BAB I
PENDAHULUAN
kitab dan ajaran semua agama di dunia. Pernikahan diadakan dengan upaya
pertalian yang kukuh dan mitsaqan ghaliza. Layaknya yang tertulis dalam
perjanjiannya, yakni:4
unsur paksaan.5
1
Abd Nashr Taufik Al-Athar, Saat Anda Meminang, (Jakarta : Terj. Abu Syarifah dan Afifah
Pustaka Azam), 2000, hlm. 5.
2
Ahmad Azar Basyir, Hukum Perkawinan Islam, (Yogyakarta, Fakultas Hukum Universitas Islam
Indonesia, 1995), hlm. 1.
3
Al-Qur’an dan Terjemahnya (Madinah : Pemerintah Kerajaan Arab Saudi, 2003).
4
Soemiyarti, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan, (Yogyakarta : Liberty,
1982), hlm. 10.
5
Jawad Muhammad Muqniyah, Pernikahan Menurut Hukum Perdata dari Lima Mahzab,
(Yogyakarta : Penerbit Kota Kembang, 1978), hlm. 9.
2
dalam perkawinan tidak sama dengan persetujuan lain yang dikenal dalam
hukum perdata. Hal ini dikarenakan pada perjanjian biasa, isi perjanjiannya
perkawinan hanya dapat dianggap sah jika telah melaksanakan akad nikah.
Akad nikah tersebut juga haruslah mengandung dua (2) unsure, yaitu ijab
dan qabul. Ijab adalah lafaz penawaran yang sah dari pihak perempuan
melalui walinya. Sedangkan qabul yaitu ikrar penerimaan dari pihak laki-
laki sebagai calon mempelai laki-laki. Ikrar ini diucapkan oleh laki-laki
yang akan menikah tersebut. Lafaz ijab dan qabul dimulai dengan
membacakan kata “aku jodohkan” atau “aku nikahkan” engkau. Lafaz ini
dibacakan oleh wali dari pihak perempuan dan dijawab oleh mempelai laki-
7
Muhammad Idris Ramulyo, Tinjauan Beberapa Pasal Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
Dari Segi Hukum Perkawinan Islam, (Jakarta : IND HILL. Co, 1990), hlm. 17.
3
laki dengan ucapan “saya terima” atau “saya rela”.8 Ketentuan ini menjadi
penolakan terhadap poligami ini. Baik dari segi norma, fisik, psikologi
bahkan dari segi gender. Praktik poligami bahkan dinilai sebagai penistaan
8
Jawad Muhammad Muqniyah, Op.cit, hlm. 7.
9
Ibid, hlm. 8
10
Amiur Nurudin dan Ahmad Azhari Tarigan, Hukum Perdata di Indonesia, (Jakarta : Pernada
Media, 2004), hlm. 156.
4
sejak dahulu. Bahkan sebelum Islam masuk ke tanah Arab, poligami telah
perempuan yang akan dinikahi menjadi hal yang paling mendasari poligami
tak terbatas pada zaman dulu. Para wanita yang dipilih pun tidak boleh
menolak dan harus bias menerima kemauan dari laki-laki yang memilih
Al-Qur’an surat An-Nisaa ayat 3 dan 129, poligami dibatasi. Bagi para
(4) istri dengan catatan bisa adil dan memiliki ijin menikah dari istri
Asghar Ali dalam bukunya mengambil perkataan dari Al-tabari mengenai isi
pokok dari AL-Qur’an surat An-Nisaa ayat 3 dan 129 tersebut. Menurutnya
ayat tersebut bukan berisi tentang kebolehan dari praktek poligami namun
lebih pada sikap adil yang harus benar-benar dimiliki dan ditepati oleh laki-
11
Asghar Ali Engineer, Pembebasan Perempuan, (Yogyakarta : LKIS, 2003), hlm. 111.
5
laki jika ia ingin menikahi perempuan lebih dari satu. Terlebih jika ingin
yang memiliki istri lebih dari satu. Para ulama telah bersepakat
Yakni harus bias bersikap adil pada istri-istrinya. 13 yang dalam ajaran Islam
Dan jika kamu takut tidak bias berlaku adil kepada anak yatim yang
kamu nikahi, maka nikahilah perempuan-perempuan lain yang kamu
sukai; dua, tiga atau empat. Lalu, jika kamu takut tidak bias berbuat
adil, maka nikahilah seorang saja. Yakni, budak yang engkau punyai.
Yang demikian itulah lebih dekat kepada tidak berlaku lalim.
atau aturannya, poligami dapat diakui secara hukum Islam, namun praktek
membuat para pelaku poligami dapat benar-benar berlaku adil pada para
undang juga telah mengatur agar pasangan harus saling menghargai satu
12
Ibid, hlm. 112-113.
13
Pasal 3 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
6
sama lain dalam rumah tangganya. Hal ini dapat dibuktikan dalam praktek
poligami yang menekankan bahwa poligami hanya bias dilakukan jika sang
perkaranya.14
mengenai kewajiban suami untuk berlaku adil dan jaminan suami bahwa ia
kemampuan ekonomi dan berlaku adil menurut kajian lebih dalam, sebab
"The rule of law stands out from the others because they are perceived
and regarded as one person's obligation and legitimate claim from
another person. They are sanctioned not because of psychological
motives alone, but by the binding social machinery of binding forces ...
"
Franz Magnis Suseno dalam kalimat yang kurang lebih
berlaku hanya apabila norma tersebut diterima dan diakui masyarakat. Ciri
14
Khoiruddin Nasution, Status Wanita di Asia Tenggara : Studi Terhadap Perundang-Undangan
Perkawinan Muslim Kontemporer di Indonesia dan Malaysia, (Jakarta : INIS Leiden, 2002), hlm.
58.
15
Soerjono Soekanto, Pokok-pokok Sosiologi Hukum, (Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada, 1999),
hlm. 61.
