Anda di halaman 1dari 51

LAPORAN PENDAHULUAN

MENINGITIS TUBERCOLOSIS (TB)

Disusun Oleh :
Mira Rahmayuni, S. Kep
Nim : 2114901025

Preceptor Akademik Preceptor Akademik

(Ns. Syalvia Oresti, S. Kep, M. Kep) (Ns. Rischa Hamdaanesti, S. Kep, M. Kep)
Preceptor Klinik Preceptor Klinik

(Ns. Yori Rahmi, S. Kep) (Ns. Rahmawirma, S. Kep)

SIKLUS KEPERAWATAN ANAK


RUANGAN HCU RSUP DR M JAMIL PADANG
PROGRAM STUDI PROFESI NERS SEKOLAH TINGGI ILMU
KESEHATAN ALIFAH TAHUN AJARAN : 2021/2022
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanallah wa Ta’ala


atas berkat dan rahmat-Nyalah sehingga penulis dapat menyelesaikan Laporan
Pedahuluan Keperawatan Anak dalam rangka memenuhi tugas Profesi Ners
Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Alifah Padang degan judul “Laporan
Pendahuluan Meningitis Tubercolosis Pada Anak”
Pada kesempatan ini, penulis hendak menyampaikan terimakasih kepada
semua pihak yang telah memberikan dukungan moril maupun materil sehingga
Laporan Pendahuluan ini dapat selesai. Ucapan terima kasih ini penulis tujukan
kepada :
1. Ibu Ns. Yori Rahmi, S. Kep selaku Preceptor Klinik Ruangan HCU RSUP
M Djamil Padang
2. Ibu Ns. Rahmawirma, S. Kep selaku Preceptor Klinik Ruangan HCU
RSUP M Djamil Padang
3. Ibu Ns. Syalvia Oresti, S. Kep, M. Kep selaku Preceptor Akademik dan
dosen keperawatan anak STIKes Alifah Padang
4. Ibu Ns. Rischa Hamdaanesti, S. Kep, M.Kep selaku Preceptor Akademik
dan dosen keperawatan anak STIKes Alifah Padang
Penulis menyadari bahwa Laporan ini masih banyak kekurangan. Oleh karena
itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari para pembaca
guna menyempurnakan segala kekurangan dalam penyusunan ini.

Padang, 6 Desember 2021

Penulis
DAFTAR ISI

COVER................................................................................................................i
KATA PENGANTAR.......................................................................................ii
DAFTAR ISI.....................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah................................................................................1
Tujuan Penelitian...........................................................................................4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Definisi....................................................................................................5
Anatomi dan Fisiologi Meningitis TB.....................................................7
Etiologi....................................................................................................9
Manifestasi Klinik.................................................................................13
Klasifikasi..............................................................................................15
Patofisiologi...........................................................................................16
Patway...................................................................................................18
Pemeriksaan Penunjang.........................................................................19
Penatalaksanaan.....................................................................................20
BAB III ASKEP TEORITIS
Pengkajian Keperawatan.......................................................................21
Diagnosa Keperawatan..........................................................................24
Intervensi Keperawatan.........................................................................30
Implementasi Keperawatan...................................................................35
Evaluasi Keperawatan...........................................................................40
BAB IV PENUTUP
Kesimpulan..................................................................................................43
Saran
DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................45
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Salah satu penyakit penyebab kematian utama yang disebabkan

oleh infeksi, adalah Tuberkulosis (TB). TB merupakan ancaman bagi

penduduk Indonesia, pada tahun 20018, sebanyak seperempat juta orang

bertambah penderita baru dan sekitar 140.000 kematian setiap tahunnya.

Sebagian besar penderita TB adalah penduduk yang berusia produktif

antara 15-55 tahun, dan penyakit ini merupakan penyebab kematian nomor

tiga setelah penyakit jantung dan penyakit pernafasan akut pada seluruh

kalangan usia (Suriadi, 2018)

Di Indonesia sejak tahun 1998 terjadi gejolak krisis

multidimensi yang telah berdampak banyak terhadap segi kehidupan

masyarakat Indonesia, termasuk krisis ekonomi yang mengakibatkan daya

beli masyarakat terhadap kebutuhan sandang dan pangan sangat rendah.

Hal ini memberikan kontribusi yang sangat besar terhadap tingginya

angka kejadian penyakit diantaranya adalah tuberkulosis (TB). Apabila

penyakit ini tidak diobati sampai tuntas akan menimbulkan berbagai

komplikasi, salah satu komplikasi dari infeksi TB ini yang paling

berbahaya apabila menyerang pada susunan saraf pusat atau yang biasa

disebut meningitis tuberkulosis. (Arvaitaksis, 2017)

Meningitis tuberkulosis adalah peradangan pada selaput

meningen, cairan serebro spinal, dan spinal kolumna yang menyebabkan


proses peradangan pada sistem saraf pusat (Suriadi, 2018 : 89) merupakan

salah satu manifestasi dari penyakit TB yang disebabkan oleh basil

Mycobacterium tuberculosis yang menyerang sistem saraf pusat.

Meningitis pun harus diwaspadai insidensinya seiring dengan

meningkatnya angka penderita tuberkulosis. Karena diperkirakan sekitar 1

sampai 10% dari seluruh kejadian infeksi tuberkulosis mengenai susunan

saraf pusat (SSP), baik berupa tuberkuloma pada parenkim otak maupun

sebagai meningitis (Arvanitaksis, 2017). Sedangkan menurut Lindsay

(2017 : 474) angka kejadian meningitis adalah 10% dari jumlah penderita.

Walaupun di Indonesia telah banyak kemajuan yang diperoleh,

yakni pencapaian penemuan kasus baru 51,6 % dari target global 70 %

dibandingkan pencapaian 20 % pada tahun 2018 dan 37 % pada tahun

2003, juga penyediaan obat-obat anti TB yang dijamin oleh pemerintah

untuk sarana pelayanan kesehatan pemerintah mencukupi kebutuhan

prakiraan kasus di seluruh Indonesia, TB tetap belum dapat diberantas,

bahkan diperkirakan jumlah penderita TB terus meningkat. Peningkatan

jumlah penderita TB disebabkan oleh berbagai faktor, yakni kurangnya

tingkat kepatuhan penderita untuk berobat dan meminum obat, harga obat

yang mahal, timbulnya resistensi ganda, kurangnya daya tahan hospes

terhadap mikobakteria, berkurangnya daya bakterisid obat yang ada,

meningkatnya kasus HIV/AIDS dan krisis ekonomi (Dinkes, 2018)

Meskipun berbagai upaya dilakukan oleh pemerintah, namun tanpa

peran serta masyarakat tentunya tidak akan dicapai hasil yang optimal
karena TB tidak hanya masalah kesehatan namun juga merupakan masalah

sosial. Keberhasilan penanggulangan TB sangat bergantung pada tingkat

kesadaran dan partisipasi masyarakat. Oleh karena itu perlu keterlibatan

berbagai pihak dan sektor dalam masyarakat, kalangan swasta, organisasi

profesi dan organisasi sosial serta LSM, Instalasi Farmasi Rumah Sakit

maupun tempat lain yang melayani masyarakat dalam memenuhi

kebutuhannya akan obat TB.( Rahayu, 2017)

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana konsep medis Meningitis Tubercolosis pada anak ?

2. Bagaimana konsep asuhan keperawatan pada anak dengan Meningitis

Tubercolosis?

C. Tujuan

1. Untuk mengetahui konsep medis pada Meningitis Tubercolosis Pada

Anak.

2. Untuk mengetahui konsep asuhan keperawatan pada anak dengan

Meningitis Tubercolosis.
BAB II

TINJAUAN TEORITIS

A. Konsep Dasar Penyakit

1. Pengertian

a. Meningitis Tuberkulosis

Meningitis tuberkulosis adalah infeksi pada meningen yang

disebabkan oleh basil tahan asam Mycobacterium tuberculosis (Gilroy,

2019).

Suriadi (2018: 89) mengatakan meningitis tuberkulosis adalah

peradangan pada selaput meningen, cairan serebrospinal dan spinal

kolumna yang menyebabkan proses infeksi pada sistem saraf pusat.

Menurut Arief (2016) meningitis tuberkulosis adalah penyebaran

tuberkulosis primer dengan fokus infeksi ditempat lain.

Sedangkan pengertian meningitis tuberkulosis menurut

Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia (Perdossi, 2017) adalah

komplikasi infeksi primer dengan atau tanpa penyebaran milier.

