Anda di halaman 1dari 23

Sol Justisio : JurnalPenelitian Hukum Volume 1,Nomor 1,April 2019 Hal 98-108

ssibarani01@gmail.com ISSN 26848791 (Online)

PELECEHAN SEKSUAL DALAM SUDUT PANDANG UNDANG-


UNDANG NOMOR 39 TAHUN 1999 TENTANG HAK ASASI MANUSIA
Sabungan Sibarani
Fakultas Hukum Universitas Borobudur
ssibarani01@gmail.com

Abstrak
Tindak kekerasan dalam bentuk pelecehan seksual terhadap perempuan dianggap sebagai
pelanggaran hak asasi dan telah disepakati dalam konferensi dunia tentang hak asasi manusia di
Wina 1993. Akan tetapi belum banyak orang yang mengetahui bahwa tindakan kekerasan,
termasuk pelecehan seksual, merupakan pelanggaran terhadap hak asasi manusia. Permasalahan
yang dihadapi adalah bagaimana sudut pandang pelecehan seksual dalam Undang- Undang
Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Metode penelitian yang digunakan adalah
metode penelitian hukum normatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kekerasan seksual
dapat dikatakan sebagai kejahatan HAM, karena konstitusi merupakan sumber hukum dasar dan
common platform yang mengikat seluruh bangsa Indonesia, maka kejahatan terhadap HAM
dapat diartikan sebagai pengingkaran terhadap hukum dasar dan common platform tersebut.
Pemerintah perlu memberikan perhatian dan melakukan langkah- langkah khusus dan
percepatan tindakan untuk melindungi korban pelecehan seksual dan menjamin hak bagi korban
pelecehan seksual serta melakukan pemulihan bagi korban pelaku kekerasan seksual.
Kata Kunci : Pelecehan Seksual, HAM.
©2019 Universitas Mpu Tantular
_____________________________________________________________________________________________

PENDAHULUAN
I Latar Belakang Masalah
Kekerasan yang kerap kali diterima dan dirasakan oleh perempuan bermula dari sistem tata
nilai yang mendudukan perempuan sebagai makhluk yang lemah dan rendah jika dibandingkan
dengan laki-laki, sehingga seringkali peran dari laki-laki dianggap harus sepantasnya lebih
dominan dibandingkan dengan perempuan.1 Namun seiring dengan perkembangan masyarakat,
membawa dampak yang sangat signifikan terhadap perubahan nilai-nilai peranan yang dilakukan
oleh manusia, itu membuat wanita tidak lagi hanya berperan didalam mengurus rumah tangga
sebagai ibu yang tugasnya sebatas mengurus anak-anak dan suami saja, tetapi juga mempunyai
peranan dalam bidang- bidang antara lain sosial dan ekonomi, bahkan dewasa ini peran yang
dianggap pekerjaan laki-laki saja kini sudah dapat dilakukan oleh perempuan yang diantaranya
adalah sebagai supir atau kondektur dari transportasi darat seperti bus. Kondisi demikian ini
mempunyai resiko yang rentan gangguan-gangguan, termasuk tindakan yang berhubungan
dengan seksualitas yang ditujukan kepadanya.2.Bentuk-bentuk kekerasan seksualitas yang masuk
dalam kategori tersebut antara lain pemerkosaan, pelecehan seksual, aborsi, pelacuran dan
perdagangan (eksploitasi) terhadap anak-anak dan orang dewasa perempuan serta kekerasan
didalam rumah tangga. Baik dalam KUHP maupun Rancangan Undang- Undang KUHP, istilah
kekerasan terhadap perempuan tidak dipergunakan, tetapi istilah yang digunakan adalah
“Kejahatan terhadap kesusilaan“ yang dalam literatur asing disebut dengan ”sexual violence“ dan
dapat diterjemahkan sebagai kejahatan seksual.Kejahatan terhadap kesusilaan ini dapat diartikan
sebagai perbuatan pidana yang berkaitan dengan hubungan antara perkelaminan atau relasi
seksual baik antara perempuan dan laki-laki, maupun antara sesama jenis kelamin. Dengan
demikian dapat

98
Sol Justisio : JurnalPenelitian Hukum Volume 1,Nomor 1,April 2019 Hal 98-108
ssibarani01@gmail.com ISSN 26848791 (Online)

diartikan hukum pidana kita mengatur tentang seksualitas manusia yang berisi tentang
bagaimana cara seseorang harus berprilaku dalam relasi seksual mereka.Penanganan
yuridis tentang kasus-kasus pelecehan seksual sampai saat ini masih sering mengalami
hambatan-hambatan, yang paling utama adalah menyangkut rumusan-rumusan tindak
pidana atau delik tentang pasal-pasal pelecehan seksual yang belum diatur secara tegas
dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana, lalu pembuktiannya dalam hal ini adalah
Kitab Undang-undang hukum acara pidananya, karena sifatnya yang merupakan delik
aduan, itu juga merupakan salah satu hambatan, sebab undang-undang mengharuskan
penuntutan dapat di lakukan apabila si korban sendiri yang harus mengadukannya, pasal
293 (2) KUHP, dan batas pengaduannya relatif sangatlah singkat yaitu masing masing
sembilan dan dua belas bulan, Pasal 293 (3), itu salah satu yang menjadi hambatannya,
sebab kebanyakan korban malu ataupun enggan untuk mengatakannya, karena kejadian
tersebut dapat menjadi aib bagi keluarga dan juga sebagian masyarakat, lalu ada juga
yang takut mengatakannya karena adanya ancaman dari si pelaku terhadap korban,
apalagi korban adalah orang yang belum dewasa dan tidak mengerti tentang apa yang
telah dialaminya.
Walaupun secara umum wanita sering mendapat sorotan sebagai korban pelecehan
seksual, namun pelecehan seksual dapat menimpa siapa saja. Korban pelecehan seksual
bisa jadi adalah laki-laki ataupun perempuan. Korban bisa jadi adalah lawan jenis dari
pelaku pelecehan ataupun berjenis kelamin yang sama.

