Anda di halaman 1dari 39

PEMANTAUAN TERAPI OBAT

TERHADAP PASIEN FISTULA ANI DAN SUSPECT TBC


DI RUMAH SAKIT BHAYANGKARA TK. II SARTIKA ASIH
KOTA BANDUNG JAWA BARAT

Nama : Dian Novita Sari


NIM : 3351191542
PSPA UNJANI ANGKATAN XXIX

RUMAH SAKIT BAYANGKARA TK II SARTIKA ASIH


SEPTEMBER 2020
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Menurut permenkes no 72 tahun 2016 pelayanan farmasi klinik merupakan
pelayanan langsung yang diberikan Apoteker kepada pasien dalam rangka
meningkatkan outcome terapi dan meminimalkan risiko terjadinya efek samping
karena Obat, untuk tujuan keselamatan pasien (patient safety) sehingga kualitas
hidup pasien (quality of life) terjamin. Standar pelayanan kefarmasian adalah tolak
ukur yang dipergunakan sebagai pedoman bagi tenaga kefarmasian dalam
menyelenggarakan peayanan kefarmasian. Standar Pelayanan Kefarmasian di
rumah sakit meliputi standar pengelolaan sediaan farmasi, alat kesehatan, bahan
medis habis pakai dan pelayanan farmasi klinik.

Pelayanan farmasi klinik yang dilakukan meliputi pengkajian dan pelayanan Resep;
penelusuran riwayat penggunaan Obat; rekonsiliasi Obat; Pelayanan Informasi
Obat (PIO); konseling; visite; Pemantauan Terapi Obat (PTO); Monitoring Efek
Samping Obat (MESO); Evaluasi Penggunaan Obat (EPO); dispensing sediaan
steril; dan Pemantauan Kadar Obat dalam Darah (Permenkes, 2016).

Pemantauan Terapi Obat (PTO) merupakan suatu proses yang mencakup kegiatan
untuk memastikan terapi Obat yang aman, efektif dan rasional bagi pasien. Tujuan
dilakukannya PTO adalah meningkatkan efektivitas terapi dan meminimalkan
risiko Reaksi Obat yang Tidak Dikehendaki (ROTD). Kegiatan dalam PTO
meliputi: pengkajian pemilihan Obat, dosis, cara pemberian Obat, respons terapi,
Reaksi Obat yang Tidak Dikehendaki (ROTD); pemberian rekomendasi
penyelesaian masalah terkait Obat; dan pemantauan efektivitas dan efek samping
terapi Obat. Adapun tahapan dari PTO adalah pengumpulan data pasien;
identifikasi masalah terkait Obat; rekomendasi penyelesaian masalah terkait Obat;
pemantauan; dan tindak lanjut (Permenkes, 2016).
Faktor yang harus diperhatikan dalam PTO meliputi: kemampuan penelusuran
informasi dan penilaian kritis terhadap bukti terkini dan terpercaya (Evidence Best
Medicine); kerahasiaan informasi; dan kerjasama dengan tim kesehatan lain (dokter
dan perawat) (Permenkes, 2016).

1.2 Rumusan Masalah


Apakah terapi yang didapatkan oleh Ny. S di ruang Bhayangkara Rumah Sakit
Bhayangkara TK.II Sartika Asih Bandung sudah rasional, aman dan efektif.

1.3 Tujuan
Evaluasi ketepatan diagnosis dan penggunaan obat berdasarkan data klinis pasien

1.4 Manfaat
Sebagai sarana serta gambaran tentang peran dan tanggung jawab seorang apoteker
di Rumah Sakit khususnya dalam pelayanan farmasi klinik dalam pemantauan
terapi obat.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Pemantauan Terapi Obat


Pemantauan Terapi Obat (PTO) menurut Permenkes no 72 tahun 2016 tentang
standar pelayanan kefarmasian di Rumah Sakit merupakan suatu proses yang
mencakup kegiatan untuk memastikan terapi Obat yang aman, efektif dan rasional
bagi pasien. Tujuan PTO adalah meningkatkan efektivitas terapi dan
meminimalkan risiko Reaksi Obat yang Tidak Dikehendaki (ROTD). Kegiatan
dalam PTO meliputi: pengkajian pemilihan Obat, dosis, cara pemberian Obat,
respons terapi, Reaksi Obat yang Tidak Dikehendaki (ROTD); pemberian
rekomendasi penyelesaian masalah terkait Obat; dan pemantauan efektivitas dan
efek samping terapi Obat.

Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 58 Tahun 2014


pemantauan terapi obat (PTO) merupakan suatu proses yang mencakup kegiatan
untuk memastikan terapi obat yang aman, efektif dan rasional bagi pasien. Tujuan
PTO adalah meningkatkan efektifitas terapi dan meminimalkan risiko reaksi obat
yang tidak diinginkan (ROTD).
Kegiatan dalam PTO meliputi:
1. Pengkajian pemilihan obat, dosis, cara pemberian obat, respon terapi,
reaksi obat yang tidak dikehendakai (ROTD);
2. Pemberian rekomendasi penyelesaian masalah terkait obat; dan
3. Pemantauan efektifitas dan efek samping terapi obat.

Adapun tahapan dalam PTO antara lain :


a. Pengumpulan data pasien
b. dentifikasi masalah terkait obat
c. Rekomendasi penyelesaian masalah terkait obat
d. Pemantauan
e. Tindak lanjut
Faktor yang harus diperhatikan :
a Kemampuan penelusuran informasi dan penilaian kriteria terhadap bukti
terkini dan terpercaya ( Evidence Best Medicine).
b Keberhasilan informasi, dan
c Kerjasama dengan tim kesehatan lain (dokter dan perawat).

Pemantauan terapi obat adalah proses yang meliputi semua fungsi yang perlu untuk
menjamin terapi obat kepada pasien yang aman, efektif, rasional dan ekonomis.
Pemantauan terapi obat harus dilakukan secara berkesinambungan dan dievaluasi
secara teratur pada periode tertentu agar keberhasilan ataupun kegagalan terapi
dapat diketahui. Pasien yang mendapatkan terapi obat mempunyai risiko
mengalami masalah terkait obat. Kompleksitas penyakit dan penggunaan obat, serta
respons pasien yang sangat individual meningkatkan munculnya masalah terkait
obat. Hal tersebut menyebabkan perlunya dilakukan PTO dalam praktek profesi
untuk mengoptimalkan efek terapi dan meminimalkan efek yang tidak dikehendaki
(Dirjen Binfar, 2009).

2.2 Tatalaksana Pemantauan Terapi Obat


Tatalaksana dalam pemantauan terapi obat ada hal-hal yang perlu dilakukan yaitu
sebagai berikut:
2.2.1 Seleksi pasien
Pemantauan terapi obat (PTO) seharusnya dilaksanakan untuk seluruh pasien.
Mengingat terbatasnya jumlah apoteker dibandingkan dengan jumlah pasien, maka
perlu ditentukan prioritas pasien yang akan dipantau. Seleksi dapat dilakukan
berdasarkan:
1. Kondisi pasien
Pasien yang masuk rumah sakit dengan multi penyakit sehingga menerima
a. Polifarmasi.
b. Pasien kanker yang menerima terapi sitostatika.
c. Pasien dengan gangguan fungsi organ terutama hati dan ginjal.
d. Pasien geriatri dan pediatric
e. Pasien hamil dan menyusui.
f. Pasien dengan perawatan intensif
2. Obat
a. Jenis Obat Pasien yang menerima obat dengan risiko tinggi seperti:
 Obat dengan indeks terapi sempit (contoh: digoksin,fenitoin)
 Obat yang bersifat nefrotoksik (contoh: gentamisin) dan hepatotoksik
(contoh: OAT)
 Sitostatika (contoh: metotreksat)
 Antikoagulan (contoh: warfarin, heparin)
 Obat yang sering menimbulkan ROTD (contoh: metoklopramid, AINS)
 Obat kardiovaskular (contoh: nitrogliserin).
b. Kompleksitas Regimen
 Polifarmasi
 Variasi rute pemberian
 Variasi aturan pakai
 Cara pemberian khusus (contoh: inhalasi)