7
khas suatu norma hukum adalah bahwa suatu pelanggaran tidak akan
dibiarkan begitu saja. Artinya, norma hukum itu bukan norma yang hanya
akan efektif dan ditaati apabila selaras dengan social patterns yang berlaku
16
Franz Magnis Suseno, Etika Politik : Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern, (Jakarta
: Gramedia, 1987), hlm. 74-75.
17
Badan Pembinaan Hukum Nasional, Analisis dan Evaluasi Hukum Tentang 20 Tahun
Pelaksanaan Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, (Jakarta : Badan Pembinaan
Hukum Nasional, 1995), hlm. 21.
18
Soerjono Soekanto, Op.cit, hlm. 22.
19
Ibid, hlm. 36.
20
Ibid, hlm. 147
8
pernikahan. Serta dapat juga berlaku bagi pihak ketiga jika ia memiliki
kaitan di dalamnya.
agama maka perjanjian itu tidak dapat dianggap sah dan tidak dapat
berlaku.
Terkecuali jika ada perubahan yag perlu diubah dengan catatan tidak
dapat diartikan dari dua kata yaitu perjanjian dan pernikahan. ‘Janji’ atau
dilakukan oleh dua pihak atau lebih. Dilakukan secara lisan ataupun tertulis
9
dan semua pihak terkait wajib taat pada persetujuan yang telah disepakati
tersebut.21
akan harta bawaan yang dimiliki oleh masing-masing yakni suami ataupun
sebagai salah satu pihak dalam perkawinan poligami yang mungkin merasa
perkawinan yang isinya antara lain adanya tanggungan hutang piutang yang
kepada suami dan lain sebaginya yang menjadi kesepakatan kedua belah
pihak.
terhadap satu masalah yang berkaitan dengan hal di atas. Adapun judul
Perkawinan)”.
1. Untuk mencari tahu perihal apa saja yang dapat dituangkan dalam
1. Secara Teoritis
11
2. Secara Praktis
hari.
1. Metode Pendekatan
2. Jenis Penelitian
22
Soerdjono Soekanto, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta : Raja
Grafindo Persada, 2001), hlm. 6.
12
penelitian yang melakukan analisis hukum baik yang tertulis di dalam buku
hukum ataupun hukum yang menjadi putudan pengadilan. 23. Penelitian ini
berdasar pada data pokok atau sekunder serta focus pada langkah spekulatif-
dari itu, penelitian ini mencakup penelitian terkait sumber hukum, aturan
3. Sumber Data
23
Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, (Bandung : PT. Citra
Aditya Bakti, 2006), hlm. 118.
24
J. Supranto, Metode Penelitian Hukum dan Statistik, (Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada, 2003),
hlm. 3.
25
Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, (Malang : UMM Press,
2007), hlm. 57.
13
Undang-undang seperti (a) KUHP, (b) HIR, (c) UU No. 1 Tahun 1974
sekunder.
dengan cara melakukan penelitian terhadap bahan pustaka. Dalam hal ini
data sekunder dari penelitian ini. Selain itu, juga menggunakan buku,
5. Analisis Data
BAB II
15
TINJAUAN PUSTAKA
antara laki-laki dan perempuan sebagai pasangan suami istri yang bertujuan
membangun rumah tangga yang kekal dan bahagia berdasar pada Ketuhanan
memiliki hubungan yang mulia yakni sebagai sepasang suami istri. Mereka
menjadi sejahtera dan bahagia serta kekal berdasar pada Ketuhanan Yang
Maha Esa.
membantu dan saling melengkapi satu sama lain guna untuk mencapai
perkawinan.
pernikahan dapat dikatakan sah jika dilaksanakan berdasarkan tata cara atau
16
hukum dari kedua belah pihak yang akan menikah. Dalam hal ini di
artian menggunakan tata cara atau hukum yang dianut oleh kedua belah
“Jadi, pernikahan antar agama dapat dikatakan sah jika dilakukan hanya
dengan salah satu hukum pernikahan yang dipercayai oleh kedua
mempelai. Bukan pernikahan yang dilakukan oleh masing-masing
agama yang dianut kedua mempelai atau keluarganya. Sebagai contoh
jika telah melangsungkan pernikahan dengan hukum pernikahan agama
Budha, maka tidak dapat lagi melangsungkan pernikahan dengan
hukum agama Hindu atau Protestan. Jika tetap dilaksanakan, maka
pernikahan tersebut dianggap tidak sah”.26
bahwa tidak ada pernikahan yang dilakukan diluar dari hukum masing-
a. Syarat Materil
26
Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundangan, Hukum Adat,
Hukum Agama, Cet-1, (Bandung: Mandar Maju, 1990), hlm. 26-27.
17
3. Jika salah satu dari kedua orangtua calon mempelai telah meninggal
kehendaknya.
4. Jika kedua orangtua telah meninggal dunia atau berada dalam kondisi
tidak mampu, maka wali atau keluarga yang memiliki hubungan darah
b. Syarat Formil
pencatat pernikahan;
mengeluarkan pengumuman;
18
tersebut.
kekal dan bahagia. Oleh karena itu, sumi istri diharapkan dapat saling
baik dari segi spiritual maupun material.27 Karena tujuan pernikahan yang
istri.28
Dalam hal ini istri memiliki 2 hak terhadap suaminya. Yakni hak kebendaan
dan hak rohaniah. Hak kebendaan meliputi nafkah materi dan mahar.
