Anda di halaman 1dari 51

🚫 Sudut Pandang Aarav 🚫

Aku terdiam sambil menatap kepergiannya. Tidak ada kata


ataupun tindakan yang bisa aku berikan untuk menahannya.
Bukannya aku tidak mau dia tetap berada disisiku, hanya saja
aku merasa egois jika bersikeras untuk menahannya.

Dhara, perempuan yang sejak dahulu aku cintai dan aku jaga
dengan sepenuh hati. Nyatanya, akulah pria yang membuat
hati dan hidupnya berantakan. Aku dengan segala drama di
dalam hidupku yang membuat dia sekacau ini.

Tatapan matanya, suaranya yang dikeluarkan, kalimat-kalimat


yang terucap, semua itu cukup mencerminkan sesakit apa
hatinya.

Aku ingin menyembuhkannya, tetapi aku sadar, akulah pelaku


atas kesakitannya.

Semua drama hidupku rumit dan kalau aku jelaskan dari awal,
pastinya akan membuat Dhara sakit hati. Aku pikir dengan
memendamnya dan bersikap seolah semuanya baik-baik saja
akan bisa memanipulasi keadaan menjadi baik-baik saja.

Namun, nyatanya tidak. Hubungan yang awalnya sudah


dipondasikan dengan kebohongan ternyata tidak akan kuat
untuk berdiri kokoh karena kebohongan itu pastinya akan
bercabang dengan kebohongan-kebohongan kecil lainnya dan
kebohongan tidak akan selamanya bisa ditutupi. Ketika
semuanya terbongkar, sakitnya jauh akan lebih dahsyat karena
bukan hanya intinya saja, tetapi ditambah dengan cabang-
cabangnya juga.

Aku salah. Sangat.

Dhara yang lebih banyak menanggung kesakitan karena


kesalahan-kesalahanku. Aku tidak ingin memintanya untuk
bertahan. Sudah cukup dia tersakiti karenaku. Dia pantas
bahagia dengan pria lain, walaupun sejujurnya aku enggak
akan pernah rela, sampai kapanpun.

Aku menarik napas berat lalu membuka ponselku. Hari ini


tanggal dua yang berarti sudah genap satu bulan Lisa
meninggalkanku. Gadis kecil yang paling aku prioritaskan
kesembuhannya, nyatanya dia pergi dengan kanker yang
menggerogoti organ tubuhnya.

Dulu, aku pikir Lisa dan Dhara bisa berada dalam satu jenjang
prioritas yang sama. Namun, nyatanya tidak. Aku lebih
memprioritaskan Lisa karena aku tidak mau kehilangan gadis
itu. Dia anakku satu-satunya.

Karena terlalu mementingkan dan berfokus dengan Lisa, aku


sampai menyepelekan Dhara dan juga kandungannya. Aku
pikir, kesembuhan Lisa lebih urgent karena ini menyangkut
hidup dan mati.

Pada akhirnya, aku kehilangan semuanya. Aku kehilangan


Lisa. Aku kehilangan calon bayiku. Dan aku kehilangan Dhara,
perempuan kecintaanku.

Andai aku bisa mengulang waktu. Pastinya sebelum aku dan


Dhara menikah, aku akan menceritakan tentang masa laluku
dengan sejujur-jujurnya, walaupun masa laluku buruk dan
kelam, aku akan tetap menceritakannya. Demi kuatnya
hubungan pernikahan kami nanti.

Kalau sudah seperti ini, nasi sudah menjadi bubur. Tidak ada
yang bisa aku lakukan selain menerima dan mengikuti semua
keputusan Dhara. Demi kebahagian perempuan itu, walaupun
keputusan yang dia ambil, sama sekali tidak membuatku
bahagia.

Tapi siapa peduli?


Ya, tidak ada. Bahkan, diriku menghukum dan membenciku
diriku sendiri karena kesalahan fatal yang telah aku lakukan.

Saat ini, tidak ada lagi kebahagiaan yang aku rasakan. Semua
kepahitan yang sudah dan juga yang akan segera aku terima,
semuanya adalah karma untukku.

Mau tidak mau aku harus menerimanya.

Siap tidak siap aku harus jalani.


🚫 Sudut Pandang Aarav (E.2) 🚫
Sebelum sidang perceraian aku dan Dhara diadakan, aku
menyempatkan diri untuk berkunjung ke rumah lama kami.
Rumah yang telah aku beli, tetap aku berikan ke Dhara. Dia
pantas mendapatkannya.

Aku memencet bel beberapa kali dan tidak lama kemudian


Dhara keluar. Dia tampak kaget dengan kedatanganku. "Ada
urusan apa lagi?" tanyanya sinis.

Aku melirik ke arah kursi taman lalu kembali menoleh


kearahnya. "Duduk dulu, ada satu dan lain hal yang mau saya
bicarakan."

Tanpa menjawab Dhara langsung duduk di kursi taman,


sedangkan aku memilih untuk duduk di hadapannya. "Maafin
saya ya atas semua ini. Bukannya saya enggak mau
mengunjungi kamu di perkebunan, tapi saya merasa kamu
butuh waktu untuk menenangkan diri," aku menatapnya lebih
lekat, "saya sadar, saya begitu menyakiti kamu."

Dia masih terdiam, menatapku dengan tatapan datar. Tidak


ada tanda-tanda dia akan merespons.

"Saya cinta kamu dari dulu sampai sekarang. Terserah kamu


mau percaya atau enggak, tetapi memang itu kenyataannya."

Dia hanya berdeham kecil.

"Rasa cinta saya enggak bisa membuat kamu bertahan disisi


saya. Saya juga enggak mau terlalu memaksakan kehendak
dengan berusaha mendominasi didalam hubungan ini," ada
jeda sebentar, "dari dulu saya sudah mendominasi hubungan
ini dan sekarang saya enggak mau lagi. Hubungan ini bukan
hanya tentang saya, tetapi tentang kamu juga. Saya enggak
mau egois. Kalau kamu udah enggak bahagia buat apa
dipaksakan kan?"

Dia mengangguk.

"Lisa udah meninggal, Dhar," aku mengeluarkan ponselku


lantas memberikan kepadanya, "sebelum meninggal dia
sempat membuat rekaman suara untukmu. Saya belum
kirimkan karena saya rasa waktunya belum tepat. Saya juga
enggak tahu isinya, dia merekam diam-diam. Kalau kamu mau
mendengarkan, saya bisa putar sekarang."

"Aku mau dengar," ucapnya tanpa mengambil ponsel yang aku


berikan. Mungkin dia mau aku yang putar sehingga kami
mendengarkan bersama.

"Halo, Mama Dhara. Ini Lisa lagi hehehe. Mama, Mama kapan
ke sini? Lisa kangen Mama. Mama Renata galak, dia enggak
sebaik Mama Dhara. Aku maunya sama Mama Dhara aja.
Mama Renata sama Papa sering bertengkar di depan Lisa,
Lisa enggak suka lihatnya. Terus udah hampir sebulan Mama
Renata enggak kesini, mungkin dia sibuk lagi jadinya enggak
punya waktu buat Lisa."

"Mama, semenjak Mama Dhara enggak ada, Papa jadi murung.


Papa enggak seceria seperti biasanya, Papa enggak ke kantor,
enggak ngajar, Papa cuma jagain Lisa doang apalagi pas
Mama Renata enggak kesini lagi."

"Mama, Lisa butuh Mama Dhara, tapi kalau ngeliat Papa.


Kayanya Papa yang lebih butuh Mama. Lisa kasihan
ngeliatnya. Papa juga sering diam-diam lihat foto Mama,
kayanya dia sekangen itu mau ketemu sama Mama."

Anak itu, ternyata pengamat yang baik. Padahal selama ini aku
berusaha menutupinya, tetapi terlihat juga.
"Mama, sebelum Lisa meninggal. Lisa pengen banget ngeliat
Papa dan Mama bersatu lagi kaya dulu. Pengen banget lihat
Papa yang diam-diam ngeliatin Mama sambil senyum-senyum."

"Semoga rekaman ini didengar Mama saat Lisa masih ada ya,
biar keinginan Lisa terkabul, tapi kalau rekaman ini didengar
saat Lisa udah enggak ada."

"Lisa cuma mau bilang, Mama, Papa sayang dan cinta banget
sama Mama. Lisa tahu karena Lisa sering ngeliatin Papa. Papa
beda banget kalau ada Mama Renata dan ada Mama Dhara.
Papa lebih keliatan senang kalau sama Mama Dhara."

Rekaman itu berhenti berputar.

