Aik Klompok 11
Aik Klompok 11
Disusun oleh
Juarni
Riri amanda
Mistahul janna
Puji syukur kehadirat Allah SWT, karena berkat rahmad dan karunia-Nya saya
dapat menyelesaikan makalah ini sesuai dengan jadwal yang telah ditentukan dengan
judul PARADIGMA PENDIDIKAN NABI MUHAMMAD SAW.
Saya menyadari makalah ini jauh dari kesempurnaan baik materi, penganalisaan,
dan pembahasan. Semua hal ini dikarenakan keterbatasan kemampuan dan pengalaman.
Akan tetapi berkat bantuan dari semua pihak yang terkait, makalah ini akhirnya dapat
selesai.
Kami mengharapkan saran dan kritik dari semua pihak terutama yang bersifat
membangun, guna terciptanya kesempurnaan makalah ini. Akhir kata kami ucapkan
terima kasih. Mudahmudahan makalah ini dapat berguna.
Kelompok 11
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI.....................................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN.................................................................................................
A. Latar Belakang........................................................................................................
B. Rumusan Masalah....................................................................................................
C. Tujuan Masalah........................................................................................................
BAB II PEMBAHASAN..................................................................................................
A. Kesimpulan..............................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Islam mewajibkan para pemeluknya untuk menuntut “ilmu”, apa pun macam
“ilmu” itu, dan dimana pun “ilmu” itu berada. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW:
“Menuntut ilmu itu wajib atas setiap umat muslim”. (HR. Ibnu Majah. Dinilai shahih oleh
Syaikh Albani dalam Shahih Wa Dha’if Sunan Ibnu Majah no. 224) Rasulullah SAW
menyatakan dengan tegas bahwa menuntut ilmu itu hukumnya wajib atas umatnya .
Karena dengan ilmu yang kita dapatkan dari proses pembelajaran, kita akan mempunyai
kedudukan yang memebedakan kita dengan orang yang tidak berilmu serta memberikan
predikat baik bagi orang lain jika kita mau mengajarkan atau berbagi ilmu dengan orang
lain.
Manusia diciptakan Allah Ta’ala secara sempurna di alam ini. Hakekat manusia
yang menjadikan ia berbeda dengan lainnya adalah bahwa sesungguhnya manusia yang
membutuhkan bimbingan dan pendidikan.Hanya melalui pendidikan manusia sebagai
homo educable dapat dididik,dengan pelantara guru. Dan pendidikan sebagai alat yang
ampuh untuk mengembangkan potensi-potensi yang ada dalam diri manusia. Sehinggaia
mampu menjadi khalifah di bumi, pendukung dan pengembang kebudayaan.
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Masalah
PEMBAHASAN
Ta’dib secara Etimologi merupakan bentuk masdar kata kerja addaba yang berarti
‘mendidik, melatih berdisiplin, memperbaiki, mengambil tindakan, beradab, sopan,
berbudi baik, mengikuti jejak akhlaknya.
Kata ta’dib pada umumnya lebih banyak digunakan pada pendidikan yang bersifat
keterapilan lahir yakni latihan dan keterampilan. Ia berasal dari kata adab, yang berarti
etika, sopan santun, dan budi pekerti lebih tepat diartikan mengajarkan adab atau
diartikan memberi pelajaran atau hukuman.
Ayat Al-Quran yang berhubungan dengan adab menuntut ilmu antara lain:
Menurut Ibnu Qayyim, kata adab berasal dari kata ma’dubah. Kata ma’dubah
berarti’jamuan atau hidangan’, dengan kata kerja ”adaba-ya’dibu’’ yang berarti
‘menjamu atau menghidangkan makanan. Kata adab dalam tradisi Arab kuno merupakan
symbol kedermawanan, dimana al-Adib (pemiik hidangan) mengundang banyak orang
untuk duduk bersana menyantap hidangan di rumahnya. Sebagaimana yang terdapat
dalam perkataan Tharafah bin Abdul Bakri al-Wa’illi, “Pada musim paceklik (musim
kesulitan pangan), kami mengundang orang-orang ke perjamuan makan, dan engkau
tidak akan melihat para penjamu dari kalangan kami memilih-milih orang yang
diundang”.
