Anda di halaman 1dari 12

LAPORAN PENDAHULUAN

A. KONSEP MEDIS
1. Definisi DHF
Penyakit DHF adalah penyakit yang ditandai dengan demam tinggi
mendadak tanpa sebab yang jelas dan berlangsung terus menerus
selama 2-7 hari, maifestasi perdarahan termasuk uji tourniquet positif,
trombositopeni, dan hemokosentrasi (peningkatan hematocrit ≤20 %)
(Andra saferi Wijaya, 2013).
Menurut Soedarto (2012) DHF (Dengue haemorragic Fever) dan
Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah penyakit demam akut yang
dapat menyebabkan kematian dan disebabkan oleh empat serotipe
virus dari genus Flavivirus,virus RNA dari keluarga Flaviviridae.
Infeksi oleh satu serotipe virus dengue menyebabkan terjadinya
kekebalan yang lama terhadap serotipe virus tersebut, dan kekebalan
sementara dalam waktu pendek terhadap 78 serotipe virus dengue
lainnya. Pada waktu terjadi epidemik di dalam darah seorang penderita
dapat beredar lebih dari satu serotipe virus dengue.
Menurut Cris Tanto (2014) Demam Berdarah Dengue (DBD)
adalah penyakit demam akut akibat infeksi virus dengue, dengan
manifestasi yang sangat bervariasi, mulai dari demam akut hingga
sindrom renjatan yang dapat menyebabkan modalitas.
2. Etiologi
Penyakit demam dengue (DD) dan demam berdarah dengue (DBD)
disebabkan oleh virus dengue yang termasuk kelompok B Arthood
Borne Virus (Arboviroses) yang sekarang dikenal sebagai Flavivirus,
family Flaviricae ,dan mepunyai 4 jenis serotipe yaitu : DEN-1, DEN-
2,DEN3,DEN-4. Infeksi salah satu serotipeakan menimbulkan antibodi
terhadap serotipe yang bersangkutan, sedangkan antibodi terhadap
serotipe lain. Serotipe DEN-3 merupakan serotipe yang dominan dan
diasumsikan banyak yang menunjukkan manifestasi klinik yang berat
(Hadinegoro, 2004).Dengan 9 DEN-3 serotipe terbanyak, infeksi salah
satu serotipe yang bersangkutan, sedangkan antibodi yang terbentuk
terhadap serotipe lain sangat kurang, sehingga tidak dapat memberkan
perlindungan yang memadai terhadap serotipe lain tersebut. Seseorang
yang tinggal di daerah epidemis dengue dapat terinfeksi oleh 3 atau 4
serotipe selama hidupnya.Keempat serotipe virusdengue dapat
ditemukan di berbagai daerah di Indonesia (Sudoyo Aru,dkk
2009.Dikutip dari buku NANDA Nic-Noc Jilid 1, 2016).
3. Patofisologi
Virus dengue ditransmisi melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti
atau Aedes albopictus. Vektor tersebut tersebar meluas di daerah tropis
dan sub tropis di berbagai belahan dunia. Virus dengue masuk ke
sirkulasi perifer manusia melalui gigitan nyamuk. Virus akan berada di
dalam darah sejak fase akut/fase demam hingga klinis demam
menghilang. Demam tersebut diakibatan oleh virus yang masuk
melalui kulit yang terigigit nyamuk menyebabkan viremia yang dapat
menstimulasi sel makro DMN untuk produksi pirogen endogen lalu
masuk ke hipotalamus yang dapat mengacaukan termogulasi
menjadikan pasien hiperpireksia sehingga dapat menyebabkan
peningkatan suhu tubuh (hipertermi).
Secara klinis, perjalanan penyakit dengue dibagi menjadi tiga,
yaitu fase demam (febrile), fase kritis, dan fase penyembuhan.Fase
demam berlangsung pada demam hari ke-1 hingga ke 3, fase kritis
