Di Susun Oleh :
Nadia Novera
Dosen Pengampuh :
PENDAHULUAN
Industri keuangan syariah menjadi obyek studi yang selalu menarik diteliti. Terutama jika di
bandingkan dengan kondisi industri keuangan konvensional yang telah lebih dahulu eksis.
Misalnya, hasil penelitian yang dilakukan oleh Nurfalah et al. (2018) yang menyatakan
bahwa perbankan syariah relatif lebih stabil dibandingkan dengan perbankan konvensional
dalam menghadapi guncangan, baik dari internal maupun eksternal. Hal ini menjadi temuan
menarik yang perlu dibuktikan melalui berbagai riset di masa mendatang. Saat ini ekonomi
Islam sedang mengalami euforia, baik di negara berkembang atau di negara maju sekalipun.
Industri keuangan serta bentuk lembaga ekonomi Islam lain tumbuh di seantero jagat, mulai
dari Timur Tengah, kawasan Asia, hingga negara-negara Barat, seperti Inggris Saat ini,
Industri yang menarik dan sedang mengalami perkembangan adalah industri teknologi
keuangan atau lebih dikenal dengan fintech. Riset ini akan mencoba mengelaborasi
pengembangan industri fintech syariah di Indonesia. Teknologi keuangan atau fintech di
Indonesia merupakan peluang pasar yang sangat potensial. Geografi yang luas, pertumbuhan
kelas menengah yang cukup besar, dan penetrasi produk keuangan yang relatif kurang baik
secara bersama-sama bergabung untuk menciptakan pasar yang tangguh untuk
pengembangan fintech di Indonesia. Dengan hanya 36% dari populasi yang memiliki
rekening bank, fintech di Indonesia menjanjikan layanan keuangan yang dapat diakses
kepada penduduk yang tidak tersentuh perbankan (unbankable). Platform fintech di Indonesia
secara umum tumbuh dengan pesat dari tahun 2015 hingga akhir 2017. Sebagai negara
berpenduduk muslim terbesar di dunia, prospek industri fintech syariah di Indonesia tampak
sangat baik. Secara keseluruhan, fintech di Indonesia memiliki potensi besar karena dapat
memberikan solusi untuk kebutuhan mendesak yang tidak dapat disediakan oleh lembaga
keuangan tradisional. Selain itu, ledakan dalam penetrasi seluler (70% penduduk
menggunakan ponsel untuk mengakses web) di negara ini telah menciptakan lahan subur bagi
peningkatan pesat industri fintech
PEMBAHASAN
Sedangkan untuk Akad Musyarakah sendiri merupakan suatu kerja sama yang dilakukan dua
orang maupun lebih dengan menganut sistem bagi rata. Dengan begitu, pemilik modal dan
pengelola dana tersebut mendapatkan keuntungan yang sama sesuai dengan kesepakatan awal
yang sudah disepakati. Nah, kerugian juga menjadi tanggung jawab oleh kedua pihak dengan
pemberian beban yang sama.
Bisnis yang menawarkan solusi investasi Islam secara digital harus memberikan dua hal:
kepatuhan dan akses.
Layanan fintech syariah yang berupa manajemen kekayaan yang sesuai dengan Syariah
untuk ritel dan HNWI. Disediakan oleh Wahed – AS (investasi penasehat Robo
platform) dan HelloGold (emas berbasis blockchain investasi).
6. Asuransi
Mencangkup layanan Asuransi dan re-Asuransi, perusahaan yang menyediakan layanan
ini yaitu Uplift Mutuals dan Insure Halal
Perusahaan fintech syariah dewasa ini semakin terlihat posisi dan urgensinya dalam
meningkatkan inklusi keuangan baik di Indonesia maupun secara global.
Sebelum Fintech syariah OJK Indonesia tumbuh subur, keberadaan Fintech dengan prinsip
Islami justru telah muncul bertahun-tahun sebelumnya di dunia. Tercatat kalau Fintech
syariah pertama muncul pada tahun 2014 di Dubai, Uni Emirat Arab dengan nama
perusahaan Beehive. Mengantongi sertifikat P2P Lending Marketplace, Beehive pun sangat
terkemuka.
Kesuksesan Beehive yang sudah mencapai skala global memicu munculnya Fintech-Fintech
syariah di berbagai negara Asia Tenggara yang memang mayoritas dihuni penduduk
beragama Islam, seperti Malaysia, Singapura dan Thailand. Di Malaysia, nama Hello Gold
yang merupakan Fintech syariah dengan teknologi blockchain dianggap sebagai pelopor.
