Anda di halaman 1dari 14

TUGAS PENGEMBANGAN KONSEP DAN PEMIKIRAN

GEOGRAFI
“Makalah Penerapan Konsep Ruang Untuk Peruntukan
Infrastruktur”

Oleh:

Indra Setiawan

G2S121006

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU GEOGRAFI

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS HALU OLEO

2021
DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL...............................................................................................................i

DAFTAR ISI...............................................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN............................................................................................................

A. Pendahuluan............................................................................................................................1

B. Rumusan Masalah...................................................................................................................2

C. Tujuan......................................................................................................................................2

BAB II PEMBAHASAN............................................................................................................3

A. Tantangan Pengembangan Infrastruktur.....................................................................3

B. Strategi Pengembangan Infrastruktur Wilayah..........................................................7

BAB III PENUTUP...................................................................................................................10

A. Kesimpulan.....................................................................................................................10

B. Saran................................................................................................................................11

ii
1

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Ruang adalah seluruh permukaan bumi yang merupakan lapisan biosfer tempat hidup
tumbuh-tumbuhan, hewan dan manusia. Dari pandangan geografi regional, ruang merupakan
batas geografi yaitu batas menurut keadaan fisik, sosial, atau pemerintahan sebagai permukaan
bumi dan lapisan tanah di bawahnya serta lapisan-lapisan udara diatasnya. Ruang dalam hal ini
berarti tata ruang, meliputi fisik dan sosial (tanah dan lingkungan) di dalam pemerintahan kota
yang digunakan atau dimanfaatkan untuk mendirikan gedung, bangunan, dan jalur jalan yang
menghubungkan antara suatu kota dengan kota lainnya. Dalam usaha untuk menggunakan ruang
secara efisien, manusia menghadapi pilihan kegiatan-kegiatan yang akan dilakukan atau
ditempatkan. Secara menyeluruh keputusan penempatan kegiatan tersebut menghasilkan suatu
organisasi ruang (Tarigan, 2005).
Suatu ruang adalah kesatuan dan memiliki sistem keruangan (spatial system). Sebuah
ruang geografi dengan segala komponen dan sub sistemnya membentuk sistem keruangan.
Pendekatan sistem adalah model berpikir sistematik yang diterapkan pada sebuah sistem.
Sedangkan yang dimaksud mode berpikir yang didasarkan atas doktrin menguasai, yaitu cara
meninjau sebuah benda atau masalah sebagai bagian dari keseluruhan yang besar. Dalam rangka
mencapai pemanfaatan ruang wilayah yang optimal dengan prinsip-prinsip pembangunan yang
berkelanjutan, upaya penataan ruang dirasakan makin mendesak. Kegiatan, intensitas, jenis dan
lokasi pembangunan perlu dipadukan melalui penataan ruang yang baik terutama di wilayah-
wilayah yang pemanfaatan ruangnya tinggi dan laju perkembangannya yang pesat. Dengan
penataan ruang yang baik dapat menghindari timbulnya berbagai permasalahan yang tidak
diinginkan (Bakaruddin, 2010).
Penerapan konsep ruang, Infrastruktur merupakan salah satu hal yang paling penting dalam
upaya pembangunan. Tersedianya infrastruktur yang memadai tentunya akan sangat membantu
terlaksanannya tujuan pembangunan. Infrastuktur merupakan akses dan jalan awal segala
aktivitas ekonomi dilakukan. Pembangunan infrastruktur yang baik akan mendorong
2

pertumbuhan ekonomi. Dan sebaliknya jika infrastruktur tidak tersedia dengan baik maka
pembangunan dan pertumbuhan ekonomi tidak akan bisa berkembang. Peran infrastruktur sangat
penting dalam mewujudkan pemenuhan hak dasar rakyat seperti pangan, sandang, papan, rasa
aman, pendidikan, dan kesehatan.Selain itu infrastruktur juga merupakan modal sosial
masyarakat yang memegang peranan penting dalam mendukung pertumbuhan ekonomi nasional
dan daya saing global.
Pembangunan infrastruktur jalan merupakan salah satu sektor pembangunan yang paling
dibutuhkan di suatu wilayah karena ada banyak ketergantungan pengembangan ekonomi, sosial
dan pendidikan dengan pembangunan infrastruktur jalan itu sendiri. Penyediaan infrastruktur
jalan yang merata di seluruh wilayah merupakan hal mutlak untuk mewujudkan kota yang
mandiri, dengan pengelolaan pembangunan fisik kota yang meliputi sistem transportasi yang
memiliki interkoneksi antar wilayah. Jalan merupakan prasarana angkutan darat yang sangat
penting untuk memperlancar kegiatan perekonomian. Usaha pembangunan yang meningkat
menuntut adanya sarana transportasi untuk menunjang mobilitas penduduk dan kelancaran
distribusi barang dari dan ke suatu daerah. Kinerja jaringan jalan sebagai hasil dari manajemen
pengelolaan didasarkan kepada beberapa indikator makro yaitu berdasarkan: (1) kemantapan; (2)
kondisi dan; (3) pemanfaatan jalan yang ada.

