Anda di halaman 1dari 73

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Perkawinan adalah salah satu prilaku suci yang tercantum dalam

kitab dan ajaran semua agama di dunia. Pernikahan diadakan dengan upaya

mendapatkan pergaulan yang pantas dan mulia antara laki-laki dan

perempuan.1 Menjadikan rumah tangga yang harmonis, berkasih sayang,

damai dan tentram serta sakinah mawadah dan warahmah.2

Dalam Al-Qura’an bahkan disebutkan bahwa pernikahan adalah

pertalian yang kukuh dan mitsaqan ghaliza. Layaknya yang tertulis dalam

AL-Qur’an Surat An-Nisaa ayat ke 21 yang artinya:3

Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal sebagian kamu


telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami istri. Dan
mereka (istri-istrimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat.

Pernikahan atau perkawinan memuat tiga (3) unsur berdasarkan

perjanjiannya, yakni:4

1. Dilakukan secara suka rela antara calon mempelai laki-laki dan

perempuan. Tidak diperbolehkan suatu pernikahan yang mengandung

unsur paksaan.5

1
Abd Nashr Taufik Al-Athar, Saat Anda Meminang, (Jakarta : Terj. Abu Syarifah dan Afifah
Pustaka Azam), 2000, hlm. 5.
2
Ahmad Azar Basyir, Hukum Perkawinan Islam, (Yogyakarta, Fakultas Hukum Universitas Islam
Indonesia, 1995), hlm. 1.
3
Al-Qur’an dan Terjemahnya (Madinah : Pemerintah Kerajaan Arab Saudi, 2003).
4
Soemiyarti, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan, (Yogyakarta : Liberty,
1982), hlm. 10.
5
Jawad Muhammad Muqniyah, Pernikahan Menurut Hukum Perdata dari Lima Mahzab,
(Yogyakarta : Penerbit Kota Kembang, 1978), hlm. 9.
2

2. Pernikahan mengatur batasan hukum yang menjadi hak dan kewajiban

suami dan istri. Mengandur unsur tentang pengaturan hal-hal yang

boleh dilakukan dan tidak boleh dilakukan.6

3. Masing-masing pihak yakni suami atau istri dapat mengakhiri ikatan

pernikahan mereka dengan peryaratan atau ketentuan hukum yag

berlaku. Dalam agama pun hal ini diperbolehkan.

Meski perkawinan dapat dikatakan sebagai suatu bentuk perjanjian

karena adanya unsur persetujuan untuk saling mengikatkan diri, persetujuan

dalam perkawinan tidak sama dengan persetujuan lain yang dikenal dalam

hukum perdata. Hal ini dikarenakan pada perjanjian biasa, isi perjanjiannya

bebas ditentukan oleh kedua belah pihak. Namun, pada perjanjian

pernikahan, isi ikatan perjanjiannya telah ditentukan oleh undang-undang

atau hukum yang telah ditetapkan.7

Dalam hukum Islam, para ulama bersepakat bahwa pernikahan atau

perkawinan hanya dapat dianggap sah jika telah melaksanakan akad nikah.

Akad nikah tersebut juga haruslah mengandung dua (2) unsure, yaitu ijab

dan qabul. Ijab adalah lafaz penawaran yang sah dari pihak perempuan

melalui walinya. Sedangkan qabul yaitu ikrar penerimaan dari pihak laki-

laki sebagai calon mempelai laki-laki. Ikrar ini diucapkan oleh laki-laki

yang akan menikah tersebut. Lafaz ijab dan qabul dimulai dengan

membacakan kata “aku jodohkan” atau “aku nikahkan” engkau. Lafaz ini

dibacakan oleh wali dari pihak perempuan dan dijawab oleh mempelai laki-

Soemiyarti, Op.cit, hlm. 10


6

7
Muhammad Idris Ramulyo, Tinjauan Beberapa Pasal Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
Dari Segi Hukum Perkawinan Islam, (Jakarta : IND HILL. Co, 1990), hlm. 17.
3

laki dengan ucapan “saya terima” atau “saya rela”.8 Ketentuan ini menjadi

kesepakatan menurut Imam Malik bin Annas, Imam Muhammad Hambal

(Hambali) maupun Imam Syafi’i.9

Perkawinan pada prinsipnya menganut asas monogami. Prinsip ini

tampak pada Pasal 3 Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 tahun 1974.

Dengan kata lain, perkawinan poligami dipandang sebagai suatu bentuk

pengecualian yang hanya dapat dilaksanakan jika terpenuhi syarat dan

prosedur tertentu. Ketentuan mengenai poligami yang secara legalistik

formal diatur oleh hukum positif di Indonesia, berdasarkan bunyi Pasal 2

Ayat 1 Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 hanya berlaku bagi orang-

orang yang agamanya tidak melarang poligami bagi pelakunya.

Permasalahan yang paling menjadi perdebatan dalam pernikahan

adalah poligami. Banyak argument-argumen yang yang diutarakan terkait

penolakan terhadap poligami ini. Baik dari segi norma, fisik, psikologi

bahkan dari segi gender. Praktik poligami bahkan dinilai sebagai penistaan

terhadap kaum perempuan. Banyak para ahli atau tokoh-tokoh barat

menuliskan pendapat dan teori mereka terhadap poligami yang mengatakan

bahwa poligami merupakan praktek diskriminasi bagi perempuan. Padahal,

poligami dari sisi positifnya dapat dijadikan sebagai pencegahan terhadap

permasalahan dikalangan perempuan yang justru menurunkan derajat

mereka yaitu prostitusi dan perselingkuhan.10

8
Jawad Muhammad Muqniyah, Op.cit, hlm. 7.
9
Ibid, hlm. 8
10
Amiur Nurudin dan Ahmad Azhari Tarigan, Hukum Perdata di Indonesia, (Jakarta : Pernada
Media, 2004), hlm. 156.
4

Pada sejarahnya, praktek poligami telah dilakukan oleh manusia

sejak dahulu. Bahkan sebelum Islam masuk ke tanah Arab, poligami telah

menjadi tradisi di masyarakat Arab. Namun, pada masa itu poligami

menjadi praktek ketidakadilan bagi perempuan. Hal ini disebabkan karena

praktek poligami yang menjadikan suami atau pihak laki-laki sebagai

penentu dari praktek poligami ini. Tidak adanya batasan terhadap

perempuan yang akan dinikahi menjadi hal yang paling mendasari poligami

tak terbatas pada zaman dulu. Para wanita yang dipilih pun tidak boleh

menolak dan harus bias menerima kemauan dari laki-laki yang memilih

mereka tanpa bias mendapatkan keadilan di dalamnya.11

Tapi kemudian, praktek poligami seperti itu dihapuskan setelah

datangnya Ajaran dalam Al-Qur;an yang mengatur tentang poligami. Dalam

Al-Qur’an surat An-Nisaa ayat 3 dan 129, poligami dibatasi. Bagi para

lelaki yang ingin melakukan poligami hanya diperbolehkan hingga empat

(4) istri dengan catatan bisa adil dan memiliki ijin menikah dari istri

sebelumnya. Sebenarnya, praktek poligami ini dengan berat tetap diterima

dalam segi Islam. Dengan tujuan mencegah adanya masalah perselingkuhan

ataupun prostitusi yang malah akan membuat perempuan menjadi rendah.

Asghar Ali dalam bukunya mengambil perkataan dari Al-tabari mengenai isi

pokok dari AL-Qur’an surat An-Nisaa ayat 3 dan 129 tersebut. Menurutnya

ayat tersebut bukan berisi tentang kebolehan dari praktek poligami namun

lebih pada sikap adil yang harus benar-benar dimiliki dan ditepati oleh laki-

11
Asghar Ali Engineer, Pembebasan Perempuan, (Yogyakarta : LKIS, 2003), hlm. 111.
5

laki jika ia ingin menikahi perempuan lebih dari satu. Terlebih jika ingin

menikahi anak yatim.12

Dalam fikih atau hukum Islam, poligami berarti seorang lelaki

yang memiliki istri lebih dari satu. Para ulama telah bersepakat

membolehkan poligami dengan catatan persyaratan yang ketat di dalamnya.

Yakni harus bias bersikap adil pada istri-istrinya. 13 yang dalam ajaran Islam

hal tersebut diperbolehkan, dengan perintah Allah untuk berlaku adil

sebagaimana firman Allah sebagai berikut :

Dan jika kamu takut tidak bias berlaku adil kepada anak yatim yang
kamu nikahi, maka nikahilah perempuan-perempuan lain yang kamu
sukai; dua, tiga atau empat. Lalu, jika kamu takut tidak bias berbuat
adil, maka nikahilah seorang saja. Yakni, budak yang engkau punyai.
Yang demikian itulah lebih dekat kepada tidak berlaku lalim.

Akan tetapi pada kenyataanya, praktek poligami lebih banyak

mendatangkan kerusakan pada biduk rumah tangga. Walau secara norma

atau aturannya, poligami dapat diakui secara hukum Islam, namun praktek

poligami yang digunakan secara salah malah menjadikan orang-orang

terlebih wanita menolak hal ini. Bahkan praktek poligami dianggap

merendahkan wanita serta memotong hak-hak dan harga diri wanita.

Berbagai usaha telah dilakukan oleh pemerintah di Indonesia untuk

membuat para pelaku poligami dapat benar-benar berlaku adil pada para

istrinya. Sehingga ia bias memberikan nafkah pada istri-istri dan anak-anak

mereka. Bahkan Undang-Undang telah mengatur hal tersebut. Undang-

undang juga telah mengatur agar pasangan harus saling menghargai satu
12
Ibid, hlm. 112-113.
13
Pasal 3 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
6

sama lain dalam rumah tangganya. Hal ini dapat dibuktikan dalam praktek

poligami yang menekankan bahwa poligami hanya bias dilakukan jika sang

istri memberika izin kepada suaminya. Dalam aturannya, Undang-Undang

Indonesia mempercayakan Pengadilan Agama dalam pemutusan izin dan

perkaranya.14

Hal lain yang sangat perlu diperhatikan menyangkut ketentuan

mengenai kewajiban suami untuk berlaku adil dan jaminan suami bahwa ia

memiliki kemampuan untuk menafkahi isteri-isteri dan anak-anaknya. Dua

kewajiban penting yang harus dipenuhi suami sebelum mengajukan

permohonan menikah lagi ke pengadilan agama ini ternyata tidak membawa

konsekuensi hukum jika ternyata dilanggar oleh suami. Sebab-sebab yang

mendasari ketiadaan pengaturan tentang sanksi terhadap pelanggaran prinsip

kemampuan ekonomi dan berlaku adil menurut kajian lebih dalam, sebab

adanya sanksi sesungguhnya merupakan konsekuensi dari adanya suatu

kaidah hukum. Tentang ini Malinowski mengemukakan :15

"The rule of law stands out from the others because they are perceived
and regarded as one person's obligation and legitimate claim from
another person. They are sanctioned not because of psychological
motives alone, but by the binding social machinery of binding forces ...
"
Franz Magnis Suseno dalam kalimat yang kurang lebih

mengandung kesamaan makna menyatakan bahwa norma hukum dikatakan

berlaku hanya apabila norma tersebut diterima dan diakui masyarakat. Ciri

14
Khoiruddin Nasution, Status Wanita di Asia Tenggara : Studi Terhadap Perundang-Undangan
Perkawinan Muslim Kontemporer di Indonesia dan Malaysia, (Jakarta : INIS Leiden, 2002), hlm.
58.
15
Soerjono Soekanto, Pokok-pokok Sosiologi Hukum, (Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada, 1999),
hlm. 61.
7

khas suatu norma hukum adalah bahwa suatu pelanggaran tidak akan

dibiarkan begitu saja. Artinya, norma hukum itu bukan norma yang hanya

diharapkan berlaku oleh penegak hukum dan pembuat Undang-Undang,

tetapi benar-benar berlaku dan secara nyata menentukan tingkah laku

masyarakat. Dengan demikian, maka bagi norma hukum, faktisitasnya

merupakan unsur yang menentukan.16

Penelitian dan jajak pendapat yang dilakukan oleh berbagai pihak,

termasuk penelitian oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional, ternyata

menunjukkan bahwa pelanggaran terbanyak atas ketentuan Undang-Undang

Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 berkaitan dengan poligami. 17 Penyebab

banyaknya pelanggaran itu setidaknya dapat dilihat dari sudut sosiologi

hukum, yang salah satu tujuannya adalah meneliti efektivitas ketentuan

hukum dalam masyarakat.18 Salah satu tokohnya, Eugen Ehrilch, pelopor

sociological jurisprudence, mengemukakan bahwa hukum positif hanya

akan efektif dan ditaati apabila selaras dengan social patterns yang berlaku

di masyarakat.19 Oleh karena itu, perlu dikaji mengapa pasal-pasal hukum

tentang poligami sangat banyak dilanggar, sebab menurut Soerjono

Soekanto dan S. Hutagalung kesadaran hukum masyarakat untuk mentaati

hukum adalah satusatunya sumber bagi daya mengikat hukum tersebut.20

16
Franz Magnis Suseno, Etika Politik : Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern, (Jakarta
: Gramedia, 1987), hlm. 74-75.
17
Badan Pembinaan Hukum Nasional, Analisis dan Evaluasi Hukum Tentang 20 Tahun
Pelaksanaan Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, (Jakarta : Badan Pembinaan
Hukum Nasional, 1995), hlm. 21.
18
Soerjono Soekanto, Op.cit, hlm. 22.
19
Ibid, hlm. 36.
20
Ibid, hlm. 147
8

Baru-baru ini, ide mengenai perjanjian pranikah menjadi

perbincangan. Perjanjian ini dijadikan sebagai ‘senjata’ atau pegangan bagi

perempuan yang mereka gunakan demi melindungi hak-haknya dalam

apabila suaminya berpoligami. Undang-Undang No. 1 Tahun 1974

mengenai pernikahan mengatur perjanjian pranikah tersebut. Adapun bunyi

dari pasal tersebut adalah:

1. Persetujuan dilakukan oleh pihak laki-laki dan perempuan secara

tertulis sebelum adanya pernikahan diselenggarakan. Perjanjian

pranikah ini harus dilakukan atas dasar kesepakatan bersama dan

kemudian dapat disahkan oleh pejabat berwenang yang mencatat

pernikahan. Serta dapat juga berlaku bagi pihak ketiga jika ia memiliki

kaitan di dalamnya.

2. Jika perjanjian dianggap melanggar hukum Negara, kesusilaan dan

agama maka perjanjian itu tidak dapat dianggap sah dan tidak dapat

berlaku.

3. Perjanjian dapat diberlakukan diawal pernikahan berlangsung.

4. Perjanjian tersebut tidak bias dirubah selama pernikahan berlangsung.

Terkecuali jika ada perubahan yag perlu diubah dengan catatan tidak

merugikan pihak ketiga.