terjadi pada dmam hari ke-3 hingga 7, dan fase penyembuhan terjadi
setelah demam hari ke-6 sampai 7. Perjalanan penyakit tersebut
menentukan dinamika perubahan tanda dan gejala klinis pada pasien
dengan infeksi demam berdarah dengue (DBD).
Demam merupakan tanda utama infeksi dengue, terjadi mendadak
tinggi, selama 2-7 hari.Demam juga disertai gejala konstitusional
lainnya seperti lesu, tidak mau makan dan muntah. Pada DHF, terjadi
peningkatan permeabilitas vaskuler yang menyebabkan kebocoran
plasma ke jaringan, sedangkan pada demam dengue tidak terjadi ini.
Kondisi tersebut dapat mengakibatkan syok hipovolemi. Peningkatan
permeabilitas vaskuler akanterjadi pada fase kritis dan berlangsung
maksimal 48 jam. Hal tersebut yang menjadi alasan mengapa cairan
diberikan maksimal 48 jam.
Patofisiologi primer DBD dan dengue syock syndrome (DSS)
adalah peningkatan akut permeabilitas vaskuler yang mengarah ke
kebocoran plasma ke dalam ruang ekstravaskuler, sehingga
menimbulkan hemokonsentrasi dan penurunan tekanan darah.Pada
kasus berat, volume plasma menurun lebih dari 20%, hal ini didukung
penemuan post mortem meliputi efusi pleura, hemokonsentrasi dan
hipoproteinemi. Kebocoran plasma terjadi akibat disfungsi endotel
serta peran kompleks dari sistem imun : monosit dan sel T, sistem
kompelemen, serta produksi mediator inflamasi dan sitokin lainnya.
Trombosiopenia pun terjadi akibat beberapa mekaisme yang kompleks,
seperti gangguan megakariositopoiesis (akibat infeksi sel
hematopoietic), serta peningkatan destruksi dan konsumsi trombosit.
Pada kasus DHF, tanda hepatomegali dan kelainan fungsi hati lebih
sering ditemukan.Manifestasi perdarahan yang sering di jumpai yaitu
perdarahan kulit (petekie) da mimisan (epitaksis). Tanda perdarahan
lainnya yang patut diwaspadai antara lain melena, hematemesis, dan
hematuria. Pada kasus perdarahan spontan maka dapat di lakukan uji
turniket (Cris Tanto, 2014, dikutip dalam Kurniawati, 2016).
Perdarahan tersebut terjadi pada organ anak ginjal
suprarenalis.Kelenjar yang berada di atas ginal ini mempoduksi
hormon corticosteroid.Hormon ini meningkat empatkali lipat dari
normal.Ia yang membantu mekanisme tubuh mengangkat dirinya
sendiri dari ancaman syok, tetapi apabila kelenjar ini mengalami
perdarahan sehingga fungsinya terganggu, produksi hormon penangkal
syok tubuh akan berkurang. Kondisi itu yang menjadikan pasien lebih
rentan masuk kedalam syok, oleh karena mekanisme pertahanan syok
tubuhnya sudah kacau (Handrawan Nadesul, 2007).
4. Manifestasi Klinis
A. Mayor (Harus ada)
1) suhu tubuh lebih tinggi dari 37,8oC secara oral atau 38,3oC.
B. Minor (Mungkin ada)
1) Kulit kemerah-merahan
2) Hangat pada saat disentuh
3) Peningkatan frekuensi pernafasan
4) Takikardi
5) Menggigil atau merinding
6) Dehidrasi
7) Rasa sakit dan nyeri yang spesifik atau menyeluruh (mis. Sakit
kepala)
8) Malaise atau keletihan atau kelemahan Kehilangan selera
makan (Linda Juall, 2006)
5. Komplikasi
Komplikasi demam berdarah dengue menurut Chris Tanto (2014)
dikutip dalam kurniawati tahun 2016.
a. Ensefalopati dengue : edema otak dan alkalosis. Dapat terjadi