B. Rumusan Masalah

Dari latar belakang di atas maka dapat dirumuskan masalah sebagai berikut:

1. Permasalahan dalam pembangunan infrastruktur?

2. Strategi pengembangan infrastruktur?

C. Tujuan

Tujuan dari makalah ini yaitu:

1. Mengetahui Permasalahan dalam pembangunan infrastruktur

2. Bagaimana Strategi pengembangan infrastruktur


3

BAB II
PEMBAHASAN

A. Tantangan Pengembangan Infrastruktur


1. Disparitas (Kesenjangan) Antar-Wilayah

Isu keadilan dalam pembangunan kewilayahan, selalu menjadi perbincangan hangat,


terutama terkait dengan masalah “kesenjangan wilayah” (regional imbalances). Sampai saat ini
isu kesenjangan wilayah terpusat kepada kesenjangan antara desa dan kota, antara Kawasan
Timur Indonesia dan Kawasan Barat Indonesia, serta antara Jawa dan luar Jawa. Banyak pakar
yang percaya bahwa kesenjangan wilayah merupakan harga wajar yang harus dibayar dalam
proses pembangunan. Sederhana saja alasannya, yakni ada keterkaitan antara wilayah satu
dengan wilayah yang lain sebagai sebuah sistem. Dengan kata lain ada proses interaksi dan
interdependensi antar subsistem.
Indonesia, sebagai negara kepulauan tropis terbesar dan memiliki jumlah penduduk ke-4
terbesar di dunia, menghadapi berbagai persoalan pengembangan wilayah yang kompleks. Selain
karena dua per tiga wilayahnya adalah perairan laut dan terdiri dari puluhan ribu pulau- pulau
kecil, tiga gugusan pulau, serta enam pulau besar, letak geografis yang berada di lintasan gunung
api (ring of fire) dan memiliki beraneka ragam ekosistem bernilai tinggi (biodiversity)
menyebabkan pendekatan pengembangan wilayah di Indonesia tidak bisa hanya memperhatakan
kepentingan ekonomi semata. Pengembangan wilayah yang didorong oleh tumbuh dan
berkembangnya berbagai kegiatan ekonomi, harus dapat diarahkan untuk dapat memanfaatkan
sumber daya alam dan sumber daya manusia yang berlimpah secara berkelanjutan. Oleh karena
itu, infrastruktur sebagai instrumen pemicu (trigger) wilayah untuk berkembang dan sekaligus
untuk melayani kegiatan ekonomi yang sedang berkembang, harus dibangun secara terpadu dan
koheren agar dapat memastikan pengembangan wilayah berkelanjutan, berketahan (resilient)
terhadap risiko bencana, dan berkeadilan sosial.
Secara umum, pembangunan infrastruktur di Indonesia masih dihadapkan pada persoalan
disparitas antar wilayah relatif masih nggi terutama antara Kawasan Barat Indonesia (KBI) dan
Kawasan Timur Indonesia (KTI); tidak terkontrolnya laju pengkotaan wilayah (meningkat 6 kali
dalam 4 dekade) yang diikuti persoalan perkotaan seperti urban sprawl dan penurunan kualitas
4