Dari keempat pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa meningitis

tuberkulosis adalah penyakit infeksi yang mengenai selaput otak,

parenkim otak dan pembuluh darah otak, disebabkan oleh

Mycobacterium tuberculosis dan merupakan infeksi sekunder sebagai

akibat penyebaran infeksi tuberkulosis ditempat lain umumnya paru-

paru.
b. Tuberkulosis (TB)

TB adalah penyakit infeksi menular dan menahun yang disebabkan

oleh kuman Mycobacterium Tuberculosis, kuman tersebut biasanya

masuk kedalam tubuh manusia melalui udara (pernafasan) kedalam

paru-paru, kemudian kuman tersebut menyebar dari paru-paru ke organ

tubuh yang lain melalui penyebaran darah, kelenjar limfe, saluran

pernafasan, penyebaran langsung ke organ tubuh lain (Sylvia Anderson

1995 : 753)

2. Anatomi Fisiologi

Gambar 1. Anatomi Meningen

a. Meningen

Meningen adalah ketiga lapisan jaringan ikat non neural yang

menyelubungi otak dan medulaspinalis, berindak sebagai peredam syok

atau “syok absosber” dan berisikan cairan serebrospinalis. Cairan

serebospinalis ditemukan pada sistem ventrikel dan rongga sub

arakhnoid. Ketiga lapisan meningen terdiri dari :


1) Duramater atau Dura (pakimenings)

Duramater merupakan lapisan terluar meningen, berupa

membran yang padat, kuat dan tidak lentur. Berlapis dua sekitar

otak dan berlapis satu sekitar medulla spinalis. Lapisan luar

bertindak sebagai periosteum dan terikat kuat pada tulang. Lapisan

dalam terdapat dalam rongga subdural. Lapisan dalam duramater

terpisah dari lapisan luar tempat terbentuknya sinus dura.

2) Arakhnoid

Arakhnoid adalah lapisan tengah dari meningen yang

avaskular, rapuh, tipis dan transparan. Seperti halnya dengan

duramater, menyebrangi sulki dan hanya menuju kedalam fisura-

fisura utama saja. Dari membran arakhnoid banyak trabekula halus

menjurus kearah pia sehingga memberi gambaran sebagai sarang

laba-laba.

Lapisan luar arakhnoid terdiri dari sel yang menyerupai

endotel disebut sebagai meningotelial atau sel arakhnoid. Inti sel-

sel tersebut tersusun dalam lapisan tunggal, ganda atau multipel

menghadap kearah rongga sub dural. Lapisan dalam arakhnoid dan

trabekula ditutup oleh sel mesotelial yang dapat memberikan

respon terhadap berbagai rangsangan dan dapat membentuk

fagosit.

Granulasi arakhnoid adalah proyeksi pia-arakhnoid yang

masuk kedalam sinus sagitalis superior. Granulasi ini disebut juga


badan pacchioni, masing-masing terdiri dari sejumlah villi

arakhnoid yang berfungsi sebagai katup satu arah yang

melewatkan bahan-bahan dari cairan serebrospinal masuk kedalam

sinus-sinus.

3) Piamater atau Pia (Leptomenings)

Piamater adalah lapisan meningen terdalam yang melekat erat

dengan jaringan otak dan medulla spinalis, yang mengikuti setiap

kontur (sulki dan fisura) sambil membawa pembuluh darah kecil

yang memberi makanan pada jaringan saraf dibawahnya.

Membran pia-glial dibentuk oleh eritrosit “end feet” yang

berakhir di pia. Piamater nampaknya berperan sebagai barrier atau

penghalang masuknya benda-benda dan organisme yang dapat

merusak.

Gambar 1. Anatomi meningen otak


Sumber : Van de Graff, Kent. M. (1984)

b. Rongga Sub Arakhnoid

Rongga sub arakhnoid merupakan rongga leptomeningeal yang

terisi cairan serebrospinal. Semua pembuluh darah, saraf otak serta


medulla spinalis melewati cairan tersebut, sehingga bilamana terjadi

infeksi pada rongga ini, maka pembuluh darah dan saraf dapat terkena

proses peradangan. Arteritis dan flebitis dapat menyebabkan iskemi

atau nekrosis jaringan otak.

Rongga sub arakhnoid tidak berhubungan dengan rongga sub

dural, karena itu leptomeningitis tidak menyebar kedalam rongga sub

dural kecuali pada meningitis oleh haemofilus influenza.

c. Sisterna Rongga Sub Araknoid

Rongga sub arakhnoid yang mengelilingi otak dan medulla

spinalis memiliki variasi-variasi setempat. Pada dasar otak dan sekitar

batang otak, pia dan arakhnoid memisah dan membentuk beberapa

rongga besar yang disebut sisterna sub araknoid.

Tiga sisterna pada aspek ventral batang otak :

 Sisterna khiasmatika yang berada didaerah khiasma optika.

 Sisterna interpendunkularis yang berada di fosa interpedunkularis

dari mesensefalon.

 Sisterna pontin yang berada pada pertemuan pons dengan medula

atau “Pons medullary junction”.

Dua sisterna di aspek posterior batang otak :

 Sisterna serebromedularis (sisterna magna) yang merupakan salah

satu sisterna terbesar, sisterna ini berada diantara pleksus khoroid

medulla dan serebelum. Foramina ventrikel IV membuka kedalam

sisterna ini.
 Sisterna superior (sisterna ambiens) sisterna ini mengelilingi

permukaan superior dan lateral mesensefalon didalam sisterna ini

ditemukan vena serebri magna, arteri serebri posterior dan serebeli

superior

d. Sistem Ventrikel

Sistem ventrikel merupakan suatu seri rongga-rongga di dalam

otak yang saling berhubungan, dilapisi ependima dan berisi cairan

serebrospinal yang dihasilkan dari darah oleh pleksus khoroid.

Rongga-rongga dalam sistem ini terdiri dari sepasang venterikel

lateralis (kiri dan kanan), ventrikel III dan ventrikel IV. Kedua rongga

ini dihubungkan oleh aquaduktus silvii.

Kedua ventrikel lateralis berada di dalam hemisfer serebri dan

masing-masing dihubungkan dengan ventrikel III melalui foramen

interventrikularis dari monro. Setiap ventrikel lateralis terdiri dari 4

bagian yaitu :

 Kornu anterior

 Sela media

 Kornu inferior atau temporal

 Kornu posterior

Ventrikel ventrikel III adalah suatu rongga ventrikel tipis di garis

tengah, diantara pasangan ventrikel lateralis. Ventrikel IV

berhubungan dengan rongga sub arakhnoid melalui kedua foramina

dari luscka dan foramina magendi. Kedua foramen dari luscka terletak
dalam sudut pons dan medulla. Foramen magendi terletak sebelah

belakang medulla dan menghadap sisterna magna.

Setiap ventrikel mempunyai pleksus khoroid, yang paling besar

adalah pleksus khoroid ventrikel lateralis.

e. Pleksus Khoroid dan Cairan Serebrospinal

1) Pleksus khoroid

Pleksus khoroid merupakan anyaman kaya dari pembuluh-

pembuluh darah piamater yang menjorok kesetiap rongga

ventrikel, membentuk filter semi permeabel antara darah arteri

dan cairan serebrospinal. Setiap pleksus khoroid diliputi oleh satu

lapisan epitel ependima.

Tela khoroidea dari ventrikel lateralis adalah suatu membran

tipis seperti jaring laba-laba yang melalui foramen

interventrikularis, berhubungan langsung dengan pleksus khoroid

ventrikel III. Tela ini dibentuk oleh invaginasi ependima oleh

lipatan-lipatan vaskular.

2) Cairan serebrospinal

Cairan serebrospinal adalah filtrat darah yang jernih tidak

berbau dan hampir bebas protein. Cairan serebrospinal dibentuk di

ventrikel-ventrikel dan beredar didalam rongga sub arakhnoid.

Fungsi cairan serebrospinal adalah menunjang dan membantali

susunan saraf pusat terhadap trauma.


f. Peredaran Darah Otak

1) Peredaran darah arterial

Suplai peredaran darah arterial kestruktur-strukur intra kranial

pada dasarnya berasal dari cabang-cabang kedua arteri karotis

interna dan kedua arteri vertebralis.

a) Arteri karotis interna

Arteri karotis interna keluar dari percabangan karotis

komunis leher. Pembuluh darah ini naik menuju basis kranii,

membelah sebagai suatu pembuluh bentuk sigmoid di dalam

sinus kavernosus.