1. Pelaku pelecehan seksual bisa siapa saja terlepas dari jenis kelamin, umur,
pendidikan, nilai-nilai budaya, nilai-nilai agama, warga negara, latar belakang,
maupun status sosial.
2. Korban dari perilaku pelecehan sosial dianjurkan untuk mencatat setiap
insiden termasuk identitas pelaku, lokasi, waktu, tempat, saksi dan perilaku
yang dilakukan yang dianggap tidak menyenangkan. Serta melaporkannya ke
pihak yang berwenang.
3. Saksi bisa jadi seseorang yang mendengar atau melihat kejadian ataupun
seseorang yang diinformasikan akan kejadian saat hal tersebut terjadi. Korban
juga dianjurkan untuk menunjukkan sikap ketidak-senangan akan perilaku
pelecehan.
Di sisi lain, tindak kekerasan terhadap perempuan merupakan penghambat
kemajuannya serta menghalanginya menikmati hak asasi dan kebebasan, yang juga
menghambat tercapainya kesetaraan gender antara perempuan dan laki- laki. Tindak
kekerasan terhadap perempuan dianggap sebagai pelanggaran hak asasi dan telah
disepakati dalam konferensi dunia tentang hak asasi manusia di Wina 1993. Akan tetapi
belum banyak orang yang mengetahui bahwa tindakan kekerasan, termasuk pelecehan
seksual, merupakan pelanggaran terhadap hak asasi manusiaJika kita telusuri dengan hal-
hal yang sifatnya lebih mendasar dan universal itu dapat kita lihat dari deklarasi dunia
tentang hak asasi manusia (HAM), di mana pada hakikatnya, hak asasi manusia (HAM)
tidak membedakan hak-hak asasi dari sudut jenis kelamin (perempuan atau laki-laki).
Kedua-duanya adalah manusia yang mempunyai hak asasi yang sama.

A. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang diangkat penulis adalah bagaimana sudut pandang
pelecehan seksual dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia?

PEMBAHASAN

99
Sol Justisio : JurnalPenelitian Hukum Volume 1,Nomor 1,April 2019 Hal 98-108
ssibarani01@gmail.com ISSN 26848791 (Online)

Pengertian pelecehan seksual adalah suatu perbuatan yang biasanya dilakukan pria dan
ditujukan kepada wanita dalam bidang seksual, yang tidak disukai oleh sang wanita sebab
ia merasa terhina, tetapi kalau perbuatan itu ditolak ada kemungkinan ia menerima akibat
buruk lainnya. Pengertian lainnya dikemukakan oleh Sanistuti sebagai berikut : 3
”Pelecehan seksual oleh semua tindakan seksual atau kecendrungan bertindak seksual
yang bersifat intimidasi non fisik (kata-kata, bahasa, dan gambar), atau fisik (gerakan
kasat mata dengan memegang, menyentuh, meraba, mencium) yang dilakukan seorang
laki-laki atau kelompoknya terhadap perempuan atau kelompoknya”.

Adapun unsur-unsur dalam pelecehan seksual meliputi :


1. Suatu perbuatan yang berhubungan dengan seksual.
2. Pada umumnya pelaku adalah laki-laki dan korbannya wanita.
3. Wujud perbuatan berupa fisik dan non fisik, dan
4. Tidak ada kesukarelaan.
Dalam setiap perilaku pelecehan seksual selalu terkandung makna yang dinilai
negatif, dan karena itu mengundang reaksi serta sangsi, pelecehan seksual termasuk
tindak kekerasan terhadap perempuan, yang perlu digugat karena merupakan manifestasi
ketidakadilan sehubungan dengan peran dan perbedaan gender.
Tindak kekerasan itu diistilahkan sebagai kekerasan gender terhadap perempuan
atau gender-related violence, yang dikategorikan persatuan bangsa- bangsa sebagai
gender based abuse. Dikatakan bahwa “... any act of gender- based violence that results,
in physical, sexual, or phsychollogical harm or arbitary deprivation of liberty, wether
occurring in public or private line”.
Dalam pandangan Persatuan Bangsa-bangsa, tindak kekerasan terhadap wanita
harus diartikan meliputi kekerasan yang bersifat fisik, seksual atau psikologis yang
terjadi di dalam keluarga, termasuk pemukulan, penyalahgunaan secara seksual terhadap
arah perempuan didalam rumah tangga, perkosaan dalam perkawinan, dan eksploitasi
dalam perkawinan. Didalam masyarakat, kekerasan terhadap perempuan termasuk
perkosaan, pelecehan seksual intimidasi di tempat kerja, tempat pendidikan, dan tempat
tempat lainnya, perdagangan perempuan dan paksaan untuk melacur (penjaja seks) yang
dilakukan dan diperbolehkan oleh negara dimanapun itu terjadi. Bentuk-bentuk lainnya
ialah kekerasan terhadap pribadi, kekerasan dalam rumah tangga, dan kekerasan publik
atau Negara.4
Dalam kehidupan bermasyarakat diperlukan perlindungan kepentingan, baik
individu maupun masyarakat, agar dapat tercapai, di butuhkan pedoman berprilaku yang
sering disebut norma atau kaidah sosial, salah satu kaidah sosial adalah hukum, yang
secara umum mempunyai sanksi lebih bersifat memaksa, dan menekan dari pada kaidah
sosial lainnya. Sanksi ini tidak lain merupakan reaksi atau konsekuensi atas adanya
pelanggaran norma, dengan sanksi hukum ini diharapkan dapat diberikan perlindungan
terhadap kepentingan manusia, yang terlihat dari pelaksanaan perbuatan-perbuatan yang
diharuskan dilarang. Perilaku pelecehan seksual terhadap wanita adalah melanggar hak
asasi. Hal ini perlu dicegah untuk memberikan perlindungan atas hak-hak asasi individu
dan jaminan kehormatannya secara kolektif di masyarakat. Sanksi hukum ada yang
termasuk dalam lapangan hukum pidana, yang bercirikan sanksi yang tegas dan
menderitakan, berupa duka nestapa. Oleh karena itu, hukum pidana merupakan sistem
sangsi yang negative, sanksi tersebut ditujukan untuk mencegah jangan sampai orang
melakukan tindak pidana (termasuk pelecehan seksual) sebagai prevensi baik yang
bersifat umum (yang ditujukan kepada seluruh warga masyarakat agar tidak melakukan
perbuatan yang melanggar ketertiban umum) maupun yang khusus (ditujukan untuk
orang yang pernah melakukan pelanggaran ketertiban umum agar tidak melakukannya