lingkungan, pemenuhan kebutuhan dasar, dan kawasan perdesaan sebagai hinterland belum
maksimal dalam memasok produk primer; belum mantapnya konek vitas antara infrastruktur di
darat dan laut (maritim); dan belum op malnya pemanfaatan sumber daya (resources) dalam
mendukung kedaulatan pangan dan kemandirian energi. Sehingga dalam konteks regional
ASEAN dan Asia, tingkat daya saing wilayah Indonesia masih berada di urutan bawah. Masalah
pembangunan infrastruktur ini kemudian menuntut intervensi pemerintah yang lebih koheren dan
terintegrasi dalam mengatasi berbagai masalah tersebut.
Beberapa indikator yang digunakan untuk memperlihatkan bahwa sebuah wilayah
dianggap lebih maju dibandingkan dengan wilayah yang lainnya cukup banyak. Hill (1993)
misalnya menyebut indikator yang bersifat statis seperti Indeks Pembangunan Manusia (human
development index), Indeks Kualitas Kehidupan secara Fisik (physical quality of life index),
maupun laju PDRB (product domestic regional bruto). Jika dilihat dari PDRB berdasarkan
pulau-pulau utama di wilayah Indonesia, terlihat dengan jelas adanya disparitas antarwilayah di
Indonesia. Ditilik dari besaran produk domestik regional bruto (PDRB), jumlah PDRB pulau
Jawa (termasuk Bali) dan pulau Sumatera setara 81,98% PDB Nasional. Hal ini menunjukkan
bahwa perekonomian Indonesia sangat terkonsentrasi di wilayah Jawa dan Sumatera. Sementara
sisanya (wilayah tengah dan timur) tidak lebih dari 20% share PDB Nasional.
Penyebab ketimpangan wilayah bersifat multi-factors, dari hal yang bersifat alamiah,
seperti perbedaan kandungan sumber daya alam, kualitas sumber daya manusia, sampai kepada
kurangnya infrastruktur wilayah yang menyebabkan rendahnya minat dan realisasi investasi.
Infrastruktur jelas merupakan faktor utama yang signifikan untuk merapatkan atau
merenggangkan ketimpangan wilayah tersebut. Pada umumnya, wilayah-wilayah miskin tidak
memiliki dukungan infrastruktur yang memadai, jauh kontras dibandingkan dengan wilayah
yang tidak miskin. Hal ini mengisyaratkan bahwa infrastruktur menjadi prasyarat utama dalam
mendorong peningkatan kesejahteraan masyarakat. Semakin kompleksnya persoalan
pembangunan tersebut ‘mendorong’ lahirnya pendekatan-pendekatan baru untuk mengatasi
masalah ketimpangan. Diperlukan inovasi dalam pembangunan wilayah ke depannya, agar isu
ketimpangan yang selama ini belum mampu diatasi dapat teratasi dengan baik.
5

2. Konektivitas

Pertama, memaksimalkan pertumbuhan melalui kesatuan kawasan, bukan keseragaman


(inclusive development) dengan menghubungkan pusat-pusat pertumbuhan. Kedua, memperluas
pertumbuhan melalui konektivitas wilayah-wilayah melalui inter-moda supply chain system yang
menghubungkan hinterland dan yang tertinggal dengan pusat-pusat pertumbuhan. Ketiga,
mencapai pertumbuhan inklusif dengan menghubungkan daerah terpencil dengan infrastruktur
dan pelayanan dasar dalam mendapatkan manfaat pembangunan.

Ekonom The World Bank, Sjamsu Rahardja, mengatakan, konektivitas menjadi kunci
sukses terbangunnya sistem yang baik di Indonesia. "Ide konektivitas untuk membuka akses
terhadap sentra-sentra di Indonesia menjadi kunci utama pembangunan di Indonesia,". Menurut
dia, Indonesia harus memprioritaskan konektivitas antar-wilayahnya sebab konektivitas memiliki
tiga dimensi penting yakni pengurangan kemiskinan, pembangunan wilayah, dan peningkatan
daya saing. Ia mengatakan, melalui sistem konektivitas yang baik maka pusat pembangunan akan
terjadi dengan sendirinya.
Konektivitas juga menjadi kunci untuk membuka akses pulau-pulau terluar Indonesia agar
terhubung dengan daerah lain. Peningkatan konektivitas dalam negeri dan dengan negara lain
secara umum akan memberikan keuntungan berupa meningkatnya akses barang dan jasa pada
harga yang lebih rendah dan stabil, jasa transportasi yang efisien dan andal, diversifikasi
produksi dan ekspor yang lebih tinggi. Akibat buruk konektivitas di Indonesia, contohnya, harga
satu sak semen di bagian tertentu di Papua 22 kali lebih mahal dibandingkan harga di Jawa.
Selain itu jeruk dari China lebih murah dibandingkan jeruk dari Pontianak, Kalimantan.