2.2.2 Pengumpulan data pasien


Data dasar pasien merupakan komponen penting dalam proses PTO. Data tersebut
dapat diperoleh dari:
a. Rekam medik
Menurut permenkes RI no 269/MENKES/PER/III/2008 rekam medis adalah
berkas yang berisikan catatan da dokumen tentang identitas pasien, pemeriksaan,
pengobatan, tindakan dan pelayanan lain yang telah diberikan kepada pasien.
Data yang dapat diperoleh dari rekam medik, antara lain: data demografi pasien,
keluhan utama, riwayat penyakit sekarang, riwayat penyakit terdahulu, riwayat
penggunaan obat, riwayat keluarga, riwayat sosial, pemeriksaan fisik,
laboratorium, diagnostik, diagnosis dan terapi. Data tersebut di pelayanan
komunitas dapat diperoleh melalui wawancara dengan pasien, meskipun data
yang diperoleh terbatas (Anonim, 2009). Profil pengobatan pasien di rumah sakit
dapat diperoleh dari catatan pemberian obat oleh perawat dan kartu/formulir
penggunaan obat oleh tenaga farmasi. Profil tersebut mencakup data penggunaan
obat rutin, obat p.r.n (obat jika perlu), obat dengan instruksi khusus (contoh:
insulin) (Anonim, 2009). Semua data yang sudah diterima, dikumpulkan, dan
kemudian dikaji. Data yang berhubungan dengan PTO diringkas dan
diorganisasikan ke dalam suatu format yang sesuai. Sering kali data yang
diperoleh dari rekam medis dan profil pengobatan pasien belum cukup untuk
melakukan PTO, oleh karena itu perlu dilengkapi dengan data yang diperoleh
dari wawancara pasien, anggota keluara, dan tenaga kesehatan lain (Anonim,
2009).
b. Profil pengobatan pasien/pencatatan penggunaan obat
c. Wawancara dengan pasien, anggota keluarga, dan tenaga kesehatan lain.

2.2.3 Identifikasi masalah terkait obat


Masalah terkait obat menurut Hepler dan Strand dapat dikategorikan sebagai
berikut:
a. Ada Indikasi Tetapi Tidak di Terapi
b. Pemberian Obat Tanpa Indikasi
c. Pemilihan Obat Yang Tidak Tepat
d. Dosis terlalu tinggi
e. Dosis terlalu rendah
f. Reaksi obat yang tidak dikehendaki (ROTD)
g. Interaksi obat
h. Pasien tidak menggunakan obat dengan suatu sebab

2.2.4 Rekomendasi terapi


Tujuan utama pemberian terapi obat adalah peningkatan kualitas hidup pasien, yang
dapat dijabarkan sebagai berikut :
a. Menyembuhkan penyakit (contoh: infeksi)
b. Menghilangkan atau mengurangi gejala klinis pasien (contoh: nyeri)
c. Menghambat progresivitas penyakit (contoh: gangguan fungsi ginjal)
d. Mencegah kondisi yang tidak diinginkan (contoh: stroke).
2.2.5 Rencana pemantauan
Apoteker dalam membuat rencana pemantauan perlu menetapkan langkah-langkah:
a. Menetapkan Parameter Farmakoterapi
Hal-hal yang harus dipertimbangkan dalam memilih parameter pemantauan,
antara lain:
1. Karakteristik obat (contoh: sifat nefrotoksik dari allopurinol ataupun
aminoglikosida). Obat dengan indeks terapi sempit yang harus diukur
kadarnya dalam darah (contoh: digoksin).
2. Efikasi terapi dan efek merugikan dari regimen
3. Perubahan fisiologik pasien (contoh: penurunan fungsi ginjal pada
pasien geriatri mencapai 40%)
4. Efisiensi pemeriksaan laboratorium
5. Kepraktisan pemantauan (contoh: pemeriksaan kadar kalium dalam
darah untuk penggunaan furosemide dan digoxin secara bersamaan)
6. Ketersediaan (pilih parameter pemeriksaan yang tersedia)
7. Biaya pemantauan.
b. Menetapkan saran
Terapi Penetapan sasaran akhir didasarkan pada nilai/gambaran normal atau
yang disesuaikan dengan pedoman terapi. Apabila menentukan sasaran terapi
yang diinginkan, apoteker harus mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut:
1. Faktor khusus pasien seperti umur dan penyakit yang bersamaan
diderita pasien (contoh: perbedaan kadar teofilin pada pasien Penyakit
Paru Obstruksi Kronis/PPOK dan asma).
2. Karakteristik obat Bentuk sediaan, rute pemberian, dan cara pemberian
akan mempengaruhi sasaran terapi yang diinginkan (contoh: perbedaan
penurunan kadar gula darah pada pemberian insulin dan anti diabetes
oral).
3. Efikasi dan toksisitas.
c. Menetapkan Frekuensi
Pemantauan Frekuensi pemantauan tergantung pada tingkat keparahan
penyakit dan risiko yang berkaitan dengan terapi obat. Sebagai contoh pasien
yang menerima obat kanker harus dipantau lebih sering dan berkala dibanding
pasien yang menerima aspirin. Pasien dengan kondisi relatif stabil tidak
memerlukan pemantauan yang sering. Berbagai faktor yang mempengaruhi
frekuensi pemantauan antara lain:
 Kebutuhan khusus dari pasien. Contoh: penggunaan obat nefrotoksik
pada pasien gangguan fungsi ginjal.
 Karakteristik obat pasien. Contoh: pasien yang menerima warfarin
 Biaya dan kepraktisan pemantauan
 Permintaan tenaga kesehatan lain

2.2.6 Tindak lanjut


Hasil identifikasi masalah terkait obat dan rekomendasi yang telah dibuat oleh
apoteker harus dikomunikasikan kepada tenaga kesehatan terkait. Kerjasama
dengan tenaga kesehatan lain diperlukan untuk mengoptimalkan pencapaian tujuan
terapi. Informasi dari dokter tentang kondisi pasien yang menyeluruh diperlukan
untuk menetapkan target terapi yang optimal. Komunikasi yang efektif dengan
tenaga kesehatan lain harus selalu dilakukan untuk mencegah kemungkinan
timbulnya masalah baru. Kegagalan terapi dapat disebabkan karena ketidakpatuhan
pasien dan kurangnya informasi obat. Sebagai tindak lanjut pasien harus
mendapatkan Komunikasi, Informasi dan Edukasi (KIE) secara tepat. Informasi
yang tepat sebaiknya:
a. Tidak bertentangan atau berbeda dengan informasi dari tenaga kesehatan lain.
b. Tidak menimbulkan keraguan pasien dalam menggunakan obat,
c. Dapat meningkatkan kepatuhan pasien dalam penggunaan obat.

2.2.7 Dokumentasi
Setiap langkah kegiatan pemantauan terapi obat yang dilakukan harus
didokumentasikan. Hal ini penting karena berkaitan dengan bukti otentik
pelaksanaan pelayanan kefarmasian yang dapat digunakan untuk tujuan
akuntabilitas atau pertanggungjawaban, evaluasi pelayanan, pendidikan dan
penelitian. Sistimatika pendokumentasian harus dibuat sedemikian rupa sehingga
mudah untuk penelusuran kembali. Pendokumentasian dapat dilakukan
berdasarkan nomor rekam medik, nama, penyakit, ruangan dan usia. Data dapat
didokumentasikan secara manual, elektronik atau keduanya. Data bersifat rahasia
dan disimpan dengan rentang waktu sesuai kebutuhan. Sesuai dengan etik
penelitian, untuk publikasi hasil penelitian identitas pasien harus disamarkan

2.3 Tinjauan Penyakit Fistula Ani


2.3.1 Definisi Penyakit
Fistula ani atau fistula perianal adalah saluran yang tipis, tubuler, fibrosa yang
abnormal yang dibatasi oleh jaringan granulasi, yang menghubungkan ke lapisan
epitel anus atau rektum menuju ke epidermis kulit didekat anus yang disebut alur
granulomatosa disebabkan karena abses sampai anus atau daerah perianal dan juga
melibatkan infeksi yang timbul di kriptoglandular yang melapisi saluran anus
(Cameron, 1997 ; Price & Wilson, 1994 : Smeltzer & Bare, 2002 ; Sjamsuhidajat
& de Jong, 1997 ; Vasilevsky & Gordon, 2007).

