi dalam menjelaskan fenomena biologis
yang menarik ini, Ikhwān al-Shafā’ mengaitkannya dengan
tindakan Tuhan, yang tentu saja berada di luar lingkup ilmu-
ilmu fisika. Menurut mereka, Tuhan memang telah menciptakan
hewan tersebut seperti itu, sesuai dengan kebijaksanaan dan
kearifan-Nya. Kearifan-Nya mencegah-Nya untuk menciptakan
sesuatu yang tidak ada manfaatnya. Kalau Allah menciptakan
mata baginya, maka dapat dipastikan bahwa mata tersebut tidak
akan berguna, malah sebaliknya akan mendatangkan mudarat.
Tidak mungkin Tuhan melakukan itu semua, karena itu akan
melanggar kebijaksanaan atau kearifan-Nya.34
Sains dituntut oleh para ilmuwan muslim tidak hanya
sekedar untuk memenuhi rasa ingin tahu saja. Tetapi dikaji
dalam rangka mencari jejak-jejak ilahiah. Karena tidak
seperti ilmuwan sekuler, para sarjana muslim mengkaji alam
sebagai ayat-ayat Tuhan. Al-Jāhiź dalam pengantar buku
zoologinya berjudul al-Hayāwān, sebagaimana dikutip Mulyadi
Kartanegara, mengemukakan bahwa zoologi baginya adalah
cabang ilmu agama. Karena tujuan utama pengkajiannya adalah
untuk menunjukkan keagungan Tuhan yang terdapat dalam
penciptaan makhluk hidup ini.35 Ikhwān al-Shafā’ mengaitkan
rasa sakit yang dirasakan oleh hewan dan manusia sebagai tanda

34
Ibid. h. 268.
35
Ibid.

Kebenaran Ilmu Pengetahuan 27


kasih sayang Tuhan. Karena, kalau tidak ada rasa sakit, padahal
ia terluka parah, maka hewan atau manusia tersebut akan segera
mati. Melalui kearifan-Nya maka Allah swt., menciptakan rasa
sakit pada manusia, agar manusia dapat mencegah terjadinya
malapetaka yang lebih besar lagi. “Kalau manusia tidak memiliki
rasa sakit, maka ketika kakinya terbakar oleh lilin yang dipasang
di bawah tempat tidur, maka ia mendapatkan kakinya hangus
dan terluka. Namun Allah swt., tidak menciptakan rasa sakit
tersebut pada tumbuh-tumbuhan, karena kalau itu terjadi maka
akan terjadi penderitaan yang luar biasa pada tumbuhan, karena
tumbuhan tidak bisa pindah tempat ketika tersengat sinar
matahari.36 Hal tersebut merupakan tanda-tanda kebesaran
Allah swt. yang tidak dapat dipisahkan dari kajian ilmiah para
ilmuan muslim. Para sarjana muslim tidak pernah merasa ragu
untuk mengkaitkan segala fenomena alam yang mereka teliti
dengan keagungan, kehadiran dan kekuasaan Tuhan. Bahkan
ada sarjana yang mengatakan bahwa Tuhan adalah sebab
pertama bagi apapun yang ada di dunia ini dan menjadi pra-
syarat bagi keberadaan mereka yang beragam.
Metode tajrībī dalam studi Filsafat Pendidikan Islam,
dapat dipergunakan dalam analisis terhadap unsur-unsur
pokok pendidikan Islam. Hasil-hasil pemikiran filosofis yang
berhubungan dengan eksperimen dalam pembelajaran, salah
satunya dapat dilihat dari model pembelajaran inkuiri. Inkuiri
berasal dari bahasa Inggris yaitu inquiry, yang dapat diartikan
sebagai proses bertanya dan mencari tahu jawaban terhadap
pertanyaan ilmiah yang diajukannya. Pertanyaan ilmiah
adalah pertanyaan yang dapat mengarahkan pada kegiatan
penyelidikan terhadap obyek yang dipertanyakan. Dengan
kata lain, inkuiri adalah suatu proses untuk memperoleh dan
36
Ibid.

28 Filsafat Pendidikan Islam


mendapatkan informasi dengan melakukan observasi dan
eksperimen guna mendapatkan jawaban atau memecahkan
masalah dari suatu rumusan masalah, dengan menggunakan
kemampuan berpikir kritis dan logis. Dengan demikian, inquiry
adalah proses mendefinisikan dan menyelidiki masalah-
masalah, merumuskan hipotesis, merancang eksperimen,
menemukan data dan menggambarkan kesimpulan masalah-
masalah tersebut. Lebih lanjut, dikemukakan bahwa esensi
dari pembelajaran inkuiri adalah menata lingkungan atau
suasana pembelajaran yang berfokus pada peserta didik
dengan memberikan bimbingan secukupnya untuk menemukan
konsep-konsep dan prinsip-prinsip ilmiah.37 Inkuiri pada
dasarnya adalah cara menyadari apa yang telah dialami,
karena inkuiri menuntut peserta didik untuk berpikir. Metode
ini menempatkan peserta didik pada situasi yang melibatkan
mereka dalam kegiatan intelektual.38 Meskipun metode ini
berpusat pada kegiatan peserta didik, namun pendidik tetap
memegang peran penting sebagai pembuat desain pengalaman
pembelajaran. Pendidik berkewajiban menggiring peserta
didik untuk melakukan kegiatan. Kadangkala pendidik perlu
menjelaskan, membimbing diskusi, memberikan intruksi-
intruksi, melontarkan pertanyaan, memberikan komentar dan
saran kepada peserta didik.
Tujuan utama dari pembelajaran inkuiri adalah
pengembangan kemampuan berpikir peserta didik. Dengan
demikian, pembelajaran ini selain berorientasi pada hasil
belajar juga berorientasi pada proses belajar peserta didik.
37
Asri Widowati, Penerapan Pendekatan Inquiry dalam Pembelajaran Sains
Sebagai Upaya Pengembangan Cara Berpikir Divergen, Majalah Ilmiah Pembelajan,
Vol. 3, No. 1, Mei 2007, h. 21.
38
E. Mulyasa, Kurikulum Berbasis Kompetensi, Konsep, Karakteristik, dan
Implementasinya (Bandung: PT. Rosdakarya, 2004), h. 235.

Kebenaran Ilmu Pengetahuan 29


Proses pembelajaran pada dasarnya adalah proses interaksi
di antara sesama peserta didik dan dengan pendidik, bahkan
interaksi peserta didik dengan lingkungan. Inkuiri merupakan
suatu proses yang ditempuh peserta didik untuk memecahkan
masalah, merencanakan eksperimen, melaksanakan
eksperimen, mengumpulkan dan menganalisis data dan
menarik kesimpulan.
2. Implementasi metode burhānī.
Berbeda dengan bayāni dan irfāni yang berkaitan dengan
teks suci, burhānī sama sekali tidak mendasarkan diri pada
teks. Burhānī menyandarkan diri pada kekuatan rasio, akal,
yang dilakukan menggunakan dalil-dalil logika. Perbandingan
ketiga epistemologi ini adalah bahwa bayānī menghasilkan
pengetahuan melalui analogi furû` kepada yang asal; irfānī
menghasilkan pengetahuan lewat proses penyatuan ruhani
pada Allah swt., sedangkan burhānī menghasilkan pengetahuan
melalui prinsip-prinsip logika atas pengetahuan sebelumnya
yang telah diyakini kebenarannya.39 Dengan demikian, sumber
pengetahuan burhānīa dalah rasio, bukan teks atau intuisi. Rasio
inilah yang memberikan penilaian dan keputusan terhadap
informasi yang masuk lewat indera.40 Selanjutnya, untuk
mendapatkan sebuah pengetahuan, burhānī menggunakan
aturan silogisme.41 Mengikuti Aristoteles, penarikan kesimpulan
dengan silogisme ini harus memenuhi beberapa syarat, (1)
mengetahui latar belakang dari penyusunan premis, (2) adanya
konsistensi logis antara alasan dan keismpulan, (3) kesimpulan
yang diambil harus bersifat pasti dan benar, sehingga tidak
39
M. Abid Al-Jabīri, Isykāliyāt al-Fikr al-Arabī al-Mu`āṣir (Beirut: Markaz
Dirāsah al-Arabiyah, 1989), h. 59.
40
Ibn Rusyd, Faṣl al-Maqāl Fī mā Bain al-Hikmah wa al-Syarīah min al-Ittiṣāl,
edit. M. Imārah, (Mesir: Dār al-Ma`ārif, tt), h. 56.
41
Al-Jabiri, Bunyat, h. 385.

30 Filsafat Pendidikan Islam


mungkin menimbulkan kebenaran atau kepastian lain.42 Al-
Farābi, mempersyaratkan bahwa premis-premis burhānī harus
merupakan premis-premis yang benar, primer dan diperlukan.
Premis yang benar adalah premis yang memberi keyakinan,
menyakinkan.43 Suatu premis bisa dianggap meyakinkan bila
memenuhi tiga syarat; (1) kepercayaan bahwa sesuatu (premis)
itu berada atau tidak dalam kondisi spesifik, (2) kepercayaan
bahwa sesuatu itu tidak mungkin merupakan sesuatu yang lain
selain darinya, (3) kepercayaan bahwa kepercayaan kedua tidak
mungkin sebaliknya.
Selain itu, burhānī bisa juga menggunakan sebagian dari
jenis-jenis pengetahuan indera, dengan syarat bahwa objek-
objek pengetahuan indera tersebut harus senantiasa sama
(konstan) saat diamati, dimanapun dan kapanpun dan tidak ada
yang menyimpulkan sebaliknya.44 Derajat di bawah silogisme
burhāni adalah ‘sillogisme dialektika’, yang banyak dipakai
dalam penyusunan konsep teologis. Silogisme dialektik adalah
bentuk silogisme yang tersusun atas premis-premis yang
hanya bertarap mendekati keyakinan, tidak sampai derajat
meyakinkan seperti dalam silogisme demonstratif (burhānī).
Materi premis silogisme dialektik berupa opini-opini yang
secara umum diterima (masyhūrāt), tanpa diuji secara rasional.
Karena itu, nilai pengetahuan dari silogisme dialektika tidak bisa
menyamai pengetahuan yang dihasilkan dari metode sillogisme
demonstratif (burhānī). Ia berada di bawah pengetahuan
demontratif. Contoh klasik silogisme yaitu; semua manusia
akan mati, Nabi adam adalah manusia, maka nabi Adam mati.
Penjelasan semua manusia akan mati sebagai premis mayor,
42
Ibid, h. 433-436.
43
Osman Bakar, Hierarki Ilmu, terj. Purwanto (Bandung: Mizan, 1997), h.
106.
44
Ibid.

Kebenaran Ilmu Pengetahuan 31


nabi Adam adalah manusia sebagai premis minor dan kata
manusia pada kedua premis tersebut adalah middle term. Jadi
jika premis mayor dan minor benar, maka kesimpulan “nabi
Adam mati” adalah benar.
Implementasi burhānī dalam studi Filsafat Pendidikan Islam
ditandai dengan tafakkur (pengembaraan potensi pikir), ta’aqqul
(pengintegrasikan antara pikiran dan perbuatan) tadabbur
(memperhatikan konsekwensinya), dirāyah (berdasarkan
pengetahuan yang telah ada), tafaqquh (menelaah mendalam
realitas yang ada). Menggunakan metode burhānī dalam studi
Filsafat Pendidikan Islam, dapat mengetahui banyak hal tentang
hakekat pendidikan, teori-teori pendidikan dan nilai-nilai
dalam pendidikan Islam. Misalkan teori perkembangan peserta
didik dalam perspektif Filsafat Pendidikan Islam yang berbeda
dengan perspektif filsafat pendidikan sekuler.
Menurut konsep Islam, kemampuan dasar/ pembawaan
itu dapat disejajarkan dengan istilah fitrah. Secara etimologis,
kata fitrah berarti asal kejadian, bawaan sejak lahir, jati diri,
dan naluri manusiawi.45 Dari segi terminologi Islam, sejumlah
interpretasi terhadap kata fitrah dalam al-Qur’an dan Hadis
dikemukakan oleh para ahli. Berkaitan dengan pembahasan
ini, M. Arifin, mengemukakan bahwa sejumlah ayat al-Qur’an
dan Hadis, serta interpretasi ahli ilmu pendidikan Islam
terhadap keduanya telah memungkinkan lahirnya pandangan-
pandangan yang cenderung kepada nativisme, konvergensi
atau bahkan empirisme dalam ilmu pendidikan Islam.46 Fitrah
adalah faktor kemampuan dasar perkembangan manusia yang

45
M. Quraish Shihab, Lentera Hati: Kisah dan Hikmah Kehidupan, Cet. XVII
(Bandung: Mizan, 1999), h. 52.
46
M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam, Cet. III (Jakarta: Bumi Aksara, 1994),
h. 88-96.

32 Filsafat Pendidikan Islam


terbawa sejak lahir yang berpusat pada potensi dasar untuk
berkembang. Potensi dasar itu berkembang secara menyeluruh
(integral) yang menggerakkan seluruh aspek-aspeknya yang
secara mekanistis satu sama lain saling mempengaruhi menuju
ke arah tujuan tertentu. Menurutnya aspek-aspek fitrah terdiri
dari komponen-komponen dasar (bakat, naluri, nafsu, karakter,
hereditas dan intuisi) yang bersifat dinamis dan responsif
terhadap pengaruh lingkungan sekitar (dimana individu
berada), termasuk pengaruh pendidikan (tri pusat pendidikan;
formal, informal dan nonformal).47 Adanya peranan lingkungan
dalam proses perkembangan manusia yang telah lahir dengan
membawa fitrah sesuai dengan sabda Rasulullah saw. dalam
hadis al-Bukḥārī.48
Al-fiṭrah, menurut konsep Islam dalam hubungannya
dengan lingkungan ketika mempengaruhi komponen
spiritual manusia, tidaklah netral sebagaimana pandangan
empirisme yang menganggap bayi yang baru lahir sebagai
suci bersih dari pembawaan (potensi) baik dan buruk. Dalam
pendidikan Islam, manusia lahir dengan membawa suatu fitrah
dengan kecenderungan yang bersifat permanen. Fitrah akan
berinteraksi secara aktif dan dinamis dengan lingkungan dalam
proses perkembangan manusia. Menurut Hasan Langgulung,49
fitrah itu dapat dilihat dari dua penjuru. Pertama, dari segi
pembawaan manusia, yakni potensi mengembangkan sifat-sifat
Tuhan pada dirinya. Kedua, fitrah dapat juga dilihat dari segi
wahyu Tuhan yang diturunkan kepada nabi-nabi-Nya (agama
47
Ibid. h. 101.
48
Muhammad ibn Ismāil Abū Abdullah al-Bukḥārī al-Ja’fi, Al-Jāmi’ as-Saḥīḥ
al-Mukḥtasar, juz 1 (Bairut: Dār ibn Kasīr Al-Yamāmah, 1987), h. 465.
‫ قال النيب‬: ‫حدثنا آدم حدثنا ابن أيب ذئب عن الوهري عن أيب سلمة بن عبد الرمحن عن أيب هريرة رضي هللا عنه قال‬
‫ كل مولود يولد على الفطرة فأبواه يهودانه أو ينصراه أو ميجسانه‬:‫صلى هللا عليه وسلم‬.
49
Hasan Langgulung Beberapa Pemikiran Tentang Pendidikan Islam, Cet. II
(Bandung: Al-Ma’arif, 1995), h. 21-22.

Kebenaran Ilmu Pengetahuan 33


tauhid; Islam). Jadi, potensi manusia dan agama wahyu adalah
satu “benda” (fitrah) yang dapat diibaratkan mata uang dua sisi.
Ini bermakna bahwa agama yang diturunkan Allah swt. melalui
wahyu kepada para nabi-Nya adalah sesuai dengan fitrah atau
potensi (sifat-sifat) asasi manusia. Dari apa yang dikemukakan
Hasan Langgulung tersebut, dapat dipahami bahwa fitrah
itu berorientasi kepada kebaikan. Dengan kata lain, manusia
pada dasarnya adalah baik atau memiliki kecenderungan asasi
untuk berkembang ke arah yang baik. Baik menurut pendidikan
Islam adalah bersumber dari Allah swt., yang bersifat mutlak.
Tidak sebagaimana pandangan aliran-aliran sekuler yang
berpandangan bahwa baik adalah suatu yang bersifat relatif dan
bersumber pada manusia (anthroposentrisme). Dalam kaitannya
dengan pendidikan, meskipun konsep tentang fitrah mirip
dengan naturalisme yang menganggap manusia pada dasarnya
baik, tetapi pendidikan Islam tidak berpandangan negativis
dalam pendidikan. Menurut Abdurrahman Saleh Abdullah,
seorang pendidik muslim selain berikhtiar untuk menjauhkan
timbulnya pelajaran melakukan kebiasaan yang tidak baik, juga
mesti berikhtiar menanamkan tingkah laku yang baik, karena
fitrah itu tidak berkembang dengan sendirinya.50
Term “al-fiṭrah” dapat diartikan sebagai “potensi” yang
telah dimiliki si anak, umumnya ahli tafsir-hadis memberikan
interpretasi bahwa yang dimaksud dengan term al-fiṭrah
tersebut adalah potensi manusia, berupa “naluri keagamaan”.
Bahkan ada pula sementara kalangan ulama yang tegas-
tegas menyebutkan bahwa term “al-fiṭrah” tersebut tidak
lain adalah Islam. Al-Maraghi memberikan interpretasi al-
fitrah sebagai “agama tauhid” dengan mengambil penafsiran
50
Abdurrahman Saleh Abdullah, Educational Theory a Quranic Outlook. Terj.
oleh M. Arifin dan Zainuddin: Teori-Teori Pendidikan Berdasarkan Al-Quran, Cet.
II (Jakarta: Rineka Cipta, 1994), h. 64.

34 Filsafat Pendidikan Islam


terhadap pengertian fitrah dalam QS. Ar-Rum: 30.51 Dalam
pertumbuhannya, “al-fiṭrah” itu sendiri dapat berkembang/
berubah menurut lingkungan yang membinanya. Dengan
kata lain, sesuai dengan konteks hadis bahwa kecenderungan
untuk memeluk sesuatu agama sangat dipengaruhi oleh peran
lingkungan, yang dalam hal ini adalah pendidikan orang tuanya.
Potensi yang dimiliki manusia di atas, selain dimaksudkan
sebagai “naluri keagamaan” (religion oriented), yang oleh para
pakar tauhid dipahami sebagai dasar ketuhanan yang harus
dikembangkan oleh aspek pendidikan sebagai wujud empirisnya,
iapun diinterpretasikan oleh fakar pendidikan Islam sebagai
potensi “daya akal” yang telah diberikan Allah swt. Potensi
“daya akal” tersebut sebagaimana dikemukakan al-Farabi, daya
akal mempunyai posisi yang paling tinggi, karena ia merupakan
“basis berpikir” dalam menyusun konsepsi-konsepsi. Lebih
lanjut, al-Farabi mengemukakan; penyusunan konsepsi tersebut
tidaklah mungkin terjadi tanpa adanya “masukan informasi” dari
luar (empiris) melalui penginderaan, imajinasi dan kemudian
proses berpikir.52 Karena itu, faktor empiris memegang peranan
sebagai pemberi input bagi “berfungsinya” daya akal tersebut.
Berdasarkan gambaran di atas dapat ditarik satu asumsi
(analogi) bahwa meskipun pengertian awal dari term “al-
fiṭrah” itu sendiri lebih cenderung bersifat teologis, namun
pengertian tersebut dapat dikembangkan ke dalam pengertian
secara umum, bahwa setiap anak memang telah dilahirkan
dengan disertai oleh bakat/pembawaannya sejak lahir. Bakat/
pembawaan tersebut kemudian tidak dapat terlepas dari
pengaruh lingkungannya. Di sisi lain, kecenderungan nuansa
51
Aḥmad Muṣṭafā al-Marāġī, Tafsīr Al-Marāġī (Kairo: al-Bāb al-Halabī,
1902), jil. 21, h. 45.
52
Osman Bakar, Hirarki Ilmu dalam Rangka Membangun Kerangka Pikir
Islamisasi Ilmu, (Bandung: Mizan, 1997), h. 67.

Kebenaran Ilmu Pengetahuan 35


teologis yang ditawarkan konsep pendidikan Islam dalam
memberikan pengakuan terhadap potensi manusia itu sendiri
dan lingkungannya, menunjukan bahwa pandangan tersebut
mempunyai dimensi-dimensi dan implikasi yang lebih mendalam
dari pandangan yang diberikan aliran Nativisme dan Empirisme.
Apabila aliran Empirisme melihat bahwa faktor “penentu” dari
pengetahuan manusia adalah faktor lingkungan, dalam hal ini
pendidikan dan pengalaman empirik, maka konsep pendidikan
Islam melihat bahwa faktor tersebut hanyalah merupakan
sebagian faktor penting, namun bukanlah menjadi “penentu”
atau faktor satu-satunya bagi pengetahuan manusia. Selain itu,
aliran Empirisme, karena latar belakang materialisme sebagai
‘induk” pemikirannya, hanya melihat lingkungan terbatas pada
unsur luar manusia yang terwujud dalam interaksi manusia
dengan sesamanya, antara manusia dengan alam lingkunganya,
maka ia tidak melihat bahwa terdapat unsur eksternal lainnya
yang pengaruhnya melebihi sesama manusia dan alam itu
sendiri, yaitu kekuasaan Allah swt. Demikian pula, apabila aliran
Nativisme hanya melihat potensi manusia terbatas pada faktor
hereditas/pembawaan dan bakat, maka konsep pendidikan
Islam lebih jauh lagi melihat bahwa dalam potensi itu, terdapat
pula apa yang disebut sebelumnya sebagai “naluri keagamaan”.
Dengan perbedaan titik tekan, orientasi serta tujuan antara
konsep pendidikan Islam dan konsep yang ditawarkan dua
aliran filsafat pendidikan di atas, maka antara ketiganya tentu
sangat sulit untuk dipertemukan.
Lebih jauh, selain menghilangkan salah satu aspek dalam
kehidupan yang menurut pandangan filsafat pendidikan
Islam merupakan unsur penting yang saling terkait dan saling
melengkapi serta tidak dapat terpisahkan satu-sama lainnya,
kedua konsep pendidikan yang ditawarkan kedua aliran tersebut

36 Filsafat Pendidikan Islam


sama-sama meniadakan “aspek illahiyah” di dalamnya. Aliran
empirisme, dengan pandangan dasarnya yang mengagungkan
faktor pendidikan dan empirik dan aliran nativisme dengan
pandangan dasarnya yang lebih mengkultuskan potensi/
bakat, pada hakekatnya telah mendorong dan mengarahkan
manusia yang menjadi subjek dan objek-didiknya kepada faham
“sekulerisme”. Inilah titik perbedaan yang paling mendasar
antara filsafat pendidikan Islam dengan dua aliran filsafat
tersebut. Melalui pemahaman terhadap konsep manusia yang
“berimbang” baik secara internal maupun ekternal. Filsafat
pendidikan Islam telah menempatkan posisi manusia secara
relevan dengan perkembangan internal dan hubungannya
dengan aspek eksternal, yang selama ini menjadi bahan
perdebatan dan polemik antara aliran nativisme dan empirisme
sebelumnya. Keberimbangan ini, tidak berarti “mereduksi”
kelebihan atau “mengekspansi” kelemahan yang ada pada sisi
internal maupun eksternalnya, melainkan menempatkan dalam
konteks yang sesungguhnya. Faktor internal yaitu potensi
yang terwujud dalam faktor hereditas dan pembawaan, tidak
berarti dinafikan atau dihilangkan kelebihannya. Keberadaanya
diakui, namun ia bukanlah ukuran segala-galanya bagi proses
pertumbuhan dan perkembangan pengetahuan manusia.
Demikian juga dengan faktor eksternal yang terwujud dalam
pengaruh lingkungan, ia juga bukanlah faktor yang secara
“mutlak” menentukan pertumbuhan dan perkembangan
pengetahuan manusia tersebut.
3. Implementasi metode bayānī.
Bayānī adalah metode pemikiran khas Arab yang didasarkan
atas otoritas teks (nāṣ), secara langsung atau tidak langsung.
Secara langsung artinya memahami teks sebagai pengetahuan
jadi dan langsung mengaplikasikan tanpa perlu pemikiran;

Kebenaran Ilmu Pengetahuan 37


secara tidak langsung berarti memahami teks sebagai
pengetahuan mentah sehingga perlu tafsir dan penalaran.
Meski demikian, hal ini bukan berarti akal atau rasio bisa
bebas menentukan makna dan maksudnya, tetapi tetap harus
bersandar pada teks.53 Dengan demikian, sumber pengetahuan
bayānī adalah teks (nāṣ), yakni al-Qur`an dan hadis.54 Karena
itulah, epistemologi bayānī menaruh perhatian besar dan
teliti pada proses transmisi teks dari generasi ke generasi.55
Ini penting bagi bayānī, karena sebagai sumber pengetahuan,
benar tidaknya transmisi teks menentukan benar salahnya
ketentuan yang diambil. Jika transmisi teks bisa di pertanggung
jawabkan, berarti teks tersebut benar dan bisa dijadikan dasar
argumentasi. Sebaliknya, jika transmisinya diragukan, maka
kebenaran teks tidak bisa dipertanggung jawabkan dan itu
berarti ia tidak bisa dijadikan landasan argumentasi. Karena
itu pula, mengapa pada masa tadwīn (kodifikasi), khususnya
kodifikasi hadis, para ilmuan begitu ketat dalam menyeleksi
sebuah teks yang diterima. Berdasarkan hal tersebut, bahwa
bayāni berkaitan dengan teks, maka persoalan pokoknya adalah
sekitar lafal makna dan uṣūl-furū`. Misalnya, apakah suatu
teks dimaknai sesuai konteksnya atau makna aslinya (tauqīfī),
bagaimana menganalogikan kata-kata atau istilah yang tidak
disinggung dalam teks suci, bagaimana memaknai istilah-istilah
khusus dalam al-asmā’ al-syar`iyyah, seperti kata salat, puasa,
zakat.56 Selanjutnya, untuk mendapatkan pengetahuan dari
teks, metode bayāni menempuh dua jalan. Pertama, berpegang
pada redaksi (lafal) teks, dengan menggunakan kaidah bahasa

53
Al-Jabīrī, Bunyah, h. 38.
54
Abd. Wahab Khallāf, Ilm Uṣul al-Fiqh, terj. Madar Helmi (Bandung: Gema
Risalah Pres, 1996), h. 22.
55
Al-Jabīrī, Bunyah, h. 116.
56
Ibid, h. 58-62.

38 Filsafat Pendidikan Islam


Arab, seperti nahw dan ṣarf. Kedua, berpegang pada makna
teks dengan menggunakan logika, penalaran atau rasio sebagai
sarana analisa.57 Pada jalan yang kedua, penggunaan logika
dilakukan dengan empat macam cara:
a. Berpegang pada tujuan pokok (al-maqāṣid al-ḑarūriyah)
yang mencakup lima kepentingan vital, yakni menjaga
keselamatan agama, jiwa, akal, keturunan dan harta.
Caranya dengan menggunakan induksi tematis dan
disitulah tempat penalaran rasional.58
b. Berpegang pada ‘illat teks. Untuk menemukan dan
mengetahui adanya ‘illat suatu teks ini digunakan sebuah
sarana yang memerlukan penalaran yang disebut ‘jalan
‘illat’ (masālik al-illah) yang terdiri atas tiga hal, (1) ‘illat
yang telah ditetapkan oleh nas, seperti ‘illat tentang
kewajiban mengambil 20% harta fā’i (rampasan)
untuk fakir miskin agar harta tersebut tidak beredar
dikalangan orang kaya saja.59 ‘Illat yang telah disepakati
oleh para mujtahid, misalnya ‘illat menguasai harta anak
yang masih kecil adalah karena kecilnya. (3) al-Sibr wa
al-taqsīm (trial) dengan cara merangkum sifat-sifat baik
untuk dijadikan ‘illat pada asal (nas), kemudian ‘illat
itu dikembalikan kepada sifat-sifat tersebut agar bisa
dikatakan bahwa ‘illat itu bersifat begitu atau begini.60
Cara kedua ini, lebih lanjut memunculkan metode qiyās
(analogi) dan istihsān, yakni beralih dari sesuatu yang

57
Ibid, h. 530.
58
Al-Syāṭībī, al-Muwāfaqat fī Uṣūl al-Ahkām, Cet. III (Beirut, Dār al-Fikir,
tt), h. 62-4.; Lihat juga; Al-Būṭi, Dawābiṭ al-Maṣlahah fī al-Syarī`at al-Islāmiyah
(Beirut, Muassasat, tt), h. 249-54.
59
QS. Al-Hasyr; 7/2.
60
Khallāf, Ilm, h. 127-35.

Kebenaran Ilmu Pengetahuan 39


jelas kepada sesuatu yang masih samar, karena adanya
alasan yang kuat untuk pengalihan itu.61
c. Berpegang pada tujuan sekunder teks. Tujuan sekunder
adalah tujuan yang mendukung terlaksananya tujuan
pokok. Misalnya, tujuan pokok adalah memberikan
pemahaman materi kuliah pada peserta didik, tujuan
sekunder memberikan tugas. Adanya tugas akan
mendukung pemahaman kuliah yang diberikan. Sarana
yang digunakan untuk menemukan tujuan sekunder
teks adalah istidlāl, yakni mencari dalil dari luar teks;
berbeda dengan istimbāt yang berarti mencari dalil
pada teks.
d. Berpegang pada diamnya syār’i (Allah swt. dan Rasul
saw.). Ini untuk masalah-masalah yang sama sekali tidak
ada ketetapannya dalam teks dan tidak bisa dilakukan
dengan cara qiyas. Caranya dengan kembali pada hukum
pokok (asal) yang telah diketahui. Misalnya, hukum
asal muamalah adalah boleh (al-ashl fī al-mu`āmalah
al-ibāhah), maka jual beli lewat internet yang tidak
ada ketentuannya berarti boleh, tinggal bagaimana
mengemasnya agar tidak dilarang. Metode ini melahirkan
teori istishāb, yakni menetapkan sesuatu berdasar
keadaan yang berlaku sebelumnya selama tidak ditemui
dasar/dalil yang menunjukkan perubahannya.62
Implementasi bayānī dalam studi Filsafat Pendidikan Islam
ditandai dengan upaya mendapatkan khibār (berita yang benar),
‘ibrah atau i’tibar (mengambil pelajaran), dirāsah (hafalan
dan ingatan), ru’yah (memfungsikan daya penglihatan), naźar

61
Fathur Rahman Jamil, Filsafat Hukum Islam (Jakarta: Logos, 1997), h.
139-141.
62
Khallāf, Ilm, h. 154.

40 Filsafat Pendidikan Islam


(melihat sambil mengamati), baṣar (penglihatan yang tajam).
Penggunaan metode bayānī dalam Studi Filsafat Pendidikan
Islam, misalnya dalam menjelaskan al-‘aql sebagai potensi
spiritual dalam pendidikan Islam. Al-‘aql sebagai potensi spiritual
dapat diketahui keberadaannya dalam al-Qur’an. Berdasarkan
penelusuran yang dilakukan, kata al-‘aql dalam bentuk kata
benda, tidak ditemukan dalam al-Qur’an. Namun dalam bentuk
kata kerja, dalam arti perintah penggunaan al-‘aql, berulang
sebanyak 49 (empat puluh sembilan) kali pemuatannya, yaitu;
kata ‘aqalahū,63 disebut sekali, kata ta’qilūn disebut sebanyak
24 (dua puluh empat) kali, dan biasanya penyebutan itu diikuti
dengan harapan (rajā’).64 Kata na’qilu disebut 1 (satu) kali,65 kata
ya’qiluhā disebut 1 (satu) kali.66 Kata ya’qilūn disebut sebanyak
22 (dua puluh dua) kali, dengan rincian: 10 (sepuluh) kali dalam
bentuk positif (ya’qilūn) dan 12 (dua belas kali) kali dalam
bentuk negatif (lā ya’qilūn).67 Secara etimologi, al-‘aql berarti
menahan, dan ism fā’il-nya adalah (al-‘āqil) berarti orang yang
menahan diri dan mengekang hawa nafsu. Al-‘aql juga berarti
kebijaksanaan (al-nuhā), sebagai lawan dari lemah pikiran (al-
ḥumq). Di samping itu, al-‘aql juga diartikan sebagai kalbu dan
63
Q.S. al-Baqarah/2:75.
64
Di dalam al-Qur‟an, pemuatannya yaitu pada; Q.S. al-Baqarah/2:44, 7, 76,
242; Q.S. Ali Imrān/3: 65, 118. Q.S. al-An’ām/6: 32, 151. Q.S. al-A’rāf/7: 169.
Q.S. Yūnus/10: 16; Q.S. Hūd/11: 51. Q.S. Yūsuf/12: 2, 109. Q.S. al-Anbiyā’/21:
10, 57. Q.S. al-Mu’minūn/23: 80. Q.S. al-Nūr/24: 61. Q.S. al-Syu’arā’/26: 28.
Q.S. al-Qaṣaṣ/28: 60. Q.S. Yāsin/36: 62, Q.S. al-Shaffāt/37: 138, Q.S. Ghāfir/40:
67. Q.S. al-Zukhruf/431: 33. dan Q.S. al-Hadīd/57:17.
65
Q.S. al-Mulk/67: 10.
66
Q.S. al-Ankabūt/29: 43.
67
Pemuatannya yaitu pada Q.S. al-Baqarah/2: 164 dan 170 serta 171. Q.S.
al-Māidah/5: 58 dan 103. Q.S. al Anfāl/8: 22. Q.S. Yūnus/10: 42, 100. Q.S.
al-Ra‛d/13: 4. Q.S. al-Naḥl/16: 12, 67. Q.S. al-Hajj/22: 46. Q.S. al-Zumār/39:
43. Q.S. al-Jāṡiyat/45: 5. Q.S. al-Hujurāt/49: 4 dan Q.S. al-Hasyr/59: 14.
Muḥammad Fuād Abd. al-Bāqi’, al-Mu‘jam al-Mufaḥras lī Alfāz al-Qur’ān al-
Karīm (Beirut: Dār al-Fikri, 1981), h. 594-595.

Kebenaran Ilmu Pengetahuan 41


kata kerjanya, ‘aqala bermakna mendapatkan pengertian dan
kemampuan memahami.68
4. Implementasi metode irfānī.
Pengetahuan irfāni tidak didasarkan atas teks seperti
bayāni, tetapi pada Kasyf (tersingkapnya rahasia-rahasia
realitas oleh Allah swt.). Karena itu, pengetahuan irfāni tidak
diperoleh berdasarkan analisa teks tetapi dengan olah ruhani,
dimana dengan kesucian hati, diharapkan Allah swt. akan
melimpahkan pengetahuan langsung kepadanya. Masuk dalam
pikiran, dikonsep kemudian dikemukakan kepada orang lain
secara logis. Dengan demikian, pengetahuan irfāni setidaknya
diperoleh melalui tiga tahapan, 1) persiapan, 2) penerimaan, 3)
pengungkapan, dengan lisan atau tulisan.
Tahap pertama, persiapan. Untuk bisa menerima limpahan
pengetahuan (kasyf), seseorang harus menempuh jenjang-
jenjang kehidupan spiritual. Setidaknya, ada tujuh tahapan yang
harus dijalani,69 mulai dari bawah menuju puncak ;1) taubat,
2) wara`, menjauhkan diri dari segala sesuatu yang subhāt, 3)
zuhud, tidak tamak dan tidak mengutamakan kehidupan dunia,
4) faqir, mengosongkan seluruh pikiran dan harapan masa
depan, dan tidak menghendaki apapun kecuali Allah swt., 5)
sabar, menerima segala bencana dengan laku sopan dan rela,
6) tawakkal, percaya atas segala apa yang ditentukan-Nya,

68
Muḥammad Ismāil Ibrāhim, Mu’jam al-Alfāẓ wa al-A‘lām al-Qur’āniyyāt
(Kairo: Dār al-Fikr al-Arabi, 1968), h. 351.
69
Al-Qusyairi (w. 1072 M) mencatat ada 49 tahapan yang harus dilalui,
Abū Sā’id ibn Abū al-Khaīr mencatat 40 tahapan, Abū Naṣr al-Tūsi mencatat 7
tingkatan, sedang Ṭabaṭaba’ī menulis 24 jenjang. Lihat, al-Qusyairi, al-Risālah
(Beirut: Dār al-Khair, tt), h. 89-350; Husein Naṣr, Tasawuf Dulu dan Sekarang,
terj. Abd. Hadi (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994), h. 89-96; Muṭahhari, Menapak
Jalan Spiritual, terj. Nasrullah (Bandung: Pustaka Hidayah, 1997), h. 120-155.