3. Urbanisasi dan Kualitas Hidup


Salah satu faktor yang perlu mendapat perhatian adalah semakin banyaknya penduduk
Indonesia yang tinggal di daerah perkotaan. Peningkatan jumlah penduduk perkotaan ini antara
lain disebabkan karena semakin banyaknya penduduk dari daerah perdesaan yang menjadi
penduduk kota. Berdasarkan perkiraan pada tahun 2025 jumlah penduduk yang tinggal di
perkotaan akan mencapai 60%. Sebaliknya jumlah penduduk di perdesaan semakin menurun.
Indonesia mengalami pertambahan penduduk perkotaan yang sangat pesat dalam beberapa
dekade terakhir. Pada tahun 2005 persentase penduduk perkotaan mencapai 48,3%, kondisinya
6

terus meningkat seperti keadaan tahun 1970 yang hanya sebesar 17,4%, menjadi 22,27% pada
tahun 1980 dan pada tahun 1995 menjadi 35,9%. Diperkirakan sebelum tahun 2010, secara
nasional jumlah penduduk perkotaan telah melampaui jumlah penduduk perdesaan (lebih dari
50%), dan pada tahun 2025 proporsi penduduk perkotaan akan mencapai 68,3%. Sebagai hasil
perubahan demografis tersebut, jumlah penduduk perkotaan akan meningkat sebesar ± 75% dari
106 juta pada tahun 2005 menjadi 186 juta pada tahun 2025. Pesatnya pertambahan penduduk
perkotaan memberikan implikasi meningkatnya kebutuhan pelayanan perkotaan dan munculnya
berbagai masalah turunan seperti kemacetan, banjir, degradasi lingkungan, dan lain-lain.
Urbanisasi yang terjadi seperti yang digambarkan diatas, menimbul berbagai permasalahan
perkotaan, terutama terkait dengan kualitas hidup lingkungan dan masyarakat perkotaan.
Masalah yang terkait dengan kualitas lingkungan hidup dan pada akhirnya kualitas hidup
masyarakat kota, meliputi aspek fisik seperti kualitas udara, air, tanah; kondisi lingkungan
perumahannya seperti kekumuhan, kepadatan yang tinggi, lokasi yang tidak memadai serta
kualitas dan keselamatan bangunannya; ketersediaan sarana dan prasarana serta pelayanan kota
lainnya; aspek sosial budaya dan ekonomi seperti kesenjangan dan ketimpangan kondisi antar
golongan atau antar warga, tidak tersedianya wahana atau tempat untuk menyalurkan kebutuhan-
kebutuhan sosial budaya, seperti untuk berinteraksi dan mengejawantahkan aspirasi-aspirasi
sosial budayanya; serta jaminan perlindungan hukum dan keamanan dalam melaksanakan
kehidupannya. Kohesi sosial dan kesetaraan merupakan faktor penting dalam kualitas hidup di
perkotaan.
Kekumuhan kota disebabkan karena sumberdaya yang ada di kota tidak mampu melayani
kebutuhan penduduk kota. Kekumuhan kota bersumber dari kemiskinan kota, yang disebabkan
karena kemiskinan warganya dan ketidak mampuan pemerintah kota dalam memberikan
pelayanan yang memadai kepada warga masyarakatnya. Kemiskinan warga disebabkan karena
tidak memiliki akses kepada mata pencaharian yang memadai untuk hidup layak, serta akses
pada modal dan informasi yang terbatas. Kemiskinan ini akan berdampak pada kemampuan
warga untuk membayar pajak yang diperlukan untuk membangun fasilitas dan infrastruktur
umum di kawasannya.
Permasalahan utama prasarana dan sarana perkotaan (PSP) termasuk perumahan adalah
tidak memadainya penyediaan dibandingkan dengan kebutuhan. Hal ini menyebabkan
terbatasnya kesempatan masyarakat untuk mendapatkan pelayanan PSP yang layak. Akibat dari
7

keterbatasan penyediaan dibandingkan dengan kebutuhan, maka masyarakat yang


berpenghasilan rendah justru harus membayar harga mahal untuk memperoleh pelayanan PSP
tersebut. Berkaitan dengan perumahannya, mereka terpaksa menggunakan lahan-lahan secara liar
dengan kualitas perumahan yang jauh di bawah standar.