Secara etimologi, perjanjian pranikah atau perjanjian perkawinan

dapat diartikan dari dua kata yaitu perjanjian dan pernikahan. ‘Janji’ atau

‘perjanjian’ yang dalam Bahasa Arab dapat berarti persetujuan yang

dilakukan oleh dua pihak atau lebih. Dilakukan secara lisan ataupun tertulis
9

dan semua pihak terkait wajib taat pada persetujuan yang telah disepakati

tersebut.21

Perjanjian pranikah atau prenuptial agreement adalah perjanjian

yang dilakukan sebelum berlangsungnya pernikahan. Perjanjian ini bersifat

mengikat pihak yang akan menikah. Berlakunya perjanjian ini adalah

semenjak pernikahan ini diselenggarakan. Adapun alasan adanya perjanjian

pranikah ini adalah dengan tujuan untuk memberikan perlindungan hukum

akan harta bawaan yang dimiliki oleh masing-masing yakni suami ataupun

istri. Walaupun pada praktiknya, Undang-undang tidak mengatur tujuan dari

perjanjian pernikahan ini.

Pada perkawinan poligami, perjanjian perkawinan ini merupakan

salah satu bentuk perlindungan terhadap isteri dalam menjaga hak-haknya

sebagai salah satu pihak dalam perkawinan poligami yang mungkin merasa

dirugikan dengan adanya praktek poligami yang dilakukan pihak suami.

Misalnya akta perjanjian kawin di luar persekutuan harta benda dalam

perkawinan yang isinya antara lain adanya tanggungan hutang piutang yang

menjadi tanggungjawab masing-masing pihak. Selain daripada itu, contoh

lainnya bias berupa biaya pemeliharaan anak yang menjadi tanggungjawab

suami seutuhnya ataupun biaya pendidikan yang dibebankan seluruhnya

kepada suami dan lain sebaginya yang menjadi kesepakatan kedua belah

pihak.

Berdasarkan penjelasan terkait pernikahan dan perjanjian pranikah

serta praktek poligami di atas, maka peneliti tertarik melakukan kajian


21
Sudarsono, Kamus Hukum, (Jakarta : Rineka Cipta, tt), hlm. 355.
10

terhadap satu masalah yang berkaitan dengan hal di atas. Adapun judul

penelitian ini adalah “Perlindungan Hukum Terhadap Hak Isteri

Pada Perkawinan Poligami (Studi Analisis Perjanjian Perkawinan

Menurut Pasal 29 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang

Perkawinan)”.

1.2 Rumusan Masalah

1. Permasalahan apa saja yang dapat dijadikan hal dalam perjanjian

perkawinan untuk istri yang mengalami poligami?

2. Apakah akibat hukum dari pelanggaran perjanjijan perkawinan bagi

suami berpoligami yang melanggar?

1.3 Tujuan Penelitian

Penelitian terhadap perihal perjanjian pranikah dan akibat dari

pelanggaran perjanjian ini memiliki tujuan dalam pelaksanaannya. Adapun

tujuannya adalah sebagai berikut:

1. Untuk mencari tahu perihal apa saja yang dapat dituangkan dalam

perjanjian pranikah bagi istri yang dipoligami.

2. Untuk mencari tahu akibat hukum dari pelanggaran perjanjian pranikah

bagi suami yang melakukan poligami.

1.4 Manfaat Penelitian

1. Secara Teoritis
11

Penelitian ini secara teoritis diharapkan bisa bermanfaat dari segi

pengembangan ilmu pengetahuan. Baik dari segi ilmu pernikahan

ataupun ilmu hukum perdata.

2. Secara Praktis

Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dari segi

sebagai bahan referensi untuk mahasiswa, masyarakat, praktisi hukum,

pemerintah dan lembaga penegak hukum dalam ranah pengetahuan

terkait hukum pernikahan, poligami dan perjanjian pranikah. Diharapkan

juga bisa diaplikasikan dalam pelaksanaanya dalam kehidupan sehari-

hari.

1.5 Metode Penelitian

1. Metode Pendekatan

Peneliti menggunakan metode penelitian dengan pendekatan

normatif. Pendekatan ini melakukan analisis datanya berdasarkan asas

hukum dan perbandingan hukum yang berlaku di masyarakat.22 Selain itu

juga, pendekatan ini berdasar pada aspek hukum, Undang-Undang tertulis

dan non tertulis yang berlaku di masyarakat. Sehingganya, bisa diketahui

kedudukan hukum yang berlaku di masyarakat.

2. Jenis Penelitian

22
Soerdjono Soekanto, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta : Raja
Grafindo Persada, 2001), hlm. 6.
12

Penelitian ini menggunakan metode yuridis normative atau juga

disebut penelitian doktrinal atau doctrinal research. Penelitian ini adalah

penelitian yang melakukan analisis hukum baik yang tertulis di dalam buku

hukum ataupun hukum yang menjadi putudan pengadilan. 23. Penelitian ini

berdasar pada data pokok atau sekunder serta focus pada langkah spekulatif-

teoritis serta normative-kualitatif.24

Metode penelitian normatif ini menerapkan prosedur ilmiah dalam

penemuan permasalahannya berdasar hukum dari sisi normatifnya.25 Maka

dari itu, penelitian ini mencakup penelitian terkait sumber hukum, aturan

undang-undang, dokumen mengenai buku-buku tentang perlindungan hak

istri dalam pernikahan dari perjanjian pranikah.

3. Sumber Data

Sumber data yang dibutuhkan dalam penelitian ini adalah data

yang bersumber dari literature yang memiliki kaitan dengan pokok

permasalahan penelitian, karena pendekatan yang digunakan dalam

penelitian ini mengharuskan data yang digunakan adalah data sekunder.

Adapun data sekunder yang digunakan tersebut terinci sebagai berikut:

1. Bahan Hukum Primer

23
Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, (Bandung : PT. Citra
Aditya Bakti, 2006), hlm. 118.
24
J. Supranto, Metode Penelitian Hukum dan Statistik, (Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada, 2003),
hlm. 3.
25
Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, (Malang : UMM Press,
2007), hlm. 57.
13

Bahan hukum yang mengikat yakni aturan undang-undang, bahan

hukum yurisprudensi, dan bahan hukum yang tidak dikodifikasikan.

Selain itu, dokumen-dokumen dari pemerintah yang bersumber dari

Undang-undang seperti (a) KUHP, (b) HIR, (c) UU No. 1 Tahun 1974

tentang perkawinan, (d) Yurisprudensi.

2. Bahan Hukum Sekunder

Merupakan bahan hukum yang berfungsi sebagai penjelas dari bahan

hukum primer. Contohnya seperti karya ilmiah.

3. Bahan Hukum Tersier

Merupakan bahan hukum yang mendukung bahan hukum primer dan

sekunder.

4. Teknik Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan teknik penelitian

kepustakaan atau Library Research. Yakni, penelitian yang dikerjakan

dengan cara melakukan penelitian terhadap bahan pustaka. Dalam hal ini

data sekunder dari penelitian ini. Selain itu, juga menggunakan buku,

dokumen, artikel, ataupun dokumen-dokumen hukum pendukung lain yang

berkaitan dengan penelitian ini.

5. Analisis Data

Analisi data dalam penelitian ini dilakukan dengan cara

menganalisis data sekunder yang telah dikumpulkan oleh peneliti. Peneliti

menggunkan metode deduktif-induktif dalam pengolahannya. Cara deduktif

dikerjakan dengan cara membaca, menafsirkan kemudian membandingkan


14

data yang diperoleh. Sedangkan cara induktif dikerjakan dengan cara

menerjemahkan sumber-sumber yang memiliki kaitan dengan permasalahan

dalam penelitian ini. Supaya peneliti dapat memperoleh hasil atau

kesimpulan yang sejalan dengan tujuan dari dilakukannya penelitian ini.

BAB II
15

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Hak-hak Isteri Dalam Perkawinan Berdasarkan Hukum Islam.

Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan

menjelaskan bahwa perkawinan merupakan ikatan lahiriah dan batiniah

antara laki-laki dan perempuan sebagai pasangan suami istri yang bertujuan

membangun rumah tangga yang kekal dan bahagia berdasar pada Ketuhanan

Yang Maha Esa.

Dari pengertian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa pernikahan

merupakan ikatan yang menjadikan seorang laki-laki dan perempuan

memiliki hubungan yang mulia yakni sebagai sepasang suami istri. Mereka

hidup bersama dalam upaya membangun dan menjadikan keluarganya

menjadi sejahtera dan bahagia serta kekal berdasar pada Ketuhanan Yang

Maha Esa.

Suami istri dalam satu pernikahan diharapkan dapat saling

membantu dan saling melengkapi satu sama lain guna untuk mencapai

tujuan perkawinan yakni untuk membentuk keluarga yang kekal dan

bahagia berdasar kepada Ketuhanan Yang Maha Esa. Seperti sebagaimana

yang tercantum dalam Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang

perkawinan.

Dalam Undang-Undang perkawinan dinyatakan bahwa suatu

pernikahan dapat dikatakan sah jika dilaksanakan berdasarkan tata cara atau
16

hukum dari kedua belah pihak yang akan menikah. Dalam hal ini di

Indonesia pernikahan dapat dilakukan dengan hukum agama yang diakui di

Indonesia seperti agama Islam, Katolik, Hindu-Budha, dan protestan. Dalam

artian menggunakan tata cara atau hukum yang dianut oleh kedua belah

pihak atau mempelai.

“Jadi, pernikahan antar agama dapat dikatakan sah jika dilakukan hanya
dengan salah satu hukum pernikahan yang dipercayai oleh kedua
mempelai. Bukan pernikahan yang dilakukan oleh masing-masing
agama yang dianut kedua mempelai atau keluarganya. Sebagai contoh
jika telah melangsungkan pernikahan dengan hukum pernikahan agama
Budha, maka tidak dapat lagi melangsungkan pernikahan dengan
hukum agama Hindu atau Protestan. Jika tetap dilaksanakan, maka
pernikahan tersebut dianggap tidak sah”.26

Yang menjadi maksud dari hukum masing-masing agama ini

tercantum dalam perundang-undangan yakni Pasal 2 ayat 1 yang diperjelas

dengan Penjelasan Pasal 1 Undang-Undang perkawinan yang menyebutkan

bahwa tidak ada pernikahan yang dilakukan diluar dari hukum masing-

masing kepercayaan dari kedua mepelai atau keluarganya.

Dalam mewujudkan sahnya suatu pernikahan maka, harus dipenuhi

syarat-syarat perkawinan sebagaimana yang telah dimuat dalam Perundang-

undangan yakni dalam Pasal 6 Undang-Undang Perkawinan, yaitu:

a. Syarat Materil

1. Pernikahan harus berdasar pada perjanjian kedua calon pengantin.

2. Seseorang yang belum berusia 21 tahun harus mendapatkan izin

menikah dari kedua orangtua masing-masing.

26
Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundangan, Hukum Adat,
Hukum Agama, Cet-1, (Bandung: Mandar Maju, 1990), hlm. 26-27.
17

3. Jika salah satu dari kedua orangtua calon mempelai telah meninggal

dunia atau berada dikondisi yang menjadikannya tidak dapat

mengutarakan pendapatnya maka, izin bisa didapatkan hanya dari

orangtua yang masih hidup atau yang masih mampu mengutarakan

kehendaknya.

4. Jika kedua orangtua telah meninggal dunia atau berada dalam kondisi

tidak mampu, maka wali atau keluarga yang memiliki hubungan darah

keturunan lurus ke atas dapat memberikan izin terhadapnya.

5. Jika terdapat perbedaan pendapat antara mereka, maka pengadilan di

daerah hukum tempat tinggal mereka bisa memberikan izin

melaksanakan pernikahan tersebut setelah sebelumnya mendengar

pendapat-pendapat dari pihak-pihak yang seharusnya bisa

memberikan izin pernikahan tersebut.

6. Hal ini berlaku jika dilaksanakan dengan hukum masing-masing

kepercayaan yang dianut dan mempelai tidak menentukan hal lain.

b. Syarat Formil

Selain syarat-syarat materil di atas, adapula syarat formil yang harus

dipenuhi jika ingin melaksanakan suatu pernikahan. Syarat-syarat

tersebut adalah sebagai berikut:

1. Melaporkan keinginan pelaksanaan pernikahan kepada pegawai

pencatat pernikahan;

2. Pegawai pencatat pernikahan atau perkawinan kemudian

mengeluarkan pengumuman;
18

3. Melaksanakan pernikahan berdasarkan kepercayaan atau agama yang

dianut oleh masing-masing mempelai;

4. Pegawai pencatat perkawinan melakukan pencatatan perkawinan

tersebut.

Pernikahan memiliki tujuan untuk membangun keluarga yang

kekal dan bahagia. Oleh karena itu, sumi istri diharapkan dapat saling

melengkapi dan membantu satu sama lain demi mengembangkan diri

masing-masing untuk tujuan bersama. Agar dapat tercapai kesejahteraan

baik dari segi spiritual maupun material.27 Karena tujuan pernikahan yang

sedemikian rupa tersebut, maka Undang-Undang mengambil prinsip ketat

yang bertujuan untuk mempersulit terjadinya perceraian diantara suami

istri.28

Seorang suami memiliki kewajiban untuk memenuhi hak istrinya.

Dalam hal ini istri memiliki 2 hak terhadap suaminya. Yakni hak kebendaan

dan hak rohaniah. Hak kebendaan meliputi nafkah materi dan mahar.

Sedangkan hak rohaniah meliputi nafkah batin dan jika suaminya melakukan

poligami, maka wajib berbuat adil dan tidak boleh membuat istri berada

dikondisi sengsara.29 Adapun uraianya dijelaskan sebagai berikut:

A. Hak Kebendaan (Hak Isteri Dalam Bentuk Materi)

1. Menerima Mahar Atau Mas Kawin

Mahar merupakan sesuatu yang wajib diberikan oleh sang

calon mempelai laki-laki kepada calon mempelai perempuan. Mahar bisa


27
Soerjono Soekanto, Intisari Hukum Keluarga, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1992, hlm. 5.
28
Ibid, hlm. 6.
29
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah Jilid 3, Pena Pundi Aksara, Jakarta, 2006, hlm. 39.
19

berupa uang, benda ataupun jasa yang dalam hal ini tidak bertentangan

dengan hukum Islam.30 Kewajiban dalam membayar mahar ini tertuang

dalam Pasal 30 Bab V mengenai mahar dalam Kompilasi Hukum Islam.

Hal ini menunjukan bahwa Islam sangat mengupayakan keadilan dan

keutamaan bagi wanita dalam pernikahan. Islam mengatur perkara

mahar dalam Bab khusus untuk menghargai kedudukan istri dalam hal

memegang urusannya.

Di zaman Jahiliyah, wanita dianggap tidak memiliki hak untuk

memilih dan mengurus urusannya sendiri. Sehingganya, wali dari sang

wanita dengan sesuka hati menggunakan harta benda yang dimiliki sang

wanita yang berada di bawah perwaliannya. Lalu kemudian Islam dating

dan menghapuskan aturan yang tidak adil tersebut. Sehingganya, kepada

perempuan yang akan dinikahi oleh seorang laki-laki kepadanya wajib

diberikan hak mas kawin atau mahar. Mahar tersebut wajib diberikan

kepada sang perempuan dan bukan kepada ayah atau orang lain, bahkan

kepada orang terdekat dari sang mempelai perempuan sekalipun. Kecuali

jika sang mempelai perempuan dengan rela dan tanpa paksaan

memberikan mahar tersebut kepada mereka.