2.3.2 Anatomi dan Fisiologi


1. Anatomi Fistula Ani

Gambar 2.1. Anatomi perianal (Morris, 2000)

Menurut Price dan Wilson (1995) usus besar merupakan tabung muskular
berrongga dengan panjang sekitar 5 kaki (sekita 1,5 m) yang terbentang dari
sekum sampai kanalis ani. Diameter usus besar sudah pasti lebih besar dari
pada usus kecil. Rata – rata sekitar 2,5 inci (sekitar 6,5 cm), tetapi makin dekat
anus diameternya semakin kecil.Usus besar dibagi menjadi sekum, kolon dan
rektum. Pada sekum terdapatkatup ileosekal dan apendiks yang melekat pada
ujung sekum. Sekum menempati sekitar dua atau tiga inci pertama dari usus
besar. Kolon dibagi lagi menjadi kolon asendens, transversum, desendens, dan
sigmoid. Kolon sigmoid mulai setinggi krista iliaka dan berbentuk suatu
lekukan berbentuk S. Lekukan bagian bawah membelok ke kiri waktu kolon
sigmoid bersatu dengan rektum, yang menjelaskan alasan anatomis meletakkan
penderita pada sisi kiribila diberi enema. Bagian usus besar besar yang terakhir
dinamakan rektum yang terbentang dari kolon sigmoid sampai anus (muara ke
bagian luar tubuh). Satu inci terakhir dari rektum dinamakan kanalis ani dan
dilindungi oleh sfingter ani eksternus dan internus.Panjang rektum dan kanalis
ani sekitar 5,9 inci (15 cm). Usus besar dibagi menjadi belahan kiri dan dan
kanan sejalan dengan suplai darah yang diterima. Arteria mesenterika superior
memperdarahi belahan bagian kanan (sekum, kolon ascendens dan dua pertiga
proksimal kolon transversum), dan arteria mesenterika inferior memperdarahi
belahan kiri (sepertiga distal kolon transversum, ascendens dansigmoid, dan
sebagian proksimal rektum). Kanalis analis anatomi meluas dari kulit perineum
ke linea dentata. Operasilubang anus memanjang dari kulit perineum ke ring
anorektal. Ini adalah batas atas melingkar dari otot puborectal digital yang
teraba pada pemeriksaan rektal.

Menurut Morris (2000) cincin anorektal terletak sekitar 1-1,5 cm di ataslinea


dentata. Total panjang dari kanal anal bedah adalah sekitar 4-5 cm. Sphincter
anal terdiri dari tiga lapisan:
a. Sfingter internal: kelanjutan otot polos melingkar dari rektum,paksa dan
dikontrak selama istirahat dan rileks pada buang air besar.
b. Intersphincteric ruang.

2. Fisiologi Fistula Ani


Menurut Cameron (1997) kanalis anal merupakan bagian akhir dari usus besar
dan rektum, yang berawal dari diafragma pelvis yang melewati otot levator ani
dan berakhir pada pinggiran anal. Kanalis ini mempunyai panjang sekitar 4 cm.
Dinding otot dari kanalis anal merupakan kelanjutan dari lapisan otot sirkuler
rektum yang kemudian menebal dan membentuk sfingter internal.
Secara anatomis kanalis anal memanjang dari pinggiran anal sampai ke
lineadentata. Akan tetapi untuk alasan praktis, ahli bedah terkadang
mendefinisikan kanalis anal memanjang dari pinggiran anal sampai ke cincin
anorektal. Cincin anorektal sendiri teraba saat pemeriksaan rektal sekitar 1-1,5
cm di atas linea dentata (Morris, 2000).

Pinggiran anal adalah pertemuan antara anoderm dan kulit perianal. Anoderm
merupakan epitel tersendiri yang kaya akan saraf tapi kurang dalam hal
perangkat kulit (folikel rambut, kelenjar sebasea, atau kelenjar keringat). Linea
dentata atau linea pectinata yang merupakan pertemuan mukokutaneus
sebenarnya, terletak 1-1,5 di atas pinggiran anal. Terdapat zona transisional
atau cloacogenik sebesar 6 – 12 mm di atas linea dentata, yang merupakan
peralihan epitel skuamosa anoderm menjadi kuboidal dan kemudian epitel
kolumnar (Cameron, 1997).

Kanalis anal dikelilingi oleh sebuah sfingter eksternal dan internal, yang
keduanya menjalankan mekanisme sfingter anal. Sfingter internal merupakan
kelanjutan dari bagian dalam otot polos sirkuler rektum. Juga merupakan
ototinvolunter dan normalnya berkontraksi saat istirahat. Bidang intersfingterik
menggambarkan kelanjutan fibrosa dari lapisan otot polos longitudinal rektum.
Sfingter eksternal merupakan otot volunter berlurik, yang terbagi menjadi tiga
putaran bentuk U (subkutaneus, superfisial, dan profunda) namun bekerja
sebagai satu kesatuan.

Sfingter eksternal merupakan kelanjutan dari otot-otot levator dari dasar pubis,
khususnya otot puborectalis. Putaran paling atas terbentuk oleh otot
puborektalis, yang berasal dari pubis. Putaran di tengah terbentuk oleh otot
sfingter eksternal superfisial, yang berasal dari ujung coccyx atau ligamentum
anococcygeal. Putaran yang paling bawah tersusun oleh lapisan subkutaneus
dari otot sfingter eksternal. Otot puborektalis berasal dari pubis dan menyatu
pada posterior darirektum. Normalnya sfingter berkontraksi menghasilkan
penyudutan 80° dari sudut pertemuan anorektal.

Dari area setinggi cincin anorectal ke arah distal dan antara otot sfingter
internal dan eksternal, lapisan otot longitudinal rektum menyatu dengan serat
dari levatorani dan otot puborektalis yang kemudian membentuk otot
longitudinal conjoined. Serat-serat otot ini, yang dapat memotong bagian
bawah dari sfingter eksternal untuk kemudian masuk ke dalam kulit perianal
dan mengerutkan pinggiran anal, disebut sebagai corrugator cutis ani.

Kolumna Morgagni terdiri dari 8 - 14 lipatan mukosa longitudinal yang terletak


tepat di atas linea dentata dan membentuk kripta analis pada ujung
distalnya.Kelenjar-kelenjar rudimenter kecil membuka pada kripta-kripta ini.
Saluran dari kelenjar-kelenjar ini menembus sfingter internal dan badan dari
kelenjar ini terletak pada bagian intersfingterik.

2.3.3 Epidemiologi
Menurut Smeltzer dan Bare (2002) fistula ani adalah saluran tipis, tubuler, fibrosa
yang meluas ke dalam saluran anal dari lubang yang terletak disamping anus.
Fistula ani sering terjadi pada laki laki berumur 20 – 40 tahun sedangkan pada
perempuan berusia 20 – 35 tahun, berkisar 1-3 kasus tiap 10.000 orang.

Sebagian besar fistula terbentuk dari sebuah abses (tapi tidak semua abses menjadi
fistula). Sekitar 40% pasien dengan abses akan terbentuk fistula. Insiden dan
epidemiologi fistula ani dipelajari antara penduduk Kota Helsinki selama periode
10 tahun, 1969-1978. Kejadian rata-rata per 100.000 penduduk adalah 12,3% untuk
pria dan 5,6% untuk perempuan (Breen, 2011). Menurut data dari rekam medis
RSUD Tarakan jumlah penderita fistula perianal pada tahun 2009 adalah 0%, dan
pada tahun 2010 sampai dengan Juni 2011 tidak ditemukan adanya penderita fistula
perianal (0%). Sedangkan berdasarkan data yang diperoleh dari rekam medik di
RSUD Banyumas pada bulan April, Mei dan Juni tahun 2012 penyakit usus dan
saluran cerna sekarang sudah mencapai 138 orang. Pada laki-laki 68 orang dan
perempuan 70 orang.Kasus fistula perinal di RSUD Banyumas terdapat sekitar 2
orang.Walaupun kasus fistula di RSUD Banyumas bukan termasuk kasus penyakit
yang terbanyak dari penyakit lainnya, namun apabila tidak segeraditangani dari
fistula yang belum terinfeksi akan menjadi fistula terinfeksi menyebabkan menjadi
fistula perianal yang harus ditangani segera mungkin dengan jalan operasi.
Tindakan operasi untuk menangani fistula perianal ini biasanya dilakukan jenis
operasi fistulektomi. Setelah dilakukan operasi tentunya harus mendapatkan
penanganan yang lebih lanjut seperti perawatan luka post operasi.

