Anda di halaman 1dari 3

1. Taqlid adalah mengikuti dan mempercayai ulama’.

Taqlid merupakan wujud kesadaran seseorang bahwa


dirinya adalah awam, serta meyakini bahwa ulama’ adalah orang yang benar-benar mumpuni dan ahli dalam
memahami al-Quran dan Hadits (ajaran dan hukum Islam). Jadi taqlid merupakan upaya mengamalkan al-
Quran dan Hadits secara utuh dan menyeluruh sebagaimana yang difahami pakarnya.
2. Untuk memahami al-Quran dan Hadits ada sejumlah aturan dan syaratnya. Seseorang tidak boleh
memahaminya hanya bergantung pada kemampuan menterjemah, apalagi hanya bergantung pada buku-
buku terjemah atau taqlid pada para penterjemah. Seorang pasien akan dianggap ceroboh ketika mencoba
menulis sendiri resepnya, begitu juga orang awam akan dianggap sangat ceroboh jika mencoba memahami
al-Quran dan Hadits tanpa memenuhi syarat-syaratnya.
3. Seseorang yang ingin memahami ajaran Islam langsung dari al-Quran dan hadits harus memenuhi syarat-
syarat berikut:
a. Harus benar-benar sangat menguasai bahasa al-Quran, tidak cukup hanya kemampuan terjemah
standar, apalagi kemampuan acak-acakan. Sementara untuk menguasai tata Bahasa Arab secara
lengkap itu sangat sulit. Salah satunya adalah ilmu Nahwu, seperti kitab Alfiyah Ibnu Malik yang
tingkat kesulitannya cukup legendaris. Padahal tata bahasa Arab memiliki 12 disiplin ilmu. Selain ilmu
Nahwu masih ada ilmu Shorof, ilmu Bayan, Ilmu Badi', ilmu Ma'ani, ilmu Mantiq, ilmu 'Arud dan lain
sebagainya. Untuk mempelajari Alfiyah saja rata-rata Pesantren membutuhkan waktu dua tahun.
b. Harus memahami kandungan semua ayat-ayat al-Quran, dan harus benar-benar sangat menguasai
ayat-ayat tentang hukum yang mencapai sekitar 500 ayat. Harus mengetahui mana ayat yang Nasikh
dan mana ayat yang mansukh, mana yang qot’i dan mana yang dzonni, juga mengetahui asbabun
nuzul. Harus menguasai seluruh kandungan pada tiap ladadznya, mana lafadz yang umum dan mana
yang khusus, mana yang berma’na hakiki dan mana yang majaz, mana yang mutlaq dan mana yang
muqoyyad, mana yang mubham dan mana yang mubayyan. Tanpa menguasai hal-hal tersebut
seseorang bisa saja menghalalkan miras karena tanpa sadar ia memakai ayat yang sudah dinasakh
(yas alunaka ‘anil khomri...).
c. Harus benar-benar menguasai hadits, mengetahui asbabul wurud, mengetahui hadits-hadits yang
mentakhsis ayat atau hadits lain, dan lain-lain. Imam Ahmad pernah ditanya, “Apabila seseorang
telah hafal 100.000 hadits bisakah ia menjadi Mujtahid?”, beliau menjawab, “Tidak”. “Bagaimana
kalau 200.000 hadits?”. Beliau menjawab tidak. “Bagaimana kalau 300.000 hadits?”. Beliau
menjawab tidak. “Bagaimana kalau 400.000 hadits?”. Beliau menjawab, “Mungkin bisa”.
d. Harus benar-benar mengetahui mana hal-hal yang sudah ijma’ dan mana yang masih mukhtalaf,
sehingga tidak sampai mengakibatkan munculnya hukum yang menentang ijma’.
e. Harus benar-benar pakar dalam ilmu qiyas, menguasai aturan qiyas dan batasan-batasannya,
mengetahui qiyas yang biasa dipakai ulama terdahulu. Mengetahui tujuan umum dari hukum syar’i.
Harus memiliki kecerdasan di atas rata-rata. Harus memiliki akidah yang lurus.