Seperti yang tertuang dalam Qur’an Surat An-Nisaa ayat 4

yang artinya:31

“Dan berilah wanita-wanita (yang kalian nikahi tersebut) sebuah


mahar sebagai pemberian yang bersifat wajib. Jika wanita-
wanita itu rela memberikan sebagian mahar mereka kepada
30
Kompilasi Hukum Islam, Op.Cit, hlm. 6
31
Mahmud Junus, Op.cit, hlm. 71.
20

kalian tanpa paksaan, maka terimalah dengan senang hati, maka


makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang
sedang lagi baik akibatnya.

Ayat di atas bermakna bahwa setiap suami diwajibkan member

mahar atau mas kawin kepada istrinya sebagai tanda pemberian dan

bukan sebagai bentuk pembelian ataupun ganti rugi. Sang suami bisa

saja mendapatkan mahar dari sang istri jika, sang istri dengan

kerelaannya dan tanpa paksaan membagi mahar yang ia peroleh dengan

senang hati kepada suaminya. Hal ini tidak termasuk dalam dosa, karena

sang istri memberikannya secara ikhlas kepada suaminya. Akan tetapi,

apabila sang istri membagikan maharnya dengan alasan ia terpedaya,

malu ataupun takut kepada suaminya maka, mahar tersebut tidaklah halal

bagi suaminya.

Hal di atas menjelaskan bahwa mahar benar-benar menjadi hak

penuh dari sang istri. Keluarga, orangtua atau bahkan orang terdekat dari

sang istri sekalipun tidak boleh mengambil mahar tersebut. Penerimaan

mahar oleh sang perempuan merupakan symbol dari kerelaan dan

keikhlasan perempuan yang dinikahi untuk dipergauli oleh suaminya

setelah menikah.

Mahar juga diyakini dapat menjadikan hubungan suami istri

menjadi semakin erat dan kokoh karena, mahar akan menumbuhkan rasa

kecintaan sang istri kepada suami sebagai pasangan hidupnya. Seperti


21

yang tertuang dari pendapat as Shabuni dalam buku Muhamad Zuhri

yaitu:32

“Mahar adalah pemberian yang dilakukan dengan jiwa yang


baik. Hukumnya wajib bagi suami kepada istri sebagai
pemberitahuan atas ridha dan baiknya hati sang suami. Selain
itu, mahar juga bertujuan untuk membuat rumah tangga menjadi
kuat karena tumbuhnya kasih sayang dan rasa saling cinta
diantara keduanya.”

Tidak ada ketetpan nominal atau besaran dalam pemberian

mahar menurut ajaran Islam. Besaran mahar ditetapkan berdasarkan

kemampuan diri sang mempelai laki-laki ataupun berdasarkan adat atau

tradisi dari keluarga yang disepakati. Semua nash dalam ajaran Islam

hanya menjelaskan betapa pentingnya kedudukan mahar bagi wanita dan

tidak memberikan ketentuan akan besaran yang harus dibayarkan untuk

mahar. Mahar hanya disebutkan sebagai pemberian wajib yang harus

bermanfaat bagi sang istri. Maka dari itu, mahar dapat diberikan dengan

benda berupa cincin, kain sutra, bahan makanan, atau mengajari

membaca Al-Qur’an dan lain sebagainya.

Dengan catatan, telah disepakati oleh kedua belah pihak.

Bahkan dalam salah satu hadist menyebutkan bahwa mahar bisa hanya

berupa sepasang sandal saja, hafalan ayat suci Al-Qur’an ataupun

dengan keislaman sang calon suami dapat dijadikan mahar bagi sang

istri jika ia rela akan hal tersebut.

32
Mohammad Zuhri, Perintah dan Larangan Allah Ta’ala dalam Relasi Suami Isteri, Nuansa
Aulia, Bandung, 2007, hlm. 135.
22

Namun ada beberapa golongan yang menyebutkan besaran dari

mahar tersebut. Golongan Hanafi menyebutkan besaran mahar yakni

paling sedikit sepuluh dirham. Golongan Maliki menyebutkan paling

sedikit 3 dirham.33 Akan tetapi ketentuan besaran mahar tersebut tidak

berdasar dari keterangan yang kuat dan jelas. Karena pada dasarnya

Islam memberikan keringanan dan kebebasan kepada sang laki-laki dan

perempuan yang akan menikah untuk membicarakan perkara mahar yang

diinginkan. Hal ini agar pernikahan keduanya dapat terjalin dengan baik

dan mereka dapat menikmati hubungan suami istri yang halal. Oleh

karenanya, Islam memberikan jalan kemudahan untuk meraihnya.

Hingga orang fakir sekalipun tetap dapat melakukan pernikahan dan

memberikan mahar kepada istrinya. Itulah sebabnya, Islam tidak

membatasi besaran mahar. Allah tidak menyukai hal yang berlebih-

lebihan. Mahar walaupun tidak mahal, tetapi bisa membawa keberkahan

bagi kehidupan suami istri karena mahar yang murah menandakan

kemurahan hati dari sang calon istri. Dari Aisyah ra Rasulullah SAW

bersabda:

“Sesungguhnya, pernikahan yang memiliki keberkahan yang


besar adalah pernikahan yang paling sedikit maharnya, baik
akhlaknya serta memudahkan perkara pernikahannya. Adapun
perempuan yang celaka yaitu yang mahal maharnya,
menyusahkan perkawinannya dan buruk akhlaknya.”34

Namun pada kenyataannya sekarang ini, lebih banyak

perempuan yang meminta mahar besar dan memilih untuk membuat


33
Sayyid Sabiq, Op.cit, hlm. 42.
34
Muslich Maruzi, Op.cit, hlm. 210.
23

pernikahannya sukar. Hal ini dikarenakan mereka tidak mengetahui

ilmunya dan lebih memilih untuk mengikuti adat atau tradisi serta

kepercayaan yang dikerjakan oleh nenek moyang mereka. Banyak

orangtua yang memilih untuk menikahkan anak mereka dengan

permintaan mahar yang besar. Mereka bahkan terkadang mempersulit

pernikahan anak perempuan mereka. Sehingga seakan-akan anak

perempuan mereka adalah dagangan yang harus dinilai dengan materi

atau harta yang banyak. Tanpa disadari hal ini malah menyebabkan

keburukan di dalamnya. Tidak jarang kejahatan, dan perbuatan zina

mengintai laki-laki dan perempuan yang ingin menikah namun

terhalangi dengan biaya yang melangit. Sehingganya muncul anggapan

bahwa menikah yang merupakan jalan halal lebih sulit ditempuh

dibandingkan berzina yang notabene haram.

Mahar yang diberikan ini bisa diberikan dengan cara kontan

ataupun berhutang. Penetapannya ini kembali pada masing-masing

kepercayaan atau hukum adat yang berlaku di masyarakat atau keluarga

mempelai. Dalam sabda Rasulullah SAW, Ibnu Abbas meriwayatkan

bahwa Nabi Muhammad SAW melarang Ali Bin Abi Thalib tidur

serumah dengan Fatimah anaknya hingga Ali memberikan sesuatu

kepadanya. Saat itu Ali Bin Abi Thalib tidak memiliki sesuatu apapun

selain baju besi Hutaiyah nya. Sehingganya Rasulullah meminta Ali

untuk memberikan baju besi tersebut kepada Fatimah sebagai

maharnya.35 Selain itu Aisyah ra dari Abu Dawud dan Ibnu Majah
35
Ibid, hlm. 75
24

berkata bahwa: “Rasulullah menyuruhku supaya memerintahkan

perempuan tidur serumah bersama suaminya meskipun ia belum

membayar sesuatu (maharnya).”36 Hadist ini menjelaskan bahwa boleh

tinggal serumah dengan istri yang telah dinikahinya walaupun belum

membayar mahar sekalipun. Akan tetapi, dari hadist lain menyebutkan

bahwa suami haruslah membayar maharnya terlebih dahulu sebelum ia

mencampuri istrinya. Dan hal inilah yang dianggap lebih baik.

Karenanya, para ulama juga telah bersepakat bahwa sunnahnya adalah

membayar mahar terlebih dahulu sebelum mencampuri istrinya.37

2. Menerima Nafkah

Seorang istri wajib menerima nafkah dari sang suami. Hal ini

dikarenakan member nafkah adalah wajib sebagaimana yang tertulis

dalam Al-Quran, Sunnah dan Ijma. Nafkah disini berarti sesuatu yang

perlu dipenuhi seperti makanan, tempat tinggal, pengobatan dam lain

sebagainya yang menjadi kebutuhan istri sekalipun istrinya merupakan

orang kaya yang mampu membiayai dirinya sendiri.38 Mahar kemudian

menjadikan seorang istri menjadi berada di bawah kekuasaan sang

suami. Sang istri wajib menaati suaminya, tinggal di rumahnya,

mengatur dan mengelola rumah tangganya, menjaga dan mengasuh anak

dan suaminya, dan lain sebagainya. Sedangkan sang suami, dalam

ketetapan agama berkewajiban memenuhi nafkah kepada istrinya selama

mereka berada dalam pernikahan tersebut.


36
Ibid, hlm. 76
37
Sayyid Sabiq, Op.Cit, hlm. 45
38
Ibid, hlm. 55
25

Adapun syarat bagi seorang istri agar bisa memperoleh nafkah

dari sang suami yaitu:

a. Telah melakukan akad nikah secara sah

b. Telah menyerahkan dirinya secara sukarela kepada sang suami

c. Memberikan izin dan kerelaanya untuk digauli atau dicampuri

oleh sang suami

d. Mengikuti kemanapun sang suami pergi. Kecuali jika sang

suami mempunyai niatan yang jahat dengan perpindahannya

tersebut. Ataupun jika sebelumnya telah ada perjanjian pranikah

yang menyebutkan untuk tidak bepergian atau pindah dengan

istrinya, maka sang istri boleh menolaknya.

e. Mampu melakukan atau memenuhi kewajibannya sebagai

pasangan suami istri.39

Jika persyaratan di atas tidak dipenuhi oleh sang istri, maka

suami tidak memiliki kewajiban untuk menafkahinya. Adapun golongan

istri yang tidak layak menerima nafkah dari sang suami adalah sebagai

berikut:40

a. Istri yang belum menginjak usia yang layak untuk dicampuri oleh

sang suami meskipun ia sudah menyerahkan dirinya kepada sang

suami. Namun, jika sang suami yang masih belum layak usianya

sedangkan istrinya telah baligh maka pemberian nafkah wajib

39
H.S.A. Alhamdani, Op.Cit, hlm. 125
40
Ibid, hlm. 125-126
26

diberikan. Hal ini disebabkan karena uzur yang dimiliki adalah

berasal dari sang suami dan bukan dari pihak istri. Seperti yang

dilakukan oleh Rasulullah SAW kepada Aisyah yang belum

mencampurinya selama dua tahun walaupun telah menikahinya.

Rasulullah belum memberikan nafkah kepada Aisyah dikala itu.

b. Istri yang keluar dari rumah suaminya tanpa alasan syar’I ataupun

tanpa izin dari suaminya.

c. Istri yang tidak mengindahkan atau mematuhi perintah sang suami.

d. Istri yang berpuasa sunnah atau beri’tikaf sunnah.

e. Istri yang berada di penjara karena berbuat kejahatan.

f. Istri yang diculik dan terpisah dari suaminya.

g. Istri yang nusyuz atau durhaka atau berbuat maksiat kepada sang

suami. Ataupun istri yang tidak melayani suaminya. Akan tetapi jika

sakit merupakan alasan dari tidak bolehnya sang istri melayani, maka

suami tetap wajib menafkahinya. Kategori sakit yang dijelaskan

dalam hal ini contohnya seperti cacat, tidak mampu dari segi fisik

dan lain-lain yang menghalanginya melakukan hubungan suami istri.

Sang suami juga harus tetap memberikan nafkah sekalipun sang

lelaki tersebut misalnya berada dikondisi seperti dipenjara karena

kejahatanya, sakit fisik hingga tidak mampu mencampuri istrinya.

B. Hak Rohaniah (Hak Isteri Dalam Bentuk Bukan Materi)

Merupakan hak istri dari segi non materi, yakni nafkah bersifat

rohani yaitu:
27

1. Diperlakukan dengan baik oleh sang suami. Suami harus

menghargai, menghormati dan menggauli istrinya dengan baik dan

memperlakukan istrinya dengan baik sesuai kewajaran. Seorang

suami juga harus memenuhi kepentingan istrinya, tak lupa juga harus

berupaya menyenangkan hati istrinya. Serta berupaya bersikap sabar

menghadapi istri dan masalah rumah tangga yang ditimbulkan oleh

sang istri. Sebagaimana dalam firman Allah SWT dalam Al-Qur’an

surat An-Nisaa ayat 19 yang berarti:

“….Dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian bila

kamu tidak menyukai mereka (maka bersabarlah) karena mungkin

kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya

kebaikan yang banyak.”41

2. Mendapat penjagaan dengan baik dari suami

Seorang istri wajib mendapatkan perlindungan dari suaminya. Suami

patut menjaga kehormatan, harga diri dan kemulian dari istrinya. Hal

ini merupakan tanda dari sifat cemburu sang suami yang disenangi

oleh Allah SWT.

3. Hak untuk melakukan hubungan biologis dengan suami

Istri berhak melakukan hubungan biologis dengan sang suami.

