Anda di halaman 1dari 9

PENGELOLAAN LIMBAH TAMBANG (TAILING) DALAM

REKLAMASI TAMBANG
Cythia Bella Pratiwi, Wulan Febriana

Indonesia merupakan negara yang kaya dengan beberapa potensi sumber


daya alam. Kekayaan alam tersebut menjadikan Indonesia sebagai salah satu
negara yang memiliki lahan pertambangan begitu luas. Lahan pertambangan
tersebut tersebar diberbagai pulau di Indonesia, dimana kekayaan alam tersebut
dieksplorasi untuk memenuhi kebutuhan manusia. Berbagai masalah timbul
akibat kegiatan pertambangan mulai dari munculnya berbagai penyakit akibat
limbah pertambangan yang tidak terkendali, terjadinya pencemaran yang
mengakibatkan menurunnya kualitas lingkungan dan punahnya beberapa flora
fauna yang menjadi karakter daerah setempat. Keberadaan usahapertambangan
memberikan sumbangan yang besar kepada perekonomian negara, mulai dari
usaha galian C dengan luasan dan volume yang kecil, sampai pada keberadaan
usaha kontrak karya yang menghasilkan bahan galian jutaan ton dan menguasai
ratusan ribu hektar lahan dan juga hutan.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 27 tahun 1980, bahan galian di
Indonesia dalam dibagi menjadi 3 golongan, yaitu: Golongan A (bahan galian
strategis, sebagai contoh: minyak bumi, gas alam, batubara, nikel, timah, dll),
Golongan B (bahan galian vital, sebagai contoh: tembaga, emas, besi, dll), dan
Golongan C (bahan galian non strategis dan non vital, sebagai contoh: fosfat,
batu permata, bentonit, pasir kuarsa, granit, pasir, batu kapur, marmer, dll).
Masalah lingkungan dan keselamatan kerja dalam usaha pertambangan di
duniainiselalu menjadi isu yang paling penting.Masalah utama yang timbul pada
wilayah bekas tambang antaraberupa perubahan lingkungan, yang meliputi
perubahan kimiawi, perubahan fisik dan perubahan biologi. Perubahan kimiawi
berdampak terhadap keberadaan air tanah dan air permukaan, berlanjut secara
fisik yaitu mengakibatkan perubahan morfologi dan topografi lahan. Lebih jauh
lagi adalah perubahan iklim mikro yang disebabkan oleh perubahan kecepatan
angin, gangguan habitat biologi berupa flora dan fauna, serta adanya penurunan
produktivitas tanah dengan akibat tanah menjadi tandus atau gundul. Mengacu
kepada adanya beberapa perubahan tersebut, maka kegiatan reklamasi menjadi
satu kebutuhan yang sangat penting untuk dilakukan. Selain bertujuan untuk
mencegah timbulnya erosi atau mengurangi kecepatan aliran air limpasan,
reklamasi dilakukan untuk menjaga lahan agar tidak labil dan lebih produktif.
Reklamasi diharapkan akan dapat menghasilkan nilai tambah bagi lingkungan
dan menciptakan keadaan yang jauh lebih baik dibandingkan dengan keadaan
lingkungan sebelumnya.
Reklamasi adalah kegiatan yang dilakukan sepanjang tahapan usaha
pertambangan untuk menata, memulihkan, dan memperbaiki kualitas lingkungan
dan ekosistem agar dapat berfungsi kembali sesuai peruntukannya. Sesuai
dengan pasal 1 ayat 1 Peraturan Mentri Energi Dan Sumberdaya Mineral No 07
tahun 2014 Tentang Pelaksanaan Reklamasi Dan Pascatambang Pada Kegiatan
Usaha Pertambangan Mineral Dan Batubara. Reklamasi adalah kegiatan yang
bertujuan memperbaiki atau menata kegunaan lahan yang terganggu sebagai
akibat kegiatan usaha pertambangan, agar dapat berfungsi dan berdaya guna
sesuai peruntukannya.