42 Filsafat Pendidikan Islam


7) riḍa, hilangnya rasa ketidaksenangan dalam hati sehingga
yang tersisa hanya gembira dan sukacita.
Kedua, tahap penerimaan. Jika telah mencapai tingkat
tertentu dalam sufisme, seseorang akan mendapatkan limpahan
pengetahuan langsung dari Allah swt. secara illuminatif. Pada
tahap ini seseorang akan mendapatkan realitas kesadaran diri
yang demikian mutlak (kasyf), sehingga dengan kesadaran itu ia
mampu melihat realitas dirinya sendiri (musyāhadah) sebagai
objek yang diketahui. Namun, realitas kesadaran dan realitas
yang disadari tersebut, keduanya bukan sesuatu yang berbeda
tetapi merupakan eksistensi yang sama, sehingga objek yang
diketahui tidak lain adalah kesadaran yang mengetahui itu
sendiri, begitu pula sebaliknya (ittihād),70 yang dalam kajian
Mehdi Yazdi, disebut ‘ilmu huduri’ atau pengetahuan swa objek
(self-object-knowledge).
Ketiga, pengungkapan, yakni pengalaman mistik
diinterpretasikan dan diungkapkan kepada orang lain, lewat
ucapan atau tulisan. Namun, karena pengetahuan irfāni bukan
masuk tatanan konsepsi dan representasi, tetapi terkait dengan
kesatuan tentang kehadiran Tuhan dalam diri dan kehadiran
diri dalam Tuhan, sehingga tidak bisa dikomunikasikan, maka
tidak semua pengalaman ini bisa diungkapkan.71 Persoalannya,
bagaimana makna atau dimensi batin yang diperoleh dari
kasyf tersebut diungkapkan? Pertama, diungkapkan dengan
cara i`tibār atau qiyas irfānī. Yakni analogi makna batin yang

70
Mehdi Hairi Yazdi, Ilmu Huḍūrī, terj. Ahsin Muhamad (Bandung: Mizan,
1994), h. 51-53. Uraian tentang kasyf, lihat al-Qusyairi, al-Risālah, h. 75.
71
Mehdi Yazdi, Ilmu Huḍūrī, h. 245-268; William James, The Verievities of
Religious Experience (New York: 1936), h. 271-72; Steven K. Katz, Mysticism and
Philosophical Analysis (London: Sheldon Press, 1998), h. 23.

Kebenaran Ilmu Pengetahuan 43


ditangkap dalam kasyf kepada makna zahir yang ada dalam
teks.72 Kedua, diungkapkan lewat syaṭahāt, suatu ungkapan lisan
tentang perasaan (al-wijdān) karena limpahan pengetahuan
langsung dari sumbernya.73
Menggunakan metode irfānī dalam studi Filsafat Pendidikan
Islam dapat dimulai dari pemahaman kisah Musa as. dan Khaidir
as., dalam pembelajaran secara irfānī, sebagaimana firman Allah
swt. berikut:

.‫ت ُر ْشدًا‬ ُ ‫علَى أ َ ْن تُعَ ِلّ َم ِن ِم َّما‬


َ ‫ع ِلّ ْم‬ َ ‫سى ه َْل أَت َّ ِبعُ َك‬
َ ‫قَا َل لَهُ ُمو‬
Artinya:
“Musa berkata kepada Khidhr: “Bolehkah aku
mengikutimu supaya kamu mengajarkan kepadaku ilmu
yang benar di antara ilmu-ilmu yang telah diajarkan
kepadamu?”.74
Dari ayat tersebut dapat diambil beberapa pokok pemikiran
bahwa peran seorang guru adalah:
a. Sebagai fasilitator, tutor, tentor, pendamping dan yang
lainnya. Peran tersebut dilakukan agar peserta didik
memiliki kualitas ilmiah dan amaliah.
b. Memberi tahu kesulitan-kesulitan yang akan dihadapi
dalam menuntut ilmu. Hal ini perlu, karena zaman akan
selalu berubah seiring berjalananya waktu. Dan kalau
kita tidak mengikutinya, maka akan tertinggal.
c. Mengarahkan untuk tidak mempelajari sesuatu jika
pendidik mengetahui bahwa potensi peserta didiknya

72
Al-Jabīrī, Bunyah, h. 295-296.
73
Ibid, h. 288.
74
Q.S. Al-Kahfi/18:66.

44 Filsafat Pendidikan Islam


tidak sesuai dengan bidang ilmu yang akan dipelajarinya
(profesionalitas sesuai bakat).
Studi Filsafat Pendidikan Islam menggunakan metode irfānī
juga dapat dilakukan melalui analisis terhadap upaya subjek dan
objek pendidikan dalam melaksanakan tazkiyat al-nafs guna
memperoleh ilmu ladunnī. Tazkiyat al-nafs menurut bahasa
yaitu pembersihan jiwa, penyucian diri. Kata tersebut diambil
dari akar kata tazkiyat yaitu masdar kata zakā. Pengertian ini
berbeda dengan taṭhīr (mensucikan dari kotoran/najis), namun
taṭhīr masuk ke dalam tazkiyat al-nafs. Sebab tazkiyat al-nafs
akan diapat diperoleh melalui taṭhīr. Penyebutan tazkiyat al-
nafs didasarkan pada firman Allah swt. yang mengilhamkan
jalan fujūr dan takwa dalam hati manusia serta keberuntungan
bagi orang yang mensucikan jiwanya.75
Pensucian jiwa dari sifat-sifat tercela dan hewani dengan
membersihkan hati dari hal-hal duniawi. Ini berarti keduanya
adalah sebagai upaya pengkondisian agar jiwa merasa tenang,
tenteram dan senang mendekatkan diri pada Allah (ibadah).
Yang dimaksud dengan penyucian jiwa adalah penyucian dari
semua kotoran jiwa (radāil al-nafs) dan penyakit hati (marād
al-qalb).76 Ungkapan kotoran jiwa atau penyakit hati, adalah
ungkapan untuk menunjukkan pada suatu kondisi psikis
yang tidak baik, berdasarkan parameter agama atau akal budi
(hati nurani). Jiwa yang merasakan ketenangan diistilahkan
dengan al-nafs al-muṭmainnah (jiwa yang tenteram). Untuk
mendapatkannya perlu dilakukan tazkiyat al-nafs (penyucian
jiwa). Yaitu mensucikan diri dari berbagai kecenderungan

75
Q.S. al-Syams/91: 8-10.
76
Mir Valiudin, Contemplative Disciplines in Sufism terj. MS. Nasrullah,
Dzikir dan Kontemplasi dalam Tasawuf (Jakarta: Pustaka Hidayat, 1996), h. 45.

Kebenaran Ilmu Pengetahuan 45


buruk, tercela dan hewani, serta menghiasinya dengan sifat-
sifat terpuji.
Penyucian jiwa hanya dapat dilakukan dengan melakukan
pengekangan diri, kerja keras dan sunguh-sungguh. Proses yang
dilalui dalam melaksanakan tazkiyat al-nafs adalah takhliyat
al-nafs, taḥalliyat al-nafs dan tajliyat.77 Takhliyat al-nafs berarti
pengosongan jiwa dari segenap pikiran yang akan mengalihkan
perhatian dari zikir dan ingat kepada Allah. Taḥalliyat al-
nafs ialah pengisian jiwa dengan sifat-sifat terpuji sesudah
mengosongkannya dari sifat-sifat tercela. Tajalliyat adalah
tersingkapnya ḥijāb yang membatasi manusia dengan Allah
swt., sehingga nyata dan terang cahaya dan kebesaran Allah swt.
dalam jiwa seseorang.
Membersihkan hati adalah menjauhkan kecenderungan
hati akan kecintaan terhadap kenikmatan dunia dan hal-hal
duniawi yang bersifat sementara dan memantapkan kecintaan
kepada Allah swt. Sedangkan kotoran jiwa atau penyakit hati
adalah lintasan-lintasan pemikiran yang tidak baik, seperti;
iri hati, merasa diri lebih baik dari yang lain (al-‘ujub) dan
ambisius. Proses peleburan dan pembentukan jiwa dilakukan
dengan usaha sungguh-sungguh dan berkesinambungan yang
disebut dengan riyāḍah al-nafs. Latihan jiwa sebagai sebuah
metode memiliki dua proses, yaitu takḥalli dan taḥalli.78 Pada
pelaksanaan takḥalli, seseorang harus menempa jiwanya dengan
perilaku-perilaku yang dapat membersihkan dan meleburkan
jiwa, seperti berzikir. Juga harus senantiasa bersikap zuhud

77Ibid., h. 38.
78
Takḥalli adalah proses pembersihan, taḥalli proses penghiasan dan tajjali
merupakan tahapan sebagai hasil dari proses tersebut. Tajalli adalah penampakan
Tuhan dalam hati seorang hamba yang telah cemerlang karena proses takḥalli
dan taḥalli. Musṭafā Zuhri, Kunci Memahami Ilmu Tasawuf (Surabaya: Bina Ilmu,
1995), h. 74-89.

46 Filsafat Pendidikan Islam


(tidak materialis), wāra‟ (senantiasa berhati-hati dalam
bertingkah laku), tawādu’,79 serta ikhlas hanya kepada Allah
swt.80 Proses takḥalliyat merupakan proses peleburan jiwa.
Semakin intensif seseorang melaksanakan proses
takḥalliyat akan semakin panas badan rūḥāniah dan dengan
panasnya zikir dan riyādat al-nafs, kotoran-kotoran jiwa akan
meleleh terbakar, karat-karat jiwa akan terlepas sedikit demi
sedikit. Maka akhirnya lapisan paling luar dari jiwa akan
terkelupas.81 Sedangkan proses taḥalliyāt merupakan proses
pembentukan jiwa, karena itu taḥalliyat sebagai kelanjutan
dari proses takḥalliyat.82 Jika seseorang telah melaksanakan
proses takḥalliyat, maka akan mudah melaksanakan taḥalliyāt.
Taḥalliyat merupakan proses penghiasan diri (jiwa) dengan amal
saleh. Secara umum melaksanakan syari’at agama merupakan
proses takḥalliyat dan taḥalliyat sekaligus. Sedangkan yang
dimaksud dengan taḥalliyat adalah amalan sunnah.

79
Merendahkan diri dan tidak takabbur.
80
Dalam proses takḥalliyat amalan lebih ditekankan pada aspek akhlak dan
menjaga kesucian lahir dan batin, yang menurut metode suluknya al-Ḥākim
al-Tirmīzī, terdiri dari tiga akhlak utama, yaitu; kebenaran anggota tubuh,
keadilan hati dan kejujuran akal. Ibrāhim, M. al-Jayāṣi al-Ḥākim al-Tirmīzī
Muḥammad ibn Ālī al-Tirmīzī, Dirāsat fī Aṡārihī wa afkārihī (Kairo: Dār al-
Naḥḍat al-Arabiyah, t.t.), h. 325.
81
Analogi yang lain untuk penempaan jiwa adalah dimensi tazkiyat al-
nafs, yang menggambarkan proses takḥalliyat sebagai pembersihan jiwa dan
proses taḥalliyat sebagai pengobatannya. Walaupun tujuan akhir dari tazkiyat
al-nafs dalam arti umum berbeda dengan psikoterapi kaum sufi, tetapi keduanya
memiliki proses yang searah dan obyek yang sama. Baca Hanna Djumhana
Bustaman, Integrasi Psikologi dengan Islam: Menuju Psikologi Islami (Yogyakarta:
Insān al-Kāmil, Pustaka Pelajar, 1995), h. 130-131.
82
Itulah sebabnya sehingga orang awam pun banyak yang menggapai
kehidupan kesufian dengan melalui tarekat, dalam tarekat yang diajarkan
langsung praktek takḥalliyat yang berupa zikir. Jiwanya lebih tenang dan zikir
ini harus diterima secara mutalaqqīn. Ṣahibudin, Metode Mempelajari Ilmu Tasawuf
Menurut Ulama Sūfi (Surabaya: Media Varia Ilmu, 1996), h. 37.

Kebenaran Ilmu Pengetahuan 47


Seperti puasa sunnah, membaca al-Qur’an, salat sunnah,
tafakkur di waktu sahur.83 Demikian juga menjaga kesucian dan
adab serta akhlak, merupakan proses taḥalliyat yang sangat
utama, karena kesucian dan akhlak mulia merupakan intinya
iman.84 Dalam metode riyāḍat al-nafs, amalan yang bersifat
taḥalliyat tersebut dapat diibaratkan sebagai penambahan
bahan kimia atau menghidupkan api pembakar tungku.
Berperan sebagai pembuat suasana yang kondusif dan menjaga
agar proses tazkiyat al-nafs (pembersihan jiwa) dan taṣfiyat al-
qalb (pembersihan hati). Karena pengaruh al-nafs al-ḥayawānī
(nafsu kebinatangan) akan melemah, maka daya ke-Malaikatan
akan menguat.

83
Abū Bakr al-Makky, Kifāyat al-Atqiyā’ wa Minḥāj al-Aṣfiyā’ (Surabaya:
Sahabat Ilmu, t.t.), h. 49-51.
84
Sulaiman ibn Asy’at Abū Dāwud al-Sijistānī al-Azdi, Sunan Abū Dāwud,
juz 2 (Beirut: Dār al-Fikr, t.t.), h. 632.

48 Filsafat Pendidikan Islam


LANDASAN AKSIOLOGIS FILSAFAT
PENDIDIKAN ISLAM

A
ksiologi adalah teori tenteng nilai. Teori yang membahas
tentang nilai, manfaat atau fungsi sesuatu yang diketahui
dalam hubungan dengan seluruh yang diketahui.
Dengan demikian, dalam hal ini aksiologi mempertanyakan
tentang kegunaan dan fungsi Filsafat Pendidikan Islam.

1. Urgensi dan Fungsi Filsafat Pendidikan Islam


Urgensi mempelajari Filsafat Pendidikan Islam bagi
pendidik, antara lain:
a. Membantu pendidik dalam memahami permasalahan
mendasar dalam pendidikan.
b. Memungkinkan para pendidik menjadi selektif dalam
memilih solusi yang diberikan terhadap permasalahan
pendidikan yang dihadapi.
c. Membekali pendidik berpikir klarifikatif tentang tujuan-
tujuan hidup yang tertuang dalam tujuan pendidikan.
d. Membimbing para pendidik untuk tetap konsisten
dengan ilmu pengetahuan kependidikan yang

49
diketahuinya, ketika berhubungan secara realistic
dengan konteks dunia global.1
Dari sudut pandangan lain, urgensi Filsafat Pendidikan
Islam bagi para pendidik adalah:
a. Filsafat Pendidikan Islam berfungsi karena
permasalahan pendidikan selalu ada pada setiap kurun
waktu. Permasalahan kependidikan Islam hanya dapat
diselesaikan melalui Filsafat Pendidikan Islam.
b. Pendidik yang memahami Filsafat Pendidikan Islam
akan memiliki jangkauan pandangan yang melampaui
temuan empirik atau eksperimental ilmu pengetahuan.
c. Melalui berpikir sistematis, radikal dan universal,
berarti pendidik memiliki intlektualitas yang baik.2
Dengan demikian, Filsafat Pendidikan Islam memiliki
urgensi bagi para perencana dan pelaksana pendidikan, sebab
dapat dijadikan landasan dalam menentukan berbagai kebijakan
pendidikan, landasan dalam menilai keberhasilan pendidikan
dan dasar bagi upaya pemberian pemikiran pendidikandalam
hubungannnya dengan masalah spiritual, kebudayaan, sosial,
ekonomi dan politik. Pada gilirannya Filsafat Pendidikan Islam
dijadikan sebagai pedoman dalam menghasilkan generasi baru
yang berkepribadian muslim. Generasi baru tersebut diharapkan
pula dapat mengkonstruk kebijakan pendidikan yang relevan
dengan perkembangan ilmu pengetahuan di zamannya, akan
tetapi tetap berlandaskan pada nilai-nilai filosofis kependidikan
Islam.

1
George R. Knight, Issues and Alternative in Educational Philosophy (Michigan:
Andrews University Press, 1982), h. 3.
2
Imam Barnadib, Filsafat Pendidikan: Sistem dan Metode, Cet IX (Yogyakarta:
Andi, 1997), h. 16.

50 Filsafat Pendidikan Islam


Selanjutnya, fungsi Filsafat Pendidikan Islam terdiri dari;
fungsi spekulatif, fungsi normatif, fungsi kritik dan fungsi teori.3
Fungsi spekulatif, berupaya memahami berbagai permasalahan
pendidikan, merumuskan dan berupaya mengetahui
hubungannya dengan faktor-faktor yang mempengaruhi
pendidikan. Fungsi normatif, yaitu sebagai arah dan pedoman
dalam menetapkan kebijakan pendidikan. Dari mulai tujuan
pendidikan, kurikulum pendidikan, pendidik yang berperan
dalam pendidikan, metode dalam pendidikan, evaluasi
keberhasilan pendidikan, semua diarahkan secara normatif
oleh Filsafat Pendidikan Islam. Fungsi kritik, yaitu memberi
dasar bagi pengertian kritis-rasional dalam menafsirkan data-
data ilmiah kependidikan. Fungsi teori, yaitu memberikan
ide, konsepsi, analisis dan berbagai teori yang melandasi
pelaksanaan pendidikan.
Pelaksanaan fungsi Filsafat Pendidikan Islam ditandai
dengan studi kritis terhadap teori-teori pendidikan yang
signifikan berpengaruh terhadap pemikiran kependidikan,
menganalisis berbagai aliran filsafat yang melandasi praktik
pendidikan serta menganalisis berbagai konsep yang digunakan
dalam pendidikan.4 Dengan demikian, Filsafat Pendidikan Islam
berfungsi memberikan arah dan landasan pemikiran sistematis,
radikal dan universal terhadap berbagai permasalahan
kependidikan Islam untuk mendapatkan jawaban yang
komprehensif.

3
Mohammad Noor Syam, Filsafat Pendidikan dan Dasar Filsafat Pendidikan
Pancasila, Cet 2 (Surabaya: Usaha Nasional, 1984), h.51-52.
4
Ali Khalil Abū al-‘Ainainī, Falsafah al-Tarbiyyah al-Islamiyyah, Cet 1 (t.kp,
Dār al-Fikr al-Araby, 1980), h. 62-63.

Landasan Aksiologis Filsafat Pendidikan Islam 51


2. Perbandingan Antara Filsafat Pendidikan
Islam dengan Filsafat Pendidikan Barat
Membandingkan antara Filsafat Pendidikan Islam
dengan Filsafat Pendidikan Barat, dapat dilakukan walaupun
Filsafat Pendidikan Barat murni rasional sedangkan Filsafat
Pendidikan Islam berdasarkan epistemologi Islam yang tidak
mempertentangkan wahyu dengan akal.5 Di samping hal
tersebut, Filsafat Pendidikan Islam banyak mengambil teori-
teori yang berasal dari Filsafat Pendidikan Barat. Perbandingan
ini juga memiliki urgensi dalam menunjukkan epistemologi
khas Filsafat Pendidikan Islam.
Beberapa perbandingan antara Filsafat Pendidikan Islam
dengan Filsafat Pendidikan Barat, yaitu:
a. Landasan Filsafat Pendidikan Islam adalah wahyu dan
Hadis Rasul saw., sedangkan Filsafat Pendidikan Barat
berlandaskan pada humanistik murni dan Filsafat
Pendidikan profan yang berbasis rasionalitas.6 Sehingga
Filsafat Pendidikan Islam tidak mengenal kebenaran
yang terbatas, tetapi universal. Sementara Filsafat
Pendidikan Barat mengenal kebenaran parsial dan
melahirkan teori pendidikan yang tidak ideal.
b. Filsafat Pendidikan Islam berupaya mengedepankan
pandangan yang integral antara yang sakral dengan
yang profan. Sedangkan Filsafat Pendidikan Barat hanya
mengedepankan aspek profan dan tidak bermaksud
mencapai nilai-nilai tertentu. Tetapi mencetak manusia
5
Abdurrahman Mas’ud, Menggagas Format Pendidikan Non Dikotomik:
Humanisme Religius Sebagai Paradigma Pendidikan Islam, Cet 1 (Yogyakarta: Gama
Media, 2002), h. 44-47.
6
M. Naquib al-Attas, (ed) Aim and Objectives of Islamic Education (Jeddah:
King Abdul Aziz University, 1977), h. 76.

52 Filsafat Pendidikan Islam


mono dimensional yang ahli dalam bidang tertentu dan
mengabaikan aspek kerohaniahan manusia.7 Sedangkan
Filsafat Pendidikan Islam mengintegrasikan antara
kepentingan dunia dan akhirat sekaligus. Sebagai
khalifah Allah, perlu merealisasikan hubungan dengan
Tuhan, manusia dan alam.
c. Filsafat Pendidikan Islam memperhatikan seluruh
potensi ruhaniah manusia, mulai dari akal, kalbu, nafsu,
ruh dan fitrah. Kalbu bukan hanya fisik-biologis, tetapi
berfungsi sebagai penentu dalam diri manusia dan
sarana mengenal Tuhan. Sedangkan Filsafat Pendidikan
Barat hanya memperhatikan akal yang tidak dapat
menjelaskan semua realitas kehidupan manusia. 8
d. Berbagai gagasan dalam Filsafat Pendidikan Islam,
selain bersifat teoretis juga praktis.9 Sedangkan Filsafat
Pendidikan Barat sulit diwujudkan secara praktis,
seperti filsafat idealism, realism, eksistensialisme,
semua berada pada tataran ideal yang sulit diwujudkan
dalam kehidupan nyata.
Analisis terhadap kelebihan dan kekurang dari kedua
Filsafat Pendidikan di atas, maka Filsafat Pendidikan Islam
diharapkan dapat bersikap bijak dan selektif dalam mengambil
hal-hal positif dari Filsafat Pendidikan Barat yang merupakan
hikmah yang hilang dari umat Islam.

7
Ibid., h. 77-78.
8
Ibid., h. 83.
9
Al-Syabany, Falsafah, h. 51.

Landasan Aksiologis Filsafat Pendidikan Islam 53


[halaman sengaja dikosongkan]

54 Filsafat Pendidikan Islam


KONSEP SPIRITUALITAS DALAM
PENDIDIKAN ISLAM

1. Pengertian Spiritualitas

S
piritual berasal dari kata spirit yang mempunyai
banyak arti, baik dalam bentuk kata benda maupun
kata kerja. Beberapa arti spiritual dalam bentuk kata
benda yaitu; jiwa, sukma, roh, semangat.1 Jadi kata spiritual
sebagai suatu hal yang berkaitan dengan kemampuan dalam
membangkitkan semangat atau bagaimana seseorang benar-
benar memperhatikan jiwa dalam kehidupannya. Istilah yang
digunakan untuk “spiritualitas” adalah rūḥāniyyah (bahasa
Arab), ma‘nāwiyyah (bahasa Persia), atau berbagai turunannya.2
Rūḥāniyyah diambil dari kata al-rūḥ.3 Kata ma‘nāwiyyah berarti
makna yang mengandung konotasi kebatinan, hakiki, sebagai
lawan dari yang kasatmata dan juga rūḥ, yaitu berkaitan dengan
suatu kenyataan yang lebih tinggi daripada realitas yang bersifat
1
W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, cet 17 (Jakarta:
Balai Pustaka, 2002), h. 963.
2
Seyyed Hossein Nasr, (ed.), Islamic Spirituality Foundations, terj. Rahmani
Astuti, judul: Ensiklopedi Tematis Spiritual Islam; Fondasi (Bandung: Mizan, 2002),
h. 43.
3
Q.S. al-Isra’/17: 85. Lihat juga Muḥammad ibn Jārir ibn Yāzid ibn Khālid
at-Tabārī Abū Ja’far, Jāmi‛ al-Bayān ‘an Ta’wīl Ayy al-Qur’ān, juz 8 (t.kp, t.p, tt.),
h. 141.

55
material dan kejiwaan serta berkaitan pula secara langsung
dengan realitas ilahi.
Spiritualitas merupakan sesuatu yang lain dari fisik dan
bentuknya berbeda dengan bentuk fisik. Menurut al-Ghazali,
spiritualitas diwakili oleh berfungsinya secara tepat term al-
rūḥ, al-qalb, al-nafs, al-‘aql dalam diri manusia yang semuanya
merupakan sinonim.4 Wawasan tentang spiritualitas manusia,
sesungguhnya menggambarkan tentang keberadaan Tuhan.
Sebab sifat-sifat manusia adalah pantulan sifat-sifat Tuhan,
tidak dibatasi oleh ruang dan tidak mengandung kategori
kuantitas dan kualitas, bentuk, warna serta ukuran, sehingga
sulit memahami konsep ini.5 Namun demikian, spiritualitas
memegang peranan penting dalam pendidikan manusia,
sehingga untuk mengetahui eksistensi spiritualitas dalam
hubungannya dengan pendidikan, maka perlu mengenal
berbagai potensi spiritual dalam pendidikan.
Spiritualitas merupakan potensi, sehingga seseorang
berkemampuan mengelola dan mendayagunakan makna-
makna, nilai-nilai dan kualitas-kualitas kehidupan spiritual,
memiliki hasrat untuk hidup bermakna yang memotivasi
kehidupan manusia untuk senantiasa mencari makna hidup
dan mendambakan hidup bermakna. Dengan demikian dapat
dipahami bahwa seseorang yang taat beragama belum tentu
memiliki spiritualitas yang tinggi, jika masih memiliki sikap
fanatisme berlebihan, eksklusivisme dan intoleransi terhadap
pemeluk agama lain, yang dapat mengakibatkan permusuhan
dan peperangan. Sebaliknya, bisa jadi seseorang yang humanis-
non-agamis, memiliki spiritualitas yang tinggi, sehingga sikap
4
Abū Ḥāmid Muḥammad ibn Muḥammad al-Ghazālī, Ma‘ārij al-Quds fī
Madārij Ma‘rifah al-Nafs (Kairo: Maktabah al-Jundi, 1970), h. 19.
5
Abū Ḥāmid Muḥammad ibn Muḥammad al-Ghazālī, Misykah al-Anwār
(Kairo: Dār al-Qudsiyah, 1969), h. 124.

56 Filsafat Pendidikan Islam


hidupnya inklusif, setuju dalam perbedaan dan penuh toleran.
Hal ini mengindikasikan bahwa makna “spiritualitas” (potensi
keruhanian) dalam pengertian ini tidak selalu berarti agama
atau bertuhan.6 Dengan demikian, spiritualitas merupakan
suatu kondisi psikis yang telah mengalami proses pembangkitan
semangat, sehingga seseorang benar-benar memperhatikan
jiwa dalam kehidupannya yang pada gilirannya dapat bersikap
mandiri, proaktif, berprinsip yang benar, berprilaku sesuai nilai
dan dapat membangun hubungan baik serta menghargai orang
lain.

2. Spiritualitas dalam Pendidikan Islam


Pemaknaan spiritualitas dalam kajian ini didasarkan pada
perspektif epistemologi Islam yang berasumsikan bahwa status
ontologis tidak terbatas pada obyek-obyek inderawi, melainkan
juga obyek-obyek non-inderawi.7 Dengan demikian, dasar
epistemologi psikologi pendidikan Islam dalam membangun
konsep spiritualitas pendidikan Islam adalah nas (al-Qur’an
dan Hadis). Islam mengajarkan bahwa dalam menemukan
kebenaran, selain menggunakan rasionalitas dan empirisme,
juga menggunakan wahyu, intuisi dan ilham. Manusia berada
pada posisi dapat memiliki pengetahuan dan kebenaran
sebatas modalitas (akal, pancaindera dan ilham) dan berada
pada posisi ketidaktahuan di luar kapasitas modalitasnya.
Manusia berpotensi untuk dapat mengetahui, bahwa manusia
dilahirkan membawa potensi jasmaniah dan rūḥāniah untuk
dapat mengetahui, sebagaimana firman Allah swt. berikut:
6
Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakir, Nuansa Nuansa Psikologi Islam (Jakarta:
Rajawali Press, 2001), h. 324-325.
7
Mulyadhi Kartanegara, Menyibak Tirai Kejahilan; Pengantar Epistemologi
Islam, Cet I (Bandung: Mizan, 2003), h. 30-31.

Konsep Spiritualitas dalam Pendidikan Islam 57


ًْ َ َ َُ َْ ُ َ َّ ُ َ
ُ ُ ْ ْ ُ َ َ ْ َّ َ
ْ
‫ون أمه ِاتكم لا تعلمون شيئا‬
ُ ْ َ ُ َّ َ َ َ َ ْ ِ ‫والل َ أ َخ ُرجكم ِمن بط‬
َ ْ َ َ ْ َّ ُ َ َ
.‫الأبص َار َوالأف ِئدة لعلك ْم تشك ُرون‬ ‫َوجعل لكم السمع و‬
Artinya:
“Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu
dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu pun, dan Dia
memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati,
agar kamu bersyukur”.8
Allah swt. juga menjelaskan bahwa ada perbedaan antara
orang yang mengetahui dengan yang tidak mengetahui. Allah

َ َّ َ ُ َ ْ َ َ َّ َ َ ُ َ ْ َ َ َّ َ َْ ْ َ ْ ُ
swt. berfirman:

‫قل هل ُ يست ِوي ال ِذين يعلمون وال ِذين لا يعلمون ِإنما‬


ْ ُ َّ َ َ
.‫اب‬ َ ُ َ
ِ ‫يتذكر أولو الألب‬
Artinya:
“Katakanlah: “Adakah sama orang-orang yang
mengetahui dengan orang-orang yang tidak
mengetahui?” Sesungguhnya orang yang berakallah
yang dapat menerima pelajaran.9
Menurut an-Nawāwī, manusia merupakan makhluk yang
paling menakjubkan, makhluk yang unik multi dimensi, serba
meliputi, sangat terbuka dan mempunyai potensi yang agung.10
Potensi tersebut disebut juga dengan daya-daya rūḥāniah
manusia.
8
Q.S. an-Naḥl/16: 78.
9
Q.S. az-Zumār/39: 9.
10
Rif’at Syauqi Nawāwī, Konsep Manusia Menurut al-Qur’an, Makalah
Disampaikan Pada Simposium Psikologi Islami, Pada Sabtu, tanggal, 14
Desember 1996, Universitas Padjadjaran, Bandung, 1996.

58 Filsafat Pendidikan Islam


Modalitas manusia untuk mencapai ilmu pengetahuan
adalah dengan memfungsikan berbagai potensi yang dimilikinya,
yaitu panca indera, akal, hati dan daya imajinasi serta estimasi
(wahm). Selain itu, manusia sebagai kesatuan, terdiri dari
substansi yang bersifat materi (jasmaniah) dan yang bersifat
immateri, terdiri dari potensi nafsāniah (akal, kalbu, nafsu) dan
potensi rūḥāniah (al-rūḥ dan al-fiṭrah).11 Adapun hakikat dari
manusia adalah substansi immaterinya yang terdiri dari al-‘aql,
al-nafs, al-qalb, al-rūḥ dan al-fiṭrah.
Dengan demikian, spiritualitas dalam pendidikan Islam
adalah paham tauhid tentang potensi spiritual nafsāniah (al-
‘aql, al-nafs, al-qalb) dan rūḥāniah (al-rūḥ dan al-fiṭrah) dalam
proses pendidikan Islam untuk mencapai tujuan pendidikan.

a. Potensi Spiritual Akal (al-‘aql)


Al-‘aql sebagai potensi spiritual dapat diketahui
keberadaannya dalam al-Qur’an. Berdasarkan penelusuran
yang dilakukan, kata al-‘aql dalam bentuk kata benda, tidak
ditemukan dalam al-Qur’an. Namun dalam bentuk kata kerja,
dalam arti perintah penggunaan al-‘aql, berulang sebanyak
49 (empat puluh sembilan) kali pemuatannya, yaitu; kata
‘aqalahū,12 disebut sekali, kata ta‘qilūn disebut sebanyak 24
(dua puluh empat) kali, dan biasanya penyebutan itu diikuti

11
Substansi adalah jauhar dalam arti yang lebih umum, yaitu segala sesuatu
yang ada dalam realitas, baik dapat dilihat maupun tidak. Para filosof menyebut
al-nafs sebagai substansi yang berdiri sendiri, karena dipandang bebas dari (tidak
terikat pada) badan. Lihat M. Saed Syaikh, A Dictionary of Muslim Philosophy
(Lahore: Institute of Islamic Culture, 1976), h. 40.
12
Q.S. al-Baqarah/2:75.

