Pto Dian
Pto Dian
Pelayanan farmasi klinik yang dilakukan meliputi pengkajian dan pelayanan Resep;
penelusuran riwayat penggunaan Obat; rekonsiliasi Obat; Pelayanan Informasi
Obat (PIO); konseling; visite; Pemantauan Terapi Obat (PTO); Monitoring Efek
Samping Obat (MESO); Evaluasi Penggunaan Obat (EPO); dispensing sediaan
steril; dan Pemantauan Kadar Obat dalam Darah (Permenkes, 2016).
Pemantauan Terapi Obat (PTO) merupakan suatu proses yang mencakup kegiatan
untuk memastikan terapi Obat yang aman, efektif dan rasional bagi pasien. Tujuan
dilakukannya PTO adalah meningkatkan efektivitas terapi dan meminimalkan
risiko Reaksi Obat yang Tidak Dikehendaki (ROTD). Kegiatan dalam PTO
meliputi: pengkajian pemilihan Obat, dosis, cara pemberian Obat, respons terapi,
Reaksi Obat yang Tidak Dikehendaki (ROTD); pemberian rekomendasi
penyelesaian masalah terkait Obat; dan pemantauan efektivitas dan efek samping
terapi Obat. Adapun tahapan dari PTO adalah pengumpulan data pasien;
identifikasi masalah terkait Obat; rekomendasi penyelesaian masalah terkait Obat;
pemantauan; dan tindak lanjut (Permenkes, 2016).
Faktor yang harus diperhatikan dalam PTO meliputi: kemampuan penelusuran
informasi dan penilaian kritis terhadap bukti terkini dan terpercaya (Evidence Best
Medicine); kerahasiaan informasi; dan kerjasama dengan tim kesehatan lain (dokter
dan perawat) (Permenkes, 2016).
1.3 Tujuan
Evaluasi ketepatan diagnosis dan penggunaan obat berdasarkan data klinis pasien
1.4 Manfaat
Sebagai sarana serta gambaran tentang peran dan tanggung jawab seorang apoteker
di Rumah Sakit khususnya dalam pelayanan farmasi klinik dalam pemantauan
terapi obat.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Pemantauan terapi obat adalah proses yang meliputi semua fungsi yang perlu untuk
menjamin terapi obat kepada pasien yang aman, efektif, rasional dan ekonomis.
Pemantauan terapi obat harus dilakukan secara berkesinambungan dan dievaluasi
secara teratur pada periode tertentu agar keberhasilan ataupun kegagalan terapi
dapat diketahui. Pasien yang mendapatkan terapi obat mempunyai risiko
mengalami masalah terkait obat. Kompleksitas penyakit dan penggunaan obat, serta
respons pasien yang sangat individual meningkatkan munculnya masalah terkait
obat. Hal tersebut menyebabkan perlunya dilakukan PTO dalam praktek profesi
untuk mengoptimalkan efek terapi dan meminimalkan efek yang tidak dikehendaki
(Dirjen Binfar, 2009).
2.2.7 Dokumentasi
Setiap langkah kegiatan pemantauan terapi obat yang dilakukan harus
didokumentasikan. Hal ini penting karena berkaitan dengan bukti otentik
pelaksanaan pelayanan kefarmasian yang dapat digunakan untuk tujuan
akuntabilitas atau pertanggungjawaban, evaluasi pelayanan, pendidikan dan
penelitian. Sistimatika pendokumentasian harus dibuat sedemikian rupa sehingga
mudah untuk penelusuran kembali. Pendokumentasian dapat dilakukan
berdasarkan nomor rekam medik, nama, penyakit, ruangan dan usia. Data dapat
didokumentasikan secara manual, elektronik atau keduanya. Data bersifat rahasia
dan disimpan dengan rentang waktu sesuai kebutuhan. Sesuai dengan etik
penelitian, untuk publikasi hasil penelitian identitas pasien harus disamarkan
Menurut Price dan Wilson (1995) usus besar merupakan tabung muskular
berrongga dengan panjang sekitar 5 kaki (sekita 1,5 m) yang terbentang dari
sekum sampai kanalis ani. Diameter usus besar sudah pasti lebih besar dari
pada usus kecil. Rata – rata sekitar 2,5 inci (sekitar 6,5 cm), tetapi makin dekat
anus diameternya semakin kecil.Usus besar dibagi menjadi sekum, kolon dan