4. Ada segelintir orang yang beranggapan bahwa taqlid itu kolot, tidak berkembang, ketinggalan jaman, dan
merupakan kebiasaan buruk orang Islam dan baru muncul belakangan, bahkan mereka sampai berani
mengharamkan taqlid. Karena wawasan yang kurang memadai mereka tidak memahami bahwa sebenarnya
taqlid merupakan hal yang wajar dan normal, bahkan taqlid merupakan sebuah kenyataan bersejarah karena
sudah ada sejak masa Sahabat. Taqlid disebut normal karena merupakan sebuah kemustahilan apabila
seluruh umat Islam diharuskan untuk menjadi pakar dalam bidang agama. Masyarakat manapun pasti terdiri
dari dua golongan, alim dan awam. Masing-masing harus tahu di mana posisinya. Taqlid disebut sebagai
sebuah kenyataan karena taqlid memang benar-benar ada bahkan sejak masa Sahabat. Pada masa
Sahabat, yang tampil memberikan fatwa hanya enam Sahabat (sebagian ulama menyebut ada 200 mujtahid
Sahabat). Padahal jumlah Sahabat mencapai sekitar 100.000 orang. Ini merupakan fakta yang terlalu nyata
bahwa puluhan ribu Sahabat (sebagaimana warga NU Plupuh) selalu taqlid dalam beragama.
5. Ketika para Mujtahid (pakar Islam) ditanya mereka selalu bersedia menjawab. Andaikan taqlid hukumnya
haram maka tentu saja mereka tidak mau menjawab, dan mungkin saja mereka berkata, “Kamu tidak boleh
taqlid padaku, karena taqlid hukumnya haram. Belajarlah yang rajin agar kamu bisa ijtihad sepertiku”.
6. Ada segelintir orang yang menolak taqlid, dan ingin memahami Islam langsung dari al-Quran dan Hadits.
Karena wawasan yang terbatas, mereka tidak menyadari, bahwa ketika membaca dan memahami al-Quran
mereka sebenarnya sedang taqlid pada Imam ‘Ashim atau lainnya yang meriwayatkan al-Quran. Mereka juga
taqlid pada Imam Yahya dan Imam Kholil yang melengkapi al-Quran dengan kode titik dan syakal. Tanpa
taqlid pada dua ulama’ tersebut bisa saja ayat ‫( ﻓﺎﻗﺒﻠﻮا‬terimalah) akan mereka baca ‫( ﻓﺎﻗﺘﻠﻮا‬bunuhlah) karena
tanpa titik tulisannya sama. Begitu juga ketika membaca Hadits, juga saat tahu hadits ini shohih atau dloif,
tanpa sadar mereka sebenarnya sedang taqlid pada ijtihadnya ulama ahli Hadits.
7. Beribadah tanpa taqlid pada ulama’ adalah mustahil. Seseorang tidak akan bisa sholat tanpa taqlid, karena al-
Quran dan Hadits sama sekali tidak menjelaskan bagaimana cara sholat secara terperinci. Penjelasan
bagaimana cara sholat bisa didapat dari para ulama’, dari tabi’in dan dari Sahabat yang melihat langsung
bagaimana Nabi SAW sholat.
8. Sikap alergi taqlid dan berusaha mengamalkan al-Quran dan Hadits tanpa melalui ahlinya merupakan pola
pikir dan cara hidup beragama yang tidak sehat. Karena seseorang hanya akan sibuk mencari dalil al-Quran
dan Hadits untuk keabsahan setiap ibadah dan perbuatannya, sehingga tidak ada lagi waktu luang untuk
istirahat, bekerja dan berkreasi sehingga hancurlah peradaban, karena ijtihad memang bukan pekerjaan
ringan.
9. Ulama’ yang layak kita taqlidi/ikuti tentu bukan ulama’ sembarangan, bukan ulama’ biasa tapi harus ulama
yang sangat luar biasa, ulama’ yang terbaik, ulama’ yang terdepan, ulama’ unggulan, ulama’ yang punya
prestasi tertinggi dalam bidang ilmu, iman, taqwa, wara’, zuhud dan penuh dengan sifat-sifat istimewa lainnya.
Mereka adalah ulama pilihan yang sudah diputuskan oleh Nabi SAW sebagai panutan, yaitu ulama yang
hidup pada masa Nabi SAW dan tiga abad setelahnya (HR Imam Bukhari no 2457, HR Imam Muslim no
4603, dan imam Suyuthi dalam Jami’ Shoghir 2/55). Kita jangan mengikuti ustadz-ustadz dan kiai masa kini
kecuali jika mereka benar-benar pengikut setia ulama-ulama unggulan generasi pertama.