Pembangunan berwawasan lingkungan menjadi suatu kebutuhan penting
bagi setiap bangsa dan negara yang menginginkan kelestarian sumberdaya alam.
Oleh sebab itu, sumberdaya alam perlu dijaga dan dipertahankan untuk
kelangsungan hidup manusia kini, maupun untuk generasi yang akan datang.
Lahan bekas tambang memiliki karakteristik topografi dan hidrologi yang
berbeda-beda tergantung kepadajenis bahan tambang dan cara penambangannya.
Kondisi lahan bekas tambang batubara berbeda dibandingkan dengan lahan
bekas tambang mineral, seperti emas dan tembaga serta bauksit, timah dan nikel.
Demikian pula dengan cara penambangan, yaitu tambang terbuka dan tarnbang
bawah tanah. Perbedaan tersebut membawa konsekuensi kepada berbagai
permasalahan yang dihadapi dalam melalrukanreklamasi lahan-lahan bekas
tambang. Masalah yang muncul yang menyangkut teknisreklamasi dapat berupa
kesuburan tanah yang sangat rendah, erosi dan sedimentasi yang tinggi, tanah
pucuk kurang atau tidak tersedia, munculnya air asam tambang, lereng-lereng
yang curam, air unhrk menyiram kurang atau tidak tersedia, iklim mikro belum
sesuai, pemilihan jenis tanaman, dan lain-lain. Semua permasalahan tersebut
perlu diatasi agar diperoleh tingkat keberhasilan reklamasi yang tinggi.
Pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup berupa tindakan
pelestarian sumber daya alam dalam rangka memajukan kesejahteraan umum
seperti tercantum dalam UUD 1945. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1982
tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup
sebagaimana telah diubah dan diperbarui oleh Undang- Undang Nomor 23
Tahun 2009 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup adalah payung dibidang
pengelolaan lingkungan hidup serta sebagai dasar penyesuaian terhadap
perubahan atas peraturan yang telah ada sebelumnya, serta menjadikannya
sebagai satu kesatuan yang bulat dan utuh didalam suatu system. Menurut
Undang-Undang No. 32 tahun 2009 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup
pasal 1 ayat 2, dijelaskan bahwa Pengelolaan lingkungan hidup adalah upaya
terpadu untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup yang meliputi kebijaksanaan
penataan, pemanfaatan, pengembangan, pemeliharaan, pemulihan, pengawasan,
dan pengendalian lingkungan hidup.
Prinsip lingkungan hidup yang wajib dipenuhi dalam melaksanakan
reklamasi dan pasca tambang menurut Peraturan Pemerinta No. 78 tahun 2010
tentang reklamasi dan pascatambang pasal 4 ayat 1 sebagai berikut Prinsip
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup pertambangan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1)huruf a dan ayat (2) huruf a, paling sedikit
meliputi :
a. Perlindungan terhadap kualitas air permukaan, air tanah, air laut, dan
tanah serta udara berdasarkan standar bakumutu atau kriteria baku
kerusakan lingkungan hidup sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan;
b. Perlindungan dan pemulihan keanekaragaman hayati;
c. Penjaminan terhadap stabilitas dan keamanan timbunan batuan
penutup, kolam tailing, lahan bekas tambang, dan struktur buatan
lainnya;
d. Pemanfaatan lahan bekas tambang sesuai denganperuntukannya;
e. Memperhatikan nilai-nilai sosial dan budaya setempat; dan
f. Perlindungan terhadap kuantitas air tanah sesuai denganketentuan
peraturan perundang-undangan.
Kegiatan pertambangan merupakan kegiatan usaha yang kompleks dan
sangat rumit, sarat risiko, merupakan kegiatan usaha jangka panjang, melibatkan
teknologi tinggi, padat modal,dan aturan regulasi yang dikeluarkan dari beberapa
sektor. Tahapan kegiatan perencanaan tambang meliputi penaksiran sumberdaya
dan cadangan, perancangan batas penambangan (final/ultimate pitlimit),
pentahapan tambang, penjadwalan produksi tambang, perancangan tempat
penimbunan (wastedump design), perhitungan kebutuhan alat dan tenaga kerja,
perhitungan biaya modal dan biaya operasi, evaluasi finansial, analisis dampak
lingkungan, tanggung jawab sosial perusahaan (corporate social responsibility)
termasuk pengembangan.