Konsep Spiritualitas dalam Pendidikan Islam 59


dengan harapan (rajā’).13 Kata na‘qilu disebut 1 (satu) kali,14
kata ya‘qiluhā disebut 1 (satu) kali.15 Kata ya‘qilūn disebut
sebanyak 22 (dua puluh dua) kali, dengan rincian: 10 (sepuluh)
kali dalam bentuk positif (ya‘qilūn) dan 12 (dua belas kali) kali
dalam bentuk negatif (lā ya‘qilūn).16
Secara etimologi, al-‘aql berarti menahan, dan ism fā‘il-nya
adalah (al-‘āqil) berarti orang yang menahan diri dan mengekang
hawa nafsu. Al-‘aql juga berarti kebijaksanaan (al-nuhā), sebagai
lawan dari lemah pikiran (al-humq). Di samping itu, al-‘aql juga
diartikan sebagai kalbu dan kata kerjanya, ‘aqala bermakna
mendapatkan pengertian dan kemampuan memahami.17
Al-‘aql sebagai potensi spiritual, berperan penting dalam
pendidikan Islam dan merupakan substansi yang terpisah dari
materi. Akan tetapi aktivitas potensi akal bersamaan dengan
sesuatu yang bersifat materi. Sehingga akal dapat menjadi
aktual dan dipahami sebagai “jiwa yang berakal” (al-nafs al-
natīqah).18 Terkait dengan hal ini, al-Attas menyebutkan bahwa
13
Di dalam al-Qur’an, pemuatannya yaitu pada; Q.S. al-Baqarah/2:44, 7,
76, 242; Q.S. Ali Imrān/3: 65, 118. Q.S. al-An‘ām/6: 32, 151. Q.S. al-A‘rāf/7:
169. Q.S. Yūnus/10: 16; Q.S. Hūd/11: 51. Q.S. Yūsuf/12: 2, 109. Q.S. al-
Anbiyā’/21: 10, 57. Q.S. al-Mu’minūn/23: 80. Q.S. al-Nūr/24: 61. Q.S. al-
Syu‘arā’/26: 28. Q.S. al-Qalam/28: 60. Q.S. Yāsin/36: 62, Q.S. al-Shaffāt/37:
138, Q.S. Ghāfir/40: 67. Q.S. al-Zukhruf/431: 33. dan Q.S. al-Hadīd/57:17.
14
Q.S. al-Mulk/67: 10.
15
Q.S. al-Ankabūt/29: 43.
16
Pemuatannya yaitu pada Q.S. al-Baqarah/2: 164 dan 170 serta 171. Q.S.
al-Māidah/5: 58 dan 103. Q.S. al Anfāl/8: 22. Q.S. Yūnus/10: 42, 100. Q.S.
al-Ra‛d/13: 4. Q.S. al-Naḥl/16: 12, 67. Q.S. al-Hajj/22: 46. Q.S. al-Zumār/39:
43. Q.S. al-Jāṡiyat/45: 5. Q.S. al-Hujurāt/49: 4 dan Q.S. al-Hasyr/59: 14.
Muḥammad Fuād ‘Abd. al-Bāqi’, al-Mu‘jam al-Mufaḥras lī Alfāz al-Qur’ān al-
Karīm (Beirut: Dār al-Fikri, 1981), h. 594-595.
17
Muḥammad Ismāil Ibrāhim, Mu’jam al-Alfāẓ wa al-A‘lām al-Qur’āniyyāt
(Kairo: Dār al-Fikr al-Arabi, 1968), h. 351.
18
Hal ini yang ditunjukkan seseorang ketika mengungkapkan perkataan
‘’saya’’. Sementara Ibn Sīnā (w. 1037 M/428 H), menjelaskan bahwa sebutan
‘’saya’’ (Arab; Anā) adalah identitas jiwa seseorang yang tidak merujuk kepada

60 Filsafat Pendidikan Islam


pada dasarnya kata al-‘aql, menunjukkan suatu jenis ikatan
atau belenggu, yang menunjukkan potensi bagian dalam dan
mempunyai kemampuan mengikat obyek ilmu dengan kata-
kata.19 Dengan demikian, al-‘aql sebenarnya sinonim dengan al-
‘aql, dimana keduanya sama-sama merupakan organ spiritual
kognisi manusia yang disebut hati. Dengan organ sipiritual
ini seseorang mampu mengenali mana yang benar dan salah.
Sehingga, seseorang memiliki “jiwa yang rasional” (al-nafs al-
natīqah). Kata rasional tidaklah hanya merupakan rasio. Sebab,
konsep rasio tidaklah memisahkan antara rasio dengan apa
yang dikonsepsikan. Setiap individu, mempunyai dua hakikat,
yakni badan dan jiwa. Yang pertama berupa fisik (aspek luar)
dan yang kedua non-fisik (aspek dalam), yakni spirit. Dari aspek

diri badani, tetapi kepada diri ruhani. Ini karena beberapa alasan, antara lain:
Pertama, ‘’saya’’ saja yang kekal. Sedangkan jasad atau badan akan mati dan
berganti. Jadi badan selalu baru dan tidak berterusan. Sedangkan ‘’saya’’ tetap
dan berterusan, dalam semua usia diri itu. Badan manusia, dari usia awal
hingga dewasa selalu mengalami perubahan dan pengurangan. Namun, tidak
dengan ‘’saya’’. ‘’Saya’’ selalu ada, selalu ingat apa yang dapat terjadi di masa
kanak-kanak hingga usia senja, tetaplah ‘’saya’’, walaupun diri badan sudah
keriput renta. Kedua, ‘’saya’’ yang berperan dalam kesadaran. Ketika seseorang
melaksanakan suatu perbuatan, seperti belajar atau menulis, maka dalam
kondisi ini, yang meminta dirinya berbuat itu adalah ‘’saya’’. Jadi ‘’saya’’ ini yang
berperan menyuruh diri melaksanakan sesuatu. Maka yang beraktivitas itu
bukan saja badan, tetapi ‘’saya’’yang berperan sebagai ruh tadi. Ketiga, ‘’saya’’
yang bisa berbuat sesuatu yang tidak tunggal. ‘’Saya’’ bisa mengerjakan berbagai
hal yang berbeda-beda dan bahkan dalam waktu yang bersamaan. Sedangkan
badan akan beraktivitas secara terpisah-pisah, seperti ‘’saya’’ makan, minum,
berjalan, duduk, mendengar, berucap, berkhayal, dan berpikir, maka ‘’saya’’
adalah yang mengumpulkan aktivitas itu dalam diri ‘’saya’’. Yang bisa berbuat
demikian itu hanya ‘’saya’’, bukan badan. Al-Sayyid al-Syārif Abū al-Ḥāsan ‘Alī
ibn Muḥammad ibn ‘Alī al-Ḥusaini al-Jurjānī al-Ḥanafi, al-Ta’rifāt (Beirut: Dār
al-Kutub al-‘Ilmiyyah, t.t.), h. 197-198. Lihat juga; Yohana Qumaer, Falāsifat al-
Arab: Ibn Sīnā, cet. 2 (Beirut: Dār al-Masyriq, 1985), h. 37-39.
19
Syed Muhammad Naquib al-Attas, The Concept of Education in Islam,
a Framework an Islamic Philosophy of Education (Kuala Lumpur: International
Institute of Islamic Thought and Civilization (ISTAC), 1999), h. 14.

Konsep Spiritualitas dalam Pendidikan Islam 61


fisik, panca inderalah yang menjadi objek pembahasan. Panca
indera ini menangkap pesan-pesan sesuai dengan fungsinya
yang kemudian disampaikan kepada aspek dalam untuk dikenali
oleh akal dan menjadi suatu bentuk pemahaman. Para psikolog
muslim menganggap aspek dalam ini lebih penting diperhatikan,
karena inti diri pada dasarnya ada pada aspek dalamnya, bukan
luarnya.20 Dalam pandangan al-Attas, akal merupakan satu
aspek di antara beberapa aspek jiwa. Aspek-aspek itu meliputi
hati (al-qalb), nafsu (al-nafs), ruh (al-rūḥ) dan akal (al-‘aql).
Semuanya merupakan aspek-aspek jiwa yang saling berkaitan,
namun berbeda fungsinya. Kesemua aspek tersebut merujuk
kepada keberadaan fisik dan non fisik.21 Senada dengan hal itu,
al-Ghazālī memberi garis perbedaan yang tegas di antara aspek-
aspek tersebut. Menurutnya, dengan potensi yang dimilikinya,
seseorang dapat mengetahui sesuatu. Potensi tersebut antara
lain; persepsi inderawi pendengaran, penglihatan, perasa,
penciuman, penyentuh, indera keenam yang menyertakan daya
ingatan, daya penggambaran atau imajinasi dan daya estimasi.
Sedangkan proses akal mencakup nalar dan alur pikir yang dapat
digunakan untuk berargumentasi, menganalogi dan menarik
suatu kesimpulan. Selanjutnya intuisi dapat menangkap pesan-
pesan gaib atau menerima ilham.22 Hal senada dikemukakan
20
Ibn Sīnā dan al-Ghazālī, sama-sama berkesimpulan bahwa  jiwa
mempunyai peran sentral pada diri manusia. Bagi Ibn Sīnā, badan tidak wujud
tanpa ada jiwa, sebab itu jiwa adalah sumber kehidupan dan pergerakannya. Abū
‘Alī al-Ḥusain ibn ‘Abdullah ibn Sīnā, De Anima, Bagian Psikologi dari Kitab al-
Syifā’, ed. Fazlur Rahman (London: Oxford University Press, 1959), h. 45. Begitu
juga al-Ghazālī yang menekankan peranan al-qalb di atas anggota badan. Hati
adalah tuannya dan badan hanya pengikut dan pembantunya. Lihat Abū Ḥāmid
Muḥammad ibn Muḥammad al-Ghazālī, Iḥyā’ ‘Ulūm al-Dīn, Juz 1 (Beirut: Dār
al-Fikr, t.t.), h. 5.
21
Syed Muḥammad Naquib al-Attas, The Nature of Man and The Psychology
of Human Soul (Kuala Lumpur: ISTAC, 1990), h. 5.
22
Al-Ghazālī, Ma‘ārij, h. 44-47.

62 Filsafat Pendidikan Islam


al-Fārābī, bahwa; potensi intelegensi atau kecerdasan dan
kemauan, keduanya merupakan fungsi dari daya-daya atau
kemampuan potensial dalam diri.23
Setiap individu melewati beberapa proses perkembangan
lima daya atau kemampuan potensial. Pertama, kemampuan
untuk tumbuh yang disebut daya vegetatif (al-quwwah al-
gāziyah), sehingga memungkinkan fisiknya berkembang
menjadi besar dan dewasa. Kedua, daya mengindera (al-quwwah
al-ḥāssah), sehingga memungkinkan alat-alat inderanya dapat
menerima rangsangan panas, dingin dan lainnya. Daya ini juga
membuatnya mampu mengecap, mencium bau, mendengar
dan melihat warna serta objek-objek penglihatan lain. Ketiga,
daya imajinasi (al-quwwah al-mutakhayyilah), dengan daya ini
memungkinkannya mempunyai kesan atas apa yang dirasakan,
meski objek tersebut telah tidak ada lagi dalam jangkauan indera.
Daya ini juga mempunyai kemampuan untuk menggabungkan
atau memisahkan kesan-kesan yang diterima dari indera,
sehingga menghasilkan kombinasi atau potongan-potongan
kesan yang dialami. Keempat, daya berpikir (al-quwwah al-
nāṭiqah) yang dengan daya ini memungkinkannya untuk
memahami berbagai pengertian, sehingga dapat membedakan
antara satu dengan lainnya, kemampuan untuk menguasai
ilmu dan seni. Kelima, daya rasa (al-quwwah al-tarwi‘iyyah),
yang membuatnya mempunyai kesan dari apa yang dirasakan;
senang atau susah, cinta atau benci, suka atau tidak suka. 24

Yuhana Qumaer (ed), Falāsifah al-Arāb: Al-Fārābī (Mesir: Dār al-


23

Masyriq, t.t.), h. 91.


24
Abū Naḥr Muḥammad ibn Muḥammad ibn Tarkhān ibn Auzalaqoh al-
Fārābī, Mabādi’ Arā Aḥl al-Madīnah al-Fāḑilah (The Ferfect State), ed. Richard
Walzer (Oxford: Clarendon Press, 1985), h. 164-70.

Konsep Spiritualitas dalam Pendidikan Islam 63


Potensi akal yang dimiliki seseorang, memungkinkannya
untuk dapat memikirkan, menggali, menemukan, memiliki dan
mengembangkan ilmu pengetahuan serta mentransfer berbagai
pengetahuan yang sarat dengan nilai-nilai dari satu generasi
ke generasi berikutnya. Aktualisasi potensi akal adalah sebagai
upaya menggali khazanah ilmu pengetahuan yang terbentang
luas baik di alam mikro (diri manusia) maupun makro (alam
semesta).
Berdasarkan potensi yang dimilikinya, seseorang dapat
memiliki pengetahuan tentang realitas suatu objek. Islam
mengakui realitas suatu objek tidak terbatas pada obyek-
obyek inderawi melainkan juga non-inderawi, sehingga dalam
menentukan keberadaan sesuatu atau status ontologis sesuatu,
Islam mengakui adanya benda-benda yang dapat diserap oleh
indera dan meyakini adanya status ontologis dari realitas non-
fisik, seperti ide-ide matematika, konsep-konsep mental dan
realitas imajinal serta spiritual.25 Senada dengan pernyataan
tersebut, bahwa pengetahuan diperoleh melalui 3 (tiga) daya
yang dimiliki manusia, yaitu daya indera, daya imajinasi dan daya
pikir, yang kemudian masing-masing daya tersebut dinamakan
sebagai indera eksternal (al-ḥawwās al-ẓāhirah), indera internal
(al-ḥawwās al-bāṭinah) dan daya intelek (al-‘aql al-kullī).26

1) Indera Eksternal

Indera eksternal terdiri atas 5 (lima) unsur yang


eksistensinya lebih kepada aktualisasi fungsi-fungsi potensi
jasmaniah, meliputi; 1) penglihatan, 2) penciuman, 3)
pendengaran, 4) peraba dan 5) pengecap, yang berkaitan

25
Kartanegara, Menyibak, h. 30-31.
26
Al-Fārābī, Mabādi’, h. 170-171.

64 Filsafat Pendidikan Islam


dengan objek-objek material. Dibanding indera-indera yang
lain, kemampuan indera eksternal paling lemah dan terbatas.
Indera eksternal hanya mampu mencetak gambaran objek tanpa
sedikitpun mampu menangkap gambar itu sendiri.
Berdasarkan kenyataan tersebut, indera eksternal tidak
dapat bekerja sendiri, tetapi berada dalam kekuasaan “akal
sehat”, yaitu potensi atau daya yang menerima setiap kesan
dari kelima indera eksternal. Akal sehat ini berfungsi sebagai
penerima gambaran data yang diserap oleh indera eksternal.
Akal sehat harus memilih suatu warna dari warna lainnya,
suara yang satu dari suara-suara yang lain, membedakan antara
warna dengan suara, suara dengan bebauan, rasa asam-asin dan
pahit, dingin dan panas, terang dengan gelap dan seterusnya.

2) Indera Internal

Indera internal terdiri dari berbagai daya yang


keberadaannya menunjukkan lebih kepada penggunaan fungsi-
fungsi potensi nafsani (akal, kalbu dan nafsu), meliputi; 1)
daya penggambaran (al-quwwah al-muṣawwirah), 2) daya
estimasi (al-quwwah al-wahm), 3) daya memori atau daya
ingat (al-quwwah al-hāfiẓah), 4) daya imajinasi rasional (al-
quwwah al-mufakkirah), 5) daya imajinasi sensitif (al-quwwah
al-mutakhayyilah). Daya representasi adalah kemampuan
untuk menyimpan bentuk-bentuk suatu objek, meski objek itu
sendiri telah hilang dari jangkauan indera. Daya ini terletak
pada otak bagian depan. Mempunyai kekuatan abstraksi
yang lebih sempurna dibanding indera eksternal, sehingga
daya representasi tidak memerlukan hadirnya materi untuk
menghadirkan bentuk. Meski demikian, bentuk-bentuk dalam
daya representasi tidak terlepas dari keadaan materialnya.

Konsep Spiritualitas dalam Pendidikan Islam 65


Bentuk-bentuk tersebut ditangkap sekaligus dengan ikatan
materialnya, seperti ruang, waktu, kualitas dan kuantitas.27
Namun ada bentuk-bentuk lain yang tidak dapat ditangkap
indera eksternal walaupun bentuk tersebut berkaitan dengan
suatu objek inderawi, seperti soal baik dan buruk, senang dan
benci pada suatu objek.
Dengan demikian, daya estimasi berkaitan dengan objek
atau keadaan di luar jangkauan penginderaan, seperti soal baik
dan buruk. Daya estimasi mengabstraksikan kenyataan non-
material dari materi, sehingga tingkat abstraksinya dikatakan
lebih sempurna dibanding abstraksi daya representasi. Untuk
memperjelas daya estimasi, contoh kasus seperti ‟domba
melihat serigala’’. Ketika domba melihat serigala, yang ditangkap
sang domba bukan sekedar bentuk fisik serigala, melainkan juga
kebencian terhadapnya. Kebencian terhadap serigala, sesuatu
yang sifatnya di luar jangkauan pancaindera, ditangkap melalui
daya estimasi domba.28
Daya ingat adalah kemampuan untuk menyimpan realitas
non-material yang ditangkap daya estimasi. Hubungan daya
ingat dengan objek non-material yang ditangkap daya estimasi
adalah sama seperti hubungan daya representasi dengan
bentuk-bentuk objek yang dapat diindera. Beda antara daya
ingat dengan pemahaman, bahwa daya ingat berkaitan dengan
kata-kata dan lebih bersifat partikular serta personal, sedang
pemahaman lebih mengarah pada makna-makna dan bersifat
universal serta prinsipil. Karena itu, al-Fārābī menganggap

27
Friedrich Dieterici (ed), Al-Ṡamrah al-Marḑiyyah (Leiden: EJ. Brill, 1890),
h. 74.
28
Osman Bakar, Hirarki Ilmu, terj. Purwanto (Bandung: Mizan, 1997), h.
70.

66 Filsafat Pendidikan Islam


bahwa eksistensi pemahaman lebih tinggi dibanding sekedar
ingatan.29
Daya imajinasi adalah kemampuan kreatif untuk menyusun
atau menggabungkan pemahaman baru dengan pemahaman
lain yang tersimpan dalam daya representasi, melalui proses
kombinasi maupun proses pemilahan. Maksudnya, daya
imajinatif menggabungkan pemahaman tertentu dengan
pemahaman lainnya atau memilahkan sebagian pemahaman
terhadap sesuatu ketika harus memilih.30 Ada dua model
imajinasi dalam pandangan al-Fārābī, (1) kemampuan imajinasi
dengan memanfaatkan pemahaman yang telah tercipta lewat
bantuan daya estimasi; (2) imajinasi yang justru dimanfaatkan
dan dimunculkan oleh daya daya estimasi. Yang pertama ada
pada manusia dan disebut imajinasi rasional sedang yang kedua
ada pada binatang dan disebut imajinasi sensitif. Daya imajinasi
merupakan salah satu sarana pencapaian pengetahuan.31 Meski
demikian, al-Fārābī menggunakan istilah imajinasi untuk
menunjuk pada imajinasi rasional yang ada pada manusia.
Imajinasi adalah bagian yang terpenting di antara indera-indera
internal yang disebutkan di atas. Al-Fārābī menempatkannya
pada posisi tengah yang menghubungkan antara indera internal
dengan intelek.32 Ibn Sīnā memasukkan akal sehat sebagai
bagian dari daya indera internal dan menyebut akal sehat (al-
ḥiss al-musytarak) sebagai salah satu dari indera internal (al-
hiss al-bāṭin). Indera yang lain adalah daya representasi (al-
quwwah al-muṣawwirah), daya imajinasi (al-quwwah al-khiyāl),

29
Dieterici (ed), Al-Ṡamrah, h. 86.
30
Qumaer (ed), Falāsifah, h. 65-66.
31
Al-Fārābī, Mabādi‘, h. 164-170.
32
Qumaer (ed), Falāsifah, h. 65.

Konsep Spiritualitas dalam Pendidikan Islam 67


daya estimasi (al-quwwah al-wahmiyyah) dan daya memori (al-
quwwah al-hāfiẓah).33
Daya intelek (al-‘aql al-kullī) terdiri dari; kemampuan
praktik (‘amalī) dan teoretis (naẓarī).34 Kemampuan teoretis
digunakan untuk menangkap bentuk-bentuk objek intelektual
(ma‘qūlāt), sedang kemampuan praktis dimanfaatkan untuk
membedakan sedemikian rupa satu sama lainnya sehingga
dapat mencipta atau mengubah dari satu kondisi kepada
kondisi yang lain. Kemampuan praktis biasanya terjadi pada
masalah-masalah keterampilan seperti teknik industri mesin
dan lainnya. Tiga macam indera ini merupakan sarana utama
dalam pencapaian ilmu pengetahuan.
Intelek berkaitan dengan proses pemahaman intuitif
untuk mencapai kebenaran-kebenaran transenden dan
bekerja berdasarkan pancaran ilahiah, sehingga tidak mungkin
salah. Pengetahuan yang dicapainya adalah benar dan pasti
serta tidak mungkin kebalikannya.35 Sementara itu, rasio
berhubungan dengan pemikiran dan bekerja berdasarkan
data-data yang barasal dari indera eksternal dan internal. Data
jenis ini oleh al-Fārābī tidak dianggap bebas dari kemungkinan
salah dan meragukan. Boleh jadi data-data yang masuk adalah
palsu atau salah karena kelemahan-kelemahan indera yang

33
Abū ‘Alī al-Ḥusain ibn ‘Abdullah ibn Sīna, Kitāb al-Nafs (De Anima), ed.
Fazlur Raḥmān (Oxford: Oxford University Press, 1970), h. 44-45.
34
Abu Naḥr Muḥammad ibn Muḥammad ibn Tarkhān ibn
Auzalaqoh al-Fārābī, Fathūl al-Madanī (Aphorisme of the Statesman), terj.
DM. Dunlop (Cambridge: Cambridge University Press, 1961), h. 63.
Istilah “intelek” sendiri, dalam bahasa Arab, disebut dengan akal (al-‘aql).
Namun, ia tidak sama dengan rasio yang juga terjemahan dari kata al-
‘aql. Al-Fārābī memakai dua istilah dalam masalah ini: al-‘aql al-juz’ī
yang diterjemahkan dengan rasio, dan al-‘aql al-kullī yang diterjemahkan
sebagai intelek. Lihat; Dieterici (ed), Al-Ṡamrah, h. 39.
35
Ibid., h. 42.

68 Filsafat Pendidikan Islam


menangkapnya.36 Beberapa fungsi akal yang dapat diketahui
yaitu:
Pertama, sebagai identitas yang khas membedakan antara
manusia dengan hewan. Dengan akal manusia dapat mengenal
dirinya dan penciptanya, sehingga dapat mengembangkan
teknologi untuk kemudahan aktivitas kehidupan di darat dan di

ْ َْ َ ّ َْ ُ َْ َ َ َ َ َ َ ْ َّ َ ْ َ َ َ
laut, sebagaimana firman Allah swt. berikut:

ْ
‫ولقد كرمنا ب ِني آدم وحملناهم ِفي الب ِر والبح ِر‬ َ
َ ُ َ ْ َّ َ َ
ْ‫اه ْم َع َلى كثير ِ َّمن‬ ‫ن‬ ‫ل‬ ‫ض‬ ‫ف‬‫و‬ ‫ات‬ ‫ب‬
َّ
َ ‫الط ّي‬ ‫ن‬َ ‫اه ْم م‬ ُ َ َْ ََ
‫ورزقن‬
ٍ ِ ِ ِ ِ
َْ َ َْ َ
.‫خلقنا تف ِضيلا‬
Artinya:
“Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak
Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan,
Kami beri mereka rezeki dari yang baik-baik dan Kami
lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas
kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan”.37
Kedua, alat yang mengandung daya pikir untuk memahami
segala yang ditangkap oleh hati dan daya indera, baik yang
berkaitan dengan makhluk maupun khalik. Dengan potensi
pendengaran dan penglihatan serta hati, manusia dapat
bersyukur kepada Allah swt. sebagaimana firman Allah swt.
berikut:

36
Bakar, Hirarki Ilmu, h. 99. Al-Fārābī membandingkan antara intelek
dengan rasio seperti suatu benda dengan bayangannya. Intelek ibarat matahari
yang bersinar dalam diri manusia, sedang rasio adalah pantulan matahari
tersebut yang berada di atas dataran pikiran manusia. Lihat; Husein Nasr, Sufi
Essays (Albany: SUNY Press, 1972), h. 54.
37
Q.S. al-Isra’/17: 70.

Konsep Spiritualitas dalam Pendidikan Islam 69


ًْ َ َ َُ َْ ُ َ َّ ُ َ
ُ ُ ْ ْ ُ َ َ ْ َّ َ
ْ
‫ون أمه ِاتكم لا تعلمون شيئا‬
ُ ُ َ ّ َ ِ ‫والل َ أ َخ ُرجكم ِمن بط‬
َ َْ َ َ َ ْ َ ْ َ َ ْ َّ ُ َ َ
.‫الأبص َار َوالأف ِئدة لعلك ْم تشك ُرون‬ ‫َوجعل لكم السمع و‬
Artinya:
“Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu
dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu pun, dan Dia
memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati,
agar kamu bersyukur”.38
Ketiga, alat yang mengandung daya pikir untuk
membandingkan (al-furqān) segala objek yang ditangkap
oleh hati dan daya indera. Dengan melakukan perbandingan
tersebut, manusia dapat mengalami berbagai peristiwa dan
memiliki ilmu pengetahuan yang luas berdasarkan percobaan
empiris, serta dapat merasakan karunia Allah swt. di dalam

َ
ً َ ْ ُ ْ ُ َ ْ َ ْ َ َّ ُ َ َ َّ َ ُّ َ
hatinya. Sebagaimana firman Allah swt. berikut:
ُ َّ َ ْ
‫لكم فرقانا‬ ‫تتقوا الل يجعل‬ ‫يا أيها ال ِذين آمنوا ِإن‬
ْ َْ ُ َّ َ ْ ُ َ ْ ْ َ َ ُ ُ َ
ْ‫َو ُيك ّف ْر َع ْنك ْم َس ّي َئاتكم‬
‫ذو الفض ِل‬ ‫ويغ ِفر لكم والل‬ ِ ِ ِ
َْ
.‫يم‬
ِ ‫الع ِظ‬
Artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, jika kamu bertakwa
kepada Allah, niscaya Dia akan memberikan kepadamu
furqan dan menghapuskan segala kesalahan-
kesalahanmu dan mengampuni (dosa-dosa) mu. Dan
Allah mempunyai karunia yang besar”.39

38
Q.S. an-Naḥl/16: 78.
39
Q.S. al-Anfāl/8: 29.

70 Filsafat Pendidikan Islam


Keempat, alat yang mengandung daya pikir untuk
mengambil hikmah dari apa yang dibandingkan dan dipahami
(mana yang bermanfaat, mudarat, keselamatan, ketenteraman

ُ َ َ ْ ْ َ ْ ْ َ ََ ْ َ َ َْ ْ
dan lainnya). Sebagaimana firman Allah swt. berikut:

َ‫الحك َم َة فق ْد أوتي‬ ‫ت‬ ‫ؤ‬ ‫ي‬ُ ‫ن‬ ‫م‬‫و‬َ ُ


‫اء‬ ‫ش‬ ‫ي‬ ‫ن‬‫م‬ ‫ة‬ ‫م‬ ‫ك‬ ‫ح‬ ‫ال‬ ‫ي‬‫ت‬ ‫ؤ‬
ُْ
ِ ِ
َْ ُ ُ َّ َّ
ِ
َ ِ ‫ي‬
ً ‫َخ ْي ًرا كث‬
.‫يرا َو َما َيذك ُر ِإلا أولو الألباب‬ ِ
Artinya:
“Allah menganugrahkan al-hikmah (kefahaman yang
dalam tentang al-Qur’an dan As Sunah) kepada siapa
yang Dia kehendaki. Dan barang siapa yang dianugrahi
al hikmah itu, ia benar-benar telah dianugrahi karunia
yang banyak. Dan hanya orang-orang yang berakallah
yang dapat mengambil pelajaran (dari firman Allah)”. 40
Akal sebagai potensi spiritual berperan dalam pembelajaran,
yaitu dalam pencapaian kemampuan-kemampuan sebagai
berikut: 41
1. Keterampilan intelektual, yang terdiri dari kemampuan
tulis baca sampai kepada kemampuan memperhitungkan
berdasarkan penggunaan matematika dan statistika.
2. Strategi kognitif, dalam arti berpikir seluas-luasnya
termasuk kemampuan memecahkan masalah.
3. Informasi verbal, yaitu kemampuan mengolah informasi
yang diterima.
4. Keterampilan motorik, berhubungan dengan kinerja fisik.

Q.S. al-Baqarah/2: 269.


40

Tabrani, Pendekatan dalam Proses Belajar Mengajar (Bandung: Remaja


41

Rosdakarya, 1994), h. 2.

Konsep Spiritualitas dalam Pendidikan Islam 71


5. Sikap dan nilai, yakni kemampuan yang berhubungan
dengan aspek serta intensitas emosional seseorang.
Kemampuan-kemampuan akal dalam pembelajaran,
dikenal sebagai bagian dari hasil belajar. Hasil belajar berarti
hasil yang dicapai seseorang dalam selang waktu tertentu.
Soedijarto menyatakan bahwa hasil belajar adalah tingkat
penguasaan yang dicapai peserta didik dalam mengikuti
program pembelajaran sesuai dengan tujuan pendidikan yang
ditetapkan.42 Briggs menyatakan bahwa, hasil belajar adalah
seluruh kecakapan dan segala hal yang diperoleh melalui
proses pembelajaran yang dinyatakan dengan angka dan diukur
dengan menggunakan tes hasil belajar.43 Dengan demikian hasil
belajar adalah kemampuan-kemampuan yang dimiliki peserta
didik setelah ia menerima pengalaman belajar.
Berbagai kemampuan atau hasil belajar yang akan dicapai
tertuang dalam rumusan tujuan pendidikan, baik tujuan
kurikuler maupun tujuan instruksional. Dalam hal tujuan
pembelajaran, dapat ditemukan klasifikasi dari Bloom, yang
secara garis besar membagi hasil belajar kepada tiga ranah,
yaitu; ranah kognitif, afektif dan psikomotorik.44 Ranah kognitif
berkenaan dengan hasil belajar intelektual yang terdiri dari
enam aspek, yakni pengetahuan atau ingatan, pemahaman,
aplikasi, analisis, sintesis dan evaluasi. Kemudian pada tahun
2001, Anderson dan Krathwhol melakukan pembaharuan pada
ranah kognitif pada aspek sintesis dan evaluasi (tahapan ke 5
(lima) dan 6 (enam). Pembaharuan tersebut menjadikan ranah
42
Soedijarto, Menuju Pendidikan Nasional yang Relevan dan Bermutu (Jakarta:
Balai Pustaka, 1993), h. 49.
43
J. Leslie Briggs, Instructional Design: Principles and Aplication. Englewood-
Cliffs (New Jersey: Prentice-Hall, Inc. 1979), h. 149.
44
Benjamin S. Bloom, Taxonomy of Education Objectives Cognitive Domain
(London: Longman, Group, Ltd, 1956), h. 95-155.

72 Filsafat Pendidikan Islam


kognitif meliputi aspek; pengetahuan atau ingatan, pemahaman,
aplikasi, analisis, evaluasi dan kreativitas.45 Dengan demikian,
meniadakan aspek sintesis dan menambahkan aspek kreativitas.
Pendidikan Islam memandang bahwa tujuan pendidikan
pada ranah kognitif, afektif dan psikomotorik, mestinya
berdasarkan pada keimanan terhadap Allah swt. Dengan
demikian, perspektif pendidikan Islam memandang ranah iman
menjadi dasar bagi ranah kognitif, afektif dan psikomotorik,
dalam tujuan pendidikan.

3) Ranah Iman

Ranah iman berkenaan dengan hasil belajar keyakinan


kepada Allah swt. yang terdiri dari 3 (tiga) aspek yaitu;
merealisasikan syahādah, mengembangkan potensi ilāhiah dan
insāniah.
a. Merealisasikan syahādah adalah mengingatkan peserta
didik tentang persaksian setiap al-rūḥ yang akan
bersatu dengan jasad di dalam rahim ketika pertemuan
sel sperma dengan ovum di usia 120 hari. Ketika itu
semua al-rūḥ bersaksi bahwa Allah swt. adalah Tuhan
yang menciptakannya.
b. Mengembangkan potensi ilāhiah adalah mengarahkan
peserta didik agar dapat beribadah secara ikhlas kepada
Allah swt., sebagai tujuan penciptaan manusia.
c. Mengembangkan potensi insāniah adalah mengarahkan
peserta didik agar dapat mengaktualisasikan diri dalam
perannya sebagai pelestari dan pemakmur di bumi.

David R. Krathwohl, A Revision of Bloom’s Taxonomy, An Overview (Ohio:


45

Theory Into Practice, vol 41, 2002), h. 4-9.

Konsep Spiritualitas dalam Pendidikan Islam 73


4) Ranah Kognitif

Ranah kognitif berkenaan dengan hasil belajar intelektual


yang terdiri dari enam aspek, yakni pengetahuan atau ingatan,
pemahaman, aplikasi, analisis, evaluasi dan kreativitas. Kedua
aspek pertama disebut kognitif tingkat rendah dan keempat
aspek berikutnya termasuk kognitif tingkat tinggi. Aspek
pengetahuan atau mengingat bahan pelajaran yang dimiliki
peserta didik dalam pendidikan Islam, dapat dicontohkan
sebagai berikut:
a. Pengetahuan tentang hal-hal yang khusus; penguasaan
akan lambang-lambang dengan keterangan yang konkrit,
sebagai alat untuk menguasai pengetahuan selanjutnya.
b. Pengetahuan tentang peristilahan; penguasaan terhadap
sejumlah kata-kata dan rangkaian kata berarti umum
dan berbagai istilah yang memberikan ciri-ciri, sifat-
sifat dan hubungan-hubungannya yang khas.
c. Pengetahuan tentang fakta-fakta khusus; mengenal
dan mengingat kembali berbagai peristiwa dan waktu
kejadiannya, tokoh-tokoh, dan tempat-tempat penting
serta peristiwa dalam sejarah Islam.
d. Pengetahuan mengenai ketentuan-ketentuan dan sifat-
sifat khas; mengenal dan mengingat kembali bentuk-
bentuk wahyu dan hadis beserta pokok-pokok ajaran
(ketentuan) yang terkandung di dalamnya.
e. Pengetahuan tentang arah-arah dan gerakan-gerakan;
mengenal dan mengingat kembali tentang proses-
proses, arah-arah, gerakan-gerakan, misalnya dari;
berbagai mazhab atau aliran dalam Islam, kontinuitas
dan perkembangan kebudayaan dalam Islam.

74 Filsafat Pendidikan Islam


f. Pengetahuan tentang klasifikasi dan kategori-kategori
dalam ilmu-ilmu agama Islam serta permasalahannya;
mengenal dan mengingat kembali tentang pembagian-
pembagian, perangkat-perangkat, kelompok-kelompok
dan susunan-susunan dasar, misalnya dari; ilmu-ilmu
agama atau bidang-bidang studi agama, dan berbagai
permasalahan keagamaan.
g. Pengetahuan tentang “universal” dan abstraksi-
abstraksi; mengenal dan mengingat kembali berbagai
pengertian umum mengenai “ketentuan wajib dan
sunnah” dalam ajaran Islam.
h. Pengetahuan tentang prinsip-prinsip, kaidah-kaidah
dan generalisasi; mengenal dan mengingat kembali
mengenai abstraksi khusus, yang menyimpulkan
pengamatan tentang fenomena-fenomena keagamaan
dan prinsip-prinsip atau kaidah-kaidah ajaran Islam.
i. Pengetahuan tentang teori-teori dan struktur-struktur;
mengenal dan mengingat kembali pengetahuan tentang;
gambaran yang relatif lengkap mengenai ajaran berbagai
mazhab atau aliran dalam Islam dan teori-teori, struktur
dari berbagai tarikat dalam ilmu tasawuf.
Aspek pemahaman atau daya peserta didik menangkap dan
mencernakan bahan pelajaran, dalam pendidikan Islam, dapat
dicontohkan sebagai berikut:
a. Kemampuan untuk menerjemahkan dan memahami
ayat-ayat yang berbentuk perumpamaan, sindiran dan
pernyataan-pernyataan yang dapat dijadikan dasar
keilmiahan.
b. Kemampuan untuk menafsirkan, yaitu mencakup
penyusunan kembali atau penataan kembali suatu

Konsep Spiritualitas dalam Pendidikan Islam 75


kesimpulan sehingga merupakan suatu pandangan
baru, baik dari ayat-ayat maupun dari hadis-hadis.
c. Kemampuan untuk membedakan mana yang terkandung
dalam ajaran Islam dan yang bukan, sehingga peserta
didik dapat memahami arah penggunaannya, akibat-
akibatnya dan hasil-hasilnya.
Aspek aplikasi atau keterampilan, peserta didik
menggunakan abstraksi-abstraksi, kaidah-kaidah dan
ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam ajaran Islam dalam
situasi-situasi khusus dan konkrit yang dihadapi sehari-hari.
Dalam pendidikan Islam dapat dicontohkan sebagai berikut:
a. Kemampuan menggunakan istilah-istilah atau konsep-
konsep agama dalam uraian umum dan percakapan
sehari-hari.
b. Kemampuan untuk memperkirakan akibat-akibat
dari suatu perubahan dan akibat-akibat dari suatu
pelanggaran norma-norma Islam, yang terjadi pada diri
dan masyarakat.
Aspek analisis yaitu kemampuan peserta didik menguraikan
suatu bahan ke dalam unsur-unsurnya sehingga tersusun ide,
pikiran-pikiran yang kabur menjadi jelas atau menghubungkan
antara ide, pikiran-pikiran dengan kenyataan secara eksplisit.
Dalam pendidikan Islam, dapat dicontohkan sebagai berikut:
a. Analisis mengenai unsur-unsur; kemampuan untuk
mengidentifikasi unsur-unsur, mengenai apa yang
tersirat, membedakan yang wajib dan sunnah dari
ajaran Islam.
b. Analisis mengenai hubungan-hubungan, kemampuan
untuk memahami silang hubungan antara unsur-unsur
pengajaran agama dengan pengajaran lainnya dan

76 Filsafat Pendidikan Islam


mengecek konsistensi unsur-unsur bahan pengajaran
agama Islam itu sendiri (antara ayat, hadis dan pendapat
ulama).
c. Analisis mengenai prinsip-prinsip, kemampuan untuk
mengenal rangkaian dan susunan yang sistematis pada
aspek-aspek yang mendukung ajaran yang disampaikan,
misalnya; mengenal bentuk dan pola-pola susunan atau
rangkaian dari ayat yang turun di Mekah dan Madinah
dan mengenal cara-cara umum dalam menyusun al-
Qur’an dan al-Hadis.
Aspek evaluasi yaitu kemampuan peserta didik untuk
menilai, menimbang dan melakukan pilihan yang tepat atau
mengambil suatu putusan. Dalam pendidikan Islam dapat
dicontohkan sebagai berikut:
a. Mampu memberikan pertimbangan-pertimbangan
terhadap berbagai kehidupan dan permasalahannya
menurut norma-norma, prinsip-prinsip atau ketentuan-
ketentuan ajaran Islam.
b. Mampu memilih alternatif yang tepat, mengambil
putusan bertindak yang tepat dan menilai serta
menimbang baik atau buruk suatu perbuatan atau
tingkah laku, berdasarkan ajaran Islam.
Aspek kreativitas yaitu kemampuan peserta didik untuk
mencipta, yang berarti mengarang atau membuat sesuatu yang
berbeda bentuk, susunan atau gayanya daripada yang lazim
dikenal orang banyak, sehingga menjadi kemampuan efektif
untuk mencipta.46 Kreativitas juga daya cipta yang mampu
mencetuskan ide yang orisinal.47
46
Selo Soemardjan, “Kreativitas: Suatu Tinjauan dari Sudut Sosiologi”
dalam S. Takdir Alisyahbana, Kreativitas (Jakarta: Dian Rakyat, 1983), h. 87.
47
Save M. Dagun, Kamus Besar Ilmu Pengetahuan (Jakarta: Lembaga

Konsep Spiritualitas dalam Pendidikan Islam 77


Utami Munandar membagi kreativitas kepada 4 (empat)
aspek; pribadi (person), pendorong (press), proses (process),
produk (product). 48
a. Pribadi; kreativitas ini merupakan ungkapan dari
keunikan individu dalam interaksinya dengan
lingkungan. Dari ungkapan pribadi yang unik dan
orisinil diharapkan timbul gagasan-gagasan baru dan
produk-produk inovatif.
b. Pendorong; maksudnya adalah dorongan dari lingkungan
dan dari diri sendiri untuk berkreasi menghasilkan
sesuatu. Kreativitas merupakan hasil interaksi antara
individu dan lingkungannya. Potensi kreatif yang
dimiliki seseorang harus didukung oleh situasi dan
lingkungan sekitar agar mendaptakan sesuatu yang
inovatif, selain itu juga harus ada dorongan dari dalam,
sebab potensi yang tidak dimunculkan dari dalam,
tidak akan mencapai keunggulan kreatif. Potensi kreatif
dapat berkembang dalam lingkungan yang kondusif,
tetapi dapat pula dihambat oleh lingkungan yang tidak
menunjang. Di dalam lingkungan keluarga, sekolah,
pekerjaan dan masyarakat harus ada penghargaan dan
dukungan terhadap sikap dan perilaku kreatif individu
dan kelompok individu.
c. Proses; diperlukan suatu proses untuk bersibuk diri
secara kreatif dalam melaksanakan suatu kegiatan
untuk menghasilkan sesuatu secara kreatif.
d. Produk; kreativitas ditinjau dari dimensi produk
diartikan sebagai kemampuan untuk mendaptakan

Pengetahuan Kebudayaan Nasional, 2000), h. 540.