rektum. Pada sekum terdapatkatup ileosekal dan apendiks yang melekat pada
ujung sekum. Sekum menempati sekitar dua atau tiga inci pertama dari usus
besar. Kolon dibagi lagi menjadi kolon asendens, transversum, desendens, dan
sigmoid. Kolon sigmoid mulai setinggi krista iliaka dan berbentuk suatu
lekukan berbentuk S. Lekukan bagian bawah membelok ke kiri waktu kolon
sigmoid bersatu dengan rektum, yang menjelaskan alasan anatomis meletakkan
penderita pada sisi kiribila diberi enema. Bagian usus besar besar yang terakhir
dinamakan rektum yang terbentang dari kolon sigmoid sampai anus (muara ke
bagian luar tubuh). Satu inci terakhir dari rektum dinamakan kanalis ani dan
dilindungi oleh sfingter ani eksternus dan internus.Panjang rektum dan kanalis
ani sekitar 5,9 inci (15 cm). Usus besar dibagi menjadi belahan kiri dan dan
kanan sejalan dengan suplai darah yang diterima. Arteria mesenterika superior
memperdarahi belahan bagian kanan (sekum, kolon ascendens dan dua pertiga
proksimal kolon transversum), dan arteria mesenterika inferior memperdarahi
belahan kiri (sepertiga distal kolon transversum, ascendens dansigmoid, dan
sebagian proksimal rektum). Kanalis analis anatomi meluas dari kulit perineum
ke linea dentata. Operasilubang anus memanjang dari kulit perineum ke ring
anorektal. Ini adalah batas atas melingkar dari otot puborectal digital yang
teraba pada pemeriksaan rektal.
Pinggiran anal adalah pertemuan antara anoderm dan kulit perianal. Anoderm
merupakan epitel tersendiri yang kaya akan saraf tapi kurang dalam hal
perangkat kulit (folikel rambut, kelenjar sebasea, atau kelenjar keringat). Linea
dentata atau linea pectinata yang merupakan pertemuan mukokutaneus
sebenarnya, terletak 1-1,5 di atas pinggiran anal. Terdapat zona transisional
atau cloacogenik sebesar 6 – 12 mm di atas linea dentata, yang merupakan
peralihan epitel skuamosa anoderm menjadi kuboidal dan kemudian epitel
kolumnar (Cameron, 1997).
Kanalis anal dikelilingi oleh sebuah sfingter eksternal dan internal, yang
keduanya menjalankan mekanisme sfingter anal. Sfingter internal merupakan
kelanjutan dari bagian dalam otot polos sirkuler rektum. Juga merupakan
ototinvolunter dan normalnya berkontraksi saat istirahat. Bidang intersfingterik
menggambarkan kelanjutan fibrosa dari lapisan otot polos longitudinal rektum.
Sfingter eksternal merupakan otot volunter berlurik, yang terbagi menjadi tiga
putaran bentuk U (subkutaneus, superfisial, dan profunda) namun bekerja
sebagai satu kesatuan.
Sfingter eksternal merupakan kelanjutan dari otot-otot levator dari dasar pubis,
khususnya otot puborectalis. Putaran paling atas terbentuk oleh otot
puborektalis, yang berasal dari pubis. Putaran di tengah terbentuk oleh otot
sfingter eksternal superfisial, yang berasal dari ujung coccyx atau ligamentum
anococcygeal. Putaran yang paling bawah tersusun oleh lapisan subkutaneus
dari otot sfingter eksternal. Otot puborektalis berasal dari pubis dan menyatu
pada posterior darirektum. Normalnya sfingter berkontraksi menghasilkan
penyudutan 80° dari sudut pertemuan anorektal.
Dari area setinggi cincin anorectal ke arah distal dan antara otot sfingter
internal dan eksternal, lapisan otot longitudinal rektum menyatu dengan serat
dari levatorani dan otot puborektalis yang kemudian membentuk otot
longitudinal conjoined. Serat-serat otot ini, yang dapat memotong bagian
bawah dari sfingter eksternal untuk kemudian masuk ke dalam kulit perianal
dan mengerutkan pinggiran anal, disebut sebagai corrugator cutis ani.