Arteri karotis interna hanya memberi cabang di rongga

tengkorak, terdiri dari :

(1) Arteri optalmika

Arteri ini mempunyai cabang penting yaitu arteri

sentralis retinae yang berjalan ditengah-tengah nervus

optikus dan berakhir diretina.

(2) Arteri khoroidalis anterior

Arteri khoroidalis anterior mengikuti traktus optikus

sampai pada ketinggian korpus genikulatum lateralis dan

kemudian menjadi bagian dari pleksus khoroid ventrikel

lateralis.
Pembuluh darah ini juga memberi cabang-cabang ke

pedunkulus serebri, kapsula interna, nukleus kaudatus,

hipokampus dan traktus optikus.

(3) Arteri serebri anterior dan media

Kedua arteri ini merupakan cabang terminal dari arteri

karotis interna. Arteri serebri anterior memberi suplai darah

pada lobus frontalis. Didalam fisura longitudinalis serebri

dapat ditemukan arteri komunikans anterior. Cabang-

cabang arteri serebri anterior berjalan menuju sisi medial

lobus frontalis dan parietalis, substansia perforata anterior,

septum pellusidum dan sebagian dari korpus kalosum.

Arteri striata medialis memberi darah pada nukleus

kaudatus, putamen dan bagian anterior kapsula

interna.Arteri serebri media memberi cabang-cabang kesisi

lateral lobus temporal dan parietal.

Arteri striata lateralis memperdarahi ganglia basalis dan

kapsula interna. Arteri komunikans posterior bersatu dengan

ramus serebri posterior arteri basilaris. Dalam perjalanannya

memberi cabang ke kapsula interna dan talamus

b) Arteri vertebralis

Arteri vertebralis adalah cabang-cabang dari arteri sub

klavia. Cabang-cabangnya adalah arteri spinalis anterior dan

posterior serta arteriae serebelaris inferior posterior.


Arteri basilaris dibentuk oleh kedua gabungan arteri

vetrebralis, berjalan pada aspek ventral pons. Cabang-

cabangnya meliputi arteriae pontin, sereberalis inferior anterior,

labirintin, serebralis superior dan sereberalis posterior.

Arteri terakhir memperdarahi sisi medial dan inferior

lobus oksipitalis dan temporalis serta cabang-cabang khoroidal

posterior ke pleksus khoroid ventrikel III dan ventrikel

lateralis.

c) Sirkulus willisi

Sirkulus willisi dibentuk oleh arteri-arteri komunikan

anterior dan posterior serta bagian proksimal arteri-arteri

serebri anterior, media dan posterior.

Fungsi sirkulus willisi memungkinkan suplai darah yang

adekuat ke otak bilamana timbul oklusi arteri karotis atau

vertebralis. Banyak arteri keluar dari lingkaran ini, masuk ke

substansia otak dan arteri-arteri ini sangat penting oleh karena

selain berkaliber kecil sehingga mudah tersumbat, juga

merupakan “end artery” tanpa peredaran kolateral dan

memperdarahi daerah-daerah vital.

2) Peredaran darah vena

Peredaran darah vena tidak berperan besar dalam meningitis

tuberkulosis. Terdiri dari vena serebral internal dan eksternal.

Tempat berakhirnya vena-vena otak ini di sinus-sinus duramater.


3. Etiologi

Penyakit meningitis tuberkulosis disebabkan oleh Mycobacterium

tuberculosis humanus, sedangkan menurut peneliti yang lain dalam

literatur yang berbeda meningitis Tuberkulosis disebabkan oleh dua

micobacterium yaitu Mycobacterium tubeculosis dan Mycobacterium

bovis yang biasanya menyebabkan infeksi pada sapi dan jarang pada

manusia.

Mycobacterium tuberculosis merupakan basil yang berbentuk batang,

berukuran 0,2-0,6m x 1,0-10m, tidak bergerak dan tidak membentuk

spora. Mycobacterium tuberculosis bersifat obligat aerob, hal ini

menerangkan predileksinya pada jaringan yang oksigenasinya tinggi

seperti apeks paru, ginjal dan otak. Mycobacterium tidak tampak dengan

pewarnaan gram tetapi tampak dengan pewarnaan Ziehl-Neelsen. Basil ini

bersifat tahan asam, artinya tahan terhadap pewarnaan carbolfuchsin yang

menggunakan campuran asam klorida-etanol. Sifat tahan asam ini

disebabkan karena kadar lipid yang tinggi pada dinding selnya. Lipid pada

dinding sel basil Mycobacterium tuberculosis meliputi hampir 60% dari

dinding selnya, dan merupakan hidrokarbon rantai panjang yang disebut

asam mikolat. Mycobacterium tuberculosa tumbuh lambat dengan double

time dalam 18-24 jam, maka secara klinis kulturnya memerlukan waktu 8

minggu sebelum dinyatakan negatif.


4. Manifestasi Klinik

Meningitis tuberkulosis umumnya memiliki onset yang perlahan.

Terdapat riwayat kontak dengan penderita tuberkulosis, biasanya memiliki

TB aktif atau riwayat batuk lama, berkeringat malam dan penurunan berat

badan beberapa hari sampai beberapa bulan sebelum gejala infeksi

susunan saraf pusat muncul.

Gejala meningitis tuberkulosis sangat bervariasi, gejala awal biasanya

mirip dengan infeksi umum lainnya yaitu berupa kelemahan umum

(malaise), demam yang tidak terlalu tinggi, nyeri kepala yang hilang

timbul dan muntah. Setelah gejala awal berlangsung selama sekitar 2

minggu timbul gejala nyeri kepala yang persisten dan nyeri tengkuk yang

berhubungan dengan rangsang meningeal, timbul tanda-tanda peningkatan

tekanan intra kranial dan defisit neurulogik fokal (parese pada nervus

kranial dan hemiparese). Inflamasi arteri pada basis kranii disertai

penyempitan dan pembentukan trombus pada lumennya menimbulkan

iskemik dan infark serebri dengan berbagai defisit neurologi sebagai

akibatnya. Saraf kranial II, III, IV, VI, VII dan VIII sering mengalami

kompresi oleh eksudat yang kental. Pada stadium lanjut terjadi gerakan

involunter, hemiplegi, kesadaran yang semakin menurun dan terjadi

hidrosefalus.

5. Patofisiologi

Meningitis tuberkulosis pada umumnya sebagai penyebaran infeksi

tuberkulosis primer ditempat lain. Biasanya fokus infeksi primer di paru-


paru. Tuberkulosis secara primer merupakan penyakit pada manusia.

Reservoir infeksi utamanya adalah manusia, dan penyakit ini ditularkan

dari orang ke orang terutama melalui partikel droplet yang dikeluarkan

oleh penderita tuberkulosis paru pada saat batuk. Partikel-partikel yang

mengandung Mycobacterium tuberculosis ini dapat bertahan lama di udara

atau pada debu rumah dan terhirup masuk kedalam paru-paru orang sehat.

Pintu masuk infeksi ini adalah saluran nafas sehingga infeksi pertama

biasanya terjadi pada paru-paru. Transmisi melalui saluran cerna dan kulit

jarang terjadi.

Droplet yang terinfeksi mencapai alveoli dan berkembang biak dalam

ruang alveoli, makrofag alveoli maupun makrofag yang berasal dari

sirkulasi. Sejumlah kuman menyebar terutama ke kelenjar getah bening

hilus. Lesi primer pada paru-paru berupa lesi eksudatif parenkimal dan

kelenjar limfenya disebut kompleks “Ghon”. Pada fase awal kuman dari

kelenjar getah bening masuk kedalam aliran darah sehingga terjadi

penyebaran hematogen.

Dalam waktu 2-4 minggu setelah terinfeksi, terbentuklah respon

imunitas selular terhadap infeksi tersebut. Limfosit-T distimulasi oleh

antigen basil ini untuk membentuk limfokin, yang kemudian mengaktivasi

sel fagosit mononuklear dalam aliran darah. Dalam makrofag yang

diaktivasi ini organisme dapat mati, tetapi sebaliknya banyak juga

makrofag yang mati. Kemudian terbentuklah tuberkel terdiri dari


makrofag, limfosit dan sel-sel lain mengelilingi jaringan nekrotik dan

perkijuan sebagai pusatnya.