Aku termenung untuk beberapa saat. Kalau saja aku tahu


isinya saat Lisa masih hidup, aku pasti akan menuruti
keinginan terakhirnya. Namun, aku baru mengetahui dan
mendengarkan rekaman itu saat dia sudah tidak ada.

Mataku menatap ke arah Dhara. Perempuan itu sudah


berlinang air mata. Isak tangisnya terdengar di telingaku. "Aku
mau ke makamnya, Mas," ucapnya serak.

Aku mengangguk setelah itu kami berdua masuk ke dalam


mobil lalu bergegas ke makam Lisa.
🚫 Sudut Pandang Aarav (E.3) 🚫
Saat berada di dalam mobil, kami berdua diselimuti
keheningan. Dhara tenggelam dengan pikirannya begitu juga
diriku. Tidak ada percakapan panjang ataupun singkat yang
terjadi diantara kami.

Beberapa saat kemudian, aku dan Dhara sudah berada di


depan pemakaman. "Tunggu dulu," ucapku saat Dhara sudah
membuka pintu mobil di sebelahnya. Dia menoleh ke arahku
tanpa mengucapkan apapun, "panas. Saya ambil payung dulu."

Tanpa menunggu jawaban darinya aku langsung mengambil


payung di bagian belakang mobilku. Setelah itu berjalan ke
arah pintu lalu membukakannya untuk Dhara. Dia keluar dari
mobil lantas kami berjalan bersama di bawah payung yang
sama.

Di tengah perjalanan dia hanya terdiam, sampai akhirnya saat


sudah berada di depan makam Lisa, perempuan itu menangis
sesenggukan. "Maafin Mama ya, Lisa. Maafin Mama enggak
mengujungi kamu lagi. Mama enggak tahu kalau kamu nunggu
Mama. Mama pikir dengan adanya Mama Renata dan Papa,
Lisa senang," ucap Dhara dengan terisak.

Sebelah tanganku memegang payung untuk menutupi kami


berdua, sedangkan tanganku yang satunya lagi mengambil
tissue dan memberikannya ke Dhara. Perempuan itu
mengambilnya lantas mengusapkan ke air matanya yang
mengalir deras.

"Mama sayang Lisa, walaupun kita ketemu dan kenalnya


enggak lama," tangan Dhara bergerak untuk mengusap papan
nisan Lisa, "sekarang Lisa udah enggak sakit lagi. Semoga
Lisa disana tenang ya, Mama Dhara selalu doain dari sini.
Semoga nanti kita bisa ketemu lagi ya, Nak."
Isak tangisnya bertambah kencang. Dengan insiatif, aku
mengusap bahunya dengan lembut. Dia menoleh ke arahku
lantas dia menjatuhkan wajahnya tepat di dadaku. "Mas, Lisa,"
ucapnya sambil menangis di dadaku.

Aku menarik tubuhnya lantas memeluknya dengan sebelah


tanganku. "Lisa udah tenang disana," ucapku menenangkan,
"dia senang sempat mengenal kamu. Terima kasih ya Dhara
atas kebaikan kamu selama ini dengan Lisa."

Dhara mengangguk. Namun, air mata terus membanjirinya.


Beberapa saat kemudian, setelah tangisnya mulai mereda kami
bergegas untuk pulang.

Aku membukakan pintu untuk Dhara, mempersilahkan


perempuan itu untuk masuk lebih dahulu. Setelah itu, aku
memutari mobil lalu masuk ke bagian kemudi. Sebelum
menjalankan mobil aku menoleh ke arah Dhara, perempuan itu
hanya terdiam dengan tatapan kosong.

"Mau minum?" tanyaku menawarkan.

Dia menoleh lalu mengangguk. Tanganku mengambil ke dalam


tas, ada sebotol air mineral yang sudah aku minum sedikit.
"Saya beli dulu ya, kamu tunggu di sini," ucapku sambil
meletakan kembali botol air mineral itu.

"Emangnya itu kenapa?" tanyanya.

"Bekas saya. Baru saja saya buka, tadi sebelum ke rumah


udah saya minum dikit."

"Yaudah itu aja. Enggak usah beli."

Aku mengambil kembali botol air mineral tadi. "Tapi ini bekas
saya," ucapku kembali mengingatkan.

"Ya kenapa?"
Enggak apa-apa sih sebenarnya, tapi aku takut dia enggak
mau satu botol denganku.

"Saya takutnya kamu enggak mau bekas saya," ucapku jujur.

"Gapapa," dia menegakkan tubuhnya, "sini. Aku mau," ucapnya


sambil mengambil botol air mineral di tanganku.

Dia meletakan botol air mineral itu di dashboard setelah


meminumnya. "Makasih ya," ucapnya yang langsung aku balas
dengan anggukan kepala dan senyuman tipis.

Aku menjalani mobil keluar dari pemakaman menuju ke rumah.


"Mas," panggil Dhara saat kami berada di tengah perjalanan.

Aku menoleh sekilas menatapnya. "Bagaimana kabar Renata


saat ini?" tanyanya membuka topik.
🚫 Sudut Pandang Aarav (E.4) 🚫
"Bagaimana kabar Renata saat ini?"

Aku terdiam cukup lama. Aku benar-benar malas membahas


perempuan tidak beradab seperti dia. Disaat anaknya
membutuhkan dukungan darinya, dia malah memilih sibuk
untuk mengurusi rencana rujuknya dengan Tito. Dia hanya tiga
minggu full menjenguk Lisa, setelahnya dia kembali pergi dan
hanya sesekali datang.

Dia bilang, Lisa akan baik-baik saja denganku karena dia


merasa aku begitu memberikan perhatian dan juga waktuku
untuk Lisa. Dia jadi mengandalkan diriku. Seolah tanpa ada dia
pun semuanya akan berjalan baik-baik aja. Namun,
kenyataanya enggak begitu. Lisa membutuhkan dukungan dari
kedua orangtuanya, bukan hanya cuma aku.

Kalau kedatangan hanya sesaat, lebih baik dia tidak perlu


datang lagi ke dalam kehidupan Lisa. Biarkan gadis kecil itu
mendapatkan perhatian dan kasih sayang penuh dariku dan
juga dari Dhara.

Lisa sendiri juga tahu, mana kasih sayang yang lebih tulus
diberikan kepadanya. Ibu kandungnya atau Ibu pengantinya.
Gadis itu sudah pernah mengatakan bahwa dia memilih Dhara,
bukan Renata.

"Mas, jawab," ucap Dhara lagi.

Aku berdeham lantas melirik ke arahnya singkat. "Dia sudah


rujuk kembali dengan suaminya," ucapku jujur. Aku sudah tidak
mau berbohong lagi dalam hal kecil atau pun dalam hal besar.
Aku sudah jera.

"Sedih?"
"Iya, Lisa pasti sedih. Renata jadi enggak punya waktu untuk
dia."

"Bukan," ucap Dhara diselingi decakan sebal, "Mas sedih


enggak?" tanyanya.

Aku berpikir sejenak. Kebiasaan Dhara suka mempertanyakan


hal-hal yang berpotensi membuat keributan. Aku sudah paham
betul maksudnya bertanya begitu.

"Enggak, Dhara. Enggak sama sekali."

Dhara berdeham singkat. "Dulu Mas bela-belain enggak mau


memberitahu status kita ke dia, biar dia nggak pergi. Nyatanya
tanpa dia tahu pun, dia juga pergi. Miris ya. Aku udah
berkorban perasaan padahal. Bukan cuma perasaan doang,
aku mengorbankan air mata, pikiran, waktu, dan tentunya
ketenanganku."

Aku menarik napas lagi. Aku benar-benar merasa bersalah


atas kesalahanku dulu. Rasa bersalah ternyata nyata ya,
berbulan-bulan aku merasakan rasa bersalah ini.
Merasakannya setiap hari dan rasanya begitu menyesakkan.

"Maaf ya, Dhara. Saya melakukan itu buat Lisa. Bukan untuk
saya. Mau dia menikah dan punya anak pun saya enggak
peduli yang penting disaat anak kami membutuhkannya dia
ada."

Dhara hanya bergumam lagi.

"Pernah cinta nggak sama dia?" tanya Dhara lagi.

Aku menggeleng cepat. "Saya berani sumpah, Dhara. Saya


enggak pernah punya perasaan apa-apa sama dia. Kami
menikah hanya atas dasar keterpaksaan."
Dhara menghadapkan setengah tubuhnya ke arahku. "Tapi
Mas bisa punya anak. Lisa hasilnya. Masa iya enggak cinta."