B. Strategi Pengembangan Infrastruktur Wilayah


Pembangunan merupakan upaya yang sistematik dan berkesinambungan untuk
menciptakan keadaan yang dapat menyediakan berbagai alternatif yang sah bagi pencapaian
aspirasi setiap warga yang paling humanistik. Sedangkan menurut Anwar (2005), pembangunan
wilayah dilakukan untuk mencapai tujuan pembangunan wilayah yang mencakup aspek-aspek
pertumbuhan, pemerataan dan keberlanjutan yang berdimensi lokasi dalam ruang dan berkaitan
dengan aspek sosial ekonomi wilayah. Pengertian pembangunan dalam sejarah dan strateginya
telah mengalami evolusi perubahan, mulai dari strategi pembangunan yang menekankan kepada
pertumbuhan ekonomi, kemudian pertumbuhan dan kesempatan kerja, pertumbuhan dan
pemerataan, penekanan kepada kebutuhan dasar (basic need approach), pertumbuhan dan
lingkungan hidup, dan pembangunan yang berkelanjutan (suistainable development).
Terkait dengan kebijakan pengembangan wilayah, ada perubahan paradigma yang telah
berkembang selama tahun-tahun terakhir berbeda dengan kebijakan yang berkembang saat ini.
Kebijakan pengembangan wilayah yang awal adalah kebijakan pemerataan regional di sebagian
besar negara. Kebijakan pemerintah 'mengejar ketertinggalan perkembangan daerah tertinggal'.
Namun, upaya pemerintah nasional jangka panjang ini tidak secara signifikan mengurangi
kesenjangan wilayah. Kebijakan pengembangan wilayah telah berkembang dari kelompok
intervensi berbasis subsidi dari atas ke bawah yang dirancang untuk mengurangi disparitas
regional menjadi kebijakan wilayah yang dirancang untuk meningkatkan daya saing semua
wilayah nasional dan pengembangan nasional yang seimbang secara teritorial. Di banyak negara,
desentralisasi mulai berkembang ke tingkat wilayah. Tata kelola multi level pembangunan
wilayah dengan banyak pemangku kepentingan (nasional, provinsi, kabupaten/kota, bisnis, sains
dan lain-lain) mengubah tata kelola pemerintah pusat yang sebelumnya mendominasi.
Pergeseran paradigma kebijakan pengembangan wilayah tersebut melibatkan tujuan baru,
lingkup geografis baru, pemerintahan baru dan instrumen kebijakan baru.
8

Dewasa ini lahir konsep yang dianggap mampu mewakili semua upaya pembangunan
ekonomi, yakni meningkatkan competitiveness atau daya saing. Upaya tersebut tidak terbatas
pada keputusan-keputusan lokasional melainkan mencakup juga upaya-upaya lainnya termasuk
kolaborasi, kerja sama strategis, kemitraan, resource sharing (berbagi sumber daya) dan
sebagainya. Competitiveness dibutuhkan untuk mencapai sustainable regional development
(pembangunan wilayah yang berkelanjutan), namun perlu disertai dengan kepemimpinan yang
kuat, kebijakan publik yang tepat dan efektif, inovasi, pertumbuhan penduduk, dan substitusi
impor. Dengan kata lain, pembangunan ekonomi regional mengandung unsur-unsur daya saing
usaha, kebijakan publik, dan unsur-unsur kelembagaan atau regional milieu (lingkungan
regional) yang mencakupi social capital, loyalty and learning regions, power relations and
controls in organizations, and organizational culture, norms and rules.
Dengan mempertimbangkan pelajaran-pelajaran yang telah terakumulasi dalam teori
ekonomi regional (regional economic theories) dan praktik pembangunan ekonomi regional
(regional economic development practices), Bank Dunia menyarankan tiga strategi pendekatan
pembangunan regional berdasarkan tingkat urbanisasi (urbanization level) suatu wilayah, yakni
rendah, sedang, dan tinggi (World Bank, 2009). Wilayah terbelakang dengan tingkat urbanisasi
rendah memerlukan strategi membangun kepadatan (menciptakan economies of concentration).
Untuk wilayah dengan tingkat urbanisasi menengah, strategi yang disarankan adalah strategi
mengurangi jarak (membangun connectivity). Adapun wilayah dengan tingkat urbanisasi tinggi
disarankan menerapkan strategi mengatasi penyekatan (menangani kawasan kumuh dan berbagai
persoalan yang menyertainya)
Konsep lain terkait dengan pengembangan wilayah adalah konsep “membangun dari
pinggiran” yang dilontarkan oleh presiden Ir. Joko Widodo, dan mencanangkan serangkaian
agendanya yang dikenal sebagai Nawa Cita (sembilan agenda). Agenda “membangun dari
pinggiran” muncul pada urutan ketiga, selengkapnya berbunyi “Membangun Indonesia dari
pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa dalam kerangka negara kesatuan”.
Penerapan konsep “membangun dari pinggiran” dewasa ini dilingkupi oleh situasi semangat
kebijakan fiskal yang menekankan pembangunan infrastruktur khususnya dengan tujuan
mengembangkan konektivitas wilayah- wilayah pinggiran dengan wilayah-wilayah yang secara
ekonomis lebih berkembang. Dengan demikian, pembangunan infrastruktur tersebut terfokus
pada pembangunan prasarana dan sarana transportasi seperti jalan raya (termasuk jalan tol),
9