Pada operasi fistulektomi akan terdapat tampon di dalam luka operasinya. Sebagian
besar fistula perianal memerlukan operasi karena fistula perianal jarang sembuh
spontan. Setelah operasi risiko kekambuhan fistula termasuk cukup tinggi yaitu
sekitar 21% (satu dari lima pasien dengan fistula post operasi akan mengalami
kekambuhan). Disinilah tampon harus diganti setiap hari. Penggantiaan tampon
pada luka post operasi ini yang akan menyebabkan nyeri yang sangat pada pasien.

2.3.4 Tanda dan gejala


Tanda dan gejala fistula perianal menurut Smeltzer dan Bare (2002) yaitu:
1. Pus atau feses dapat bocor secara konstan dari lubang kutaneus
2. Pasase flatus atau feses dari vagina atau kandung kemih, tergantung pada
saluran fistula. Fistula yang tidak diatasi dapat menyebabkan infeksi
sistemik disertai gejala yang berhubungan.
3. Keluarnya cairan yang tidak biasa dari anus (diluar waktu BAB / buang air
besar) cairan bisa berupa nanah atau cairan serupa darah
4. Nyeri pada anus
5. Bengkak pada tepi anus yang berulang.
6. Eksternal opening pada bokong akan terlihat seperti bintik atau bulatan
memerah, sering di sertai rembesan nanah.

Menurut Price dan Wilson (1994) tanda dan gejala dari fistula perianal yaitu
1. Fistula perianal biasannya ditandai dengan pembengkakan yang berwarna
merah.
2. Nyeri yang sangat saat akan duduk.
3. Pus yang bocor secara konstan dari lubang kutaneus

2.3.5 Etiologi dan Faktor Resiko


Etiologi Fistula ani diantaranya yaitu:
a. Fistula sering didahului oleh abses. Abses perianal merupakan jenis abses
anorektal yang paling ditemukan. Kebanyakan fistel beawal dari kelenjar
dalam dinding anus atau rektum.
b. Kadang – kadang fistula merupakan akibat dari pengeluaran nanah pada
abses anorektal yang diawali dengan pembengkakan atau trauma. Selain itu
juga diikuti oleh abses iskiorektal, submukosa dan peluirektal.

Menurut Cameron (1997) Faktor resiko fistula ani adalah infeksi yang disebabkan:
a. Tuberkulosis
b. Aktinomikosis, limfogranuloma venereum
c. Penyakit Crohn Menurut Thomson (1997) penyakit Crohn adalah penyakit
yang sering dikenal ileitis regional, karena ini merupakan tempat yang
lazim, tetapi yunum (usus 12 jari) dan lambung kadang-kadang terkena dan
kolon dapat juga terlibat kolitis regional.

Menurut Thomson (1997) penyakit Crohn adalah penyakit yang sering dikenal
ileitis regional, karena ini merupakan tempat yang lazim, tetapi yunum(usus 12 jari)
dan lambung kadang-kadang terkena dan kolon dapat juga terlibat kolitis regional.

2.3.6 Patofisiologi
Menurut Thomson dan Cotton (1997) fistula timbul setelah infeksi dari kelenjar
anal. Dikarenakan abses anorektal dan juga penyakit tuberkulosis, aktinomikosis/
limfogranuloma venereum dan penyakit Crohn. Kelenjar yang mensekresi mukus
ini terletak dalam submukosa, dalam otot dan diantara lapisan otot longitudinal dan
sirkulasi berhubungan dengan kanalis ani melalui duktus yang panjang dan sempit.
Selain itu kriptoglandular, yang menjelaskan bahwa fistula ani merupakan abses
anorektal tahap akhir yang telah terdrainase dan membentuk traktus.
Kanalis anal mempunyai 6-14 kelenjar kecil yang terproyeksi melalui sfingter
internal dan mengalir menuju kripta pada linea dentata. Kelenjar dapat terinfeksi
dan menyebabkan penyumbatan. Bersamaan dengan penyumbatan itu,
terperangkap juga feces dan bakteri dalam kelenjar. Penyumbatan ini juga dapat
terjadi setelah trauma, pengeluaran feces yang keras, atau proses inflamasi. Apabila
kripta tidak kembali membuka ke kanalis anal, maka akan terbentuk abses di dalam
rongga intersfingterik. Abses lama kelamaan akan menghasilkan jalan keluar
dengan meninggalkan fistula. Kalau sudah menjadi fistula perianal harus segera
dilakukan tindakan operasi. Pengobatan fistula perianal adalah insisi dan drainase
abses, serta eksisi fistula yang berhubungan. Operasi yang sering digunakan untuk
fistula perianal yaitu fistulektomi. Setalah pembedahanini harus memerlukan
penanganan keperawatan untuk mengatasi luka post operasi.

2.3.7 Klasifikasi Fistula Ani


Fistula ani dapat di klasifikasikan sebagai berikut:
1. Fistula Transsphingter
Fistula transsphinkter disebabkan oleh abses ischiorektal, dengan perluasan
jalur melalui sphingter eksterna. Terjadi sekitar 25 % dari semua fistula. Jalur
utama menyebrang sphincter externus yang terdapat pada tingkat manapun
dibawah puborectalis sampai serat terendah dari sphincter externus.
2. Fistula Intersphingter
Terbatas pada ruang intersphingter dan sphingter interna. Disebabkan oleh
abses perianal. Terjadi sekitar 70 % dari semua fistula2. Semua jalur inflamasi
pada posisi medial striated muscle atau sphincter externus.
3. Fistula Suprasfingter
Disebabkan oleh abses supralevator. Melewati otot levator ani, diatas puncak
otot puborektal dan masuk ke dalam ruang intersphingter. Terjadi sekitar 5 %
dari semua fistula2. Sangat jarang, dan jalur utamanya menyebrang melewati
levator ani.
4. Fistula Ekstrasphingter
Tidak melewati kanalis ani dan mekanisme sphingter, melewati fossa
ischiorektal dan otot levator ani, dan bermuara tinggi di rektum. Terjadi sekitar
1 % dari semua fistula. biasanya akibat sepsis intrapelvis atau operasi bedah
yang tidak tepat dari fistula yang lain, dan jalurnya diluar semua kompleks
sphincter.

2.3.8 Diagnosis Fistula Ani


1. Anamnesis
Diagnosis fistula ani ditegakkan melalui anamnesis adanya discharge perianal,
nyeri, atau perdarahan pada daerah kulit sekitar anus.
2. Pemeriksaan fisik
Ditemukan adanya orificium eksternal atau sinus yang terbuka di sekitar anus.
3. Pemeriksaan penunjang
Dapat membantu diagnosis fistula ani adalah pemeriksaan anoskopi,
fistulografi, ultrasonografi endoanal atau endorectal, MRI perianal, dan anal
manometri.

2.3.9 Penatalaksanaan Fistula Ani


Tujuan dari penatalaksanaannya adalah untuk menyembuhkan fistula dengan
sesedikit mungkin pengaruh pada otot sfingter. Perencanaan akan bergantung pada
lokasi fistula dan kerumitannya, serta kekuatan otot sfingter pasien. Pengelolaan
berdasar pada eradikasi sepsis dengan seoptimum mungkin menjaga fungsi anal.
Jalur fistula harus dibuka dan diizinkan untuk sembuh dari dasarnya. Mayoritas
fistula superfisial dan intersphincter (85%) langsung dapat diatasi.

Sisanya (transphincteric dan suprasphincteric) jauh labih sulit dan membutuhkan


perawatan spesialis. Biasanya perawatannya lebih lama; dilakukan secara bertahap
untuk mencegah kerusakan sphincter.

Operasi bertujuan menginsisi di atas saluran fistula, meninggalkan insisi tesebut


terbuka untuk bergranulasi nantinya. Biasanya dicapai dengan menempatkan sonde
melalui kedua muara fistula dan memotong di atas sonde. Jika fistula mengikuti
perjalanan yang mengharuskan pemotongan sfingter, maka insisi harus memotong
serabut otot tegak lurus dan hanya pada satu tingkat. Bila timbul inkontinensia, jika
otot terpotong lebih dari satu tempat.
Benang yang halus monofilamen (seton) sering ditaruh melalai jalur primer di
sekitar sphincter externa sebagai drain sementara luka lebar di sebelah exterior
striated muscle dari sphincter externus mengalami penyembuhan.
1. Fistulotomy
Ahli bedah pertama-tama melakukan pelacakan untuk mencari muara interna
fistula. Lalu, ahli bedah memotong dan membiarkan jalurnya dalam keadaan
terbuka, mungkuretnya (mengeluarkan isinya), lalu menempelkan sisinya ke
sisi yang diinsisi sehingga fistula dibiarkan terbuka (diratakan) flattenedout.