48
S. C. Utami Munandar, Kreativitas dan Kebakatan, Strategi Mewujudkan
Potensi Kreatif dan Bakat (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1999), h. 78.

78 Filsafat Pendidikan Islam


produk baru atau membentuk kombinasi baru antara
unsur-unsur yang ada atau yang sudah diketahui
sebelumnya.49

5) Ranah Afektif

Ranah afektif berkenaan dengan sikap yang terdiri dari


lima aspek, yakni penerimaan, jawaban atau reaksi, penilaian,
organisasi nilai dan internalisasi. Aspek penerimaan yaitu
kesediaan peserta didik untuk mengikuti dengan sungguh-
sungguh proses pembelajaran, tanpa melakukan penilaian,
berprasangka atau menyatakan suatu sikap terhadap proses
pembelajaran itu. Jika dikaitkan dengan pendidikan Islam, dapat
dicontohkan sebagai berikut:
a. Menyadari pentingnya pendidikan, sehingga memiliki
perhatian penuh dalam pembelajaran.
b. Memiliki kesadaran bahwa aktivitas belajar penting
baginya.
c. Mengamati perbedaan-perbedaan yang terdapat di
dalam bahan pelajaran, dari yang sederhana hingga
yang komplek.
d. Kemauan menerima berbagai kenyataan dalam
pembelajaran (berbagai pendapat, sikap, aliran atau
mazhab, mengembangkan saling pengertian, kerukunan
dalam hidup beragama).
e. Perhatian yang terarah, artinya setelah memiliki
persepsi, perhatian yang terarah kepada sesuatu
rangsangan tertentu yang baru, misalnya; tetap dapat
mendengarkan atau menikmati pembacaan al-Qur’an,

49
Munandar, Kreativitas, h. 79-80.

Konsep Spiritualitas dalam Pendidikan Islam 79


walaupun dengan qirāat, lagu dan suasana yang
berbeda-beda. Perhatiannya terarah kepada sesuatu
yang baru dalam pembacaan itu dan menyimak serta
memahaminya.
Aspek memberikan respons atau jawaban yaitu berkenan
dengan respons-respons yang terjadi karena peserta didik
menerima atau ingin mempelajari bahan pelajaran. Dalam hal
ini pemberian motivasi penting dilakukan agar peserta didik
menerima secara efektif dan berpartisipasi dalam pembelajaran
(belajar sambil berbuat). Dalam pendidikan Islam, dapat
dicontohkan sebagai berikut:
a. Persetujuan untuk menjawab, artinya berkemauan
untuk menyesuaikan diri dan mengamati berbagai
ajaran dalam Islam.
b. Keikutsertaan dalam menjawab, artinya ikut serta
dengan kemauan sendiri dalam berbagai kegiatan
keagamaan dan mengetahui bilamana harus diam atau
ikut bicara menyumbangkan pemikiran.
c. Keputusan dalam menjawab, artinya dapat memilih
dan menemukan kepuasan dalam melakukan berbagai
kegiatan dan senang terhadap segala kebajikan dan
keindahan yang sesuai dengan ajaran agama Islam.
Aspek penilaian menunjuk kepada asal artinya, yaitu bahwa
sesuatu memiliki nilai. Dalam hal ini, tingkah laku peserta didik
dikatakan bernilai, jika tingkah laku itu dilakukan secara tetap
atau konsisten. Jika dikaitkan dengan pendidikan Islam, dapat
dicontohkan sebagai berikut:
a. Penerimaan suatu nilai, berarti peserta didik merasa
bertanggung jawab mendengarkan pelajaran dan
mengikuti segala kegiatan-kegiatannya.

80 Filsafat Pendidikan Islam


b. Pemilihan suatu nilai, artinya dengan memilih suatu
nilai, maka yang bersangkutan dapat mendorong
peserta didik lain agar menaruh perhatian terhadap
pelajaran, berminat, yang memungkinkan peserta didik
lain merasa senang dan puas atas apa yang diminatinya,
mau berusaha meningkatkan pelaksanaan ajaran-ajaran
agama.
c. Pertanggung jawaban untuk mengingatkan diri atau
menjadi peringatan bagi diri sendiri, yang ternyata dari
perbuatannya, bersikap loyal terhadap teman-teman
dan keluarganya serta masyarakat, dimana ia menjadi
anggotanya, secara aktif melakukan perintah dan
meninggalkan larangan agamanya dimanapun ia berada
dan dapat menggunakan akal sehat di bawah tuntunan
al-Qur’an dalam setiap aktivitasnya.
Aspek pengorganisasian nilai menunjuk kepada suatu sikap
diri yang tegas dan jelas terhadap alternatif yang harus dipilih.
Disinilah dibutuhkan kemampuan untuk mengorganisasikan
nilai-nilai ke dalam suatu sistem, menetapkan saling hubungan
antara nilai-nilai dan menemukan mana yang dominan dan
mana yang kurang dominan. Dengan singkat, peserta didik
diharapkan memiliki kemampuan untuk mengorganisasi nilai-
nilai. Jika dikaitkan dengan pendidikan Islam, dapat dicontohkan
sebagai berikut:
a. Konseptualisasi suatu nilai; peserta didik berkehendak
untuk menilai sesuatu yang dihadapkan kepadanya atau
sesuatu yang disadarinya dan peserta didik mampu
menemukan dan mengkristalisasikan kaidah-kaidah
etika Islam secara tepat.

Konsep Spiritualitas dalam Pendidikan Islam 81


b. Menata suatu sistem nilai; peserta didik mampu
menimbang berbagai alternatif (pilihan) baik sosial
politik maupun ekonomi, sehingga membangun
sistem nilai pribadi yang memberi keuntungan dan
manfaat bagi kepentingan diri, keluarga dan kehidupan
masyarakat Islam.
Aspek internalisasi merupakan tingkatan tertinggi.
Internalisasi nilai-nilai telah menjadi matang, sehingga menyatu
dengan diri, artinya nilai-nilai itu kedudukannya telah kokoh
sebagai watak atau karakter dari pemiliknya dan mengendalikan
seluruh tingkah laku dan perbuatannya. Dalam pendidikan
Islam, dapat dicontohkan sebagai berikut:
a. Peserta didik bersedia untuk mengubah dan
memperbaiki penilaian dan tingkah lakunya, sehingga
sesuai dengan kebenaran ajaran Islam dalam keadaan
bagaimanapun.
b. Peserta didik dapat menerima kebenaran yang
datangnya darimanapun juga dan merasa puas serta
tenteram jiwanya dengan memiliki iman, Islam dan
ihsan.
c. Peserta didik mampu secara nyata mendukung ajaran
Islam, sehingga selaras, serasi dan seimbang dalam
keyakinan, ucapan dan perbuatan sehari-hari.
d. Peserta didik dapat mengembangkan kepribadiannya
dalam segala segi kehidupan masyarakat dengan penuh
kesadaran sebagai seorang muslim yang senantiasa
meningkatkan ketakwaan untuk mencapai keridaan
Allah swt.

82 Filsafat Pendidikan Islam


6) Ranah Psikomotorik

Ranah psikomotorik berkenaan dengan kemampuan


bertindak yang terdiri dari enam aspek, yakni gerakan
refleks, keterampilan gerakan dasar, kemampuan perseptual,
keharmonisan, ketepatan, gerakan keterampilan kompleks
dan gerakan ekspresif serta interpretatif. Untuk tujuan
psikomotrik, Bloom, tidak mengklasifikasikannya secara jelas,
namun memasukannya kepada kategori terakhir dari tujuan
pendidikan. Tujuan tersebut merupakan hasil perpaduan
antara tujuan ranah kognitif dan afektif. Hasil dari proses
kognitif dan afektif tersebut yang membentuk keterampilan
psikomotorik pada peserta didik. Dalam pendidikan Islam,
bentuk-bentuk hasil belajar psikomotorik, dapat dibagi dua,
yaitu; pertama, hasil belajar dalam bentuk keterampilan
ibadah dan kedua hasil belajar dalam bentuk hasil kebudayaan
masyarakat Islam.
a. Keterampilan ibadah misalnya; gerakan-gerakan salat
dalam keadaan sehat maupun sakit, gerakan-gerakan
ibadah haji, menyembelih hewan kurban ketika hari
raya ‘Idul Aḑḥa.
b. Keterampilan-keterampilan lainnya, misalnya; bidang
kesenian dan kebudayaan, mengolah dan memanfaatkan
alam dalam rangka memajukan dan mengembangkan
ajaran Islam.
Agar akal selalu dalam keadaan suci dan sehat, maka akal
membutuhkan pemeliharaan dan perawatan,50 sehingga akal
50
Beberapa cara pemeliharaan akal, yaitu: Pertama, membiasakan berpikir
positif dengan selalu mencari hikmah dan pelajaran dari setiap peristiwa dan
keadaan, baik yang menyenangkan maupun yang tidak menyenangkan. Kedua,
tidak minum khamar dan yang sejenisnya (narkoba), sebab akan membuat
seseorang tidak dapat membedakan yang baik dan yang buruk. Rasul saw
bersabda bahwa Allah swt melaknat peminum, pembeli dan penjual khamar.

Konsep Spiritualitas dalam Pendidikan Islam 83


dapat melaksanakan fungsinya dengan baik dalam pencapaian
tujuan pendidikan.

b. Potensi Spiritual Nafsu (al-nafs)


Kata al-nafs dan derivasinya disebutkan dalam al-Qur’an
sebanyak 298 (dua ratus sembilan puluh delapan) kali, dengan
rincian; kata nafs sebanyak 140 (seratus empat puluh) kali, kata
anfus 153 (seratus lima puluh tiga) kali, kata nufūs 2 (dua) kali,
dan kata tanāfas, yatanāfas dan mutanāfisūn masing-masing 1
(satu) kali.51 Al-nafs menjadi wacana dalam psikologi pendidikan
Islam, sekurang-kurangnya karena al-nafs ini disebutkan dalam
nas (al-Qur’an dan hadis) yang menjadi sumber dan rujukan
pendidikan Islam. Banyak hal yang dapat dipelajari dari al-
Qur’an mengenai al-nafs, tentunya dengan melakukan analisis
bagaimana al-Qur’an menggunakan istilah ini. Dari sekian
banyak pengungkapan al-Qur’an mengenai al-nafs, terdapat
beberapa tema pokok yang mengungkap sifat dan keberadaan
al-nafs ini, yaitu antara lain:
1. Al-nafs adalah sebutan bagi diri manusia yang menerima
konsekuensi disebabkan oleh perbuatan-perbuatannya.
Hal ini berarti bahwa perbuatan manusia yang baik akan
berakibat baik bagi al-nafs-nya, sebaliknya jika perbuatan
manusia yang buruk akan buruk pula al-nafs-nya.

ََ ْ ُ ّ َ ْ ُّ َ ْ ُ ُ َ َ ْ َ ُ َّ َ ُّ َ َ ْ ُ
Sebagaimana firman Allah swt. berikut:

‫قل يا أيها الناس قد جاءكم الحق ِمن ر ِبكم فم ِن‬


Ketiga, Tidak berkhayal dan berangan-angan pada objek porno. Lihat Sulaiman
ibn As’at Abū Dāwūd al-Sijistānī al-Azdi, Sunan Abū Dāwud, juz 2 (Beirut: Dār
al-Fikr, t.t), h. 350.
…‫ لعن هللا اخلمر وشارهبا وساقيها وابيعها ومبتاعها وعاصرها ومعتصرها وحاملها واحملولة إليه‬.
51
Abd. al-Bāqi‘, al-Mu‘jam, h. 881-885.

84 Filsafat Pendidikan Islam


ُّ َ َّ َ َّ َ َْ َ َ َّ َ َ َ ْ
‫اهتدى ف ِإنما َي ْهت ِدي ِلنف ِس ِه َو َم ْن ضل ف ِإنما َي ِضل‬
َ ْ ََ
.‫عليها‬
Artinya:
”Katakanlah: “Hai manusia, sesungguhnya telah datang
kepadamu kebenaran (al-Qur’an ) dari Tuhanmu,
sebab itu barang siapa yang mendapat petunjuk
maka sesungguhnya (petunjuk itu) untuk kebaikan
dirinya sendiri. Dan barang siapa yang sesat, maka
sesungguhnya kesesatannya itu mencelakakan dirinya
sendiri”.52
2. Segala yang baik berasal dari Allah swt. dan sebaliknya
segala yang buruk berasal dari al-nafs manusia. Allah swt.

َ َ
berfirman:
َ ّ َ ْ َ َ َ َ َ َّ َ َ َ َ َ ْ َ َ َ َ
‫الل وما أصابك ِمن س ِيئ ٍة‬
ِ ‫ما أصابك ِمن َحسن ٍة ف ِمن‬
َّ َ
َ َ َّ َ َ ْ َ ْ َ َ ْ َ ْ َ
‫الل‬
ِ ‫اس رسولا وكفى ِب‬ ُ َ
ِ ‫ف ِمن نف ِسك وأرسلناك ِللن‬
ً َ
.‫ش ِهيدا‬
Artinya:
”Apa saja nikmat yang kamu peroleh adalah dari Allah,
dan apa saja bencana yang menimpamu, maka dari
(kesalahan) dirimu sendiri. Kami mengutusmu menjadi
Rasul kepada segenap manusia. Dan cukuplah Allah
menjadi saksi”.53

52
Q.S. Yūnus/10:108. Al-nafs menerima risiko perbuatannya secara adil
dan menunjukkan bahwa al-nafs menerima taklīf atau beban syara’.
53
Q.S. an-Nisa’/4: 79.

Konsep Spiritualitas dalam Pendidikan Islam 85


3. Ada perbedaan, sekurang-kurangnya ada jarak, antara
manusia dan al-nafs-nya, ketika al-Qur’an berbicara
mengenai manusia yang berbuat ẓalim kepada al-nafs-nya,

ْ َ َ َ ُّ َ َ َّ َ ُ ْ َ َ ْ ْ ُ
sebagaimana ayat berikut:
ُ َْ َ ْ َ
‫قل ِإن ضللت ف ِإنما أ ِضل على نف ِسي و ِإ ِن اهتديت‬
ٌ َ ٌ َ ُ َّ ّ َ َ ُ ‫َفب َما‬
.‫وحي ِإل َّي ر ِبي ِإنه س ِميع ق ِريب‬
ِ ‫ي‬ ِ
Artinya:
”Katakanlah: “Jika aku sesat maka sesungguhnya aku
sesat atas kemudaratan diriku sendiri; dan jika aku
mendapat petunjuk maka itu adalah disebabkan apa
yang diwahyukan Tuhanku kepadaku. Sesungguhnya
Dia Maha Mendengar lagi Maha Dekat”.54
4. Mengingat Allah swt. dalam al-nafs, sebagaimana ayat

َ ْ َ ُ َ ً َ َ ً ُّ َ َ َ ْ َ َ َّ َ ْ ُ ْ َ
berikut:

ْ
‫واذكر ربك ِفي نف ِسك تضرعا و ِخيفة ودون الجه ِر‬
َ َْ َ ْ ُ َ َ َ َ ّ ُ ُْ ْ َْ َ
.‫ال ولا تكن ِمن الغ ِاف ِلين‬
ِ ‫ِمن القو ِل ِبالغد ِو والآص‬
Artinya:
”Dan sebutlah (nama) Tuhanmu dalam hatimu dengan
merendahkan diri dan rasa takut, dan dengan tidak
mengeraskan suara, di waktu pagi dan petang, dan
janganlah kamu termasuk orang-orang yang lalai”.55

54
Q.S. Saba’/34: 50.
55
Q.S. al-A‘rāf/7: 205.

86 Filsafat Pendidikan Islam


5. Allah swt. mengetahui apa saja yang diperbuat oleh al-nafs,

ْ
ْ‫… َي ْع َل ُم َما َت ْكس ُب ُك ُّل َن ْفس َو َس َي ْع َل ُم ال ُك َّف ُار ل َمن‬
sebagaimana ayat berikut:

ِ ٍ ِ
َّ ْ ُ
.‫عق َبى الدار‬
Artinya:
”Dia mengetahui apa yang diusahakan oleh setiap diri,
dan orang-orang kafir akan mengetahui untuk siapa
tempat kesudahan (yang baik) itu”.56
6. Setiap al-nafs manusia tidak akan merasakan kematian jika

َ ْ َ َ
tidak atas izin Allah swt., sebagaimana ayat berikut:
َ َّ َ ُ ً َ َّ ْ َ َُ ْ َ َ
ِ ‫َوما كان ِلنف ٍس أن تموت ِإلا ِب ِإذ ِن‬
.‫الل ِكتابا مؤجلا‬
Artinya:
”Sesuatu yang bernyawa tidak akan mati melainkan
dengan izin Allah, sebagai ketetapan yang telah
ditentukan waktunya”.57
Pada beberapa ayat, juga diisyaratkan keanekaragaman
al-nafs serta perangkat-perangkatnya. Secara eksplisit
disebutkan beberapa istilah, yaitu: Al-nafs al-ammārah, nafsu
ini mengumbar dan tunduk sepenuhnya terhadap hasrat-
hasrat rendah, kepribadian yang cenderung pada tabiat dan
mengejar kenikmatan jasmaniah.58 Nafsu yang selalu menarik
kalbu untuk melakukan hal yang tidak baik.59 Nafsu ammārah
ini adalah kesadaran yang cenderung pada tabi’at badaniah,
56
Q.S. ar-Ra‘du/13: 42.
57
Q.S. Ali Imrān/3: 145.
58
Q.S. Yūsuf/12: 5.
59
Abd. al Razzāq al-Kalsyāniy, Mu’jam Isṭilāhāt al-Ṣūfiyyah (Kairo: Dār al-
‘Inād, 1992) h. 115.

Konsep Spiritualitas dalam Pendidikan Islam 87


karena dasarnya ia berasal dari unsur jasmaniah (walaupun
bersubstansi laṭīfah karena terlalu lembutnya) dan nafsu ini
pula yang membawa al-qalb ke arah lebih rendah, serta menuruti
keinginan-keinginan duniawi yang dilarang oleh syari’at.
Al-nafs sebagai potensi spiritual dalam pendidikan Islam
dapat mengarahkan individu untuk menyadari adanya berbagai
alternatif yang dapat dilakukannya. Kesadaran diri akan adanya
alternatif dalam hidup, memunculkan adanya tanggung jawab
atas alternatif yang menjadi pilihan. Jika alternatif yang dipilih
adalah aktualisasi kebaikan, maka akan memunculkan al-
nafs al-muṭmainnah dan jika yang dipilih adalah aktualisasi
kebaikan pada satu waktu dan keburukan pada waktu lainnya,
maka akan memunculkan al-nafs al-lawwāmah.60 Al-nafs al-
lawwāmah adalah spiritualitas yang telah memperoleh cahaya
kalbu, adanya kesadaran untuk memperbaiki kebimbangannya
antara dua hal. Dalam upayanya itu, kadang-kadang tumbuh
perbuatan yang buruk yang disebabkan oleh watak ẓulmāniah
(gelap), tetapi kemudian diingatkan oleh Allah melalui kata
hatinya, sehingga, mencela perbuatannya dan selanjutnya
bertaubat dan beristighfar.61 Dapat dipahami bahwa al-nafs
al-lawwāmah berada dalam kebimbangan antara al-nafs al-
ammārah dan al-nafs al-muṭma’innah. Al-nafs al-lawwāmah
merupakan spiritualitas yang didominasi oleh komponen akal.
Akal mengikuti prinsip kerja rasionalitas yang membawa pada
suatu tingkatan spiritualitas. Akal apabila telah mendapat
arahan dari kalbu, fungsinya menjadi baik dan pada sisi lain
kalbu juga memerlukan akal sehat, sehingga keduanya dapat
dijadikan sebagai media untuk menuju kepada Tuhan. Yusuf
al-Qaraḑāwī, mengemukakan; al-Ghazālī meskipun sangat

60
Ibid., h. 91.
61
Al-Kalsyānī, Mu’jam, h. 115-116.

88 Filsafat Pendidikan Islam


mengutamakan pendekatan cita-rasa (zauq), tapi ia masih
menggunakan kemampuan akal.62
Al-nafs selalu dikaitkan dengan al-ḥawā (hawa nafsu). Al-
ḥawā’ mengandung makna rendah, jatuh dan menjatuhkan,
keinginan, kesenangan. Dapat juga dikatakan bahwa al-ḥawā
adalah keinginan-keinginan rendah, nafsu duniawi, kehendak
jahat dan pemenuhan syahwat, melakukan perbuatan yang
membuat seseorang secara spiritual menjadi rendah. Namun al-
ḥawā juga mengadung makna positif seperti cinta dan mendaki
atau naik. Berdasarkan pengertian singkat ini, al-ḥawā terkesan
dibedakan dengan al-nafs, namun sesungguhnya berhubungan
erat. Al-nafs memiliki kecenderungan, sementara al-ḥawā
merupakan objek atau sasaran kecenderungan al-nafs. Jadi al-
ḥawā selalu berarti nafsu jahat atau kejahatan-kejahatan nafsu.63
Al-Qur’an memberikan karakteristik hawa nafsu sebagaimana
berikut:
1. Al-ḥawā dalam arti terbenam, sebagaimana terbenamnya
bintang di siang hari. Allah swt. berfirman:
َ َ ْ َّ
.‫َوالنج ِم ِإذا ه َوى‬
Artinya:
”Demi bintang ketika terbenam”.64

62
Yūsuf al-Qaraḑāwī, al-Imām al-Ghazālī Bayn Madi’iyuhū wa Naqidiyyuhū
(Kairo: Dār al-Wafa’, 1992), h. 43-44.
63
Al-Ḥawa berbeda dengan an-nafs, namun keduanya berkaitan yang dalam
bahasa Indonesia diterjemahkan menjadi hawa nafsu. Lihat Abū al-Fudā’ Ismāil
ibn Umar ibn Kāsir al-Qarsyi al-Damsiqy, Tafsīr al-Qur’an al-‘Azīm, Juz 1 (t.k.,
Dār Tayyibah lī al-Naḥr wa al-Tauzi‘, 1999), h. 601., menyebut al-ḥawā sebagai
ḥawā an-nafs. Dengan demikian, al-ḥawā adalah suatu kecenderungan dari jiwa,
al-ḥawā adalah sebagian fungsi dari jiwa, Ibid., Juz 3, h. 251.
64
Q.S. al-Najm/ 53: 1.

Konsep Spiritualitas dalam Pendidikan Islam 89


2. Al-ḥawā dalam arti hancur, sebagaimana Allah swt.

َ
ْ َ َ َْ ُْ َ
menghancurkan negeri kaum Luṭh. Allah swt. berfirman:

َ
.‫والمؤت ِفكة أهوى‬
Artinya:
“dan negeri-negeri kaum Luṭh yang telah dihancurkan
Allah”.65

ٌ َ َ ُ ُّ ُ َ
3. Al-ḥawā dalam arti jurang neraka. Allah swt. berfirman:

.‫اوية‬
ِ ‫فأمه ه‬
Artinya:
“maka tempat kembalinya adalah neraka Hāwiyah”.66
4. Hawa nafsu adalah keinginan diri atau keinginan yang
berasal dari diri (al-nafs), yaitu nafsu yang buruk. Hawa
nafsu di samping bertentangan dengan hal-hal yang positif,
juga mendorong kepada kesombongan diri, menolak
kebenaran, menolak keadilan, menolak petunjuk, sesat dan
menyesatkan, mengada-ada dengan larangan dan perintah
Allah swt., menjual agama, melihat kepada yang rendah dan

ُ َ ٌ ُ َ ْ ُ َ َ َّ ُ َ َ
duniawi, sebagaimana firman Allah berikut:

ُ‫ول ب َما لا َت ْه َوى أ ْن ُف ُسكم‬ ‫اءكم رس‬ َ ‫أفكلما ج‬


ِ
َ ُ ُ ْ َ ً َ َ ْ ُ ْ َّ َ ً َ َ ْ ُ ْ َ ْ َ ْ
.‫استكبرتم فف ِريقا كذبتم وف ِريقا تقتلون‬
Artinya:
“Apakah setiap datang kepadamu seorang rasul
membawa sesuatu (pelajaran) yang tidak sesuai dengan
65
Yakni, dalam bentuk kata aḥwā, Q.S. al-Najm/53: 53.
66
Misalnya dalam frase ‫ ةيواه همأف‬dalam Q.S. al-Qāri‘ah/101: 9.

90 Filsafat Pendidikan Islam


keinginanmu lalu kamu angkuh; maka beberapa orang
(di antara mereka) kamu dustakan dan beberapa orang
(yang lain) kamu bunuh? “67
5. Hawa nafsu adalah keinginan yang berasal dari lubuk hati
(al-fu’ād). Keinginan dari dalam diri (nafs) merupakan
keinginan kepada keburukan, sedangkan keinginan dari
lubuk hati merupakan keinginan kepada hal yang positif,

َ َ ّ َ َّ
kecuali jika hati dalam keadaan lalai. Allah swt. berfirman:
َ ْ َْ ْ َ َ َّ ّ ُ ْ ُ ْ ْ َ
‫ع ِعند‬َْ ٍ ‫ربنا ِ ِإن ْي أسكنت ِمن ذ ِري ِتي ِبو ٍاد غي ِر َ ِذي ز ْر‬
ً َ َ ْ َ َّ ُ ‫ك ال ُم َح َّرم َربَّ َنا ل ُيق‬َ َْ
‫يموا الصلاة فاجعل أف ِئدة‬ ِ ِ ِ ‫بي ِت‬
َ ْ ُ ُْ ْ َ ْ ْ َ
َ َّ َْ َّ
‫ِم َن الن‬
‫ات‬ِ ‫اس ته ِوي ِإلي ِهم وارزقهم ِمن الثم َر‬ ِ
َ ُ ُ ْ َ ْ ُ َّ َ َ
.‫لعلهم يشكرون‬
Artinya:
“Ya Tuhan kami, sesungguhnya aku telah menempatkan
sebahagian keturunanku di lembah yang tidak
mempunyai tanam-tanaman di dekat rumah Engkau
(Baitullah) yang dihormati, ya Tuhan kami (yang
demikian itu) agar mereka mendirikan shalat, maka
jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada
mereka dan beri rezkilah mereka dari buah-buahan,
mudah-mudahan mereka bersyukur”. 68
6. Berulang kali disebutkan larangan dan celaan mengikuti
hawa nafsu (al-ḥawā) dan celaan yang lebih keras ditujukan
kepada mereka yang menyembah atau mempertuhankan
67
Q.S. al-Baqarah/2: 87. Al-ḥawā yang merupakan bagian dari an-nafs
ini seringkali ditafsirkan sebagai an-nafs al-ammārah, yakni jiwa lapisan paling
rendah dalam struktur jiwa.
68
Q.S. Ibrāhīm/14: 37.

Konsep Spiritualitas dalam Pendidikan Islam 91


hawa nafsu. Larangan dan celaan ini terjadi karena hawa
nafsu memiliki karakter atau bertentangan dengan
kebenaran, keadilan, kebaikan, petunjuk atau bimbingan,
iman, dan ilmu. Hawa nafsu juga menempati posisi yang
bertentangan atau menentang Allah swt. serta agen-
agen spiritual seperti nabi dan rasul. Mengikuti hawa
nafsu, di samping mengakibatkan tertutupnya rahmat
dan pemeliharaan Allah swt., juga akan mendatangkan

ُ ُ َْ َ ْ َ َ َْ ََْ
kebinasaan. Allah swt. berfirman:

َ‫الن َص َارى َح َّتى َت َّتبع‬ َّ َ


‫ولن ترضى عنك اليهود ولا‬
ِ ْ
َ ْ َ َّ َ َ َ ُ َ ُ َّ َ ُ َّ ْ ُ ْ ُ َ َّ
‫الل هو الهدى ول ِئ ِن اتبعت‬ ِ ‫َ ِملتهم قل ِإن هدى‬
َّ َ َ َ َ ْ ْ َ َ َ َّ َ
َ َْ ُ َ َ ْ
ِ ‫اءه ْم بعد ال ِذي جاءك ِمن ال ِعل ِم ما لك ِمن‬
‫الل‬ ‫أهو‬
َ
.‫ِم ْن َوِل ّي َولا ن ِصير‬
ٍ
Artinya:
“Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang
kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka.
Katakanlah: “Sesungguhnya petunjuk Allah itulah
petunjuk (yang benar)”. Dan sesungguhnya jika kamu
mengikuti kemauan mereka setelah pengetahuan
datang kepadamu, maka Allah tidak lagi menjadi
pelindung dan penolong bagimu”. 69
7. Mengikuti hawa nafsu mengandung pengertian berbuat
kezaliman terhadap diri sendiri. Hal ini, karena mengikuti
hawa nafsu mengakibatkan rusaknya potensi indera dan
spiritual, seperti pendengaran, penglihatan dan hati. Allah
swt. berfirman:
69
Q.S. al-Baqarah/2: 120.

92 Filsafat Pendidikan Islam


ْ ْ َ َ َ َ ْ َ ْ ْ ُ َ ْ َ َ ْ َ َّ َ
َ ‫اءهم من بع ِد ما ج‬
‫اءك ِمن ال ِعل ِم‬ َ ‫َولئن اتبعت أهو‬
ِ ِِ
َ َّ َ ً َ َّ
.‫ِإنك ِإذا ل ِم َن الظا ِل ِمين‬
Artinya:
“Dan sesungguhnya jika kamu mengikuti keinginan
mereka setelah datang ilmu kepadamu, sesungguhnya
kamu kalau begitu termasuk golongan orang-orang
yang ‘alim.70
8. Keadaan yang paling buruk diandaikan oleh al-Qur’an,
yaitu jika kebenaran (al-ḥaq) seharusnya selalu berada
pada struktur atas spiritualitas, justru ditempatkan pada
struktur bawah dan mengikuti hawa nafsu seharusnya
selalu berada pada struktur bawah justru ditempatkan
pada struktur atas. Maka manusia yang mengikut hawa
nafsunya dengan sendirinya berarti mengacaukan struktur
spiritualitas dalam dirinya dan akan merusak segalanya
dalam kehidupan spiritual. Dalam hal ini Allah swt.

َ
َ َ ََ ْ ُ َ َ ْ ُّ َ ْ َ
berfirman:
ُ َ َ َّ َ َّ
‫َول ِو اتبع الحق أهواء َهم لفسد ِت السماوات‬ َ
ْ ُ َ ْ َ ْ َ َّ
ْ‫اه ْم بذكره ْم َف ُه ْم َعن‬ ‫يهن بل أتين‬ ‫ف‬ ‫ن‬ ْ ‫ض َو َم‬ ُ ْ َ
‫والأر‬
ِ ِ ِ ِ ِ ِ
َ ُ ْ ُ ْ ْ
.‫ِذك ِر ِهم مع ِرضون‬
Artinya:
“Andai kata kebenaran itu menuruti hawa nafsu mereka,
pasti binasalah langit dan bumi ini, dan semua yang ada
di dalamnya. Sebenarnya Kami telah mendatangkan

70
Q.S. al-Baqarah/2: 145.

Konsep Spiritualitas dalam Pendidikan Islam 93


kepada mereka kebanggaan mereka tetapi mereka
berpaling dari kebanggaan itu.71
Spiritualitas dibangun dan ditingkatkan dengan mengikuti
jalan kebenaran, keadilan, kebaikan dan petunjuk, sedangkan
hawa nafsu sebaliknya menarik semakin rendah spiritualitas
manusia dengan perhatian yang mengarah pada keinginan-
keinginan rendah. Karena itu, Allah swt. dalam al-Qur’an
senantiasa mengingatkan manusia agar tidak mengikuti
hawa nafsu atau semata-mata keinginan diri, melainkan
menyesuaikan kehendak dan keinginannya dengan mengikuti
kehendak Allah swt. Akibat utama mengikuti hawa nafsu adalah
tidak berfungsinya potensi spiritual dalam kehidupan. Potensi
spiritual yang sudah rusak dengan sendirinya pula akan merusak
keteraturan dan keseimbangan dalam kehidupan manusia
secara keselurūhan. Karena itu, al-nafs sebagai potensi spiritual
yang berperan besar dalam proses pendidikan harus dibina
dengan pembiasaan berbuat baik, sehingga dapat mengekang
hawa nafsu.

c. Potensi Spiritual Kalbu (al-qalb)


Al-qalb secara bahasa, terambil dari akar kata yang
membelokkan sesuatu ke arah lain. Al-qalb dinamakan demikian
karena ia sering berbolak balik, kadang senang, kadang sedih,
suatu saat setuju dan pada saat lain menolak. Sebagaimana
firman Allah swt. berikut:

71
Q.S. al-Mukminūn/23: 71. Langit, adalah simbol struktur atas
spiritualitas; sementara bumi adalah simbol struktur bawah spiritualitas. Jika
struktur ini dibolak-balik oleh manusia dengan mengikuti hawa nafsunya, maka
spiritualitas manusia, dari atas sampai bawah, menjadi kacau dan hancur.