Sedangkan hak rohaniah meliputi nafkah batin dan jika suaminya melakukan
poligami, maka wajib berbuat adil dan tidak boleh membuat istri berada
berupa uang, benda ataupun jasa yang dalam hal ini tidak bertentangan
mahar dalam Bab khusus untuk menghargai kedudukan istri dalam hal
memegang urusannya.
wanita dengan sesuka hati menggunakan harta benda yang dimiliki sang
diberikan hak mas kawin atau mahar. Mahar tersebut wajib diberikan
kepada sang perempuan dan bukan kepada ayah atau orang lain, bahkan
yang artinya:31
mahar atau mas kawin kepada istrinya sebagai tanda pemberian dan
bukan sebagai bentuk pembelian ataupun ganti rugi. Sang suami bisa
saja mendapatkan mahar dari sang istri jika, sang istri dengan
senang hati kepada suaminya. Hal ini tidak termasuk dalam dosa, karena
malu ataupun takut kepada suaminya maka, mahar tersebut tidaklah halal
bagi suaminya.
penuh dari sang istri. Keluarga, orangtua atau bahkan orang terdekat dari
setelah menikah.
menjadi semakin erat dan kokoh karena, mahar akan menumbuhkan rasa
yaitu:32
tradisi dari keluarga yang disepakati. Semua nash dalam ajaran Islam
bermanfaat bagi sang istri. Maka dari itu, mahar dapat diberikan dengan
Bahkan dalam salah satu hadist menyebutkan bahwa mahar bisa hanya
dengan keislaman sang calon suami dapat dijadikan mahar bagi sang
32
Mohammad Zuhri, Perintah dan Larangan Allah Ta’ala dalam Relasi Suami Isteri, Nuansa
Aulia, Bandung, 2007, hlm. 135.
22
berdasar dari keterangan yang kuat dan jelas. Karena pada dasarnya
diinginkan. Hal ini agar pernikahan keduanya dapat terjalin dengan baik
dan mereka dapat menikmati hubungan suami istri yang halal. Oleh
kemurahan hati dari sang calon istri. Dari Aisyah ra Rasulullah SAW
bersabda:
ilmunya dan lebih memilih untuk mengikuti adat atau tradisi serta
atau harta yang banyak. Tanpa disadari hal ini malah menyebabkan
bahwa Nabi Muhammad SAW melarang Ali Bin Abi Thalib tidur
kepadanya. Saat itu Ali Bin Abi Thalib tidak memiliki sesuatu apapun
maharnya.35 Selain itu Aisyah ra dari Abu Dawud dan Ibnu Majah
35
Ibid, hlm. 75
24
2. Menerima Nafkah
Seorang istri wajib menerima nafkah dari sang suami. Hal ini
dalam Al-Quran, Sunnah dan Ijma. Nafkah disini berarti sesuatu yang
istri yang tidak layak menerima nafkah dari sang suami adalah sebagai
berikut:40
a. Istri yang belum menginjak usia yang layak untuk dicampuri oleh
suami. Namun, jika sang suami yang masih belum layak usianya
39
H.S.A. Alhamdani, Op.Cit, hlm. 125
40
Ibid, hlm. 125-126
26
berasal dari sang suami dan bukan dari pihak istri. Seperti yang
b. Istri yang keluar dari rumah suaminya tanpa alasan syar’I ataupun
g. Istri yang nusyuz atau durhaka atau berbuat maksiat kepada sang
suami. Ataupun istri yang tidak melayani suaminya. Akan tetapi jika
sakit merupakan alasan dari tidak bolehnya sang istri melayani, maka
dalam hal ini contohnya seperti cacat, tidak mampu dari segi fisik
Merupakan hak istri dari segi non materi, yakni nafkah bersifat
rohani yaitu:
27
suami juga harus memenuhi kepentingan istrinya, tak lupa juga harus
patut menjaga kehormatan, harga diri dan kemulian dari istrinya. Hal
ini merupakan tanda dari sifat cemburu sang suami yang disenangi
Sebagaimana yang tertulis dalam firman Allah SWT dalam Q.S Al-
41
Mahmud Junus, Op.cit, hlm. 74.
28
42
Ibid, hlm. 33
29
Allah SWT.
hamil dan setelah melahirkan. Maka dari itu, sang suami harus
disebutkan dalam Pasal 3 yaitu (1) seorang laki-laki hanya bisa memiliki
satu orang istri dan begitu pula sebaliknya. (2) seorang laki-laki bisa
43
Hamdanah, Musim Kawin di Musim Kemarau (Studi atas Pandangan Ulama Perempuan Jember
tentang Hak-hak Reproduksi Perempuan), Bigraf Publishing, Yogyakarta, 2005, hlm. 230-232.
30
beristrikan lebih dari satu jika dikehendaki oleh pihak terkait namun harus
Adapun asas monogamy yang terlihat pada poin dua (2) tersebut
menjadi jalan yang ketat bagi laki-laki yang ingin berpoligami dengan cara
Agama tanpa ada pengecualian. Pemberian izin poligami itu sendiri berisi
syarat-syarat yang membatasi serta harus jelas berisi tujuan yang penting
wanita saja yang bisa dinikahi oleh satu pria. Allah SWT berfirman
empat…”.
kedua sudah merasa tidak mampu berlaku adil pada kedua istri, maka
44
Departemen Agama RI, Undang-undang No. 1 Tahun 1974, hlm. 117
31
anak yatim.
menikahi seorang wanita yang memiliki anak yatim. Hal ini bertujuan
secara sah dari seorang ayah. Akan tetapi, laki-laki tersebut harus benar-
benar berlaku adil terhadap istri dan anak yatim tersebut. Terlebih pada
istri, (b) sang istri memiliki cacat atau penyakit yang sulit sembuh dan
(c) seorang istri yang mandul (Pasal 4 (2) Undang-undang No.1 tahun
45
Soemiyarti, Op.Cit, hlm. 75-76.
46
Ibid
32
2) Istri yang mengalami cacat atau mengidap penyakit yang sulit untuk
disembuhkan;
b. Memiliki izin dari istri-istrinya terdahulu. Izin tersebut bisa berupa izin
siding pengadilan;
d. Adanya jaminan dari sang suami untuk berlaku adil kepada istri-istri dan
c. Istrinya mandul.
Poligami adalah salah satu syariat Islam yang akan tetap berlaku
dan ketat. Sehingga tidak ada kerugian bagi perempuan dan anak-anak.
Sehingganya, syarat utama dari poligami ini hanya bisa diberikan kepada
48
M. Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama, (Jakarta : Sinar
Grafika, 2003), hlm. 42.