Aku menarik napas lagi. Aku rasa aku harus menceritakan


semuanya dengan detail agar Dhara bisa paham dengan
keadaan yang menimpaku dulu. "Kami dijebak sama Mami
saya. Dia memasukan obat ke dalam minuman kami dan
setelah itu, tanpa sadar kami berdua melakukan kegiatan itu.
Satu kali kami melakukannya dan Renata langsung positif
hamil. Mami sengaja merencanakan hal itu tepat ditanggal
kesuburan Renata."

Aku meminggirkan mobilku lalu menatap ke arah Dhara.


Perempuan itu hanya diam tanpa berkedip sepertinya dia
terlalu kaget dengan fakta itu. "Saya enggak ngarang cerita,
Dhara. Saya jujur apa adanya. Kalau kamu tetap enggak
percaya, ya terserah kamu."

Dhara mengedipkan matanya lantas mengangguk. "Karena itu


jadinya Renata enggak begitu menyayangi Lisa?" tanya Dhara
yang langsung aku respons dengan dehaman kecil.

"Mungkin. Tapi seharusnya enggak begitu, bagaimanapun juga


Lisa anak kandungnya. Mau anak itu hasil dari jebakan atau
tidak, sudah sepatutnya orangtua menyayangi anaknya."

Dhara lagi-lagi mengangguk. "Yaudah, jalanin mobilnya. Aku


mau buru-buru pulang ke rumah. Udah ada yang menunggu."

Tanpa menjawab aku langsung menjalankan kembali mobilku.


🚫 Sudut Pandang Aarav (E.5) 🚫
"Berhenti disini aja," ucap Dhara sambil membuka seatbelt-nya.
Aku menoleh ke arahnya, padahal masih harus melewati dua
rumah lagi agar sampai ke rumahnya, "aku turun disini. Terima
kasih dan sampai bertemu dipersidangan."

Aku mengangguk lantas dia keluar dari mobilku. Aku memilih


untuk mengamatinya dari kejauhan. Dia mendekati sebuah
mobil yang terparkir tepat di depan gerbang rumah. Kemudian
seorang pria keluar dari sana. Aku memperhatikan pria itu lebih
jelas, Fajar ternyata.

Mereka saling bertukar senyum. Fajar memberikan sebuah


paper bag lantas Dhara mengambilnya dengan mata yang
berbinar. Setelah itu mereka bersama-sama masuk ke dalam
rumah. Rumah kami yang seharusnya tidak boleh ada pria
manapun yang masuk ke sana kecuali keluarganya dan juga
diriku.

Hatiku mendidih rasanya ingin marah karena melihat


perempuan yang aku cinta membawa masuk pria lain ke dalam
rumah. Keinginan untuk memukul pria itu naik drastis. Namun,
aku pikir lagi, aku tidak berhak untuk melarang Dhara karena
sebentar lagi kami akan berpisah.

Mungkin ini adalah permulaan aku harus menerima kenyataan


bahwa Dhara bukan lagi milikku. Aku harus mulai
merelakannya untuk bahagia dengan pria lain karena aku telah
gagal untuk membahagiakannya.

Aku memutar arah mobilku lantas bergegas untuk pulang.


Sebelum keluar dari komplek, aku mengambil sesuatu di dalam
tasku. Sebuah minyak wangi dengan botol berwarna pink.

Ini minyak wangi yang biasanya selalu Dhara pakai. Aku ingat
mereknya sehingga aku memutuskan untuk membeli minyak
wangi ini untuk diriku. Aroma ini mengingatkanku kepada
perempuan itu.

Aku menyemprotkan minyak wangi ini ke kursi sebelahku


lantas kembali melanjutkan perjalanan. Hanya dengan
mencium aromanya, aku bisa membayangkan kehadirannya
disini.

Sesampainya di apartemen, aku langsung masuk ke dalam


kamarku. Menjatuhkan diriku di atas ranjang dan seketika air
mata langsung meluruh dari kedua pelupuk mataku.

Aku menangis lagi.

Aku menangis bukan karena cengeng. Aku menangis karena


merasa menyesal dengan tindakanku sendiri. Seharusnya dulu
aku lebih mementingkan Dhara agar aku tidak kehilangan
perempuan itu.

Seharusnya, seharusnya, dan seharusnya. Begitu banyak


penyesalan yang aku rasakan.

Dulu aku pikir ditinggal selingkuh adalah rasa sakit yang paling
dalam. Namun, nyatanya tidak.

Ada lagi yang lebih menyakitkan yaitu rasa bersalah karena


tindakan yang kita ambil menyakiti orang yang kita cintai.
Rasanya, jauh lebih meyakinkan dan menyesakan.

Dan luka itu bisa bertahan sampai lama, bahkan bisa jadi
sampai seumur hidup.

Rasa bersalah itu nyata. Andai aku tahu hal ini dari awal
sehingga ketika mengambil keputusan apapun, aku harus
berpikir berkali-kali agar tidak menyakiti orang yang aku cintai
dan lebih baik lagi tidak menyakiti hati manusia manapun.
🚫 Sudut Pandang Aarav (E.6) 🚫
Katanya, kalau cinta butuh perjuangan.

Aku mencintai Dhara dan setelah aku ingat-ingat, perjuanganku


untuk mendapatkannya sangat minim. Jika dibandingkan
dengan Dhara, perempuan itu yang jauh lebih banyak berjuang
untuk hubungan kami.

Banyak perjuangannya dari semenjak kami berpacaran sampai


kami menikah. Namun, perjuangan yang paling besar yaitu
penantiannya selama tujuh tahun.

Aku jadi berpikir, sebetulnya aku masih punya waktu untuk


memperjuangkannya. Sidang perceraian kami akan
diadakannya dua Minggu lagi berarti selama itu aku harus giat
untuk memperjuangkan cinta kami sebelum kami resmi
bercerai.

Jikalau dia tetap bersikeras untuk berpisah ya mau gimana lagi.


Aku tetap harus menurutinya. Namun, setidaknya aku tidak
merasakan menambah penyelesaian karena aku sudah
berusaha untuk mempertahankan hubungan kami.

Aku segera mengambil kunci mobilku lantas segera bergegas


menuju rumahnya. Pagi ini tidak begitu ramai sehingga tidak
membutuhkan waktu lama untuk sampai ke sana.

Dengan membawa paper bag yang berisi makanan kesukaan


Dhara aku masuk ke dalam gerbang. Saat tepat berada di
depan pintu rumah aku memencet bel dan beberapa saat
kemudian Dani keluar.

"Kak Dharanya ada?" tanyaku yang langsung dijawab dengan


gelengan kepala.

"Lagi pergi ke mana?"


"Dani kurang tahu, Kak. Tadi Kak Dhara enggak bilang apa-
apa."

Aku mengangguk lalu tersenyum. "Yaudah, Kakak tunggu di


teras aja ya? Boleh?" ucapku meminta izin.

"Masuk juga enggak apa-apa. Ada Ibu di dalam," ucap Dani


sambil membuka pintu lebih lebar.

Aku berpikir sebentar kemudian melangkah ke dalam. Ibu yang


sedang duduk di ruang keluarga langsung menoleh ke arahku.
Senyum hangatnya terukir menyambut kedatanganku. "Sini,
Nak," ucapnya sambil menepuk sebelahnya.

Aku berjalan mendekatinya lalu duduk di sana. "Gimana kamu


sekarang? Masih sibuk ngantor?" tanyanya berusaha
membuka topik.

Aku menatap wajahnya dengan lekat. Seketika rasa bersalah


menyeruak begitu saja. "Ibu, maafin Aarav ya udah nyakitin
Dhara," ucapku pelan.

Ibu tersenyum lalu menepuk bahuku. "Namanya manusia, Nak.


Pasti punya kesalahan," Ibu mengusap bahuku, "jika
dibandingkan dengan kebaikan kamu. Kesalahan kamu enggak
ada apa-apanya. Satu kesalahan dibandingkan dengan ribuan
kebaikan."

Ibu tersenyum lebih lebar. "Ibu maafin kamu, Nak. Sebenarnya


Dhara juga udah maafin kamu, hanya saja egonya masih
tinggi," wanita paruh baya itu terkekeh pelan, "namanya juga
perempuan."

Aku menggeleng kecil. "Aarav nyakitin dia terlalu dalam, Bu.


Mungkin dia begitu sakit sampai belum bisa maafin Aarav." Ibu
hanya terdiam sambil tersenyum.
"Mas Aarav ngapain ke sini sih?" ucap seseorang dari arah
pintu. Aku menoleh ke sumber suara dan menemukan Dhara
yang sedang menatapku dengan tatapan nanar.

Sebelum mendekatinya, aku sempat menoleh ke arah Ibu.


Perempuan paruh baya itu mengangguk seakan mengizinkan
aku untuk berbicara berdua dengan anaknya.