94 Filsafat Pendidikan Islam


ْ َ َّ ْ َّ
َّ ْ ُ ُ ُ ُ ُّ َ ْ َ َ ُ ‫َ َم‬
ِ ‫الل ألا ِب ِذك ِر‬
‫الل‬ ِ ‫ال ِذين آ نوا وتطم ِئن قلوبهم ِب ِذك ِر‬
ُ ُ ُ ْ ُّ َْ
.‫تط َم ِئن القلوب‬
Artinya:
“(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka
menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah,
hanya dengan mengingat Allah-lah hati menjadi
tenteram”.72
Jika al-qalb dipahami sebagai hati secara umum, maka
potensi manusia yang disebut sebagai hati sanubari/hati
kecil dikenal dengan term al-fuād. Kata al-qalb dalam bentuk
tunggal disebutkan sebanyak 19 (sembilan belas) kali dan
bentuk jamaknya disebutkan sebanyak 112 (seratus dua
belas) kali. Dengan demikian, secara keseluruhan berjumlah
131 (seratus tiga puluh satu) kali.73 Setidaknya beberapa ayat
dalam al-Qur’an,74 yang terdiri dari 3 (tiga) buah kata al-fuād
dalam bentuk mufrad. Menurut M. Quraish Shihab, kata al-
fuād biasa dipersamakan dengan al-qalb/hati. 75Hati kecil (hati
72
Q.S. ar-Ra’d/ 13: 28.
73
Abd. al-Bāqi’, al-Mu‘jam, h. 697-700.
74
Ibid., h. 648. Setidaknya ada 16 (enam belas) ayat dalam al-Qur’an, yang
terdiri dari 3 (tiga) buah kata al-fuād dalam bentuk mufrad, yaitu pada Q.S. al-
Isra’/17: 36, Q.S. al-Qalam/28: 10. Q.S. an-Najm/53: 11; kemudian 2 (dua) ayat
dalam bentuk mufrad yang di iḑafah-kan pada ḑāmir ka (fuāduka) yaitu pada Q.S.
Hūd/11: 120 dan Q.S. al-Furqān/25: 32. Selanjutnya al-Qur’an juga menyetir
kata al-fuād dalam bentuk jamaknya (al-af’idah) sebanyak 8 (delapan) ayat yang
terdapat pada Q.S. al-An‘am/6: 11. Q.S. Ibrāhim/14: 37. Q.S. al-Mukminūn/23:
78. Q.S. an-Naḥl/16: 78. Q.S. as-Sajdah/32: 9. Q.S. al-Aḥqāf/46: 26. Q.S. al-
Mulk/67: 23 dan Q.S. al-Humazah/104: 7. Lebih jauh al-Qur’an menyebutkan
kata al-fuād dalam bentuk jamak dan di iḑāfah-kan pada ḑāmir hum (‫ )مه‬sebanyak
3 (tiga) ayat yaitu; Q.S. al-An‘ām/6: 110. Q.S. Ibrāhīm/14: 43 dan Q.S. al-
Aḥqāf/46: 26.
75
M. Quraish Ṣihab, Tafsīr Al-Miṣbah, Vol. 6 (Jakarta; Lentera Hati, 2002),
h. 368.

Konsep Spiritualitas dalam Pendidikan Islam 95


sanubari) adalah al-fu’ād.76 Namun, kata tersebut lebih banyak
diperuntukkan pada ilmu pengetahuan dan kesadaran yang
tinggi dengan menggunakan potensi diri untuk menyingkap
kebenaran informasi, baik dengan pendengaran, penglihatan
dan dengan hati kecil.77 Informasi melalui panca indera diproses
dalam wadah akliah. Akal mengolah informasi tersebut sampai
diyakini dan tak terbantahkan, pada saat ini al-‘aql akan masuk ke
dalam ranah al-fu’ād dan menjadikan suatu keyakinan yang tak
diragukan kebenarannya. Artinya informasi yang telah masuk ke
ranah al-fu’ād merupakan sesuatu yang tak perlu dipertanyakan
lagi, karena sudah menjadi keputusan final. Bahwa hakikat
kebenaran ilmu ditentukan oleh al-‘aql; namun berfungsinya
akal ditentukan oleh hati. Dengan kata lain adanya kebenaran
merupakan sebuah kecerdasan dengan hati.78 Rasulullah saw.
menegaskan bahwa di dalam diri setiap individu terdapat satu
alat yang menentukan arah aktivitasnya, yang disebut dengan
al-qalb (dalam tubuh manusia terdapat sepotong daging yang
jika ia sehat maka seluruh tubuhnya juga sehat, tetapi jika ia
rusak, maka seluruh tubuhnya terganggu, ketahuilah bahwa
organ tubuh itu adalah qalb).79 Al-qalb merupakan suatu
wadah dalam pengajaran, kasih sayang, kegelisahan, takut dan
keamanan. Dengan demikian, al-qalb memang menampung
76
Ragīb al-IṢfahānī, Mu‘jam Mufradāt Alfāz al-Qur’an (Dār al-Fikr, t.t.) h.
383.
77
Abū al-Fudā’ Ismā‘il ibn ‘Umar ibn Kaṣīr al-Qarsyī ad-Damsyiqy, Tafsīr
al-Qur’an al-Aẓim, Jilid 3 (Bairut; Dār al-Fikr, 2003) h.1092, (agar seseorang
tidak taklid atau ẓān terhadap sebuah informasi).
78
Penjelasan materi kuliah Tafsīr Tematik Pendidikan Islam bersama Rif’at
Syauqi Nawāwī, pada PPs IAIN SU Prog. S.3, Hari Jum’at, Tanggal 01 Pebruari
2008.
79
Abū Abdullah ibn Muḥammad Ismāil al-Bukhāri, al-Jāmi’ as-Ṣagīr al-
Mukhtasar, Juz 1 (Beirut: Dār ibn Kaṣīr al-Yamāmah, 1987), h. 68.
... ‫يهو الأ هلك دسجلا دسف تدسف اذإو هلك دسجلا حلص تحلص اذإ ةغضم دسجلا يف نإو‬
‫بلقلا‬.

96 Filsafat Pendidikan Islam


hal-hal yang disadari pemiliknya. Ini berbeda dengan al-nafs
yang menampung sesuatu yang disadari dan yang di bawah
sadar, bahkan yang sudah tidak diingat lagi.80 Ini diperkuat oleh
ayat yang menjelaskan bahwa yang dituntut kepada manusia
untuk dipertanggungjawabkan adalah isi al-qalb bukan al-nafs,

َ َ
َ ْ ُ ُ َُ ْ َ ْ ُ َ ْ ْ َّ َّ ُ ُ ُ َ ُ
sebagaimana firman Allah swt. berikut:

‫اخذكم ِبما‬
ِ ‫اخذكم الل ِباللغ ِو ِفي أيما ِنكم ول ِكن يؤ‬ِ ‫لا يؤ‬
ُ ُ َ
َ ٌ ُ َ َّ َ ْ ُ ُ ْ َ َ
.‫كسبت قلوبكم والل غفور ح ِليم‬
Artinya:
“Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpahmu
yang tidak dimaksud (untuk bersumpah), tetapi Allah
menghukum kamu disebabkan (sumpahmu) yang
disengaja (untuk bersumpah) oleh hatimu. Dan Allah
Maha Pengampun lagi Maha Penyantun”.81
Meskipun al-nafs dan al-qalb sama-sama merupakan ‘sisi
dalam manusia’, tetapi posisi keduanya mempunyai perbedaan.
Al-qalb berada dalam satu kotak tersendiri yang berada dalam
kotak besar al-nafs. Sebagai wadah, al-qalb dapat diisi dan dapat
pula diambil isinya.82 Bahkan al-Qur’an menggambarkan bahwa
ada kalbu yang disegel atau dikunci oleh Allah.83 Wadah al-qalb
dapat diperlebar dengan amal saleh dan olah jiwa,84 dan bisa
dipersempit dengan kejahatan dan kesesatan.85 Dalam beberapa
ayat, al-qalb juga dipahami sebagai ‘alat’.86 Sebagai alat, al-qalb
80
Q.S. Ṭāhā/20: 7.
81
Q.S. al-Baqarah/2: 225.
82
Q.S. al-Hijr/15: 47.
83
Q.S. al-Baqarah/2: 7.
84
Q.S. al- Hujurāt / 49: 3.
85
Q.S. al-An‘ām/6: 125.
86
Q.S. al-A‘raf/7: 179.

Konsep Spiritualitas dalam Pendidikan Islam 97


dilukiskan pula dengan al-fu’ād.87 Al-Qur’an juga menjelaskan
bahwa Allah swt. dapat ‘mendinding’ manusia dangan al-qalb-
nya. Hal tersebut bermakna bahwa Allah swt. menguasai al-qalb
manusia, sehingga mereka yang merasakan kegundahan dan
kesulitan, sebagai akibat dari kehidupan di era global,88 namun
manusia dapat bermohon kepada-Nya agar menghilangkan

َْ
kerisauan dan penyakit hatinya, sebagaimana ayat berikut:
ُ َ ْ ُ ََ ْ َ َ ْ ّ ُ ُ ْ َ َّ
‫اء َو َيق ِد ُر َوف ِرحوا ِبالحي ِاة‬
َ ‫الرزق ِلمن يش‬ ِ ْ ‫الل يبس‬
‫ط‬
ٌ َ َ َ ْ ُّ ُ َ َ َ َ َ ْ ُّ
.‫الآخ َر ِة ِإلا متاع‬ِ ‫الدنيا وما الحياة الدنيا ِفي‬
Artinya:
“Allah meluaskan rezeki dan menyempitkannya bagi
siapa yang Dia kehendaki. Mereka bergembira dengan
kehidupan di dunia, padahal kehidupan dunia itu
(dibanding dengan) kehidupan akhirat, hanyalah
kesenangan (yang sedikit)”.89
Kedudukan hati sebagai pusat spiritualitas, menunjukkan
pentingnya al-qalb dalam keseluruhan aktivitas pendidikan.
Dalam al-Qur’an al-qalb menjadi lokus berbagai perlakuan,
karena al-qalb menempati sentralitas manusia sebagai individu.
Karena itu, sesuai dengan makna bahasanya, al-qalb mengalami
proses yang senantiasa berubah-ubah, tergantung dari
bagaimana manusia memperlakukan hatinya untuk menerima
atau menolak berbagai perlakuan yang diterimanya. Hukum
moral dan spiritual yang ditetapkan Allah swt. sepenuhnya
berlaku dalam hati manusia. Al-Qur’an menjelaskan prilaku
batiniah manusia sebagai penggambaran keadaan hati yang
87
Q.S. al-Naḥl/16: 78.
88
Q.S. al-Anfāl/8: 24.
89
Q.S. al-Ra‘d/13: 28.

98 Filsafat Pendidikan Islam


mewakili keadaan ke arah berbuat baik dan yang sudah dalam
keadaan baik, dengan berbagai situasi dan kondisi kejiwaan
sebagai berikut:
1. Hati yang menyimpan kecenderungan baik, sehingga
condong menerima kebaikan, sebagaimana firman Allah

َ َ َ ْ َ َ ُ ُ ُ ُ ْ َ َ ْ َ َ َّ َ َ ُ َ ْ
swt. berikut:

َ
‫الل فقد صغت قلوبكما و ِإن تظاهرا‬ ِ ‫ِإن تتوبا ِإلى‬
َ ْ
ْ ُ ُ َ َ ُ ْ َ ُ ْ َ َ ُ َّ َّ َ ْ َ َ
‫علي ِه ف ِإن الل هو مولاه و ِجب ِريل وصا ِلح المؤ ِم ِنين‬
ٌ.‫ك َظهير‬َ َ َ َْ ُ َ َ
ْ
َ
ِ ‫لائكة بعد ذ ِل‬
ِ ‫والم‬
Artinya:
“Jika kamu berdua bertobat kepada Allah, maka
sesungguhnya hati kamu berdua telah condong (untuk
menerima kebaikan); dan jika kamu berdua bantu-
membantu menyusahkan Nabi, maka sesungguhnya
Allah adalah Pelindungnya dan (begitu pula) Jibril dan
orang-orang mukmin yang baik; dan selain dari itu
malaikat-malaikat adalah penolongnya pula”.90
2. Hati orang kafir yang dicengkeram rasa takut karena
melakukan tindakan syirik yang mengundang siksa neraka,

ُ َْ َ َ َ َ َّ ُُ ُْ َ
sebagaimana ayat al-Qur’an berikut:

َ َ ْ ُّ ُ
‫وب ال ِذين كفروا الرعب ِبما أشركوا‬ ِْ ‫سنل ِقي ِف َي قل‬
َْ َ ُ َّ ُ ُ َ ْ َ َ ً َ ْ ُ َّ َّ
‫الل َما ل ْم ُين ِزل ِب ِه سلطانا ومأواهم النار و ِبئس‬ِ ‫ِب‬
َ َّ ْ َ
.‫مث َوى الظا ِل ِمين‬
90
Q.S. at-Taḥrīm/66: 4.

Konsep Spiritualitas dalam Pendidikan Islam 99


Artinya:
“Akan Kami masukkan ke dalam hati orang-orang kafir
rasa takut, disebabkan mereka mempersekutukan Allah
dengan sesuatu yang Allah sendiri tidak menurunkan
keterangan tentang itu. Tempat kembali mereka ialah
neraka; dan itulah seburuk-buruk tempat tinggal orang-
orang yang zalim”. 91
3. Allah juga yang memasukkan rasa takut ke dalam hati,

ُُ
sebagaimana ayat al-Qur’an berikut:

َ ْ ُّ ُ َ َ ََ
.‫وب ِهم الرعب‬
ِ ‫… وقذف ِفي قل‬
Artinya:
“Dia memasukkan rasa takut dalam hati mereka”.92
4. Hati yang menyimpan rasa penyesalan yang ditimbulkan

ُُ ً َ ْ َ َ َ َّ َ َ ْ َ
oleh Allah di dalamnya, sebagaimana ayat al-Qur’an berikut:
ْ ُ َّ َ ْ
‫وب ِهم والل يحيي‬
ِ ‫ِليجعل الل ذ ِلك ح ُسرة ِفي قل‬
ِ َ َ ْ َ َ َّ َ ُ ُ َ
ٌ.‫ون َبصير‬ ‫وي ِميت والل ِبما تعمل‬
ِ
Artinya:
“yang demikian itu, Allah menimbulkan rasa penyesalan
yang sangat di dalam hati mereka. Allah menghidupkan
dan mematikan. Dan Allah melihat apa yang kamu
kerjakan”.93
5. Hati yang bergetar karena mengingat Allah dan bertambah
iman dan tawakkalnya kepada Allah ketika dibacakan ayat-
ayat-Nya, sebagaimana ayat al-Qur’an berikut:
91
Q.S. Ali Imrān/3: 151.
92
Q.S. al-Aḥzāb/33: 26.
93
Q.S. Ali Imrān/3: 156.

100 Filsafat Pendidikan Islam


َّ َ ُ ْ ْ َّ
ُ ُ ُ ْ َ َ َّ َ ُ َ َ
ْ‫وب ُهم‬ َ
‫ِإنما ال ُمؤ ِمنون ال ِذين ِإذا ذ ِكر الل و ِجلت قل‬
َ ْ ُ َْ َ ُ ُ َ ْ ََْ ْ َ ُ َ َ
ْ‫يم ًانا َو َع َلى َر ّبهم‬
ِِ ‫و ِإذا ت ِليت علي ِهم آياته زادتهم ِإ‬
َ ُ َّ َ َ َ
.‫يتوكلون‬
Artinya:
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah
mereka yang apabila disebut nama Allah gemetarlah
hati mereka, dan apabila dibacakan kepada mereka
ayat-ayat-Nya bertambahlah iman mereka (karenanya)
dan kepada Tuhan-lah mereka bertawakal”.94
6. Hati orang yang beriman, yaitu hati yang tenang atau
ditenangkan (ṭuma’nīnah), misalnya oleh kabar gembira

ُ ُ ُ ُ َّ َْ َ ْ ُ َ َ ُْ َّ ُ َ َ َ َ َ
(busyrā) dari Allah, sebagaimana ayat berikut:

ْ َ
‫وما جعله الل ِإلا بشرى لكم و ِلتطم ِئن قلوبكم ِب ِه‬
َْ َ ْ َّ ْ ْ ْ َّ َ
ِ ‫َوما النص ُر ِإلا ِمن ِعن ِد‬
ِ ‫الل الع ِز ِيز الح ِك‬
.‫يم‬
Artinya:
“Dan Allah tidak menjadikan pemberian bala-
bantuan itu melainkan sebagai kabar gembira
bagi (kemenangan) mu, dan agar tenteram hatimu
karenanya. Dan kemenanganmu itu hanyalah dari Allah
Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”. 95
7. Hati orang beriman dapat tenang karena mengingat Allah
dan Allah menanamkan ketenangan (sakīnah) di dalamnya,
sebagaimana ayat berikut:

94
Q.S. al-Anfāl/8: 2.
95
Q.S. Ali Imrān/3: 126.

Konsep Spiritualitas dalam Pendidikan Islam 101


ْ َ َّ ْ َّ
ْ ُ ُ ُ ُ ُّ َ ْ َ َ ُ ‫َ َم‬
‫الل ألا ِب ِذك ِر‬
ِ ‫ال ِذين آ نوا وتطم ِئن قلوبهم ِب ِذك ِر‬
ُ ُ ُ ْ ُّ ْ َ َّ
.‫الل تط َم ِئن القلوب‬
ِ
Artinya:
“(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka
menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah,
hanya dengan mengingat Allah-lah hati menjadi
tenteram”. 96
8. Hati yang disatukan, sehingga orang menjadi bersaudara,

ُ ْ
sebagaimana ayat berikut:
ُ ََ ً َ َّ َ َ ْ
‫الل ج ِم َيعا َولا تف َّرقوا َواذكروا‬
ُ ِ ‫َواعت ِص ُموا ِبح ْب ِل‬
ُ َّ َ ُ ُ َ َّ َ ْ
ْ‫اء َفأل َف َب ْي َن ُق ُلوبكم‬
ً ‫الل َعل ْيك ْم إ ْذ ك ْن ُت ْم أ ْع َد‬
ِ ‫ِنع َمة‬
ِ ِ َ
ً َ ْ َ ْ ْ ُ ْ َ ْ َ
.‫فأصبحتم ِب ِنعم ِت ِه ِإخوانا‬
Artinya:
“Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali
(agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai,
dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu
dahulu (masa Jahiliah) bermusuh musuhan, maka Allah
mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena
nikmat Allah orang-orang yang bersaudara”.97
9. Hati yang bertakwa (taqwā al-qulūb), yang menyebabkan
seseorang mengagungkan tanda-tanda kebesaran Allah,
sebagaimana ayat berikut:

96
Q.S. ar-Ra‘d/13: 28.
97
Q.S. Ali Imrān/3: 103.

102 Filsafat Pendidikan Islam


ُ ُْ َّ َ َ َ ْ ّ َ ُ ْ َ َ َ َ
َ ‫الل َفإ َّن َها م ْن َت ْق‬
.‫وب‬
ِ ‫ل‬ ‫ق‬ ‫ال‬ ‫ى‬ ‫و‬ ِ ِ ِ ‫ذ ِلك ومن يع ِظم شع ِائر‬
Artinya:
“Demikianlah (perintah Allah). Dan barang siapa
mengagungkan syiar-syiar Allah, maka sesungguhnya
itu timbul dari ketakwaan hati”. 98
10. Hati yang dikuatkan karena telah disucikan dan dihilangkan

ْ ْ ُ ْ َ َ ُْ َ
segala gangguan setan, sebagaimana ayat berikut:
َ َ َ َْ َ َ ْ َّ َ
‫ان لِو ير ِبط على‬
ِ ‫…وي ُذ ِهب عنكم ِرجز الشيط‬
ْ
َ.‫الأق َدام‬ َ ََُّ ْ ُُ
‫وبكم ويث ِبت ِب ِه‬
ِ ‫قل‬
Artinya:
“dan menghilangkan dari kamu gangguan-gangguan
setan dan untuk menguatkan hatimu dan memperteguh
dengannya telapak kaki (mu)”. 99
11. Hati yang dihilangkan panasnya oleh Allah, sebagaimana

ُ ُ َ ْ َ ْ ُْ َ
ayat berikut:

ُ‫الل َع َلى َم ْن يَ َشاء‬


َّ ُ ُ َ َ ْ
‫وب ِهم ويتوب‬
ِ ‫ويذ ِهب غيظ قل‬
ٌ ‫يم َحك‬ َّ َ
ٌ ‫الل َعل‬
.‫يم‬ ِ ِ ‫و‬
Artinya:
“dan menghilangkan panas hati orang-orang mukmin.
Dan Allah menerima tobat orang yang dikehendaki-Nya.
Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana”. 100

98
Q.S. al-Hajj/22: 32.
99
Q.S. al-Anfāl/8: 11.
100
Q.S. at-Taubah/9: 15.

Konsep Spiritualitas dalam Pendidikan Islam 103


12. Hati menjadi tempat menyembunyikan rahasia diri,
kendatipun Allah swt. pasti mengetahuinya, sebagaimana

َ َّ َ َ َ ُ ُ
ُ‫الل أ ْع َلم‬ َ‫ون بأ ْفواهه ْم َما ل ْي َس في ُق ُلوبه ْم و‬
ayat berikut:

َ
ِِ ِ ِ ِ ِ ‫… ي ْقول‬
َ ُ َ
.‫ِبما َيكت ُمون‬
Artinya:
“Mereka mengatakan dengan mulutnya apa yang tidak
terkandung dalam hatinya. Dan Allah lebih mengetahui
apa yang mereka sembunyikan”.101
Beberapa ayat al-Qur’an di atas menunjukkan bahwa
keadaan-keadaan hati merupakan hasil timbal balik antara
tindakan atau perilaku dan akibat-akibat hukum spiritual yang
secara otomatis mengenainya. Dengan kata lain, keadaan hati
ditentukan oleh dua hal; perbuatan dan hukum spiritual Allah.
Kedua hal tersebut dapat menciptakan keadaan hati yang sehat,
sakit, keras, mati, kuat, lemah, fungsional dan disfungsional.
Karena hukum spiritual itu berjalan otomatis, maka keadaan-
keadaan hati seperti tersebut di atas sepenuhnya tergantung
kepada bagaimana seseorang mengaturnya. Seperti halnya hati
fisik yang kehidupannya tergantung kepada nutrisi dan vitamin
yang relevan bagi kesehatannya; demikian juga hati spiritual
membutuhkan tindakan dan perlakuan moral dan spiritual yang
sesuai, untuk menjamin kesehatan dan kelangsungan hidupnya.
Memperhatikan modus penjelasan al-Qur’an mengenai hati,
sebagaimana diuraikan di atas, tampak sekali bahwa sebagian
besar ayat-ayat al-Qur’an mengungkapkan keadaan-keadaan
hati yang kurang baik karena berbagai bentuk perbuatan yang

101
Q.S. Ali Imrān/3: 167.

104 Filsafat Pendidikan Islam


menodai pusat kehidupan moral dan spiritual. Tampaknya
hanya satu kata kunci untuk menjamin kesehatan hati dan yang
akan menyelamatkan kehidupan hati, yaitu mengikuti cahaya
iman dengan sikap pasrah dan beramal saleh. Sedangkan faktor
yang merusak hati adalah perbuatan menyimpang dari tuntutan
hukum moral dan spiritual. Perbuatan yang menodai pusat
kehidupan moral dan spiritual akan berakibat pada keadaan
hati yang menyimpang dari kebenaran, sehingga sulit mendapat
hidayah, yaitu; hati yang ingkar,102 hati yang rendah atau bersifat
merendahkan,103 hati yang berpaling,104 hati yang keras,105 hati
yang mati,106 hati yang kotor,107 hati yang sakit,108 hati yang
sempit,109 hati yang terkunci,110 dan hati yang terkunci mati,111
hati yang buta tidak melihat tanda-tanda kebesaran Allah swt.,112
hati yang di dalamnya ada keingkaran, sehingga melahirkan
kesombongan,113 sebaliknya, hati orang yang kafir kepada Allah
swt. di hari kemudian akan menyesal ketika nama Allah swt.
disebut-sebut,114 hati yang dikunci mati oleh Allah swt. karena
bertindak kafir, menyebabkan orang tidak dapat mendengarkan

102
Q.S. an-Naḥl/16: 22.
103
Q.S. Al-Fatḥ/48: 26.
104
Q.S. at-Taubah/9: 127.
105
Q.S. az-Zumār/39: 22.
106
Q.S. al-An‘ām/6: 122.
107
Q.S. al-Muṭaffifīn/83: 14.
108
Q.S. al-Baqarah/2: 10.
109
Q.S. al-An‘ām/6: 125.
110
Q.S. an-Nisa’/4: 155.
111
Q.S. al-Baqarah/2: 7.
112
Q.S. al-Ḥajj/22: 46.
113
Q.S. an-Naḥl/16: 22.
114
Q.S. az-Zumār/39: 45.

Konsep Spiritualitas dalam Pendidikan Islam 105


ajaran Allah swt.,115 tidak dapat memahami tanda-tanda Allah
swt.,116 dan tidak dapat mengetahui kebenaran.117 Allah swt.
juga mengunci mati hati orang yang melampaui batas,118 juga
karena mereka memperturutkan hawa nafsu,119 hati yang
menjadi keras seperti batu atau lebih keras lagi, misalnya
karena sebelumnya melanggar janji dan mendapat laknat
Allah swt.,120 hati menjadi semakin keras adalah juga karena
tidak mau merendahkan diri setelah mendapat siksa karena
kesalahan sebelumnya. Akibat selanjutnya, setan menghias
indah segala perilakunya,121 sehingga celakalah bagi orang yang
keras hatinya,122 yaitu hati yang di dalamnya terdapat penyakit
dan Allah swt. menambahkan penyakitnya karena berlaku
dusta. Akibatnya adalah mendapat siksa yang pedih,123 hati yang
menyimpan kecenderungan sesat, yang memilih ayat-ayat yang
samar daripada ayat yang jelas, dengan maksud menyesatkan
orang lain,124 hati orang kafir berada dalam kesesatan,125 hati
yang tertutup, sebuah pengakuan menolak ajaran Allah swt.126
Ada pula hati yang di atasnya Allah swt. meletakkan tutup,
sehingga tidak dapat memahami tanda-tanda kebesaranNya.127
Ada hati yang di atasnya ada penutup karena seseorang

115
Q.S. al-A‘rāf/7: 100.
116
Q.S. al-A’rāf/7: 179.
117
Q.S. ar-Rūm/30: 59.
118
Q.S. Yūnus/10: 74.
119
Q.S. Muḥammad/47: 16.
120
Q.S. al-Baqarah/2: 74.
121
Q.S. al-An‘ām/6: 43.
122
Q.S. az-Zumār/39: 22.
123
Q.S. al-Baqarah/2: 10.
124
Q.S. Ali Imrān/3: 7.
125
Q.S. al-Mu’minūn/23: 63.
126
Q.S. al-Baqarah/2: 88.
127
Q.S. al-An‘ām/6: 25.

106 Filsafat Pendidikan Islam


melakukan perbuatan jahat,128 hati yang menyimpan keraguan
akan kebesaran Allah swt. dan karenanya seseorang berlaku
bimbang,129 hati yang ada nifāq-nya (sifat-sifat kemunafikan)
karena ingkar dan berdusta secara lisan dan perbuatan,130 ada
hati yang dalam keadaan kosong iman,131 tetapi ada pula hati
yang berisikan keimanan yang kuat kepada Allah swt.132 Hati
seseorang menjadi kedap dan kalut, terutama disebabkan
oleh sikap yang dengan sengaja menutupi hatinya dari
cahaya kebenaran. Mata dan telinganya dengan sengaja tidak
difungsikan untuk melihat tanda-tanda kekuasaan Allah swt.
dan untuk mendengarkan ajaran-Nya. Dengan demikian hati
tersebut tidak memiliki kemauan untuk memahami kebenaran,
memahami Allah swt. dan wahyu-Nya. Orang tersebut dengan
sengaja pula mengunci hati dan pikiran, sehingga tak ada
pengaruh cahaya spiritual yang mampu menembus hatinya.
Dari segi penciptaannya hati memang suci dan bersih dari noda
dan karena kesuciannya, hati dapat memancarkan cahaya dan
merupakan pusat masuknya spiritual ilahiah dalam spiritualitas
manusia. Melalui upaya membuka dan memfungsikan kalbu,
seseorang dapat memahami diri sendiri dan orang lain.
Berdasarkan uraian di atas, beberapa fungsi kalbu dapat
dikemukakan sebagai berikut; Pertama, sebagai wadah penerima
perintah melalui nurani (kata hati yang paling dalam). Allah swt.
membimbing, mengarahkan, menjelaskan yang baik dan yang
buruk,133 sehingga seseorang memiliki keyakinan diri dalam
aktivitas hidupnya serta memperoleh ilham yang dibutuhkan

128
Q.S. al-Muṭaffifīn/83: 14.
129
Q.S. at-Taubah/9: 45.
130
Q.S. at-Taubah/ 9: 77.
131
Q.S. al-Māidah/5: 41.
132
Q.S. al-Mujādilah/58: 22.
133
Q.S. at-Tagābun/64: 11.

Konsep Spiritualitas dalam Pendidikan Islam 107


dalam situasi darurat. Kedua, wadah untuk dapat mukāsyafah
(terbukanya gambaran hakikat kebenaran), sehingga seseorang
memiliki pendirian yang kuat, konsisten dalam beribadah
kepada Allah swt. dan merasakan kedamaian dalam jiwanya.134

d. Potensi Spiritual Ruh (al-rūḥ)


Term al-rūḥ berulang sebanyak 21 (dua puluh satu) kali
dalam berbagai tema di dalam al-Qur’an dan menyebar di dalam
18 (delapan belas) surat.135 Satu di antaranya adalah rūḥāniah
yang dipahami sebagai spiritualitas dalam perspektif pendidikan
Islam dan berarti hal yang berhubungan dengan keilahiahan,
bersifat rūḥāniah, diliputi oleh hikmah dan merupakan potensi
manusia yang menjadi kajian psikologi pendidikan Islam.
Pembicaraan tentang al-rūḥ telah diingatkan oleh al-Qur’an
bahwa al-rūḥ adalah urusan Tuhan. Namun dalam ayat tersebut
tidak jelas apa yang dimaksud dengan pertanyaan tentang al-
rūḥ tersebut, apakah esensinya ataukah yang lain, sebagaimana

َ
َ َ َ َُ َْ َ
ayat berikut:

َ‫الرو ُح م ْن أ ْمر َربّي َوما‬


ُ ّ ُ ُ ّ
ِ ِ ِ ‫ُويسألونك ع ِن الرو ِح ق ِل‬
َ ْ ْ َ ْ ُ
. ‫وتيتم ِمن ال ِعل ِم ِإلا ق ِليلا‬
ِ ‫أ‬

134
Q.S. al-Fuṣilat/41: 30.
135
Pemuatannya pada surat Q.S. al-Baqarah, Q.S. al-Naḥl, Q.S. al-Isra’,
sebanyak 2 (dua) kali dan surat Q.S. al-Nisa’, Q.S. al-Māidah, Q.S. al-Hijr, Q.S.
Maryam, Q.S. al-Anbiyā’, Q.S. al-Syu’arā’, Q.S. al-Sajadah, Q.S. Ṣād, Q.S. Ghāfir,
Q.S. al-Syura, Q.S. al-Mujādalah, Q.S. al-Tahrīm, Q.S. al-Ma’ārij, Q.S. an-Nabā’
dan Q.S. al-Qadr, masing-masing 1 (satu) kali. Abd. al-Bāqi’, al-Mu‘jam, h. 413-
414.

108 Filsafat Pendidikan Islam


Artinya:
“Dan mereka bertanya kepadamu tentang rūḥ.
Katakanlah: “Rūḥ itu termasuk urusan Tuhan-ku, dan
tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit”.136
Ayat tersebut di atas belum jelas maksudnya, apakah
ilmu tentang al-rūḥ tersebut ataukah ilmu secara umum.
Kesulitan dalam memahami tentang al-rūḥ juga dikarenakan
ayat-ayat tentang al-rūḥ berbicara dalam berbagai konteks
dan tidak semua berkaitan dengan manusia. Dalam surat al-
Qadr, misalnya, konteks pembicaraannya adalah turunnya
Malaikat dan al-rūḥ pada malam qadar serta konteksnya
adalah pembawa wahyu. Al-Qur’an menggunakan kata al-rūḥ
dalam pengertian yang berbeda-beda, sehingga memberikan
pemahaman yang berbeda pula.137 Di antaranya al-rūḥ dipahami

َ
َ َ ْ ُ َّ
sebagai wahyu, sebagaimana ayat berikut:

َ ْ َ َ ْ َ َ َ ْ ْ
ُ ُ
‫لائكة ِبالرو ِح ِ َمن أم ِر ِه على من يشاء ِمن ِعب ِاد ِه‬ ّ
َ ِ ‫َُين ِز َل الم‬
َ
ُ َّ َ َ َ
.‫ون‬ ‫ق‬ ‫ات‬ ‫ف‬ ‫ا‬ ‫ن‬ ‫أ‬ ‫لا‬ ‫إ‬
َ
‫ه‬ ‫ل‬ ‫إ‬ ‫لا‬
ُ َّ
‫ه‬ ‫ن‬ ‫أ‬ ‫وا‬ ‫ر‬ ُ ‫أ ْن أ ْنذ‬
ِ ِ ِ ِ
Artinya:
“Dia menurunkan para malaikat dengan (membawa)
wahyu dengan perintah-Nya kepada siapa yang
Dia kehendaki di antara hamba-hamba-Nya, yaitu:
“Peringatkanlah olehmu sekalian, bahwasanya tidak
ada Tuhan (yang hak) melainkan Aku, maka hendaklah
kamu bertakwa kepada-Ku”.138

136
Q.S. al-Isra’ /17: 85.
137
Muḥammad Ismāil Ibrāhim, Mu‘jam al-Alfāz wa al-A‘lam al-Qur’aniyyat
(Kairo: Dār al-Fikr al-Arabī, 1968), h. 213.
138
Q.S. al-Naḥl/16: 2.

Konsep Spiritualitas dalam Pendidikan Islam 109


Al-rūḥ dipahami sebagai pembawa wahyu (Malaikat Jibril),

َ َ ُ َ َْ َْ َ ََْ ً َ ْ َ َ َّ َ
sebagaimana ayat berikut:

ْ ُ ْ
‫ون ِهم ِحجابا فأرسلنا ِإليها روحنا‬ ِ ‫فاتخذت ِمن د‬
ً ّ َ ً َ َ َ َ َ َّ َ َ َ
.‫فتمثل لها بشرا س ِويا‬
Artinya:
“maka ia mengadakan tabir (yang melindunginya) dari
mereka; lalu Kami mengutus roh Kami kepadanya, maka
ia menjelma di hadapannya (dalam bentuk) manusia
yang sempurna”. 139
Selanjutnya al-rūḥ dipahami sebagai sesuatu yang membuat

ُ َ
َ َ َ َُ َْ َ
badan menjadi hidup, sebagaimana ayat berikut:
ُ
ْ‫يتم‬ َ َ ّ َ ْ ْ ُ ُّ ُ ُ ّ
‫وت‬
ِ ‫ويس ْألونك ع ِن الرو ِح ق ِل الروح ِمن أم ِر ر ِبي وما أ‬
َ ْ
. ‫ِم َن ال ِعل ِم ِإلا ق ِليلا‬
Artinya:
“Dan mereka bertanya kepadamu tentang roh.
Katakanlah: “Roh itu termasuk urusan Tuhan-ku, dan
tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit”.140
Kata al-rūḥ juga dikaitkan dengan manusia dalam berbagai
konteks, misalnya al-rūḥ sebagai yang dianugerahkan kepada

139
Q.S. Maryam/19: 17.
140
Q.S. al-Isra’/17: 85. Menurut para mufassir klasik, seperti Abd. Allāh
ibn ‘Umar al-Baiḍawī, Anwār al-Tanzīl wa Asrār al-Ta’wīl (Beirut: Dār al-Fikr,
t.t.), h. 382. Menurut Ibn Abbas, rūḥ di sini maksudnya Jibril atau tentara Allah.
Selain pemaknaan tersebut, ada juga yang menafsirkannya dengan al-Qur’an,
atau Nabi Isa atau nyawa binatang, manusia, malaikat dan syetan. Lihat
Sulaiman al-Jāmil, al-Futuhāt al-Ilāhiyyat bī Tauḍih Tafsīr al-Jalalain, Juz 1 (Mesir:
Maktabat al-Taqaddum al-Islāmiyat, t.t.), h. 645.