49
Ibid, hlm. 43.
34
rumah kalian.” Ayat ini menjelaskan bahwa setiap istri yang dipoligami
juga menerangkan akan kewajiban tempat tinggal ini bagi lelaki yang
dia besok harus tinggal. Kemudian Nabi SAW meneruskan bahwa beliau
orang istrinya di dalam satu tempat tinggal kecuali jika mereka ridho.
diantaranya.
SAW mempunyai Sembilan (9) istri. Rasulullah berlaku adil dengan cara
satu istri, maka sang suami diharuskan untuk mengundi siapa yang akan
pada hari dan malamnya, kecuali Saudah bintu Zam’ah karena jatahnya
menggaulinya jika bukan gilirannya saat itu. Istri yang sedang haid
dikunjungi sang suami. Hal ini seperti yang dilakukan oleh rasulullah
SAW seperti yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim, bahwa
haid, maka beliau meminta istri tersebut untuk menutupi bagian sekitar
tidak diberlakukan.54
52
Ibid
53
Ibid
54
Ibid
36
3. Tidak boleh keluar dari rumah isteri yang mendapat giliran menuju
yang lain yang bukan gilirannya kecuali dalam kondisi darurat. Jika sang
suami dalam kondisi darurat harus menginap di tempat istri yang bukan
gilirannya, maka dia wajib menggantinya di hari yang lain. Namun, jika
55
Ibid
37
menginap selama tiga (3) hari. Kemudian setelah itu ia harus menggilir
selama tiga hari. Nabi SAW bersabda kepada Ummu Salamah bahwa hal
dirimu selama tujuh hari. Namun, aku pun harus menggilir istri-istriku
antara satu dengan yang lainnya. Rasulullah SAW pernah diberi hadiah
istrinya, maka sang suami harus mengundi dengan adil siapa yang akan
istri yang akan mendampinginya ketika beliau safar. Jika sang suami
perlu dilakukan undian untuk itu. Jika suami membawa lebih dari satu
dalam ayat Al-Qur’an Surat An-Nisaa ayat 29 yang artinya “Dan kamu
39
bahwa sikap adil kepada istri-istri yang dipoligami tidak akan bisa sama
seperti dari segi besarnya perasaan cinta, syahwat, dan jima’ nya.
itu Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam lebih besar rasa cintanya kepada
yang aku mampu, maka janganlah engkau cela aku pada apa yang
Engkau miliki dan tidak aku miliki, yaitu hati.” Perasaan cinta dan kasih
sayang adalah murni pemberian Allah SWT. Begitu juga hal nya dengan
57
Ibid
40
BAB III
PEMBAHASAN
condong atau berpihak kepada salah satunya adalah sebuah kezaliman yang
undang dan bagaimana sanksinya jika alasan tersebut tidak dipatuhi suami.
Kenyataan banyak suami yang berpoligami tidak sesuai dan tidak menurut
isteri itu menjadi sama. Keseimbangan kedudukan suami atau isteri dapat
pribadi kearah yang lebih baik demi tercapainya kesejahteraan baik spiritual
maupun material.
41
asa dan akhirnya tidak mau mengrus segala hal yang harusnya menjadi
haknya. Dalam Islam, hal ini sebaiknya dihindari. Islam telah mengatur
yang sama sebagaimana ia menjadi istri. Suami tetap harus member nafkah
bekal izin dari pengadilan agama (UU No.1 Tahun 1974 Pasal 3, 4, dan 5).
Adapun izin tersebut pun hanya bisa diberikan jika syarat-syarat dari
sebagi istri, sakit ataupun cacat serta mandul. Selain itu, sang suami harus
mengantongi surat izin dari istrinya yang terdahulu jika ingin berpoligami.
Kecuali jika sang istri berada dikondisi yang tidak bisa dimintai izin, maka
pernikahan Pasal 4 ini, suami bisa berpoligami jika sang istri memiliki cacat,
sakit ataupun mandul. Hal ini memberikan kesan bahwa perempuan yang
58
Pembenaran poligami (http:mbkelaton, disanasini.com/mindo_tok_guru/poligami.htm.Diakses
tanggal 25 Maret 2020.
59
Poligami sebagai bentuk kekerasan yang paling nyata atas harkat dan martabat perempuan
sebagai manusia di dalam hak hukum sosial budaya dan agama,
(http:jais,nemycom/poligami.cfm).Diakses tanggal 25 Maret 2020.
42
berdasarkan keikhlasan sang istri. Bukan dengan cara sang suami meminta,
akan tetapi berdasarkan kerelaan istrinya. Hal ini diperuntukan agar wanita
perkawinan poligami diatur dalam Buku Kesatu Bab Ketujuh dan Delapan
Pasal 139 hingga Pasal 179. Oleh karena itu, segala aturan yang mengatur
sebagai berikut:
prosesi Ijab-Qabul antar pengantin pria dengan sang wali dari wanita
yang akan dinikahinya. Prosesi ijab qabul itu sendiri telah diresepsikan
4. Bagi Warga Negara Indonesia Keturunan Cina atau Orang Timur Asing
sedikit perubahan.
5. Bagi Warga Negara Indonesia keturunan asing dan orang timur asing
pernikahan lainnya sudah tidak berlaku lagi. Dan hanya akan menggunakan
60
Hilman, Op.Cit, hlm. 5
44
(BW) bagi Warga Negara Indonesia keturunan Cina dan Erop.61 Dalam kitab
bagian dari sesuatu yang wajar dalam pernikahan. Adapun terkait batasan
atau bagian dari harta tersebut hanya dapat dilakukan dengan perjanjian
perkawinan62
rakyat Indonesia tanpa adanya perbedaan antara golongan dan daerah, maka
belah pihak serta pihak ketiga jika orang tersebut terkait di dalamnya.