Aku bangun dari duduk lalu menarik tangan Dhara pelan


menuju ke teras. "Mas ngapain sih? Mau baik-baikin Ibu biar
aku luluh dan membatalkan perceraian kita? Enggak! Enggak!
Enggak akan ya," cerocosnya.

"Saya tadi mau ketemu kamu terus kamu enggak ada dan
akhirnya saya ngobrol sama Ibu. Saya minta maaf sama beliau
karena udah nyakitin kamu," ucapku berterus terang.

Aku duduk di kursi taman lalu menarik tangan Dhara agar


duduk di sebelahku, tetapi dia langsung menepisnya. "Apa sih
pegang-pegang," ucapnya sambil duduk di sebelahku. Namun
dengan jarak yang lumayan jauh, "mau ngapain nyari aku?"
tanyanya sinis.

Aku mengambil paper bag yang aku bawa lalu aku berikan
kepadanya. "Makanan kesukaan kamu."

Dia hanya terdiam sambil melirik ke arah paper bag. "Ambil,"


ucapku lagi.

Dengan ragu tangannya terulur untuk


mengambil paperbag yang aku berikan. Dia sempat melirik ke
arah dalamnya lalu dia meletakan paperbag itu di sebelahnya.
"Makasih."

Aku tersenyum tipis. "Iya, sama-sama," setelah itu kami


terdiam cukup lama, "Dhara, semalam saya mimpiin kamu.
Kamu membatalkan perceraian kita dan itu membuat saya
senang sekali."
Dia menatapku sinis. "Iya itu kan cuma mimpi. Nyatanya kita
akan tetap berpisah," dia berdiri dari duduknya, "Mas enggak
usah berusaha agar aku luluh deh ya karena aku enggak akan
goyah. Hati aku sakit dan aku tetap mau pisah," ucapnya lalu
pergi dari hadapanku.

Seram ya dia, padahal dulu aku yang sering dihina seram, tapi
ternyata dia juga menyeramkan.
🚫 Sudut Pandang Aarav (E.7) 🚫
Keesokan hari sampai dua hari menuju sidang perceraian aku
selalu mengunjungi rumah kami, tapi sekarang aku
menyebutkan rumah Dhara karena rumah itu aku berikan
untuknya.

Setiap harinya aku datang ke sana dengan membawakan


makanan kesukaan Dhara. Aku terus berusaha untuk memulai
percakapan dengannya, meskipun tidak jarang aku hanya
dicuekin. Tidak apa-apa, aku tidak akan gentar. Aku sudah
bertekad aku akan seperti ini terus sebelum sidang perceraian.

"Bertamu mulu!" ucap Dhara sambil membuka pintu rumah


untukku. Aku hanya terkekeh pelan sambil mengusap
rambutnya, "ga usah pegang-pegang!" sinisnya.

Aku menunjukkan sebuah paperbag dengan logo restauran


seafood yang menjadi langganan kami. "Saya bawa ini, makan
dulu yuk?" ucapku menawarkan.

"Aku udah makan."

"Tapi saya belum makan."

Dia menghentakkan kakinya lantas memutar tubuhnya menuju


meja makan. "Nyusahin! Biasain kalau mau bertamu tuh makan
dulu," langkahnya berhenti di meja makan, dia mengambilkan
aku piring dan nasi di atasnya, "emang Mas sengaja kan biar
aku temenin makannya," ucapnya sambil memberikan sepiring
nasi untuk kepadaku.

"Iya, emang." Aku membuka bungkusan seafood lantas


meletakan di atas meja.

"Ini terakhir kalinya. Besok-besok enggak ada lagi begini.


Apalagi kalau kita udah cerai, aku enggak sudi liat Mas Aarav.
Ga usah temui aku lagi," cerocosnya. Aku hanya terdiam
sambil memulai kegiatan makanku.

Beberapa saat kemudian, aku sudah berada di ruang keluarga,


sedangkan Dhara berada di sampingku dengan laptop yang
berada di pangkuannya. "Dhara, saya benar-benar enggak bisa
merelakan kamu. Melihat kamu dekat sama Fajar aja saya
panas, apalagi kalau kamu menjalin hubungan serius sama
dia," ucapku memulai obrolan.

Dhara melirik sinis ke arahku lantas dia menutup laptopnya lalu


meletakannya di atas meja. "Kenapa jadi bawa-bawa Fajar."

Aku mengubah posisi dudukku menjadi lebih tegak. "Bukan


hanya Fajar, saya enggak suka kamu kamu dekat dengan pria
lain."

Dia hanya terdiam, memadangku dengan tatapan malas.


"Emang penyakit Mas Aarav posesif. Kalau kita udah cerai,
Mas enggak punya hak atas aku. Jadi mau aku sama siapa aja,
aku bebas."

"Dhara," panggilku lebih serius, "kamu yang paling berharga


dalam hidup saya. Kalau kamu pergi, saya enggak punya apa-
apa lagi. Bahkan, alasan untuk hidup pun saya enggak punya."

Dia hanya terdiam.

"Kasih tahu saya, bagaimana caranya agar kamu mau


bertahan? Selain perceraian, akan saya lakukan," aku
menggeser dudukku lalu mengelus pipinya, "saya janji saya
enggak akan sakiti kamu lagi. Saya enggak akan bodoh lagi.
Saat ini, cuma kamu yang jadi satu-satunya prioritas dalam
kehidupan saya."

Dia menepis tanganku lantas bergerak menjauh. "Biar kamu


percaya, seluruh perusahaan saya atas nama kamu, kalau
saya nyakitin kamu, seluruh harta saya bisa kamu ambil."
Wajahnya yang datar kembali sinis. "Dikira aku matre kali ya?
Dikasih embel-embel harta biar luluh."

Aku menggeleng cepat. "Kamu enggak matre, tapi saya


enggak punya apa-apa lagi yang bisa jadi jaminan," aku
menatapnya lebih lekat, "Dhara, kasih saya kesempatan kedua.
Saya janji akan memperbaiki semuanya."

"Aku enggak bisa. Mas udah nyakitin aku begitu dalam," dia
bangun dari duduknya, "aku mau ke kamar. Mas Aarav boleh
pulang, sampai bertemu disidang perceraian."

Aku terdiam mematung menatap kepergiannya.

Sakit, tapi enggak berdarah.


🚫 Sudut Pandang Aarav (E.8) 🚫
Hari ini adalah hari terakhir sebelum sidang perceraian aku dan
Dhara dilaksanakan. Dengan kata lain, hari ini adalah hari
terakhir aku memperjuangkan hubungan kami agar bisa
dipertahankan, meskipun aku sudah ditolak berkali-kali, tapi
aku tidak patah semangat. Hari ini aku memutuskan untuk
tetap berjuang.

Pagi-pagi sekali aku sudah bangun lalu bersiap-siap untuk ke


rumah Dhara. Kali ini aku membawakan sebuket bunga Anyelir,
bunga kesukaan Dhara. Aku tambahkan secarik kertas di
atasnya.

Dengan senyum yang merekah, aku membawa masuk bunga


itu ke dalam mobil lantas mengendarainya menuju tempat
tujuan. Sesampainya disana, ada yang berbeda. Aku keluar
dari mobilku lalu mendekati rumah itu, pagarnya terkunci.
Biasanya pagar ini otomatis, tetapi saat aku ingin masuk, tidak
ada pergerakan. Mencoba tetap tenang, mungkin Dhara belum
bangun sehingga dia belum mengaktifkan pagar otomatis.

Aku mengambil idcard milikku lalu menempelkannya dan


seketika pagarnya terbuka, meskipun Dhara yang
meninggalkan tempat ini aku juga memiliki idcard cadangan
dan niatnya saat kami sudah resmi bercerai barulah aku
memberikan idcard-ku untuknya.

Tanpa berpikir panjang, aku langsung masuk ke dalam rumah


dan mengetuk pintunya. Sebenarnya bisa saja aku masuk,
tetapi rasanya tidak etis. Aku ketuk pintunya beberapa kali
disertai dengan menekan bel. Namun, tidak ada respons dari
dalam.

Masih dengan pikiran yang positif. Mungkin saja mereka semua


belum terbangun sehingga tidak ada yang mendengar suara
bel atau ketukan pintu.
Aku berbalik lalu duduk di kursi teras. Aku menunggu hampir
satu jam lebih, tetapi tidak ada tanda-tanda pintu akan
dibukakan. Padahal saat ini waktu sudah menunjukkan pukul
sepuluh yang seharusnya adik-adik Dhara sudah pergi untuk
bersekolah.

Kali ini, aku tidak bisa berpikir positif lagi. Aku


mengambil idcard-ku lalu segera membuka pintunya. Saat
pintu terbuka, suasana rumah ini benar-benar sepi. Tidak
seperti biasanya.