jembatan, bandar udara, pelabuhan laut (secara lebih luas disebut “tol laut”), dan sebagainya, di
samping infrastruktur-infrastruktur lainnya. Kebijakan ini menekankan pentingnya wawasan
jangka panjang, dalam arti bahwa imbalannya (returns on investment) baru dapat dipetik lama
setelah investasi ditanamkan. Pilihan ini menimbulkan permasalahan tersendiri dalam
pengelolaan fiskal yang tidak ringan serta pengelolaan kepercayaan publik yang cukup berisiko.
“Membangun dari pinggiran” berciri memberikan prioritas tinggi pada daerah pinggiran
sebagai lawan dari daerah pusat. Daerah pusat adalah daerah yang selama ini dikenal sebagai
tempat berlangsungnya kegiatan-kegiatan ekonomi yang paling intensif. Belum ada definisi baku
yang secara ketat membatasi makna “daerah pinggiran”. Namun demikian, secara intuitif makna
itu dapat dijelaskan dengan ilustrasi-ilustrasi. Daerah pusat adalah Pulau Jawa, daerah pinggiran
adalah daerah di pulau-pulau lainnya. Daerah pusat adalah Kawasan Barat Indonesia, daerah
pinggiran adalah Kawasan Timur Indonesia. Daerah pusat adalah kawasan- kawasan perkotaan
yang didominasi oleh industri manufaktur, daerah pinggiran adalah kawasan-kawasan pedesaan
(kabupaten) yang didominasi oleh sektor pertanian. Daerah pusat adalah daerah ibukota negara
dan sekitarnya, daerah pinggiran adalah wilayah perbatasan antara Indonesia dengan negara-
negara tetangga.
Kebijakan “membangun dari pinggiran” dapat ditafsirkan bahwa yang kini tengah
diupayakan adalah membangun kepadatan, yakni mencapai ambang batas minimum tingkat
kepadatan kegiatan-kegiatan produktif pada suatu wilayah, khususnya wilayah pinggiran, agar
bisa tercipta surplus produksi yang kompetitif untuk dipasokkan ke wilayah lain. Serentak
dengan itu digalakkan pembangunan infrastruktur dasar khususnya untuk mendorong
konektivitas antarwilayah, yakni pembangunan prasarana angkutan seperti jalan darat, pelabuhan
laut, dan pelabuhan udara.
10

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan diatas, dapat disimpulkan bahwa penerapan konsep ruang


mengenai tantangan pengembangan infrastruktur adalah:

 Disparitas antar wilayah relatif masih tinggi terutama antara Kawasan Barat Indonesia
(KBI) dan Kawasan Timur Indonesia (KTI). Tantangan kedepan adalah kebutuhan untuk
mengembangkan infrastruktur menuju keseimbangan yang lebih baik bagi pembangunan
daerah yang diharapkan dapat mengurangi kesenjangan wilayah.
 Belum mantapnya konektivitas antara infrastruktur di darat dan laut, serta
pengembangan kota maritim/pantai. Tantangan kedepan adalah meningkatkan
konektivitas antar wilayah dan bagaimana untuk meningkatkan indeks daya saing
nasional.
 Urbanisasi yang tinggi (meningkat 6 kali dalam 4 dekade) diikuti persoalan perkotaan
seperti urban sprawl dan penurunan kualitas lingkungan, pemenuhan kebutuhan dasar,
dan kawasan perdesaan sebagai hinterland belum maksimal dalam memasok produk
primer. Tantangan kedepan adalah Mengembangkan infrastruktur untuk meningkatkan
kualitas hidup dan mengelola urbanisasi.
 Pemanfaatan sumber daya air yang belum optimal dalam mendukung kedaulatan
pangan & kemandirian energi.
Dalam strategi penerapan konsep penggunaan ruang peruntukan infrastruktur adalah
dengan “membangun dari pinggiran” dewasa ini dilingkupi oleh situasi semangat kebijakan
fiskal yang menekankan pembangunan infrastruktur khususnya dengan tujuan mengembangkan
konektivitas wilayah-wilayah pinggiran dengan wilayah-wilayah yang secara ekonomis lebih
berkembang. Dengan demikian, pembangunan infrastruktur tersebut terfokus pada pembangunan
prasarana dan sarana transportasi seperti jalan raya (termasuk jalan tol), jembatan, bandar udara,
pelabuhan laut (secara lebih luas disebut “tol laut”), dan sebagainya, di samping infrastruktur-
infrastruktur lainnya. Kebijakan ini menekankan pentingnya wawasan jangka panjang, dalam arti
bahwa imbalannya (returns on investment) baru dapat dipetik lama setelah investasi ditanamkan.
11

Pilihan ini menimbulkan permasalahan tersendiri dalam pengelolaan fiskal yang tidak ringan
serta pengelolaan kepercayaan publik yang cukup berisiko

B. Saran

Adapun saran yang dapat penulis sampaikan adalah mengenai pentingnya pembangunan
infrastruktur demi menunjang aktivitas-aktivitas perekonomian, Keberhasilan pembangunan
infrastruktur di banyak kota pun tidak terlepas dari dukungan yang besar dari masyarakat dan
tentunya keseriusan pemerintah dalam mengatur, membina, melaksanakan, dan mengawasi
program dan proyek infrastruktur hijau yang telah direncanakan dan digarap oleh lembaga-
lembaga pemerintah. Pembangunan berkelanjutan dan berbasis lingkungan telah dianggap
sebagai hal yang penting dalam menyongsong pembangunan ke depan. Pembangunan
infrastruktur juga bukan tidak mungkin untuk mulai diterapkan dan ditingkatkan di negara yang
sedang berkembang pesat seperti Indonesia, karena sebagian besar konsep dan program
infrastruktur hijau sesungguhnya bisa diterapkan dan disesuaikan dengan kondisi Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, H. (2014). Realokasi Kebijakan Fiskal: Implikasi Peningkatan Human Capital Dan
Pembangunan Infrastruktur Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Dan Kesejahteraan
Masyarakat. Jurnal Bina Praja, Vol. 6, No.2.

Arviandi, R. P. (2019). Buku Putih Kajian Infrastruktur Indonesia. Bogor: ITB.

Bakaruddin. (2010). Tujuan Umum Pengembangan Wilayah dan Penataan Ruang. Draft 3.
Bapenas , Jakarta

Fajri, L. M. (2019). Pengaruh Pembangunan Infrastruktur Jalan Terhadap Peningkatan


Kesejahteraan Masyarakat Desa. Jurnal SIKAP, Vol. 1, No.1.

Gunawan Sumodiningrat, P. (2009). Pembangunan Daerah dan Pemberdayaan Masyarakat.


Jakarta: Bina Rena Pariwara.

Kamirudin. (2014). Analisis Progam Pembangunan Infrastruktur Di Desa Gobah Kecamatan


Tambang Kabupaten Kampar.

Kasiyanto.M.J. (2010). Masalah dan Strategi Pembangunan Indonesia. PT. Pustaka


Pembangunan Swadaya Nusan¬tara Jakarta. Cetakan ke-1 Kwon, Eunkyung. 2001.
Infrastructure, Growth And Poverty Reduction In Indonesia: A Crosssectional Analysis.
Asian Development Bank Institute.

Lulus Prapti, E. S. (2015). Analisis Dampak Pembangunan Infrastruktur Jalan Terhadap


Pertumbuhan Usaha Ekonomi Rakyat di Kota Semarang. Dinamika Sosial Budaya, Vol.17,
No.2.

SahidaMohamad, N. (2013). Pembangunan Menurut Perspektif Islam: Satu Analisis Awalan.


Prosiding Perkem, 356.

Tarigan. (2005). Ekonomi Pembangunan dan Perencanaan [Teori Dorongan Kuat - (Big Push
Theory)]. PT. RajaGrafindo Persada Jakarta

Anda mungkin juga menyukai