Setelah infeksi pertama dapat terjadi dua kemungkinan, pada orang

yang sehat lesi akan sembuh spontan dengan meninggalkan kalsifikasi dan

jaringan fibrotik. Pada orang dengan daya tahan tubuh yang rendah,

penyebaran hematogen akan menyebabkan infeksi umum yang fatal, yang

disebut sebagai tuberkulosis millier diseminata. Pada keadaan dimana

respon host masih cukup efektif tetapi kurang efisien akan timbul fokus

perkijuan yang besar dan mengalami enkapsulasi fibrosa tetapi menyimpan

basil yang dorman. Klien dengan infeksi laten memiliki resiko 10% untuk

berkembang menjadi tuberkulosis aktif. Reaktivasi dari fokus perkijuan

akan terjadi bila daya tahan tubuh host menurun, maka akan terjadi

pembesaran tuberkel, pusat perkijuan akan melunak dan mengalami

pencairan, basil mengalami proliferasi, lesi akan pecah lalu melepaskan

organisme dan produk-produk antigen ke jaringan disekitarnya. Apabila

hal-hal yang dijelaskan di atas terjadi pada susunan saraf pusat maka akan

terjadi infeksi yang disebut meningitis tuberkulosis.

Fokus tuberkel yang berlokasi dipermukaan otak yang berdekatan

dengan ruang sub arakhnoid dan terletak sub ependimal disebut sebagai

“Focus Rich”. Reaktivasi dan ruptur dari fokus rich akan menyebabkan

pelepasan basil Tuberkulosis dan antigennya kedalam ruang sub arakhnoid

atau sistem ventrikel, sehingga terjadi meningitis tuberkulosis.


WOC

Sumber : ISPAD Clinical


Practice Consensus Guidelines,
2018
6. Klasifikasi

Menurut Smeltzer. S.C and Brenda. G. Bare (2001 : 2175) klasifikasi

meningitis dibagi menjadi 3 tipe utama yaitu meningitis asepsis, sepsis dan

tuberkulosis.

a. Meningitis asepsis mengacu pada salah satu meningitis virus atau

menyebabkan iritasi meningen yang disebabkan oleh abses otak,

ensefalitis, limfoma, leukemia, atau darah di ruang sub arakhnoid.

b. Meningitis sepsis menunjukan meningitis yang disebabkan oleh

organisme bakteri seperti meningokokus,stafilokokus, atau basilus

influenza.

c. Meningitis tuberkulosis disebabkan oleh bakteri mikobakterium

tuberkulosis.

Sedangkan menurut Arief Mansyur (2000 : 11) berdasarkan

perubahan yang terjadi pada cairan otak, meningitis dibagi dalam 2

golongan yaitu :

a. Meningitis serosa adalah radang selaput otak, arakhnoid, dan piamater

yang disertai cairan otak yang jernih penyebab tersering adalah

Mycobacterium tuberculosis, penyebab lain adalah virus, toxoplasma

dan ricketsia.

b. Meningitis purulenta adalah radang bernanah arakhnoid dan piamater

yang meliputi otak dan medulaspinalis. Penyebabnya antara lain :

Diplococcus pneumoniae (pneumokok), Neisseria meningitidis


(meningokok), Streptococcus haemoliticus, Staphylococcus coli,

Klebsiella pneumoniae, Pseudomonas aeruginosa.

Klasifikasi atas dasar gejala klinik yang dapat meramalkan prognosis

penyakit menurut Medical Research Council of Great Britain sebagai

berikut :

Stadium I : Klien menunjukan sedikit atau tanpa gejala klinis

meningitis, tanpa parese, dalam keadaan umum yang baik

dan kesadaran yang penuh.

Stadium II : Klien dengan keadaan diantara stadium I dan III

Stadium III : Klien tampak sakit berat, kesadaran stupor atau koma dan

terdapat parese yang berat (hemiplegi atau paraplegi).

7. Dampak Meningitis Terhadap Sistem Tubuh Lain

a. Sistem Pernafasan

Penderita meningitis dapat mengalami kerusakan saraf pengatur

pernafasan sehingga kontrol sistem pernafasan tidak adekuat. Pola nafas

berubah sehingga pengambilan oksigen dari atmosfir dapat berkurang,

yang berakhir dengan kondisi hipoksia. Kerusakan vaskular pada

jaringan susunan saraf pusat akan menghambat proses transportasi

oksigen sehingga otak kekurangan oksigen yang berdampak terjadinya

kematian sel-sel jaringan otak, distres pernafasan terjadi akibat

penekanan pusat pernafasan di medulla oblongata oleh peningkatan

tekanan intrakranial.
b. Sistem Kardiovaskular

Proses peradangan pada meningen menyebabkan perubahan pada

jaringan selaput otak sehingga menghambat sirkulasi darah. Gangguan

pola nafas menyebabkan kadar oksigen darah berkurang sehingga

perfusi jaringan menurun yang ditandai dengan adanya sianosis pada

beberapa bagian tubuh tekanan darah meningkat atau menurun dan

frekuensi nadi meningkat.

c. Sistem Pencernaan

Terjadi oedema serebral mengakibatkan kompensasi tubuh untuk

menangani dengan mengeluarkan steroid adrenal melalui perangsangan

dari hipotalamus. Hal ini berpengaruh terhadap peningkatan sekresi

asam lambung yang menyebabkan hiper asiditas yang akan

menimbulkan mual, muntah dan nafsu makan berkurang. Pada kondisi

yang kronis keadaan ini akan menimbulkan iskemi mukosa lambung

dan kerusakan barier mukosa sehingga terjadilah perdarahan lambung

(stress ulcer) maka pada kondisi tersebut asupan nutrisi klien tidak

adekuat yang menimbulkan klien kurang nutrisi.

d. Sistem Perkemihan

Pada sistem urinaria terjadi retensi urine dan inkontinensia urine. Pada

kondisi lebih lanjut akan terjadi albuminuria karena proses katabolisme

terutama jika dalam kondisi kekurangan kalori protein (KKP).


e. Sistem Persarafan

Proses peradangan meningen dapat menimbulkan peningkatan tekanan

intrakranial, dimana akan terjadi kerusakan saraf pusat pengontrol

kesadaran yang dapat menimbulkan penurunan kesadaran dan terjadi

penekanan pada saraf pusat pernafasan yang dapat mengakibatkan pola

nafas tidak efektif. Pada saraf kranial yaitu nervus vagus yang

mengakibatkan penurunan reflek menelan, nervus optikus yang dapat

mengganggu fungsi visual, kerusakan nervus III, IV, VI yang dapat

mengganggu pergerakan bola mata, kerusakan nervus VIII yang dapat

mengganggu fungsi pendengaran. Pada proses peradangan akan

menimbulkan respon nyeri yang akan merangsang korteks sesebri dan

dalam keadaan lanjut dapat menimbulkan iritasi meningen yang

ditandai dengan adanya kaku kuduk, kernig positif, brudzinski I dan II,

serta laseque positif.

f. Sistem muskuloskeletal

Proses inflamasi pada susunan saraf menimbulkan berbagai hambatan

dalam perangsangan neuromuskuler sehingga dapat timbul kelemahan

otot-otot dan terjadi paralise. Hal ini memungkinkan klien tidak dapat

melakukan aktifitas gerak tubuhnya secara optimal bahkan terjadinya

kontraktur dapat memperberat kondisi.

g. Sistem Integumen

Peningkatan metabolisme mengakibatkan peningkatan suhu tubuh

sehingga timbul demam, yang dapat meningkatkan kebutuhan cairan,


selain itu klien dengan meningitis seringkali terjadi penurunan

kesadaran sehingga klien harus berbaring lama di tempat tidur dan

dapat terjadi gangguan integritas kulit sebagai dampak dari berbaring

yang lama.

8. Pemeriksaan Penunjang

a. Radiologi

Pemeriksaan radiologi pada meningitis tuberkulosis meliputi

pemeriksaan Rontgent thorax, CT-scan, MRI.

Pada klien dengan meningitis tuberkulosis umumnya didapatkan

gambaran tuberkulosis paru primer pada pemeriksaan rontgent

thoraks, kadang-kadang disertai dengan penyebaran milier dan

kalsifikasi. Sedangkan pada pemeriksaan CT-scan dan MRI dapat

terlihat adanya hidrosefalus, inflamasi meningen dan tuberkoloma.