Kata ta’dib ataual-adab ini dipopulerkan oleh Imam al-Bukhari dalam adab al-
mufrad, al-mawardi dalam kitabnya Adab al-Muallimin wa al-Rawi wa Adab al-sami’
serta Ibn Jama’ah dalam kitabnya Tadzkirah al- sami’ wa al-Mutakallim fii Adab al-Alim
wa al-Muta’allim.
Sementara itu, kata adab juga sering dipakai dalam hadits untuk menunjuk kata
pendidikan. Hal itu sebagaimana sabda Nabi saw. Berikut ini, “Tuhan telah mendidikku,
dan telah membuat pendidikanku itu sebaik-baiknya”, “Setiap pendidik akan menyukai
diberikan alat mendidik, dan sesungguhnya pendidikan dari Allah itu adalah Al-Qur’an,
aka janganlah kalian menjauhinya”.
Menurutal-attas, istilah ta’dib adalah istilah yang paling tepat digunakan untuk
menggambarkan pengertian pendidikan, karena pada dasarnya pendidikan Islam
bertujuan untuk melahirkan manusia yang beradab. Sementara istilah tarbiyah terlalu luas
karena pendidikan, dalam istilah ini mencakup pendidikan untuk hewan.[4] Selanjutnya,
ia menjelaskan bahwa istila Ta’dib merupakan masdar kata kerja addaba yang berarti
pendidikan. Kemudian, dari kata addaba ini diturunkan juga kata adabun. Menurut al-
attas, adabun berarti pengenalan dan pengakuan tentang hakikat bahwa pengetahuan dan
wujud bersifat teratur secara hirarkis sesuai dengan berbagai tingkat dan derajat tingkatan
mereka dan tentang tempat seseorang yang tepat dalam hubungannya dengan hakikat itu
serta dengan kapasitas dan potensi jasmaniah, intelektual, maupun rohaniyah seseorang.
Al-attas mengatakan bahwa adab adalah pengenalan serta pengakuan akan hak keadaan
sesuatu dan kedudukan seseorang, dalam rencana susunan berperingkat martabat dan
derajat, yang merupakan suatu hakikat yang berlaku dalam tabiat semesta. Pengenalan
adalah ilmu; pengakuan adalah amal. Maka, pengenalan tanpa pengakuan, seperti ilmu
tanpa amal; dan pengakuan tanpa pengenalan seperti amal tanpa ilmu. Keduanya sia-sia
karena yang satu menyifatkan ketiadasadaran dan kejahilan.[5]
Alasan yang lebih mendasar yang melatar belakangi al-Attas memilih istilah
ta’dib adalah, adab berkaitan erat dengan ilmu, sebab ilmu tidak dapat diajarkan atau
ditularkan kepada anak didik, kecuali jika orang tersebut memiliki adab yang tepat
terhadap ilmu pengetahuan dalam berbagai bidang.
Kemudian, konsep pendidikan Islam yang hanya terbatas pada makna tarbiyah
dan taklim itu telah dirasuki pandangan hidup barat yang berlandaskan nilai-nilai
dualisme, sekularisme, humanism, dan sofisme, sehingga nilai-nilai adab menjadi kabur
dan semakin jauh dari nilai-nilai hikmah Ilahiah. Kekaburan makna adab tersebut
mengakibatkan kezaliman, kebodohan, dan kegilaan. Kezaliman yang dimaksud disini
adalah meletakkan sesuatu tidak pada tempatnya, sementara kebodohan adalah
melakukan cara yang salah untuk mencapai hasil tujuan tertentu, dan kegilian adalah
perjuangan yang berdasarkan tujuan dan maksud yang salah.