100
Sol Justisio : JurnalPenelitian Hukum Volume 1,Nomor 1,April 2019 Hal 98-108
ssibarani01@gmail.com ISSN 26848791 (Online)

lagi) hukum pidana memuat dua hal yaitu : syarat-syarat untuk memungkinkan
penjatuhan pidana dan ketentuan mengenai pidananya, apabila dirinci lebih lanjut,
hukum pidana mempunyai tiga pokok persoalan:5
1. Perbuatan yang dilarang
2. Orang, dan
3. Pidana.

Perbuatan yang dilarang dalam hukum disebut tindak pidana atau perbuatan pidana
(delik) tindak pidana adalah perbuatan terlarang dan diancam dengan pidana bagi orang
yang melakukannya. Perilaku pelecehan seksual dapat dikategorikan sebagai tindak
pidana, sebab pelecehan seksual adalah merupakan perbuatan yang sangat dilarang dan
sangat tidak menyenangkan bagi orang yang menerima perlakuan seperti itu (terutama
para wanita yang kebanyakan menjadi korbannya), namun sampai saat ini belum ada
aturan yang jelas untuk melindungi para korbannya agar terhindar dari pebuatan tersebut
serta menghukum para pelakunya, karena seksualitas berkaitan erat dengan kehormatan
seseorang terutama kaum wanita.Hal ini dapat di hubungkan dengan teori pemidanaan
yang mengintegrasikan fungsi retributive dan utilitarian (aliran integrative) Misalnya,
pencegahan dan rehabilitasi. Kesemuanya di lihat sebagai sasaran yang harus dicapai,
dalam perencanaan pemidanaan, pilihan teori integrative tentang tujuan pemidanaan
dapat difungsikan dalam kerangka mengatasi kerusakan yang diakibatkan oleh tindak
pidana, baik individual damages maupun sosial damages. Pelecehan seksual
menimbulkan korban yang bersifat individual dan yang bersifat sosial, hal ini terkait
terhadap kehormatan manusia yang sifatnya asasi, yang dimiliki oleh setiap manusia
terutama masyarakat yang tunduk terhadap hukum pidana yang berlaku di Indonesia
agar terbebas dari sikap pemaksaan.Adanya polemik tentang beberapa pasal kesusilaan
ini, pada dasarnya disebabkan sampai saat ini tidak ada penjelasan secara resmi di dalam
KUHP terhadap apa yang dimaksud dengan “kesusilaan” (walaupun begitu banyak
pasal-pasal yang termasuk didalamnya mengatur tentang berbagai macam perbuatan
yang dimasukkan sebagai tindak pidana).Pelecehan seksual mengacu pada istilah
“sexual harrasment” yang diartikan sebagai “Unwelcome Attention” atau secara hukum
didefmisikan sebagai “Imposition Unwelcome Sexual Demands or Creation of Sexually
Offensive Environments”. Supanto mengutip dari Sanistuti mengartikan pelecehan
seksual sebagai semua tindakan seksual atau kecendrungan bertindak seksual yang
bersifat intimidasi non tisik (kata-kata, bahasa, dan gambar) atau fisik (gerakan kasat
mata dengan memegang, menyentuh, meraba, dan mencium) yang dilakukan oleh laki-
laki dan kelompoknya terhadap perempuan dan kelompoknya. Unsur yang sangat
penting dari pelecehan seksual adalah ketidak-inginan atau penolakan pada apapun
bentuk-bentuk perhatian yang bersifat seksual. Oleh karena itu perbuatan seperti siulan,
kata- kata, komentar, yang menurut budaya atau sopan santun (rasa susila) setempat
adalah hal yang wajar namun jika itu tidak dikehendaki oleh sipenerima perbuatan
tersebut, maka perbuatan itu bisa dikaregorikan sebagai pelecehan seksual.Terkait
dengan hal tersebut, pelecehan seksual yang dialami perempuan, khususnya anak
menjadi perhatian kita semua, mengingat anak memiliki hak konstitusional untuk
mendapat perlindungan dari kekerasan seksual, sebagaimana termaktub dalam Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 dengan jelas telah
mengamanatkan sesuai pasal 28 B ayat (2) telah menyatakan “Setiap anak berhak atas
kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari
kekerasan dan diskriminasi”. UU Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak
kemudian mengelaborasi dalam pasal 4 yang berbunyi “setiap anak berhak untuk dapat
hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan

101
Sol Justisio : JurnalPenelitian Hukum Volume 1,Nomor 1,April 2019 Hal 98-108
ssibarani01@gmail.com ISSN 26848791 (Online)

martabat kemanusiaan serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”.