61
Zain Badjeber, Tanya Jawab Hukum Perkawinan, (Jakarta : Sinar Harapan, 1985), hlm. 45
62
R Soetojo Prawirohamidjojo, Op.Cit, hlm. 45
45
Maka dari itu, dapat ditarik makna pokok dari Pasal 29 Undang-
4. Sah hanya jika telah disahkan oleh Kantor Urusan Agama atau Kantor
yang dibuat tidak boleh berisi batasan atas hak dan kewajiban istri ataupun
suami. Hal ini dikarenakan adanya hak asasi dari pernikahan yang tidak bisa
diganggu gugat.63
63
Martiman Prodjohamidjojo, Tanya Jawab Undang-Undang Perkawinan Indonesia,(Jakarta : PT.
Abadi, 2003), hlm. 29
46
Perjanjian tersebut tidak dapat dirubah dengan cara apapun dan berlaku
ketiga. Pihak ketiga tersebut bisa saja memberikan pemberian atau hadiah
harus dengan ketetapan bahwa harta tersebut tidak jatuh ke dalam harta
Pengadilan negeri di wilayah hukum tempat suami istri tersebut berada. Hal
ditujukan agar diketahui oleh banyak orang dan juga pihak ketiga yang
terkait di dalamnya.
64
Endang Sumiarni, Kedudukan Suami Isteri Dalam Hukum Perkawinan (Kajian
KesetaraanJender Melalui Perjanjian Kawin), (Yogyakarta : Wonderful Publishing Company,
2004), hlm. 40
47
mengguggatnya.
bahwa:
1. Terkait harta bersama tersebut, suami dan istri dapat bertindak sesuai
terdapat dua bentuk objek yang dapat dijadikan sebagai pokok atau isi dari
Pernikahan Pasal 36
48
sebagai berikut:
1. Harta bawaan. Merupakaan bawaan dari suami ataupun istri. Harta yang
hubungan pernikahan. Harta ini bisa berasal dari hasil kerja sang istri
ataupun suami. Setiap daerah memiliki sebutan yang berbeda untuk harta
bersama ini.
3. Harta warisan yang dimiliki oleh salah satu pihak selama pernikahan.
Merupakan harta yang dimiliki oleh salah satu pihak karena pemberian
orang lain.
dalam Pasal 139 sampai dengan Pasal 179 KUHP. Rincian atau penjelasan
calon suami istri yang dirasa akan melakukan penyimpangan dari hukum
pernikahan juga bersifat permanen atau tidak bisa dirubah isi perjanjiannya.
membawa manfaat bagi pelaku di dalamnya. Hal ini tentu memiliki kaitan
oleh masing-masing pihak ketika mereka telah menikah maka harta tersebut
atau asas percampuran seutuhnya. Dalam artianya jika sang suami memiliki
harta bawaan sebelum menikah, maka harta tersebut akan menjadi harta
milik bersama ia dan istrinya. Begitu pula sebaliknya hal yang sama berlaku
jika sang istri memiliki harta bawaan dan setelah menikah harta tersebut
65
H.F.A. Vollmar, Hukum Keluarga Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata,(Bandung :
Tarsito, 1982), hlm. 59
50
suami ataupun istri memiliki hak atau kebebasan dalam mengatur perihal
mereka akan tetap menjadi milik pribadi mereka ataukah akan menajdi milik
disebutkan bahwa:
2. Harta bawaan istri ataupun suami yang berasal baik dari warisan, hadiah
ataupun dari cara lain merupakan harta bawaan masing-masing yang hak
bulat adalah harta yang diperoleh bersama ketika telah menikah. Sedangkan
66
R. Soetojo Prawirohamidjojo, Op.cit., hlm. 58.
51
bawaannya sebelum menikah atas suami yang mungkin tidak baik. Harta
tersebut bisa berupa harta bergerak dan harta tak bergerak yang dibawa
oleh sang istri ketika menikah. Jika dilakukan pernikahan dengan system
harta yang telah bersatu tersebut. Oleh karenanya, agar harta tersebut
terhindar dari kekuasaan penuh suami yang mungkin tidak baik maka
aturan bahwa harta yang ia miliki tidak dapat diambil alih oleh suaminya
kecuali dengan izin yang telah diberikan. Jadi, perjanjian pernikahan ini
oleh istrinya.
pihak jika mereka tidak ingin mencampur nya. Selain itu, perjanjian
ini pula dapat menjadi pelindung dari akibat adanya hutang piutang
aturan dan syarat yang telah ditentukan oleh hukum yang berlaku.
pernikahan tersebut dapat dilakukan oleh minimal dua orang dan tidak
menutup kemungkinan dilakukan oleh lebih dari dua orang sebagai pihak
terkait. Akan tetapi perjanjian pernikahan tersebut tidak bisa dibuat oleh
pihak-pihak yang lebih dari dua orang tersebut. Mereka hanya berfungsi
67
J. Satrio, Op.cit., hlm. 148-149.
53
secara bebas oleh para pihak yang terkait di dalam perjanjian perkawinan
tersebut dapat ditentukan oleh mereka. Hal ini seperti yang diatur dalam
perjanjian perkawinan ini memiliki batasannya. Calon suami atau istri tidak
tersebut dilangsungkan.
bisa berlaku setelah pernikahan dilangsungkan. Jika kedua belah pihak tidak
jadi menikah maka perjanjian pernikahan pun tidak bisa dianggap sah atau
54
yang dilakukan oleh suami atau istri untuk menjaga harta bawaan mereka
dari asas pencampuran bulat harta kepunyaan mereka. Selain itu, perjanjian
setelah menjadi suami istri.Terkait hal wewenang dan hak atas kewenangan
harta dalam pernikahan poligami tidak diatur terperinci dalam pasal tersebut.
seterusnya tidak memiliki hak atas harta bersama yang dimiliki oleh sang
Pasal 56 huruf c yang menjelaskan bahwa setiap istri memiliki hak terhadap
harta bersama yang dimilikinya bersama sang suami sejak mereka menikah
bahwa yang berhak dan/atau dapat bertindak atas harta bersama dalam
hak mereka dan mereka berdualah yang berhak dan berwenang bertindak
atas harta yang diperoleh mereka dalam perkawinan suami dengan isteri
yang pertama.