Istilah adab juga merupakan salah satu istilah yang identik dengan pendidikan
akhlak, bahkan Ibn Qayyim berpendapat bahwa adab adalah inti dari akhlak, karena
didalamnya mencakup semua kebaikan. Lebih dari itu, konsep adab ini, pada akhirnya
berperan sebagai pembeda antara pendidikan karakter dengan pendidikan akhlak. Orang
berkarakter tidaklah cukup, karena pendidikan karakter hanya berdimensi pada nilai-nilai
dan norma-norma kemanusian aja (makhluk), tanpa memperhatikan dimensi ketauhidan
Ilahiyah (khaliq). Sehingga orang berkarakter belum bias disebut berakhlak, karena bisa
jadi orang berkarakter “toleransi” ia mengikuti paham pluralism sehingga memukul rata
semua agama tanpa batasan norma syari’at. Sementara dalam pendidikan akhlak
mengintegrasikan kedua dimensi tersebut, yakni nilai kemanusiaan (makhluk) dan nilai
uluhiyah (khaliq) adalah hal yang wajib, dan tidak boleh dipisah-pisahkan. Sehingga
orang berakhlak, secara langsung mencakup orang yang berkarakter. Dengan demikian,
pendidikan akhlak atau adab adalah lebih syumul ‘mencakup’ daripada pendidikan
karakter.
2. Selalu berdoa
Dalam menuntut ilmu hendaknya kita selalu berdoa agar diberi kemudahan dalam
menyerap ilmu dan mengamalkannya. Allah Azza wa Jalla berfirman:
Ya Allah, berilah manfaat atas apa yang Engkau ajarkan kepadaku, ajarilah aku
hal-hal yang bermanfaat bagiku, dan tambahilah aku ilmu [HR. at-Tirmidzi dan Ibnu
Mâjah, dishahihkan al-Albâni]
3. Selalu bersungguh-sungguh
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam barsabda, “ Dua orang yang rakus yang
tidak pernah kenyang: yaitu (1) orang yang rakus terhdap ilmu dan tidak pernah kenyang
dengannya dan (2) orang yang rakus terhadap dunia dan tidak pernah kenyang
dengannya.” (HR. Al-Baihaqi)
4. Menjauhi maksiat
Untuk bisa mendapatkan ilmu yang bermanfaat dan berkah, maka jauhkanlah diri
dari berbagai macam maksiat. Maksiat akan membuat otak menjadi sulit untuk
berkonsentrasi sehingga ilmu sangat sulit dimengerti.
Dari Abu Hurairah, dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda,
“Seorang hamba apabila melakukan suatu kesalahan, maka dititikkan dalam hatinya
sebuah titik hitam. Apabila ia meninggalkannya dan meminta ampun serta bertaubat,
hatinya dibersihkan. Apabila ia kembali (berbuat maksiat), maka ditambahkan titik hitam
tersebut hingga menutupi hatinya. Itulah yang diistilahkan “ar raan” yang Allah sebutkan
dalam firman-Nya (yang artinya), ‘Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya apa yang
selalu mereka usahakan itu menutupi hati mereka’.”
Banyak sekali orang berilmu yang justru menjadi sombong hanya karena merasa
lebih baik dibandingkan orang lain. Jika ingin mendapatkan ilmu yang baik dan
bermanfaat, maka tetaplah menjadi pribadi yang rendah hati. Imam Mujahid mengatakan,
“Dua orang yang tidak belajar ilmu: orang pemalu dan orang yang sombong”
(HR. Bukhari secara muallaq)
6. Memperhatikan penjelasan
Jika ingin mendapatkan ilmu dengan mudah, maka konsentrasilah ketika guru
atau ustadz menjelaskan. Fokuslah untuk menyerap ilmu yang disampaikan.
Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman, sebab itu sampaikanlah berita gembira itu kepada
hamba-hambaKu, (yaitu) mereka yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang
paling baik diantaranya. Mereka itulah orang-orang yang diberi petunjuk oleh Allah dan
merekalah orang-orang yang mempunyai akal sehat.” (QS. Az-Zumar: 17-18)
7. Diam menyimak
Salah satu adab dalam menuntut ilmu yang banyak ditinggalkan adalah diam
ketika guru atau ustadz menjelaskan. Jangan berbicara atau bahkan mengobrol hal yang
sama sekali tidak penting bahkan tidak berhubungan dengan pelajaran yang disampaikan.