Aku masuk lebih dalam, menoleh ke ruang keluarga, ruang


makan, dapur, kamar mandi, taman belakang, bahkan sampai
ke kamar. Aku tidak menemukan Dhara beserta keluarganya.
Mereka seakan lenyap dari sini.

Keringat dingin terasa diseluruh tubuhku. Aku berbalik ke


kamar Dhara, kamar yang dulu menjadi kamar kami. Aku
membuka lemari bajunya dan tidak menemukan satu potong
baju pun di sana. Napasku semakin memburu, Dhara dan
keluarganya pergi dari sini.

Pergi tanpa pamit, tanpa ada kata-kata perpisahan.

Aku mencoba menenangkan diriku. Besok kami akan


melakukan sidang perceraian dan pastinya Dhara datang ke
sana. Sebelum sidang dimulai, aku akan mencoba untuk
meluluhkan hatinya sekali lagi. Kalau dia tetap kekeuh, aku
menyerah. Aku harus belajar untuk merelakannya.
🚫 Sudut Pandang Aarav (E.9) 🚫
Bunga Anyelir yang kemarin aku persiapkan sudah layu dan
akhirnya aku buang. Aku membelikannya lagi dengan jenis
bunga dan rangkaian yang sama. Tidak lupa secarik kertas
yang telah aku buat kemarin.

Sidang perceraian kami akan diadakan pukul jam satu siang,


sedangkan saat ini aku sudah bergegas menuju ke gedung
pengadilan agama. Padahal masih pukul sembilan pagi. Aku
sengaja pergi pagi-pagi agar aku bertemu dengan Dhara dan
bisa memintanya agar membatalkan perceraian ini.

Sesampainya disana, aku langsung memarkirkan mobilku di


depan gerbang masuk. Kalau Dhara masuk ke dalam, pastinya
dia lewat sini karena memang tidak ada akses jalan lagi.

Sambil menunggunya aku mencari-cari kata yang tepat untuk


aku bicarakan nanti. Ini diskusi terakhir kami, diskusi ini yang
menentukan perceraian kami akan berlanjut atau tidak.

Berjam-jam aku menunggu, setiap ada mobil yang lewat aku


amati apakah itu mobil Dhara atau bukan. Setiap ada
perempuan yang berjalan masuk, aku amati lagi perempuan itu
Dhara atau bukan. Hampir empat jam aku menunggu, tetapi
tidak juga melihat Dhara.

Aku mencoba tenang dan tetap sabar. Mungkin sebentar lagi


perempuan itu akan datang. Namun, semakin lama, waktunya
semakin menipis, aku jadi semakin panik.

Waktu kurang dari satu jam lagi dan belum ada diskusi diantara
kami. Kalau Dhara datang tepat waktu, gagal semuanya. Kami
akan bercerai.
Aku membuka ponselku lantas menghubungi Dhara,
mengirimkannya pesan, tetapi tidak ada simbol terkirim. Aku
meneleponnya, tetapi ponselnya juga tidak aktif.

Aku menelpon Ibu dan adik-adiknya, tetapi semuanya


menampilkan hasil yang sama. Ponsel mereka seperti tidak
aktif semua. Atau jangan-jangan nomorku yang sudah diblokir
sehingga panggilan selalu tidak tersambung.

Aku menarik napas lalu membuangnya. Keluar dari mobil lalu


berjalan ke pinggir jalan raya, menunggu Dhara disana. Jika
dia sampai nanti, aku langsung mencegat mobilnya lalu
memaksanya agar kami bicara.

Dengan mata yang selalu melihat ke arah satu persatu mobil


yang melewati jalan raya, aku kembali tidak menemukan mobil
Dhara disana.

Aku melirik ke arah jam, sepuluh menit lagi sidang kami akan
dimulai. Aku menarik napas, berbalik lalu berjalan kembali ke
mobil. Mungkin saja Dhara sudah berada di dalam. Saat ini aku
sudah pasrah. Kalau memang ini jalannya, ya sudah aku
menyerah.

Aku memarkirkan mobilku lalu berjalan menuju ruangan


persidangan. Aku duduk lalu pandanganku menyapu ke
berbagai sudut ruangan, aku tidak menemukan Dhara disini.

Mungkin dia terlambat. Kami semua yang berada di ruangan ini


menunggunya. Berjam-jam berlalu, dari jam dimulainya
persidangan sampai persidangan ini berakhir. Dhara tidak
datang. Perempuan itu tidak menghadiri sidang perceraian
kami.

Padahal dia penggugat dalam perceraian.


🚫 Sudut Pandang Aarav (E.10) 🚫
Pada hari yang sama, aku memutuskan untuk mencari Dhara.
Aku takut hal buruk menimpa dirinya dan juga keluarganya.
Pasalnya tidak mungkin saja Dhara tidak mendatangi sidang
kami, padahal dari awal dia yang bersikeras untuk berpisah.

Aku menghubungi temannya satu persatu. Menanyai


keberadaan Dhara dan berharap salah satu diantara mereka
ada yang mengetahui. Namun, nyatanya tidak. Tidak ada yang
mengetahui keberadaan Dhara.

Aku semakin khawatir. Pasti ada kejanggalan yang membuat


Dhara seperti ini. Aku meletakan ponselku lalu bergegas
menuju ke perkebunan Dhara. Mungkin perempuan itu ada
disana. Semoga.

Sesampainya disana, aku langsung masuk ke dalam gedung


kantornya. Menanyainya ke Lina, asisten pribadinya, tetapi Lisa
juga tidak tahu. Sedari kemarin dia juga tidak bisa
menghubungi Dhara.

Saat keluar dari gedung, aku melihat Fajar berjalan memasuki


area perkebunan. Aku berjalan cepat lalu mendekatinya. Kedua
mata kami bertemu, dia tampaknya kaget dengan kehadiranku.

"Kamu tahu keberadaan, Dhara?" tanyaku tanpa basa-basi.


Aku butuh jawabannya cepat.

Pria itu terdiam sambil mengerutkan keningnya. "Dhara, Pak?


Dia kan di Jakarta. Di rumah Bapak sama dia," jawab Fajar
cepat.

Aku menggeleng. "Dhara pergi dari rumah kami. Di rumah


lamanya dia juga enggak ada."
Fajar tampak berpikir keras. "Di villa yang menjadi tempat
tinggalnya, juga enggak ada. Selama dia kembali ke Jakarta,
villanya dibiarkan kosong."

Aku menatap wajahnya mencari kebodohan di mata itu. Aku


enggak percaya. Kemana lagi Dhara pergi kalau bukan ke villa
itu. "Saya mau ke Villanya. Mau lihat langsung. Apakah kamu
berkenan untuk mengantar saya kesana?" tanyaku.

"Sekarang, Pak?"

"Iya. Sekarang."

Dia mengangguk cepat. "Mari, saya antar." Dia berbalik ingin


mengambil motornya, sedangkan aku masuk ke dalam mobil
lalu kami beriringan menuju Villa itu.

Sesampainya disana, Fajar membuka pintu Villa itu. Dia bilang,


sebelum Dhara ke Jakarta, perempuan itu menitipkan kunci
villa kepada dirinya. "Mari, Pak. Masuk," ucapnya sambil
membuka pintu.

Tanpa menjawab aku langsung masuk ke dalam. Suasana


benar-benar sepi. Aku menyusuri ruangan satu persatu. Curiga
kalau Dhara sedang bersembunyi di salah satu ruangannya.
Setelah semua ruangan aku telusuri, aku tidak menemukan
siapapun.

Benar ternyata, Dhara dan keluarganya tidak di sini.

"Terima kasih ya Fajar," ucapku ketika Fajar mengunci kembali


villa ini.

"Sama-sama, Pak," ucapnya sambil mengangguk.

Aku masuk ke dalam mobil lalu bergegas menuju ke Jakarta.


Pulang dengan harapan kecewa. Di sepanjang perjalanan, aku
terus berpikir kemana perginya Dhara. Semoga saja dimana
pun dia dan keluarganya berada mereka dalam keadaan baik-
baik saja.

Aku akan terus melanjutkan pencarian sampai ketemu.

⚠⚠⚠

Sudah hampir satu bulan aku berjuang untuk menemukan


keberadaan Dhara dan keluarganya. Setiap harinya aku
mendatangi rumah lama kami, berharap kalau pada hari itu dia
pulang. Namun, sampai saat ini belum ada tanda-tanda
kepulangannya.

Hampir tiga hari sekali aku ke perkebunan dan villa untuk


mengontrol keberadaannya, tetapi tidak kunjung ketemu juga.