10. Nabi SAW bahkan juga telah memberikan isyarat akan lahirnya empat ulama’ paling dahsyat dalam sejarah
Islam selama generasi awal tersebut.
a. Nabi SAW bersabda, “Seandainya ilmu itu terletak tinggi jauh di bintang tsuroya maka yang bisa
memungutnya adalah orang alim dari bumi Persia”. Para pakar Hadits menjelaskan bahwa Imam Abu
Hanifah lah yang dimaksud hadits tersrbut, karena beliaulah orang alim Persia yang terbaik dalam
sejarah. Beliau selama 20 tahun terus membaca al-Quran dalam sholat. Beliau selama 40 tahun
wudlunya tidak batal mulai isya’ sampai subuh.
b. Nabi SAW bersabda, “Suatu saat orang-orang hampir akan mengembara jauh untuk menuntut ilmu
dan mereka tidak menemukan orang yang lebih alim dibandingkan orang alim dari madinah”. Para
pakar Hadits menjelaskan bahwa Imam Malik lah yang dimaksud hadits tersebut, karena beliaulah
orang paling alim dari Madinah. Beliau selalu bermimpi bertemu Nabi SAW tiap tidur malam. Pada
usia 17 tahun beliau mendapat ijazah (pengakuan dan izin untuk berfatwa) dari 70 ulama Madinah
c. Nabi SAW bersabda, “Orang alim dari keturunan Quraisy ilmunya akan memenuhi dunia”. Para pakar
Hadits menjelaskan bahwa Imam Syafi’i lah yang dimaksud hadits tersebut, karena beliaulah
keturunan Quraisy yang terhebat. Beliau tiap hari hatam al-Quran, dan hatam dua kali dalam sehari
jika Ramadlan. Pada usia 7 tahun sudah hafal al-Quran, selama 16 tahun ketika makan tidak sampai
kenyang dengan alasan kenyang bisa mengurangi kecerdasan. Pada usia 15 tahun sudah mendapat
izin untuk memberi fatwa. Keistimewaan beliau adalah tidak mendengar suatu hal kecuali langsung
hafal.
d. Setelah membaca surat dari Imam Syafi’i, Imam Ahmad menangis. Beliau ditanya, “Kenapa Anda
menangis?”. Beliau menjawab bahwa Imam Syafi’i telah bermimpi bertemu Nabi SAW, lalu beliau
bersabda, “Kirimkan surat ke Ahmad bin Hanbal dan sampaikan salamku. Katakan padanya, bahwa
ia akan mengalami ujian tentang kemakhlukan al-Quran, karena itu janganlah mengikuti pendapat
mereka maka aku akan mengangkat derajatnya hingga hari kiamat”. Beliau sejak muda tidak tidur
malam dan selalu hatam al-Quran tiap hari. Beliau hafal satu juta hadits.
11. Imam Bukhari yang memiliki kitab shohih terbaik masih taqlid pada Imam Syafi’i. Abu Ja’far at-Thobari yang
menjadi Imamul Mufassirin (imamnya para pakar tafsir), taqlid pada Imam Syafi’i. Syeh Izzudin bin Abdus
Salam yang menjadi Sulthonul Ulama (rajanya para ulama) juga taqlid pada Imam Syafi’i. Ibnu Hajar al-
‘Asqolani yang menjadi Amirul Mu’minin dalam bidang hadits juga masih taqlid pada Imam Syafi’i. Ibnu
Khuzaimah yang menjadi Imamul A’immah (imamnya para imam) juga masih taqlid pada Imam Syafi’i. Begitu
juga Imam Hakim, Imam Baihaqi dan banyak ahli hadits lainnya, Ibnu Katsir sang pakar tafsir, Imam Ghozali
semuanya masih taqlid pada Imam Syafi’i. Itu sekedar contoh sejumlah ulama paling terkemuka dan memiliki
prestasi gemilang, selainnya masih banyak lagi.
12. PERHATIKAN DAN BERHATI-HATILAH “DARI SIAPA KAMU BELAJAR AGAMA?”. Begitu salah satu
nasehat yang pernah disampaikan Imam Malik dan Imam Muslim.

Anda mungkin juga menyukai