Gambaran rontgent thoraks yang normal tidak menyingkirkan

diagnosa meningitis tuberkulosis.

b. Tes Tuberkulin

Tuberkulin hanya mendeteksi reaksi hipersensitifitas lambat,

tidak menandakan adanya infeksi aktif sehingga penggunaannya

untuk mendiagnosis infeksi aktif dan meningitis tuberkulosis masih

kurang sensitif. Namun pemeriksaan tuberkulin yang positif pada anak

memiliki nilai diagnostik, sementara pada orang dewasa hanya

menandakan adanya riwayat kontak dengan antigen tuberkulosis, dan

dapat memberikan arah untuk pemeriksaan selanjutnya.


c. Cairan Serebrospinal

Pemeriksaan cairan serebrospinal merupakan diagnostik yang

efektif untuk mendiagnosis meningitis tuberkulosis. Gambaran cairan

serebrospinal yang karakteristik pada meningitis tuberculosis adalah:

1) Cairan jernih sedikit kekuningan atau xantocrom.

2) Pleositosis yang moderat biasanya antara 100-400 sel/mm3 dengan

predominan limfosit.

3) Kadar glukosa yang rendah 30-45 mg/dL atau kurang dari 50%

nilai glukosa darah.

4) Peningkatan kadar protein.

d. Bakteriologi

Identifikasi basil tuberkulosis pada cairan serebrospinal memiliki

akurasi yang sangat tinggi hingga 100% dalam mendiagnosis

meningitis tuberkulosis. Untuk mendiagnosis basil tersebut dapat

dilakukan dengan cara pemeriksaan apus langsung BTA dengan

metode Ziehl-Neelsen dan dengan cara kultur pada cairan

serebrospinal.

e. Pemeriksaan Biokimia

Pemeriksaan ini untuk mengukur sifat tertentu dari

mycobacterium atau respon tubuh penderita terhadap mycobacterium.

Yang tergolong pemeriksaan biokimia antara lain:

1) Bromide Partition Test (BPT)

2) Adenosine Deaminase Activity (ADA)


3) Tuberculostearic Acid

f. Tes Immunologis

Yang mendeteksi antigen atau antibody mikobakterial dalam

cairan serebrospinal, metoda yang sering digunakan dalam tes

imunologis antara lain:

1) ELISA (enzym linked immuno sorbent assay)

2) Polymerase Chain Reaction (PCR)

9. Penatalaksanaan Medik

Penatalaksanaan meningitis tuberkulosis terdiri dari:

a. Perawatan umum

Perawatan penderita meliputi berbagai aspek yang harus

diperhatikan dengan sungguh-sungguh, antara lain kebutuhan cairan

dan elektrolit, kebutuhan nutrisi, posisi klien, perawatan kandung

kemih, dan defekasi serta perawatan umum lainnya sesuai dengan

kondisi klien.

b. Kemoterapeutik dengan obat anti tuberkulosis

Tujuan pengobatan terhadap penderita tuberkulosis adalah

menyembuhkan penderita dari penyakit tuberkulosis yang dideritanya,

mencegah kematian akibat tuberkulosis, mencegah terjadinya relaps,

mencegah penularan dan sekaligus mencegah terjadinya resistensi

terhadap obat anti tuberkulosis (OAT) yang diberikan.


Prinsip pengobatan meningitis tuberkulosis tidak banyak berbeda

dengan terapi bentuk tuberkulosis yang lain. Syarat terpenting adalah

bahwa pilihan OAT harus dapat menembus sawar darah otak dalam

konsentrasi yang cukup untuk mengeliminir basil intra dan

ekstraselular. Beberapa obat yang biasa digunakan untuk meningitis

tuberkulosis adalah :

1) Isoniazida (INH) diberikan dengan dosis 400 mg / hari.

2) Rifampisin, diberikan dengan dosis 450-600 mg / hari.

3) Pyrazinamid, diberikan dengan dosis 1500 mg / hari.

4) Ethambutol, diberikan dengan dosis 25 mg / kg BB / hari sampai

dengan 1500 mg / hari.

5) Streptomisin, diberikan intra muskular selama 3 bulan dengan

dosis 30-50 mg / kg BB / hari.

6) Kortikosteroid, biasanya digunakan dexametason secara intra vena

dengan dosis 10 mg setiap 4-6 jam, pemberian dexametason ini

terutama jika terdapat oedema otak, apabila keadaan membaik

maka dosis dapat diturunkan secara bertahap.

Efek samping OAT

(a) Isoniazid (H)

Efek samping berat yaitu terjadi hepatitis dan terjadi pada kira-kira

0,5% dari kasus. Bila terjadi maka pengobatan dihentikan, dan

setelah pemeriksaan faal hati kembali normal pengobatan dapat

dilaksanakan kembali
Efek samping ringan berupa

(1) Tanda-tanda keracunan saraf tepi, kesemutan, anastesia dan

nyeri otot

(2) Kelainan yang menyerupai syndroma pellagra

(3) Kelainan kulit yang bervariasi antara lain gatal-gatal

(b) Rifampisin (R)

Efeksamping berat jarang terjadi seperti : sesak nafas yang

kadang-kadang disertai kollaps atau syok, anemia hemolitik,

purpura dan gagal ginjal

Efek samping ringan seperti : gatal-gatal, kemerahan, demam,

nyeri tulang, nyeri perut, mual muntah dan kadang-kadang diare.

(c) Pyrazinamid (Z)

Efek samping utama adalah hepatitis, dapat terjadi nyeri sendi dan

kadang-kadang serangan penyakit gout.

(d) Ethambutol (E)

Dapat menyebabkan gangguan penglihatan, berkurangnya

ketajaman penglihatan, kabur dan buta warna merah dan hijau.


BAB III

ASUHAN KEPERAWATAN TEORITIS

A. Konsep Asuhan Keperawatan Meningitis

Dalam memberikan asuhan keperawatan kepada klien yang mengalami

gangguan sistem persarafan, perawat dituntut untuk memiliki kemampuan

berpikir kritis, karena tidak jarang kliennya mengalami penurunan kesadaran,

sehingga perawat bekerja sepihak. Walaupun kondisinya demikian perawat

tetap harus menggunakan metoda pendekatan pemecahan masalah (problem

solving) melalui proses keperawatan.

Proses keperawatan yaitu serangkaian perbuatan atau tindakan untuk

menetapkan, merencanakan dan melaksanakan pelayanan keperawatan dalam

rangka membantu klien untuk mencapai dan memelihara kesehatan secara

optimal.tindakan keperawatan tersebut dilaksanakan secara komprehensif

yang saling berkesinambungan dan berkaitan satu sama lain dari mulai

pengkajian, perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi.

1. Pengkajian

Pengkajian merupakan tahap awal dalam proses keperawatan dimana

pada tahap ini perawat melakukan pengumpulan data yang diperoleh dari

hasil wawancara, pemeriksaan fisik, laporan teman sejawat, catatan

keperawatan atau tim kesehatan lainnya. Data yang diperoleh kemudian

dianalisa untuk mendapatkan diagnosa keperawatan yang merupakan

masalah klien. Tahap pengkajian ini terdiri dari :


a. Pengumpulan data

1) Identitas

a) Identitas klien

Identitas klien yang berhubungan dengan penyakit

meningitis adalah:

- Umur : meningitis adalah penyakit sistem persarafan yang dapat

terjadi pada semua umur, dewasa maupun anak.

- Pendidikan : Pendidikan yang rendah dapat mempengaruhi

terhadap pengetahuan klien tentang penyakit meningitis

- Pekerjaan : Ekonomi yang rendah akan berpengaruh karena

dapat menyebabkan gizi yang kurang sehingga daya tahan

tubuh klien rendah dan mudah jatuh sakit.

b) Identitas penanggung jawab meliputi:

Nama, umur, pendidikan, pekerjaan, alamat dan hubungan dengan

klien.

2) Riwayat kesehatan

a) Keluhan utama

Pada umumnya klien dengan meningitis keluhan yang paling

utama adalah adanya nyeri kepala atau penurunan kesadaran yang

disertai kejang.
b) Riwayat kesehatan sekarang

Pengkajian meliputi keluhan pada saat datang ke rumah sakit dan

keluhan pada saat pengkajian, dikembangkan dengan

menggunakan analisa PQRST.

P: Provokatif/paliatif

Apakah yang meyebabkan keluhan dan memperingan serta

memberatkan keluhan. Nyeri kepala pada penyakit meningitis

biasanya disebabkan oleh adanya iritasi meningen. Nyeri di

rasakan bertambah bila beraktivitas dan berkurang jika

beristirahat.

Q : Quantity / Quality

Seberapa berat keluhan dan bagaimana rasanya serta berapa

sering keluhan itu muncul. Nyeri kepala dirasakan menetap dan

sangat berat.

R: Region / Radasi

Lokasi keluhan dirasakan dan juga arah penyebaran keluhan

sejauh mana.