Seminggu sekali aku menanyai keberadaan Dhara ke teman-


temannya, tetapi sampai saat ini belum ada yang tahu.

Aku sampai memperkerjakan lima orang suruhanku untuk


mencari keberadaan Dhara.

Kalau aku tahu, setidaknya aku bisa tenang jika mereka semua
dalam keadaan baik-baik saja.

Kalau sekarang, setiap harinya aku cemas dan khawatir.


Tidurku tidak nyenyak. Makan pun aku terkadang lupa. Aku
juga tidak pernah lagi mengurusi pekerjaanku. Diriku saja tidak
aku urus, bagaimana yang lain.

Selepas kepergiannya, hidupku semakin tidak seimbang. Di


pikiranku hanya ada Dhara. Setiap meninta aku berpikir keras
agar menemukan sebuah solusi untuk menemukannya.

Aku lelah dengan ini. Kalau dia ingin berpisah ya sudah


mungkin perceraian adalah jalan terbaik. Aku akan berusaha
melepaskan demi kebahagiaannya. Namun, kalau seperti ini
perasaanku dan juga hubungan kami serasa digantung
olehnya.

Tidak enak dan menyesakkan.

Aku menarik napas berat lantas bersandar di kepala ranjang.


Dari dua hari yang lalu aku belum tidur, seingatku, aku makan
juga baru sekali. Perutku lapar, tetapi aku tidak hiraukan itu.

Mataku tidak sengaja menatap ponselku ya bergetar. Aku


mengambil benda tipis itu lalu layarnya memperlihatkan
panggilan dari Nata.

"Kenapa, Nat? Udah dapat kabar tentang Dhara?" tanyaku


cepat.

"Pak Aarav, Dhara kecelakaan."

Napasku tercekat. "Kecelakaan?"

"Iya, Pak. Saya baru tahu kabarnya sekarang."

Aku langsung bangun dari ranjang dan bergegas masuk ke


dalam mobil. "Kirim alamatnya sekarang. Saya mau ke sana."

"Sudah saya kirim lewat chat, Pak."

"Baik, terima kasih ya Nata."

"Iya, Pak." Sambungan pun terputus.

Aku mengendarai mobil dengan keringat yang bercucuran.


Tanganku bergetar hebat. Aku panik luar biasa.
⚠ Sudut Pandang Dhara ⚠
Aku mengintip dari jendela, Mas Aarav baru saja masuk ke
dalam pekarangan rumahku. Aku buru-buru melangkahkan kaki
menuju ke kamar lalu membaringkan tubuhku di atas ranjang.

Tidak lama kemudian, ada suara-suara dari arah ruang tamu.


Pastinya Ibu dan Mas Aarav sedang berbincang-bincang
mengenai diriku. Setelah itu, pintu di kamarku bergerak dan
muncul seorang pria di sana. Aku tertegun seketika, wajahnya
benar-benar pucat seperti orang sakit. Kantung matanya besar
dan juga berwarna hitam. Dia enggak tidur berapa hari sih.

"Sayang," panggilnya sambil mendekatiku. Aku melirik ke arah


pintu, Ibu tersenyum kecil lalu meninggalkanku berduaan
dengan pria ini, "kamu kenapa?" tanyanya dengan suara yang
sesak seperti ingin menangis dan benar saja tidak lama
kemudian matanya berkaca-kaca lalu setetes air mata pun
terjatuh.

Dia menyentuh pipiku dengan lembut. "Kecelakaan dimana?"


matanya menyapu tubuhku dari atas sampai bawah, "apanya
yang sakit?" tanyanya dengan begitu khawatir.

Aku hanya diam mematung.

Mas Aarav memelukku dengan erat. "Saya khawatir banget.


Nyari kamu ke mana-mana. Menanyakan kabar kamu ke
teman-temamu. Mengunjungi rumah kita dan juga pekebunan
kamu. Saya takut kamu dan keluarga kenapa-kenapa. Saya
takut hal buruk menimpa kalian," ucapnya dengan isak tangis.

Aku masih terdiam dengan wajah datar.

"Ternyata, kamu kecelakaan. Saya tadi bawa mobil sampai


panik, Dhara," kali ini tangannya bergerak untuk menyentuh
puncak kepalaku, "sampai sekarang masih sakit? Apanya?
Bilang sama saya."

Aku menggeleng pelan, lantas dia menatapku dengan tatapan


tidak percaya. "Dhara," dia mengusap air matanya dengan
kasar, "kalau mau ingin bercerai, saya akan menyetujui,
meskipun sejujurnya saya enggak mau. Saya lebih baik lihat
kamu bahagia dengan pria lain daripada kamu harus berbaring
sakit begini."

Air matanya mengalir dengan semakin deras. "Saya enggak


tega melihat kamu seperti ini. Saya enggak kuat melihat kamu
kesakitan."

Apa sih dia?

Dia enggak tahu kali ya kalau aku sebenarnya pura-pura sakit.

"Sayang," dia menatapku dengan matanya yang masih


memerah, "jangan diam aja," ucapnya terdengar menuntut.

Aku berdeham lalu menjauhkan tubuhnya dari tubuhku. "Udah


berapa lama enggak mandi?" tanyaku sinis.

"Saya tanya kamu, tapi kenapa kamu yang balik tanya,"


ucapnya dengan tatapan tajam. Pria seram ini memang tidak
pernah berubah.

"Mas jawab aku dulu. Udah berapa lama enggak mandi?"

Dia terdiam cukup lama seperti berpikir. "Empat hari yang lalu,"
ucapnya lalu menggeleng cepat, "seminggu yang lalu
sepertinya. Saya mikirin kamu terus, Dhara. Sampai enggak
ingat mandi."

Aku mendorong tubuhnya lebih jauh. "Jorok banget sih. Mandi


dulu sana."
"Di mana?" aku menunjuk ke arah kamar mandi yang berada di
sebelah pintu, "tapi saya enggak bawa baju juga."

"Pakai kaus aku, ambil sendiri di lemari," dia menatapku


dengan ragu, "udah sana, mandi dulu."

Tanpa menjawab dia langsung berjalan ke arah lemari. "Saya


buka ya lemarinya. Maaf kalau enggak sopan," aku hanya
berdeham membalasnya, "pakai kaus yang mana?" tanyanya
sambil menoleh ke arahku.

"Yang mana aja."

Dia kembali menoleh ke arahku. "Kamu pakai kaus hijau," dia


mengambil kaus hijau dari lemari, "saya mau pakai warna yang
sama."

Duh, pria ini. Dulu katanya kalau samaan, biar couple banget.

Setelah itu dia masuk ke dalam kamar mandi untuk


membersihkan dirinya. Beberapa saat kemudian, pria itu keluar
dari kamar mandi dengan kaus hijau yang menempel di
tubuhnya.

"Mas," panggilku.

"Iya? Kenapa? Mau apa?" tanyanya siap siaga.

"Aku terima masa lalu dan memaafkan semua kebohongan


Mas Aarav."
⚠ Sudut Pandang Dhara (E.2) ⚠
Aku enggak peduli ya jika aku dicap sebagai perempuan bodoh
yang sudah disakiti berkali-kali, tetapi masih mau memaafkan.
Ya mungkin benar karena aku begitu mencintainya.

Ribuan menit aku habiskan untuk memikirkan masalahku


dengan Mas Aarav. Aku tidak membenarkan kesalahannya
karena sudah membohongiku, dia salah, kita tahu itu. Namun,
kalau aku berkaca, aku juga membohongi dia, kami saling
membohongi. Dia aja bisa memaafkan aku lantas kenapa aku
sulit sekali untuk memberikannya maaf.

Semua orang pasti punya salah dan setelah aku berpikir lebih
jauh, enggak semua permasalahan harus diselesaikan dengan
perpisahan. Apalagi kami sudah dalam ikatan pernikahan,
enggak boleh semudah itu untuk meminta cerai. Pernikahan
kami enggak sebercanda itu.

Aku sempat berpikir apa aku menjalin hubungan dengan pria


lain aja ya, tapi rasanya aku malas sekali untuk membangun
hubungan dari awal dan juga masa perjuangan dan penantian
tujuh tahunku lenyap begitu saja hanya karena egoku yang
begitu tinggi.

Kemarin-kemarin aku meminta bercerai karena aku tidak


berpikir panjang. Disaat itu emosiku sudah membumbun tinggi
sehingga pikiranku tidak berjalan dengan baik. Aku kemarin
sempat memberikannya surat cerai itu sebenarnya bukan
benar-benar keinginanku, ada desakan dari pihak lain. Ya,
enggak perlu juga aku sebut siapa.

