Selain ayat diatas terdapat beberapa ayat yang serupa membahas ihwal manusia
ْ وحي فَقَع
َ ُوا لَهۥُ ٰ َس ِج ِد
ين ُ فَإ ِ َذا َس َّو ۡيتُهۥُ َونَفَ ۡخ
ِ ُّت فِي ِه ِمن ر
Artinya: “Maka apabila Aku telah menyempurnakan kejadiannya, dan telah meniupkan
kedalamnya ruh (ciptaan)-Ku, maka tunduklah kamu kepadanya dengan bersujud “(Q.S. Al-
Hijr :29)
ۖ
َ ت َونَ ۡبلُو ُكم بِٱل َّشرِّ َو ۡٱل َخ ۡي ِر ِف ۡتنَ ٗة َوإِلَ ۡينَا تُ ۡر َجع
ُون ِ ۗ س َذٓائِقَةُ ۡٱل َم ۡو ۡ
ٖ ُكلُّ نَف
Artinya : “Tiap-tiap yang bernyawa akan merasakan mati. Kami akan menguji kamu dengan
keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya). Dan hanya kepada
Kamilah kamu dikembalikan” (Q.S Al-anbiyya : 35)
Dari ayat diatas dapatlah dipahami bahwa konci dasar kehidupan manusia adalah roh.
Roh yang membuat manusia mempunyai pendengaran, penglihatan dan al-af’idah. Jika
dipahami secara filosofis apa yang dinyatakan oleh Allah ini merupakan sumber manusia
memperoleh ilmu, karena ilmu itu diperoleh melalui pendengaran, penglihatan dan al-
af’idah, produk dari ketiga sumber ilmu tersebut adalah pengetahuan. Dalam hal ini, Al-
Qur’an membedakan secara mendasar pengertian qalbu dan al-af’idah. Pengertian qalbu yang
digunakan dalam al-qur’an banyak merujuk pada persoalan fisik, yaitu hati dalam bentuk
fisik. Sementara itu pengertian al-af’idah dalam al-qur’an tidak berbicara soal fisik melainkan
hal yang bersifat non fisik dan tidak tepat jika diterjermahkan sebagai hati dalam bahasa
Indonesia. Penjelasan diatas memberikan makna bahwa hakikat roh adalah bimbingan dan
pimpinan Allah yang diberikan kepada manusia, hal ini sekaligus menjadi pembeda antara
manusia dengan makhluk allah lainnya. Roh tidak lain adalah daya yang bekerja secara
spiritual untuk memahami kebenaran, suatu kemampuan mencipta yang bersifat konseptual
yang menjadi pusat lahirnya kebudayaan. Hakekat roh tidak dapat diketahui secara material
karena roh bersifat gaib.
C. Menggali Sumber Psikologis, Sosiologis dan Filosofis serta Teologis tentang Konsep
Ketuhanan
1. Bagaimana tuhan dirasakan kehadiran-Nya dirasakan dalam perspektif psikologis
Menurut hadist Nabi,
“orang yang sedang jatuh cinta selalu mengingat dan menyebut orang yang dicintai-nya”
(man ahabba syai’an katsura dzikruhu), kata Nabi juga “orang bisa diperbudak oleh
cintanya” (man ahabba syai’an fahuwa ‘abduhu). Ciri-ciri cinta sejati menurut Nabi: (a)
lebih suka berbicara dengan yang dicintai dibanding dengan orang lain, (b) lebih suka
berkumpul dengan yang dicintai dibanding dengan orang lain, (c) lebih suka mengikuti
kemauan yang dicintai dibanding dengan kemauan orang lain maupun dirinya sendiri. Bagi
orang yang telah jatuh cinta kepada Allah, maka ia lebih suka berbicara kepada Allah Swt
dengan membaca firman-Nya, lebih suka bercengkerama dengan Allah dalam i’tikaf dan
lebih suka mengikuti perintah Allah daripada perintah yang lain. Saat itulah kehadiran Allah
dapat kita rasakan.
E. Mendeskripsikan Esensi dan Urgensi Visi Ilahi Untuk Membangun Dunia yang
Damai
Dalam perspektif Islam, manusia diciptakan sebagai makhluk yang sempurna.
Kesempurnaan manusia ditandai dengan kesiapannya untuk berbakti kepada tuhan karena
dalam dirinya telah ditiupkan salah satu tajalli tuhan yaitu ruh. Dengan kata lain manusia
lebih bisa mendengar dan mengikuti tuntunan hati nurani, karena manusia spiritualitasnya
begitu maksimal, namun karena materi yang dalam kisah Adam disimbolkan dengan
syajaroh al-khuldi (pohon keabadian) maka manusia sedikit demi sedikit mulai kehilangan
nuansa spiritual dan kehilangan superioritas ruh sebagai penggerak kehidupan manusia dalam
koridor visi Ilahi.
Dalam perspektif tasawuf, kejatuhan manusia membuat ia semakin jauh dari tuhan (di
ibaratkan dalam kisah Adam sebagai ketergelinciran manusia dari syurga yang luhur dan suci
ke dunia yang rendah dan penuh problematika). Ketika manusi makin jauh dari tuhan maka ia
semakin jauh dari kebenaran dan kebaikan tuhan. Tampak dari uraian diatas bahwa manusia
adalah makhluk yang menyimpan kontradiksi didalam dirinya. Disatu sisi manusia adalah
makhluk spiritual yang cenderung kepada kebajikan dan kebenaran, namun disisi lain
keberadaan unsur materi dan ragawi dalam diri manusia memaksanya untuk tunduk pada
tuntutan kesenangan jasmaniah. Seringkali terjadi konflik internal dalam diri manusia, antara
dorongan spiritual dan material sehingga dalam khazanah Islam dikenal ada tiga tipologi
jiwa manusia yaitu an-nafs al-ammarah (jiwa yang selalu tergerak melakukan keburukan),
an-nafs al-lawwamah (jiwa yang selalu mencela diri), an-nafs al-muthma’innah (jiwa yang
tenang). Agar manusia dapat tetap konsisten dalam kebaikan dan kebenaran tuhan, maka
manusia dituntut untuk membangun relasi yang baik dengan tuhan. Manusia tidak akan
mampu membangun relasi yang harmonis dengan tuhan apabila hidupnya lebih di dominasi
oleh kepentingan ragawi dan bendawi. Oleh karena itu sisi spiritualitas sebagai peran utama
harus dimainkan dalam kehidupan manusia sehingga ia mampu merasakan kehadiran tuhan
dalam setiap gerak dan sikapnya, apabila manusia telah mampu mengasah spiritualitasnya
sehingga dapat merasakan kehadiran tuhan maka ia akan dapat melihat segala sesuatu dengan
visi tuhan (ilahi). Visi ilahi inilah yang saat ini dibutuhkan oleh manusia sehingga setiap
tindak tanduk dan sikap perilaku manusia didasari dengan semangat kecintaan kepada Tuhan
sebagai manifestasi kebenaran universal dan pengabdian serta pelayanan kepada sesama
ciptaan tuhan.