Sebagaimana yang tertulis dalam firman Allah SWT dalam Q.S Al-

Baqarah ayat 222 yang artinya:

41
Mahmud Junus, Op.cit, hlm. 74.
28

“….Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di

tempat yang diperintahkan Allah kepadamu….”42

Terkait tentang permasalahan hubungan biologis antara suami

istri, Muslimat Nahdatul Ulama (MNU) telah melakukan penelitian

terkait pandangan Ulama Perempuan Jember mengenai hak reproduksi

wanita. Dijelaskan bahwa wanita memiliki hak sebagai berikut:

a. Hak menikmati hubungan seks

Hubungan seksual antara suami dan istri ini tidak hanya

menitberatkan pada kepuasan sang suami saja. Hubungan seksualitas

antara keduanya haruslah juga dapat memberikan kepuasan kepada

sang istri. Hingga keduanya mendapatkan manfaat dan kebaikan di

dalamnya. Hal ini dikarenaka istri memiliki hak untuk menikmati

hubungan seksual di dalam pernikahanny dan bukan hanya sekedar

sebagai pemuas kebutuhan biologis suaminya saja.

b. Hak menolak untuk melakukan hubungan seks

Selayaknya memiliki hak menikmati hubungan biologis, istri

juga memiliki hak untuk menolak permintaan suami dalam hal

berhubungan seksual. Namun hal ini harus didasari dengan alasan

yang syar’I dan kuat serta tidak mengada-ada.

c. Hak merencanakan kehamilan dan jumlah anak

42
Ibid, hlm. 33
29

Sang istri dalam hal ini memiliki hak untuk diajak

musyawarah demi merencanakan kehamilan ataupun membicarakan

jumlah anak yang diinginkanya dari sang suami. Ini dikarenakan

Islam menghargai dan memikirkan kesehatan serta keselamatan

perempuan. Walaupun nantinya masalah anak adalah rejeki dari

Allah SWT.

d. Hak cuti reproduksi

Istri memiliki hak untuk istirahat dari aktivitas rumah tangga

maupun kerjaannya ketika dia berada dalam situasu atau kondisi

hamil dan setelah melahirkan. Maka dari itu, sang suami harus

mengatur atau merencanakan bagaimana pekerjaan rumah dapat

diatasi ketika sang istri beristirahat dimasa itu. Misalnya dapat

mempekerjakan pembantu ataupun mengajak sanak saudara untuk

membantu pekerjaan dirumah.43

2.2 Hak-hak Isteri Dalam Perkawinan Poligami.

Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan di

Indonesia pada dasarnya menganut asas monogami. Seperti yang telah

disebutkan dalam Pasal 3 yaitu (1) seorang laki-laki hanya bisa memiliki

satu orang istri dan begitu pula sebaliknya. (2) seorang laki-laki bisa

43
Hamdanah, Musim Kawin di Musim Kemarau (Studi atas Pandangan Ulama Perempuan Jember
tentang Hak-hak Reproduksi Perempuan), Bigraf Publishing, Yogyakarta, 2005, hlm. 230-232.
30

beristrikan lebih dari satu jika dikehendaki oleh pihak terkait namun harus

berdasarkan izin dari pengadilan.44

Adapun asas monogamy yang terlihat pada poin dua (2) tersebut

tidaklah bersifat mutlak. Akan tetapi bertujuan untuk membuat sempit

praktik poligami, tetapi bukan menghapusnya sama sekali. Poin tersebut

menjadi jalan yang ketat bagi laki-laki yang ingin berpoligami dengan cara

harus melengkapi semua syarat yang telah ditentukan oleh Pengadilan

Agama tanpa ada pengecualian. Pemberian izin poligami itu sendiri berisi

syarat-syarat yang membatasi serta harus jelas berisi tujuan yang penting

atau mendesak. Adapun batasannya adalah sebagai berikut:

1. Maksimal empat orang

Poligami hanya bisa dilakukan dengan batasan empat (4)

wanita saja yang bisa dinikahi oleh satu pria. Allah SWT berfirman

dalam Al-Qur’an surat An-Nisa ayat 3 yang artinya: “….maka

kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi dua, tiga, atau

empat…”.

2. Adil terhadap semua isteri

Laki-laki yang ingin melakukan poligami terhadap istri-istrinya

haruslah bisa bersikap adil terhadap mereka. Apabila pada pernikahan

kedua sudah merasa tidak mampu berlaku adil pada kedua istri, maka

sebaiknya tidak memikirkan lagi untuk melakukan poligami setelah itu.

44
Departemen Agama RI, Undang-undang No. 1 Tahun 1974, hlm. 117
31

3. Wanita yang akan dikawini seyogyanya adalah wanita yang mempunyai

anak yatim.

Seorang laki-laki yang ingin berpoligami disarankan untuk

menikahi seorang wanita yang memiliki anak yatim. Hal ini bertujuan

untuk membuat agar anak yatim tersebut mendapatkan pengawasan

secara sah dari seorang ayah. Akan tetapi, laki-laki tersebut harus benar-

benar berlaku adil terhadap istri dan anak yatim tersebut. Terlebih pada

harta benda milik mereka.

4. Wanita-wanita yang hendak dikawini itu tidak boleh ada hubungan

saudara, baik sedarah ataupun sesusuan.45

Pengadilan Agama hanya akan memberikan izin berpoligami

kepada seorang laki-laki apabila memenuhi syarat sebagai berikut: (a)

istrinya tidak dapat lagi menjalankan kewajibannya sebagai seorang

istri, (b) sang istri memiliki cacat atau penyakit yang sulit sembuh dan

(c) seorang istri yang mandul (Pasal 4 (2) Undang-undang No.1 tahun

1974 dan Pasal 57 Kompilasi Hukum Islam)

Adapun tata cara mengajukan permohonan berpoligami ke

Pengadilan agama haruslah memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:46

a. Memiliki persetujuan dari istri-istrinya

b. Memastikan bahwa mampu memberikan nafkah atas keperluan hidup

bagi istri-istri dan anak-anaknya.

45
Soemiyarti, Op.Cit, hlm. 75-76.
46
Ibid
32

c. Suami memberikan jaminan bahwa bisa berlaku adil kepada istri-istri

dan anak-anak mereka.

Jika seorang suami hendak memperistri lebih dari seorang wanita

maka wajib mengajukan permohonan kepada pengadilan agama secara

tertulis (berdasarkan PP No. 9 tahun 1975 Pasal 40).

Selanjutnya dijelaskan pada Pasal 41 bahwa :

a. Adanya alasan yang menjadikan suami bisa menikah lagi, yaitu:47

1) Jika sang istri tidak bisa menunaikan kewajibannya sebagai istri;

2) Istri yang mengalami cacat atau mengidap penyakit yang sulit untuk

disembuhkan;

3) Jika istrinya mandul

b. Memiliki izin dari istri-istrinya terdahulu. Izin tersebut bisa berupa izin

tertulis ataupun lisan. Izin secara lisan harus diucapkan di hadapan

siding pengadilan;

c. Adanya kemampuan suami dalam menjamin kebutuhan hidup istri-istri

dan anak-anaknya. Hal ini harus dengan memperlihatkan (1) surat

keterangan penghasilan suami yang ditandatangani oleh bendahara di

tempat kerjanya, (2) surat keterangan pajak penghasilan atau surat-

suratan penghasilan lain yang bisa diterima di pengadilan.

d. Adanya jaminan dari sang suami untuk berlaku adil kepada istri-istri dan

anak-anak mereka dalam bentuk perjanjian yang ditetapkan pengadilan.

Undang-Undang No. 1 tahun 1974 dan Kompilasi Hukum islam

mengatur pembatasan dan syarat-syarat dari pelaksanaan poligami ini.


47
Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama, Kompilasi Hukum Islam, 2000, hlm. 56.
33

Pengaktualisasian batasan poligami ini berdasarkan alasan-alasan ketertiban

umum yang membatasi poligami haruslah sebagai berikut:48

1. Berdasar pada alasan yang jelas dan enumerative, yaitu:

a. Istri tidak bisa menunaikan kewajibannya;

b. Istrinya cacat atau sakit parah;

c. Istrinya mandul.

2. Harus memenuhi syarat :

a. Adanya persetujuan istri

b. Dapat berlaku adil

c. Memastikan dapat menjamin kehidupan anak istrinya

3. Harus ada izin PA (Pengadilan Agama)49

Poligami adalah salah satu syariat Islam yang akan tetap berlaku

hingga akhir zaman. Oleh karenannya, untuk mengatur poligami ini

Undang-Undang dan hukum Islam mengaturnya dengan aturan yang jelas

dan ketat. Sehingga tidak ada kerugian bagi perempuan dan anak-anak.

Sehingganya, syarat utama dari poligami ini hanya bisa diberikan kepada

laki-laki yang benar-benar bisa berlaku adil.

Perilaku adilnya seorang suami terhadap istri-istrinya disini adalah

dengan cara membarikan hak kepada masing-masing istrinya. Adil juga

diartikan sebagai persamaan. Yakni menyamakan hak yang seharusnya

diberikan kepada istri-istrinya. Keadilan disini juga berarti adil dalam

48
M. Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama, (Jakarta : Sinar
Grafika, 2003), hlm. 42.
49
Ibid, hlm. 43.
34

memerikan sesuatu kepada seseorang dengan yang lainnya. Berikut adalah

hak dari setiap istri yang dipoligami oleh laki-laki yaitu:50

1. Memiliki rumah sendiri

Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an surat Al-Azhab: 33

yang artinya “Menetaplah kalian (wahai isteri-isteri Nabi) di rumah-

rumah kalian.” Ayat ini menjelaskan bahwa setiap istri yang dipoligami

haruslah masing-masing memiliki rumah atau tempat tinggal. Hadist lain

juga menerangkan akan kewajiban tempat tinggal ini bagi lelaki yang

ingin berpoligami. Berdasarkan hadist yang diriwayatkan oleh Imam

Bukhori, Aisyah Radhiyallahu ‘Anha meriwayatkan bahwa Nabi

Muhammad SAW menjelang wafatnya bertanya di kediaman siapakah

dia besok harus tinggal. Kemudian Nabi SAW meneruskan bahwa beliau

menginginkan ke tempat Aisyah Radhiyallahu ’Anha, dan istri-istri

beliau memperbolehkannya hingga beliau wafat disisinya.51

Dalam kitab Al-Mughni, Ibnu Qudamah rahimahullah

menjelaskan bahwa seorang suami tidak sepatutnya menempatkan dua

orang istrinya di dalam satu tempat tinggal kecuali jika mereka ridho.

Karena dikhawatirkan membuat permusuhan dan kecemburuan

diantaranya.

2. Menyamakan para isteri dalam masalah giliran

Sang suami harus berlaku adil pada pembagian giliran untuk

tidur dengannya. Dari Anas bin Malik meriwayatkan bahwa Rasulullah


50
http://arabecanuha.blog.com/2009/03/28/poligami-dalam-perspektif-islam/.Diakses tanggal 06
November 2013.
51
Ibid
35

SAW mempunyai Sembilan (9) istri. Rasulullah berlaku adil dengan cara

mengunjungi mereka secara bergilir.

Jika ingin melakukan perjalanan dan hendak mengajak salah

satu istri, maka sang suami diharuskan untuk mengundi siapa yang akan

menemaninya agar adil. Imam Bukhari meriwayatkan bahwa Aisyah

Radhiyallahu ‘Anha menyatakan bahwa apabila Nabi Shallalahu ‘Alaihi

wa Sallam hendak safar, beliau mengundi diantara para isterinya, siapa

yang akan beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sertakan dalam safarnya.

Beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam biasa menggilir setiap isterinya

pada hari dan malamnya, kecuali Saudah bintu Zam’ah karena jatahnya

telah diberikan kepada Aisyah Radhiyallahu ‘Anha.52

Seorang suami bisa masuk ke rumah istri meskipun bukan

merupakan giliran dari istri tersebut, akan tetapi ia tidak bisa

menggaulinya jika bukan gilirannya saat itu. Istri yang sedang haid

ataupun sakit sekalipun harus tetap mendapatkan giliran untuk

dikunjungi sang suami. Hal ini seperti yang dilakukan oleh rasulullah

SAW seperti yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim, bahwa

Aisyah Radhiyallahu ‘Anha menyatakan bahwa ketika Nabi SAW

hendak bermesraan dengan istrinya namun istri tersebut dalam keadaan

haid, maka beliau meminta istri tersebut untuk menutupi bagian sekitar

kemaluannya.53 Namun, bagi wanita yang sedang nifas, giliran tersebut

tidak diberlakukan.54
52
Ibid
53
Ibid
54
Ibid
36

3. Tidak boleh keluar dari rumah isteri yang mendapat giliran menuju

rumah yang lain.

Suami yang melakukan poligami tidak boleh pergi ke rumah

istri yang bukan gilirannya sedangkan ia berada di rumah istri yang

mendapa giliran kecuali dalam keadaan darurat. Larangan ini

disimpulkan dari hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim yang

menceritakan bahwa ketika Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam di

rumah Aisyah Radhiyallahu ‘Anha, tidak lama setelah beliau berbaring,

beliau bangkit dan keluar rumah menuju kuburan Baqi sebagaimana

diperintahkan oleh Jibril alaihi wa sallam. Aisyah Radhiyallahu ‘Anha

kemudian mengikuti beliau karena menduga bahwa Rasulullah

Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam akan pergi ke rumah isteri yang lain.

Ketika Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pulang dan

mendapapatkan Aisyah Radhiyallahu ‘Anha dalam keadaan terengah-

engah, beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bertanya kepada Aisyah

Radhiyallahu ‘Anha, “Apakah Engkau menyangka Allah dan Rasul-Nya

akan berbuat tidak adil kepadamu?”

Tidak diperbolehkan seorang suami memasuki rumah istrinya

yang lain yang bukan gilirannya kecuali dalam kondisi darurat. Jika sang

suami dalam kondisi darurat harus menginap di tempat istri yang bukan

gilirannya, maka dia wajib menggantinya di hari yang lain. Namun, jika

tidak menginap maka tidak perlu menggantinya.55

55
Ibid
37

Pernah suatu hari Syaikh Abdurrahman Nashir As Sa’dy

rahimahullah ditanya mengenai hukum menginap di rumah salah satu

dari istrinya yang tidak pada waktu gilirannya. Beliau rahimahullah

kemudian member jawaban bahwa perkara itu dikembalikan pada

kebiasaan yang dianggap wajar oleh masyarakat setempat.

4. Batasan malam pertama setelah pernikahan

Dari Anas Radhiyallahu’Anhu, Imam Bukhari meriwayatkan

bahwa jika seseorang menikahi seorang gadis maka disunahkan

kepadanya untuk menginap dikediamannya selama tujuh (7) hari.

Sedangkan jika menikahi seorang janda maka ia di sunnahkan untuk

menginap selama tiga (3) hari. Kemudian setelah itu ia harus menggilir

istri-istrinya yang lain.

Ummu Salamah Radhiyallahu ‘Anha menceritakan bahwa

sewaktu Rasulullah SAW menikahinya, beliau menginap di tempatnya

selama tiga hari. Nabi SAW bersabda kepada Ummu Salamah bahwa hal

tersebut dilakukan oleh Rasulullah bukan untuk menghina keluarganya.

Rasulullah mengatakan: “jika engakau mau, aku akan tinggal bersama

dirimu selama tujuh hari. Namun, aku pun harus menggilir istri-istriku

yang lain dengan hari yang sama.”56

5. Wajib menyamakan nafkah

Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa sikap adil yang ditunjukan

suami kepada istri-istrinya juga melingkupi pada masalah nafkahnya.

Mereka harus memiliki makanan, pakaian, tempat tinggal yang sama


56
Ibid
38

antara satu dengan yang lainnya. Rasulullah SAW pernah diberi hadiah

kurma oleh istrinya yang bernama Ummu Sulaim, kemudian Rasulullah

membagikan kurma tersebut kepada istri-istrinya masing-masing

segenggam (diriwayatkan oleh Imam Ahmad). Bahkan pernah ada

seorang lelaki yang berpoligami menyamakan besaran nafkahnya untuk

istri-istrinya hingga sekalipun gandum yang dia miliki tinggal sedikit, ia

tetap membaginya tangan pertangan. Hal ini dia lakukan demi

memenuhi janjinya agar bisa adil kepada istri-istri dan anak-anaknya.

6. Undian ketika safar

Ketika hendak safar dan tidak bisa membawa semua istri-

istrinya, maka sang suami harus mengundi dengan adil siapa yang akan

ia bawa untuk menyertai perjalannya. Hal ini juga dilakukan oleh

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Beliau selalu mengundi siapa

istri yang akan mendampinginya ketika beliau safar. Jika sang suami

membawa semua istrinya atau meninggalkan semua istrinya, maka tidak

perlu dilakukan undian untuk itu. Jika suami membawa lebih dari satu

isterinya, maka ia harus menyamakan giliran sebagaimana ia

menyamakan diantara mereka ketika tidak dalam keadaan safar.