Masyarakat (community development) serta Penutupan tambang.
Perencanaan tambang, sejak awal sudah melakukan upaya yang sistematis untuk
mengantisipasi perlindungan lingkungan dan pengembangan pegawai dan
masyarakat sekitar tambang. Kegiatan pertambangan pada umumnya memiliki
tahap-tahap kegiatan ialah eksplorasi, ekstraksi dan pembuangan limbah batuan,
Pengolahan bijih dan operasional pabrik pengolahan, Penampungan tailing,
pengolahan dan pembuangannya, Pembangunan infrastuktur, jalan akses
dansumber energi, dan Pembangunan kamp kerja dan kawasan pemukiman.
Pengaruh pertambangan pada aspek lingkungan terutama berasal dari
tahapan ekstraksi dan pembuangan limbah batuan, dan pengolahan bijih serta
operasional pabrik pengolahan. Selain itu, kegiatan pertambangan mempunyai
daya ubah lingkungan yang besar, sehingga memerlukan perencanaan total yang
matang sejak tahap awal sampai pasca tambang. Pada saat membuka tambang,
sudahharus difahami bagaimana menutup tambang. Rehabilitasi atau reklamasi
tambang bersifat progresif, sesuai rencana tata guna lahan pasca tambang.
Dampak lingkungan utama dari limbah penambangan meliputi hilangnya
lahan setelah konversi ke kolam tailing atau area penyimpanan limbah dan
pengenalan limpasan asam atau sedimen terkontaminasi lainnya ke dalam
lingkungan lokal. Dampak lingkungan spesifik dari limbah sangat bergantung
pada komposisi bahan, jenis bijih yang ditambang, dan cara bijih diproses.
Misalnya, gangue dan tailing dari pertambangan logam berat dapat memiliki
konsentrasi tinggi sulfida yang dapat menyebabkan drainase batu asam terjadi.
Karena banyaknya variabel, operasi penambangan perlu mengembangkan
metode pembuangan limbah mereka sendiri sesuai dengan peraturan yang
berkaitan dengan berbagai jenis limbah yang mereka hasilkan. Namun, perlu
dicatat bahwa sebagian besar limbah penambangan tidak berbahaya bagi
lingkungan dan secara rutin digunakan untuk revegetasi atau kontur tanah ketika
operasi penambangan telah selesai.
Hasil dari 2018 Responsible Mining Index (RMI) mengungkapkan hal yang
mengkhawatirkan bahwa banyak perusahaan tambang terbesar dunia tidak dapat
'memahami dan menunjukkan' seberapa efektif mereka menangani risiko
kegagalan bendungan limbah tambang (tailing) dan rembesannya. Sebanyak 30
perusahaan tambang yang dinilai dalam RMI 2018 hanya meraih skor rata-rata
22% untuk pelacakan, peninjauan, dan tindak lanjut dalam upaya memperbaiki
manajemen risiko limbah tambang mereka, yang mana dalam hal ini skor Vale
sedikit di atas rata-rata. Lima belas dari 30 perusahaan tersebut tidak
menunjukkan bukti bahwa mereka turut melacak seberapa efektif mereka
menangani risiko tersebut. Meskipun 17 perusahaan menunjukkan tanda-tanda
dilakukannya peninjauan untuk melihat seberapa efektif langkahlangkah
manajemen risiko limbah tambang mereka, tidak ada bukti dari keseluruhan
perusahaan tersebut bahwa mereka telah secara terbuka mengungkapkan sejauh
mana mereka mengambil tindakan sistematis berdasarkan tinjauan dimaksud
untuk memperbaiki cara mereka mengatasi risiko terkait limbah tambang.
