Anda di halaman 1dari 4

KASUS NAZARUDDIN

1. Siapa dia?

Dilahirkan di Bangun, 26 agustus 1978, nama Muhammad Nazaruddin semula


dikenal sebagai pengusaha sukses bidang pengadaan alat kesehatan, konstruksi, perkebunan,
dan jasa. Pada tahun 2002, Nazar, memulai bisnisnya dengan membentuk sebuah CV
bernama Anak Negeri di Pekanbaru, Riau. Bakat wirausaha rupanya diturunkan oleh
ayahnya. Baru sebentar saja dirinya memulai bisnis, ia sudah tercatat sebagai komisaris di
beberapa perusahaan, di antaranya yaitu PT. Anugerah Nusantara, PT. Panahatan, dan PT.
Berhak Alam Berlimpah. Perusahaannya sendiri pun telah berganti menjadi PT. Anak
Negeri.

Nama Nazar sebelumnya tak pernah hadir dalam dunia politik, usianya yang terbilang
muda sering menimbulkan beberapa pertanyaan bercokol di kepala. Pada tahun 2004, Nazar
mencoba peruntungan untuk mencalonkan diri sebagai anggota legislatif melalui Partai
Pembangunan Persatuan. Tetapi, usahanya terhenti karena ia gagal memperebutkan kursi dan
duduk di Senayan kala itu. Tak puas dengan hasil pemilihan calon legislatif tahun 2004,
Nazar kembali mencalonkan diri menjadi anggota DPR periode 2009-2014 kali ini dari
Fraksi Partai Demokrat dengan Daerah Pemilihan Jawa Timur IV. Tidak seperti periode
sebelumnya, Nazar berhasil melenggang di Senayan dengan apik. Kala itu, loyalitas Nazar di
Partai Demokrat dipuji-puji sehingga disebut-sebut karena hal itulah Nazar ditunjuk sebagai
Bendahara Umum Partai Demokrat oleh Presiden SBY pada tahun 2010. Bahkan, sumber
lain mengatakan adanya kucuran dana dari Nazar untuk ikut menyumbang pasangan SBY-
Boediono.

2. Apa yang dilakukannya?

Berikut beberapa kasus yang menjerat Nazaruddin:


1. Kasus Korupsi Wisma Atlet sebagai tersangka
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah menetapkan Muhammad Nazaruddin
sebagai tersangka kasus suap wisma atlet. Nazaruddin dikenakan pasal penerimaan suap
dalam kasus tersebut.Bibit mengatakan KPK telah menetapkan Nazaruddin dan
ditetapkan sebagai tersangka karena melanggar Pasal 12 huruf (a) atau (b.) subsidiar
pasal 5 ayat (2) subsidair pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20
Tahun 2001Sejak awal, Nazaruddin memang disebut-sebut mendapat jatah Rp 25 miliar
dari proyek pembangunan Wisma Atlet SEA Games XXVI di Palembang, Sumatera
Selatan. Jatah tersebut merupakan fee (komisi) 13 persen dari PT Duta Graha Indah yang
membangun proyek senilai Rp 191 miliar di Jakabaring itu.

3. Motif?
Kasus suap proyek Wisma Atlet SEA Games di Palembang. Nazaruddin terbukti menerima
suap sebesar Rp. 4,6 miliar berupa cek yang diserahkan manajer pemasaran PT. Duta Graha
Indah (DGI) Muhammad El Idris.

4. Modus?
Modus yang digunakan Nazaruddin adalah, sebagai pemilik sejumlah perusahaan yang
tergabung dalam Permai Grup dan Bendahara Partai Demokrat, serta anggota DPR, ia
menggunakan wewenang untuk memenangkan sejumlah tender proyek pemerintah.