7. Tidak wajib menyamakan cinta dan jima’ diantara para isteri

Seorang suami wajib berlaku adil dalam segi menjadwalkan

giliran kepada istri-istrinya. Tetapi ia tidak wajib menyamakan rasa cinta

dan jima’ nya diantara para istri-istrinya. Sebagaimana yang tertulis

dalam ayat Al-Qur’an Surat An-Nisaa ayat 29 yang artinya “Dan kamu
39

sekali-kali tidak dapat berlaku adil diantara isteri-isteri (mu), meskipun

kamu sangat ingin demikian” ditafsirkan oleh Ibnu Katsir rahimahullah

bahwa sikap adil kepada istri-istri yang dipoligami tidak akan bisa sama

sekalipun sang suami telah berupaya adil dalam membagi malam-

malamnya. Pasti akan tetap ada hal-hal yang membuatnya berbeda

seperti dari segi besarnya perasaan cinta, syahwat, dan jima’ nya.

Ayat tersebut turun pada Aisyah Radhiyallahu ‘Anha. Ketika

itu Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam lebih besar rasa cintanya kepada

Aisyah melebihi rasa cintanya kepada istri-istrinya yang lain. Beliau

Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berkata, “Ya Allah inilah pembagianku

yang aku mampu, maka janganlah engkau cela aku pada apa yang

Engkau miliki dan tidak aku miliki, yaitu hati.” Perasaan cinta dan kasih

sayang adalah murni pemberian Allah SWT. Begitu juga hal nya dengan

masalah berhubungan badan. Terkadang didapati rasa gairah yang

berbeda-beda diantara istri yang satu dengan yang lainnya. 57

57
Ibid
40

BAB III

PEMBAHASAN

3.1 Hal-Hal Yang Diperjanjikan Dalam Perjanjian Perkawinan Bagi Isteri


Yang Dipoligami.
3.1.1 Kedudukan Isteri-isteri dalam Perkawinan Poligami.

Bersikap adil diantara isteri adalah wajib hukumnya, sedangkan

condong atau berpihak kepada salah satunya adalah sebuah kezaliman yang

wajib dikenakan hukuman. Artinya apakah para suami yang melangsungkan

perkawinan lagi memperhatikan syarat yang telah ditentukan dari Undang-

undang dan bagaimana sanksinya jika alasan tersebut tidak dipatuhi suami.

Kenyataan banyak suami yang berpoligami tidak sesuai dan tidak menurut

pada ketentuan Pasal 4 dan 5 Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang

perjanjian perkawinan. Dalam keadaan isteri tidak mandul, isteri dapat

melaksanakan kewajiban dengan baik toh suami beristeri lagi.

Seimbang dalam perumusan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974

Pasal 31 ayat 1 mengenai perkawinan bukan berarti kedudukan suami atau

isteri itu menjadi sama. Keseimbangan kedudukan suami atau isteri dapat

diartikan sebagai semua hal yang bisa dirundingkan dan kemudian

diputuskan secara bersama-sama oleh sepasang suami istri di dalam rumah

tangganya. Hal ini ditujukan agar mereka dapat saling mengembangkan

pribadi kearah yang lebih baik demi tercapainya kesejahteraan baik spiritual

maupun material.
41

Terkadang istri-istri yang dipoligami oleh suaminya merasa putus

asa dan akhirnya tidak mau mengrus segala hal yang harusnya menjadi

haknya. Dalam Islam, hal ini sebaiknya dihindari. Islam telah mengatur

bahwa wanita sekalipun dalam kondisi dipoligami tetaplah memiliki hak

yang sama sebagaimana ia menjadi istri. Suami tetap harus member nafkah

berupa tempat tinggal, makanan, biaya anak-anak dan lain sebagainya.

Selain kehilangan harapan, kadang istri yang dipologimi tidak mengetahui

ilmu tentang poligami ini, sehingganya mereka terlihat pasrah diperlakukan

rendah oleh sang suami.58

Seorang suami diperbolehkan memiliki istri lebih dari satu dengan

bekal izin dari pengadilan agama (UU No.1 Tahun 1974 Pasal 3, 4, dan 5).

Adapun izin tersebut pun hanya bisa diberikan jika syarat-syarat dari

poligami tersebut terpenuhi. Yaitu istri tidak dapat menunaikan tugasnya

sebagi istri, sakit ataupun cacat serta mandul. Selain itu, sang suami harus

mengantongi surat izin dari istrinya yang terdahulu jika ingin berpoligami.

Kecuali jika sang istri berada dikondisi yang tidak bisa dimintai izin, maka

pernikahan bisa dilaksanakan tanpa izin.59

Melihat poin yang terkandung di dalam Undang-Undang

pernikahan Pasal 4 ini, suami bisa berpoligami jika sang istri memiliki cacat,

sakit ataupun mandul. Hal ini memberikan kesan bahwa perempuan yang

lemah mendapatkan kedudukan yang rendah sehingga ia dapat diganti. Oleh

58
Pembenaran poligami (http:mbkelaton, disanasini.com/mindo_tok_guru/poligami.htm.Diakses
tanggal 25 Maret 2020.
59
Poligami sebagai bentuk kekerasan yang paling nyata atas harkat dan martabat perempuan
sebagai manusia di dalam hak hukum sosial budaya dan agama,
(http:jais,nemycom/poligami.cfm).Diakses tanggal 25 Maret 2020.
42

karenanya, Pasal 3 ayat 2 UU tersebut menambahkan bahwa pengadilan

hanya dapat mengabulkan permohonan poligami jika sang suami telah

mendapat izin, istrinya ikhlas dan telah menyetujuinya. Izin haruslah

berdasarkan keikhlasan sang istri. Bukan dengan cara sang suami meminta,

akan tetapi berdasarkan kerelaan istrinya. Hal ini diperuntukan agar wanita

tetap mendapatkan kehormatannya sebagai istri dan laki-laki tidak bisa

menggunakan hukum tersebut secara semena-mena untuk berpoligami.

3.1.2 Perjanjian Perkawinan Poligami.

Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, perjanjian

perkawinan poligami diatur dalam Buku Kesatu Bab Ketujuh dan Delapan

Pasal 139 hingga Pasal 179. Oleh karena itu, segala aturan yang mengatur

tentang perkawinan diluar aturan perundang-undangan No. 1 Tahun 1974 ini

dianggap tidak berlaku lagi semenjak peraturan tersebut disahkan dan

berlaku di seluruh Indonesia dan bagi semua mayarakatnya. Adapun hukum

yang berlaku dibeberapa daerah dan golongan warga Indonesia adalah

sebagai berikut:

1. Orang asli Indonesia yang menganut agama Islam berlaku baginya

hukum Islam dalam pernikahan. Yakni pernikahan diawali dengan

prosesi Ijab-Qabul antar pengantin pria dengan sang wali dari wanita

yang akan dinikahinya. Prosesi ijab qabul itu sendiri telah diresepsikan

ke dalam hukum adat masing-masing daerah.

2. Masyarakat asli Indonesia lainnya memberlakukan hukum adat untuk

pernikahan mereka di masaing-masing daerahnya.


43

3. Masyarakat Indonesia yang menganut agam Kristen, berlaku pada

mereka hukum Huwelijks Ordonantie Christen Indonesia (HOCI)

S.1933 Nomor 74.

4. Bagi Warga Negara Indonesia Keturunan Cina atau Orang Timur Asing

Cina bagi mereka berlaku Undang-Undang Hukum Perdata dengan

sedikit perubahan.

5. Bagi Warga Negara Indonesia keturunan asing dan orang timur asing

lainnya berlaku hukum adat mereka sendiri.

6. Bagi Warga Negara Indonesia keturunan Eropa, orang-orang eropa atau

orang yang disamakan dengan mereka maka berlaku Undang-Undang

Hukum Perdata (BW)60

Pasal 66 Undang-Undang No. 1 tahun 1974 lebih lanjut

menjelaskan tentang tidak berlakunya lagi hukum-hukum pernikahan yang

digunakan oleh masyarakat Indonesia sebelum adanya Undang-Undang

Perkawinan ini. Pasal tersebut menjelaskan bahwa segala sesuatu yang

berhubungan dengan pernikahan hanya berlaku berdasarkan aturan yang

tertuang dalam Undang-Undang Pernikahan No. 1 Tahun 1974. Segala

bentuk hukum perdata seperti Burgerlijk Wertboek, Ordonansi Perkawinan

Indonesia Kristen, Peraturan Perkawinan Campuran dan peraturan

pernikahan lainnya sudah tidak berlaku lagi. Dan hanya akan menggunakan

aturan yang ada di Undang-Undang Perkawinan tersebut.

60
Hilman, Op.Cit, hlm. 5
44

Akan tetapi dalam perkara perjanjian pernikahan, dalam Peraturan

Pemerintah No. 9 Tahun 1975 disebutkan bahwa Undang-Undang

perkawinan tidak mengatur tentang perjanjian perkawinan. Oleh karenanya,

Mahkamah Agung memberlakukan ketentuan sebelumnya yang tertuang

dalam putusan MA nomor: MA/0807/75. Akan tetapi hukum tersebut hanya

berlaku bagi kalangan tertentu. Contohnya berlakunya Burgerlijk Wetboek

(BW) bagi Warga Negara Indonesia keturunan Cina dan Erop.61 Dalam kitab

tersebut dinyatakan bahwa harta dianggap menjadi milik bersama sebagai

bagian dari sesuatu yang wajar dalam pernikahan. Adapun terkait batasan

atau bagian dari harta tersebut hanya dapat dilakukan dengan perjanjian

perkawinan62

Setelah diberlakukannya Undang-Undang Perkawinan bagi seluruh

rakyat Indonesia tanpa adanya perbedaan antara golongan dan daerah, maka

hukum yang berlaku sebelumnya tidak berlaku lagi. Dalam Undang-Undang

pernikahan juga diatur pasal mengenai perjanjian pernikahan yang

dijelaskan sebagai berikut:

1. Perjanjian tertulis dapat dibuat oleh kedua belah pihak sebelum

dilaksanakannya pernikahan. Perjanjian tersebut kemudian disahkan oleh

Pegawai Pencatat Perkawinan. Isi perjanjian ini berlaku bagi kedua

belah pihak serta pihak ketiga jika orang tersebut terkait di dalamnya.

2. Jika perjanjian pernikahan tersebut dianggap melanggar hukum, agama

serta adat kesusilaan, maka perjanjian tidak dapat disahkan.

61
Zain Badjeber, Tanya Jawab Hukum Perkawinan, (Jakarta : Sinar Harapan, 1985), hlm. 45
62
R Soetojo Prawirohamidjojo, Op.Cit, hlm. 45
45

3. Perjanjian berlaku semenjak pernikahan dilangsungkan.

4. Perjanjian tidak dapat diubah kecuali dengan adanya persetujuan dari

kedua belah pihak dan tidak merugikan pihak yang ketiga.

Maka dari itu, dapat ditarik makna pokok dari Pasal 29 Undang-

Undang Perkawinan yaitu:

1. Persetujuan bersama antara suami istri sangatlah penting dalam

pembuatan perjanjian pernikahan ini sebelum pernikahan dilangsungkan.

2. Perjanjian harus dibuat secara tertulis meskipun tanpa adanya akta

notaries ataupun notariil.

3. Boleh dirubah dengan syarat tidak merugikan pihak ketiga.

4. Sah hanya jika telah disahkan oleh Kantor Urusan Agama atau Kantor

catatan Sipil teruntuk mereka yang beragama non Islam.

Pasal 29 Undang-Undang pernikahan ini menjelaskan bahwa

pembuatan perjanjian perkawinan bisa dibuat sebelum ataupun pada saat

terjadinya pernikahan. Lebih lanjut disebutkan bahwa perjanjian perkawinan

yang dibuat tidak boleh berisi batasan atas hak dan kewajiban istri ataupun

suami. Hal ini dikarenakan adanya hak asasi dari pernikahan yang tidak bisa

diganggu gugat.63

Pasangan suami istri berkewajiban untuk membuat agar rumah

tangganya kuat sebagai dasar dari kokohnya masyarakat. Sedangkan, hak

dari pasangan suami istri adalah memiliki keseimbangan hidup di dalam

masyarakat yang mereka tinggali.

63
Martiman Prodjohamidjojo, Tanya Jawab Undang-Undang Perkawinan Indonesia,(Jakarta : PT.
Abadi, 2003), hlm. 29
46

Pendapat lain terkait perjanjian pernikahan juga tertuang dalam

Pasal 147 KUHP yang menjelaskan bahwa perjanjian tersebut haruslah

dibuat dengan akta notaries sebelum pernikahan tersebut diselenggarakan.

Perjanjian tersebut tidak dapat dirubah dengan cara apapun dan berlaku

semenjak pernikahan tersebut dilangsungkan.

Perjanjian pernikahan dapat dirubah disituasi sebelum pernikahan

dilangsungkan. Perubahannya pun haruslah tertuang dalam akta notaries.

Akan tetapi, jika pihak-pihak di dalamnya tidak menyetujui adanya

perubahan, maka perjanjian tersebut tidak dapat diubah.64

Ketetapan ini berdasarkan situasi yang terkadang melibatkan pihak

ketiga. Pihak ketiga tersebut bisa saja memberikan pemberian atau hadiah

kepada pasangan suami istri tersebut dalam pernikahan mereka. Namun,

harus dengan ketetapan bahwa harta tersebut tidak jatuh ke dalam harta

suami istri tersebut.

Adapun tentang perjanjian pernikahan ini harus didaftarkan ke

Pengadilan negeri di wilayah hukum tempat suami istri tersebut berada. Hal

ini diatur dalam Undang-Undang Perdata. Pendaftaran perjanjian ini

ditujukan agar diketahui oleh banyak orang dan juga pihak ketiga yang

terkait di dalamnya.

64
Endang Sumiarni, Kedudukan Suami Isteri Dalam Hukum Perkawinan (Kajian
KesetaraanJender Melalui Perjanjian Kawin), (Yogyakarta : Wonderful Publishing Company,
2004), hlm. 40
47

Harta benda yang berasal dari akibat pernikahan diatur dalam

Dalam Undang-Undang Perkawinan pada Pasal 35-37 yakni:

1. Harta bersama adalah harta yang didapatkan selama pernikahan.

2. Harta bawaan, merupakan harta yang dibawa oleh masing-masing

sebelum mereka menikah. Bisa berasal dari hadiah ataupun warisan.

Merupakan harta masing-masing selama pihak-pihat terkait tidak

mengguggatnya.

Pasal 36 Undang-Undang Perkawinan selanjutnya menjelaskan

bahwa:

1. Terkait harta bersama tersebut, suami dan istri dapat bertindak sesuai

dengan apa yang telah menjadi persetujuan mereka.

2. Suami dan istri masing-masing memiliki hak seluruhnya atas harta

bawaan mereka, mereka mempunyai hak penuh untuk berbuat bukum

dengan harta mereka tersebut.

Berdasarkan penjelasan Pasal 35 dan Pasal 36 diketahui bahwa

terdapat dua bentuk objek yang dapat dijadikan sebagai pokok atau isi dari

perjanjian perkawinan yaitu:

1. Terkait harta yang menjadi bawaan masing-masing pihak. Baik yang

diperoleh dengan cara warisan ataupun hadiah sebagaimana yang

tercantum dalam Undang-undang Perkawinan Pasal 35.