Untuk memperbaiki fistula yang lebih rumit, seperti horshoe fistula (dimana
jalurnya melewati sekitar dua sisi tubuh dan mempunyai muara eksternal pada
kedua sisi dari anus), dokter bedah dapat membiarkan terbuka hanya pada
segmen dimana jalurnya bersatu dan mengeluarkan jalur sisanya. Jika sejumlah
banyak otot sfingter yang harus digunting, pembedahan dapat dilakukan dalam
lebih dari satu tahap dan harus diulang jika seluruh saluran belum dapat
ditemukan.

Teknik dibiarkan terbuka (Fistulotomi) berguna pada mayoritas perbaikan


fistula. Pada prosedur ini, dimasukkan probe melalui fistula (melalui kedua
muara), dan kulit yang menutupinya, jaringan subkutis, dan otot sfingter
dipisahkan, oleh sebab itu membuka salurannya. Kuretasi dilakukan untuk
memindahkan jaringan granulasi pada dasar saluran. Teknik ini dilakukan
secara hati-hati untuk menghindari terlalu banyak menggunting sfingter (yang
dapat menyebabkan inkontinensia). Fistulotomi dibiarkan menutup secara
sekunder.

Pada fistel dapat dilakukan fistulotomi atau fistulektomi. Dianjurkan sedapat


mungkin di lakukan fistulotomi, artinya fistel dibuka dari lubang asalnya
sampai ke lubang kulit. Luka dibiarkan terbuka sehingga menyembuh mulai
dari dasar per sekundam intentionem. Lukanya biasanya akan sembuh dalam
waktu agak singkat. Kadang dibutuhkan operasi dua tahap untuk menghindari
terpotongnya sfingter anus.
2. Flap Rektal
Terkadang, untuk mengurangi jumlah otot sfingter yang digunting, dokter
bedah dapat mengeluarkan jalurnya dan membuat flap ke dalam dinding
abdomen untuk mencapai dan mengeluarkan muara fistula interna. Flap nya
kemudian ditempelkan ke belakang.
3. Penempatan Seton
Dokter bedah menggunakan seton untuk:
- Menciptakan jaringan paurt di sekitar otot sphincter sebelum
memotongnya dengan pisau.
- Mengizinkan seton untuk secara lambat memotong seluruh jalur melalui
otot.
- selama beberapa minggu.
- Seton juga dapat membantu drainase fistula
- Pada pasien dengan fistula kompleks, fistula rekuren, penyakit Crohn,
keadaan imunokompromised, seton dapat digunakan sendiri, atau
kombinasi dengan fistulotomi.
4. Lem fibrin atau sumbat kolagen
Pada beberapa kasus, dokter dapat menggunakan lem fibrin, terbuat dari protein
plasma, untuk menyumbat dan menyembuhkan fistula daripada memotong dan
membiarkannya terbuka. Dokter menyuntikkan lem melalui lubang eksterna
setelah membersihkan salurannya lebih dahulu dan menempelkan lubang yang
di dalam agar tertutup. Saluran fistula dapat juga disumbat dengan protein
kolagen dan kemudian ditutup.

2.4 Tinjauan Penyakit Suspect TBC


2.4.1 Definisi TBC (Tuberculosis)
Tuberkulosis (TBC) adalah penyakit infeksius, yang terutama menyerang penyakit
parenkim paru. Nama Tuberkulosis berasal dari tuberkel yang berarti tonjolan kecil
dan keras yang terbentuk waktu sistem kekebalan membangun tembok mengelilingi
bakteri dalam paru. Tb paru ini bersifat menahun dan secara khas ditandai oleh
pembentukan granuloma dan menimbulkan nekrosis jaringan. Tb paru dapat
menular melalui udara, waktu seseorang dengan Tb aktif pada paru batuk, bersin
atau bicara (Pedoman Nasional Pengendalian Tubercuosis, 2011).

2.4.2 Epidemiologi TBC (Tuberculosis)


Secara global pada tahun 2016 terdapat 10,4 juta kasus insiden TBC (CI 8,8 juta –
12, juta) yang setara dengan 120 kasus per 100.000 penduduk. Lima negara dengan
insiden kasus tertinggi yaitu India, Indonesia, China, Philipina, dan Pakistan.
Sebagian besar estimasi insiden TBC pada tahun 2016 terjadi di Kawasan Asia
Tenggara (45%) dimana Indonesia merupakan salah satu di dalamnya dan 25% nya
terjadi di kawasan Afrika.

Gambar 2.2 Estimasi Jumlah Kasus Baru (incidence) TBC di Negara yang
Memiliki Paling Sedikit 100.000 Kasus Baru, 2016 (Global
Tuberculosis Report, 2017)

Gambar 2.3 Estimasi Insidens TBC menurut Regional, 2016 (: Global


Tuberculosis Report, 2017)
Badan kesehatan dunia mendefinisikan negara dengan beban tinggi/high burden
countries (HBC) untuk TBC berdasarkan 3 indikator yaitu TBC, TBC/HIV, dan
MDR-TBC. Terdapat 48 negara yang masuk dalam daftar tersebut. Satu negara
dapat masuk dalam salah satu daftar tersebut, atau keduanya, bahkan bisa masuk
dalam ketiganya. Indonesia bersama 13 negara lain, masuk dalam daftar HBC untuk
ke 3 indikator tersebut. Artinya Indonesia memiliki permasalahan besar dalam
menghadapi penyakit TBC.

Gambar 2.4 Negara-negara dengan Beban Tinggi Berdasarkan TB, TB/HIV


(Menurut WHO Tahun 2016-2020)

Jumlah kasus baru TB di Indonesia sebanyak 420.994 kasus pada tahun 2017 (data
per 17 Mei 2018). Berdasarkan jenis kelamin, jumlah kasus baru TBC tahun 2017
pada laki-laki 1,4 kali lebih besar dibandingkan pada perempuan. Bahkan
berdasarkan Survei Prevalensi Tuberkulosis prevalensi pada laki-laki 3 kali lebih
tinggi dibandingkan pada perempuan. Begitu juga yang terjadi di negara-negara
lain. Hal ini terjadi kemungkinan karena laki-laki lebih terpapar pada fakto risiko
TBC misalnya merokok dan kurangnya ketidakpatuhan minum obat. Survei ini
menemukan bahwa dari seluruh partisipan laki-laki yang merokok sebanyak 68,5%
dan hanya 3,7% partisipan perempuan yang merokok.
2.4.3 Tanda dan Gejala TBC (Tuberculosis)
Tanda dan gejala yang sering terjadi pada Tuberkulosis adalah batuk yang tidak
spesifik tetapi progresif. Penyakit Tuberkulosis paru biasanya tidak tampak adanya
tanda dan gejala yang khas. Biasanya keluhan yang muncul adalah (Pedoman
Nasional Pengendalian Tuberkulosis, 2016):
a. Demam terjadi lebih dari satu bulan, biasanya pada pagi hari.
b. Batuk, terjadi karena adanya iritasi pada bronkus; batuk ini membuang /
mengeluarkan produksi radang, dimulai dari batuk kering sampai batuk
purulent (menghasilkan sputum) terjadi selama 2 minggu atau lebih.
c. Sesak nafas, terjadi bila sudah lanjut dimana infiltrasi radang sampai
setengah paru.
d. Nyeri dada. Nyeri dada ini jarang ditemukan, nyeri timbul bila infiltrasi
radang sampai ke pleura sehingga menimbulkan pleuritis
e. Malaise ditemukan berupa anoreksia, berat badan menurun, sakit kepala,
nyeri otot dan keringat di waktu di malam hari
f. Berkeringat malam hari tanpa kegiatan fisik dan demam meriang lebih dari
satu bulan.
g. Pada pasien dengan HIV positif, batuk sering kali bukan merupakan gejala
TBC yang khas, sehingga gejala batuk tidak harus selalu selama 2 minggu
atau lebih.