Sementara itu di Indonesia, hanya dalam waktu tiga tahun saja sejak 2018, Fintech syariah
OJK Indonesia semakin mencatatkan laporan keuangan yang fantastis. Dilansir Kontan,
hingga akhir 2020 nilai pinjaman Fintech syariah bahkan menembus Rp1,7 triliun! Alias
meningkat dari realisasi tahun 2019 yang mencapai Rp1 triliun.
Salah satu Fintech syariah OJK Indonesia yakni PT Alami Fintek Sharia (Alami) berhasil
menyalurkan pembiayaan Rp187 miliar, pada kuartal pertama 2021 saja. Nilai ini bahkan
disebut meningkat 20 kali lipat daripada periode sama tahun 2020. Kemudian ada juga
Investree yang berhasil menyalurkan Rp226 miliar hingga Februari 2021 untuk 208
peminjam.
Berdasarkan data OJK pada tahun 2016, indeks literasi keuangan syariah di Indonesia
hanyalah 8,11%, jauh lebih rendah daripada literasi keuangan nasional yang mencapai
29,66%. Artinya masih banyak orang yang belum paham dengan keuangan Islami, padahal
pemerintah sempat menargetkan SNKI (Strategi Nasional Keuangan Inklusi) tahun 2019
sebanyak 75% dari total penduduk. Tentu dibutuhkan usaha yang cukup keras agar siapapun
makin paham keuangan Islami. Hal inilah yang menjadi pendorong semakin menjamurnya
Fintech syariah OJK Indonesia. Tertarik untuk mencoba? Berikut 10 di antaranya yang sudah
menggunakan akad anti riba dan aturan Islami sepenuhnya:
1. Investree Syariah
Jika Anda bertanya siapakah pelopor dari Fintech di Tanah Air? Maka Investree adalah
jawabannya. Sehingga ketika unit bisnis milik PT Investree Radhika Jaya ini menawarkan
layanan syariah, sudah pasti akan langsung diburu oleh konsumen Tanah Air. Sama seperti
layanan keuangan konvensional, Investree syariah juga menawarkan berbagai pembiayaan.
Setidaknya ada tiga jenis pembiayaan utama yang bisa ditawarkan Investree untuk calon
nasabah atau calon investor yakni:
Fintech syariah OJK Indonesia yang berikutnya adalah Alama Sharia. Sudah hadir sejak
Februari 2018, bisnis milik perusahaan PT Alami Fintek Sharia ini berperan
sebagai aggregator dan P2P Lending khusus pelaku UMKM (Usaha Mikro, Kecil dan
Menengah). Untuk layanannya, Alami menawarkan pembiayaan Invoice Factoring.
Pembiayaan yang disalurkan Alami bekerjasama dengan bank syariah populer di Tanah Air
seperti Mega Syariah, BNI Syariah dan Jamkrindo Syariah. Alami bahkan menjalin
kemintraan dengan Fintech Lending asal Singapura, Kapital Boost. Untuk tahun 2021 saja,
ada pembiayaan tersalurkan sebesar Rp270 miliar dari total Rp565 miliar.
Untuk bisa menjadi peminjam alias debitur di Alami, harus ada beberapa kriteria yang
dipenuhi yakni:
1) Memiliki bukti tagihan (invoice) dan BAST (Berita Acara Serah Terima) sebagai bukti
pekerjaan telah selesai dilakukan
2) Perusahaan berbentuk PT, CV atau Yayasan yang menjalankan aktivitas operasional
tanpa melanggar syariat islam
3) Perusahaan sudah berdiri minimal setahun dan berlokasi di Jabodetabek
4) Perusahaan wajib melampirkan rekening koran dan laporan keuangan minimal enam
bulan terakhir
5) Perusahaan memiliki giro mundur dan jaminan personal sebagai tambahan jaminan
3. Qazwa
Sudah terdaftar OJK sejak 7 Agustus 2019, informasi terakhir pembiayaan ini hanya bisa
dinikmati pelaku UMKM dalam jalur rantai pasokan bisnis di wilayah Jabodetabek saja.
Dengan masa tenor 1-6 bulan dan metode pembayaran sekali lunas, debitur harus membayar
pinjaman sekaligus bagi hasil sesuai dengan perjanjian yang sudah disepakati semua pihak.