55
dalam masa perkawinan suami dengan isteri kedua merupakan hak suami
dan kedua isterinya tersebut dengan bagian yang sama dan mereka
bertigalah yang berhak untuk bertindak atas harta bersama yang diperoleh
diperoleh dalam masa perkawinan suami dengan isteri ketiga merupakan hak
suami dan ketiga isterinya tersebut dengan bagian yang sama, dan mereka
berempatlah yang berhak untuk bertindak atas harta bersama yang diperoleh
yang sama dan mereka berlimalah yang berhak untuk bertindak atas harta
keempatnya tersebut.
56
pernikahan merupakan suatu prosesi yang suci dan sacral. Maka dari itu
Setiap rumah tangga harus berupaya dengan sekuat tenaga untuk menjaga
suci dan sakralnya pernikahan mereka. Bahkan mirisnya tak sedikit kaum
pranikah ini bisa menjadi jalan untuk melindungi diri dari kemungkinan-
biaya pendidikan dan kehidupan anak ataupun perceraian serta hal penting
pranikah.69
68
Jurnal Rahima online
69
Ibid
57
perkawinan yakni harta dan status anak dari hasil pernikahan. KUHP tidak
membedakan antara harta bersama dan harta bawaan. Semua harta tersebut
disebut sebagai harta yang tunduk pada hukum perkawinan. Sebagai contoh
saat itu kondisinya tidak memiliki harta apapun selain pakaian yang
dari pernikahan tersebut adalah sebanyak 100 Milyar Rupiah tadi. Jika suatu
saat terjadi perceraian maka, pihak wanita (Y) akan mendaptkan harta dari
dengan jalan memberikan perbedaan antara harta bawaan dan harta yang
1974 tentang perjanjian pranikah ini ternyata hanya akan melindungi pihak
yang kaya ketika mereka menikah dan akan berdampak pada pasangannya
yang kurang mampu. Hal ini dikarenakan harta bawaan yang dituang dalam
perjanjian perkawinan atau pranikah tidak dapat dimiliki oleh sang pasanagn
yang kurang mampu ekonominya jika suatu saat terjadi perpisahan antara
kedua.70
dari kedua mempelai itu sendiri. Mengingat perihal isi dari perjanjian
satu. Namun, jika ada perjanjian pernikahan, maka bisa saja harta bawaan
campur tangan pihak lain. Perjanjian perkawinan harus berisi hal-hal yang
tidak menyimpang dari norma agama, hukum dan kesusilaan. Karena pada
70
Muhammad Afandhi Nawawi, “Perjanjian Pra-Nikah”, tanggal 9 September 2005,
(vandy@cbn.net.id). Tulisan ini adalah tanggapan terhadap artikel Jurnal Hukum Jentera
online,“Perjanjian Pranikah : Solusi Untuk Semua?”, 31 Oktober 2005, (http://www.hukum.on-
line.com),diakses pada 25 Maret 2020.
71
Republika online, “Perjanjian sebelum Perkawinan, Perlukah?”, Minggu, 18 Februari 2001,
(http://www.republika.co.id/koran_detail.asp?id=19353&kat_id=59), diakses pada 25 Maret 2020.
59
pelindung bagi pihak istri ataupun suami (M. Rezfah Omar, pengacara LBH
APIK Jakarta). Perjanjian perkawinan ini bisa menjadi dokumen yang sah
dan bisa menjadi pegangan jika suatu waktu kedua belah pihak hendak
menjadi kuat dimata hukum. Jika tidak demikian maka isi perjanjian tersebut
menjadi tidak kuat posisinya.72 Perjanjian pranikah ini dibuat dengan alasan
sebagai berikut:
maka kedua harta mereka akan bercampur dan tidak dapat dipisah. Jadi,
72
Kompas Cyb er Media Online, “Perjanjian Prapernikahan dan Manfaatnya”, Minggu, 30 Mei
2004.
60
Hutang yang menjadi maksud dari isi perjanjian ini adalah hutang yang
biasanya harus menuliskan terkait perkara nafkah atau biaya yang harus
diberikan sang suami untuk anak-anak mereka. Baik biaya hidup, biaya
syarat yang dapat menjadi pengajuan oleh calon istri menjadi tidak wajib
bagi sang calon suami. Perjanjian ini tidak dapat mempengaruhi akad nikah
tersebut maka tidak menjadi masalah. Akan tetapi, jika sang suami tidak
73
Mike Rini, “Perlukah Perjanjian Pra-nikah?”, dalam Danareksa online, 2 Maret 2005,
(http://www.danareksa.com/home/index_uangkita.cfm?act=), diakses pada 25 Maret 2020.
61
keuntungan bagi istrinya seperti suami tidak akan meninggalkan desa selama
menikah, tidak akan meminta cerai ataupun tidak akan menikah lagi dan
sebagainya.
menyanggupi maharnya. Namun jika tidak bisa menjalankan syarat itu maka
sang suami haruslah mencari mahar yang lain untuk diberikan kepada sang
harus bersifat masuk diakal serta bisa dipenuhi oleh suami. Isi perjanjian
juga tidak bisa melenceng dari tujuan pernikahan mereka. Seperti misalnya
sang istri meminta suaminya untuk tidak membawanya pindah dari tempat
tetap sah. Namun jika isi perjanjiannya sangat bertentangan dengan makna
akad nikah contohnya, suami tidak bisa mendapatkan bagian rumah yang
dimiliki oleh istrinya nanti, maka perjanjian tersebut tidak dapat dilanjutkan
dengan artian batal dan juga mengakibatkan akad nikah mereka pun batal.74
umat Islam di Indonesia. Praktek poligami ini tak sedikit membawa dampak
Indonesia telah memberikan syarat-syarat yang sangat teliti dan ketat. Yaitu
sang suami harus bisa memastikan bisa bersikap adil dalam memberikan
kasih sayang kepada istri-istri dan anak-anaknya. Adil dalam hal ini
74
Kamil Musa, Suami-isteri Islam, Cet. Ke-2, (Bandung : Remaja Rosdakarya, 2000),hlm. 46.