2.4.4 Klasifikasi TBC (Tuberculosis)


Penentuan klasifikasi penyakit dan tipe penderita penting dilakukan untuk
menetapkan paduan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) yang sesuai dan dilakukan
sebelum pengobatan dimulai. Klasifikasi penyakit Tuberkulosis parua.Tuberculosis
ParuBerdasarkan hasil pemeriksaan dahak, TBC Paru dibagi dalam, (Pedoman
Nasional Pengendalian Tuberkulosis, 2016):
1. Tuberkulosis Paru
BTA (+) Kriteria hasil dari tuberkulosis paru BTA positif adalah Sekurang-
kurangnya 2 pemeriksaan dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA (+) atau 1
spesimen dahak SPS hasilnya (+) dan foto rontgen dada menunjukan gambaran
tuberculosis aktif.2)Tuberkulosis Paru BTA (-)Pemeriksaan 3 spesimen dahak
SPS hasilnya BTA (-) dan foto rontgen dada menunjukan gambaran
Tuberculosis aktif. TBC Paru BTA (-), rontgen (+) dibagi berdasarkan tingkat
keparahan penyakitnya, yaitu bentuk berat dan ringan. Bentuk berat bila
gambaran foto rontgan dada memperlihatkan gambaran kerusakan paru yang
luas.
2. Tuberculosis Ekstra Paru
TBC ekstra-paru dibagi berdasarkan pada tingkat keparahan penyakitnya, yaitu:
a. TBC ekstra-paru ringan
Misalnya : TBC kelenjar limfe, pleuritis eksudativa unilateral,
tulang(kecuali tulang belakang), sendi, dan kelenjar adrenal.
b. TBC ekstra-paru berat
Misalnya : meningitis, millier, perikarditis, peritonitis, pleuritis
eksudativa duplex, TBC tulang belakang, TBC usus, TBC saluran
kencing dan alat kelamin.
c. Tipe Penderita
Berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya, ada beberapa tipe penderita
yaitu:
 Kasus Baru adalah penderita yang belum pernah diobati dengan OAT
atau sudahpernah menelan OAT kurang dari satu bulan (30 dosis harian).
 Kambuh (Relaps) adalah penderita Tuberculosis yang sebelumnya
pernah mendapatpengobatan Tuberculosis dan telah dinyatakan
sembuh, kemudian kembali lagi berobat denganhasil pemeriksaan dahak
BTA (+).
 Pindahan (Transfer In) adalah penderita yang sedang mendapat
pengobatan di suatukabupaten lain dan kemudian pindah berobat ke
kabupaten ini. Penderita pindahantersebut harus membawa surat
rujukan/pindah (Form TB.09).
 Setelah Lalai (Pengobatan setelah default/drop out) adalah penderita
yang sudah berobat paling kurang 1 bulan, danberhenti 2 bulan atau
lebih, kemudian datang kembalidengan hasil pemeriksaan dahak BTA
(+).
2.4.5 Etiologi dan Faktor Resiko
Etiologi dari TBC yaitu adanya sumber penularan penyakit Tuberkulosis yaitu
penderita Tuberkulosis BTA positif pada waktu batuk atau bersin. Penderita
menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk droplet (percikan dahak). Droplet yang
mengandungkuman dapat bertahan di udara pada suhu kamar selama beberapa jam.
Orang dapat terinfeksi kalau droplet tersebut terhirup ke dalam saluran
pernafasan.Setelah kuman Tuberkulosis masuk ke dalam tubuh manusia melalui
pernafasan, kuman Tuberkulosis tersebut dapat menyebar dari paru kebagian tubuh
lainnya melalui sistem peredaran darah, saluran nafas, atau penyebaran langsung ke
bagian-bagian tubuh lainnya. Daya penularan dari seorang penderita ditentukan
oleh banyaknya kuman yang dikeluarkan dari parunya. Makin tinggi derajat positif
hasil pemeriksaan dahak, makin menularpenderita tersebut. Bila hasil pemeriksaan
dahak negatif (tidak terlihat kuman), maka penderita tersebut dianggap
tidakmenular. Seseorang terinfeksi Tuberkulosis ditentukan oleh konsentrasi
droplet dalam udara dan lamanya menghirup udara tersebut.

Faktor risiko kejadian TB, secara ringkas digambarkan pada gambar berikut:
1. Jumlah kasus TB BTA+
2. Faktor lingkungan:
- Ventilasi
- Kepadatan Dalam ruangan
3. Faktor Perilaku Risiko menjadi TB bila dengan HIV:
• 5-10% setiap tahun
• >30% lifetime
4. Riwayat alamiah pasien TB yang tidak diobati.
Pasien yang tidak diobati setelah 5 tahun, akan: 50% meninggal, 25% akan
sembuh sendiri dengan daya tahan tubuh yang tinggi, dan 25% menjadi
kasus kronis yang tetap menular.

2.4.6 Patofisiologi
Tempat masuk kuman Mycobacterium Tuberculosis adalah saluran pernafasan,
saluran pencernaan dan luka terbuka pada kulit. Kebanyakan infeksi tuberkulosis
(TBC) terjadi melalui udara, yaitu melalui inhalasi droplet yang mengandung
kuman-kuman basil tuberkel yang berasal dari orang yang terinfeksi.

Tuberkulosis adalah penyakit yang dikendalikan oleh respon imunitas


dengan melakukan reaksi inflamasi bakteri dipindahkan melalui jalan nafas,
basil tuberkel yang mencapai permukaan alveolus biasanya di inhalasi sebagai
suatu unit yang terdiri dari satu sampai tiga basil, gumpalan yang lebih besar
cenderung tertahan di saluran hidung dan cabang besar bronkhus dan tidak
menyebabkan penyakit. Setelah berada dalam ruang alveolus, basil tuberkel ini
membangkitkan reaksi peradangan. Leukosit polimorfonuklear tampak pada tempat
tersebut dan memfagosit bakteri namun tidak membunuh organisme tersebut.
Setelah hari-hari pertama leukosit diganti oleh makrofag. Alveoli yang terserang
akan mengalamikonsolidasi dan timbul gejala Pneumonia akut.

Pneumonia seluler ini dapat sembuh dengan sendirinya, sehingga tidak ada sisa
yang tertinggal, atau proses dapat juga berjalan terus, dan bakteri terus
difagosit atau berkembangbiak di dalam sel. Basil juga menyebar melalui
getah bening menuju ke kelenjar getah bening regional. Makrofag yang
mengadakan infiltrasi menjadi lebih panjang dan sebagian bersatu sehingga
membentuk sel tuberkel epiteloid, yang dikelilingi oleh limfosit. Reaksi ini
membutuhkan waktu 10 –20 hari.

Nekrosis bagian sentral lesi memberikan gambaran yang relatif padat dan
seperti keju, isi nekrosis ini disebut nekrosis kaseosa. Bagian ini disebut dengan
lesi primer. Daerah yang mengalami nekrosis kaseosa dan jaringan granulasi
di sekitarnya yang terdiri dari sel epiteloid dan fibroblast, menimbulkan respon
yang berbeda. Jaringan granulasi menjadi lebih fibrosa membentuk jaringan
parut yang akhirnya akan membentuk suatu kapsul yang mengelilingi tuberkel.

Lesi primer paru-paru dinamakan fokus Ghondan gabungan terserangnya kelenjar


getah bening regional dan lesi primer dinamakan kompleks Ghon. Respon lain yang
dapat terjadi pada daerah nekrosis adalah pencairan, dimana bahan cair lepas
kedalam bronkhus dan menimbulkan kavitas. Materi tuberkular yang dilepaskan
dari dinding kavitas akan masuk kedalam percabangan trakheobronkial. Proses
ini dapat terulang kembali di bagian lain di paru-paru, atau basil dapat terbawa
sampai ke laring, telinga tengah, atau usus. Lesi primer menjadi rongga-rongga
serta jaringan nekrotik yang sesudah mencair keluar bersama batuk. Bila lesi ini
sampai menembus pleura maka akan terjadi efusi pleura tuberkulosa.

Kavitas yang kecil dapat menutup sekalipun tanpa pengobatan dan


meninggalkan jaringan parut fibrosa. Bila peradangan mereda lumen bronkhus
dapat menyempit dan tertutup oleh jaringan parut yang terdapat dekat
perbatasan rongga bronkus. Bahan perkejuan dapat mengental sehingga tidak
dapat mengalir melalui saluran penghubung sehingga kavitas penuh dengan
bahan perkejuan, dan lesi mirip dengan lesi berkapsul yang tidak terlepas.
Keadaan ini dapat menimbulkan gejala dalam waktu lama atau membentuk
lagi hubungan dengan bronkus dan menjadi tempat peradangan aktif.