Aku yang sedang lemah hati, tiba-tiba dihasut dengan embel-


embel aku enggak akan bahagia dengan Mas Aarav karena dia
sudah membohongiku. Awalnya aku percaya, tetapi semakin
lama aku berpikir, semakin aku ragu dengan pikiranku sendiri.
Dia enggak tahu bagaimana Mas Aarav, aku yang lebih tahu.
Aku yakin, aku akan bahagia karena aku tahu Mas Araav akan
berubah.

Apalagi saat dua Minggu berturut-turut Mas Aarav setiap


harinya berkunjung ke rumahku dan selalu merayuku agar aku
mengagalkan perceraian kami. Makin ragu saja aku. Namun,
disaat itu aku berpura-pura kekeuh ingin berpisah. Aku senang
aja melihat dia terlihat menderita saat aku tolak ajakannya
mentah-mentah.

Ketika dua hari menjelang sidang perceraian kami, aku


memutuskan untuk pergi ke kampung halaman Ibu. Aku
sengaja tidak datang ke sidang perceraian sekaligus sengaja
ingin melihat seberapa besar perjuangan Mas Aarav untuk
mencariku.

Ternyata besar juga ya.

Setiap pagi, melalui ponsel yang terhubung dengan CCTV di


rumah lama kami, aku selalu melihat Mas Araav datang. Dia
masuk ke dalam rumah dengan wajah penuh harap lalu keluar
rumah dengan wajah kecewa.

Bukan hanya itu, dia juga sering menghubungi teman-temanku


untuk menanyakan kabarku. Tentunya semua temanku tidak
ada yang memberitahunya, aku sudah sekongkolan dengan
mereka semua agar tidak memberitahu keberadaanku.

Selain itu, dia juga ke perkebunan setiap minggu bisa beberapa


kali dan tentunya tidak pernah menemui keberadaanku disana.
Jelas lah, orang selama ini aku hanya di kampung halaman
Ibu. Aku disini menjernihkan pikiranku agar tidak ada
penghasut lagi.

Satu bulan berlalu, akhirnya aku merasa iba dengan Mas


Aarav. Sepertinya sudah cukup aku bermain-main karena itu
aku meminta Nata untuk menghubunginya dengan mengatakan
aku kecelakaan. Aku ingin lihat langsung bagaimana
kekhawatiran dia dan ternyata kekhawatiran itu sama seperti
dulu kami masih pacaran.

Semoga saja pria itu kembali menjadi Mr. Scary-ku yang dulu.
Aku akan terima kekurangan yang dia miliki, meskipun ruang
gerakku akan dibatasi. Enggak masalah karena setelah kami
memutuskan untuk kembali bersatu, aku akan memecat Fajar
agar tidak ada lagi masa lalu di ruang lingkupku. Aku lakukan
itu semata-mata untuk menjaga perasaannya.

Kalau kalian mengecap aku bodoh karena aku kembali dengan


Mas Aarav.

Aku cuma mau bilang, kalian enggak ngerti rasanya jadi aku.
⚠ Sudut Pandang Dhara (E.3) ⚠
"Aku terima masa lalu dan memaafkan semua kebohongan
Mas Aarav." Mas Aarav tiba-tiba mematung, menatapku tanpa
berkedip.

Beberapa detik dia seperti itu sampai akhirnya tanganku


bergerak untuk menepuk pipinya pelan. "Mas, ih. Diam aja,"
ucapku sebal.

Dia berkedip lalu tatapan matanya menatapku dengan kosong.


"Saya mimpi ya?" seketika alisku mengerut, "soalnya saya
sering mimpi seperti ini. Mimpi kalau saya dan kamu enggak
jadi bercerai."

Dia sampai sebegitunya.

Aku tersenyum lalu kembali menepuk pipinya dengan lebih


keras. "Sakit nggak?" dia mengangguk, "yaudah berarti enggak
mimpi."

"Serius enggak sih? Kamu jangan bohongin saya. Jangan


kasih saya harapan palsu, Dhara."

Aku berdecak sebal lalu turun dari ranjang. "Eh kamu kok
kakinya baik-baik aja?" ucapnya cepat.

Duh, aku enggak bisa main-main lagi nih. Sudahlah. Kasihan


juga Mas Aarav aku uji terus kesabarannya. Aku berbalik,
berlari kecil lalu memeluknya dengan erat. "Aku pura-pura
kecelakaan. Mau lihat Mas Araav khawatir."

Wajahnya kembali datar. "Enggak lucu bercandanya. Tadi saya


hampir nabrak gara-gara bawa mobil dalam keadaan panik."

Aku menyengir. "Maaf. Habisnya Mas Araav sering bikin aku


kesal."
Dia menarik napas lalu mengacak rambutku. "Kata-kata kamu
tadi juga cuma bercandaan?" tanyanya dengan tatapan curiga.

Aku menggeleng cepat. "Serius."

"Asli nggak sih?"

"Mas ribet ah. Emangnya enggak mau aku maafin? Kayanya


enggak percaya banget." Aku berdiri lalu bergegas
meninggalkannya. Namun, tangan pria itu menarikku sehingga
aku terjatuh tepat di sebelahnya.

"Saya masih enggak nyangka aja, Dhara. Saya sudah


membohongi kamu. Sudah nyakitin kamu berkali-kali, tetapi
kamu masih mau maafin saya," tangannya bergerak untuk
mengelus pipiku, "kamu baik sekali. Terima kasih ya, Sayang."

Panggilan yang aku rindukan.

"Mas, setelah aku berpikir panjang, kita sama-sama salah dan


solusi untuk permasalahan ini bukan bercerai. Mungkin
terkesan egois kalau aku minta cerai tanpa aku berikan
kesempatan kedua. Mas Aarav aja ngasih aku kesempatan
kedua."

Dia mengangguk lalu tersenyum. senyuman yang begitu lebar.


"Saya janji enggak akan mengulang kesalahan yang sama.
Saya sudah jera. Enggak mau begitu lagi karena saya benar-
benar nggak mau kehilangan kamu," dia mengecup puncak
kepalaku, "kepergian kamu membuat saya sadar kalau kamu
berharga dalam kehidupan saya."

Aku tersenyum lalu memeluknya erat. "Aku cinta sama Mas


Aarav mungkin karena itu juga aku bisa dengan ikhlas maafin,
Mas. Aku bucin banget ya sama dosen seram ini."

Dia terkekeh pelan lalu membalas pelukanku tidak kalah erat.


"Saya juga cinta sama kamu. Terima kasih ya udah
memberikan kesempatan kedua. Saya akan gunakan
kesempatan ini dengan sebaik-baiknya."

Pada hari ini akhirnya kami menghabiskan waktu bersama.


Saling tertawa seakan melupakan masalah yang telah
menimpa kami. Ya, namanya sudah ikhlas. Kebencian dan
rasa kesal seakan meluruh semua.
❌ Sudut Pandang Fajar ❌
Dhara♥
Aku kembali lagi sama Mas Aarav

Dhara♥
Setelah aku pikir-pikir, perceraian bukan jalan yang terbaik

Dhara♥
Terima kasih ya Fajar udah ada buat aku saat kemarin aku
sedih

Dhara♥
Oh, iya. Sekarang lagi di perkebunan gak? Aku mau ke sana

Anda
Oh, gitu. Oke

Anda
Iya, di perkebunan

Anda
Ok

Aku menatap ponselku dengan tatapan kosong. Jujur saja, aku


kecewa dengan keputusan yang diambil Dhara. Dia sudah
disakiti berkali-kali, tetapi masih saja mau memaafkan.

Kemarin saat Dhara memberikannya surat cerai, aku sudah


senang. Senang dalam artian setelah mereka bercerai
kemungkinan besar aku bisa menggantikan posisi Pak Aarav
untuk menjadi suami Dhara karena sampai saat ini aku begitu
mencintai perempuan itu.

Namun, dia malah memilih kembali dengan Pak Aarav. Pupus


sudah harapanku.
Beberapa saat kemudian, Dhara yang diantar oleh Pak Aarav
masuk ke dalam pekarangan perkebunan. Pak Aarav hanya
menunggu di mobil, sedangkan Dhara keluar lalu mendekatiku.

"Ada yang mau aku bicarakan," ucapnya sambil menatapku


lekat.

"Yaudah. Mau bicara dimana?

Dia menunjuk ke sebuah lahan yang baru saja kami buat. "Di
sana aja." Aku mengangguk lalu kami melangkah bersama
menuju lahan itu.

"Fajar," panggilnya saat kami sudah berada di sana, "karena


lahan perluasan perkebunan aku sudah selesai dan sepertinya
enggak akan ada lagi pembangunan untuk beberapa tahun ke
depan."