Penting untuk diketahui bahwa bencana Córrego do Feijão, meskipun
berskala besar, bukanlah kejadian satu-satunya. Kegagalan bendungan limbah
tambang yang jebol di Italia pada tahun 1985 menewaskan 268 orang di dua desa
yang berada di hilir. Kejadian lain yang lebih baru dan menjadi berita utama
adalah kegagalan bendungan limbah tambang pada tahun 2015 di lokasi tambang
Samarco di Brasil yang dimiliki bersama oleh Vale dan BHP, dan insiden tahun
2014 di lokasi tambang Mount Polley di Kanada yang merupakan milik Imperial
Metals. Faktanya, kegagalan bendungan limbah tambang terjadi pada tingkat
yang dapat diprediksi. Tahun 2015, Lindsay Newland Bowker dan David
Chambers mengkaji data kegagalan bendungan limbah tambang di masa lalu
serta data proyeksi produksi bijih tambang hingga 2019, dan memperkirakan
terjadinya 11 kerusakan sangat serius antara 2010-2019 (yang sekarang terbukti
dengan terjadinya bencana Córrego do Feijão). Para peneliti di World Mine
Tailings Failures lantas turut memperhitungkan kejadian-kejadian terbaru dan
merevisi jumlah tersebut menjadi 14 kejadian yang sangat serius dalam dekade
ini.
Dengan turunnya cadangan global logam dan mineral yang siap diakses,
industri pertambangan telah mulai mengekstraksi bijih tambang yang kualitasnya
lebih rendah. Volume dan sifat limbah tambang (tailing) yang dihasilkan dari
kegiatan tersebut membuat limbahnya jauh lebih sulit untuk disimpan secara
aman, sehingga secara signifikan meningkatkan risiko jebolnya bendungan
limbah. Margin keuntungan yang lebih kecil dari kegiatan operasi berkualitas
rendah ini membawa risiko tambahan yaitu dilakukannya penghematan biaya
yang lantas mengurangi penanaman sumber daya/investasi pada manajemen
aspek keamanan terkait limbah tambang/tailing.
Laporan yang diterbitkan oleh Komisi Internasional untuk Bendungan
Besar (International Commission on Large Dams) tahun 2001 berisi telaah atas
221 kegagalan bendungan limbah tambang dan mendapati bahwa sebenarnya
semua kegagalan tersebut dapat dicegah2. Apa yang dapat dilakukan perusahaan
tambang untuk mengurangi risiko kegagalan bendungan limbah tambang yang
bisa berdampak begitu dahsyat? Pertama, perusahaan dapat lebih bersungguh-
sungguh mempertimbangkan risiko saat merancang, merencanakan, dan
membangun bendungan limbah. Laporan UNEP tahun 2017 menyerukan kepada
perusahaan, regulator, dan masyarakat untuk mengadopsi tujuan bersama untuk
mencapai nihil- kerusakan pada fasilitas penyimpanan limbah tambang, dan
merujuk kepada rekomendasi panel yang meninjau bencana Mount Polley:
bahwa “aspek/atribut keselamatan harus dievaluasi secara terpisah dari
pertimbangan ekonomi, dan biaya hendaknya tidak menjadi faktor penentu”
dalam mengelola limbah tambang (tailing).