baik pada syok maupn tanpa syok.
b. Kelainan ginjal : akibat syok berkepanjangan.
c. Edema paru : akibat pemberian cairan berlebihan.
6. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang demam berdarah dengue menurut Chris
Tanto (2014) dikutip dalam kurniawati tahun 2016 :
a. Laboratorium (sesuaikan dengan perjalanan penyakit) : pada
hari ke-3 umumnya leukosit menurun atau normal, hematokrit,
mulai meningkat (hemokonsentrasi), dan trombositopenia
terjadi pada hari ke 3-7. Pada pemeriksaan jenis leukosit,
ditemukan limfositosis (peningkatan 15%) mulai hari ke-3,
ditandai adanya limfosit atipik.
b. Uji serologi : uji hemaglutinasi inhibisi dilakukan saat fase akut
dan fase konvalesens.
1) Infeksi primer. Titer serum akut <1:20 dan serum
konvalesens naik 4x atau lebih tetapi tidak melebihi 1:1280.
2) Infeksi sekunder. Titer serum akut <1:20 dan serum
konvalesens 1:2560 atau serum akut 1:20 dan konvalesens
naik 4x atau lebih.
3) Tersangka infeksi sekunder yang baru terjadi. Titer serum
akut 1:1280, serum konvalesens dapat lebih besar atau
sama.
c. Pemeriksaan radiologis untuk mendeteksi adanya efusi pleura :
Rontgen toraks posisi right lateral decubitus, USG.
7. Penatalaksanaan
Berdasarkan rekomendasi WHO 2011, prinsip umum terapi dengue
ialah sebagai berikut :
a. Pada fase demam, dapat diberikan antipiretik + cairan
rumatan / atau cairan oral apabila anak masih mau minum,
pemantauan dilakukan setiap 12-24 jam.
a) Medikamentosa
Antipiretik dapat diberikan, dianjurkan pemberian
parasetamol bukan aspirin, diusahakan tidak memberikan
obat-obat yang tidak diperlukan (misalnya antasid, anti
emetik) untuk mengurangi beban detoksifikasi obat dalam
hati, kortikosteroid diberikan pada DBD ensefalopati
apabila terdapat perdarahan saluran cerna kortikosteroid
tidak diberikan, antibiotik diberikan untuk DBD
ensefalopati.
b) Supportif Cairan
Cairan per oral + cairan intravena rumatan per hari + 5%
deficit, diberikan untuk 48 jam atau lebih, kecepatan
cairan IV disesuaikan dengan kecepatan kehilangan
plasma, sesuai keadaan klinis, tanda vital, diuresis, dan
hematokrit.
b. Pemberian cairan kristaloid isotonic selama periode kritis,
kecuali pada bayi usia < 6 bulan yang disarankan
menggunakan Nacl 0,45%.
c. Penggunaan cairan koloid hiperonkotik, misalnya dekstran 40,
dapat dipertimbangkan pada pasien dengan kebocoran plasma
yang berat, dan tidak ada perbaikan yang adekuat setelah
pemberian kristaloid.
d. Jumlah cairan yang diberikan sesuai dengan kebutuhan
rumatan di tambah dengan 5% untuk dehidrasi. Jumlah
tersebut hanya untuk menjaga agar volume intravascular dan
sirkulasi tetap adekuat.
e. Durasi pemberian terapi, cairan intravena tidak boleh melebihi
24-48 jam pada kasus syok. Pada kasus tanpa syok, durasi
terapi tidak lebih dari 60-72 jam.
f. Pada pasien obesitas, perhitungan volume cairan sebaiknya
menggunakan berat badan ideal.
g. Pemberian cairan selalu disesuaikan dengan kondisi klinis.
Kebutuhan cairan intravena pada anak berbeda dengan dewasa
h. Pemberian tranfusi trombosit tidak direkomendasikan pada
anak.
B.KONSEP KEPERAWATAN