110 Filsafat Pendidikan Islam


manusia pilihan Allah,141 yang dipahami oleh sebagian pakar
sebagai wahyu yang dibawa Jibril, ada yang dianugerahkan
kepada orang-orang mukmin,142 dan dipahami sebagai
dukungan dan peneguhan batin serta ada yang dianugerahkan
kepada seluruh manusia.143
Mengenai kata al-rūḥ dalam ayat al-Qur’an bahwa al-rūḥ
berarti nyawa, karena dengan ditiupkannya al-rūh, maka ia
menjadi khalqan ākhar (makhluk unik) yang berbeda dengan

َ ْ َ َ َ ً َ ْ ُ َ َ َ َ ْ َ ْ َ َ َ ً َ َ َ َ َ ْ ُّ َ ْ َ َ َّ ُ
makhluk lain, sebagaimana ayat berikut:

‫ثم خلقنا النطفة علقة فخلقنا العلقة م َضغة فخلقنا‬


ً ْ َ ُ َ ْ َ ْ َّ ُ ً ْ َ َ َ ْ َ ْ َ َ َ ً َ َ َ ْ ُ ْ
‫المضغة ِعظاما ف َكسونا ال ِعظام لحما ثم أنشأناه خلقا‬
َ َ ْ ُ َ ْ َّ َ َ َ َ َ َ َ
.‫آخر فتبارك الل أحسن الخا ِل ِقين‬
Artinya:
“Kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal darah,
lalu segumpal darah itu Kami jadikan segumpal daging,
dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang,
lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging.
Kemudian Kami jadikan dia makhluk yang (berbentuk)
lain. Maka Maha Suci lah Allah, Pencipta Yang Paling
Baik”. 144
Dengan demikian nyawa bukan unsur yang menjadikannya
makhluk unik, karena nyawa juga dimiliki makhluk
lain. Selain itu, Jika al-rūh dimaksudkan dengan nyawa
yang membuat hidupnya badan, hal itu kurang tepat, karena

141
Q.S. Ghāfir/40: 15.
142
Q.S. al-Mujādalah/58: 22.
143
Q.S. Ṣād/38: 72.
144
Q.S. al-Mu’minūn/23: 14.

Konsep Spiritualitas dalam Pendidikan Islam 111


kehidupan sudah mulai berproses sejak bertemunya sperma

َ
ُ‫ان م ْن ُن ْط َفة أ ْم َشاج َن ْب َتليه َف َج َع ْل َناه‬ َ ْ َ َ َّ
dengan sel telur, sebagaimana ayat berikut:
َ َْ
ِ ِ ٍ ٍ ِ ‫إنا خلقنا الإنس‬
ً ‫يعا َبص‬ ً َ
.‫يرا‬ ِ ‫س ِم‬
Artinya:
“Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia
dari setetes mani yang bercampur yang Kami hendak
mengujinya (dengan perintah dan larangan), karena itu
Kami jadikan dia mendengar dan melihat”. 145
Sementara itu, al-rūḥ ditiupkan dalam diri manusia setelah
selesai pembentukan fisiknya.146
Hadis tersebut memberikan pemahaman bahwa Allah
swt. menetapkan berbagai ketentuan yang bersamaan dengan
peniupan al-rūḥ ke dalam kandungan yang berusia 4
(empat) bulan. 147 Keterkaitan potensi al-rūḥ dengan
pendidikan bahwa pendidikan adalah usaha sadar
untuk mengoptimalkan potensi manusia agar dapat
melaksanakan tugas kehidupannya dengan baik.
Adapun potensi beramal ibadah yang telah ditetapkan
di alam al-rūh, pengembangannya dilakukan melalui
pendidikan Islam dengan materi tauhid, akhlak, pikih,

145
Q.S. al-Insān/76: 2.
146
Muḥammad ibn Ismāil Abū Abdullah al-Bukhāri al-Ja’fi, al-Jāmi‘ al-Ṣagīr
al-Mukhtasar, Juz 11 (Beirut: Dār ibn Kaṡīr al-Yamāmah, 1987), h. 113.
…ِ‫اللُ إِلَْي ِه َملَ ًكا ِب َْربَع‬ ِ ِ
َّ ‫ث‬ َ ‫ضغَةً ِمثْ َل َذل‬
ُ ‫ك ُثَّ يـَبـَْع‬ ْ ‫ك ُثَّ يَ ُكو ُن ُم‬ َ ‫ني يـَْوًما ُثَّ يَ ُكو ُن َعلَ َقةً ِمثْ َل َذل‬ ِ ِِ
َ ‫َح َد ُك ْم ُْي َم ُع ِف بَطْ ِن أ ُّمه أ َْربَع‬ ِ
َ ‫إ َّن أ‬
‫وح‬ ‫الر‬
ُّ ِ
‫يه‬ ِ
‫ف‬ ‫خ‬ ‫ف‬َ ‫ـ‬ ‫ن‬‫ـ‬ ‫ي‬ ‫ث‬
َُّ ‫د‬
ٌ ‫ي‬ِ‫ع‬ ‫س‬ ‫َو‬ ‫أ‬ ‫ي‬ ِ
‫ق‬ ‫ش‬ ‫و‬ ‫ه‬ُ‫ق‬
‫ز‬ ِ
‫ر‬ ‫و‬ ‫ه‬ُ‫ل‬ ‫َج‬ ‫أ‬
‫و‬ ‫ه‬ُ‫ل‬ ‫م‬ ‫ع‬ ‫ب‬ ‫ْت‬‫ك‬ ‫ي‬ ‫ـ‬ ‫ف‬ ٍ ‫ َكلِم‬.
‫ات‬
ُ ُ ُْ َ ْ ٌّ َ ْ
َ ُ َ ُ َ َ ُ َ ُ َُ َ َ َ
147
Berbagai ketetapan tersebut terdiri dari amal, ajal, rizki dan susah atau
senang, dan ketika telah lahir potensi yang ditetapkan tersebut disebut sebagai
fitrah. Adapun tugas pendidikan yaitu mengoptimalkan berbagai potensi yang
telah ditetapkan.

112 Filsafat Pendidikan Islam


al-Qur’an, hadis, sejarah, filsafat, ilmu-ilmu kealaman
dan ilmu-ilmu sosial. Sehingga dengan pemahaman
keIslaman yang benar, al-rūḥ dapat tetap berada dalam
suasana keilahiahan (bahwa pada masa ‘azalī, 148 telah ada
pengakuan dari setiap al-rūḥ tentang keberadaan Allah swt.
sebagai pencipta yang patut disembah).

e. Potensi Spiritual Fitrah (al-fiṭrah)


Kata fitrah diambil dari kata faṭara yang berarti mencipta.
Mencipta sesuatu pertama kali/tanpa ada contoh sebelumnya.
Kata fitrah berasal dari kata (fī‘il) faṭara yang berarti
“menjadikan”. Menurut konsep Islam, kemampuan dasar/
pembawaan itu dapat disejajarkan dengan istilah fitrah. Secara
etimologis, kata fitrah berarti asal kejadian, bawaan sejak lahir,
jati diri dan naluri manusiawi.149 Dari segi terminologi Islam,
sejumlah interpretasi terhadap kata fitrah dalam al-Qur’an dan
Hadis dikemukakan oleh para ahli.
Berkaitan dengan pembahasan tersebut, M. Arifin
mengemukakan penafsiran ahli ilmu pendidikan terhadap
ayat al-Qur’an dan hadis telah melahirkan berbagai pandangan
yang cenderung kepada nativisme, konvergensi atau bahkan
empirisme dalam ilmu pendidikan.150 Fitrah adalah faktor
kemampuan dasar perkembangan manusia yang dibawa sejak
lahir yang berpusat pada potensi dasar untuk berkembang.
Potensi dasar itu berkembang secara menyeluruh (integral)
148
Semua al-rūḥ ditanya Allah swt. dengan pertanyaan َ‫ت بَِربِّ ُك ْم قَالُوا بـَلَى َش ِه ْدن‬
ُ ‫أَلَ ْس‬.
Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab: “Betul (Engkau Tuhan kami).
Q.S. al-A’raf/7: 172.
149
M. Quraish Shihab, Lentera Hati: Kisah dan Hikmah Kehidupan, Cet. XVII
(Bandung: Mizan, 1999), h. 52.
M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam, Cet. III (Jakarta: Bumi Aksara,
150

1994), h. 88-96.

Konsep Spiritualitas dalam Pendidikan Islam 113


yang menggerakkan selurūh aspek-aspeknya dan saling
berkaitan, satu sama lain saling mempengaruhi menuju ke arah
tujuan tertentu. Aspek-aspek fitrah terdiri dari komponen-
komponen dasar (bakat, insting, karakter, hereditas dan
intuisi) yang bersifat dinamis dan tanggap terhadap pengaruh
lingkungan sekitar, termasuk pengaruh pendidikan.151 Pengaruh
pendidikan termasuk dalam kategori lingkungan. Adanya
peranan lingkungan dalam proses perkembangan manusia yang
telah lahir sesuai dengan sabda Rasulullah saw., bahwa setiap
anak yang lahir membawa potensi (fitrah).152
Al-fiṭrah, menurut konsep Islam dalam hubungannya
dengan lingkungan, ketika mempengaruhi komponen spiritual
manusia tidaklah netral, sebagaimana pandangan empirisme
yang menganggap bayi yang baru lahir sebagai suci bersih
dari pembawaan (potensi) baik dan buruk. Menurut ajaran
Islam, manusia lahir dengan membawa suatu fitrah dengan
kecenderungan yang bersifat permanen. Fitrah akan berinteraksi
secara aktif dan dinamis dengan lingkungan dalam proses
perkembangan manusia. Menurut Hasan Langgulung,153 fitrah
itu dapat dilihat dari dua segi. Pertama, dari segi pembawaan
manusia, yakni potensi mengembangkan sifat-sifat Tuhan pada
dirinya. Kedua, fitrah dapat juga dilihat dari segi wahyu Tuhan
yang diturunkan kepada nabi-nabi-Nya (agama tauhid; Islam).
Jadi, potensi manusia dan agama wahyu adalah suatu “ fitrah” yang
dapat diibaratkan bagai dua sisi mata uang. Ini bermakna bahwa
agama yang diturunkan Allah swt. melalui wahyu kepada para
nabi-Nya adalah sesuai dengan fitrah atau potensi (sifat-sifat)

Ibid. h. 101.
151

Al-Bukhāri al-Ja’fi, al-Jāmi‘, h. 465.


152

…‫كل مولود يولد على الفطرة فأبواه يهودانه أو ينصراه أو ميجسانه‬.


153
Hāsan Langgulung, Beberapa Pemikiran Tentang Pendidikan Islam, Cet. II
(Bandung: Al-Ma’arif, 1995), h. 21-22.

114 Filsafat Pendidikan Islam


asasi manusia. Dari apa yang dikemukakan Hasan Langgulung
tersebut, dapat dipahami bahwa fitrah itu cenderung kepada
kebaikan. Dengan kata lain, manusia pada dasarnya adalah baik
atau memiliki kecenderungan asasi untuk berkembang ke arah
yang baik. Baik menurut Islam adalah bersumber dari Allah
swt. yang bersifat mutlak. Bukan pandangan yang menyatakan
bahwa baik adalah suatu yang bersifat relatif dan bersumber
dari manusia (anthroposentrisme). Dalam kaitannya dengan
pendidikan, meskipun konsep tentang fitrah mirip dengan
naturalisme yang menganggap manusia pada dasarnya baik,
tetapi pendidikan Islam tidak berpandangan negatif. Menurut
Abdurraḥmān Sāleh ‘Abdullah, seorang pendidik muslim selain
berikhtiar meniadakan pelajaran tentang kebiasaan yang tidak
baik, juga mesti berikhtiar menanamkan tingkah laku yang baik,
karena fitrah itu tidak berkembang dengan sendirinya.154
Term ‘al-fiṭrah’ dapat diartikan sebagai “potensi” yang
dimiliki manusia (pendidik dan peserta didik). Umumnya ahli
tafsir-hadis memberikan interpretasi bahwa yang dimaksud
dengan term al-fiṭrah adalah potensi manusia, berupa “naluri
keagamaan”. Bahkan al-Marāghī secara tegas menyebutkan
bahwa term ‘al-fiṭrah’ tidak lain adalah Islam sebagai ‘agama
tauhid’.155 Dalam pertumbuhannya, ‘al-fiṭrah’ itu sendiri dapat
berkembang/berubah sesuai dengan proses pendidikan sebagai
lingkungan yang membinanya. Dengan kata lain, sesuai dengan
konteks hadis bahwa kecenderungan untuk memeluk sesuatu
agama sangat dipengarhhi oleh peran lingkungan, yang dalam
hal ini adalah pendidikan orang tua dalam keluarga. Potensi
154
Abdurraḥmān Sāleh ‘Abdullah, Educational Theory a Quranic Outlook.
Terj. oleh M. Arifin dan Zainuddin: Teori-Teori Pendidikan Berdasarkan al-Quran,
Cet. II (Jakarta: Rineka Cipta, 1994), h. 64.
155
Aḥmad Musṭafā al-Marāghī, Tafsīr Al-Marāghī, jilid 21 (Kairo: al-Bāb
al-Halabī, 1902), h. 45.

Konsep Spiritualitas dalam Pendidikan Islam 115


yang dimiliki manusia di atas, selain dimaksudkan sebagai
‘naluri keagamaan’, yang oleh para fakar tauhid dipahami
sebagai dasar ketuhanan yang harus dikembangkan melalui
pendidikan sebagai wujud empirisnya. Selanjutnya ‘al-fiṭrah’
ditafsirkan oleh pakar pendidikan Islam sebagai potensi ‘daya
akal’ yang telah diberikan Allah swt.
Potensi ‘daya akal’ tersebut sebagaimana dikemukakan
al-Fārābī dalam Osman Bakar,156 daya akal mempunyai posisi
yang paling tinggi, karena ia merupakan ‘basis berpikir’ dalam
menyusun konsepsi-konsepsi. Penyusunan konsepsi tersebut
tidaklah mungkin terjadi tanpa adanya ‟masukan informasiˮ
dari luar (empiris) melalui penginderaan, imajinasi dan
kemudian proses berpikir. Karena itu, faktor empiris memegang
peranan penting sebagai pemberi input bagi ‘berfungsinya’ daya
akal tersebut.
Berdasarkan gambaran di atas, dapat diasumsikan bahwa
meskipun pengertian awal dari term ‘al-fiṭrah’ itu lebih
cenderung bersifat teologis, namun pengertian tersebut dapat
dikembangkan ke dalam pengertian yang lebih umum, bahwa
setiap anak memang telah dilahirkan dengan disertai oleh
bakat/pembawaannya sejak lahir. Bakat/pembawaan tersebut
kemudian tidak terlepas dari pengaruh lingkungannya. Di sisi
lain, kecenderungan nuansa teologis yang ditawarkan konsep
pendidikan Islam dalam memberikan pengakuan terhadap
potensi manusia dan lingkungannya, menunjukkan bahwa
pandangan pendidikan Islam mempunyai implikasi yang lebih
mendalam dari pandangan yang diberikan aliran nativisme
dan empirisme. Apabila aliran empirisme melihat bahwa faktor
‘penentu’ dari pengetahuan manusia adalah faktor lingkungan,
156
Osman Bakar, Hirarki Ilmu dalam Rangka Membangun Kerangka Pikir
Islamisasi Ilmu (Bandung: Mizan, 1997), h. 67.

116 Filsafat Pendidikan Islam


dalam hal ini pendidikan dan pengalaman empirik, maka konsep
pendidikan Islam melihat bahwa faktor tersebut hanyalah
merupakan sebagian faktor penting, namun bukanlah menjadi
‘penentu’ atau faktor satu-satunya bagi pengetahuan manusia.
Selain itu, aliran empirisme, karena latar belakang
materialisme sebagai ‘induk’ pemikirannya, hanya melihat
lingkungan terbatas pada unsur luar manusia yang terwujud
dalam interaksi manusia dengan sesamanya, antara
manusia dengan alam lingkunganya, namun ia tidak melihat
bahwa terdapat unsur eksternal lainnya yang sesunguhnya
berpengaruh melebihi interaksi sesama manusia dan alam
lingkungan, yaitu kekuasaan Allah swt. Demikian pula dengan
aliran nativisme yang hanya melihat potensi manusia terbatas
pada faktor hereditas/pembawaan dan bakat. Sedangkan
konsep pendidikan Islam lebih jauh lagi melihat bahwa dalam
potensi tersebut terdapat pula apa yang disebut sebagai ‘naluri
keagamaan’. Dengan perbedaan titik tekan serta tujuan antara
konsep pendidikan Islam dan konsep yang ditawarkan dua
aliran filsafat pendidikan di atas, maka antara ketiganya tentu
sangat sulit untuk dipertemukan.
Melalui pemahaman terhadap konsep manusia yang
‘berimbang’ baik secara internal (pembawaan) maupun ekternal
(lingkungan), pendidikan Islam telah menempatkan posisi
manusia secara relevan dengan perkembangan internal dan
hubungannya dengan aspek eksternal, yang selama ini menjadi
bahan perdebatan dan polemik antara aliran nativisme dan
empirisme. Keseimbangan tersebut, tidak berarti mengurangi
sisi kelebihan atau memperdalam kelemahan yang ada pada sisi
internal maupun eksternalnya, melainkan menempatkannya
ke dalam konteks yang sesungguhnya. Faktor internal yaitu
potensi yang terwujud dalam faktor pembawaan, tidak berarti

Konsep Spiritualitas dalam Pendidikan Islam 117


dinafikan atau dihilangkan kelebihannya. Keberadaanya diakui,
namun faktor pembawaan bukanlah ukuran segala-galanya
dalam proses pertumbuhan dan perkembangan pengetahuan
manusia. Demikian pula faktor eksternal yang wujud dalam
pengaruh lingkungan, juga bukanlah faktor yang secara ‘mutlak’
menentukan pertumbuhan dan perkembangan pengetahuan
manusia.
Pandangan empirisme dan nativisme, tidak terlepas dari
pembahasan tentang ‘hakekat’ spiritualitas manusia. Pandangan
tersebut akan memunculkan bagaimana posisi dan eksistensi
dari potensi manusia, di samping interaksinya dengan faktor
lingkungan. Keterkaitan dengan faktor lingkungan, dikarenakan
‘hakikat’ potensi spiritual manusia tidak mungkin lepas dari
faktor lingkungan yang menjadi unsur ‘pembedanya’. Secara
terminologis, hakekat itu sendiri adalah realitas sesuatu atau
eksistensi suatu. Kenyataan eksistensi sesuatu yang sebenarnya,
bukan secara semu atau temporer atau bukan pula kondisi
labil.157
Dapat dikemukakan bahwa aliran-aliran pemikiran dalam
pendidikan konvensional yang lahir kemudian, merupakan
aliran yang lahir dari pengaruh atau paling tidak pengembangan
pemikiran dari aliran-aliran di atas, baik itu aliran empirisme
maupun nativisme. Aliran empirisme misalnya, banyak
dipengaruhi oleh pandangan-pandangan dan gagasan dari
aliran materialisme. Pandangan aliran materialisme tentang
obyek pengetahuan dan realitas alam yang membentuk ide-
ide, kemudian menjadi ‘pokok’ dari pandangan aliran filsafat
pendidikan ini. Pokok gagasan tersebut akhirnya diwujudkan
ke dalam suatu paradigma aliran ini, bahwa faktor luar/
ekstern manusia yang dalam hal ini lingkungan merupakan
157
Ahmad Tafsīr, Filsafat Umum (Bandung: Rosdakarya, 1995), h. 32.

118 Filsafat Pendidikan Islam


unsur utama ‘pembentuk’ pengetahuan dalam diri manusia.
Manusia yang walaupun mempunyai potensi rūḥāniah, namun
potensi manusia tersebut tidaklah menentukan pertumbuhan
dan perkembangan manusia dalam proses penerimaan
pengetahuannya. Manusia menurut aliran ini sebagaimana
kertas putih ketika ia dilahirkan (tabularasa) dan akan segera
diisi oleh berbagai catatan dalam berbagai warna dan catatan-
catatan tersebut adalah berupa pengalaman empiriknya.
Karena itu, tingkat kuantitas maupun kualitas manusia dalam
berpengetahuan, sangat ditentukan oleh kuat-tidaknya faktor
eksteren/lingkungan mempengaruhinya.
Berdasar pada pandangan seperti di atas, maka faktor
lingkungan yang dalam hal ini adalah faktor pendidikan
merupakan aspek utama dalam aliran ini. Sebagai faktor
penentu bagi perkembangan, maka pengembangan pendidikan
dan bentuk-bentuknya mendapatkan perhatian besar dari
penganut aliran ini, bahkan berbagai sistem pendidikan
modern kemungkinan besar lahir atas dorongan-dorongan
dari para penganut aliran ini. Pada hakekatnya, pola hubungan
yang dibangun antara faktor pendidikan dan manusia menurut
paradigma aliran ini, seumpama pengisian bermacam-macam
air ke dalam wadahnya. Penguasaan seseorang terhadap
bidang pengetahuan, menurut aliran ini, sangat tergantung
pada bagaimana pendidikan dan pengalaman berpengaruh
padanya. Karena itu, pendidikan yang relevan dan paling efektif
menurut aliran ini adalah pendidikan yang lebih berorientasi
pada pemberdayaan pendidikan dan pengalaman peserta
didik sendiri. Salah satu implikasi yang terjadi dari realisasi
paradigma empirisme, adalah munculnya ‘reduksi’ terus-
terusan atau bahkan ‘penghilangan’ dimensi dan peranan
internal dalam proses pendidikan. Berpijak dari pandangan

Konsep Spiritualitas dalam Pendidikan Islam 119


bahwa faktor ekstern manusia, merupakan faktor penentu, maka
upaya yang dilaksanakan akan terus menerus berorientasi pada
pemberdayaan aspek luar diri manusia. Reduksi dan bahkan
penghilangan dimensi dan peranan internal manusia, justru
akan mendorong dan mengarahkan manusia (peserta didik)
ke arah “sekularisasi” kehidupan dari aspek-aspek rūḥāniah,
terutama naluri keagamaan.
Adapun aliran nativisme, secara umum sangat dipengaruhi
oleh pandangan-pandangan dari aliran idealisme.158 Jika
dilihat dari konsepsi dasarnya tentang hakikat manusia, aliran
nativisme berpandangan bahwa manusia mempunyai potensi
yang menentukan pertumbuhan dan perkembangan dalam
proses penerimaan pengetahuan. Potensi tersebut merupakan
‘gabungan’ dari hereditas orang tuanya maupun ‘bakat/
pembawaan’ yang berasal dari dirinya sendiri. Kontribusi
lingkungan baginya tidaklah membawa konsekuensi apa-
apa terhadap pengetahuan manusia.159 Potensi manusia yang
terwujud dalam bakat/pembawaan itulah yang merupakan
hakikat dari manusia dan ia tidaklah dapat dirubah oleh
pengaruh lingkungan.160 Dengan potensi ini, faktor lingkungan
tidaklah berpengaruh pada proses penerimaan pengetahuan
dan pendidikan manusia. Gagasan dari konsep ini bahwa alam
semesta termasuk manusia, berjalan dan ditentukan oleh faktor
“kemauan” sebagai hakikat sesuatu. Hakikat manusia menjadi
gagasan umum tokoh-tokoh nativisme, yaitu kemauan yang
terwujud ke dalam bakat dan pembawaan. Faktor hereditas dan
pembawaan manusia dipandang sebagai hal yang urgen dan
158
Muhammad Noor Syam, Filsafat Pendidikan dan Dasar Filsafat
Kependidikan Pancasila, Cet. 4 (Surabaya: Usaha Nasional, 1986), h. 43.
159
Tadjab, Ilmu Jiwa Pendidikan, Cet. 1 (Surabaya: PT Karya Adhitama,
1994), h. 21.
160
Noor Syam, Filsafat Pendidikan. h. 42.

120 Filsafat Pendidikan Islam


menentukan. Juga dianggap sebagai ‘ciri khas’ dari kepribadian
manusia dan bukanlah hasil dari pendidikan, karena kalau
merupakan hasil dari pendidikan, maka tentu faktor eksternal
(lingkungan) sangat berperan terhadapnya. Hal Ini sangat
bertentangan dengan pandangan dasar aliran filsafat nativisme.
Dengan demikian sangat berkaitan dengan faktor hereditas
dan pembawaan. Karena ia menjadi ‘format’ sekaligus ‘modal
utama’ dari tingkat pendidikan tersebut. Seorang yang berbakat
dan mempunyai pembawaan yang rendah dalam suatu bidang
pengetahuan, maka ia tidak akan pernah menguasai bidang
pengetahuan tersebut walaupun ia telah berupaya semaksimal
mungkin.
Melalui pandangan-pandangan sebagaimana di atas, aliran
nativisme dituduh sebagai aliran filsafat yang mengabaikan
aspek pendidikan, bahkan disebut aliran pesimisme. Namun
apabila dilihat secara lebih mendalam, julukan ‘pesimisme’
terhadap aliran nativisme ini tidaklah tepat secara keseluruhan.
Beberapa hal dari pandangan-pandangan aliran ini justru
merupakan pendorong bagi berbagai upaya preventif terhadap
bakat dan pembawaan yang merupakan potensi manusia.
Upaya-upaya preventif tersebut adalah perencanaan yang lebih
matang dalam memilih program pendidikan dan tingkatannya.
Karena bakat dan hereditas manusia merupakan penentu dari
pertumbuhan dan perkembangan pengetahuan manusia. Maka
manusia mempunyai ketergantungan sangat mutlak terhadap
aspek-aspek tersebut. Dengan demikian, konsep pendidikan
yang efektif dan efisien menurut aliran ini adalah konsep
pendidikan yang berjenjang, bertahap dan bersifat selektif serta
lebih berorientasi pada pemberdayaan bakat/potensi peserta
didik. Manusia mempunyai bakat dan hereditas berbeda-beda.
Karena itu, pendidikan dan prosesnya haruslah dimulai dari

Konsep Spiritualitas dalam Pendidikan Islam 121


bakat dan hereditas yang berbeda-beda ini. Dengan perencanaan
dan seleksi yang matang, maka akan ditemukan berbagai
metode dan fasilitas pendidikan yang relevan bagi peserta
didik, berdasarkan pada potensinya tersebut. Dengan demikian,
terciptalah upaya yang lebih dini dalam merealisasikan dan
menemukan bakat dan hereditas peserta didik, sekaligus
menemukan pula metode pengembangannya.
Pada konsep pendidikan nativisme, sesungguhnya terdapat
rasa optimisme yang tinggi. Terlihat dari asumsi dasar bahwa
ketidakberdayaan/ketidakmampuan peserta didik bukan
berarti tidak mempunyai bakat/pembawaan. Ada kalanya
bakat/pembawaan peserta didik tidak ditemukan dalam satu
bidang tertentu, namun kemudian ia ditemukan di bidang yang
lain. Dengan demikian, orang tua khususnya dan para pendidik
umumnya, akan terus berupaya memantau perkembangan
bakat/pembawaan peserta didik. Upaya orang tua dan pendidik
yang kontinyu tersebut lambat-laun akan berhasil pula
menemukan bakat/pembawaan peserta didik yang relevan.
Kenyataan optimisme di sini, tentunya kontradiktif apabila
dikaitkan dengan julukan pesimisme orang terhadapnya.
Sesuai dengan konsep pendidikan aliran nativisme, yang
menekankan bahwa bakat/pembawaan merupakan faktor
penentu dan tidak dapat dirubah, maka realisasi dari konsep
pendidikan yang ditawarkannya adalah berupaya menemukan
bakat/pembawaan peserta didik, melalui berbagai pelatihan
dengan berbagai metode. Karena itu, efektivitas dan efisiensi
metode-metode memegang peranan penting dalam proses
“menemukan” bakat dan pembawaan. Pada akhirnya, konsep
pendidikan aliran nativisme dalam penerapannya terwujud ke
dalam semboyan yang menjadi doktrin intinya yaitu motivasi,
mencoba dan menemukan. Motivasi merupakan unsur penting

122 Filsafat Pendidikan Islam


bagi orang tua dan pendidik untuk terus-menerus berupaya
menemukan bakat/pembawaaan peserta didik. Mencoba
merupakan proses terapi yang terealisir ke dalam penggunaan
berbagai metode penemuan bakat/pembawaan dan menemukan
bakat/pembawaan, sebagai hasil akhirnya.
Kendala penerapan teori nativisme berkaitan dengan
pengaplikasian semboyan (motivasi, mencoba dan menemukan).
Kendala yang berkenaan dengan tenaga edukatif, berhubungan
erat dengan proses motivasi, mencoba dan menemukan.
Unsur menonjol dari pengaplikasian semboyan di atas adalah
penggunaan metode-metode. Hanya tenaga edukatif yang
menguasai metode-metode terkait dan profesional di bidangnya
yang akan mampu melaksanakannya. Adapun kendala yang
berkenaan dengan fasilitas pendidikan, berhubungan erat
dengan aspek finansial yang mendukung proses pendidikan
yang dijalankan oleh tenaga edukatif. Dalam realitasnya,
pandangan aliran ini sangat bertentangan dengan pandangan
aliran empirisme. Namun demikian, terdapat satu inti
persamaan bahwa pendidikan yang berdasarkan teori manapun
memiliki peranan penting dalam kehidupan manusia, walaupun
keduanya mempunyai titik tekan dan orientasi yang berbeda.

Konsep Spiritualitas dalam Pendidikan Islam 123


[halaman sengaja dikosongkan]

124 Filsafat Pendidikan Islam


SPIRITUALITAS GURU PENDIDIKAN
ISLAM

S
piritualitas dalam kajian pendidikan Islam adalah
berfungsinya komponen nafsāniah (al-‘aql, al-qalb dan
al-nafs) dan komponen rūḥāniah (al-rūḥ dan al-fiṭrah)
guru pendidikan Islam dalam melaksanakan pendidikan dan
pembelajaran. Menurut Baharuddin, aktivitas komponen
nafsāniah dan rūḥāniah dapat berubah-ubah dan pada
gilirannya akan menghasilkan tingkah laku yang berbeda-beda
pula, sesuai dengan situasi dan kondisi komponen nafsāniah (al-
‘aql, al-qalb, al-nafs) dan rūḥāniah (al-rūḥ dan al-fiṭrah).1 Untuk
lebih memahami tentang komponen nafsāniah dan rūḥāniah
guru, perlu diketahui hakikat,2 yaitu hakikat spiritualitas guru
sebagai individu, sebagaimana dikemukakan dalam al-Qur’an.
Eksistensi aspek nafsāniah dan rūḥāniah yang terbina,
dalam pendidikan Islam adalah perwujudan spiritualitas dalam
diri seorang guru. Spiritual merupakan potensi yang dapat

1
Baharuddin, Paradigma Psikologi Islami, Studi Tentang Elemen Psikologi dari
al-Qur’an, cet 2 (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), h. 230.
2
Hakikat mengandung makna sesuatu yang tetap, tidak berubah-
ubah, yaitu identitas esensial yang menyebabkan sesuatu menjadi dirinya dan
membedakannya dari yang lain. Lihat Murād Wahbah, dkk., al-Mu‘jam al-Falsafī
(Kairo: al-Tsaqāfat al-Jadīdat, 1971), h. 84.

125
dibina dan dikembangkan melalui pembinaan intelektualitas,
pengendalian emosional dan pengamalan ibadah wajib serta
ibadah sunnah, sehingga melahirkan spiritualitas dalam diri
seorang guru. Dalam perspektif pendidikan Islam, eksistensi
spiritualitas guru dapat dilihat dari aktualisasi daya-daya
nafsāniah dan rūḥāniah pada berbagai aktivitas pendidikan
dan pembelajaran. Daya-daya nafsāniah dan rūḥāniah yang
tumbuh dan berkembang dengan baik, akan melahirkan
eksistensi spiritualitas yang tinggi dalam diri seorang guru.
Perwujudan spiritualitas guru dapat dilihat dari karakteristik
guru pendidikan Islam sebagai mu‘allim/ustāz, murabbi,
muaddib, mudarris, mursyid, yang memiliki integralitas antara
keilmiahan, pola sikap dan perilakunya dalam pelaksanaan
tugas dan tanggung jawab pendidikan.

1. Spiritualitas Mu’allim/Ustāz
Kata mu‘allim berarti teacher (guru), instructor (pelatih),
trainer (pemandu).3 Sebutan mu‘allim dalam bahasa Arab
adalah isim fā‘il dari ‘allama (mengajar). Dengan demikian,
mu‘allim adalah orang yang menguasai ilmu dan mampu
mengembangkannya serta menjelaskan fungsinya dalam
kehidupan, menjelaskan dimensi teoretis dan praktisnya,
sekaligus melakukan transfer ilmu pengetahuan, internalisasi
dan implementasi (amaliah).
Kata ustāz, berarti guru, professor, gelar akademik, jenjang
di bidang intelektual, pelatih, penulis dan penyair.4 Ustāz adalah
orang yang berkomitmen dengan profesionalitas yang melekat
pada dirinya, sikap dedikatif, komitmen terhadap mutu proses
3
Hans Wehr, A Dictionary of Modern Written Arabic (Beirut: Library Duliban,
1974), h. 637.
4
Ibid., h. 279.

126 Filsafat Pendidikan Islam


dan hasil kerja. Spiritualitas ustāz sebagai pendidik dilihat dari
upayanya dalam mendalami spesifikasi keilmuannya, sehingga
dapat mengimani ayat-ayat Allah swt. dan memahaminya
sesuai bidang keahliannya. Juga melakukan pengembangan
dan inovasi pembelajaran yang berlandaskan pada kesadaran
yang tinggi tentang tugas dan tanggung jawab pendidikan,
untuk menghasilkan out-put pendidikan yang relevan dengan
kehidupan di masa depan.
Adapun karakteristik utama yang ditampilkan mu‘allim /
ustāz dalam pendidikan yaitu kemampuan dalam pengembangan
dan pengendalian dimensi al-‘aql. Perspektif pendidikan Islam,
al-‘aql bukanlah otak, tapi daya pikir dan daya memahami,
daya yang digambarkan memperoleh ilmu pengetahuan dan
memperhatikan alam sekitarnya.5 Dalam berbagai konteks,
al-Qur’an telah menyerukan untuk menggunakan al-‘aql
dan sekaligus memuji orang yang menggunakannya serta
mencela orang yang tidak menggunakannya. Al-Qur’an juga
menganjurkan untuk menggunakan al-‘aql, di antaranya dalam
beriman kepada Allah swt.,6 memahami kitab suci al-Qur’an,7
memahami tanda-tanda kebesaran Allah swt.,8 memahami
proses, perkembangan dan dinamika kehidupan umat manusia,9
pemahaman alam semesta,10 serta dalam konteks moral.11 Al-
Qur’an tidak menjelaskan esensi al-‘aql secara eksplisit, tetapi
dari konteks ayat yang menggunakan akar kata al-‘aql dapat
dipahami sebagai berikut:

5
Q.S. al-A‘raf/7:179.
6
Q.S. Yūnus/10: 100.
7
Q.S. Yūsuf/12: 2.
8
Q.S. al-Ankabūt/ 29: 35.
9
Q.S. Hūd/11:51.
10
Q.S. al-Baqarah/2: 164.
11
Q.S. al-An‘ām/6: 151.