2.3.3 Epidemiologi
Menurut Smeltzer dan Bare (2002) fistula ani adalah saluran tipis, tubuler, fibrosa
yang meluas ke dalam saluran anal dari lubang yang terletak disamping anus.
Fistula ani sering terjadi pada laki laki berumur 20 – 40 tahun sedangkan pada
perempuan berusia 20 – 35 tahun, berkisar 1-3 kasus tiap 10.000 orang.
Sebagian besar fistula terbentuk dari sebuah abses (tapi tidak semua abses menjadi
fistula). Sekitar 40% pasien dengan abses akan terbentuk fistula. Insiden dan
epidemiologi fistula ani dipelajari antara penduduk Kota Helsinki selama periode
10 tahun, 1969-1978. Kejadian rata-rata per 100.000 penduduk adalah 12,3% untuk
pria dan 5,6% untuk perempuan (Breen, 2011). Menurut data dari rekam medis
RSUD Tarakan jumlah penderita fistula perianal pada tahun 2009 adalah 0%, dan
pada tahun 2010 sampai dengan Juni 2011 tidak ditemukan adanya penderita fistula
perianal (0%). Sedangkan berdasarkan data yang diperoleh dari rekam medik di
RSUD Banyumas pada bulan April, Mei dan Juni tahun 2012 penyakit usus dan
saluran cerna sekarang sudah mencapai 138 orang. Pada laki-laki 68 orang dan
perempuan 70 orang.Kasus fistula perinal di RSUD Banyumas terdapat sekitar 2
orang.Walaupun kasus fistula di RSUD Banyumas bukan termasuk kasus penyakit
yang terbanyak dari penyakit lainnya, namun apabila tidak segeraditangani dari
fistula yang belum terinfeksi akan menjadi fistula terinfeksi menyebabkan menjadi
fistula perianal yang harus ditangani segera mungkin dengan jalan operasi.
Tindakan operasi untuk menangani fistula perianal ini biasanya dilakukan jenis
operasi fistulektomi. Setelah dilakukan operasi tentunya harus mendapatkan
penanganan yang lebih lanjut seperti perawatan luka post operasi.
Pada operasi fistulektomi akan terdapat tampon di dalam luka operasinya. Sebagian
besar fistula perianal memerlukan operasi karena fistula perianal jarang sembuh
spontan. Setelah operasi risiko kekambuhan fistula termasuk cukup tinggi yaitu
sekitar 21% (satu dari lima pasien dengan fistula post operasi akan mengalami
kekambuhan). Disinilah tampon harus diganti setiap hari. Penggantiaan tampon
pada luka post operasi ini yang akan menyebabkan nyeri yang sangat pada pasien.
Menurut Price dan Wilson (1994) tanda dan gejala dari fistula perianal yaitu
1. Fistula perianal biasannya ditandai dengan pembengkakan yang berwarna
merah.
2. Nyeri yang sangat saat akan duduk.
3. Pus yang bocor secara konstan dari lubang kutaneus
Menurut Cameron (1997) Faktor resiko fistula ani adalah infeksi yang disebabkan:
a. Tuberkulosis
b. Aktinomikosis, limfogranuloma venereum
c. Penyakit Crohn Menurut Thomson (1997) penyakit Crohn adalah penyakit
yang sering dikenal ileitis regional, karena ini merupakan tempat yang
lazim, tetapi yunum (usus 12 jari) dan lambung kadang-kadang terkena dan
kolon dapat juga terlibat kolitis regional.
Menurut Thomson (1997) penyakit Crohn adalah penyakit yang sering dikenal
ileitis regional, karena ini merupakan tempat yang lazim, tetapi yunum(usus 12 jari)
dan lambung kadang-kadang terkena dan kolon dapat juga terlibat kolitis regional.
2.3.6 Patofisiologi
Menurut Thomson dan Cotton (1997) fistula timbul setelah infeksi dari kelenjar
anal. Dikarenakan abses anorektal dan juga penyakit tuberkulosis, aktinomikosis/
limfogranuloma venereum dan penyakit Crohn. Kelenjar yang mensekresi mukus
ini terletak dalam submukosa, dalam otot dan diantara lapisan otot longitudinal dan
sirkulasi berhubungan dengan kanalis ani melalui duktus yang panjang dan sempit.
Selain itu kriptoglandular, yang menjelaskan bahwa fistula ani merupakan abses
anorektal tahap akhir yang telah terdrainase dan membentuk traktus.