Berdasarkan norma tersebut maka Negara dipandang berkewajiban dan
bertanggungjawab terhadap perlindungan anak dari kekerasan seksual.
Saat ini sudah ada satu kerangka kerja hukum yang lengkap untuk memberikan
perlindungan terhadap hak-hak anak. Perkembangan dalam bidang hukum yang paling
penting adalah dikeluarkannya Undang-Undang Perlindungan Anak pada bulan Oktober
2002. Undang-Undang Perlindungan Anak ini merupakan perangkat yang ampuh dalam
melaksanakan Konvensi Hak Anak (KHA) di Indonesia. Undang-Undang ini dibuat
berdasarkan empat prinsip Konvensi Hak Anak: non-diskriminasi, kepentingan terbaik
bagi anak, hak untuk hidup, tumbuh dan berkembang serta hak untuk berpartisipasi.
Didalamnya diatur hak-hak dasar anak untuk memperoleh identitas, kebebasan,
pendidikan, layanan kesehatan, hiburan dan perlindungan.
Sebagaimana Undang-Undang pada umumnya, Undang-Undang tentang
Perlindungan Anak diperlukan guna memberikan jaminan atau kepastian hukum dalam
perlindungan terhadap hak-hak anak, mengingat:
1. Anak adalah amanat dan karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang dalam dirinya
melekat harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya.
2. Anak adalah penerus cita-cita perjuangan bangsa yang memiliki peran
strategis, dan mempunyai ciri dan sifat khusus untuk diharapkan dapat
menjamin kelangsungan eksistensi bangsa dan negara di masa depan.
3. Anak perlu mendapat kesempatan seluas-luasnya untuk tumbuh dan
berkembang secara optimal, baik secara fisik, mental, maupun sosial dan
mempunyai akhlak yang mulia.
4. Pada kenyataannya masih terdapat banyak anak yang:
a. Belum terlindungi dari berbagai bentuk kekerasan dan eksploitasi.
b. Masih hidup terlantar dan tidak mendapat kesempatan memperoleh
pendidikan yang wajar, apalagi memadai.

Selain itu Undang-Undang Perlindungan Anak (UUPA) juga diperlukan untuk


menegaskan adanya kewajiban bagi negara, pemerintah, masyarakat, keluarga, orangtua
dan anak, mengingat: Kewajiban memberikan perlindungan anak walaupun sudah
disadari merupakan kewajiban bersama, namun perlu diberikan landasan hukum secara
khusus disamping yang sudah dicantumkan dalam pasal-pasal UUD 1945 atau dalam
berbagai Peraturan Perundang- Undangan yang lain, agar dapat menjamin
pelaksanaannya secara komprehensif dan tepat penanganan serta sasaran-nya, yang
harus dilakukan oleh negara, pemerintah, masyarakat, keluarga dan orangtua anak. Perlu
adanya keseimbangan antara perlindungan hak anak dan pemberian kewajiban bagi anak
dalam kapasitas mendidik anak. Oleh karena itu, disamping dilindungi hak- haknya,
agar tidak menjadi salah asuh, salah arah, maka perlu ditujukkan juga kewajiban yang
perlu dilaksanakan oleh anak.
Hak asasi manusia adalah hak yang didapat sejak manusia itu dalam kandungan
dan lahir kedunia sampai matinya, yang merupakan pemberian langsung oleh Tuhan
Yang Maha Esa, yang tidak dapat di ganggu gugat oleh siapapun dan dijamin penegakan
dan pelaksanaannya oleh negara, hukum, politik, masyarakat dan individu. Sebagai
bagian dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara, maka penegakan hak asasi
manusia sangat bergantung pada konsistensi dari para penyelenggara negara, walaupun

102
Sol Justisio : JurnalPenelitian Hukum Volume 1,Nomor 1,April 2019 Hal 98-108
ssibarani01@gmail.com ISSN 26848791 (Online)

permasalahan hak asasi manusia tidak berada dalam wilayah politik, namun dalam
praktik bernegara, pelaksanaan dari hak asasi manusia secara baik dan bertanggung
jawab tergantung dari kemauan dari para penyelenggara negara.Asas atau prinsip –
prinsip umum perlindungan anak dalam KHA sebagaimana yang diadopsi Undang–
Undang RI Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (UUPA) menyebutkan
asas non-diskriminasi (Pasal 2), kepentingan yang terbaik buat anak (Pasal 3), hak
hidup, kelangsungan hidup dan perkembangan (Pasal 6), dan penghargaan atas pendapat
anak (Pasal 12).Pengingkaran terhadap prinsip tersebut, menurut Jimly Asshiddiqie
(Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi) merupakan kejahatan terhadap HAM, karena
pada dasarnya adalah tindakan yang bertentangan dengan konstitusi. Kekerasan seksual
atau pelecehan seksual terhadap anak merupakan kejahatan HAM yang berimplikasi
buruk terhadap masa depan anak dan bangsa dimasa mendatang karena selain korban
menderita secara fisik juga terbebani secara psikis. Dengan demikian kekerasan seksual
dapat dikatakan sebagai kejahatan HAM. Karena konstitusi merupakan sumber hukum
dasar dan common platform yang mengikat seluruh bangsa Indonesia, maka kejahatan
terhadap HAM dapat diartikan sebagai pengingkaran terhadap hukum dasar dan
common platform tersebut.Berkaca pada itu, perihal yang erat kaitannya dengan HAM
anak, Indonesia era Orde Baru mengakui dan meratifikasi Convention on the Right of
the Child (Konvensi Hak Anak / KHA) pada tahun 1989 dengan dikeluarkannya
Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 36 Tahun 1990. Dengan demikian, Konvensi
PBB tersebut menjadi hukum Indonesia dan mengikat seluruh warga negara
Indonesia.Dengan demikian dapat dipastikan bahwa bangsa Indonesia mengakui bahwa
hak anak merupakan bagian integral dari HAM dan KHA merupakan bagian integral
dari instrumen internasional tentang HAM. Konvensi hak anak merupakan instrumen
berisi rumusan prinsip–prinsip universal dan ketentuan norma hukum mengenai hak–
hak anak yang merupakan sebuah perjanjian internasional mengenai HAM yang
memasukan unsur–unsur hak sipil dan politik, serta hak–hak ekonomi, sosial dan
budaya. Pengakuan ini pula, diimplemantasikan kedalam aturan hukum dibawah UUD
1945, sebagai bentuk perwujudan negara hukum yang menjunjung tinggi asas legalitas,
pengakuan dan perlindungan HAM dan asas lainnya.Saat ini kekerasan seksual terhadap
anak merupakan kejahatan yang cukup mendapat perhatian di kalangan masyarakat.
Sering di koran atau majalah diberitakan terjadi kekerasan seksual. Jika mempelajari
sejarah, sebenarnya jenis tindak pidana ini sudah ada sejak dulu, atau dapat dikatakan
sebagai suatu bentuk kejahatan klasik yang akan selalu mengikuti perkembangan
kebudayaan manusia itu sendiri, ia akan selalu ada dan berkembang setiap saat
walaupun mungkin tidak terlalu berbeda jauh dengan sebelumnya. Kekerasan seksual ini
tidak hanya terjadi di kota-kota besar yang relatif lebih maju kebudayaan dan kesadaran
atau pengetahuan hukumnya, tapi juga terjadi di pedesaan yang relatif masih memegang
nilai tradisi dan adat istiadat. Sebagaimana telah diketahui bahwa dalam perkembangan
sosial dewasa ini, banyak terjadi kejahatan perkosaan terutama di kalangan masyarakat
ekonomi lemah.Perlindungan anak sebagaimana yang dimaksud Pasal 1 angka 2
Undang–Undang Perlindungan Anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan
melindungi anak dan hak- haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang dan
berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta
mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
Sementara pengertian perlindungan khusus sebagaimana yang termaktub dalam
Pasal 1 angka 15 undang – undang perlindungan anak adalah perlindungan yang
diberikan kepada anak dalam situasi darurat, anak berhadapan dengan hukum, anak dari
kelompok minoritas dan terisolasi, anak yang diperdagangkan, anak yang menjadi
korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya (napza),