Sebagaimana telah Allah firmankan dalam Al A’raf ayat 204,
8. Menghafal
Setelah berhasil memahami ilmu yang disampaikan, maka hendaknya hafal lah
ilmu tersebut agar lebih mudah diingat. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
9. Mengamalkan
Akan percuma setiap ilmu yang didapatkan jika tidak diamalkan. Sudah
seharusnya kita mengamalkanilmu yang kita dapatkan agar mendapatkan keberkahan dari
Allah SWT.
10. Mendakwahkan
Tidak ada ilmu yang bermanfaat jika tidak dibagikan kepada orang lain. Maka
sebarkanlah ilmu tersebut kepada mereka yang belum mengetahuinya. Allah Ta’ala
berfirman, “Wahai orang-orang yang beriman! Peliharalah dirimu dan keluargamu dari
api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat
yang kasar dan keras, yang tidak durhaka kepada Allah terhadap apa yang Dia
perintahkan kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS. At-
Tahriim: 6).
Salah satu ulama besar umat muslim, Imam Al-Ghazali, dalam bukunya Ihya
Ulumuddin menyampaikan adab menuntut ilmu bagi seorang pelajar. Ada beberapa poin
penting tentang Adab Menuntut Ilmu Menurut Imam Al-Ghazali yang diringkas dari
pendapat ulama ahli tasawuf ini :[13]
Menurut Al-Ghazali, selama batin tidak bersih dari hal-hal keji, maka ia tidak
menerima ilmu yang bermanfaat dalam agama. Selain itu, batin juga tak akan diterangi
dengan cahaya ilmu. Ibnu Mas’ud berkata, “Bukanlah ilmu itu karena banyak
meriwayatkan, tetapi ilmu itu adalah cahaya yang dimasukkan ke dalam hati.”
Ketiga, tidak sombong dalam menuntut ilmu dan tidak membangkang kepada guru. Al-
Ghazali menyarankan orang yang menuntut ilmu agar memberi kebebasan kepada guru
yang mengajarnya selama tidak memperlakukannya dengan sewenang-wenang. Al-
Ghazali juga menegaskan agar pelajar terus berkhidmat kepad guru. Menurutnya, ilmu
enggan masuk kepada orang yang sombong seperti banjir yang tidak dapat mencapai
tempat yang tinggi.
Keempat, menghindar dari mendengarkan perselisihan-perselisihan di antara sesama
manusia. Menurut Al-Ghazali, hal tersebut dapat menimbulkan kebingungan saat
menuntut ilmu.
Kelima, tidak menolak suatu bidang ilmu yang terpuji, tetapi harus menekuninya hingga
mengetahui maksudnya. Jika umur membantunya, maka ia pun mesti
menyempurnakannya.
Keenam, mengalihkan perhatian kepada ilmu yang terpenting, yaitu ilmu akhirat. Imam
Al-Ghazali berpendapat, ilmu yang dimaksudkan adalah bagian dari muamalah dan
mukasyafah. Ilmu mukasyafah tersebut ialah makrifatullah atau mengenal Allah. Al-
Ghazali menegaskan bahwa ilmu yang paling mulia dan puncaknya adalah mengenai
Allah.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Apabila adab-adab tersebut telah mampu terealisasikan, maka peserta didik akan
lebih mudah mencapai apa yang dicita-citakan, menjadi seorang pembelajar yang
berkarakter islami dan memperoleh keberkahan dalam ilmu.
DAFTAR PUSTAKA
http://makalahnih.blogspot.co.id : 05/10/12016.
[1] Munawir, Al-munawir, hal. 13-14, lihatjuga Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia,
Jakarta: YP#A, 1973, hal 37
[2] Hadis Tarbawi (hadis-hadis pendidikan), abdul majid khon, Hlm. 298
[3] Munawir, Al-munawir, hal. 13-14, lihatjuga Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia,
Jakarta: YP#A, 1973, hal. 205
[12] Hadist Tarbawi, Hadis tentang belajar dan mengajar , Dra. Suryani, M.Ag. hal. 60
[13] http://www.duniaislam.org/21/03/2016/adab-menuntut-ilmu-menurut-imam-al-ghazali/
[14] http://makalahnih.blogspot.co.id/2014/09/makalah-pendidikan-karakter-adab-murid.html
Lusy di 23.35