5. Dampak fraud?
Pengamat politik dari Lembaga Survei Indonesia (LSI) Burhanudin Muhtadi, menyatakan,
ada tiga pengaruh besar jika seandainya tersangka kasus suap Wisma Atlet SEA Games
Muhammad Nazaruddin gagal membongkar kasusnya.
Pertama, pengaruh terhadap Partai Demokrat yang selalu dituding ikut menerima aliran dana
haram itu. Jika kasus itu tidak bisa dituntaskan, maka citra Demokrat akan semakin buruk di
mata masyarakat.
Kedua, kasus Nazar juga berpengaruh pada citra Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK),
lantaran pimpinan lembaga adhoc ini juga dituding Nazaruddin berkecimpung dalam kasus
Wisma Atlet.
Terakhir, Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) juga akan jelek. Baginya, kasus
Nazaruddin telah menyandera pemerintahan SBY dalam pemberantasan korupsi.
6. Jenis fraud?
Gratifikasi dan pencucian uang
Pada 15 Juni 2016, Majelis hakim pada Pengadilan Tipikor Jakarta menjatuhkan vonis 6
tahun penjara terhadap mantan anggota DPR RI, Muhammad Nazaruddin. Nazarrudin juga
diwajibkan membayar denda sebesar Rp 1 miliar subsider 1 tahun kurungan. "Mengadili,
menyatakan terdakwa Muhammad Nazaruddin terbukti sah dan meyakinkan melakukan
korupsi dan pencucian uang, sebagaimana dakwaan kesatu primer, dakwan kedua, dan
ketiga," ujar Ketua Majelis Hakim Ibnu Basuki di Pengadilan Tipikor Jakarta.
Beberapa pertimbangan yang memberatkan, antara lain, Nazaruddin dianggap tidak
mendukung program pemberantasan korupsi. Selain itu, hasil uang yang dikorupsi dalam
jumlah besar. Sementara itu, hal yang meringankan, yakni Nazaruddin telah dipidana dalam
kasus korupsi, mempunyai tanggungan keluarga, dan berstatus justice collabolator atau saksi
pelaku yang bekerja sama dengan KPK.
Jaksa dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menuntut agar Nazaruddin dihukum 7
tahun penjara dan denda Rp1 miliar subsider 1 tahun kurungan. Selain itu, menuntut agar
harta milik Nazaruddin senilai lebih kurang Rp 600 miliar yang termasuk dalam pencucian
uang dirampas untuk negara.
Nazaruddin didakwa menerima gratifikasi dari PT Duta Graha Indah dan PT Nindya
Karya untuk sejumlah proyek di sektor pendidikan dan kesehatan, yang jumlahnya mencapai
Rp 40,37 miliar. Saat menerima gratifikasi, ia masih berstatus sebagai anggota DPR RI.
Nazar juga merupakan pemilik dan pengendali Anugrah Grup yang berubah nama menjadi
Permai Grup.
Nazaruddin juga didakwa melakukan pencucian uang dengan membeli sejumlah saham di
berbagai perusahaan yang uangnya diperoleh dari hasil korupsi. Pembelian sejumlah saham
yang dilakukan Nazaruddin dilakukan melalui perusahaan sekuritas di Bursa Efek Indonesia
menggunakan perusahaan-perusahaan yang tergabung dalam Permai Grup, kelompok
perusahaan milik Nazar. Berdasarkan surat dakwaan, sumber penerimaan keuangan Permai
Grup berasal dari fee dari pihak lain atas jasanya mengupayakan sejumlah proyek yang
anggarannya dibiayai pemerintah. Dari uang tersebut, salah satunya Nazaruddin membeli
saham PT Garuda Indonesia sekitar tahun 2011 dengan menggunakan anak perusahaan
Permai Grup.
Dalam amar putusan, majelis hakim menyatakan vonis penjara terhadap Nazaruddin tidak
dipotong masa tahanan. Nazaruddin memang telah berada di dalam tahanan atas putusan
pengadilan dalam dakwaan yang berbeda.
Nazaruddin dinilai melanggar Pasal 12 huruf b Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999
sebagaimana diubah dengan UU No 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi jo Pasal 65 ayat (1) KUHP. Selain itu, Nazaruddin dinilai melanggar Pasal 3
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak
Pidana Pencucian Uang jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 jo Pasal 65 ayat (1) KUHP. Pasal 3 ayat (1)
huruf a, c, dan e UU No 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang sebagaimana
telah diubah dengan UU No 25 Tahun 2003 jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 jo Pasal 65 ayat (1)
KUHP.

Anda mungkin juga menyukai