S : Scale

Intensitas keluhan dinyatakan dengan keluhan ringan, sedang

dan berat. Nyeri kepala pada klien meningitis sangat berat

(skala : 5), dikarenakan adanya iritasi meningen yang disertai

kaku kuduk.

T : Timing
Kapan keluhan dirasakan, seberapa sering, apakah berulang-

ulang, dimana hal ini menentukan waktu dan durasi. Keluhan

nyeri dirasakan menetap/terus menerus karena iritasi meningen.

c) Riwayat kesehatan dahulu

Kaji kebiasaan klien : merokok, minum-minuman beralkohol,

riwayat batuk lama / infeksi saluran nafas kronis, batuk berdahak

atau tanpa dahak (dahak berdarah / tidak). Riwayat kontak dengan

penderita TBC. Apakah klien punya riwayat trauma kepala atau

tulang belakang. Riwayat infeksi lain seperti Otitis media dan

mastoiditis.

d) Riwayat kesehatan keluarga.

Kaji riwayat keluarga apakah ada keluarga klien yang menderita

penyakit yang sama dengan klien, riwayat demam disertai

kejang. Adanya penyakit menular seperti TBC.

e) Riwayat Tumbuh Kembang

Meliputi usia, tingkat perkembangan, toleransi / kemampuan

memahami tindakan, koping, pengalaman berpisah dari keluarga /

orang tua, pengalaman infeksi saluran pernafasan sebelumnya.

3) Pemeriksaan fisik

a) Sistem pernafasan

Gejala yang ditemukan biasanya didapatkan pernafasan cepat dan

dangkal, penggunaan otot-otot pernafasan tambahan, adanya


pernafasan cuping hidung, retraksi dada positif, adanya batuk

berdahak, ronkhi positif.

b) Sistem Kardiovaskuler

Suara jantung lemah, adanya peningkatan tekanan darah atau

penurunan tekanan darah dan peningkatan frekuensi denyut nadi.

Pada kasus lebih lanjut akral menjadi dingin, terjadi sianosis dan

capillary refil time (CRT) lebih dari 3 detik.

c) Sistem Percernaan

Pada sistem pencernaan ditemukan keluhan mual dan muntah

serta anoreksia bahkan ditemukan adanya kerusakan nervus

kranial pada nervus vagus yang mengakibatkan penurunan reflek

menelan. Pada kondisi ini akan menimbulkan hipersekresi HCl 

iskemia mukosa lambung dan kerusakan barrier mukosa  erosi

hemoragik lambung (perdarahan lambung) sehingga terjadi

penurunan berat badan dan jatuh pada kondisi kurang kalori

protein (KKP).

d) Sistem Perkemihan

Pada sistem urinaria dapat terjadi retensi urine dan inkontinensia

urine. Pada kondisi lebih lanjut akan terjadi albuminuria karena

proses katabolisme terutama jika dalam kondisi KKP.


e) Sistem Muskuloskeletal

Pengkajian pada sistem muskuloskeletal perlu diarahkan pada

kerusakan motorik, kelemahan tubuh, massa otot, dan perlu di

kaji rentang gerak dari ekstremitas.

f) Sistem Integumen

Penting mengkaji adanya peningkatan suhu tubuh sebagai

dampak infeksi sistemik, selain itu klien dengan meningitis

seringkali terjadi penurunan kesadaran sehingga klien harus

berbaring lama di tempat tidur dan dapat terjadi gangguan

integritas kulit sebagai dampak dari berbaring yang lama.

g) Sistem persarafan

Gangguan yang muncul pada klien meningitis yang berkaitan

dengan sistem persarafan sangat kompleks. Pada penyakit

meningitis terjadi peradangan selaput otak dan parenkim otak

yang merupakan pusat sistem persarafan. Gangguan yang muncul

tersebut antara lain: kerusakan saraf pengontrol kesadaran yang

dapat mengakibatkan penurunan kesadaran, pola nafas tidak

efektif akibat peningkatan tekanan intrakranial yang menekan

pusat pernafasan dan kerusakan pada saraf kranial yaitu nervus

vagus yang mengakibatkan penurunan reflek menelan, nervus

kranial lain yang umum terkena adalah nervus I, III, IV, VI, VIII.

Pada penyakit meningitis terdapat tanda yang khas yaitu tanda-

tanda iritasi meningen: kaku kuduk positif, brudzinski I, II positif,


kernig dan laseque positif. Selain itu gejala awal yang sering

terjadi pada meningitis adalah sakit kepala dan demam yamg

diakibatkan dari iritasi meningen, juga didapat adanya manifestasi

perubahan perilaku yang umum terjadi, yaitu letargik, tidak

responsif dan koma. Kejang sekunder dapat terjadi juga akibat

area fokal kortikal yang peka. Alasan yang tidak diketahui, klien

meningitis juga mengalami "foto fobia" atau sensitif yang

berlebihan terhadap cahaya.

4) Pola aktivitas sehari-hari

a) Nutrisi

Biasanya klien kehilangan nafsu makan, mual, muntah,

anoreksia dan bila pasien mengalami penurunan kesadaran,

reflek menelan terjadi penurunan, sehingga klien harus dipasang

naso gastric tube (NGT).

b) Eliminasi

Pada umumnya klien dengan penurunan kesadaran akan terjadi

inkontinensia urine sehingga harus dipasang dower kateter.

c) Istirahat tidur

Istirahat tidur terganggu akibat adanya sesak nafas, nyeri kepala

hebat akibat peningkatan tekanan intra kranial. Hal ini

merupakan mecanoreceptor terhadap reticular activating system

( RAS ) sebagai pusat tidur jaga.


d) Personal hygiene

Bisa mengalami gangguan pemenuhan ADL termasuk personal

hygiene akibat kelemahan otot terutama pada klien dengan

penurunan kesadaran.

5) Data psikologis

Pada umumnya klien merasa takut akan penyakitnya, cemas karena

perawatan lama di rumah sakit dan perasaan tidak bebas di rumah

sakit akibat hospitalisasi.

Konsep diri klien: persepsi klien terhadap tubuhnya dapat berubah

akibat perubahan bentuk dan fungsi tubuh, klien merasa tidak

berharga, rendah diri dan kehilangan peran.

Ideal diri klien banyak yang tidak tercapai. Sebagian besar penyakit

meningitis dapat membatasi kehidupan klien sehari-hari.

6) Data sosial

Perlu dikaji tentang tidak tanggapnya terhadap aktifitas

disekitarnya baik ketika di rumah atau di rumah sakit. Klien

biasanya menjadi tidak peduli dan lebih banyak diam akan

lingkungan sekitarnya.

7) Data spiritual

Pengkajian ditujukan terhadap harapan kesembuhan,

kepercayaan dan penerimaan mengenai keadaan sakit serta

keyakinan yang dianut oleh klien ataupun keluarga klien.


8) Data Penunjang

a) Laboratorium

(1) Pemeriksaan darah leukosit meningkat bila terjadi infeksi.

(2) Analisis cairan serebrospinalis melalui lumbal fungsi.

Karakteristik cerebro spinalis fluid (CSF) pada meningitis

tuberkulosis adalah :

(a) Warna CSF jernih

(b) Jumlah sel eritrosit dan leukosit meningkat.

(c) Biokimia:

- Kalium meningkat

- Klorida menurun

- Glukosa menurun

- Protein meningkat

b) Radiologi dengan thorak foto melihat kemungkinan adanya

penyakit saluran nafas sebagai infeksi primer.

c) Foto tulang wajah untuk melihat adanya skelet dan rongga

sinus yang mengalami sinusitis.

d) Scanning / CT Scan untuk menemukan adanya patologi otak

dan medulaspinalis.

b. Analisa Data

Analisa data adalah kemampuan mengaitkan dan menggabungkan data

tersebut dengan konsep teori dan prinsip yang relevan untuk membuat

kesimpulan dalam menentukan masalah kesehatan dan keperawatan


klien. Merupakan suatu proses berpikir yang meliputi kegiatan

pengelompokkan data dan menginterpretasikan kelompok data dan

membandingkan dengan standar yang normal serta menentukan masalah

atau penyimpangan yang merupakan suatu kesimpulan.

c. Diagnosa Keperawatan

Diagnosa keperawatan yang muncul pada klien dengan meningitis

adalah:

1) Perfusi serebral tidak efektif berhubungan dengan infeksi otak

2) Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan sekresi yang

tertahan dibuktikan dengan batuk tidak efektif, ronchi

3) Pola nafas tidak efektif b.d hambatan upaya nafas dibuktikan

dengan pola nafas abnormal

4) Resiko infeksi b.d penyakit kronis

5) Resiko cidera b.d perubahan fungsi kognitif

6) Defisit nutrisi b.d ketidakmampuan menelan makanan dibuktikan

dengan berat badan menurun, otot pengunyah lemah

7) Resiko ketidakseimbangan cairan b.d trauma/perdarahan

8) Hipertermi b.d proses penyakit dibuktikan dengan suhu tubuh

diatas normal.

9) Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan penurunan kekuatan

otot dibuktikan dengan kekuatan otot menurun

10) Defisit perawatan diri b.d kelemahan dibuktikan dengan tidak

mampu melakukan perawatan diri secara mandiri.


2. Perencanaan

No. Diagnosa SLKI SIKI


Keperawatan
1. Perfusi serebral Tujuan : Observasi :
tidak efektif Setelah dilakukan intervensi - Identifikasi penyebab peningkatan TIK (mis.lesi
berhubungan keperawatan selama 3 jam menempati ruang, gangguan metabolism, edema
dengan infeksi maka ekspetasi membaik serebral, peningkatan tekanan vena, obstruksi cairan
otak dengan kriteria hasil : serebrospinalis, hipertensi intrakranial idiopatik.
- Tingkat kesadaran - Monitor peningkatan tekanan darah
meningkat - Monitor pelebaran tekanan nadi(selisih TDS dan TDD)
- Kognitif meningkat - Monitor penurunan frekuensi jantung
- Tekanan intra cranial - Monitor ireguleritas irama nafas
menurun - Monitor penurunan tingkat kesadaran
- Sakit kepala menurun - Monitor perlambatan atau kesimetrisan respon pupil
- Gelisah menurun - Monitor kadar CO2 dan pertahankan dalam rentang
- Agitasi menurun yang diindikasikan
- Demam menurun - Monitor tekanan perfusi serebral
- Tekanan darah - Monitor jumlah, kecepatan dan karakteristik dranase
membaik cairan serebrospinalis
- Reflek saraf membaik - Monitor efek stimulus lingkungan terhadap TIK
- Monitor MAP (Mean Arterial Pressure)
- Monitor CVP (Central Venous Pressure)
- Monitor PAWP, jika perlu
- Monitor PAP, jika perlu
- Monitor ICP (Intra Cranial Pressure), jika tersedia
- Monitor CPP (Cerebral Perfusion Pressure)
- Monitor gelombang ICP
- Monitor status pernafasan
- Monitor intake dan output cairan
- Monitor cairan serebrospinalis
Terapeutik :
- Ambil sampel drainase cairan serebrospinalis
- Kalibrasi transduser
- Pertahankan sterilitas sistem pemantauan
- Pertahankan posisi kepala dan leher netral
- Bila sistem pemantauan, jika perlu
- Atur interval pemantauan sesuai kondisi pasien
- Dokumentasi hasil pemantauan
- Minimalkan stimulus dengan menyediakan lingkungan
yang tenang
- Berikan posisi semi fowler
- Hindari maneuver Valsava
- Cegah terjadinya kejang
- Hindari penggunaan PEEP
- Hindari menggunakan cairan IV hipotonik
- Atur ventilator agar PaCO2 optimal
- Pertahankan suhu tubuh
Edukasi :
- Jelaskan tujuan dan prosedur pemantauan
- Informasikan hasil pemantauan, jika perlu .
Kolaborasi :
- Kolaborasi pemberian sedasi dan anti konvulsan
- Kolaborasi pemberian diuretic osmosis
- Kolaborasi pemberian pelunak tinja
2. Bersihan jalan Tujuan : Observasi :
nafas tidak efektif Setelah dilakukan intervensi - Monitor frekuensi, irama, kedalaman dan upaya nafas
berhubungan keperawatan selama 3 jam - Monitor pola nafas(seperti bradipnea, takipnea,
dengan sekresi maka ekspetasi membaik hiperventilasi, kassmaul, cheyne-stokes, blot, ataksik)
yang tertahan dengan kriteria hasil : - Monitor kemampuan batuk efektif
dibuktikan dengan - Batuk efektif meningkat - Monitor adanya produksi sputum
batuk tidak efektif, - Produksi sputum - Monitor adanya sumbatan jalan nafas
ronchi menurun - Palpasi kesimetrisan ekspansi paru
- Mengi menurun - Monitor saturasi oksigen
- Wheezing menurun - Auskultasi bunyi nafas
- Dispnea menurun - Monitor nilai AGD
- Ortopnea menurun - Monitor pola nafas (frekuensi, kedalaman, usaha nafas)
- Sulit bicara menurun - Monitor bunyi nafas tambahan
- Ronchi menurun - Monitor sputum
- Sianosis menurun - Identifikasi kemampuan batuk
- Gelisah menurun - Monitor adanya retensi sputum
- Frekuensi nafas - Monitor tanda dan gejala infeksi saluran nafas
membaik - Monitor input dan output cairan
- Pola nafas membaik Terapeutik :
- Atur interval pemantauan respirasi sesuai kondisi klien
- Dokumentasi pemantauan
- Pertahankan kepatenan jalan nafas dengan head-tilt dan
chin-lift
- Posisikan semi fowler atau fowler
- Berikan minum hangat
- Lakukan fisioterapi dada
- Lakukan penghisapan lendir kurang dari 15 detik
- Lakukan hipokoksigenasi sebelum penghisapan
endotrakeal
- Keluarkan sumbatan benda padat dengan forsep
McGill
- Berikan oksigen, jika perlu
- Pasang perlak dan bengkok dipangkuan pasien
- Buang sekret pada tempat sputum
Edukasi :
- Jelaskan tujuan dan prosedur pemantauan
- Informasikan hasil pemantauan.
- Anjurkan asupan cairan 2000 ml/hari, jika tidak
kontraindikasi
- Ajarkan teknik batuk efektif
- Jelaskan tujuan dan prosedur batuk efektif
- Anjurkan tarik nafas dalam melalui hidung selama 4
detik, ditahan selama 2 detik, kemudian keluarkan dari
mulut dengan bibir mencucu (dibulatkan) selama 8
detik
- Anjurkan mengulangi tarik nafas dalam hingga 3 kali
- Anjurkan batuk dengan kuat langsung setela tarik nafas
dalam yang ke-3
Kolaborasi :
- Kolaborasi pemberian bronkodilator, ekspektoran,
mukolitik, jika perlu.