Kanalis anal mempunyai 6-14 kelenjar kecil yang terproyeksi melalui sfingter
internal dan mengalir menuju kripta pada linea dentata. Kelenjar dapat terinfeksi
dan menyebabkan penyumbatan. Bersamaan dengan penyumbatan itu,
terperangkap juga feces dan bakteri dalam kelenjar. Penyumbatan ini juga dapat
terjadi setelah trauma, pengeluaran feces yang keras, atau proses inflamasi. Apabila
kripta tidak kembali membuka ke kanalis anal, maka akan terbentuk abses di dalam
rongga intersfingterik. Abses lama kelamaan akan menghasilkan jalan keluar
dengan meninggalkan fistula. Kalau sudah menjadi fistula perianal harus segera
dilakukan tindakan operasi. Pengobatan fistula perianal adalah insisi dan drainase
abses, serta eksisi fistula yang berhubungan. Operasi yang sering digunakan untuk
fistula perianal yaitu fistulektomi. Setalah pembedahanini harus memerlukan
penanganan keperawatan untuk mengatasi luka post operasi.
Untuk memperbaiki fistula yang lebih rumit, seperti horshoe fistula (dimana
jalurnya melewati sekitar dua sisi tubuh dan mempunyai muara eksternal pada
kedua sisi dari anus), dokter bedah dapat membiarkan terbuka hanya pada
segmen dimana jalurnya bersatu dan mengeluarkan jalur sisanya. Jika sejumlah
banyak otot sfingter yang harus digunting, pembedahan dapat dilakukan dalam
lebih dari satu tahap dan harus diulang jika seluruh saluran belum dapat
ditemukan.
Gambar 2.2 Estimasi Jumlah Kasus Baru (incidence) TBC di Negara yang
Memiliki Paling Sedikit 100.000 Kasus Baru, 2016 (Global
Tuberculosis Report, 2017)
Jumlah kasus baru TB di Indonesia sebanyak 420.994 kasus pada tahun 2017 (data
per 17 Mei 2018). Berdasarkan jenis kelamin, jumlah kasus baru TBC tahun 2017
pada laki-laki 1,4 kali lebih besar dibandingkan pada perempuan. Bahkan
berdasarkan Survei Prevalensi Tuberkulosis prevalensi pada laki-laki 3 kali lebih
tinggi dibandingkan pada perempuan. Begitu juga yang terjadi di negara-negara
lain. Hal ini terjadi kemungkinan karena laki-laki lebih terpapar pada fakto risiko
TBC misalnya merokok dan kurangnya ketidakpatuhan minum obat. Survei ini
menemukan bahwa dari seluruh partisipan laki-laki yang merokok sebanyak 68,5%
dan hanya 3,7% partisipan perempuan yang merokok.
2.4.3 Tanda dan Gejala TBC (Tuberculosis)
Tanda dan gejala yang sering terjadi pada Tuberkulosis adalah batuk yang tidak
spesifik tetapi progresif. Penyakit Tuberkulosis paru biasanya tidak tampak adanya
tanda dan gejala yang khas. Biasanya keluhan yang muncul adalah (Pedoman
Nasional Pengendalian Tuberkulosis, 2016):
a. Demam terjadi lebih dari satu bulan, biasanya pada pagi hari.
b. Batuk, terjadi karena adanya iritasi pada bronkus; batuk ini membuang /
mengeluarkan produksi radang, dimulai dari batuk kering sampai batuk
purulent (menghasilkan sputum) terjadi selama 2 minggu atau lebih.
c. Sesak nafas, terjadi bila sudah lanjut dimana infiltrasi radang sampai
setengah paru.
d. Nyeri dada. Nyeri dada ini jarang ditemukan, nyeri timbul bila infiltrasi
radang sampai ke pleura sehingga menimbulkan pleuritis
e. Malaise ditemukan berupa anoreksia, berat badan menurun, sakit kepala,
nyeri otot dan keringat di waktu di malam hari
f. Berkeringat malam hari tanpa kegiatan fisik dan demam meriang lebih dari
satu bulan.
g. Pada pasien dengan HIV positif, batuk sering kali bukan merupakan gejala
TBC yang khas, sehingga gejala batuk tidak harus selalu selama 2 minggu
atau lebih.