Dalam setiap kontrak pembiayaan yang disetujui oleh Qazwa, setidaknya ada tiga akad yang
digunakan yakni murabahah, wakalah dan mudharabah. Sementara untuk skema pembiayaan
yang digunakan adalah supply chain financing. Sekadar informasi, supply chain
financing adalah kegiatan pembiayaan kredit modal kerja yang melibatkan rantai pasokan
bisnis. Sehingga para pelaku UMKM yang bisa terlibat adalah:
1. Pemilik Toko: Calon debitur yang adalah pemilik toko atau pemilik usaha, bisa
mengajukan pembiayaan modal kerja kepada Qazwa. Anda tinggal memberikan
informasi soal data pemasok dan bukti transaksi yang telah berjalan. Nantinya Qazwa
akan menyediakan berbagai barang kebutuhan usaha dan langsung dibayarkan ke
pemasok atau supplier
2. Supplier: Para supplier dapat mengajukan pembiayaan dana ke Qazwa dengan
mendaftarkan siapa saja para pembeli atau distributor tetap. Qazwa akan memproses
pengajuan pembiayaan berdasarkan data pembeli dan bukti transaksi
3. Agen Terverifikasi Khusus: Bagi Anda para agen yang merupakan pemilik atau
karyawan di sebuah lembaga/organisasi dan punya mitra binaan, jika membutuhkan
sumber pembiayaan dapat mengajukan ke Qazwa
4. BSalam
BSalam merupakan Fintech syariah OJK Indonesia lainnya yang memiliki fokus pembiayaan
cukup unik, yakni modal kerja PPIU (Penyelenggara Perjalanan Ibadah Umroh) dan PIHK
(Penyelenggara Ibadah Haji Khusus). Dengan konsep marketplace, ketika ada pengajuan
pinjaman yang sudah lolos verifikasi bisa langsung didanai banyak investor. Nantinya jika
dana dari lender yang terkumpul sudah 60-80%, maka tinggal disalurkan ke debitur. BSalam
juga menetapkan biaya layanan kepada debitur sebesar 2,5% dari total pinjaman yang
diterima. Tentunya biaya layanan ini sudah sesuai dengan aturan syariat sehingga tidak
termasuk riba atau hal-hal dilarang lainnya. Sedangkan untuk pada investor, proyeksi bagi
hasil pendanaan di kisaran 16-18%.
Sebagai perantara pendana dan penerima pinjaman syariah, BFS melaksanakan prosedur
pembiayaan sesuai akad murabahah, ijarah multijasa dan IMBT (Ijarah Muntahiya bit
Tamlik). Sedangkan untuk perjanjian pendanaan, menggunakan
akad murabahah dan musyarakah. Direkomendasikan oleh DSN-MUI, berikut tiga produk
utama BFS:
6. Duha Syariah
Berbeda dengan Fintech syariah OJK Indonesia lainnya, Duha Syariah punya dua produk
pinjol utama yakni pembiayaan konsumtif serta umroh dan wisata halal. Seperti apa
ketentuannya? Berikut ulasannya:
Kemudian calon debitur haruslah bekerja di perusahaan yang bekerjasama dengan Duha
Syariah karena pembayarannya lewat potongan gaji. Terakhir, wajib memberikan mutasi
rekening koran sebulan terakhir. Sementara itu jika berminat jadi calon investor, Anda bisa
melakukan pembiayaan dana mulai dari Rp100 ribu lewat aplikasi Duha Lender.
Ilustrasi Keberadaan industri financial technology (fintech) syariah kian merebak untuk
menjawab kebutuhsan pembiayaan pengguna yang menginginkan sistem berbasis syariah di
Tanah Air. Industri fintech syariah pertama kali muncul pada 2018 dan terus bertambah
seiring berjalannya waktu.
Berdasarkan data Otoritas Jasa Keuangan (OJK), hingga Desember 2019 industri fi
ntechsyariah telah memiliki 13.953 pengguna dan kemungkinan terus bertambah. Saat ini
terdapat 12 industri fintech syariah yakni Alami, Ethis, Qazwa, BSalam, Kapitalboost, Duha,
Syarfi , Berkah, Dana Syariah, Papitupi, Ammana, serta Danakoo Syariah dan 1
penyelenggara fintech lending yang memiliki produk syariah yakni In-vestree. Hingga
Desember 2019, akumulasi rekening lender (agregat) dari penyeleng-gara fintech lending
syariah sebanyak 21.451 entitas. Sementara akumulasi rekening borrower (agregat) mencapai
angka 9.982 entitas. Di samping itu, jumlah akumulasi transaksi lender(agregat) telah
mencapai angka 46.645 transaksi dengan jumlah akumulasi transaksi borrower (agregat) telah
mencapai angka 11.472 transaksi. Adapun akumulasi to-tal penyaluran (agregat) dari
penyelenggara fintech lending syariah telah mencapai angka Rp509,02 miliar dengan
outstandingRp284,71 miliar. Dari angka-angka tersebut diketahui jumlah transaksi borrower
14,93% lebih banyak daripada jumlah akumulasi rekening borrower.