103
Sol Justisio : JurnalPenelitian Hukum Volume 1,Nomor 1,April 2019 Hal 98-108
ssibarani01@gmail.com ISSN 26848791 (Online)

anak korban kekerasan fisik dan / atau mental, anak yang menyandang cacat, dan anak
korban perlakuan salah dan penelantaran.Pada Pasal 3, tujuan perlindungan anak untuk
menjamin terpenuhinya hak–hak anak agar dapat hidup, tumbuh berkembang, dan
berpartisipasi secara optimal sesui dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta
mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, demi terwujudnya anak
Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia dan sejahtera.
Bertitik tolak pada konsep perlindungan anak yang utuh, menyeluruh dan komprehensif
maka undang–undang ini meletakan kewajiban memberikan perlindungan kepada anak
berdasarkan 4 (empat) asas, yakni non diskriminasi, asas kepentingan yang terbaik bagi
anak, asas hak untuk hidup, kelangsungan hidup dan perkembangan serta asas
penghargaan terhadap pandangan / pendapat anak.Jadi, hak anak yang diatur dalam
konstitusi Indonesia dan telah menjadi hukum positif, oleh negara dan masyarakat
seharusnya dilindungi dengan segala cara agar anak terhidar dari kejahatan HAM
khususnya kekerasan seksual karena sangat berdampak pada masa depan anak dan bangsa
baik secara fisik maupun psikis anak Indonesia.Kekerasan Seksual terhadap anak rupanya
tidak pernah berhenti dan sulit dihentikan. Fenomena ini bukan hanya milik Indonesia,
tetapi juga terjadi di seluruh Negara di dunia. Isu kekerasan seksual pada anak memang
menjadi sebuah masalah yang beberapa tahun terakhir ini meningkat baik jumlah maupun
skalanya. Negara dianggap gagal dalam melindungi anak-anak sehingga kekerasan ini
terus menerus berlangsung. Isu kekerasan seksual anak seharusnya diikuti juga dengan
praktek eksploitasi seksual anak, karena dalam dokumen insternasional lebih merelease
penggunaan praktek eksploitasi seksual anak dan penyalahgunaan seksual pada anak
ketika anak-anak menjadi korban kekerasan seksual. Eksploitasi seksual anak pun
merupakan pelanggaran berat terhadap hak-hak anak berupa penggunaan kekerasan dan
anak dijadikan objek seksual dan objek komoditas secara terus menerus yang meliputi
praktek- praktek pelacuran anak, pornografi anak, perdagangan seks anak dan pariwisata
seks anak. Pada bulan Oktober 2006, Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa- Bangsa
(PBB) menerbitkan hasil Studi tentang Kekerasan terhadap Anak, yang mengungkapkan
skala berbagai bentuk kekerasan yang dialami anak di seluruh dunia terus meningkat,
sehingga PBB menyerukan penguatan komitmen dan aksi di tingkat nasional dan lokal
oleh semua Kepala Negara.Di Indonesia sendiri, angka-angka kekerasan terhadap anak
tidak pernah menunjukkan angka menurun, kecenderungannya selalu meningkat. Angka
pastinya sulit diperoleh karena banyak kasus kekerasan yang tidak dilaporkan, terutama
apabila kekerasan tersebut terjadi di rumah tangga. Banyak masyarakat menganggap,
kekerasan di rumah tangga adalah urusan domestik, sehingga tidak selayaknya orang luar,
aparat hukum sekali pun ikut campur tangan di dalamnya.
Kasus kekerasan seksual terhadap anak paling banyak menimbulkan kesulitan
dalam penyelesaiannya baik pada tahap penyidikan, penuntutan, maupun pada tahap
penjatuhan putusan. Selain kesulitan dalam batasan di atas, juga kesulitan pembuktian
misalnya perkosaan atau perbuatan cabul yang umumnya dilakukan tanpa kehadiran
orang lain.Kekerasan seksual yang dilakukan terhadap anak di bawah umur tentunya
akan berdampak pada psikologis maupun perkembangan lainnya terhadap anak tersebut.
Dampak psikologis pada anak-anak akan melahirkan trauma berkepanjangan yang
kemudian dapat melahirkan sikap tidak sehat, seperti minder, takut yang berlebihan,
perkembangan jiwa terganggu, dan akhirnya berakibat pada keterbelakangan mental.
Keadaan tersebut kemungkinan dapat menjadi suatu kenangan buruk bagi anak korban
kekerasan seksual tersebut. Sehingga dalam hal ini peran aktif dari para aparat penegak
hukum dalam menanggulangi kejahatan kesusilaan sangat diperlukan.Untuk
menanggulangi kejahatan seksual pada anak diperlukan suatu usaha yang rasional dari
masyarakat, yaitu dengan cara politik kriminal. Kebijakan atau upaya penanggulangan