Penyakit dapat menyebar melalui getah bening atau pembuluh darah. Organisme
yang lolos melalui kelenjar getah bening akan mencapai aliran darah dalam jumlah
kecil, yang kadang-kadang dapat menimbulkan lesi pada berbagai organ lain. Jenis
penyebaran ini dikenal sebagai penyebaran limfohematogen, yang biasanya
sembuh sendiri. Penyebaran hematogen merupakan suatu fenomena akut yang
biasanya menyebabkan Tuberkulosis milier. Ini terjadi apabila fokus nekrotik
merusak pembuluh darah sehingga banyak organisme masuk kedalam sistem
vaskuler dan tersebar ke organ-organ tubuh. Komplikasi yang dapat timbul akibat
Tuberkulosis terjadi pada sistem pernafasan dan di luar sistem pernafasan. Pada
sistem pernafasan antara lain menimbulkan pneumothoraks, efusi pleural, dan
gagal nafas, sedang diluarsistem pernafasan menimbulkan Tuberkulosis usus,
Meningitis serosa, dan Tuberkulosis milier (Kowalak, 2011).

2.4.7 Diagnosis
Pemeriksaan yang dilakukan pada penderita TB paru adalah:
a. Pemeriksaan Diagnostik
b. Pemeriksaan sputum
Pemeriksaan sputum sangat penting karena dengan di ketemukannya
kuman BTA diagnosis tuberculosis sudah dapat di pastikan. Pemeriksaan
dahak dilakukan 3 kali yaitu: dahak sewaktu datang, dahak pagi dan
dahak sewaktu kunjungan kedua. Bila didapatkan hasil dua kali positif maka
dikatakan mikroskopik BTA positif. Bila satu positif, dua kali negatif
makapemeriksaan perlu diulang kembali. Pada pemeriksaan ulang akan
didapatkan satu kali positif maka dikatakan mikroskopik BTA negatif.
c. Ziehl-Neelsen (Pewarnaan terhadap sputum).
Positif jika diketemukan bakteri taham asam.
d. Skin test (PPD, Mantoux)
Hasil tes mantaoux dibagi menjadi :
 Indurasi 0-5 mm (diameternya) maka mantoux negative atau hasil
negatif.
 Indurasi 6-9 mm ( diameternya) maka hasil meragukan
 Indurasi 10-15 mm yang artinya hasil mantoux positif.
 Indurasi lebih dari 16 mm hasil mantoux positif kuat.
 Reaksi timbul 48-72 jam setelah injeksi antigen intrakutanberupa
indurasi kemerahan yang terdiri dari infiltrasi limfosit yakni
persenyawaan antara antibody dan antigen tuberculin.
e. Rontgen dada
Menunjukkan adanya infiltrasilesi pada paru-paru bagian atas, timbunan
kalsium dari lesi primer atau penumpukan cairan. Perubahan yang
menunjukkan perkembanganT uberkulosis meliputi adanya kavitas dan area
fibrosa.
f. Pemeriksaan histology/kultur jaringan
Positif bila terdapat Miko bakterium Tuberkulosis.
g. Biopsi jaringan paru
Menampakkan adanya sel-sel yang besar yang mengindikasikan terjadinya
nekrosis.
h. Pemeriksaan elektrolit
Mungkin abnormal tergantung lokasi dan beratnya infeksi.
i. Analisa gas darah (AGD)
Mungkin abnormal tergantung lokasi, berat, dan adanya sisa kerusakan
jaringan paru.
j. Pemeriksaan fungsi paru
Turunnya kapasitas vital, meningkatnya ruang fungsi, meningkatnya rasio
residu udara pada kapasitas total paru, dan menurunnya saturasi oksigen
sebagai akibat infiltrasi parenkim / fibrosa, hilangnya jaringan paru, dan
kelainan pleura (akibat dari tuberkulosis kronis)

Gambar 2.5 Alur Diagnosis TB Paru


(Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis, 2016)
2.4.8 Penatalaksanaan TBC
A. Pengobatan TBC Paru
Pengobatan tetap dibagi dalam dua tahap yakni:
1. Tahap intensif (initial)
Dengan memberikan 4–5 macam obat anti TB per hari dengan
tujuanmendapatkan konversi sputum dengan cepat (efek bakterisidal),
menghilangkan keluhan dan mencegah efek penyakit lebih lanjut, mencegah
timbulnya resistensi obat.
2. Tahap lanjutan (continuation phase)
Dengan hanya memberikan 2 macam obat per hari atau secaraintermitten
dengan tujuanmenghilangkan bakteri yang tersisa (efek sterilisasi),
mencegah kekambuhanpemberian dosis diatur berdasarkanberat badan
yakni kurang dari 33 kg, 33 –50 kg dan lebih dari 50 kg.

Kemajuan pengobatan dapat terlihat dari perbaikan klinis (hilangnya keluhan,


nafsu makan meningkat, berat badan naik dan lain-lain), berkurangnya kelainan
radiologis paru dan konversi sputum menjadi negatif. Kontrol terhadap sputum
BTA langsung dilakukan pada akhir bulan ke-2, 4, dan 6. Pada yang memakai
paduan obat 8 bulan sputum BTA diperiksa pada akhir bulan ke-2, 5, dan 8.
BTA dilakukan pada permulaan, akhir bulan ke-2 dan akhir pengobatan.
Kontrol terhadap pemeriksaan radiologis dada, kurang begitu berperan dalam
evaluasi pengobatan. Bila fasilitas memungkinkan foto dapat dibuat pada akhir
pengobatan sebagai dokumentasi untuk perbandingan bila nantsi timbul kasus
kambuh.

Paduan OAT yang digunakan di Indonesia


Paduan OAT yang digunakan oleh Program Nasional
PengendalianTuberkulosis di Indonesia:
 Kategori 1: 2(HRZE)/4(HR)3
Kategori 2 : 2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)3E3
 Disamping kedua kategori ini, disediakan paduan obat sisipan (HRZE).
 Kategori Anak: 2HRZ/4HR
 Obat yang digunakan dalam tatalaksana pasien TB resistan obat diIndonesia
terdiri dari OAT lini ke-2 yaitu Kanamycin, Capreomisin,Levofloksasin,
Ethionamide, sikloserin dan PAS, serta OAT lini-1, yaitu pirazinamid dan
etambutol.
 Paduan OAT kategori-1 dan kategori-2 disediakan dalam bentuk paket
berupa obat kombinasi dosis tetap (OAT-KDT). Tablet OAT KDT ini terdiri
dari kombinasi 2 atau 4 jenis obat dalam satu tablet. Dosisnya disesuaikan
dengan berat badan pasien. Paduan ini dikemas dalam satu paket untuk satu
pasien.
 Paket Kombipak adalah paket obat lepas yang terdiri dari Isoniasid,
Rifampisin, Pirazinamid dan Etambutol yang dikemas dalam bentuk blister.
 Paduan OAT ini disediakan program untuk digunakan dalam pengobatan
pasien yang mengalami efek samping OAT KDT.
 Paduan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) disediakan dalam bentuk paket,
dengan tujuan untuk memudahkan pemberian obat dan menjamin
kelangsungan.

B. Perawatan bagi penderita tuberculosis


Perawatan yang harus dilakukan pada penderita tuberculosis adalah:
1. Awasi penderita minum obat, yang paling berperan disini adalah orang
terdekat yaitu keluarga.
2. Mengetahui adanya gejala efek samping obat dan merujuk bila diperlukan.
3. Mencukupi kebutuhan gizi seimbang penderita.
4. Istirahat teratur minimal 8 jam per hari.
5. Mengingatkan penderita untuk periksa ulang dahak pada bulan kedua,
kelima dan enam.
6. Menciptakan lingkungan rumah dengan ventilasi dan pencahayaan yang
baik

C. Pencegahan penularan TBC


Tindakan pencegahan yang dapat dilakukan adalah:
1. Menutup mulut bila batuk
2. Membuang dahak tidak di sembarang tempat. Buang dahak pada wadah
tertutup yang diberi lisol.
3. Makanmakanan bergizI
4. Memisahkan alat makan dan minum bekas penderita.
5. Memperhatikan lingkungan rumah, cahaya dan ventilasi yang baik
Untuk bayi diberikan imunisasi BCG (Depkes RI, 2010).
BAB III
INFORMASI PENGGUNAAN OBAT