Spiritualitas Guru Pendidikan Islam 127


1. Daya untuk memahami dan menggambarkan sesuatu,

ُ َْ ََ ْ َ ُ َ ْ َ ْ َ
sebagaimana ayat berikut:

َ َّ َ ُ
ِ ‫ْو ِتلك الأمثال نض ِربها ِللن‬
‫اس وما يع ِقلها ِإلا‬
َ َ
.‫العا ِل ُمون‬
Artinya:
“Dan perumpamaan-perumpamaan ini Kami buatkan
untuk manusia; dan tiada yang memahaminya kecuali
orang-orang yang berilmu”.12
2. Daya manusia dalam hal ini berbeda-beda, sebagaimana
diisyaratkan dalam memahami ayat-ayat tentang kejadian
langit dan bumi, silih bergantinya siang dan malam,

َّ ْ َ
sebagaimana ayat berikut:

ْ ْ َ ْ َ َ َ َّ َّ
‫لاف اللي ِل‬ ‫ت‬
ِ ِ ‫اخ‬ ‫و‬ ‫ض‬ِ ‫الأر‬ ‫و‬ ‫ات‬ِ ‫او‬ ‫م‬ ‫الس‬ ‫ق‬ ِ ‫ل‬‫خ‬ ‫ي‬ ‫ف‬ِ ‫ِإ‬ ‫ن‬
َْ َ ْ ْ ْ َ َ ّ ْ ُ ْ َّ
‫ك ال ِتي تج ِري ِفي ال َبح ِر ِبما َينف ُع‬ ِ ‫َوالن َه ِار َوالَفل‬
َ
َ ْ َ َ ْ َ َّ َ َّ َ َ ْ َ َ َ َّ
‫السم ِاء ِمن م ٍاء فأحيا ِب ِه‬ ‫الناس وما أنزل الل ِمن‬
ْ َ َ ُ ّ َّ َ َ َ ْ َ َ ْ َ َ ْ
‫يها ِم ْن ك ِل د َّاب ٍة َوتص ِر ِيف‬ َ ‫ثف‬
ِ ‫الأرض بعد مو ِتها وب‬
ْ َ َ َّ َ ْ َ َّ َ ُ ْ َ َّ َ َ ّ
‫اب المسخ ِر بين السم ِاء والأر ِض‬ ُِ ‫الري ِاح والسح‬ ِ
َ َْ ْ َ َ
.‫ات ِلقو ٍم يع ِقلون‬ ٍ ‫لآي‬
Artinya:
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih
bergantinya malam dan siang, bahtera yang berlayar
di laut membawa apa yang berguna bagi manusia, dan
12
Q.S. al-Ankabūt/29: 43.

128 Filsafat Pendidikan Islam


apa yang Allah turunkan dari langit berupa air, lalu
dengan air itu Dia hidupkan bumi sesudah mati (kering)-
nya dan Dia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan,
dan pengisaran angin dan awan yang dikendalikan
antara langit dan bumi; Sungguh (terdapat) tanda-
tanda (keesaan dan kebesaran Allah) bagi kaum yang
memikirkan”. 13

ُ ُْ َ ُ ََ ُ ُ َ َ
ََ ْ ُ
3. Dorongan keimanan dan moral, sebagaimana ayat berikut:
َ ْ
‫قل تعال ْوا أتل ما ح َّرم َربك ْم عليك ْم أ َلا تش ِركوا ِب ِه‬
ْ ُ ّ َ َ
ُ َ ْ
ْ‫لادك ْم من‬ ْ‫َش ْي ًئا َوبال َوال َديْن إ ْح َس ًانا َولا َت ْق ُت ُلوا أو‬
ِ ِ ِ ِ ِ
َ ََ ْ ُ َ ْ َ َ ْ ُ َّ َ ْ ُ ُ ُ ْ َ ُ ْ َ
‫احش‬ ِ ‫لاق نحن نرزقكم و ِإياهم ولا تقربوا الفو‬ ٍ ‫ِإ ْم‬
َّ ْ َّ ُُ َْ َ َ ََ ََ َ ْ َ
‫َما ظ َه َر ِمنها وما بطن ولا تقتلوا النفس ال ِتي‬
َ
َ ُ ْ َ ْ ُ َّ َ َ ْ ُ َّ َ ْ ُ َ ّ َ ْ َّ َ
.‫ح َّر َم الل ِإلا ِبالح ِق ذ ِلكم وصاكم ِب ِه لعلكم تع ِقلون‬
Artinya:
“Katakanlah: “Marilah kubacakan apa yang
diharamkan atas kamu oleh Tuhanmu, yaitu: janganlah
kamu mempersekutukan sesuatu dengan Dia, berbuat
baiklah terhadap kedua orang ibu bapa, dan janganlah
kamu membunuh anak-anak kamu karena takut
kemiskinan. Kami akan memberi rezeki kepadamu
dan kepada mereka; dan janganlah kamu mendekati
perbuatan-perbuatan yang keji, baik yang nampak di
antaranya maupun yang tersembunyi, dan janganlah
kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah
(membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab)
13
Q.S. al-Baqarah/2: 164.

Spiritualitas Guru Pendidikan Islam 129


yang benar”. Demikian itu yang diperintahkan oleh
Tuhanmu kepadamu supaya kamu memahami (nya)”. 14
Dengan demikian potensi akal dipergunakan untuk belajar,
membuat rumusan kesimpulan dan ‘hikmah’. Potensi akal
mencakup daya memahami, menganalisis, menyimpulkan dan
dorongan moral yang disertai dengan kematangan berpikir.
Begitu pentingnya pengembangan al-‘aql bagi muallim/
ustāz, al-Qur’an memberikan penghargaan yang tinggi
terhadapnya. Al-‘aql merupakan daya pikir seorang mu‘allim/
ustāz, yang dengannya aktivitas transfer ilmu pengetahuan
berlangsung dengan baik. Karena mu‘allim/ustāz dapat memilih
dan memilah materi pelajaran apa yang menjadi perioritas bagi
peserta didik sesuai dengan jenjang pendidikannya dan sesuai
dengan situasi serta kondisi kekinian menuju masa depan.
Sebagaimana ungkapan Ibrahim Madkūr,15 dengan al-‘aql
seseorang dapat membedakan yang benar dan yang salah, yang
bersih dan yang kotor, bermanfaat dan mudarat, serta baik dan
buruk. Bagi mu‘allim/ustāz, al-‘aql adalah penahan hawa nafsu,
untuk mengetahui amanah dan beban kewajiban, pengendali
pemahaman dan pemikiran yang selalu berubah sesuai dengan
masalah yang dihadapi, ukuran dalam membedakan antara
hidayah dan kesesatan serta kesadaran batin yang berdaya
tembus melebihi penglihatan mata.16
Spiritualitas mu‘allim/ustāz sebagai pendidik yaitu seorang
guru yang memiliki ilmu pengetahuan tentang al-‘Ālim. Sebagai
ilmuan yang memiliki pengetahuan tentang Allah swt., manusia
14
Q.S. al-An‘ām/6: 151.
15
Ibrāhim Madkūr, al-Mu‘jam al-Falsafī (Kairo: al-Haiat al-Ammar lī al-
Syū’ūn al-Maṭba’ al-Amiriyāt, 1979), h. 120. Lihat juga Jāmil Saliba, al-Mu‘jam
al-Falsafī, Juz 2 (Beirut: Dār al-Kitab al-Lubnānī, 1979), h. 84-91.
16
Abbas Maḥmūd al-’Aqqad, al-Insān fī al-Qur’ān al-Karīm (Kairo: Dār al-
Islam, 1973), h. 22.

130 Filsafat Pendidikan Islam


dan alam semesta serta berbagai makhluk ciptaan-Nya (fisik
dan non fisik), seorang mu‘allim/ustāz diharapkan berperan
besar dalam mengembangkan potensi akal yang dimiliki peserta
didik, sehingga dengan akal yang cemerlang, peserta didik dapat
mengetahui hal-hal yang diketahui mu‘allim/ustāz.

2. Spiritualitas Mudarris
Kata Mudarris, berarti teacher atau guru, instructor atau
pelatih, lecture atau guru.17 Mudarris adalah orang yang memiliki
kepekaan intelektual dan informasi serta pengembangan
pengetahuan dan keahliannya secara berkelanjutan, berusaha
mencerdaskan peserta didiknya, serta melatih keterampilan
sesuai minat, bakat dan kemampuannya. Spiritualitas mudarris
sebagai pendidik dilihat dari upayanya dalam mencerdaskan,
melatih keterampilan sesuai minat, bakat dan menyajikan
berbagai informasi baru untuk pengembangan kreativitas
peserta didik. Adapun karakteristik utama yang ditampilkan
mudarris dalam pendidikan Islam yaitu kemampuan dalam
pengembangan dan pengendalian potensi fitrah peserta didik.
Fitrah adalah potensi diri yang dapat berkembang untuk
lebih baik, erat kaitannya dengan citra manusia yang merupakan
gambaran tentang diri manusia yang berhubungan dengan
kualitas-kualitas asli manusiawi. Kualitas tersebut merupakan
ketetapan Allah swt. yang ada pada manusia sejak lahir. Kondisi
citra manusia secara potensial tidak dapat dirubah, sebab
jika berubah maka eksistensi manusia menjadi hilang, namun
secara aktual citra tersebut dapat berkembang sesuai dengan
kehendak dan pilihan manusia itu sendiri.

17
Wehr, A Dictionary, h. 279.

Spiritualitas Guru Pendidikan Islam 131


Fitrah yang baik merupakan citra asli yang dasar (primer),
sedangkan fitrah yang buruk merupakan citra asli yang menjadi
pelengkap (sekunder).18 Fitrah adalah citra asli yang dinamis,
yang ada pada sistem-sistem psikofisik peserta didik dan dapat
diaktualisasikan dalam bentuk tingkah laku. Citra unik tersebut
telah ada sejak awal penciptaannya. Fitrah ini ada sejak masa
azalī dimana penciptaan jasad manusia belum ada. Seluruh
manusia memiliki fitrah yang sama, meskipun prilakunya
berbeda. Fitrah manusia yang paling esensial adalah pengakuan
terhadap keesaan Allah swt.19 dan penyembahan hanya
ditujukan kepada Allah swt.20
Fitrah dapat diartikan dengan: “citra asli yang dinamis,
yang terdapat pada sistem-sistem psikofisik dan dapat
diaktualisasikan dalam bentuk tingkah laku. Citra unik tersebut
telah ada sejak awal penciptaannya.”21 Dari pengertian ini,
sekalipun potensi fitrah merupakan gambaran yang suci, bersih,
sehat dan baik, tetapi dalam aktualisasinya dapat mengaktual
dalam perbuatan buruk. Sebab fitrah bersifat dinamis dan
aktualisasinya sangat tergantung pada keinginan serta
lingkungan yang mempengaruhi peserta didik.
Mudarris sebagai khalifah Allah di muka bumi,22 perlu
memiliki sikap moral atau etika yang harus ditegakkan dalam
18
Fitrah asli manusia itu boleh jadi baik dan boleh jadi buruk, sekalipun
fitrah yang baik merupakan yang primer, sedangkan yang buruk merupakan
skunder. Hal in berbeda dengan Malaikat yang hanya berfitrah baik, atau setan
yang berfitrah buruk, atau hewan dan tumbuh-tumbuhan dan benda-benda mati
lainnya yang tidak ada baik atau buruk pada fitrahnya. Abdul Mūjib, Fitrah dan
Kepribadian Islam: Sebuah Pendekatan Psikologis (Jakarta: Dārul Falah, 1999), h.
8-36.
19
Q.S. al-A‘rāf/7: 172.
20
Q.S. az-Zāriyāt/51: 56.
21
Ibid., h. 8-36. Abdul Mūjib dan Jusuf Mudzakir, Nuansa Nuansa Psikologi
Islam (Jakarta: Rajawali Press, 2001), h. 78-85.
22
Q.S. al-Baqarah/ 2: 30.

132 Filsafat Pendidikan Islam


melaksanakan fungsi kekhalifahannya. Dalam melaksanakan
tugasnya sebagai pendidik, mudarris diharapkan mampu
mengembangkan berbagai potensi peserta didik. Sebab Allah
swt. telah membekali peserta didik dengan seperangkat potensi
(fitrah) berupa al-‘aql, al-qalb dan al-nafs yang aktualisasinya
tidaklah otomatis berkembang, tetapi membutuhkan peran
pendidikan dari mudarris. Untuk itu, Allah swt. menurunkan
wahyu-Nya kepada para Nabi dan Rasul, agar menjadi pedoman
bagi mudarris dalam mengaktualisasikan fitrahnya dan peserta
didik secara utuh, selaras dengan tujuan penciptaanya, sehingga
peserta didik dapat tampil sebagai makhluk Allah swt. yang
tinggi martabatnya.
Mudarris sebagai makhluk paedagogik, yaitu makhluk
yang dilahirkan membawa potensi yang dapat mendidik dan
dididik, sehingga mampu menjadi khalifah di bumi. Mudarris
dilengkapi dengan fitrah, berupa bentuk atau wadah yang dapat
diisi dengan berbagai kecakapan dan keterampilan yang dapat
berkembang sesuai dengan kedudukannya sebagai pendidik.
Pemikiran, perasaan dan kemampuannya berbuat merupakan
komponen dari fitrah. Dapat berpikir, merasa dan bertindak
dan terus berkembang, fitrah inilah yang membedakan manusia
dengan makhluk lainnya. Karena itu, fitrah seorang mudarris
perlu dikembangkan dan pengembangan tersebut senantiasa
dilakukan dalam proses pendidikan dan pembelajaran.
Fitrah memiliki banyak dimensi, di antaranya;
1. Fitrah beragama; bahwa setiap individu sejak lahir
mempunyai naluri beragama, mengakui adanya Maha
Pencipta dan Maha Mutlak, yaitu Allah swt. Sebagaimana
diketahui ketika di alam rūh, manusia telah mempunyai
komitmen bahwa Allah swt. adalah tuhannya,23 sehingga
23
Q.S. al- A‘rāf/7: 172.

Spiritualitas Guru Pendidikan Islam 133


ketika dilahirkan ia berkecenderungan pada al-ḥanīf, yakni
rindu akan kebenaran mutlak Allah swt.24
2. Fitrah intelek; merupakan potensi bawaan yang
mempunyai daya untuk memperoleh pengetahuan dan
dapat membedakan antara yang baik dan yang buruk, yang
benar dan yang salah. Allah swt. memperingatkan manusia
untuk menggunakan fitrah inteleknya, misalnya kalimat;
afalā tadabbarūn, afalā tatafakkarūn, afalā tubṣirūn, afalā
ta‘qilūn dan sebagainya. Fitrah intelek ini yang membedakan
antara manusia dengan hewan.
3. Fitrah sosial; yaitu manusia sebagai makhluk berkebudayaan
yang menjadi ciri khas dalam suatu komunitas sosial.
Kebudayaan ini merupakan cerminan dari eksistensi suatu
masyarakat muslim. Wujud kebudayaan dalam masyarakat
muslim bermacam-macam dan bervariasi, namun idealnya
substansi dari suatu kebudayaan masyarakat muslim
tidak menyalahi ide Islam.25 Karena itu, tugas pendidikan
adalah menjadikan kebudayaan Islam sebagai kurikulum
pendidikan pada seluruh peringkat dan tahapan.26
4. Fitrah susila; yaitu kemampuan untuk menjauhkan diri
dari sifat-sifat yang berlawanan dengan tujuan Allah swt.
menciptakan manusia. Fitrah ini menolak sifat-sifat yang
menyalahi kode etik yang telah disepakati oleh masyarakat
muslim. Orang yang menyalahi fitrah susilanya, akibatnya
menjadi hina.27
5. Fitrah finansial (mempertahankan hidup); yaitu daya
24
Q.S. ar-Rūm/30: 30.
25
Endang Saifuddin Anshari, Agama dan Kebudayaan (Surabaya: Bina Ilmu,
1082), h. 107.
26
Hāsan Langgulung, Pendidikan Islam Menghadapi Abad ke-21 (Jakarta:
Pustaka al-Husna, 1988), h. 135.
27
Q.S. al-Anfāl/8: 55.

134 Filsafat Pendidikan Islam


manusia untuk mempertahankan hidupnya dengan
mengupayakan kebutuhan jasmaniah demi kelangsungan
hidupnya. Fitrah finansial tidak menghendaki adanya
materialisme atau eksploitasi kekayaan alam untuk
kepentingan diri sendiri. Dengan fitrah ini seseorang dapat
memanfaatkan kekayaan alam sebagai realisasi dari tugas-
tugas kekhalifahan dalam rangka beribadah kepada Allah
swt.
6. Fitrah seni; yaitu kemampuan manusia yang dapat
menimbulkan daya estetika, yang mengacu pada sifat
Maha Indah (al-jamāl) Allah swt. Tugas pendidikan yang
terpenting adalah memberikan suasana gembira, senang
dan aman dalam proses pembelajaran, karena pendidikan
merupakan proses pembinaan manusia yang membutuhkan
“seni mendidik”.
7. Fitrah kemajuan; keadilan, kemerdekaan, kesamaan, harga
diri, perkawinan, cinta tanah air dan kebutuhan-kebutuhan
hidup lainnya.
Potensi fitrah dijelaskan oleh al-Qur’an, antara lain:
Pertama; melalui kisah Adam dan Hawa.28 Sebelum kejadian
Adam as., Allah swt. telah merencanakan agar manusia
memikul tanggung jawab kekhalifahan di bumi. Untuk maksud
tersebut di samping tanah (jasmani) dan ruh ilahi (akal dan
ruhani), manusia dianugrahi pula potensi untuk mengetahui
nama dan fungsi benda-benda alam. Dengan potensi tersebut
individu berkemampuan untuk menyusun konsep-konsep,
mencipta, mengembangkan dan mengemukakan gagasan/ide
serta melaksanakannya. Dengan potensi tersebut sekaligus
menyadarkan malaikat akan kekurangannya, yang tadinya
merasa wajar untuk dijadikan khalifah di muka bumi dan
28
Q.S. al-Baqarah/2: 30-39.

Spiritualitas Guru Pendidikan Islam 135


karenanya malaikat bersedia sujud (hormat) kepada Adam.29
Kedua; pengalaman hidup di surga, baik yang berkaitan dengan
kecukupan dan kenikmatannya, maupun rayuan Iblis dan akibat
buruknya. Pengalaman di surga adalah arah yang harus dituju
dalam membangun dunia ini, kecukupan sandang, pangan dan
papan serta rasa aman terpenuhi, sekaligus arah terakhir bagi
kehidupannya di akhirat kelak. Sedangkan godaan Iblis, dengan
akibat yang sangat fatal itu, adalah pengalaman yang amat
berharga dalam menghadapi rayuan Iblis di dunia. Ketiga; al-
Qur’an secara tegas mengemukakan bahwa manusia pertama
diciptakan dari tanah dan ruh ilahi, sedangkan reproduksi
manusia walaupun dikemukakan tahapan-tahapannya, namun
tahapan tersebut lebih banyak berkaitan dengan unsur
materialnya. Isyarat yang menyangkut unsur immaterial
ditemukan antara lain dalam uraian tentang sifat-sifat manusia
dan uraian tentang fitrah, al-‘aql, al-nafs, al-qalb dan al-rūḥ yang
menghiasi manusia.
Merujuk kepada pemahaman terhadap fitrah, bahwa
manusia sejak asal kejadiaannya membawa potensi beragama
yang lurus dan dipahami oleh para ulama sebagai tauhid.30
Namun, fitrah manusia tidak hanya terbatas pada keagamaan.
Sebagaimana Allah swt. menjadikan indah pada (pandangan)
manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu; wanita,
anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda
pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah
kesenangan hidup di dunia dan di sisi Allah-lah tempat kembali

29
M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an, Tafsīr Maudu’i Atas Pelbagai
Persoalan Umat, cet. VII (Bandung: Mizan, 1998), h. 283.
30
Fitrah Allah maksudnya ciptaan Allah. Manusia diciptakan Allah swt.
mempunyai naluri beragama yaitu agama tauhid. Kalau ada manusia tidak
beragama tauhid, maka hal itu tidaklah wajar, mereka tidak beragama tauhid itu
sebagai pengaruh lingkungan.

136 Filsafat Pendidikan Islam


yang baik (surga).31 Manusia berjalan dengan kakinya adalah
contoh fitrah jasadiah, kemampuan menarik suatu kesimpulan
melalui premis-premis adalah fitrah ‘aqliah, bahkan senang
menerima nikmat dan sedih bila ditimpa musibah adalah juga
fitrah. Fitrah yang berkaitan dengan manusia adalah apa yang
diciptakan Allah swt. pada manusia yang berkaitan dengan
jasmani, akal dan ruhnya.

3. Spiritualitas Murabbi
Menurut bahasa, murabbi berasal dari kata rabba yang
artinya mengasuh, mendidik dan memelihara.32 Murabbi adalah
orang yang mendidik dan mempersiapkan peserta didik agar
mampu berkreasi serta mampu mengatur dan memelihara hasil
kreasinya untuk tidak menimbulkan malapetaka bagi dirinya,
masyarakat dan alam sekitarnya. Spiritualitas murabbi sebagai
pendidik yaitu pelaksanaan tanggung jawab untuk mengasuh,
mendidik dan memelihara. Karena itu, sifat-sifat kepengasuhan,
pendidikan dan pemeliharaan (rabbānī) yang ada pada Allah swt.
sedapat mungkin dimiliki pula oleh seorang murabbi, sehingga
dapat menampilkan diri sebagai pendidik yang bijaksana
dalam proses pembelajaran. Adapun karakteristik utama yang
ditampilkan murabbi dalam pendidikan yaitu kemampuan
dalam pengendalian dimensi al-qalb.
Kedudukan hati sebagai pusat spiritualitas murabbi,
menunjukkan pentingnya al-qalb dalam keseluruhan aktivitas
pendidikan. Dalam al-Qur’an al-qalb menjadi lokus berbagai
perlakuan, karena al-qalb menempati sentralitas manusia
sebagai individu. Karena itu, sesuai dengan makna bahasanya,
al-qalb mengalami proses yang senantiasa berubah-ubah,
31
Q.S. Ali Imrān/3: 14.
32
Ibn Manżūr, Lisān al-Arab, juz 9 (Mesir: Dār al-Miṣriyah, 1992), h. 98.

Spiritualitas Guru Pendidikan Islam 137


tergantung dari bagaimana manusia memperlakukan hatinya
untuk menerima atau menolak berbagai perlakuan yang
diterimanya. Hukum moral dan spiritual yang ditetapkan
Allah swt. sepenuhnya berlaku dalam hati murabbi. Al-Qur’an
menjelaskan prilaku batiniah sebagai penggambaran keadaan
hati yang mewakili keadaan ke arah berbuat baik dan yang
sudah dalam keadaan baik, dengan berbagai situasi dan kondisi
kejiwaan sebagai berikut; hati yang menyimpan kecenderungan
baik,33 hati orang kafir yang dicengkeram perasaan takut karena
melakukan tindakan syirik yang mengundang siksa neraka,34
Allah swt. yang memasukkan perasaan takut ke dalam hati,35
hati yang menyimpan rasa penyesalan yang ditimbulkan oleh
Allah di dalamnya,36 hati yang bergetar karena mengingat Allah
dan bertambah iman dan tawakkalnya kepada Allah ketika
dibacakan ayat-ayat-Nya.37 Sedangkan hati orang yang beriman,
yaitu hati yang tenang atau ditenangkan (ṭuma’nīnah), misalnya
oleh kabar gembira (busyrā) dari Allah,38 hati orang beriman
dapat tenang karena mengingat Allah dan Allah menanamkan
ketenangan (sakīnah) di dalamnya,39 hati yang disatukan,
sehingga orang menjadi bersaudara,40 hati yang bertakwa
(taqwa al-qulūb), yang menyebabkan seseorang mengagungkan
tanda-tanda kebesaran Allah,41 hati yang dikuatkan karena

33
Q.S. at-Taḥrīm/66: 4.
34
Q.S. Ali Imrān/3: 151.
35
Q.S. al-Aḥzāb/33: 26.
36
Q.S. Ali Imrān/3: 156.
37
Q.S. al-Anfāl/8: 2.
38
Q.S. Ali Imrān/3: 126.
39
Q.S. ar-Ra’d/13: 28.
40
Q.S. Ali Imrān/3: 103.
41
Q.S. al-Ḥajj/22: 32.

138 Filsafat Pendidikan Islam


telah disucikan dan dihilangkan segala gangguan setan,42
dan yang dihilangkan panasnya oleh Allah,43 hati menjadi
tempat menyembunyikan rahasia diri, kendatipun Allah pasti
mengetahuinya.44
Memperhatikan modus penjelasan al-Qur’an mengenai hati,
sebagaimana diuraikan di atas, tampak sekali bahwa sebagian
besar ayat-ayat al-Qur’an mengungkapkan keadaan-keadaan
hati yang kurang baik karena berbagai bentuk perbuatan yang
menodai pusat kehidupan moral dan spiritual. Hati seseorang
menjadi kedap dan kalut, terutama disebabkan oleh sikap yang
dengan sengaja menutupi hatinya dari cahaya kebenaran. Mata
dan telinganya dengan sengaja tidak difungsikan untuk melihat
tanda-tanda kekuasaan Allah swt. dan untuk mendengarkan
ajaran-Nya. Dengan demikian hati tersebut tidak memiliki
kemauan untuk memahami kebenaran, memahami Allah swt.
dan wahyu-Nya. Orang tersebut dengan sengaja pula mengunci
hati dan pikiran, sehingga tak ada pengaruh cahaya spiritual
yang mampu menembus hatinya.

4. Spiritualitas Muaddib
Kata mu’addib berarti educator pada lembaga pendidikan
al-Qur’an.45 Secara bahasa, muaddib adalah isim fā‘il dari kata
addaba yang artinya orang yang menanamkan adab ke dalam
diri seseorang, tentunya karena dirinya adalah orang yang
beradab.

42
Q.S. al-Anfāl/8: 11.
43
Q.S. at-Taubah/9: 15.
44
Q.S. Ali Imrān/3: 167.
45
Wehr, A Dictionary, h. 11.

Spiritualitas Guru Pendidikan Islam 139


Spiritualitas muaddib sebagai pendidik dapat dilihat dari
tampilannya yang memiliki adab. Adapun karakteristik utama
yang ditampilkan muaddib dalam pendidikan yaitu kemampuan
dalam pengendalian dimensi al-nafs. Berbagai jenis al-nafs
merupakan tingkatan kualitas dari yang terendah sampai yang
tertinggi. Aḥmad Mubārak, menyebutkan bahwa ketika manusia
belum mukallaf, jiwanya masih suci (zakiyyah).46 Namun,
setelah mencapai mukallaf dan berintraksi dengan lingkungan
kehidupan yang menggoda, seseorang akan merespon secara
positif atau negatif terhadap lingkungan hidupnya. Al-nafs
akan dapat meningkat menjadi al-nafs al-kāmilah setelah
terlebih dahulu berproses di dalam berbagai tingkatan. Setiap
al-nafs yang merespon lingkungan secara negatif, maka al-nafs
dapat menurun menjadi al-nafs al-ammārah dengan segala
karakteristik buruknya. Namun jika al-nafs telah mencapai
tingkat al-kāmilah pastilah menyandang predikat zakiyah.

5. Spiritualitas Mursyid
Mursyid adalah orang yang mampu menjadi model atau
sentral identifikasi diri atau menjadi panutan, teladan dan
konsultan spiritual bagi peserta didiknya. Spiritualitas mursyid
sebagai pendidik yaitu penghayatan spiritual sebagai hasil dari
pengamalan agama melalui ṭarīqah tertentu. Sebagai pendidik
spiritual yang memberikan bimbingan rūḥāniah kepada
peserta didik agar dapat mendekatkan diri kepada Allah swt.,
juga berupaya menanamkan nilai-nilai akhlak, kepribadian
dan penghayatan spiritualnya kepada peserta didik, baik
dalam aktivitas pembelajaran maupun pada aktivitas lainnya,
semuanya disandarkan kepada niat karna Allah swt. semata.
46
Aḥmad Mubārok, Jiwa dalam al-Qur’an (Jakarta: Paramadina, 2000) h.
61-62.

140 Filsafat Pendidikan Islam


Adapun karakteristik utama yang ditampilkan mursyid dalam
pendidikan yaitu kemampuan dalam pengendalian potensi
rūḥāniah. Rūḥāniah adalah aspek psikis manusia yang bersifat
spiritual dan transendental. Rūḥāniah merupakan potensi luhur
batin manusia. Potensi luhur merupakan sifat dasar dalam diri
manusia yang berasal dari al-rūḥ. Bersifat transendental karena
merupakan dimensi yang mengatur hubungan manusia dengan
Allah.
Islam memandang al-rūḥ sebagai substansi ruhani manusia
yang diciptakan oleh Allah untuk menjadi esensi kehidupannya.
Kebutuhan al-rūḥ ketika menyatu dengan jasad adalah ingin
kembali ke Tuhan, sebab ia diciptakan langsung oleh-Nya.
Dengan demikian al-rūḥ yang baik adalah yang tidak melupakan
asal-Nya. Al-rūḥ inipula yang digunakan untuk berhubungan
dengan Tuhan serta untuk menempatkan makna pada konteks
yang lebih luas sehingga dapat berinteraksi dengan sesamanya
secara baik. Pada mulanya manusia berada di tempat yang tinggi
sebagai makhluk spiritual murni yang kemudian ruh spiritual itu
ditiupkan ke dalam tubuh manusia, sehingga sifat-sifat spiritual
tersebut dipadukan ke dalam materi konkrit berupa tubuh atau
jasad manusia yang terbuat dari tanah.47 Adapun indikator
ketinggian spiritualnya terlihat dalam kegiatan-kegitan ibadah
yang dilakukan dalam pengertiannya yang luas.
Al-rūḥ sebagai kesatuan jiwa dan badan, dipahami sebagai
substansi dari spiritual ilahiah yang dihembuskan ke dalam
bentuk lahiriah manusia yang terbuat dari tanah, bahan baku
penciptaan fisik manusia dari tanah menjadi simbol asal
kejadian manusia yang rendah dan gelap, sedangkan dimensi
spiritual yang dihidupkan dengan ruh ilahiah merupakan simbol
keagungan dan cahaya di dalam diri manusia.
47
Q.S. Ṣād/38: 72.

Spiritualitas Guru Pendidikan Islam 141


Pembahasan tentang pengkategorian spiritual mu‘allim/
ustāz, mudarris, murabbi, muaddib, mursyid sebagai pendidik
serta karakteristik masing-masingnya, tidak berarti guru
pendidikan Islam dapat melaksanakan pendidikan Islam
secara sempurna dengan memiliki satu atau beberapa dari
karakteristik tersebut. Sebab idealnya setiap pendidik memiliki
integritas dari beberapa karakteristik guru pendidikan Islam.
Pengkategorian pendidik juga ditemukan pada Ikhwān al-
shafā’ yang mereka namakan asbāb an-namūs. Pendidik disebut
sebagai muallim, ustāz dan muaddib adalah pada kategori ketiga
setelah Allah swt. sebagai guru segala sesuatu dan malaikat
sebagai pendidik yang memiliki akal aktual.48 Dengan demikian,
sifat-sifat yang melekat pada diri para Nabi dan Rasul, harus ada
di dalam diri setiap pendidik, apapun predikatnya. Sehingga
tugas pendidikan yang diemban guru pendidikan Islam sebagai
pewaris nabi dapat direalisasikan.

48
Para malaikat adalah jiwa jiwa yang universal/akal aktual. Urutan
selanjutnya adalah al-Abrār dan ar-Raḥmān yaitu pendidik yang memiliki
kebersihan batin dan berada pada usia sekitar 25 tahun. Ar-Ru’asā’ dan al-Mālik
yaitu pendidik yang memiliki kekuatan pisik, mental dan bersikap memelihara
persaudaraan dan dermawan serta berada pada usia sekitar 30 tahun. Al-
Mulk dan as-Sulṭān yaitu pendidik yang menguasai suatu disiplin ilmu secara
mendalam dan berusia sekitar 40 tahun. Yang terakhir adalah pendidik yang
menginjak usia 50 tahun, berkompetensi dalam mengarahkan peserta didik
untuk memiliki pada tiap-tiap jenjang pendidikan yang ada sesuai dengan
tingkatannya masing-masing, sehinga mampu tampil sebagai pewaris para nabi.
Aḥmad Fūad al-Aḥwāni, at-Tarbiyyah fī al-Islām (Mesir: Dār al-Ma’arif, t.t), h.
277.

142 Filsafat Pendidikan Islam


DAFTAR PUSTAKA

‘Abd. al-Bāqi’, Fuād, Muḥammad. al-Mu‘jam al-Mufaḥras lī Alfāz


al-Qur’ān al-Karīm. Beirut: Dār al-Fikri, 1981.
‘Abdullah, Sāleh, Abdurraḥmān. Educational Theory a Quranic
Outlook. Terj. oleh M. Arifin dan Zainuddin: Teori-Teori
Pendidikan Berdasarkan al-Quran, Cet. II. Jakarta: Rineka
Cipta, 1994.
Abdullah, M. Amin. Studi Agama Normativitas atau Historisitas?.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002.
Abdullah, M.Amin. Mencari Islam: Studi Islam dengan Berbagai
Pendekatan, Cet 1. Yogyakarta: Tiara Wacana, 2000.
Abdullah, Saleh Abdurrahman. Educational Theory A Quranic
Outlook. Terj. oleh M. Arifin dan Zainuddin: Teori-teori
Pendidikan Berdasarkan Alquran, Cet. II. Jakarta: Rineka
Cipta, 1994.
Abū al-‘Ainainī, Ali Khalil. Falsafah al-Tarbiyyah al-Islamiyyah,
Cet 1. t.kp, Dār al-Fikr al-Araby, 1980.
Abū al-Fida’, ad-Damsyiqy, ibn Katsir, ibn Umar, Ismāil. Tafsir Al-
Quran al-Aẓīm. Bairut: Dār al-Fikr, 2003.

143
Ahmadi Abu dan Supriyono,Widodi. Psikologi Belajar. Jakarta:
Rineka Cipta, 2004.
Ahmadi, Abu. Psikologi Umum. Jakarta: Rineka Cipta, 1992.
Al- Attas, Syed Naquib. Konsep Pendidikan Dalam Islam, Suatu
Rangka PikirFilsafat Pendidikan Islam” Bandung, Mizan
1988.
Al Rasyidin, Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Ciputat Press,
2005.
Al-Ahwāni, Fuad Ahmad al-Falsafat al-IsIāmiyat. Kairo: al-
Maktabat al-Tsaqafiyat,1962.
Al-’Aqqād, Mahmud, Abbas, Al-Insān fī al-Qur’ān al-Karīm. Kairo:
Dār al-Islam, 1973.
Al-Attas, Naquib, Syed Muhammad. The Concept of Education
in Islam, a Framework an Islamic Philosophy of Education.
Kuala Lumpur: International Institute of Islamic Thought
and Civilization (ISTAC), 1999.
Al-Attas, Naquib, Syed Muḥammad. The Nature of Man and The
Psychology of Human Soul. Kuala Lumpur: ISTAC, 1990.
Al-Azdi, al-Sijistānī, Abū Dāwūd, ibn As’at, Sulaiman. Sunan Abū
Dāwud, juz 2. Beirut: Dār al-Fikr, t.t.
al-Baiḍawī, ibn ‘Umar, Abd. Allāh. Anwār al-Tanzīl wa Asrār al-
Ta’wīl. Beirut: Dār al-Fikr, t.t.
Al-Bukhāri, Ismāil, ibn Muḥammad, Abū Abdullah. al-Jāmi’ as-
Şaḥīḥ al-Mukhtasar, Juz 1. Beirut: Dār ibn Kaṣīr al-Yamāmah,
1987.
Al-Būṭi, Dawābiṭ al-Maṣlahah fī al-Syarī`at al-Islāmiyah. Beirut,
Muassasat, tt.