Faktor risiko kejadian TB, secara ringkas digambarkan pada gambar berikut:
1. Jumlah kasus TB BTA+
2. Faktor lingkungan:
- Ventilasi
- Kepadatan Dalam ruangan
3. Faktor Perilaku Risiko menjadi TB bila dengan HIV:
• 5-10% setiap tahun
• >30% lifetime
4. Riwayat alamiah pasien TB yang tidak diobati.
Pasien yang tidak diobati setelah 5 tahun, akan: 50% meninggal, 25% akan
sembuh sendiri dengan daya tahan tubuh yang tinggi, dan 25% menjadi
kasus kronis yang tetap menular.
2.4.6 Patofisiologi
Tempat masuk kuman Mycobacterium Tuberculosis adalah saluran pernafasan,
saluran pencernaan dan luka terbuka pada kulit. Kebanyakan infeksi tuberkulosis
(TBC) terjadi melalui udara, yaitu melalui inhalasi droplet yang mengandung
kuman-kuman basil tuberkel yang berasal dari orang yang terinfeksi.
Pneumonia seluler ini dapat sembuh dengan sendirinya, sehingga tidak ada sisa
yang tertinggal, atau proses dapat juga berjalan terus, dan bakteri terus
difagosit atau berkembangbiak di dalam sel. Basil juga menyebar melalui
getah bening menuju ke kelenjar getah bening regional. Makrofag yang
mengadakan infiltrasi menjadi lebih panjang dan sebagian bersatu sehingga
membentuk sel tuberkel epiteloid, yang dikelilingi oleh limfosit. Reaksi ini
membutuhkan waktu 10 –20 hari.
Nekrosis bagian sentral lesi memberikan gambaran yang relatif padat dan
seperti keju, isi nekrosis ini disebut nekrosis kaseosa. Bagian ini disebut dengan
lesi primer. Daerah yang mengalami nekrosis kaseosa dan jaringan granulasi
di sekitarnya yang terdiri dari sel epiteloid dan fibroblast, menimbulkan respon
yang berbeda. Jaringan granulasi menjadi lebih fibrosa membentuk jaringan
parut yang akhirnya akan membentuk suatu kapsul yang mengelilingi tuberkel.
Penyakit dapat menyebar melalui getah bening atau pembuluh darah. Organisme
yang lolos melalui kelenjar getah bening akan mencapai aliran darah dalam jumlah
kecil, yang kadang-kadang dapat menimbulkan lesi pada berbagai organ lain. Jenis
penyebaran ini dikenal sebagai penyebaran limfohematogen, yang biasanya
sembuh sendiri. Penyebaran hematogen merupakan suatu fenomena akut yang
biasanya menyebabkan Tuberkulosis milier. Ini terjadi apabila fokus nekrotik
merusak pembuluh darah sehingga banyak organisme masuk kedalam sistem
vaskuler dan tersebar ke organ-organ tubuh. Komplikasi yang dapat timbul akibat
Tuberkulosis terjadi pada sistem pernafasan dan di luar sistem pernafasan. Pada
sistem pernafasan antara lain menimbulkan pneumothoraks, efusi pleural, dan
gagal nafas, sedang diluarsistem pernafasan menimbulkan Tuberkulosis usus,
Meningitis serosa, dan Tuberkulosis milier (Kowalak, 2011).
2.4.7 Diagnosis
Pemeriksaan yang dilakukan pada penderita TB paru adalah:
a. Pemeriksaan Diagnostik
b. Pemeriksaan sputum
Pemeriksaan sputum sangat penting karena dengan di ketemukannya
kuman BTA diagnosis tuberculosis sudah dapat di pastikan. Pemeriksaan
dahak dilakukan 3 kali yaitu: dahak sewaktu datang, dahak pagi dan
dahak sewaktu kunjungan kedua. Bila didapatkan hasil dua kali positif maka
dikatakan mikroskopik BTA positif. Bila satu positif, dua kali negatif
makapemeriksaan perlu diulang kembali. Pada pemeriksaan ulang akan
didapatkan satu kali positif maka dikatakan mikroskopik BTA negatif.
c. Ziehl-Neelsen (Pewarnaan terhadap sputum).