62
dinilai dapat menjadi satu solusi untuk mencegah adanya poligami sehingga
pernikahan mereka akan bisa terus harmonis dan terhindar dari poligami
atau hal-hal buruk lain yang mungkin akan terjadi dipernikahan. Meskipun
hal ini terkadang dalam masyarakat dianggap buruk karena sang istri tidak
ingin diduakan, akan tetapi untuk mencapai kemaslahatan bagi sang istri dari
KUHP). Adapun persetujuan yang telah dibuat dan telah berlaku ini tidak
dibuat dengan niatan yang baik bagi keduanya. Maka dari itu jika dalam
pernikahan terjadi hal yang dinilai merugikan salah satu pihak dalam
Pengadilan baik untuk menuntut isi dari perjanjian ataupun menuntut ganti
yang melanggar isi dari perjanjian perkawinan tersebut maka akan mendapat
seperti hukuman ganti rugi. Akan tetapi, hal tersebut tidak bisa langsung
terjadi kecuali jika pihak yang dirugikan melakukan tuntutan atas tindakan
penting dalam perjanjian pernikahan tersebut adalah niatan baik dari kedua
pihak serta rasa patuhnya mereka terhadap perjanjian tersebut. Namun jika
talak untuk istrinya setelah selesai membacakan akad nikahnya. Jika suatu
hari terjadi pelanggaran terhadap perihal yang tertuang dalam shighat talik
talak oleh sang suami dan sang istri tidak rela atas hal tersebut maka, sang
Taklik Talak. Taklik Talak ini adalah pernyataan yang tertera dalam akta
nikah dan berisi pernyataan keinginan sepihak dari suami yang diungkapkan
setelah ikar akad nikah. Taklik talak berisi tentang perlindungan akan hak
istri tidak memberikan perhatian kepada taklik talak yang diucapkan suami
dalam rumah tangga. Padahal mereka memiliki hak atas perlindungan dan
karena sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 51 KHI taklik talak adalah
ikrar sepihak dari sang suami kepada istrinya. Maka dari itu, perjanjian
tersebut hanya dapat memberikan hak pengajuan gugatan kepada sang istri
75
http://www.pa-palangkaraya.net/en/artikel/107-pelanggaran-perjanjian-perkawinan.html. Diakses
tanggal 25 Maret 2020.
65
Jika Ya, maka dalam pelanggaran taklik talak tersebut harus dengan tegas
dijawab dengan Ya atau Bisa atas perjanjian yang diucapkan atas dua pihak
taklik talak tersebut telah menyebabkan permaslahan yang sangat berat disisi
istrinya, ataupun keburukan yang terus menerus terjadi pada istrinya maka
pengadilan bisa menerima usulan atau gugatan cerai sang istri tersebut. Pada
atau terbatas seperti yang telah diatur pada Pasal 19 Peraturan Pemerintah
menggugat cerai suaminya. Hal ini telah sesuai dengan praktik lazimnya
yang disebut dengan cerai gugat ke Pengadilan Agama demi memutus ikatan
pernikahan. Cerai gugat berarti gugatan seorang istri yang menggugat cerai
76
Ibid
66
hubungan antara penggugat yaitu istri dan yang digugat atau suaminya
dari sang istri. Perbedaannya adalah tidak semua kasus cerai gugat harus
Tahun 1989 tentang Pengadilan Agama dan Pasal 115 KHI).”79 Lebih lanjut
dalam Pasal 116 KHI dinyatakan bahwa perceraian dapat terjadi dengan
yang lain tanpa izin, alasan dan tanpa kabar serta tanpa alasan yang sah
didalamnya.
77
Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta : Sinar Grafika, 2006), hal. 77
78
Ibid, hlm. 85
79
Kompilasi Hukum Islam, (Bandung, Fokus Media, 2007), hlm. 38.
67
3. Jika salah satu pihak masuk penjara selama lima tahun atau lebih dalam
4. Pihak suami atau istri melakukan hal yang kejam dan aniaya kepada
salah satu pihak dalam rumah tangga atau biasa disebut dengan KDRT.
5. Suami atau istri mendapat cacat atau sakit yang tidak bisa disembuhkan
mereka.
8. Salah satu pihak melakukan pindah agama atau murtad sehingga terjadi
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan.
1. Isi dari perjanjian perkawinan antara suami dan isteri yang dipoligami pada
umumnya memuat tentang hak-hak dan kewajiban dalam hal harta benda
memperoleh nafkah lahir dan batin, hak asuh anak bila terjadi perceraian.
Yang dimaksud dengan nafkah lahir adalah nafkah yang wajib dipenuhi oleh
sedangkan nafkah batin adalah nafkah yang wajib diberikan oleh seorang
suami terhadap isterinya yang menyangkut perlakuan baik, kasih sayang dan
hubungan suami isteri yang wajar sehingga baik suami maupun isteri
anak bila terjadi perceraian pada umumnya adalah apabila anak-anak yang
18 tahun) maka hak asuh dari anak-anak tersebut jatuh ke tangan ibunya,
dengan catatan si ibu tidak dicabut kekuasaan orang tuanya oleh hakim.
sebagai pengganti hak-hak pihak yang dirugikan. Dalam hal ini bentuk ganti
rugi yang dimaksud adalah ganti rugi yang telah disepakati oleh kedua belah
pihak dan telah dituangkan dalam perjanjian perkawinan, misalnya saja ganti
perkawinan yang dilakukan oleh suami dapat dijadikan alasan oleh isteri
segala konsekuensinya.