Hal ini menggambarkan terdapat transaksi berulang yang dilakukan borrower serta
menunjukkan kebutuhan dan manfaat yang diperoleh borrower atas transaksi sebelumnya.Tak
heran dengan capaian kinerja tersebut, Wakil Presiden Ma’ruf Amin terus mendorong agar
fintech syariah bertumbuh. Selain meningkatkan inklusivitas keuangan, industri fintech
syariah juga diharapkan dapat mendorong pemulihan ekonomi nasional yang terdampak
pandemi covid-19. “Kita harapkan (fintech syariah) ini akan turut mendorong percepatan
pemulihan ekonomi nasional yang sedang menurun disebabkan penyebaran covid-19. Seperti
diketahui, ekonomi kita di kuartal kedua ini terkontraksi minus 5,32%,” ujar Ma’ruf dilansir
dari Antara. Sedianya industri fi ntech syariah memiliki potensi besar dan menjanjikan bagi
industri keuangan dan perekonomian nasional. Sebab, mayoritas penduduk Indonesia ialah
penduduk muslim yang tentunya erat dengan sistem syariah.
Oleh karena itu, Ma’ruf menilai perlu adanya peningkatan literasi keuangan dan ekonomi
syariah kepada ma-syarakat.“Selain potensi market yang cukup besar, dengan meningkatnya
literasi syariah juga diharapkan dapat menarik minat masyarakat untuk pemanfaatan ekonomi
syariah yang lebih besar lagi,” tuturnya. Faktor pendukung Senada, Ketua Umum Asosiasi
Fintech Syariah Indonesia (AFSI) Ronald Yusuf Wi-jaya menilai literasi mengenai keuangan
dan ekonomi syariah merupakan kunci penting untuk mendorong pertumbuhan fintech
syariah. Apalagi saat ini banyak fak-tor pendukung yang dapat memuluskan laju
pertumbuhan tersebut.“Indonesia kan peluangnya juga besar untuk bisa mengembangkan
keuangan syariah, bahkan belakangan ini sudah ada isu soal merger bank syariah, kemudian
Wakil Presiden kita juga orang ekonomi syariah. Jadi banyak faktor yang bisa mendorong
agar ini lebih eksponensial lagi, kami tetap optimistis, tapi memang saat ini memang perlu
literasi kepada ma-syarakat. Itu menjadi pa-rameter utama karena pemahaman di masya-rakat
mengenai syariah tergolong masih rendah,” ujarnya saat dihubungi, Senin (14/9). Kendati
demikian, Ronald mengakui pertum-buhan industri fintechsyariah membutuhkan waktu.
Apalagi bila di-bandingkan dengan per-tumbuhan industri fintechkonvensional yang telah
lebih dulu menjamur di Tanah Air. Perlahan tapi pasti, kata dia, fintech syariah akan menjadi
sektor keuangan yang bisa memiliki peran besar dalam men-gakselerasi industri keuangan
dan perekonomian nasional. “Kita (fintech syariah) masih banyak PR untuk bisa
mengembangkan. Karena rasio jumlah pemain fi ntech syariah itu kalah cu-kup jauh. Saat ini
sekitar 350 fi ntech yang boleh beroperasional sedangkan fintechsyariah baru ada 24 yang
beroperasional. Secara rasio itu tidak sampai 8% jumlah pemain fintech syariah,”
terangnya.Sementara itu, Founder & CEO Alami Dima Djani menuturkan potensi dan
peluang dari keberadaan industri fintech syariah pada keuangan dan perekonomian nasional
amat besar. Alami yang berfokus membiayai usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM)
meng-alami peningkatan penyaluran pembiayaan yang signifi kan meski di tengah
pandemi.“Kalau dari Alami memang kita saat ini ber-tumbuh pesat, dari sisi penyaluran
pembiayaan pada Agustus kita paling tinggi sekitar Rp20 miliar lebih. Jadi itu meningkat
tinggi, meski di tengah pandemi. Pertumbuhan na-sabah yang membiayai juga tumbuh
kencang, traction mobile apps itu sudah mengalahkan pertumbuhan nasabah dari website,”
Dilansir dari ojk.go.id, Fintech Lending atau bisa disebut juga Peer-to-Peer Lending adalah
layanan pinjam meminjam uang dalam mata uang rupiah secara langsung antara
kreditur/lender (pemberi pinjaman) dan debitur/borrower (penerima pinjaman) berbasis
teknologi informasi. Sebagian besar masyarakat, khususnya para milenial pasti sudah tidak
asing lagi dengan Go-Pay, OVO, T-cash, dan lain sebagainya. Bahkan, beberapa mungkin
tidak bisa terlepas dari fintech dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Berdasarkan data dari
Indonesian Fintech Association (IFA), terdapat sekitar 135-140 startup fintech di Indonesia
yang terdata dengan jumlah pemain tumbuh sebesar 78% pada tahun 2016. Pesatnya
pertumbuhan fintech menunjukkan besarnya pangsa pasar teknologi finansial di Indonesia.