144 Filsafat Pendidikan Islam


Al-Damsiqy, al-Qarsyi, ibn Kāsir, ibn Umar, Ismāil, Abū al-Fudā’.
Tafsīr al-Qur’an al-‘Azīm, Juz 1. t.k., Dār Tayyibah lī al-Naḥr
wa al-Tauzi‘, 1999.
Al-Farabi, Fashûl al-Madanî (Aphorisme of the Statesman), terj.
Dan ed. DM. Dunlop, Cambridge: Cambridge University
Press, 1961.
Al-Fārābī, ibn Auzalaqoh,  ibn Tarkhān, ibn Muḥammad,
Muḥammad, Abū Naḥr. Mabādi’ Arā Aḥl al-Madīnah al-
Fāḍilah (The Ferfect State), ed. Richard Walzer. Oxford:
Clarendon Press, 1985.
Al-Farabi, Rasa’il al-Farabi, Kairo: Mathba’ah al-Majlis Dairah al-
Ma’arif, 1365 H.
Al-Ghazāli, Abū Hāmid, ibn Muhammad, Muhammad, Ma’arij al-
Quds ‘ilā Madārij Ma’rifat an-Nafs. Beirut: t.k.p, 1978.
Al-Ghazālī, ibn Muḥammad, Muḥammad, Abū Ḥāmid. Iḥyā’ ‘Ulūm
al-Dīn, Juz 1. Beirut: Dār al-Fikr, t.t.
Al-Ḥanafi, al-Ḥusaini, al-Jurjānī, ibn ‘Alī, ibn Muḥammad, Abū
al-Ḥāsan, ‘Alī, al-Syārif, al-Sayyid. al-Ta’rifāt. Beirut: Dār al-
Kutub al-‘Ilmiyyah, t.t.
Al-Ishfahanỷ, Raqhīb Mu’jam Mufradah Alfāẓ al-Quran, Dār al-
fikr, tt.
Al-Ja’fi, al-Bukhari, Abu Abdullah ibn Ismail, Muhammad. Al-
Jami’ as-Sahih al-Mukhtasar, juz 1. Bairut: dar Ibn Kasir Al-
Yamamah, 1987.
Al-Jabīri, M. Abid. Isykāliyāt al-Fikr al-Arabī al-Mu`āṣir. Beirut:
Markaz Dirāsah al-Arabiyah, 1989.
Al-Jāmil, Sulaiman. al-Futuhāt al-Ilāhiyyat bī Tauzih Tafsīr al-
Jalalain, Juz 1. Mesir: Maktabat al-Taqaddum al-Islāmiyat,
t.t.

Daftar Pustaka 145


Al-Jawziyyah, Ibn Qayyim. al-Rûh fi al-Kalami ‘alā ‘Arwāhi al-
’Amwāti wa al-’Ahyā’i bî al-Dalāili min al-Kitābi wa al-Sunnati
wa al-Asari wa Aqwā al-Ulamā’i. Beirut: Dār al-Fikr, 2003.
Al-Kalsyāniy Abd. Al-Razzāq, Mu’jam Isthilāhat al-Shufiyyah.
Kairo: Dār al- ‘Inād, 1992.
al-Kalsyāniy, Abd. Al-Razzāq. Mu’jam Isṭilāhat al-Shufyah (Cairo:
Dār al-‘Inād, 1992.
Al-Makky, Abū Bakr. Kifāyat al-Atqiyā’ wa Minḥāj al-Aṣfiyā’.
Surabaya: Sahabat Ilmu, t.t..
Al-Marāghī, Musṭafā, Aḥmad. Tafsīr Al-Marāghī, jilid 21. Kairo:
al-Bāb al-Halabī, 1902.
Al-Qaraḍāwī, Yūsuf al-Imām al-Ghazālī Bayn Madiḥiyuhū wa
Naqidiyyuhū. Kairo: Dār al-Wafa’, 1992.
Al-Qusyairi, Risālāt al-Qusyairiyat. Kairo: Muhammad Ali
Syubaih, 1966.
Al-Syabany, al-Toumy, Mohammad, Omar. Falsafah Pendidikan
Islam, terj. Hasan Langgulung. Jakarta: Bulan Bintang, 1979.
Al-Syāṭībī, al-Muwāfaqat fī Uṣūl al-Ahkām, Cet. III. Beirut, Dār al-
Fikir, tt.
al-Tirmīzī, ibn Ālī, Muḥammad, al-Tirmīzī, al-Ḥākim, M. al-Jayāṣi,
Ibrāhim, Dirāsat fī Aṡārihī wa afkārihī. Kairo: Dār al-Naḥḍat
al-Arabiyah, t.t.
Al-Wasilah, A. Chaedar. Benih Kreativitas, dalam Pikiran Rakyat.
Senin, 09 Februari 2004.
AM. Sardiman. Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar. Jakarta:
Rajawali Pers, 1987.
Anderson H. (Ed), Creativity and its Cultivation. New York:
Harper & Row, 1959.

146 Filsafat Pendidikan Islam


Andrew, H. Creativity and Psycological Health. Syracuse: Syracuse
University Press, 1961.
An-Nahlāwī, Abdurrahman. Prinsip-Prinsip dan Metode
Pendidikan Islam, terj. Herry Noer Ali, cet 1. Bandung:
Diponegoro, 1989.
Ansari, Saifuddin, Endang. Ilmu, Filsafat dan Agama. Surabaya:
Bina Ilmu, 1987.
Arifin, M. Ilmu Pendidikan Islam, Cet. III. Jakarta: Bumi Aksara,
1994.
Armstrong, Tt,Michael. How to be a Better Manager. Kogan: Page,
1991.
Arnold Thomas dan Guillaume Alfred (Ed.), The Legacy of Islam.
London: Oxford University Press, 1952.
Bakar, Osman. Hirarki Ilmu dalam Rangka Membangun Kerangka
Pikir Islamisasi Ilmu, Bandung: Mizan, 1997.
Bakar, Osman. Hirarki Ilmu dalam Rangka Membangun Kerangka
Pikir Islamisasi Ilmu. Bandung: Mizan, 1997.
Bakar, Osman. Tauhid dan Sains. Bandung: Pustaka Hidayah,
1996.
Bakhtiar, Amsal. Filsafat Agama. Jakarta: Logos Wacana Ilmu,
1999.
Bakker Anton dan Zubair Chairis Achmad, Metodologi Penelitian
Filsafat. Jakarta: Kanisius, 1994.
Barnadib, Imam. Filsafat Pendidikan: Sistem dan Metode, Cet IX.
Yogyakarta: Andi Opset, 1997.
Basri, Hasan. Filsafat Pendidikan Islam, Bandung: Pustaka Setia,
2009.
Basyir, Azhar, Ahmad. Citra Manusia Muslim. Yogyakarta:
Penerbit Fakultas Hukum UII, 1985.

Daftar Pustaka 147


Basyir, Azhar, Ahmad. Falsafah Ibadah dalam Islam. Yogyakarta:
Perpustakaan Pusat UII, 1984.
Bertens, K. Filsafat Barat Abad XX. Jakarta: Gramedia, 1983.
Bertens, K. Ringkasan Sejarah Filsafat. Jakarta: Yayasan Krisius,
1976.
Bertens, K. Sejarah Filsafat Yunani. Yogyakarta: Kanisius, 1981.
Bloom, S. Benjamin. Taxonomy of Education Objectives Cognitive
Domain. London: Longman, Group, Ltd, 1956.
Briggs, Leslie, J. Instructional Design: Principles and Aplication.
Englewood-Cliffs. New Jersey: Prentice-Hall, Inc. 1979.
Brigham, C. J. Social Psychology. New York: Harpercollins
Publisher, 1991.
Brophy, E. Jere. Educational Psychology. New York: Longman,
1990.
Bustaman, Djumhana, Hanna. Integrasi Psikologi dengan Islam:
Menuju Psikologi Islami. Yogyakarta: Insān al-Kāmil, Pustaka
Pelajar, 1995.
Calhoun, F. J., Acocella, R. J. Psychology of Adjustment and Human
Relationship. New York: McGraw-Hill Inc. 1990.
Chaplin, P. J. Kamus Lengkap Psikologi, terj. Kartini Kartono.
Jakarta: Rajawali, 1989.
Clark, Barbara. Growing Up Gifted. Ohio: Charles E. Merril
Publishing Company, 1983.
Cooper, K. Robert dan Sawaf, Ayman. Executive EQ. Inggris:
Orion, 1979.
Crow dan Crow, Psikologi Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta,
1988.

148 Filsafat Pendidikan Islam


Csikszentmihalyi, Mikaly. Creativy. New York: Harper Collins
Publishers, Inc. 1996.
Dagun, M. Save. Kamus Besar Ilmu Pengetahuan. Jakarta:
Lembaga Pengetahuan Kebudayaan Nasional, 2000.
Dalyono, M. Psikologi Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta, 1994.
Daradjat, Zakiah. dkk., Metodik Khusus Pengajaran Agama Islam,
Cet.1. Jakarta: Bumi Aksara, 1995.
De Boer, T. J. The History of Philosophy In Islam. New York: Dover
Publication Inc., tt.
Dieterici (ed), Friedrich. Al-Tsamrah al-Mardliyah. Leiden: EJ.
Brill, 1890.
Djamarah, Bahri, Syaiful. Psikologi Belajar. Banjarmasin: Rineka
Cipta, 2000.
Elfida, D. Hubungan Kemampuan mengontrol diri dan
Kecenderungan berprilaku Delikuen pada Remaja. Skripsi
(tidak diterbitkan). Jogjakarta: Fakultas Psikologi,
Universitas Gadjah Mada, 1995.
Faisal, Amir, Yusuf. “Beberapa Langkah Pemula Menuju
Pembaharuan Pendidikan Tinggi Islam”. Jakarta: Dewan
Dakwah Islamiyah Indonesia, 1995.
Fauzi, Ahmad. Psikologi Umum, Cet.ke-2. Bandung: CV Pustaka
Setia, 2004.
Fromm, E. The Creative Attitude. In H. Anderson (ED), Creativity
and its Cultivation. New York: Row, 1959.
Gazalba, Sidi. Sistematika Filsafat, Jilid 1, cet 2. Jakarta: Bulan
Bintang, 1967.
Ghafar, Abdul. Fi Tabi’at al-Insan. Cairo: Dar al-Nahdah al-
‘Arabiyah, 1973.

Daftar Pustaka 149


Gifted, Joe, Khatena. Challenge and Response for Education.
Illinois: F. E. Peacok Publisher, Inc. 1992.
Glueck, F. William. Personnel, A Diagnostic Approach. Texas:
Business Publication, 1998.
Goleman, Daniel. Emotional Intelligence, terj. T. Hermaya.
Jakarta: Gramedia, 1998.
Goleman, Daniel. Working with Emotional Intelligence. Jakarta:
Gramedia, 1995.
Gunarsa, D. Singgih. Psikologi Untuk Membimbing. Jakarta: BPK
Gunung Muria, 1992.
Hadi, Hardono. Epistemologi; Filsafat pengetahuan. Yogyakarta:
Kanisius, 1997.
Hamalik, Oemar. Psikologi Belajar dan Mengajar. Bandung: Sinar
Baru, 1992.
Haryanto, Samsi. Pengantar Teori Pengukuran Kepribadian.
Surakarta: Sebelas Maret University, 1994).
Hatta, Mohammad. Alam Pikiran Yunani. Bandung: Pradnya
Paramitha, 1968.
Hersey, Paul. Blanchard, H. Kenneth., Jonhson, E. Dewey.
Management of Organizational Behavior. New Jersey:
Prentice Hall International, Inc. 1996.
Hidayat, Komaruddin. Memahami Bahasa Agama: Sebuah Kajian
Hermeneutik, cet 1. Jakarta: Paramadina, 1996.
Hitti, K. Philip, History of the Arabs. London: The Macmillan
Press Ltd., 1974.
Hodgetts, M. Richard. Modern Human Relation at Work. Orlando:
The Dryden Press, 1996.
Hopkins, L. Integration: its Meaning and Application. New York:
Appleton-Century Co., 1937.

150 Filsafat Pendidikan Islam


Hosein, Amin, Omar. Filsafat Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1961.
Hurlock, E.B. Adolecent Development. Tokyo: McGraw-Hill,
Kogakusha, Ltd. 1973.
Ibn Khaldun, Abd. al-Rahman. Muqaddimah min Kitāb al-lbar
wa Diwān al-Mubtada’ wa al-Khabar fî Ayyām al Arab wa al-
’Ajam wa al-Barbar. Beirut: Dār alFikr, tt.
Ibn Rusyd, Faṣl al-Maqāl Fī mā Bain al-Hikmah wa al-Syarīah
min al-Ittiṣāl, edit. M. Imārah, Mesir: Dār al-Ma`ārif, tt.
Ibn Sīna, ibn ‘Abdullah, al-, Abū ‘Alī. Kitāb al-Nafs (De Anima),
ed. Fazlur Raḥmān. Oxford: Oxford University Press, 1970.
Ibn Sina, Kitâb al-Nafs (De Anima), ed. Fazlur Rahman, Oxford:
Oxford University Press, 1970.
Ibrāhim, Ismāil, Muḥammad. Mu‘jam al-Alfāz wa al-A‘lam al-
Qur’aniyyat. Kairo: Dār al-Fikr al-Arabī, 1968.
Ibrāhim, Ismāil, Muḥammad. Mu’jam al-Alfāẓ wa al-A‘lām al-
Qur’āniyyāt. Kairo: Dār al-Fikr al-Arabi, 1968.
Ihsan, A. Fuad. Filsafat Ilmu. Jakarta: PT Rineka Cipta, 2010.
Jalaluddin, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Kalam Mulia, 2012.
James, William. The Verievities of Religious Experience. New
York: 1936.
Jamil, Rahman, Fathur. Filsafat Hukum Islam. Jakarta: Logos,
1997.
Kamus Bahasa Indonesia/Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa.
Jakarta: Pusat Bahasa, 2008.
Kartanegara, Mulyadhi. Menyibak Tirai Kejahilan; Pengantar
Epistemologi Islam. Bandung: Cet I, Mizan, 2003.
Kartanegara, Mulyadhi. Nalar Religius, Memahami Hakikat
Tuhan, Alam dan Manusia. Jakarta: Erlangga, 2007.

Daftar Pustaka 151


Kartanegara, Mulyadhi. Studi Islam. Bahan Kuliah Pascasarjana
IAIN SU Medan, Bab Sains, 2010.
Kartono, Kartini. Psikologi Umum. Bandung: Mandar Maju, 1990.
Kasijan, Psikologi Pendidikan. Surabaya: PT Bina Ilmu, 1989.
Katz, K. Steven. Mysticism and Philosophical Analysis. London:
Sheldon Press, 1998.
Kazdin, E. A. Behavior Modification: In applied Setting. Monterey,
California: Cole Publishing Comp. 1994.
Khallāf, Abd. Wahab. Ilm Ushul Fiqh, terj. Masdar Helmi. Bandung:
Gema Risalah Press, 1996.
Knight, R. George. Issues and Alternative in Educational
Philosophy. Michigan: Andrews University Press, 1982.
Krathwohl, R. David. A Revision of Bloom’s Taxonomy, An
Overview. Ohio: Theory Into Practice, vol 41, 2002.
Kuhn, S. Thomas. Peran Paradigma dalam Revolusi Sains.
Bandung: Remaja Rosdakarya, 1993.
Langgulung, Hasan. Beberapa Pemikiran Tentang Pendidikan
Islam, Cet. II. Bandung: Al-Ma’arif, 1995.
Langgulung, Hasan. Manusia dan Pendidikan; Suatu Analisa
Psikologi dan Pendidikan. Jakarta: Pustaka al-Husna, cet.3,
1995.
Lapidus, M. Ira. A History of Islamic Societies. Cambridge:
Cambridge University Press, 1988.
Lazarus, S. R. Paterns of Adjusment. Tokyo: McGraw-Hill,
Kogakusha, Ltd. 1976.
Linton, Ralph. The Cultural Background of Personaliry. Terj. Fouad
Hassan, Latar Belakang Kebudajaan daripada Kepribadian.
Djakarta: Djaja Sakti, 1962.

152 Filsafat Pendidikan Islam


Loekmono, Lobby, J.T. Belajar Bagaimana Belajar. Salatiga: BPK
Gunung Mulia, 1994.
M. Abid Al-Jabīrī, Bunyah al-Aql al-Arabī. Beirut, al-Markaz al-
Tsaqāfi al-Arabī, 1991.
Madkūr, Ibrāhim. al-Mu’jam al-Falsafi. Kairo: al-Haiat al-Ammar
lî al-Syū’un al-Mathba’ al-Amiriyat,1979.
Mahmūd Amin al-Nawāwi dalam Ta’līq al-Kalabadzi, al-Ta’aruf
li Madzhab Ahl al-Tashawwuf. Kairo: al-Kulliyat al-Miṣriyat
1969.
Mahmud,  Dimyati, M. Psikologi Pendidikan. Yogyakarta: BPEE,
1990.
Manullang, Belferik. Pelayanan Berbasis Kecerdasan IQ, EQ dan
SQ. Medan: Universitas Negeri Medan, 2004.
McClelland, C. David. The Achievement Motive. New York:
Irvington, Publisher, Inc. 1976.
Mir. Valiudin, Contemplative Disciplines in Sufism terj. MS.
Nasrullah, Dzikir dan Kontemplasi dalam Tasawuf. Jakarta:
Pustaka Hidayat, 1996.
Muhadjir, Noeng. Filsafat Ilmu; Positivisme, Post Positivisme, dan
Post Modernisme. Yogyakarta: Rakesarasin, 2001.
Muhadjir, Noeng. Ilmu Pendidikan dan Perubahan Sosial: Teori
Pendidikan Pelaku Sosial Kreatif , Eds V. Yogyakarta: Rake
Sarasin, 2003.
Muhaimin dan Mujib, Abdul. Pemikiran Pendidikan Islam; Kajian
Filosofis dan Kerangka Dasar Operasionalisasinya. Bandung:
Tri Genda Karya, cet, 1, 1993.
Muḥammad, Fuād Abd. al-Bāqi’, al-Mu‘jam al-Mufaḥras lī Alfāz
al-Qur’ān al-Karīm. Beirut: Dār al-Fikri, 1981.

Daftar Pustaka 153


Mujib Abdul dan Mudzākir Yusuf, Nuansa-Nuansa Psikologi
Islam. Jakarata: PT Raja Grafindo Persada, 2001.
Mulyasa, E. Kurikulum Berbasis Kompetensi, Konsep, Karakteristik,
dan Implementasinya. Bandung: PT. Rosdakarya, 2004.
Mulyono Gandadiputra, “Kreativitas “ dalam S. Takdir
Alisyahbana, Kreativitas. Jakarta: Dian Rakyat, 1983.
Munandar, Utami S.C. Kreativitas dan Kebakatan, Strategi
Mewujudkan Potensi Kreatif dan Bakat. Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama, 1999.
Muṭahhari, Murthada, Menapak Jalan Spiritual, terj. Nasrullah.
Bandung: Pustaka Hidayah, 1997.
Muthahhari, Murtadha. Tema-Tema Filsafat Islam. Bandung;
Mizan, 1993.
Nashr, Husein. Tasawuf Dulu dan Sekarang, terj. Abd Hadi.
Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994.
Nasr, Hossein, Sayyed. Science and Civilization in Islam. New
York: New American Library, 1970.
Nasr, Husein. Sufi Essays. Albany: SUNY Press, 1972.
Naṣr, Husein. Tasawuf Dulu dan Sekarang, terj. Abd. Hadi. Jakarta:
Pustaka Firdaus, 1994.
Nasution, Harun. Falsafat dan Mistisisme dalam Islam. Jakarta:
Bulan Bintang, 1995.
Nasution, Harun. Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya. Jakarta:
UI Press, 1985.
Nasution, M. Yasir, Manusia Menurut al-Ghazali. Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 1996.
Nata, Abuddin. Filsafat Pendidikan Islam, cet I. Jakarta: Logis,
1997.

154 Filsafat Pendidikan Islam


Noor Syam, Mohammad. Filsafat Pendidikan dan Dasar Filsafat
Pendidikan Pancasila, Cet 2. Surabaya: Usaha Nasional,
1984.
Nunnally, C. Jum. Educational Measurement and Evaluation. New
York: McGraw-Hill, Inc. 1964.
Ornstein C. Allan. dan Levine, U. Daniel. An Introduction to
the Foundations of Education, Boston: Houghton Mifflin
Company, 1985.
Patton, Patricia. Kecerdasan Emosional di Tempat Kerja. Jakarta;
Pustaka Delapratasa, 1998.
Poerwadarminta, W.J.S. Kamus Umum Bahasa Indonesia, cet. 17.
Jakarta: Balai Pustaka, 2002. 
Purwanto, M. Ngalim. Ilmu Pendidikan Teoritis dan Praktis, Cet.
VII. Bandung: Remaja Rosda Karya, 1994
Purwanto, Ngalim, M. Psikologi Pendidikan. Bandung: Remaja
Rosdakarya, 2007.
Purwanto, Ngalim, M. Psikologi Pendidikan. Bandung: Remaja
Rosdakarya, 1985.
Qumaer (ed), Yuhana. Falâsifah al-Arâb: Al-Fârâbî. Mesir: Dar al-
Masyriq, tt.
Qumaer, Yohana. Falāsifat al-Arab: Ibn Sīnā, cet. 2. Beirut: Dār
al-Masyriq, 1985.
Rahman, Fazlur. The Major of The Quran. Chicago: Bibliotheca
Islamica, 1980.
Rahmat, Jalaluddin. Hikmah Muta’aliyah Filsafat Pasca Ibn Rushd,
Jurnal Al-Hikmah, Bandung: Edisi 10, September 1993.
Razik, A. Taher. Fundamental Concepts of Educational Leadership
and Management. New Jersey: Prentice Hall. 1995.

Daftar Pustaka 155


Ristelhuever, Rene. A History of the Balkan Peoples, terj. Sherman
David Spector. New York: Twayne Publisher, INC., 1971.
Rosenthal, Franz. The Classical Heritage in Islam. London:
Routledge & Kegan Paul, 1975.
Ṣahibudin, Metode Mempelajari Ilmu Tasawuf Menurut Ulama
Sūfi. Surabaya: Media Varia Ilmu, 1996.
Sardiman A. M, Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar. Jakarta:
CV. Rajawali, 1988.
Segal, Jianne. Meningkatkan Kecerdasan Emosional. Jakarta:
Citra Aksara, 2001.
Shaliba, Jamil. al-Mu’jam al-Falsafi. Beirut: Dār al-Kitab al-
Lubnanỷ, Juz II.1979.
Shallcross, D.J. Teaching Creative Behavior: How to Teach
Creativity to Children of All Ages, dalam Anna Craft, Me-
Refresh Imajinasi dan Kreativitas Anak-Anak, terj. M.Chairul
Annam. Jakarta: Cerdas Pustaka, 2000.
Shiddiqy, Nourouzzaman. Jeram-Jeram Peradaban Muslim, Cet I.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996.
Shihab, M. Quraish. Lentera Hati: Kisah dan Hikmah Kehidupan,
Cet. XVII. Bandung: Mizan, 1999.
Shihab, M. Quraisy. Wawasan Alquran; Tafsir Mauḑū’ī Atas
Pelbagai Persoalan Umat. Bandung: Mizan, 1997.
Şihab, Quraish, M. Tafsīr Al-Miṣbah, Vol. 6. Jakarta; Lentera Hati,
2002.
Siwi, Herlina, W. Hubungan Kontrol Diri dengan Kecenderungan
Kecanduan Internet, Skripsi (tidak diterbitkan). Jogjakarta:
Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada, 2000.
Slameto, Belajar dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinya.
Jakarta: Rineka Cipta, 1991.

156 Filsafat Pendidikan Islam


Snyder M. dan Gangested, S. On the Nature of Self Monitoring:
Matters of Assesment, Matters of Validity, Journal of
Personality and social Psychology, vol. 56.1986.
Soedijarto, Menuju Pendidikan Nasional yang Relevan dan
Bermutu. Jakarta: Balai Pustaka, 1993.
Soemanto, Wasty. Psikologi Pendidikan (Landasan Kerja
Pimpinan Pendidikan) Jakarta: Bina Aksara, 1987.
Soemardjan, Selo. “Kreativitas: Suatu Tinjauan dari Sudut
Sosiologi” dalam S. Takdir Alisyahbana, Kreativitas. Jakarta:
Dian Rakyat, 1983.
Solihin, M. Perkembangan Pemikiran Filsafat dari Klasik Hingga
Modern. Bandung: Pusataka Setia, 2007.
Sprinthall, A. Norman dan Sprinthall, C. Richard. Educational
Psychology, a Development Approach. Singapore: McGraw-
Hill, 1990.
Stanton, Michael, Charles. Higher Learning in Islam. Maryland:
Rowman & Littlefield Publishers, INC., 1990.
Sudjana, Nana. Dasar-Dasar Proses Belajar Mengajar. Bandung:
Balai Pustaka, 1987.
Sumantri, Surya Jujun. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer.
Jakarta: Pustaka Sinar Harapan 1994.
Sumarna, Cecep. Filsafat Ilmu; Dari Hakikat Menuju Nilai.
Bandung: Pustaka Bani Quraisy, 2006.
Supartono, Suparlan. Filsafat ilmu Pengetahuan. Jogjakarta: Ar-
Ruzz Media, 2005.
Surajiyo, Ilmu Filsafat Suatu Pengantar. Jakarta: PT Bumi Aksara,
2009.
Suriasumantri, S. Jujun. Ilmu dalam Perspektif. Jakarta: Gramedia,
1984.

Daftar Pustaka 157


Syah, Muhibbin Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru.
Bandung: Remaja Rosdakarya. 2003.
Syaikh, M. Saed. A Dictionary of Muslim Philosophy. Lahore:
Institute of Islamic Culture, 1976.
Syam, Noor, Muhammad. Filsafat Pendidikan dan Dasar Filsafat
Kependidikan Pancasila, Cet. 4. Surabaya: Usaha Nasional,
1986.
Syar’i, Ahmad. Filsafat Pendidikan Islam, cet ke 1. Jakarta:
Pustaka Firdaus, 2005.
Tabrani, Pendekatan dalam Proses Belajar Mengajar. Bandung:
Remaja Rosdakarya, 1994.
Tadjab, Ilmu Jiwa Pendidikan. Surabaya: Karya Adhitama, 1994.
Tafsir, Ahmad. Filsafat Ilmu, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2006.
Tafsir, Ahmad. Filsafat Umum. Bandung: Rosdakarya, 1995.
Thiroux, P. Jacques. Philosophy Theory and Practice. New York:
Macmillan Publishing Company, 1985.
Thonthowi, Ahmad. Psikologi Pendidikan. Bandung: Angkasa,
1993.
Treffinger, J. Donald. Encouraging Creative Learning for The Giffed
and Talented. California: Ventura Country Superintendent
of Schools Officer. 1980.
Usman Moh. Uzer dan Setiawati, Lilis. Upaya Optimalisasi
Kegiatan Belajar Mengajar. Bandung: PT.Remaja
Rosdakarya, 2002.
Vecchio, P. Robert. Organizational Behaviour. Orlando: The
Dryden Press, 1995.
Wahbah Murad, dkk., al-Mu’ jam al-Falsafi. Kairo: al-Tsaqafat al-
Jadīdat, 1971.

158 Filsafat Pendidikan Islam


Widowati, Asri. Penerapan Pendekatan Inquiry dalam
Pembelajaran Sains Sebagai Upaya Pengembangan Cara
Berpikir Divergen, Majalah Ilmiah Pembelajan, Vol. 3, No. 1,
Mei 2007.
Winkel, W.S. Psikologi Pendidikan dan Evaluasi Belajar. Jakarta:
Gramedia, 1983.
Woolfok, E. Anita. Educational Psychology. Needham: Allyn &
Bacon, 1993.
Yazdi, Hairi, Mehdi. Ilmu Huḑuri, terj. Ahsin Muhamad (Bandung:
Mizan, 1994.
Yulk, A. Gary. Kepemimpinan dalam Organisasi, terj. Yusuf Udaya.
Jakarta; Prenhallindo, 1996.
Ziyādat, Ma’an. Al-Mausu’āt al-Falsafiyah al-`Arabiyyah. Arab:
Inmā’ al-’Arabiy, 1986.
Zuhri, Musṭafā. Kunci Memahami Ilmu Tasawuf. Surabaya: Bina
Ilmu, 1995.

Daftar Pustaka 159


[halaman sengaja dikosongkan]

160 Filsafat Pendidikan Islam


BIODATA PENULIS

A. IDENTITAS DIRI
1. Nama : Dr. Budiman, MA
2. Tempat/Tgl. Lahir :Halaban Langkat/12 Agustus 1968
3. No. KTP : 1174021208680003
4. NIP : 19680812 2008 01 1 007
5. NIDN : 2012086802
6. Unit Kerja : Prodi Pendidikan Islam Pascasarjana UIN SU
Medan.
7. Mata Kuiah : Dosen Filsafat Pendidikan Islam, Metodologi
Keahlian Penelitian Pendidikan Islam dan Pendekatan
dalam Pengkajian Islam.
8. Alamat : Ds. Damai Gdb. Jawa Kec. Langsa Baro
Rumah Kota Langsa.
Jl Bambu Runcing No. 25 Tanjung Pura
Langkat.
9. Alamat : Jl. Sutomo no. 1 Medan.
Kantor

161
10. Nomor : 081397307443
HP/Telp
11. Email : budimanmadr@gmail.com
12. Nama Ayah : Zakaria
13. Nama Ibu : Ratni Lubis
14. Nama Isteri: Khairiah, MA
15. Nama Anak : 1) Alsinati Salqaura
2) M. Almahbubun Nasa
3) M. Alfarodisu

B. RIWAYAT PENDIDIKAN
1. Pendidikan Formal
a. S-1 : Tarbiyah PAI IAIN SU Medan
b. S-2 : Pendidikan Islam Pascasarjana IAIN SU Medan
c. S-3 : Pendidikan Islam Pascasarjana IAIN SU Medan
2. Pendidikan Non-Formal dan Pelatihan
a. Diklat Prajabatan Kementran Agama.
b. Shortcourse Penelitian Kuantitatif Diktis.
c. Shortcourse Penelitian Islam dan Budaya Diktis.

C. PRESTASI DAN PENGHARGAAN


1. Presenter Peneliti Nasional Keagamaan di Bandung 2012.
2. Presenter AICIS 2015 di Manado.
3. Peneliti dalam Workshop Penelitian Kuantitatif Diktis 2017
Jakarta.
4. Peneliti dalam Workshop Penelitian Islam dan Budaya
Diktis 2016 Jogyakarta.

162 Filsafat Pendidikan Islam


D. PENGALAMAN ORGANISASI
1. Ketua Senat Mahasiswa Fakultas Tarbyah IAIN SU Medan
1991-1993.
2. Pengurus HMI Cabang Medan 1995-1997.
3. Ketua Bidang Kepemudaan KAHMI Kabupaten Langkat
2005.
4. Ketua Bidang Keilmiahan KAHMI Kabupaten Langkat 2018.

E. KARYA ILMIAH
1. Buku
a. Kontribusi Gaya Kepemimpinan Dosen Terhadap
Kreativitas dan Etika Belajar Mahasiswa STAN Zawiyah
Cot Kala Langsa
b. Flsafat Pendidikan Islam (Ontologi, Epistemologi dan
Aksiologi Pendidikan Islam).
c. Madrasah dalam Perubahan.
d. Dimensi Psikologis dalam Pemikiran Pendidikan Islam
(Landasan Teoretis dan Praktik dalam Pengembangan
Pembelajaran).
e. Dimensi Spiritual Pendidik dalam Pemikiran Pendidikan
Islam: Relevansi Spiritualitas dalam Perwujudan
Kompetensi Kepribadian Guru.

Biodata Penulis 163


2. Artikel/Jurnal

Nama No. ISSN/ Vol/No/


No Judul Makalah
Jurnal ISBN Tahun

Sain Dalam Peradaban


Intelektual Islam
(Capaian Muslim Klasik
ISSN 2086- Vol.I No.1
1 Al-Hikmah Bidang Sain, Para Tokoh
9762 Juni 2010
Utama dan Apresiasi
Terhadap Warisan Sain
Islam)
ISSN 1979- Lektur Kependidikan Vol. II No.3
2 At-Tafkir
9357 Islam: Genre Adab Jul-Sep 2009
Klasifikasi Ilmu
ISSN 1979- Pengetahuan Menurut Vol. I No.3 Jul-
3 At-Tafkir
9357 al-Farabi, al-Gazali dan Sep 2008
Ibn Khaldun

ISSN 1979- Vol. I No.4


4 At-Tafkir Metode-Metode Ilmiah
9357 Okt-Des 2008

Metode dalam
ISSN 2086- Vol.I No.1 Jan-
5 At-Tarbawi Perspektif Filsafat
9754 Mar 2009
Pendidikan Islam

164 Filsafat Pendidikan Islam


Url Dokumen:
ISSN 1693- http://jurnal.
Eksistensi Spiritualitas
1505 stainponoro-
Jurnal Guru Pendidikan Islam
VOL 14 NO go.ac.id/
6 Cendikia Dalam Pembinaan
2 TAHUN index.php/
Kompetensi
2016. cendekia/
Kepribadian
article/
view/826

Kontribusi Spiritualitas, Url Dokumen:


P. ISSN
Sikap Inovatif dan http://
1907-7254
Komitmen Kerja Dosen journal.
Jurnal E.ISSN
Terhadap Perilaku stainkudus.
7 Edukasia 2502-3039
Akademik Mahasiswa ac.id/index.
Vol 12, No 2
Tarbiyah Pada IAIN php/Eduka-
(2017)
Langsa dan UIN Ar- sia/article/
Raniry Banda Aceh view/2324

Korelasi Spiritualitas
P-ISSN: 0854- http://jurn-
Kependidikan denganb
2627  altarbiyah.
Jurnal Sikap Pelestarian
E-ISSN: 2597- uinsu.ac.id/
8 Tarbiyah Lingkungan Hiudp
4270 index.php/
Mahasiswa Tarbiyah
Vol 23, No 1 tarbiyah/arti-
IAIN Zawiyah Cot Kala
(2016) cle/view/108
Langsa

Biodata Penulis 165


3. Penelitian

Bentuk
Sumber
No Judul Penelitian dan Bidang Tahun
Anggaran
Penelitian

Kontribusi Efektivitas
kepemimpinan Kepala Ma-
drasah dan Locus of Control Individu/
1 DIPA 2008 2008
Terhadap Kepuasan Kerja Kependidikan
Guru Madrasah Aliyah Neg-
eri (MAN) Kota Langsa

Kontribusi Gaya Kepemi-


mpinan Dosen Terhadap
APBA Kelompok/
2 Kreativitas dan Etika 2009
2009 Kependidikan
Belajar Mahasiswa STAIN
Zawiyah Cot Kala Langsa

Eksistensi Konsep Diri


Terhadap Kompetensi
Individu/
3 Kepribadian Guru (Analisis DIPA 2010 2010
Kependidikan
Epistemologi Pendidikan
Islam)

Perspektif Filsafat Pendi-


dikan Islam Terhadap Teori
Perkembangan Sekuler Individu/
4 DIPA 2011 2011
(Analisis Pengaruh Potensi Kependidikan
Pembawaan dan Lingkun-
gan Pendidikan).

166 Filsafat Pendidikan Islam


Kinerja Guru Madrasah
Tsanawiyah Negeri (MTsN)
Kota Langsa (Studi Kontri-
busi Pengetahuan Mana- Kelompok/
5 DIPA 2012 2012
jemen Pembelajaran dan Kependidikan
Persepsi Tentang Gaya
Kepemimpinan Kepala
Madrasah)

EFEKTIVITAS PEMBELA-
JARAN (Kontribusi Penge-
tahuan Manajemen Pem-
6 DIPA 2013 Individu 2013
belajaran dan Pengelolaan
Kelas Guru Pada MAN 2
Langsa).

Kontribusi Spiritualitas,
Sikap Inovatif dan Komit-
men Kerja Dosen Terhadap
Perilaku Akademik Maha-
7 DIPA 2014 2014
siswa Tarbiyah Pada TAIN
Zawiyah Cot Kala Langsa
dan UIN Arraniry Banda
Aceh

Korelasi Spiritualitas
Kependidikan dengan Sikap
Pelestarian Lingkungan
8 DIPA 2015 Individu 2015
Hidup Mahasiswa Tarbi-
yah IAIN Zawiyah Cot Kala
Langsa

Biodata Penulis 167


Kontribusi Pemahaman
Epistemologi Pendidikan
Islam Terhadap Aktivitas
9 DIPA 2017 Individu 2017
Ilmiah Mahasiswa Tarbiyah
dan Ilmu Keguruan IAIN Za-
wiyah Cot Kala Langsa

Spiritualitas Kependi-
dikan dan Etika Akademik
Berbasis Epistemologi
10 DIPA 2018 Individu 2018
Pendidikan Islam Pada Ma-
hasiswa Ilmu Tarbiyah dan
Keguruan UIN SU Medan

168 Filsafat Pendidikan Islam


CATATAN

169
170 Filsafat Pendidikan Islam

Anda mungkin juga menyukai