2. Terkait pengelolaan atau pembagian harta bawaan suami dan istri

sebelum pernikahan dilaksanakan. Hal ini diatur dalam Undang-Undang

Pernikahan Pasal 36
48

Adapun tiga bagian yang menjadi objek perjanjian pernikahan

antara sepasang suami istri yang diatur dalam Undang-Undang adalah

sebagai berikut:

1. Harta bawaan. Merupakaan bawaan dari suami ataupun istri. Harta yang

diperoleh sebelum mereka memiliki ikatan pernikahan. Contohnya harta

warisan dan hadiah atau lainnya.

2. Harta bersama. Merupakan harta yang didapatkan selama mereka dalam

hubungan pernikahan. Harta ini bisa berasal dari hasil kerja sang istri

ataupun suami. Setiap daerah memiliki sebutan yang berbeda untuk harta

bersama ini.

3. Harta warisan yang dimiliki oleh salah satu pihak selama pernikahan.

Merupakan harta yang dimiliki oleh salah satu pihak karena pemberian

orang lain.

Adapun aturan mengenai perjanjian pernikahan dirincikan kembali

dalam Pasal 139 sampai dengan Pasal 179 KUHP. Rincian atau penjelasan

dalam pasal-pasal tersebut lebih jelas dibandingkan dengan yang dituliskan

dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan. Jika ada

calon suami istri yang dirasa akan melakukan penyimpangan dari hukum

harta kekayaan mereka selama pernikahan maka menurut Undang-Undang

perlu diadakannya perjanjian pernikahan di atasnya sebelum mereka

menikah dengan pencatatan akta notariil.


49

Jika perjanjian tersebut tidak dicatat dalam akta notariil maka,

perjanjian tersebut dianggap tidak sah. Disamping itu, perjanjian perkawinan

hanya akan berlaku jika ada terlaksananya sebuah pernikahan. Perjanjian

pernikahan juga bersifat permanen atau tidak bisa dirubah isi perjanjiannya.

Vollmar menyatakan bahwa perjanjian pernikahan bersifat keras dan ketat.

Sehingganya para pelaku di dalamnya tidak bisa melakukan penyimpangan

dari aturan yang telah ditetapkan dalam Undang-Undang.65

3.1.3 Hal-hal yang Diperjanjikan dalam Perjanjian Perkawinan Poligami.


Meskipun perjanjian pernikahan ini termasuk hal yang baru di

masyarakat, namun pada pelaksanaanya perjanjian perkawinan ini ternyata

membawa manfaat bagi pelaku di dalamnya. Hal ini tentu memiliki kaitan

dengan adanya peraturan perundang-undangan mengenai harta yang dibawa

oleh masing-masing pihak ketika mereka telah menikah maka harta tersebut

akan bercampur menjadi hak milik bersama.

Hal ini berdasarkan asas Algehele Gemeenschap Van Goederen

atau asas percampuran seutuhnya. Dalam artianya jika sang suami memiliki

harta bawaan sebelum menikah, maka harta tersebut akan menjadi harta

milik bersama ia dan istrinya. Begitu pula sebaliknya hal yang sama berlaku

jika sang istri memiliki harta bawaan dan setelah menikah harta tersebut

akan menjadi milik bersama.

65
H.F.A. Vollmar, Hukum Keluarga Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata,(Bandung :
Tarsito, 1982), hlm. 59
50

Namun, dengan adanya perjanjian perkawinan, memungkinkan

suami ataupun istri memiliki hak atau kebebasan dalam mengatur perihal

harta kekayaan bawaan mereka sebelum mereka melangsungkan pernikahan.

Pasangan suami istri tersebut dapat menentukan apakah harta bawaan

mereka akan tetap menjadi milik pribadi mereka ataukah akan menajdi milik

bersama hingga tidak ada batasan di dalam penggunaanya secara bersama.66

Akan tetapi berbeda halnya dengan asas yang dikandung dalam

KUHp serta Undang-Undang Perkawinan. Perundang-undangan ini idak

menganut asas percampuran bulat. Hal ini dikarenakan pada Pasal 35

disebutkan bahwa:

1. Harta bersama adalah harta yang diperoleh ketika telah menjadi

sepasang suami istri;

2. Harta bawaan istri ataupun suami yang berasal baik dari warisan, hadiah

ataupun dari cara lain merupakan harta bawaan masing-masing yang hak

penggunaan sepenuhnya terletak pada masing-masing mereka. Kecuali

jika ada ketentuan yang disepakati oleh pihak-pihak tersebut.

Berdasarkan penjelasan di atas, Undang-undang No. 1 Tahun 1974

terkait Perkawinan menyatakan bahwa harta yang merupakan pencampuran

bulat adalah harta yang diperoleh bersama ketika telah menikah. Sedangkan

harta bawaan tetaplah menjadi harta masing-masing pihak yang

kepemilikannya berada dalam kuasa masing-masing terkecuali jika ada

kesepakatan antara kedua pihak yakni suami dan istri tersebut.

66
R. Soetojo Prawirohamidjojo, Op.cit., hlm. 58.
51

Maka dari itu, perjanjian perkawinan harus berlandaskan

pertimbangan-pertimbangan sebagai berikut:

1. Sebagai bentuk perlindungan bagi istri dari kepemilikan harta-harta

bawaannya sebelum menikah atas suami yang mungkin tidak baik. Harta

tersebut bisa berupa harta bergerak dan harta tak bergerak yang dibawa

oleh sang istri ketika menikah. Jika dilakukan pernikahan dengan system

pencampuran harta penuh, maka sang istri tidak memiliki wewenang

kuat dalam pemilikan hartanya lagi. Melainkan sang suami sebagai

kepala keluargalah yang memiliki kekuasaan penuh akan penggunaan

harta yang telah bersatu tersebut. Oleh karenanya, agar harta tersebut

terhindar dari kekuasaan penuh suami yang mungkin tidak baik maka

sang istri dapat membuat perjanjian pernikahan sebelum melangsungkan

pernikahan dengan calon suaminya. Isi perjanjian bisa saja memuat

aturan bahwa harta yang ia miliki tidak dapat diambil alih oleh suaminya

kecuali dengan izin yang telah diberikan. Jadi, perjanjian pernikahan ini

merupakan pembatasan wewenang suami atas harta-harta yang dimiliki

oleh istrinya.

2. Dalam perkawinan dengan harta terpisah

a. Agar seluruh atau sebagian barang yang dibawa ke dalam pernikahan

tidak bercampur maka perlu dibuat perjanjian pernikahan. Dengan

demikian harta masing-masing suami atau istri bisa tetap menjadi

milik masing-masing. Perjanjian perkawinan memberikan

perlindungan bagi harta kekayaan yang dibawa oleh masing-masing


52

pihak jika mereka tidak ingin mencampur nya. Selain itu, perjanjian

ini pula dapat menjadi pelindung dari akibat adanya hutang piutang

yang dibawa oleh masing-masing pihak.

b. Supaya harta istri terlepas dari harta campuran setelah pernikahan.

Sehingga sang istri dimungkinkan dapat mengurus atau mengelola

sendiri harta yang dimilikinya sebelum ia menikah. Perjanjian

pernikahan ini harus menjelaskan secara tegas bahwa perjanjian ini

berisi tentang pengaturan harta pribadi yang dibawa oleh masing-

masing suami atau istri.67

Perjanjian pernikahan bukan menjadi suatu penghalang atau

penghambat suatu pernikahan. Dari segi manfaatnya, perjanjian pernikahan

malah memberikan bantuan perlindungan dalam pernikahan. Oleh

karenanya, pembuatan perjanjian pernikahan ini haruslah dibuat berdasarkan

aturan dan syarat yang telah ditentukan oleh hukum yang berlaku.

Sebelumnya telah dijelskan mengenai syarat-syarat dibolehkannya

membuat perjanjian pernikahan yaitu harus dibuat berdasarkan kesepakatan

dari pihak-pihak terkait di dalamnya. Dalam Pasal 13 KUHP, perjanjian

pernikahan tersebut dapat dilakukan oleh minimal dua orang dan tidak

menutup kemungkinan dilakukan oleh lebih dari dua orang sebagai pihak

terkait. Akan tetapi perjanjian pernikahan tersebut tidak bisa dibuat oleh

pihak-pihak yang lebih dari dua orang tersebut. Mereka hanya berfungsi

sebagai pihak terkait didalam perjanjian.

67
J. Satrio, Op.cit., hlm. 148-149.
53

Masa waktu berlakunya perjanjian perkawinan dapat ditentukan

secara bebas oleh para pihak yang terkait di dalam perjanjian perkawinan

tersebut. Waktu berlaku dan berakhirnya sebuah perjanjian perkawinan

tersebut dapat ditentukan oleh mereka. Hal ini seperti yang diatur dalam

Buku Ketiga KUHP. Namun, kebebasan dalam menetapkan berlakunya

perjanjian perkawinan ini memiliki batasannya. Calon suami atau istri tidak

diperbolehkan menentukan sendiri sejak kapan berlakunya perjanjian

perkawinan yang mereka buat.

Hal ini dikarenakan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 telah

dengan jelas mengatur hal tersebut. Di dalamnya disebutkan bahwa

berlakunya perjanjian pernikahan tersebut adalah semenjak pernikahan

tersebut berlangsung. Sesuai dengan aturan dalam Pasal 29 ayat 3 UU No. 1

tahun 1974 yakni perjanjian perkawinan berlaku semenjak perkawinan

tersebut dilangsungkan.

Dalam Kompilasi Hukum Islam, Pasal 50 tertuang penjelasan

mengenai hal berlakunya perjanjian perkawinan. Disebutkan bahwa

perjanjian perkawinan yang membahas harta yang kemudian mengikat pada

beberapa pihak serta pihak ketiga, berlaku sejak tangga berlangsungnya

pernikahan dihadapan pegawai pencatat nikah. Pasal 147 ayat 1 dan 2

menjelaskan bahwa perjanjian perkawinan dibuat oleh calon suami istri

sebelum pernikahan dilangsungkan. Akan tetapi, perjanjian tersebut baru

bisa berlaku setelah pernikahan dilangsungkan. Jika kedua belah pihak tidak

jadi menikah maka perjanjian pernikahan pun tidak bisa dianggap sah atau
54

batal. Hal ini disebabkan karena perjanjian perkawinan merupakan usaha

yang dilakukan oleh suami atau istri untuk menjaga harta bawaan mereka

dari asas pencampuran bulat harta kepunyaan mereka. Selain itu, perjanjian

perkawinan juga mengatur mengenai harta perkawinan yang didaptkan

setelah menjadi suami istri.Terkait hal wewenang dan hak atas kewenangan

harta dalam pernikahan poligami tidak diatur terperinci dalam pasal tersebut.

Permasalahan ini dijelaskan secara rinci pada Pasal 56 huruf b

Undang-Undang Perkawinan yang menentukan bahwa istri kedua dan

seterusnya tidak memiliki hak atas harta bersama yang dimiliki oleh sang

suami dengan istri pertama meskipun mereka telah menikah. Berikutnya

Pasal 56 huruf c yang menjelaskan bahwa setiap istri memiliki hak terhadap

harta bersama yang dimilikinya bersama sang suami sejak mereka menikah

atau pada pernikahan mereka masing-masing.

Dari ketentuan Pasal 65 huruf b dan c tersebut haruslah diartikan

bahwa yang berhak dan/atau dapat bertindak atas harta bersama dalam

perkawinan poligami haruslah dilihat dari masa perolehan harta bersama

tersebut sebagai berikut :

Pertama, masa perkawinan suami dengan isteri pertama, maka

harta bersama yang diperoleh selama perkawinan mereka mutlak merupakan

hak mereka dan mereka berdualah yang berhak dan berwenang bertindak

atas harta yang diperoleh mereka dalam perkawinan suami dengan isteri

yang pertama.
55

Kedua, masa perkawinan suami dengan isteri kedua yaitu sejak

dilaksanakannya perkawinan dengan isteri kedua, maka harta yang diperoleh

dalam masa perkawinan suami dengan isteri kedua merupakan hak suami

dan kedua isterinya tersebut dengan bagian yang sama dan mereka

bertigalah yang berhak untuk bertindak atas harta bersama yang diperoleh

selama masa perkawinan suami dengan isteri keduanya tersebut.

Ketiga, masa perkawinan suami dengan isteri ketiga, yaitu sejak

saat dilaksanakannya perkawinan dengan isteri ketiga, maka harta yang

diperoleh dalam masa perkawinan suami dengan isteri ketiga merupakan hak

suami dan ketiga isterinya tersebut dengan bagian yang sama, dan mereka

berempatlah yang berhak untuk bertindak atas harta bersama yang diperoleh

selama masa perkawinan suami dengan isteri ketiganya tersebut.

Keempat, masa perkawinan suami dengan isteri keempat yaitu

sejak saat dilaksanakannya perkawinan dengan isteri keempat, maka harta

yang diperoleh dalam masa perkawinan suami dengan isteri keempat

merupakan hak suami dengan keempat isterinya tersebut dengan bagian

yang sama dan mereka berlimalah yang berhak untuk bertindak atas harta

bersama yang diperoleh selama masa perkawinan suami dengan isteri

keempatnya tersebut.
56

Macam-macam permasalahan akan muncul ketika perjanjian

pranikah dilaksanakan oleh sang kedua mempelai. Masalah budaya,

keyakinan dan hal lain yang berkaitan dengan kepercayaan bahwa

pernikahan merupakan suatu prosesi yang suci dan sacral. Maka dari itu

setiap pasangan harus benar-benar menjaga kesucian diri mereka semenjak

proses awal menuju pernikahan hingga pernikahan tersebut terselenggara.

Setiap rumah tangga harus berupaya dengan sekuat tenaga untuk menjaga

suci dan sakralnya pernikahan mereka. Bahkan mirisnya tak sedikit kaum

perempuan yang didapati rela terus menjaga keutuhan rumah tangganya

walaupun terus mendapat perlakuan yang tidak baik dari suaminya.68

Oleh karena itu, dari sisi pemberdayaan perempuan perjanjian

pranikah ini bisa menjadi jalan untuk melindungi diri dari kemungkinan-

kemungkinan buruk yang dikhawatirkan akan menimpa rumah tangganya

seperti KDRT misalnya. Perjanjian pranikah sebaiknya memuat hal penting

yang patut dipertimbangkan seperti masalah mahar, poligami, keuangan,

biaya pendidikan dan kehidupan anak ataupun perceraian serta hal penting

lainnya yang dirasa penting untuk dimasukkan ke dalam perjanjian pranikah

(Rabia Mills). Bahkan, Rabia menambahkan bahwa pembagian pekerjaan

dalam keluarga dapat juga dimasukan dalam poin penting perjanjian

pranikah.69

68
Jurnal Rahima online
69
Ibid
57

Muhammad Afandhi Nawawi menjelaskan bahwa perjanjian

pranikah memiliki dua konsekwensi hukum yang berkaitan dengan suatu

perkawinan yakni harta dan status anak dari hasil pernikahan. KUHP tidak

membedakan antara harta bersama dan harta bawaan. Semua harta tersebut

disebut sebagai harta yang tunduk pada hukum perkawinan. Sebagai contoh

seorang laki-laki (X) mempunyai harta sebesar 100 Milyar Rupiah. X

kemudian melangsungkan pernikahan dengan seorang wanita (Y) yang pada

saat itu kondisinya tidak memiliki harta apapun selain pakaian yang

dikenakannya. Setelah pernikahan dilangsungkan maka harta yang dimiliki

dari pernikahan tersebut adalah sebanyak 100 Milyar Rupiah tadi. Jika suatu

saat terjadi perceraian maka, pihak wanita (Y) akan mendaptkan harta dari

pernikahannya sebesar 50 Milyar rupiah atau sebagian dari harta yang

dimiliki mereka bersama. Ketidakadilan seperti itulah yang kemudian

menjadi bahan pertimbangan atau koreksi di lembaga hukum yang kemudian

disebut dengan Perjanjian Pisah Harta.