3. Pola nafas tidak Tujuan : Observasi :


efektif b.d Setelah dilakukan intervensi - Monitor pola nafas (frekuensi, kedalaman, usaha nafas)
hambatan upaya keperawatan selama 3 jam - Monitor bunyi nafas tambahan (mis. gurgling, mengi,
nafas dibuktikan maka ekspetasi membaik wheezing, ronchi)
dengan pola nafas dengan kriteria hasil : - Monitor sputum
abnormal - Ventilasi semenit - Monitor pola nafas
meningkat - Monitor kemampuan batuk efektif
- Kapasitas vital - Monitor adanya produksi sputum
mambaik - Monitor adanya sumbatan jalan nafas
- Palpasi kesimetrisan ekpansi paru
- Tekanan ekspirasi - Auskultasi bunyi nafas
membaik - Monitor saturasi oksigen
- Dispnea menurun - Monitor nilai AGD
- Penggunaan otot bantu - Monitor hasil x-ray thoraks
menurun Terapeutik :
- Ortopnea menurun - Pertahankan kepatenan jalan nafas dengan head tilt dan
- Pernafasan cuping chin-lift
hidung menurun - Posisikan semi fowlwr atau fowler
- Frekuensi nafas - Berikan minuman hangat
membaik - Lakukan fisioterapi dada
- Kedalaman nafas - Lakukan penghisapan lendir kurang dari 15 detik
membaik - Lakukan hipokoksigenasi sebelum penghisapan
endotrakeal
- Keluarkan sumbatan benda padat dengan forsep
McGill
- Berikan oksigen, jika perlu
- Atur interval pemantauan respirasi sesuai kondisi
pasien
- Dokumentasi hasil pemantauan
Edukasi :
- Anjurkan asupan cairan 2000ml/hari
- Ajarkan teknik batuk efektif
- Jelaskan tujuan dan prosedur pemantauan
- Infformasikan hasil pemantauan, jika perlu
Kolaborasi :
- Kolaborasi pemberian bronkadilator, ekspektoran,
mokolitik, jika perlu
4. Resiko infeksi b.d Tujuan : Observasi :
penyakit kronis Setelah dilakukan intervensi - Monitor tanda dan gejala infeksi local dan sistemik
keperawatan selama 3 jam Terapeutik :
maka ekspetasi membaik - Batasi jumlah pengunjung
dengan kriteria hasil : - Berikan perawatan kulit pada area edema
- Kebersihan tangan - Cuci tangan sebelum dan sesudah kontak dengan
meningkat pasien dan lingkungan pasien
- Kebersihan badan - Pertahankan teknik aseptic pada pasien beresiko tinggi
meningkat Edukasi :
- Nafsu makan meningkat - Jelaskan tanda dan gejala infeksi
- Demam menurun - Ajarkan cara mencuci tangan yang benar
- Kemerahan menurun - Ajarkan etika batuk
- Nyeri menurun - Ajarkan cara memeriksa kondisi luka atau luka operasi
- Bengkak menurun - Ajarkan meningkatkan asupan nutrisi
- Vesikel menurun - Ajarkan meningkatkan asupat cairan
- Cairan berbau busuk Kolaborasi :
menurun - Kolaborasi pemberian imunisasi, jika perlu
- Sputum berwarna hijau
menurun
- Drainase purulen
menurun
- Gangguan kognitif
menurun
- Kadar sel darah putih
membaik
5. Resiko cidera b.d Tujuan : Observasi :
perubahan fungsi Setelah dilakukan intervensi - Identifikasi area lingkungan yang
kognitif keperawatan selama 1x24jam berpotensimenyebabkan cidera
maka ekspetasi membaik - Identifikasi obat yang berpotensi menyebabkan cidera
dengan kriteria hasil : - Identifikasi kesesuaian alas kaki atau stoking elastic
- Toleransi aktivitas pada ekstremitas bawah
menurun - Identifikasi kebutuhan keselamatan (mis.kondisi fisik,
- Nafsu makan meningkat fungsi kognitif dan riwayat perilaku)
- Toleransi makanan - Monitor perubahan status kesehatan lingkungan
menurun Terapeutik :
- Kejadian cidera - Sediakan pencahayaan yang memadai
menurun - Gunakan lampu tidur selama jam tidur
- Luka lecet menurun - Sosialisasikan pasien dan keluarga dengan lingkungan
- Ketegangan otot rawat inap
menurun - Gunakan alas lantai jika beresiko mengalami cidera
- Fraktur menurun serius
- Gangguan mobilitas - Sediakan alas kaki antislip
menurun - Sediakan pipot atau urinal untuk eliminasi ditempat
- Gangguan kognitif tidur
menurun - Pastikan bel panggilan atau telepon mudah dijangkau
- Tekanan darah - Pertahankan posisi tempat tidur diposisi terendah saat
membaik digunakan
- Frekuensi nadi - Pastikan roda tempat tidur dalam keadaan terkunci
membaik - Gunakan pengaman tempat tidur sesuai dengan
- Frekuensi nafas kebijakan fasilitas pelayanan kesehatan
membaik - Pertimbangan penggunaan alarm elektronik pribadi
- Diskusikan mengenai latihan dan terapi fisik yang
diperlukan
- Diskusikan mengenai alat bantu mobilitas yang sesuai
- Diskusikan bersama anggota keluarga yang dapat
mendampingi pasien
- Tingkatkan frekuensi observasi dan pengawasan pasien
- Hilangkan bahaya keselamatan lingkungan
- Modifikasi lingkungan untuk meminimalkan bahaya
dan resiko
- Sediakan alat bantu keamanan lingkungan (mis.
commode chair dan pegangan tangan)
- Gunakan perangkat pelindung (mis. pengekangan fisik,
rel samping, pintu terkunci, pagar)
- Hubungi pihak berwenang sesuai masalah komunitas
- Fasilitasi relokasi lingkungan yang aman
- Lakukan program skrining bahaya lingkungan
Edukasi :
- Jelaskan alasan intervensi pencegahan jatuh ke pasien
dan keluarga
- Anjurkan berganti posisi secara perlahan dan duduk
selama beberapa menit sebelum berdiri
- Ajarkan individu dan keluarga atau kelompok resiko
tinggi bahaya lingkungan
B. Implementasi Keperawatan

Implementasi merupakan tahap ke empat dari proses keperawatan yang

dimulai setelah perawat menyusun rencana keperawatan (Potter & Perry,

2010). Implementasi keperawatan adalah serangkaian kegiatan yang

dilakukan oleh perawat untuk membantu pasien dari masalah status kesehatan

yang dihadapi kestatus kesehatan yang baik yang menggambarkan kriteria

hasil yang diharapkan. Proses pelaksanaan implementasi harus berpusat

kepada kebutuhan pasien, faktor-faktor lain yang mempengaruhi kebutuhan

keperawatan, strategi implementasi keperawatan, dan kegiatan komunikasi

(Dinarti & Muryanti, 2017).

C. Evaluasi Keperawatan

Evaluasi merupakan langkah akhir dari proses keperawatan. Evaluasi

adalah kegiatan yang disengaja dan terus menerus dengan melibatkan pasien,

perawat dan anggota tim kesehatan lainnya (Padila, 2012).

Menurut Setiadi (2012) dalam buku Konsep & penulisan Asuhan

Keperawatan, Tahap evaluasi adalah perbandingan yang sistematis dan

terencana tentang kesehatan pasien dengan tujuan yang telah ditetapkan,

dilakukan dengan cara berkesinambungan dengan melibatkan pasien,

keluarga, dan tenaga kesehatan lainnya.

Tujuan evaluasi adalah untuk melihat kemampuan pasien dalam

mencapai tujuan yang disesuaikan dengan kriteria hasil pada tahap


perencanaan (Setiadi, 2012). Menurut (Asmadi, 2008)Terdapat 2 jenis

evaluasi :

1. Evaluasi formatif (Proses)

Evaluasi formatif berfokus pada aktifitas proses keperawatan dan

hasil tindakan keperawatan. Evaluasi ini dilakukan segera setelah perawat

mengimplementasikan rencana keperawatan guna menilai keefektifan

tindakan keperawatan yang telah dilaksanakan. Evaluasi ini meliputi 4

komponen yang dikenal dengan istilah SOPA, yakni subjektif (data

keluhan pasien), objektif (data hasil pemeriksaan), analisis data

(perbandingan data dengan teori), dan perencanaan.

2. Evaluasi sumatif (hasil)

Evaluasi sumatif adalah evaluasi yang dilakukan setelah semua

aktifitas proses keperawatan selesai dilakukan. Evaluasi sumatif ini

bertujuan menilai dan memonitor kualitas asuhan keperawatan yang telah

diberikan. Metode yang dapat digunakan pada evaluasi jenis ini adalah

melakukan wawancara pada akhir pelayanan, menanyakan respon pasien

dan keluarga terkai pelayanan keperawatan, mengadakan pertemuan pada

akhir layanan.

Ada tiga kemungkinan hasil evaluasi dalam pencapaian tujuan

keperawatan, yaitu :

1) Tujuan tercapai/masalah teratasi

2) Tujuan tercapai sebagian/masalah teratasi sebagian

3) Tujuan tidak tercapai/masalah belum teratasi


DAFTAR PUSTAKA

Anatomi fisiologi 2018.Otak http://fadilkaryosuwito.blogspot.com/2015/05/v-


behaviorurldefaultvmlo.html?m=1
Burke,M Karen,dkk.2016. Buku Ajar Keperawatan Bedah. Jakarata
Depkes RI,2027, Riset Kesehatan Dasar Badan Penelitian dan Pembangunan
Kesehatan, Kementrian Kesehatan RI
Depkes RI. (2019). Profil Kesehatan Indonesia 2008. Jakarta. Diperoleh dari
http://depkes.go.id.
Depkes , RI 2018, Capaian Pembangunan Kesehatan Tahun 2018, Jakarta
Muttaqin,Arif 2008. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan
Sistem Persyarafan.Jakarta : Salemba Medika
Tarwoto.(2013). Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta : CV Sagung Seto
Tarwoto, Wartonah & Suryati, E.S. (2017). Keperawatan Medikan Bedah
Gangguan Sistem Persyarafan. Jakarta : CV Sagung Seto
Smeltzer, Suzanne C & Bare, Brenda G(2001).Buku Ajar Keperawatan Medikal
Bedah Brunner & Suddarth.Alih bahasa, Agung Waluyo,dkk Editor edisi
bahasa Indonesia, Monica Ester.Ed.8.Jakarta : EGC

Anda mungkin juga menyukai