104
Sol Justisio : JurnalPenelitian Hukum Volume 1,Nomor 1,April 2019 Hal 98-108
ssibarani01@gmail.com ISSN 26848791 (Online)

kejahatan pada hakekatnya merupakan bagian integral dari upaya perlindungan


masyarakat (social defence). Oleh karena itu dapat dikatakan, bahwa tujuan utama dari
politik kriminal adalah “perlindungan masyarakat untuk mencapai kesejahteraan
masyarakat”.Alasan kasus-kasus kekerasan seksual tidak dilaporkan oleh korban kepada
aparat penegak hukum untuk diproses ke Pengadilan karena beberapa faktor,
diantaranya korban merasa malu dan tidak ingin aib yang menimpa dirinya diketahui
oleh orang lain, atau korban merasa takut karena telah diancam oleh pelaku bahwa
dirinya akan dibunuh jika melaporkan kejadian tersebut kepada polisi. Hal ini tentu saja
mempengaruhi perkembangan mental/kejiwaan dari para korban dan juga berpengaruh
pada proses penegakan hukum itu sendiri untuk mewujudkan rasa keadilan bagi korban
dan masyarakat.Berdasarkan hasil Pemantauan KPAI 2011-2014, bahwa data korban
kekerasan seksual pada anak mengalami peningkatan. Data yang dihimpun KPAI
berdasarkan pengaduan (langsung, surat, telepon, e-mail), berita di media (online, cetak,
elektronik) dan investigasi kasus menunjukkan kekerasan seksual dan eksploitasi
seksual komersial pada anak (ESKA), yakni :
1. Tahun 2011 sebanyak 667 kasus, atau 30,62% dari 2178 kasus anak.
2. Tahun 2012 sebanyak 921 kasus, atau 26,22% dari 3512 kasus anak.
3. Tahun 2013 sebanyak 837 kasus atau 19,41% dari 4311 kasus anak.
4. Tahun 2014 sampai dengan bulan Juni 2014, Kekerasan Seksual pada anak
yang dipantau mencapai 585 kasus atau 36,06% dari 1622 kasus anak.

Berarti dari data pengaduan kasus hasil pantauan KPAI selama 4 tahun, rata-rata
45 anak mengalami kekerasan seksual setiap bulannya.
Karena sulitnya memperoleh data valid dari seluruh tanah air, maka KPAI bersama
semua stakeholders bersepakat, utamanya Departemen Kesehatan, mulai tahun 2010,
akan menjadikan Puskesmas dan Rumah Sakit sebagai basis data kekerasan seksual
terhadap anak. Sebuah lokakarya sedang disiapkan untuk membangun sensitifitas para
petugas kesehatan di tempat-tempat pelayanan kesehatan serta membuat mekanisme
pelaporan yang cepat dan akurat. Diharapkan, kelak tidak perlu korban lapor, kalau
seorang dokter atau petugas Puskesmas mencurigai pasiennya korban kekerasan akan
segera melaporkan kepada aparat berwajib, karena banyak anak korban kekerasan tidak
berani menyampaikan laporan sebab ia berada dalam tekanan dan ancaman.

Beberapa kasus hasil temuan dan pemantauan KPAI berdasarkan fakta kekerasan
seksual yang pernah terpublikasikan di media massa baik elektronik maupun online,
sebagai berikut:
1. 22 Maret 2014. Salah seorang ibu dari murid salah satu TK Internasional di
Jakarta Selatan, melapor ke polisi terkait pengaduan anaknya yang mendapat
kekerasan seksual dari petugas kebersihan.
2. 26 Februari 2014. Berdasarkan pemeriksaan, diduga terjadi kekerasan
seksual di Panti Asuhan The Samuel Home, di Kelapa Gading Barat,
Tangerang. Pemilik panti, Chemy Watulinggas, diduga sebagai pelakunya.
3. 17 November 2013. Polisi menangkap W, 37 tahun di Duren Sawit, Jakarta
Timur, karena dilaporkan telah menyetubuhi anak kandungnya yang berusia
11 tahun.
4. 11 Oktober 2013. Bayi berusia 9 bulan meninggal di salah satu rumah sakit di
kawasan Jakarta Timur, dia meninggal dengan kondisi mengalami luka
dibagian kelamin dan anus yang diduga akibat kekerasan seksual.
5. 9 Agustus 2013. YS, 28 tahun melaporkan suaminya ke Polresta Tangerang
karena diduga telah memperkosa anak tirinya , VF yang berusia 7 tahun.

105
Sol Justisio : JurnalPenelitian Hukum Volume 1,Nomor 1,April 2019 Hal 98-108
ssibarani01@gmail.com ISSN 26848791 (Online)