Sebenarnya, UU No. 1 Tahun 1974 telah melakukan perbaikan

dengan jalan memberikan perbedaan antara harta bawaan dan harta yang

dimiliki bersama setelah menikah. Harta bawaan yakni yang dibawa

sebelum mereka menikah dan pengurusannya berada penuh pada masing-

masing pemiliknya. Sedangkan harta bersama adalah harta perolehan

keduanya selama dalam ikatan pernikahan.


58

Maka dari itu, dalam Konstruksi Undang-Undang No. 1 tahun

1974 tentang perjanjian pranikah ini ternyata hanya akan melindungi pihak

yang kaya ketika mereka menikah dan akan berdampak pada pasangannya

yang kurang mampu. Hal ini dikarenakan harta bawaan yang dituang dalam

perjanjian perkawinan atau pranikah tidak dapat dimiliki oleh sang pasanagn

yang kurang mampu ekonominya jika suatu saat terjadi perpisahan antara

kedua.70

Akan tetapi, pembuatan perjanjian pranikah ini merupakan pilihan

dari kedua mempelai itu sendiri. Mengingat perihal isi dari perjanjian

pranikah yang menitikberatkan pada harta kekayaan. Jika keduanya tidak

menginginkan hal tersebut, maka tidak perlu diadakan perjanjian

pernikahan. Perjanjian perkawinan akan berlaku semenjak pernikahan

dimulai. Sejak itulah harta bawaan masing-masing akan bercampur menjadi

satu. Namun, jika ada perjanjian pernikahan, maka bisa saja harta bawaan

masing-masing tetap menjadi milik masing-masing pihak tanpa adanya

campur tangan pihak lain. Perjanjian perkawinan harus berisi hal-hal yang

tidak menyimpang dari norma agama, hukum dan kesusilaan. Karena pada

dasarnya perjanjian pernikahan ini dibuat dengan tujuan untuk melindung

posisi perempuan bahkan dalam pernikahan.71

70
Muhammad Afandhi Nawawi, “Perjanjian Pra-Nikah”, tanggal 9 September 2005,
(vandy@cbn.net.id). Tulisan ini adalah tanggapan terhadap artikel Jurnal Hukum Jentera
online,“Perjanjian Pranikah : Solusi Untuk Semua?”, 31 Oktober 2005, (http://www.hukum.on-
line.com),diakses pada 25 Maret 2020.
71
Republika online, “Perjanjian sebelum Perkawinan, Perlukah?”, Minggu, 18 Februari 2001,
(http://www.republika.co.id/koran_detail.asp?id=19353&kat_id=59), diakses pada 25 Maret 2020.
59

Perjanjian perkawinan dinilai sangat baik karena bisa menjadi

pelindung bagi pihak istri ataupun suami (M. Rezfah Omar, pengacara LBH

APIK Jakarta). Perjanjian perkawinan ini bisa menjadi dokumen yang sah

dan bisa menjadi pegangan jika suatu waktu kedua belah pihak hendak

berpisah atau bercerai. Oleh karenanya, perjanjian pernikahan harus

disahkan di hadapan pihak-pihak berwenang sehingga perjanjian tersebut

menjadi kuat dimata hukum. Jika tidak demikian maka isi perjanjian tersebut

menjadi tidak kuat posisinya.72 Perjanjian pranikah ini dibuat dengan alasan

untuk dikemudian hari dapat digunakan sebagai dokumen yang dapat

mendukung penyelesaian masalah pernikahan dikemudian hari. Contohnya

sebagai berikut:

1. Masalah memisahkan harta kekayaan. Ketika pasangan menginkan tidak

adanya pembagian harta gono gini maka mereka harus membuatnya di

dalam kesepakan bersama dalam surat perjanjian perkawinan. Namun

jika kedua pasangan tersebut tidak melakukan perjanjian pernikahan

maka kedua harta mereka akan bercampur dan tidak dapat dipisah. Jadi,

kedua harta mereka tersebut akan menjadi harta gono gini.

2. Dalam masalah perceraian dan ingin memisahkan harta mereka, harus

dituliskan juga sebelumnya dalam perjanjian pranikah tersebut dengan

maksud pemisahan harta. Dapat dikatakan bahwa dalam perjanjian

perkawinan ini dapat dituliskan kesepakatan terkait pendapatan, asset

72
Kompas Cyb er Media Online, “Perjanjian Prapernikahan dan Manfaatnya”, Minggu, 30 Mei
2004.
60

yang dimiliki oleh masing-masing selama pernikahan terjadi ataupun

jika satu saat terjadi perceraian atau kematian.

3. Perkara pemisahan hutang. Dalam perjanjian pernikahan juga bisa

memuat tentang permasalahan hutang piutang yang dibawa oleh masing-

masing pihak. Apakah akan menjadi tanggungan sendiri atau bersama.

Hutang yang menjadi maksud dari isi perjanjian ini adalah hutang yang

terjadi sebelum pernikahan itu terjadi ataupun hutang yang ditimbulkan

dimasa pernikahan mereka ataupun setelah perceraian dan kematian.

4. Pertanggungjawaban atas anak-anak dari pernikahan mereka. Perjanjian

biasanya harus menuliskan terkait perkara nafkah atau biaya yang harus

diberikan sang suami untuk anak-anak mereka. Baik biaya hidup, biaya

pendidikan atau biaya lain-lain yang menjadi tanggungan. Perjanjian

pernikahan harus mengatur bagian-bagian yang harus ditanggung oleh

masing-masing pihak agar anak-anak tetap terjaga kesejahteraannya.73

Dalam Mazhab Hanafi yang dikutip dalam Kamil Musa bahwa

syarat yang dapat menjadi pengajuan oleh calon istri menjadi tidak wajib

bagi sang calon suami. Perjanjian ini tidak dapat mempengaruhi akad nikah

dari pernikahan tersebut. Apabila sang suami bisa menjalankan persyaratan

tersebut maka tidak menjadi masalah. Akan tetapi, jika sang suami tidak

dapat menepati janjinya maka ia harus mengupayakan untuk membayar mas

kawin yang sudah diikrarkannya. Misalnya ketika sang suami mengucapkan

akan member mahar tertentu dibarengi dengan persyaratan yang membawa

73
Mike Rini, “Perlukah Perjanjian Pra-nikah?”, dalam Danareksa online, 2 Maret 2005,
(http://www.danareksa.com/home/index_uangkita.cfm?act=), diakses pada 25 Maret 2020.
61

keuntungan bagi istrinya seperti suami tidak akan meninggalkan desa selama

menikah, tidak akan meminta cerai ataupun tidak akan menikah lagi dan

sebagainya.

Jika sang suami dapat menepatinya maka ia dianggap telah

menyanggupi maharnya. Namun jika tidak bisa menjalankan syarat itu maka

sang suami haruslah mencari mahar yang lain untuk diberikan kepada sang

istri. Berdasarkan Mahzab Syafi’I persyaratan dari perjanjian pernikahan

harus bersifat masuk diakal serta bisa dipenuhi oleh suami. Isi perjanjian

juga tidak bisa melenceng dari tujuan pernikahan mereka. Seperti misalnya

sang istri meminta suaminya untuk tidak membawanya pindah dari tempat

tinggalnya maka persyaratan ini dianggap batal namun pernikahan mereka

tetap sah. Namun jika isi perjanjiannya sangat bertentangan dengan makna

akad nikah contohnya, suami tidak bisa mendapatkan bagian rumah yang

dimiliki oleh istrinya nanti, maka perjanjian tersebut tidak dapat dilanjutkan

dengan artian batal dan juga mengakibatkan akad nikah mereka pun batal.74

Dimasa sekarang ini, praktek poligami semakin marak di kalangan

umat Islam di Indonesia. Praktek poligami ini tak sedikit membawa dampak

perceraian bagi pernikahan mereka. Padahal pada dasarnya hukum di

Indonesia telah memberikan syarat-syarat yang sangat teliti dan ketat. Yaitu

sang suami harus bisa memastikan bisa bersikap adil dalam memberikan

kasih sayang kepada istri-istri dan anak-anaknya. Adil dalam hal ini

mencakup pembagian nafkah lahir dan batin. Namun pada kenyataanya

74
Kamil Musa, Suami-isteri Islam, Cet. Ke-2, (Bandung : Remaja Rosdakarya, 2000),hlm. 46.
62

poligami di masa ini lebih merujuk pada tujuan untuk menjadikan

perempuan sebagai objek untuk pemuas kebutuhan biologis dari laki-laki.

Maka dari itu, perjanjian perkawinan atau perjanjian pranikah

dinilai dapat menjadi satu solusi untuk mencegah adanya poligami sehingga

pernikahan mereka akan bisa terus harmonis dan terhindar dari poligami

atau hal-hal buruk lain yang mungkin akan terjadi dipernikahan. Meskipun

hal ini terkadang dalam masyarakat dianggap buruk karena sang istri tidak

ingin diduakan, akan tetapi untuk mencapai kemaslahatan bagi sang istri dari

tindakan dipoligami oleh suaminya nanti dan malah menimbulkan keretakan

dalam keluarganya nanti oleh karenanya hal-hal tersebut perlu dipertegas di

dalam surat perjanjian pranikah.

3.2 Akibat Hukum Jika Suami Yang Berpoligami Melanggar Perjanjian


Perkawinan.
3.2.1 Sanksi-sanksi dalam Perjanjian Perkawinan Poligami.

Semua hal yang menjadi persetujuan dalam perjanjian pranikah

akan menjadi aturan bagi pihak-pihak yang membuatnya (Pasal 1388

KUHP). Adapun persetujuan yang telah dibuat dan telah berlaku ini tidak

bisa dibatalkan dengan alasan apapun. Oleh karenanya, perjanjian harus

dibuat dengan niatan yang baik bagi keduanya. Maka dari itu jika dalam

pernikahan terjadi hal yang dinilai merugikan salah satu pihak dalam

perjanjian tersebut maka mereka dapat mengajukan ganti ruginya ke

Pengadilan baik untuk menuntut isi dari perjanjian ataupun menuntut ganti

rugi dari pengingkaran perjanjian tersebut.


63

Berdasarkan penjelasan di atas maka bisa diketahui bagi siapapun

yang melanggar isi dari perjanjian perkawinan tersebut maka akan mendapat

ancaman hukum sebagaimana yang berlaku berdasarkan Undang-Undang

seperti hukuman ganti rugi. Akan tetapi, hal tersebut tidak bisa langsung

terjadi kecuali jika pihak yang dirugikan melakukan tuntutan atas tindakan

tersebut. Hukuman yang berlaku pun bisa berbeda-beda sesuai dengan

kesepakatan yang tertuang dalam perjanjian pernikahan jika dituliskan

sebelumnya. Dalam Pasal 1374 KUHP menyebutkan bahwa:

“Dengan tidak mengurangi kewajiban untuk memberikan ganti rugi, si


tergugat dapat mencegah pengabulan tuntutan yang disebutkan dalam
pasal yang lalu, dengan menawarkan dan sungguh-sungguh melakukan
di muka umum dihadapan Hakim suatu pernyataan yang berbunyi
bahwa ia menyesal akan perbuatan yang telah dilakukan, bahwa ia
minta maaf karenanya, dan menganggap yang terhina sebagai orang
yang terhormat”.

Berdasarkan pasal di atas dapat terlihat bahwa makna yang paling

penting dalam perjanjian pernikahan tersebut adalah niatan baik dari kedua

pihak serta rasa patuhnya mereka terhadap perjanjian tersebut. Namun jika

terjadi pelanggaran diantaranya maka pelanggaran itu bisa dijadikan sebagai

ajuan untuk menuntu perceraian ke Pengadilan Agama.

Sang laki-laki atau calon suami mengikrarkan janji penggantungan

talak untuk istrinya setelah selesai membacakan akad nikahnya. Jika suatu

hari terjadi pelanggaran terhadap perihal yang tertuang dalam shighat talik

talak oleh sang suami dan sang istri tidak rela atas hal tersebut maka, sang

istri bisa melaporkan pelanggaran tersebut ke pengadilan. Jika pengaduan


64

tersebut dikabulkan atau dibenarkan oleh pihak berwenang maka istri

tersebut mendapat talak dari suaminya.

3.2.2 Pelanggaran dalam Perjanjian Perkawinan Poligami.

Perjanjian pernikahan di dalam hukum Islam dikenal juga dengan

Taklik Talak. Taklik Talak ini adalah pernyataan yang tertera dalam akta

nikah dan berisi pernyataan keinginan sepihak dari suami yang diungkapkan

setelah ikar akad nikah. Taklik talak berisi tentang perlindungan akan hak

seorang istri dalam pernikahan. Namun pada praktiknya kebanyakan para

istri tidak memberikan perhatian kepada taklik talak yang diucapkan suami

ketika itu. Sehingga kadang kebanyakan istri membiarkan dirinya tertindas

dalam rumah tangga. Padahal mereka memiliki hak atas perlindungan dan

keadilan dalam rumah tangga.

Berdasarkan Pasal 51 Kompilasi Hukum Islam bahwa istri bisa

mengajukan pembatan pernikahan ke Pengadilan Agama jika sang suami

melakukan pelanggaran atas taklik talak yang telah diucapkannya.

Pengajuan permohonan perceraian hanya bisa dilakukan oleh sang istri

karena sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 51 KHI taklik talak adalah

ikrar sepihak dari sang suami kepada istrinya. Maka dari itu, perjanjian

tersebut hanya dapat memberikan hak pengajuan gugatan kepada sang istri

dan bukan suami.75

75
http://www.pa-palangkaraya.net/en/artikel/107-pelanggaran-perjanjian-perkawinan.html. Diakses
tanggal 25 Maret 2020.
65

Dalam Pasal 45 Kompilasi Hukum Islam terkait perjanjian yang

berlaku tersebut apakah dibuat berdasarkan kesepakatan calon suami istri?