RMF mendukung seruan pembuatan basis data (database) internasional
terkait bendungan limbah tambang (tailing) dan mendorong perusahaan tambang
untuk memperhatikan Langkah langkah dasar berikut ini untuk memastikan
terlaksananya pengelolaan risiko limbah tambang (tailing) yang lebih
bertanggung jawab:
a. Berkomitmen untuk menjaga standar keselamatan yang setinggi
mungkin di semua negara/yurisdiksi, lebih dari sekadar kepatuhan
terhadap ketentuan hukum apa pun;
b. Berkomitmen untuk tidak menggunakan sungai, danau, atau laut untuk
membuang limbah tambang (tailing);
c. Menempatkan akuntabilitas dan tanggung jawab atas pengelolaan
limbah tambang (tailing) pada level tertinggi di perusahaan;
d. Berinvestasi dalam penelitian dan pengembangan teknologi untuk
pendekatan yang lebih aman dan berisiko lebih rendah dalam hal
penyimpanan limbah tambang (tailing);
e. Mengadopsi teknologi terbaik yang ada sejak fase awal pengembangan
proyek;
f. Mendesain bendungan limbah tambang (tailing) dengan faktor
keselamatan tingkat tinggi, yang memperhitungkan kejadian ekstrem
dan stabilitas permanen setelah penutupan;
g. Memastikan bahwa lokasi bendungan limbah tambang (tailing) berada
jauh dari permukiman masyarakat dan fasilitas pekerja;
h. Melakukan peninjauan internal dengan frekuensi yang cukup sering atas
kinerja fasilitas limbah tambang dan memastikan bahwa tindakan
korektif dilaksanakan sesuai jadwal dan dengan anggaran yang memadai;
i. Memungkinkan dilakukannya peninjauan dan audit independen atas
proses pencarian atau penyelidikan dan pemilihan lokasi, desain,
konstruksi, operasi, penutupan, dan setelah penutupan fasilitas limbah
tambang, dan dengan melakukan pengungkapan terbuka atas temuan
yang diperoleh; dan
j. Mengupayakan agar semua informasi terkait risiko limbah tambang
(tailing) dapat diakses publik, termasuk semua tinjauan internal dan
eksternal, kesiapsiagaan menghadapi kondisi kedaruratan dan rencana
tanggap kedaruratan, serta semua informasi yang relevan tentang
jaminan keuangan yang disediakan untuk penanggulangan bencana dan
pemulihan sesudahnya.
Tindakan yang lebih serius untuk mencegah kerusakan bendungan limbah
tambang (tailing) sangat diperlukan untuk menghindari risiko terjadinya dampak
yang lebih fatal bagi pekerja dan masyarakat setempat serta kerusakan
lingkungan hidup yang luas dan besarnya biaya pembersihan dan perbaikan
akibat kerusakan tersebut. Dalam era penurunan kualitas bijih tambang dan
peningkatan volume limbah (tailing), tidak hanya aspek optimalisasi biaya saja
yang perlu diperhatikan, melainkan yang lebih penting ialah memastikan bahwa
pertambangan mampu menghidupkan perekonomian, meningkatkan kehidupan
masyarakat, dan menghormati lingkungan hidup negara produsen. Beberapa
faktor yang mengakibatkan ketidak-efektifan reklamasi tersebut diantaranya
adalah tidak adanya partisipasi dari masyarakat dan kesalahan teknologi dalam
pelaksanaan reklamasi lahan bekas tambang. Untuk menghindari hambatan yang
mungkin terjadi dari kegiatan reklamasi lahan bekas tambang, maka perlu
dilakukan kegiatan reklamasi lahan bekas tambang yang efektif. Secara umum,
reklamasi dapat dilakukan dengan 3 tahap, yaitu persiapan lahan, penanaman dan
pemeliharaan. Persiapanlahan, meliputi: pengolahan tanah, pembuatan drainase,
dan perbaikantanah. Pelaksanaan penanaman pohonterbaik dilakukan di awal
atau selama musim penghujan. Untuk mempermudah pelaksanaan pemeliharaan,
pengawasan, dan evaluasi, pemasangan papan informasi di lokasi tanam harus
dilakukan. Dengan demikian reklamasi terlaksana secara efektif.
DAFTAR PUSTAKA

Hendri, J. & Purnama, H., 2016. Karakteristik Kimia Tanah Lahan


Reklamasi Tambang Batubara di Provinsi Jambi, Palembang: s.n.
Munir, m. & Setyowati , D. N., 2017. Kajian reklamasi lahan pasca
tambang di jambi, bangka, dan kalimantan selatan. Klorofil, volume vol. 1
no. 1, pp. 11-16.
Sari, D. P. & Buchori, I., 2015. Efektivitas Program Reklamasi Pasca
Tambang Timah Di Kecamatan Merawang Kabupaten Bangka. Biro
Penerbit Planologi Undip, Volume Vol 11, pp. 299-312.

Anda mungkin juga menyukai