6. Maret 2013. D, 6 tahun, diperkosa sambil dimutilasi hidup-hidup oleh


pamannya sendiri yang telah kecanduan pornografi.
7. 4 Februari 2013. IA, 27 tahun melaporkan suaminya ke Unit Perlindungan
Perempuan dan Anak (PPA) Polres Jakarta Timur karena diduga telah
memperkosa anak tirinya yang berusia 9 tahun, peristiwa tersebut terjadi sejak
2012.
8. 6 Januari 2013. RI meninggal dunia di ICU Rumah Sakit Persahabatan,
Jakarta, akibat radang otak dan luka parah di kelamin akibat diperkosa oleh
bapak kandungnya.
9. Di Lampung dan Jawa Timur yang pelakunya adalah anak, dimana sebagian
pelaku telah kecanduan pornografi. Polda Jatim dalam satellite meeting 2013
menyampaikan bahwa 70% kasus kekerasan seksual dipicu oleh situs
pornografi.
10. DI Yogyakarta pada 2012, kasus pernikahan dini meningkat di tiga
kabupaten/kota sebagai ekses dari kehamilan di luar nikah. Para orang tua di
Yogyakarta resah karena mereka tidak dapat mencegah anak mengakses
pornografi walaupun sudah dilarang.
11. Anak perempuan berusia 14 tahun di Toraja tanggal 18 Juli 2012 mengalami
kekerasan seksual yang dilakukan secara berkelompok oleh 10 anak kelas 2
setingkat SMA.
12. Anak kelas 4 SD di Nganjuk sudah menjadi korban kekerasan seksual, bahkan
sudah melahirkan anak, dan sebagainya.
Berdasarkan hasil penelitian LBH Jakarta Tahun 2012, untuk situasi pelanggaran
hak anak dalam peradilan pidana mengungkap bahwa, di setiap tahap dalam proses
hukum, anak pelaku tindak pidana juga menjadi korban kekerasan seksual. Sedangkan
pelaku kekerasan seksual sendiri tak jarang justru yakni aparat penegak hukum.
Sebanyak 35% anak mengalami kekerasan
seksual saat penangkapan, 18% nya saat pemeriksaan verbal/BAP dan penahanan.
Adapun bentuk-bentuk kekerasan seksual yang sering terjadi adalah dimasukkan benda
dalam anus/vagina, diperkosa, diperkosa sesama jenis, dipaksa oral seks, dipaksa
onani/masturbasi, diraba pada bagian sensitif, difoto dalam posisi mesum, dipaksa
berciuman, ditelanjangi, dsb.Perlindungan Hukum Terhadap Anak Korban Kekerasan
Seksual Sebagai negara hukum yang mengakui hak anak sebagai bagian integral dari
HAM, sebagaimana didalam KHA yang telah diratifikasi, sudah barang tentu, Indonesia
berkewajiban memberikan jaminan perlindungan hukum atas hak – hak anak. Yang
menjadi pertanyaannya adalah bagaimana perlindungan hukum bagi anak korban
kekerasan seksual. Karena persoalannya adalah kekerasan seksual itu sudah terjadi dan
bentuknya pun beragam serta berdampak buruk terhadap diri pribadi anak baik pisik
maupun fisik.Pelecehan seksual menurut penulis sangat berdampak besar terhadap
psikologi anak, karena mengakibatkan emosi yang tidak stabil. Oleh karena itu, anak
korban pelecehan seksual harus dilindugi dan tidak dikembalikan pada situasi dimana
tempat terjadinya pelecehan seksual tersebut dan pelaku pelecehan dijauhkan dari anak
korban pelecehan. Hal ini untuk memberi perlindungan pada anak korban pelecehan
seksual. Anak – anak yang menjadi korban pelecehan seksual akan mengalami sejumlah
masalah, seperti kehilangan semangat hidup, membenci lawan jenis, dan upaya
keinginan untuk balas dendam, bila kondisi psikologisnya tidak ditangani secara serius.
Maka dari itu, sudah sepatutnya negara tetap menjamin terlindunginya hak anak korban
kekerasan seksual, diantaranya hak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan
berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta
mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Mendapatkan pelayanan

106
Sol Justisio : JurnalPenelitian Hukum Volume 1,Nomor 1,April 2019 Hal 98-108
ssibarani01@gmail.com ISSN 26848791 (Online)

kesehatan dan jaminan sosial serta memperoleh pendidikan dan pengajaran agar anak
kembali dalam kondisi ideal sedia kalanya. Upaya perlindungan terhadap hak anak di
dalam UUPA jelas menegaskan bahwa negara dan pemerintah, masyarakat
berkewajiban melindungi hak anak, khususnya korban kekerasan seksual. Secara
eksplisit diatur didalam UUPA, diantaranya, pada Pasal 13 Ayat (10) yang berbunyi
“Setiap anak selama dalam pengasuhan orang tua, wali, atau pihak lain mana pun yang
bertanggung jawab atas pengasuhannya, berhak mendapatkan perlindungan dari
perlakuan diskriminasi, eksploitasi baik ekonomi maupun seksual, penelantaran.
Kemudian juga kekejaman, kekerasan dan penganiayaan, dan perlakuan salah lainnya”.
Pada Ayat (2) bila orang tua, wali atau pengasuh anak melakukan segala bentuk
perlakuan sebagaimana Ayat (1), maka pelaku diberi pemberatan hukuman.Kemudian,
Pasal 16 Ayat (1) setiap anak berhak memperoleh perlindungan dari sasaran
penganiayaan, penyiksaan atau penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi. Kemudian,
pada Pasal 17 Ayat (2), setiap anak yang menjadi korban atau pelaku kekerasan seksual
atau yang berhadapan dengan hukum berhak dirahasiakan. Lalu dipertegas pula pada
Pasal 18 yakni setiap anak yang menjadi korban atau pelaku tindak pidana berhak
mendapatkan bantuan hukum dan bantuan lainnya.Hambatan-hambatan yang sering
dihadapi dilapangan dalam rangka pendampingan terhadap anak korban kekerasan
seksual diantaranya:
1. Melakukan pendampingan kepada anak korban kekerasan seksual pada proses
hukum, kendalanya :

– Masih terbatasnya sarana dan prasarana dalam pemeriksaan kasus anak


korban kekerasan seksual serta petugas pendampingan untuk anak masih
kurang sensitif dalam penanganan anak korban kekerasan seksual.
– Membangun kepercayaan anak korban lebih susah, sehingga pendekatan
terhadap korban kekerasan seksual lebih lama, dan harus lebih instensif
menyesuaikan dengan suasana psikologis anak.
– Pendekatan harus lebih intens terhadap anak, karena korban anak biasanya
lebih tertutup, disamping itu korban juga sulit berinteraksi dengan orang
asing/yang baru dikenalnya.