Jika Ya, maka dalam pelanggaran taklik talak tersebut harus dengan tegas

dijawab dengan Ya atau Bisa atas perjanjian yang diucapkan atas dua pihak

tersebut. Berdasarkan pemikiran tersebut maka jika dalam pelaksanaanya

terjadi pelanggaran dalam pernikahannya maka istrinya dapat mengajukan

alasan perceraian. Akan tetapi pengadilan harus memikirkan kemaslahatan

kedua pihak. Jika pernikahan tersebut masih bisa dipertahankan maka

diupayakan untuk mempertahankannya. Namun apabila pelanggaran atas

taklik talak tersebut telah menyebabkan permaslahan yang sangat berat disisi

istrinya, ataupun keburukan yang terus menerus terjadi pada istrinya maka

pengadilan bisa menerima usulan atau gugatan cerai sang istri tersebut. Pada

dasarnya sebuah perceraian harus merujuk pada bentuknya yang limitasi

atau terbatas seperti yang telah diatur pada Pasal 19 Peraturan Pemerintah

No. 9 tahun 1975.76

3.2.3 Akibat Hukum Pelanggaran dalam Perjanjian Perkawinan Poligami.


Sang istri dapat menjadikan perkara poligami sebagai alasan untuk

menggugat cerai suaminya. Hal ini telah sesuai dengan praktik lazimnya

yang disebut dengan cerai gugat ke Pengadilan Agama demi memutus ikatan

pernikahan. Cerai gugat berarti gugatan seorang istri yang menggugat cerai

suaminya melalui jalur pengadilan. Kemudian pihak pengadilan

memberikan izin atau mengabulkan permohonan gugatan tersebut sehingga

76
Ibid
66

hubungan antara penggugat yaitu istri dan yang digugat atau suaminya

menjadi putus dari pernikahan mereka.77

Putusan pernikahan akibat perceraian ini diatur dalam Pasal 156

Kompilasi Hukum Islam yang menyatakan bahwa cerai gugat memiliki

perbedaan dengan khulu’. Akan tetapi keduanya pun memiliki kesamaan

didalamnya. Persamaan diantaranya adalah permintaan perceraian berasal

dari sang istri. Perbedaannya adalah tidak semua kasus cerai gugat harus

membayar uang tebusan. Sedangkan dalam khulu’, uang tebusan menjadi

dasar akan terjadinya hal tersebut.”78

Perceraian hanya bisa dilakukan dihadapan persidangan dalam

Pengadilan Agama setelah pihak pengadilan telah berusaha untuk

menyatukan kembali kedua pasangan tersebut (Undang-Undang Nomor 7

Tahun 1989 tentang Pengadilan Agama dan Pasal 115 KHI).”79 Lebih lanjut

dalam Pasal 116 KHI dinyatakan bahwa perceraian dapat terjadi dengan

alasan sebagai berikut:

1. Jika salah satu pihak melakukan perbuatan buruk seperti mabuk-

mabukan, narkoba, judi, berzina ataupun perilaku buruk lainnya yang

tidak bisa diubah lagi.

2. Selama dua tahun berturut-turut salah satu pihak meninggalkan pihak

yang lain tanpa izin, alasan dan tanpa kabar serta tanpa alasan yang sah

didalamnya.

77
Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta : Sinar Grafika, 2006), hal. 77
78
Ibid, hlm. 85
79
Kompilasi Hukum Islam, (Bandung, Fokus Media, 2007), hlm. 38.
67

3. Jika salah satu pihak masuk penjara selama lima tahun atau lebih dalam

masa pernikahan mereka karena kejahatan yang dia lakukan.

4. Pihak suami atau istri melakukan hal yang kejam dan aniaya kepada

salah satu pihak dalam rumah tangga atau biasa disebut dengan KDRT.

5. Suami atau istri mendapat cacat atau sakit yang tidak bisa disembuhkan

sehingga membuatnya tidak bisa menjalankan tugasnya sebagai istri.

6. Terus menerus terjadi perselisihan atau pertikaian dalam rumah tangga

mereka.

7. Taklik talak dilanggar oleh sang suami

8. Salah satu pihak melakukan pindah agama atau murtad sehingga terjadi

ketidakharmonisan dalam rumah tangga.

Jika talak yang dijatuhkan dikarenakan adanya pelanggaran dari

taklik talak maka pengambil keputusan adalah pengadilan agama. Talak

yang dijatuhkan adalah talak satu khul. Dikarenakan iwadh yang

menyebabkan satu perceraian tidak bisa ditarik kembali.


68

BAB IV

PENUTUP

4.1 Kesimpulan.

1. Isi dari perjanjian perkawinan antara suami dan isteri yang dipoligami pada

umumnya memuat tentang hak-hak dan kewajiban dalam hal harta benda

perkawinan, persatuan untung rugi serta persatuan hasil dan pendapatan. Di

samping itu memuat pula pengaturan mengenai kewajiban suami isteri

dalam perkawinan, larangan penggunaan kekerasan dalam perkawinan,

memperoleh nafkah lahir dan batin, hak asuh anak bila terjadi perceraian.

Yang dimaksud dengan nafkah lahir adalah nafkah yang wajib dipenuhi oleh

suami yang menyangkut kebutuhan hidup sehari-hari secara nyata,

sedangkan nafkah batin adalah nafkah yang wajib diberikan oleh seorang

suami terhadap isterinya yang menyangkut perlakuan baik, kasih sayang dan

hubungan suami isteri yang wajar sehingga baik suami maupun isteri

memperoleh kebahagiaan secara batiniah. Yang dimaksud dengan hak asuh

anak bila terjadi perceraian pada umumnya adalah apabila anak-anak yang

dihasilkan dari perkawinan poligami tersebut belum dewasa (belum berusia

18 tahun) maka hak asuh dari anak-anak tersebut jatuh ke tangan ibunya,

dengan catatan si ibu tidak dicabut kekuasaan orang tuanya oleh hakim.

Apabila anak-anak yang dihasilkan dari perkawinan poligami tersebut telah

dewasa pada saat perceraian berlangsung maka diberikan kebebasan kepada

anak-anak tersebut untuk memilih kepada siapa ia bertempat tinggal atau

dalam pengasuhan salah satu orang tuanya.


69

2. Apabila suami melanggar hal-hal yang diperjanjikan dalam perjanjian

perkawinan, maka pelanggaran tersebut diancam dengan hukuman ganti rugi

sebagai pengganti hak-hak pihak yang dirugikan. Dalam hal ini bentuk ganti

rugi yang dimaksud adalah ganti rugi yang telah disepakati oleh kedua belah

pihak dan telah dituangkan dalam perjanjian perkawinan, misalnya saja ganti

rugi untuk membayar sejumlah uang. Selain itu pelanggaran perjanjian

perkawinan yang dilakukan oleh suami dapat dijadikan alasan oleh isteri

yang dipoligami untuk menuntut perceraian ke pengadilan agama dengan

segala konsekuensinya.

4.2 Saran.

1. Setiap perkawinan poligami seharusnya tercatat sesuai peraturan perundang-

undangan yang berlaku sehingga hak-hak dari isteri yang dipoligami tidak

dapat diabaikan begitu saja sehingga status isteri dalam perkawinan

poligami memiliki suatu kepastian hukum yang jelas dalam penuntutan hak-

haknya baik selama perkawinan berlangsung maupun apabila terjadi

perceraian.

2. Pasal 29 Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 perlu lebih disosialisasikan

aplikasinya khususnya dalam perkawinan poligami yang dicatatkan dan

apabila dipandang perlu dijadikan suatu kewajiban untuk memperoleh izin

bagi seorang suami untuk mengadakan perkawinan poligami. Sehingga hak-

hak dari isteri yang dipoligami tersebut dapat terlindungi dengan baik sesuai

ketentuan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan dalam hal ini

adalah Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974.


70

DAFTAR PUSTAKA

Buku-Buku :
Abidin, Slamet, dkk, Fiqih Munakahat, Bandung : CV. Pustaka Setia, 1999.
Al-Athar, Abd Nashr Taufik, Saat Anda Meminang, Jakarta : Terj. Abu Syarifah
danAfifah Pustaka Azam, 2000.
Ali, Zainuddin, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta : Sinar Grafika, 2006.
Al-Qur’an dan Terjemahnya, Madinah : Pemerintah Kerajaan Arab Saudi, 2003.
Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Bandung
:PT. Citra Aditya Bakti, 2006.
Badan Pembinaan Hukum Nasional, Analisis dan Evaluasi Hukum Tentang 20
TahunPelaksanaan Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun
1974, Jakarta :Badan Pembinaan Hukum Nasional, 1995.
Badjeber, Zain, Tanya Jawab Hukum Perkawinan, Jakarta : Sinar Harapan, 1985.
Basyir, Ahmad Azar, Hukum Perkawinan Islam, Yogyakarta, Fakultas
HukumUniversitas Islam Indonesia, 1995.
Departemen Agama RI, Undang-undang No. 1 Tahun 1974.
Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama, Kompilasi Hukum Islam, 2000.
Engineer, Asghar Ali, Pembebasan Perempuan, Yogyakarta : LKIS, 2003.
Furchan, Arief, Pengantar Metode Penelitian Kualitatif, Surabaya : Usaha
Nasional,1997.
Hadikusuma, Hilman, Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundangan,
HukumAdat, Hukum Agama, Cet-1, Bandung: Mandar Maju, 1990.
Hamdanah, Musim Kawin di Musim Kemarau (Studi atas Pandangan
UlamaPerempuan Jember tentang Hak-hak Reproduksi Perempuan),
BigrafPublishing, Yogyakarta, 2005.
Harahap, M. Yahya, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama,
Jakarta :Sinar Grafika, 2003.
Ibrahim, Johannes dan Lindawaty Sewu, Hukum Bisnis dalam Persepsi
ManusiaModern, Bandung : Refika Aditama, 2004.
Ibrahim, Johnny, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Malang :
UMMPress, 2007.
Lubis, M. Solly, Filsafat Ilmu dan Penelitian, Bandung : Mandar Madju, 1994.
71

Mertokusumo, Sudikno, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Liberty,


Yogyakarta,2003.
Moleong, Lexy J., Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung : Remaja
Rosdakarya,1993.
Mujieb, M. Abdul, dkk., Kamus Istilah Fiqih, Jakarta : Pustaka Firdaus, 1994.
Muljadi, Kartini dan Gunawan Widjaja, Perikatan yang Lahir dari
Perjanjian,Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2003.
Muqniyah, Jawad Muhammad, Pernikahan Menurut Hukum Perdata dari
LimaMahzab, Yogyakarta : Penerbit Kota Kembang, 1978.
Musa, Kamil, Suami-isteri Islam, Cet. Ke-2, Bandung : Remaja Rosdakarya,
2000.
Nasution, Khoiruddin, Status Wanita di Asia Tenggara : Studi Terhadap
Perundang-Undangan Perkawinan Muslim Kontemporer di Indonesia
dan Malaysia,Jakarta : INIS Leiden, 2002.
Niwan, Lely, Hukum Perjanjian, Yogyakarta : Dewan Kerjasama Ilmu
HukumBelanda Dengan Indonesia Proyek Hukum Perdata, 1987.
Nurudin, Amiur dan Tarigan Ahmad Azhari, Hukum Perdata di Indonesia,
Jakarta :Pernada Media, 2004.
Pound, Roscoe, Justice According To Law, Yale University Press, New Haven
USA,1952.
Prodjodikoro, Wirjono, Hukum Perkawinan di Indonesia, Bandung: Sumur
Bandung,1988.
Prodjohamidjojo, Martiman, Tanya Jawab Undang-Undang Perkawinan
Indonesia, Jakarta : PT. Abadi, 2003.
Ramulyo, Muhammad Idris, Tinjauan Beberapa Pasal Undang-Undang Nomor
1Tahun 1974 Dari Segi Hukum Perkawinan Islam, Jakarta : IND
HILL. Co, 1990.
Reksopradoto, Wibowo, Hukum Perkawinan Nasional, Hukum Perdata Barat
HukumKeluarga, Semarang : Etikad Baik, 1977.
Sabiq, Sayyid, Fiqih Sunnah Jilid 3, Pena Pundi Aksara, Jakarta, 2006.
Satrio, J., Hukum Perikatan, Perikatan yang Lahir dari Perjanjian, Buku I,
Bandung : Citra Aditya Bakti, 2001.
Setiawan, R., Pokok-pokok Hukum Perikatan, Bandung : Binacipta, 1979.
72

Soekanto, Soerjono, Intisari Hukum Keluarga, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung,
1992.
_______________, Pokok-pokok Sosiologi Hukum, Jakarta : PT. RajaGrafindo
Persada, 1999.
_______________, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Jakarta :
Raja Grafindo Persada, 2001.
Soemiyarti, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan,
Yogyakarta : Liberty, 1982.
Subekti, “Hukum Perjanjian”, Jakarta : Cet. XII, PT. Intermasa, 1990.
Sudarsono, Kamus Hukum, Jakarta : Rineka Cipta, tt.
Sumiarni, Endang, Kedudukan Suami Isteri Dalam Hukum Perkawinan
(KajianKesetaraan Jender Melalui Perjanjian Kawin), Yogyakarta :
Wonderful Publishing Company, 2004.
Supramono, Gatot, Segi-segi Hukum Hubungan Luar Nikah, Jakarta : Djambatan,
1998.
Supranto, J., Metode Penelitian Hukum dan Statistik, Jakarta : PT. RajaGrafindo
Persada, 2003.
Suprapto, Bibit, Liku-liku Poligami, Yogyakarta : Al Kautsar, 1990.
Suseno, Franz Magnis, Etika Politik : Prinsip-prinsip Moral Dasar
KenegaraanModern, Jakarta : Gramedia, 1987.
Vollmar, H.F.A., Hukum Keluarga Menurut Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata, Bandung : Tarsito, 1982.
Widjaja, Gunawan, Memahami Prinsip Keterbukaan Dalam Hukum Perdata
(SeriHukum Bisnis), Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2006.
Wignjodipoero, Soeroso, Pengantar dan Asas-asas Hukum Adat, Jakarta : Haji
Masagung, 1990.
Wuisman, JJ.M., Penelitian Ilmu-ilmu Sosial, Asas-asas, Penyunting M. Hisyam,
Jakarta : Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, 1996.
Zuhri, Mohammad, Perintah dan Larangan Allah Ta’ala dalam Relasi Suami
Isteri, Nuansa Aulia, Bandung, 2007.
73

Peraturan Perundang-Undangan :
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 9 Tahun 1975 tentang Peraturan Pelaksana
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
Kompilasi Hukum Islam
Internet :
http://www.pa-palangkaraya.net/en/artikel/107-pelanggaran-perjanjian
perkawinan. html.
Jasin, Surjadi, Perjanjian Perkawinan Bisa Dianggap Menyinggung Perasaan,
Artikel Internet.
Jurnal dunia-ibu.org online, “Perjanjian Pranikah”, copyright 2001-2002,
(http://www.duniaibu.org/html/ perjanjian_pra_nikah.html).
Jurnal Rahima oneline.
Kompas Cyb er Media Online, “Perjanjian Prapernikahan dan Manfaatnya”,
Minggu, 30 Mei 2004.
Nawawi, Muhammad Afandhi, “Perjanjian Pra-Nikah”, tanggal 9 September
2005, (vandy@cbn.net.id). Tulisan ini adalah tanggapan terhadap
artikel JurnalHukum Jentera online, “Perjanjian Pranikah : Solusi
Untuk Semua?”, (http://www.hukum.on-line.com).
Republika online, “Perjanjian sebelum Perkawinan, Perlukah?”,
(http://www.republika.co.id/koran_detail.asp?id=19353&kat_id=5).
Rini, Mike, “Perlukah Perjanjian Pra-nikah?”, dalam Danareksa online,
(http://www.danareksa.com/home/index_uangkita.cfm?act=).
www.hukumoneline.com.

Anda mungkin juga menyukai