1. Pengkajian
a. Identitas klien : terdiri dari nama, alamat, umur, status, diagnosa
medis, tanggal MRS, keluarga yang dapat dihubungi, catatan
kedatangan, no RM.
b. Riwayat kesehatan klien
1) Keluhan utama
Biasanya pasien datang ke RS dengan keluhan demam lebih dari 3
hari, tidak mau makan, terdapat bintik merah pada tubuh
2) Riwayat kesehatan sekarang
a. Suhu tubuh meningkat sehingga menggigil yang menyebabkan
sakit kepala.
b. Tidak nafsu makan, mual muntah, sakit saat menelan, dan
lemah.
c. Nyeri otot dan persendian.
d. Konstipasi dan bisa juga diare.
e. Mukosa mulut kering, perdarahan gusi, lidah kotor.
f. Batuk ringan.
g. Mata terasa pegal, sering mengeluarkan air mata (lakrimasi),
foto fobia.
h. Ruam pada kulit (kemerahan).
i. Perdarahan pada kulit ptekie, ekimosis, hematoma, dan
perdarahan lain : epitaksis, hematemesis, hematuria, melena.
3) Riwayat kesehatan dahulu
Tidak ada
4) Riwayat kesehatan keluarga
Tidak ada.
d. Pemeriksaan fisik
1. Pengkajian umum
Tingkat kesadaran : Lemah
a. Keadaan umum : sakit ringan, sedang, berat.
b. Keadaan gizi : tinggi badan dan berat badan dengan gizi baik,
sedang, buruk.
c. Tanda-tanda vital : suhu meningkat, tekanan darah pada DF &
DHF dapat meningkat, sedangkan pada DSS dapat menurun,
nadi pada DF & DHF takikardi, sedangkan pada DSS dapat
menurun, nadi pada DSS dapat cepat dan lemah serta ada
proses penyembuhan brakikardi, pernafasan dapat normal dan
meningkat, pada DSS cepat dan dangkal.
2. Pengkajian sistem tubuh
a. Pemeriksaan kulit dan kuku
a) Pemeriksaan kulit
Inspeksi : kebersihan, warna, pigmentasi,lesi/perlukaan,
pucat, sianosis, dan ikterik.
Normal: kulit tidak ada ikterik/pucat/sianosis.
Palpasi : kelembapan, suhu permukaan kulit, tekstur,
ketebalan, turgor kulit, dan edema.
Normal: lembab, turgor baik/elastic, tidak ada edema.
b) Pemeriksaan kuku
Inspeksi : kebersihan, bentuk, dan warna kuku
Normal: bersih, bentuk normaltidak ada tanda-tanda jari
tabuh (clubbing finger), tidak ikterik/sianosis.
Palpasi : ketebalan kuku dan capillary refile (pengisian
kapiler).
Normal: aliran darah kuku akan kembali < 3 detik.
b. Pemeriksaan kepala
Inspeksi : ukuran lingkar kepala, bentuk, kesimetrisan, adanya
lesi atau tidak, kebersihan rambut dan kulit kepala, warna,
rambut, jumlah dan distribusi rambut.
Normal: simetris, bersih, tidak ada lesi, tidak menunjukkan
tanda-tanda kekurangan gizi(rambut jagung dan kering).
Palpasi : Tidak ada pembengkakan/penonjolan, dan tekstur
rambut.
Normal: tidak ada penonjolan /pembengkakan, rambut lebat
dan kuat/tidak rapuh.
c. Pemeriksaan wajah
Inspeksi : warna kulit, pigmentasi, bentuk, dan kesimetrisan.
Normal: warna sama dengan bagian tubuh lain, tidak
pucat/ikterik, simetris.
Palpasi : nyeri tekan dahi, dan edema, pipi, dan rahang.
Normal: tidak ada nyeri tekan dan edema.
d. Pemeriksaan mata
Inspeksi: bentuk, kesimestrisan, alis mata, bulu mata, kelopak
mata, kesimestrisan, bola mata, warna konjunctiva dan sclera
(anemis/ikterik), penggunaan kacamata / lensa kontak, dan
respon terhadap cahaya.
Normal: simetris mata kika, simetris bola mata kika, warna
konjungtiva pink, dan sclera berwarna putih.
e. Pemeriksaan telinga
Inspeksi : bentuk dan ukuran telinga, kesimetrisan, integritas,
posisi telinga, warna, liang telinga (cerumen/tanda-tanda
infeksi), alat bantu dengar.
Normal: bentuk dan posisi simetris kika, integritas kulit bagus,
warna sama dengan kulit lain, tidak ada tanda-tanda infeksi,
dan alat bantu dengar.
Palpasi : nyeri tekan aurikuler, mastoid, dan tragus
Normal: tidak ada nyeri tekan.
f. Pemeriksan hidung dan sinus
Inspeksi : hidung eksternal (bentuk, ukuran, warna,
kesimetrisan), rongga, hidung (lesi, sekret, sumbatan,
pendarahan), hidung internal (kemerahan, lesi, tanda2 infeksi)
Normal: simetris kika, warna sama dengan warna kulit lain,
tidak ada lesi, tidak ada sumbatan, perdarahan dan tanda-tanda
infeksi.
Palpasi frontalis dan maksilaris (bengkak, nyeri, dan septum
deviasi)
Normal: tidak ada bengkak dan nyeri tekan.
g. Pemeriksaan mulut dan bibir
Inspeksi struktur luar : warna mukosa mulut dan bibir, tekstur,
lesi, dan stomatitis.
Normal: warna mukosa mulut dan bibir pink, lembab, tidak ada
lesi dan stomatitis
Inspeksi strukur dalam : gigi lengkap/penggunaan gigi palsu,
perdarahan/radang gusi, kesimetrisan, warna, posisi lidah, dan
keadaan langit-langit.
Normal: gigi lengkap, tidak ada tanda-tanda gigi berlobangatau
kerusakan gigi, tidak ada perdarahan atau radang gusi, lidah
simetris, warna pink, langit-langit utuh dan tidak ada tanda
infeksi.