No. Jenis Obat Rute Aturan Pakai Dosis Indikasi Kontra Indikasi Efek Samping
1. Ringer Laktat IV 1000 mL 20 ml/kgBB dalam Mengatasi gangguan Hipernatremia, Alergi Nyeri dada, detak
20-30 tpm 24 jam irama jantung dan terhadap sodium laktat jantung tidak
pengaturan normal, turunnya
keseimbangan cairan tekanan darah,
dalam tubuh kesulitan bernapas
2. Ceftriaxone IV 1 gram 1-2 gram/hari pada Infkesi saluran kemih, Hipersensitivitas > 10% Indurasi
2 x 1 vial infeksi berat dosis infeksi saluran terhadap cephalosporin. setelah injeksi IM
dapat ditingkatkan pernafasan terutama (5-17%)
sampai 4 gram/hari pneumonia infeksi THT 1-10% Eosinofilia
(6%)
Trombositosis
(5%) Diare (3%)
Peningkatan
transaminase hati
(3%) Leukopenia
(2%) Ruam (2%)
Peningkatan
nitrogen urea darah
(BUN) (1%)
Indurasi di situs IV
(1%)
Nyeri (1%)
3. Cefixime PO 100 mg Dewasa dan anak > Infeksi yang disebabkan Hipersensitivitas Diare, nyeri
2 x 1 Kapsul 12 tahun atau BB > oleh pathogen yang terhadap cephalosporin. abdomen, mual,
30 kg : 2 x 50 – 100 sensitive terhadap muntah, dyspepsia,
mg/sehari. cefixime pada penyakit kembung,
Untuk infeksi berat ISK tanpa komplikasi pseudomembranosa
dosis dapat (sistitis, sistouretritis, colitis, anoreksia,
ditingkatkan hingga pielonefritis), infeksi rasa terbakar, dan
2 x 200 mg sehari. saluran nafas atas (otitis reaksi
media, faringitis, hipersensitivitas
tonsillitis), infeksi (ruam kulit,
saluran nafas bawah urtikaria, pruritus).
(bronchitis akut dan
bronchitis kronik
eksaserbasi akut).
3. Ketorolac IV 30 mg Dosis awal 10 mg, Penatalaksanaan jangka Riwayat alergi terhadap Sakit perut,
3 x 1 vial diikuti dengan 10-30 pendek terhadap nyeri acetosal atau OAINS, muntah, sembelit,
mg setiap 4-6 jam. akut, sedang, sampai ulkus peptikum aktif diare, kembung,
Jika diperlukan berat setelah prosedur atau peradangan dan pusing.
pemberian ketorolac bedah. gastrointestinal,
bias dilakukan setiap penyakit ginjal sedang
2 jam. sampai berat, hamil,
Dosis maksimal 90 laktasi, anak < 16
mg/hari. tahun, penyakit
Pada pasien dengan cerbrovaskular,
BB < 50 Kg dosis gangguan koagulasi,
maksimal 60 dan hypovolemia.
mg/hari.
4. Ranitidin IV 50 mg 50 mg (2 ml) tiap 6- Tukak lambung, tukak Penderita yang Konstipasi, diare,
2 x 1 vial 8 jam. Untuk injeksi duodenum, refluks hipersensitif terhadap mual, muntah,
intravena lambat: 50 esophagitis, hipersekresi ranitidine atau H2 nyeri perut, sakit
mg diencerkan patologis. kepala, malaise,
sampai 20 mL dan reseptor antagonis insomnia,
diberikan selama lainnya. mengantuk, dan
tidak kurang dari 2 reaksi
menit, dapat diulang hipersensitifitas.
setiap 6-8 jam.
5 Paracetamol PO 500 mg 500 – 1000 mg per Nyeri ringan sampai Hipersensitif terhadap Reaksi alergi, ruam
3 x 1 Tablet kali, diberikan tiap sedang dan demam paracetamol dan kulit berupa
4-6 jam. Maksimum gangguan hati. eritema atau
4 gr/hari. urtikaria, kelainan
darah, hipotensi
dan kerusakan hati.
6. Erdobat PO 175 mg/5 mL Erdosteine dry sirup: Mukolitik pada infeksi Hipersensitif terhadap Hipersensitivitas
3 x 1 cth 175 mg/5 mL saluran nafas akut dan erdosteine, pasien
Dewasa dan anak kronik. sirosis hati dan
BB > 30 kg: 2 x 350 kekurangan enzyme
mg sehari crystathionine sintetase,
fenilketonurea (hanya
pada granul), pasien
gagal ginjal (dengan
kreatinin klirens < 25
mL/min)
7. Pro TB 4 PO 4 mg Dewasa dengan BB Penanganan TBC dan Reaksi alergi berlebih Urine dan keringat
3-0-0 Tablet > 71 kg 1 x sehari 5 infeksi mikobacterial terhadap rifampicin dan menjadi merah,
tablet, 55-70 kg 1 x tertentu. INH, hepatitis, gangguan hati,
sehari 4 tablet, 38- kerusakan hati parah, gangguan lambung,
54 kg 1 x sehari 3 neuritis optic, gangguan nyeri sendi, gatal-
tablet, 30-37 kg 1 x fungsi ginjal, epilepsy, gatal, dan
sehari 2 tablet. dan alkoholisme kronis. gangguan
pendengaran.
8. Hepabalane PO 1 x 1 Tablet 1 – 2 kali sehari 1 Membantu memelihara - -
kaplet kesehatan fungsi hari.
9. Detol OL 1 x sehari Gunakan sesuai Cairan antiseptic - -
kebutuhan digunakan untuk
pertolongan pertama,
medis, dan kebersihan
pribadi. Dengan manfaat
perlindungan dari
penyakit yang
disebabkan kuman,
mempercepat
penyembuhan luka,
lecet, gigitan dan
sengatan serangga.
10 Interzing PO 20 mg/5 mL Anak 6 bulan – 5 Terapi penunjang atau Hipersensitivitas Penggunaan dosis
2 x 20 mL tahun : 1 sendok suplemen untuk diare tinggi ( dosis > 150
takar (5 mL) per akut non spesifik pada mg/hari) pada
hari. anak. jangka waktu lama
Bayi 2 – 6 bulan : dapat
0,5 sendok takar (5 menyebabkan
mL) per hari. Semua penurunan absorbs
dosis di berikan tembaga. Mual,
selama 10 hari muntah, rasa pahit
berturut-turut. pada lidah.
11 Vitamin B1 PO 100 mg Pengobatan : 2 – 3 Pencegahan dan - -
3 x 1 Tablet kali sehari 1 tablet. pengobatan defisiensi
Pencegahan : 1 kali thiamine.
sehari 1 tablet.
BAB IV
PEMANTAUAN TERAPI OBAT (PTO)

4.1 Data Dan Profil Pengobatan Pasien


IDENTITAS PASIEN Ruang rawat : Bhayangkara
Nama inisial : Ny. S*** melalui IGD
Tanggal Lahir : 14/08/2001 Nomer rekam medik : 00.248.851
Umur : 19 th 1 bln 13 hr Tanggal masuk : 26/09/2020
Jenis kelamin : Perempuan Tanggal keluar : 30/9/2020
Alamat :KP. Blok sepatu RT: 1 RW: Status pulang :
4 kel Cibaduyut Kidul Kec. Bojongloa Dokter : dr.D., Sp.B
Kidul Kota Bandung Apoteker : A.S., S.Farm., Apt.
M.PA
DATA KLINIS AWAL RIWAYAT KONSUMSI OBAT
Keadaan umum: Lemah Riwayat Konsumsi Obat:
Kesadaran: compos mentis Antibiotik
GCS : E 4 V 5 M 6
Tekanan darah:110/70 mmHg
Nadi: 90x / menit
Respirasi: 20 x/menit
Suhu: 36,6 oC
Tinggi Badan: cm
Berat Badan: kg
Alasan Masuk Rumah Sakit
Nyeri pada lubang diantara vagina dan anus
Riwayat Penyakit Sekarang
Nyeri pada lubang diantara vagina dan anussejak 1 bulan sekarang awalnya
seperti bisul lalu pecah. Keluar nanah, keluar fases, demam sejak 1 bulan,
hilang timbul bila malam hari. Ada batuk sejak 1 bulan sekarang, hilang
timbul tidak sembuh. Batuk tidak berdahak, berat badan sulit naik, BAB
berdarah, dan pasien tinggal serumah dengan 4 keluarga.

Anda mungkin juga menyukai