2. Konseling / Konsultasi, kendalanya : terjadi depresi berat yang dialami


korban kekerasan seksual, dan korban rata-rata berasal dari keluarga miskin,
sehingga korban yang masih di bawah umur masih mengalami trauma
terhadap kasus yang dialaminya sehingga sulit untuk memberikan keterangan-
keterangan.
3. Advokasi dan Sosialisasi, kendalanya : Masih rendahnya dukungan dari
instansi terkait untuk bekerjasama dalam penanganan kasus kekerasan seksual
terhadap korban, maupun sosialisasi bahaya kejahatan seksual terhadap
korban anak.
4. Penyediaan Shelter (Rumah Aman) Untuk Anak Korban Kekerasan Seksual,
kendalanya: sarana dan prasarana shelter untuk anak korban kekerasan
seksual masih belum memadai.
PENUTUP
1. Kesimpulan
Pelecehan seksual merupakan pelanggaran hak asasi manusia (HAM), karena
tidak hanya dirugikan secara fisik maupun psikis, tapi juga martabat kemanusiaannya.
Kasus-kasus pelecehan seksual masih dilekatkan dengan moralitas, tidak dilihat dari
unsur kejahatan pelanggaran HAM, padahal ini terkait dengan martabat kemanusiaan,

107
Sol Justisio : JurnalPenelitian Hukum Volume 1,Nomor 1,April 2019 Hal 98-108
ssibarani01@gmail.com ISSN 26848791 (Online)

para korban tidak hanya mengalami masalah psikis tapi juga kerusakan organ reproduksi
dan bagian fisik lainnya.Menurut penulis, hukumannya diberatkan, 100 atau 200 tahun.
Jadi tidak akan mungkin bebas lagi. Pastinya negara tidak melanggar HAM karena tidak
membunuh mereka secara langsung, tapi para pelaku tidak memiliki hak apa-apa lagi
untuk bersosialisasi dengan masyarakat.Di Indonesia, membawa pelaku ke ranah hukum
sering terhambat sebab alat bukti penyidikan masih fokus pada kekerasan seksual alat
kelamin. Tanpa ada kerusakan pada alat kelamin, maka visum at repertum tidak bisa
membuktikan. Dampaknya adalah para pelaku kekerasan seperti paedofilia dan
sejenisnya dihukum ringan.

2. Saran
Saran yang bisa penulis sampaikan dalam karya ilmiah ini adalah Pemerintah
perlu memberikan perhatian dan melakukan langkah-langkah khusus dan percepatan
tindakan untuk melindungi anak dari kekerasan seksual, menjamin hak bagi anak-anak
korban, serta melakukan pemulihan bagi anak yang menjadi korban dan pelaku
kekerasan seksual. Di sisi lain, Pemerintah dan pemerintah daerah perlu memiliki
program khusus yang didukung oleh struktur, aparatur dan anggaran yang memadai,
yang diorientasikan untuk pencegahan, penanganan, pendampingan dan pemulihan anak
dari menjadi korban dan pelaku kekerasan seksual dan pornografi secara sistemik dan
komprehensif. Program ini ditujukan khususnya untuk para penanggungjawab
perlindungan anak yakni orang tua di rumah, guru dan tenaga kependidikan di sekolah
dan lembaga pendidikan lainnya, dan RT/RW/PKK/Posyandu/Kelompok Pengajian, dll.
di lingkungan masyarakat.

DAFTAR KEPUSTAKAAN
Daldjoeni, “Perempuan Sudah Dilecehkan Masih Dituduh Mengiming-imingi”, Kompas,
21 November 1994.

Mansaur Fakih, Gender Sebagai Analisis Sosial, Jurnal Analisis Sosial, edisi 4,
November 1996.

Nursyahbani, Katjasungkana, Kekerasan Terhadap Perempuan Dalam Hukum Pidana


Indonesia, Suara APIK untuk Kebebasan dan Keadilan, Edisi 13 tahun 2000.

Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, Alumni, Bandung, 1986.

Supanto. Kebijakan Hukum Pidana Mengenai Pelecehan Seksualitas, Kerja Ford


Foundation dengan Pusat Penelitian UGM, Yogyakarta.

108
Sol Justisio : JurnalPenelitian Hukum Volume 1,Nomor 1,April 2019 Hal 98-108
ssibarani01@gmail.com ISSN 26848791 (Online)

109
Sol Justisio : JurnalPenelitian Hukum Volume 1,Nomor 1,April 2019 Hal 98-108
ssibarani01@gmail.com ISSN 26848791 (Online)

110
Sol Justisio : JurnalPenelitian Hukum Volume 1,Nomor 1,April 2019 Hal 98-108
ssibarani01@gmail.com ISSN 26848791 (Online)

111
Sol Justisio : JurnalPenelitian Hukum Volume 1,Nomor 1,April 2019 Hal 98-108
ssibarani01@gmail.com ISSN 26848791 (Online)

112
Sol Justisio : JurnalPenelitian Hukum Volume 1,Nomor 1,April 2019 Hal 98-108
ssibarani01@gmail.com ISSN 26848791 (Online)

113
Sol Justisio : JurnalPenelitian Hukum Volume 1,Nomor 1,April 2019 Hal 98-108
ssibarani01@gmail.com ISSN 26848791 (Online)

114
Sol Justisio : JurnalPenelitian Hukum Volume 1,Nomor 1,April 2019 Hal 98-108
ssibarani01@gmail.com ISSN 26848791 (Online)

115
Sol Justisio : JurnalPenelitian Hukum Volume 1,Nomor 1,April 2019 Hal 98-108
ssibarani01@gmail.com ISSN 26848791 (Online)

116
Sol Justisio : JurnalPenelitian Hukum Volume 1,Nomor 1,April 2019 Hal 98-108
ssibarani01@gmail.com ISSN 26848791 (Online)

117
Sol Justisio : JurnalPenelitian Hukum Volume 1,Nomor 1,April 2019 Hal 98-108
ssibarani01@gmail.com ISSN 26848791 (Online)

118
Sol Justisio : JurnalPenelitian Hukum Volume 1,Nomor 1,April 2019 Hal 98-108
ssibarani01@gmail.com ISSN 26848791 (Online)

119
Sol Justisio : JurnalPenelitian Hukum Volume 1,Nomor 1,April 2019 Hal 98-108
ssibarani01@gmail.com ISSN 26848791 (Online)

120

Anda mungkin juga menyukai