2.Diagnosa Keperawatan

1) Hipertermi berhubungan dengan proses infeksi penyakit.


2) Perubahan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan perdarahan.
3) Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake nutrisi
kurang dan nafsu makan menurun.
4) Kekurangan volume cairan berhubungan dengan dehidrasi.
5) nyeri akut berhubungan dengan proses infeksi virus (virumia). (Andra &
Yessie, 2013)
5. Implementasi

Implementasi yang merupakan komponen dari proses keperawatan adalah


kategori dari proses keperawatan dimana tindakan yang diperlukan untuk
mencapai tujuan dan hasil yang diperkirakan dari asuhan keperawatan yang
dilakukan dan disesuaikan (Potter & Perry, 2005, dikutip dalam Kurniawati tahun
2016).

6. Evaluasi

Merupakan tahap akhir dari suatu proses keperawatan yang merupakan


perbandingan yang sistematis dan rencana tentang kesehatan pasien yang
tujuannya telah ditetapkan, dilakukan dengan cara melibatkan pasien dan sesama
tenaga kesehatan. Jika hasil evaluasi menunjukkan tercapainya tujuan dan kriteria
hasil, klien bisa keluar dari siklus proses keperawatan. Jika sebaliknya, klien akan
masuk kembali ke dalam siklus tersebut mulai dari pengkajian ulang
(reassessment). Secara umum, evaluasi ditujukan untuk:

a. Melihat dan menilai kemampuan klien dalam mencapai tujuan.

b. Menentukan apakah tujuan keperawatan telah tercapai atau belum.

c. Mengkaji penyebab jika tujuan asuhan keperawatan belum tercapai

(Asmadi, 2008, dikutip dari CM Imelda, 2015).

Anda mungkin juga menyukai