4.2 Saran.
undangan yang berlaku sehingga hak-hak dari isteri yang dipoligami tidak
poligami memiliki suatu kepastian hukum yang jelas dalam penuntutan hak-
perceraian.
hak dari isteri yang dipoligami tersebut dapat terlindungi dengan baik sesuai
DAFTAR PUSTAKA
Buku-Buku :
Abidin, Slamet, dkk, Fiqih Munakahat, Bandung : CV. Pustaka Setia, 1999.
Al-Athar, Abd Nashr Taufik, Saat Anda Meminang, Jakarta : Terj. Abu Syarifah
danAfifah Pustaka Azam, 2000.
Ali, Zainuddin, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta : Sinar Grafika, 2006.
Al-Qur’an dan Terjemahnya, Madinah : Pemerintah Kerajaan Arab Saudi, 2003.
Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Bandung
:PT. Citra Aditya Bakti, 2006.
Badan Pembinaan Hukum Nasional, Analisis dan Evaluasi Hukum Tentang 20
TahunPelaksanaan Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun
1974, Jakarta :Badan Pembinaan Hukum Nasional, 1995.
Badjeber, Zain, Tanya Jawab Hukum Perkawinan, Jakarta : Sinar Harapan, 1985.
Basyir, Ahmad Azar, Hukum Perkawinan Islam, Yogyakarta, Fakultas
HukumUniversitas Islam Indonesia, 1995.
Departemen Agama RI, Undang-undang No. 1 Tahun 1974.
Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama, Kompilasi Hukum Islam, 2000.
Engineer, Asghar Ali, Pembebasan Perempuan, Yogyakarta : LKIS, 2003.
Furchan, Arief, Pengantar Metode Penelitian Kualitatif, Surabaya : Usaha
Nasional,1997.
Hadikusuma, Hilman, Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundangan,
HukumAdat, Hukum Agama, Cet-1, Bandung: Mandar Maju, 1990.
Hamdanah, Musim Kawin di Musim Kemarau (Studi atas Pandangan
UlamaPerempuan Jember tentang Hak-hak Reproduksi Perempuan),
BigrafPublishing, Yogyakarta, 2005.
Harahap, M. Yahya, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama,
Jakarta :Sinar Grafika, 2003.
Ibrahim, Johannes dan Lindawaty Sewu, Hukum Bisnis dalam Persepsi
ManusiaModern, Bandung : Refika Aditama, 2004.
Ibrahim, Johnny, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Malang :
UMMPress, 2007.
Lubis, M. Solly, Filsafat Ilmu dan Penelitian, Bandung : Mandar Madju, 1994.
71
Soekanto, Soerjono, Intisari Hukum Keluarga, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung,
1992.
_______________, Pokok-pokok Sosiologi Hukum, Jakarta : PT. RajaGrafindo
Persada, 1999.
_______________, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Jakarta :
Raja Grafindo Persada, 2001.
Soemiyarti, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan,
Yogyakarta : Liberty, 1982.
Subekti, “Hukum Perjanjian”, Jakarta : Cet. XII, PT. Intermasa, 1990.
Sudarsono, Kamus Hukum, Jakarta : Rineka Cipta, tt.
Sumiarni, Endang, Kedudukan Suami Isteri Dalam Hukum Perkawinan
(KajianKesetaraan Jender Melalui Perjanjian Kawin), Yogyakarta :
Wonderful Publishing Company, 2004.
Supramono, Gatot, Segi-segi Hukum Hubungan Luar Nikah, Jakarta : Djambatan,
1998.
Supranto, J., Metode Penelitian Hukum dan Statistik, Jakarta : PT. RajaGrafindo
Persada, 2003.
Suprapto, Bibit, Liku-liku Poligami, Yogyakarta : Al Kautsar, 1990.
Suseno, Franz Magnis, Etika Politik : Prinsip-prinsip Moral Dasar
KenegaraanModern, Jakarta : Gramedia, 1987.
Vollmar, H.F.A., Hukum Keluarga Menurut Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata, Bandung : Tarsito, 1982.
Widjaja, Gunawan, Memahami Prinsip Keterbukaan Dalam Hukum Perdata
(SeriHukum Bisnis), Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2006.
Wignjodipoero, Soeroso, Pengantar dan Asas-asas Hukum Adat, Jakarta : Haji
Masagung, 1990.
Wuisman, JJ.M., Penelitian Ilmu-ilmu Sosial, Asas-asas, Penyunting M. Hisyam,
Jakarta : Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, 1996.
Zuhri, Mohammad, Perintah dan Larangan Allah Ta’ala dalam Relasi Suami
Isteri, Nuansa Aulia, Bandung, 2007.
73
Peraturan Perundang-Undangan :
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 9 Tahun 1975 tentang Peraturan Pelaksana
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
Kompilasi Hukum Islam
Internet :
http://www.pa-palangkaraya.net/en/artikel/107-pelanggaran-perjanjian
perkawinan. html.
Jasin, Surjadi, Perjanjian Perkawinan Bisa Dianggap Menyinggung Perasaan,
Artikel Internet.
Jurnal dunia-ibu.org online, “Perjanjian Pranikah”, copyright 2001-2002,
(http://www.duniaibu.org/html/ perjanjian_pra_nikah.html).
Jurnal Rahima oneline.
Kompas Cyb er Media Online, “Perjanjian Prapernikahan dan Manfaatnya”,
Minggu, 30 Mei 2004.
Nawawi, Muhammad Afandhi, “Perjanjian Pra-Nikah”, tanggal 9 September
2005, (vandy@cbn.net.id). Tulisan ini adalah tanggapan terhadap
artikel JurnalHukum Jentera online, “Perjanjian Pranikah : Solusi
Untuk Semua?”, (http://www.hukum.on-line.com).
Republika online, “Perjanjian sebelum Perkawinan, Perlukah?”,
(http://www.republika.co.id/koran_detail.asp?id=19353&kat_id=5).
Rini, Mike, “Perlukah Perjanjian Pra-nikah?”, dalam Danareksa online,
(http://www.danareksa.com/home/index_uangkita.cfm?act=).
www.hukumoneline.com.