Positif jika diketemukan bakteri taham asam.
d. Skin test (PPD, Mantoux)
Hasil tes mantaoux dibagi menjadi :
Indurasi 0-5 mm (diameternya) maka mantoux negative atau hasil
negatif.
Indurasi 6-9 mm ( diameternya) maka hasil meragukan
Indurasi 10-15 mm yang artinya hasil mantoux positif.
Indurasi lebih dari 16 mm hasil mantoux positif kuat.
Reaksi timbul 48-72 jam setelah injeksi antigen intrakutanberupa
indurasi kemerahan yang terdiri dari infiltrasi limfosit yakni
persenyawaan antara antibody dan antigen tuberculin.
e. Rontgen dada
Menunjukkan adanya infiltrasilesi pada paru-paru bagian atas, timbunan
kalsium dari lesi primer atau penumpukan cairan. Perubahan yang
menunjukkan perkembanganT uberkulosis meliputi adanya kavitas dan area
fibrosa.
f. Pemeriksaan histology/kultur jaringan
Positif bila terdapat Miko bakterium Tuberkulosis.
g. Biopsi jaringan paru
Menampakkan adanya sel-sel yang besar yang mengindikasikan terjadinya
nekrosis.
h. Pemeriksaan elektrolit
Mungkin abnormal tergantung lokasi dan beratnya infeksi.
i. Analisa gas darah (AGD)
Mungkin abnormal tergantung lokasi, berat, dan adanya sisa kerusakan
jaringan paru.
j. Pemeriksaan fungsi paru
Turunnya kapasitas vital, meningkatnya ruang fungsi, meningkatnya rasio
residu udara pada kapasitas total paru, dan menurunnya saturasi oksigen
sebagai akibat infiltrasi parenkim / fibrosa, hilangnya jaringan paru, dan
kelainan pleura (akibat dari tuberkulosis kronis)
No. Jenis Obat Rute Aturan Pakai Dosis Indikasi Kontra Indikasi Efek Samping
1. Ringer Laktat IV 1000 mL 20 ml/kgBB dalam Mengatasi gangguan Hipernatremia, Alergi Nyeri dada, detak
20-30 tpm 24 jam irama jantung dan terhadap sodium laktat jantung tidak
pengaturan normal, turunnya
keseimbangan cairan tekanan darah,
dalam tubuh kesulitan bernapas
2. Ceftriaxone IV 1 gram 1-2 gram/hari pada Infkesi saluran kemih, Hipersensitivitas > 10% Indurasi
2 x 1 vial infeksi berat dosis infeksi saluran terhadap cephalosporin. setelah injeksi IM
dapat ditingkatkan pernafasan terutama (5-17%)
sampai 4 gram/hari pneumonia infeksi THT 1-10% Eosinofilia
(6%)
Trombositosis
(5%) Diare (3%)
Peningkatan
transaminase hati
(3%) Leukopenia
(2%) Ruam (2%)
Peningkatan
nitrogen urea darah
(BUN) (1%)
Indurasi di situs IV
(1%)
Nyeri (1%)
3. Cefixime PO 100 mg Dewasa dan anak > Infeksi yang disebabkan Hipersensitivitas Diare, nyeri
2 x 1 Kapsul 12 tahun atau BB > oleh pathogen yang terhadap cephalosporin. abdomen, mual,
30 kg : 2 x 50 – 100 sensitive terhadap muntah, dyspepsia,
mg/sehari. cefixime pada penyakit kembung,
Untuk infeksi berat ISK tanpa komplikasi pseudomembranosa
dosis dapat (sistitis, sistouretritis, colitis, anoreksia,
ditingkatkan hingga pielonefritis), infeksi rasa terbakar, dan
2 x 200 mg sehari. saluran nafas atas (otitis reaksi
media, faringitis, hipersensitivitas
tonsillitis), infeksi (ruam kulit,
saluran nafas bawah urtikaria, pruritus).
(bronchitis akut dan
bronchitis kronik
eksaserbasi akut).