Tidak dapat dipungkiri bahwa Indonesia merupakan negara dengan penduduk muslim
terbesar di dunia. Seiring pesatnya pertumbuhan pasar teknologi finansial, fakta tersebut
memunculkan adanya potensi yang besar bagi layanan keuangan digital atau financial
technology (fintech) syariah di Indonesia. Berdasarkan laporan Global Fintech Islamic Report
2021 dari saham Gateway, pasar fintech syariah Indonesia berkisar US$2,9 miliar atau
Rp41,7 triliun. Fintech syariah di Indonesia diatur dan mengacu pada Fatwa Dewan Syariah
Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN MUI) Nomor 117/2018 tentang Layanan
Pembiayaan Berbasis Teknologi Informasi Berdasarkan Prinsip Syariah. Berdasarkan fatwa
tersebut, fintech syariah adalah penyelenggaraan layanan jasa keuangan berdasarkan prinsip
syariah yang mempertemukan atau menghubungkan pemberi pembiayaan dengan penerima
pembiayaan dalam rangka melakukan akad pembiayaan melalui sistem elektronik dengan
menggunakan jaringan internet.
Dalam perkembangannya, fintech syariah didukung oleh Asosiasi Fintech Syariah Indonesia
(AFSI). AFSI didirikan sebagai kongregasi startup, institusi, akademisi, komunitas, dan pakar
syariah yang bergerak dalam jasa keuangan syariah berbasis teknologi. AFSI memiliki peran
penting untuk memajukan potensi fintech syariah di Indonesia. Hal tersebut ditunjukkan
dengan dibentuknya AFSI Institute yang mempunyai beberapa program, seperti konsultasi
bisnis syariah, riset dan kajian-kajian mengenai ekonomi Islam, workshop dan pelatihan fiqih
muamalah, serta AFSI Goes To Campus. Fintech syariah yang sudah berdiri di Indonesia,
diantaranya indves, syarQ, start zakat, paytren, dan lain-lain. Sementara itu, fintech syariah
yang memiliki sertifikasi halal dari MUI pertama di Indonesia yaitu Paytren pada tahun 2017
Pembiayaan dalam fintech syariah memiliki beberapa prosedur yang sesuai dengan akad
syariah. Akad pembiayaan dilakukan oleh penerima pinjaman dan pemberi pinjaman dengan
skema al qardh. Pemberi pinjaman memberikan pinjaman atas tagihan yang diberikan.
Setelah itu, dilanjutkan akad wakalah bil ujrah yang mana pemberi pinjaman mewakilkan
pada penyelenggara layanan untuk membantu melakukan pengurusan atas tagihan yang
diberikan peminjam. Akad al qardh maupun wakalah bil ujrah dilakukan secara online
melalui website penyelenggara layanan.
Namun demikian, saat ini fintech syariah masih menghadapi berbagai tantangan, salah
satunya yaitu rendahnya literasi di kalangan masyarakat terkait keberadaan layanan keuangan
syariah berbasis teknologi. Maka dari itu, sangat perlu ditingkatkan kerjasama dari berbagai
pihak untuk mendukung edukasi dan sosialisasi fintech syariah di Indonesia.
SIMPULAN
Perkembangan digital menjadi kesempatan bagi semua industri termasuk industri keuangan,
khususnya industri keuangan syariah untuk merevolusi kegiatan konvensional menjadi
sebuah inovasi layanan dan produk digital yang dapat memudahkan masyarakat dalam
mengaksesnya. Namun jika perkembangan digital ini tidak dimanfaatkan, maka akan menjadi
ancaman bagi industri keuangan secara keseluruhan karena banyak bermunculan perusahaan
start-up yang mengembangkan layanan dan produk keuangan digital. Secara umum, fintech
di Indonesia memiliki potensi besar karena dapat memberikan solusi untuk kebutuhan
mendesak yang tidak dapat diberikan oleh lembaga keuangan tradisional, khususnya fintech
syariah.