3. Ketorolac IV 30 mg Dosis awal 10 mg, Penatalaksanaan jangka Riwayat alergi terhadap Sakit perut,
3 x 1 vial diikuti dengan 10-30 pendek terhadap nyeri acetosal atau OAINS, muntah, sembelit,
mg setiap 4-6 jam. akut, sedang, sampai ulkus peptikum aktif diare, kembung,
Jika diperlukan berat setelah prosedur atau peradangan dan pusing.
pemberian ketorolac bedah. gastrointestinal,
bias dilakukan setiap penyakit ginjal sedang
2 jam. sampai berat, hamil,
Dosis maksimal 90 laktasi, anak < 16
mg/hari. tahun, penyakit
Pada pasien dengan cerbrovaskular,
BB < 50 Kg dosis gangguan koagulasi,
maksimal 60 dan hypovolemia.
mg/hari.
4. Ranitidin IV 50 mg 50 mg (2 ml) tiap 6- Tukak lambung, tukak Penderita yang Konstipasi, diare,
2 x 1 vial 8 jam. Untuk injeksi duodenum, refluks hipersensitif terhadap mual, muntah,
intravena lambat: 50 esophagitis, hipersekresi ranitidine atau H2 nyeri perut, sakit
mg diencerkan patologis. kepala, malaise,
sampai 20 mL dan reseptor antagonis insomnia,
diberikan selama lainnya. mengantuk, dan
tidak kurang dari 2 reaksi
menit, dapat diulang hipersensitifitas.
setiap 6-8 jam.
5 Paracetamol PO 500 mg 500 – 1000 mg per Nyeri ringan sampai Hipersensitif terhadap Reaksi alergi, ruam
3 x 1 Tablet kali, diberikan tiap sedang dan demam paracetamol dan kulit berupa
4-6 jam. Maksimum gangguan hati. eritema atau
4 gr/hari. urtikaria, kelainan
darah, hipotensi
dan kerusakan hati.
6. Erdobat PO 175 mg/5 mL Erdosteine dry sirup: Mukolitik pada infeksi Hipersensitif terhadap Hipersensitivitas
3 x 1 cth 175 mg/5 mL saluran nafas akut dan erdosteine, pasien
Dewasa dan anak kronik. sirosis hati dan
BB > 30 kg: 2 x 350 kekurangan enzyme
mg sehari crystathionine sintetase,
fenilketonurea (hanya
pada granul), pasien
gagal ginjal (dengan
kreatinin klirens < 25
mL/min)
7. Pro TB 4 PO 4 mg Dewasa dengan BB Penanganan TBC dan Reaksi alergi berlebih Urine dan keringat
3-0-0 Tablet > 71 kg 1 x sehari 5 infeksi mikobacterial terhadap rifampicin dan menjadi merah,
tablet, 55-70 kg 1 x tertentu. INH, hepatitis, gangguan hati,
sehari 4 tablet, 38- kerusakan hati parah, gangguan lambung,
54 kg 1 x sehari 3 neuritis optic, gangguan nyeri sendi, gatal-
tablet, 30-37 kg 1 x fungsi ginjal, epilepsy, gatal, dan
sehari 2 tablet. dan alkoholisme kronis. gangguan
pendengaran.
8. Hepabalane PO 1 x 1 Tablet 1 – 2 kali sehari 1 Membantu memelihara - -
kaplet kesehatan fungsi hari.
9. Detol OL 1 x sehari Gunakan sesuai Cairan antiseptic - -
kebutuhan digunakan untuk
pertolongan pertama,
medis, dan kebersihan
pribadi. Dengan manfaat
perlindungan dari
penyakit yang
disebabkan kuman,
mempercepat
penyembuhan luka,
lecet, gigitan dan
sengatan serangga.
10 Interzing PO 20 mg/5 mL Anak 6 bulan – 5 Terapi penunjang atau Hipersensitivitas Penggunaan dosis
2 x 20 mL tahun : 1 sendok suplemen untuk diare tinggi ( dosis > 150
takar (5 mL) per akut non spesifik pada mg/hari) pada
hari. anak. jangka waktu lama
Bayi 2 – 6 bulan : dapat
0,5 sendok takar (5 menyebabkan
mL) per hari. Semua penurunan absorbs
dosis di berikan tembaga. Mual,
selama 10 hari muntah, rasa pahit
berturut-turut. pada lidah.
11 Vitamin B1 PO 100 mg Pengobatan : 2 – 3 Pencegahan dan - -
3 x 1 Tablet kali sehari 1 tablet. pengobatan defisiensi
Pencegahan : 1 kali thiamine.
sehari 1 tablet.
BAB IV
PEMANTAUAN TERAPI OBAT (PTO)