Perasaanku mulai tidak enak.

"Aku mau kita memutuskan kerjasama. Terima kasih ya Fajar


udah menjadi kepala kontruksi yang hebat untuk
perkebunanku. Terima kasih banyak."

Aku tersenyum ketir lalu menatap ke arah mobil Pak Aarav.


"Kamu mecat aku karena Pak Aarav? Dia maksa kamu untuk
ini? Bilang sama dia, aku enggak akan lagi minta kamu untuk
pergi dari dia."

Dhara menggeleng cepat. "Bukan, bukan perintah Mas Aarav,


tapi ini kemauan aku."

"Beberapa tahun kita saling bekerja sama, ada atau tidak ada
pembangunan, tapi kenapa sekarang kamu seperti ini?"

Dhara menarik napas panjang lalu dia memutuskan kontak


mata kami. "Kita pernah punya masa lalu, Jar. Masa lalu kita,
membuat suami aku sakit hati," matanya beralih menatapku,
"aku melakukan ini semata-mata hanya untuk menjaga
perasaannya. Aku enggak mau dia dihantui kecurigaan saat
kita bersama, meskipun kita bisa profesional. Aku mencoba
meminimalisir pertengkaran diantara kami dan mungkin ini
salah satu caranya."

Aku tersenyum miring. "Kamu masih menjaga perasaannya?


Padahal dia jelas-jelas sudah membohongi dan menyakiti
kamu. Kamu perempuan paling bodoh yang pernah aku temui,
Ra."

Dhara menggeleng. "Fajar," dia tersenyum lebar, "kamu


enggak paham rasanya jadi aku."

Aku hanya terdiam. Benar, aku tidak paham jadi dia. Mungkin
dia begitu mencintai Pak Aarav sampai-sampai dia mampu
untuk memaafkan kesalahan fatal pria itu.

Dulu saat aku melamarnya dan tidak lama kemudian Pak Aarav
juga melamarnya, perempuan itu malah memilih Pak Aarav
padahal aku yang lebih dahulu.

Rasanya cintanya begitu besar untuk pria itu. Sampai-sampai


hasutanku agar dia bercerai tidak dia dengarkan.

Pendiriannya kuat. Cintanya kuat.

Mau aku berjuang dengan acara apapun sampai kapanpun,


aku tidak akan pernah bisa bersanding dengan Dhara.

Mungkin dia bukan jodohku dan aku harus terima itu.

"Semoga bahagia ya, Dhara," ucapku diakhir pembicaraan


kami.

Perempuan itu mengangguk, mengucapkan terima kasih lalu


pergi dari hadapanku. Aku menatap punggungnya yang kian
lama kian menjauh.
Mataku seakan berkaca-kaca karena aku tahu saat ini adalah
pertemuan terakhir kami.
⚪ Sudut Pandang Penulis ⚪
Malam ini Aarav dan Dhara menghabiskan waktu mereka untuk
duduk di balkon sambil menatap ke arah langit. Dhara
menyandarkan kepalanya di bahu Aarav, sedangkan pria itu
mengusap kepala Dhara dengan lembut.

"Sayang," panggil Aarav yang langsung mendapat respons


gumam dari Dhara, "kita tumbuh sama-sama sampai tua ya,"
lanjutnya.

Dhara mengangguk lalu mengecup pipi Aarav. "Iya, tapi Mas


Aarav janji enggak nyakitin aku kaya kemarin lagi," ucapnya
cepat.

"Iya, enggak lagi," ucap Aarav sambil mengecup bibir


perempuan itu, "mau punya anak berapa?"

Dhara menatap pria itu lalu menggeleng. "Aku enggak tahu,


terserah Mas aja."

"Hmm," Aarav tampak berpikir, "yang jelas saya mau lebih dari
dua."

Seketika tatapan mata Dhara berubah menjadi sebal. "Jangan


banyak-banyak ah. Nanti aku enggak diperhatiin lagi. Nanti aku
enggak bisa manja-manja kaya gini," tangannya bergerak
mengusap pipi Aarav, "nanti Mas sibuk sama anak. Kan Mas
Aarav gitu, lebih sayang sama anak daripada sama istri."

Pria itu terkekeh pelan lantas mengacak rambut Dhara dengan


gemas. "Masa sama anak sendiri cemburu."

Dhara mencebik lantas memeluk Aarav dengan lebih erat. "Aku


mau dimanja-manja terus."

"Iya, malamnya kan kita bisa manja-manjaan."


"Kalau anaknya banyak, enggak bisa."

"Bisa," jawab Aarav kekeuh. Setelah itu Dhara hanya diam


sambil terus memeluki Aarav.

Aarav yang baru saja pulang dari kantor langsung dikagetkan


dengan Dhara yang berlari lalu menubruk tubuhnya. Untung
saja tubuh Aarav kuat sehingga bisa menahan tubuh kecil
Dhara. "Kenapa sih lari-lari? Kangen banget memang?"
tanyanya dengan percaya diri.

Dhara menunjukkan sebuah tespack dengan mata yang


berbinar-binar. "Aku hamil, Mas," ucapnya dengan penuh
kegembiraan.

Aarav membalasnya dengan senyuman yang lebar. Dia


berjongkok lalu mengecup perut Dhara yang masih rata.
"Sehat-sehat di perut Mama ya, Sayang," ucapnya.

Dhara terkekeh pelan lalu mengusap rambut Aarav. "Sekarang


kamu mau apa?" tanya Aarav sambil berdiri sehingga saat ini
mereka saling berhadapan, "mau makan apa?" tanyanya lagi.

Dhara menggeleng.

"Mau beli sesuatu? Saya pasti belikan."

Dhara menggeleng lagi.

"Mau apa? Ayo ngidam, saya bisa jadi Papa yang siap siaga."

Dhara mengaitkan tangannya dengan tangan pria itu. "Enggak


mau apa-apa. Maunya dimanja-manjain aja sama pria seram
ini," Aarav hanya terdiam, "ayo, Mas ke kamar. Enggak enak
disini nanti keliatan yang lain."
Seakan mengerti, Aarav langsung melangkah menuju ke
kamar. Sesampainya disana, Dhara membuka jendela agar
kamar mereka lebih terang. Setelah itu, perempuan itu
menyalahkan televisi lalu dia menyandarkan tubuhnya dikepala
ranjang, sedangkan Aarav yang baru saja mengganti bajunya
langsung ikut bergabung dengan Dhara di atas ranjang.

"Nonton film horror yuk," ajak Dhara.

"Kamu bukannya takut horror."

"Tapi aku mau nonton itu."

Aarav menarik kepala Dhara agar bersandar di dadanya.


"Yaudah putar filmnya. Saya temani kamu nonton."

Dengan semangat Dhara langsung memutar film horror


pilihannya lantas mereka berdua menonton bersama. "Seram
banget sih hantunya," ucap Dhara sambil menyembunyikan
wajahnya di dada Aarav.

"Yaudah ditonton aja filmnya, Sayang," ucap Aarav setelah


beberapa lama Dhara terdiam.

Pria itu mengelus puncak kepala Dhara, tetapi perempuan itu


masih saja terdiam. Tidak ada pergerakan sama sekali.
Akhirnya Aarav melirik ke arah Dhara, ternyata perempuan itu
tertidur pulas di dadanya.

Aarav mematikan televisi lantas merebahkan tubuh Dhara


dengan posisi yang benar. Setelah itu dia mengecup kening
perempuan itu cukup lama. "Tidur yang nyenyak ya, Sayang."
⚪ Sudut Pandang Penulis (E.2) ⚪
Semenjak hamil, Dhara menjadi benar-benar manja. Dia selalu
ingin Aarav berada disisinya, bahkan sampai ke kantor pun dia
ikuti. Aarav juga tidak merasa keberatan, jika Dhara selalu
mengikutinya, dia malah senang.

"Kenapa senyum-senyum!" ucap Dhara sambil menatap Aarav


dengan sinis. Pria itu berjalan lalu berjongkok sehingga perut
Dhara pas berada di wajahnya.

"Dedek. Mamanya manja banget sama Papa. Enggak mau


ketinggalan terus. Secinta itu Mama, Dek," ucap Aarav seraya
berbicara dengan anaknya.

"Aku manja karena bawaan dari anaknya," ucap Dhara cepat.


Aarav langsung menatap permainan itu dengan senyuman
miring.

"Anaknya? Bukan Mamanya."

"Anaknya, Pah." Aarav terkekeh, mengusap kembali perut


Dhara lantas barulah dia duduk tepat di sebelah perempuan itu.

"Mual nggak?" Dhara menggeleng, "kalau ngerasain sesuatu,


kasih tahu saya ya."

"Iya, Papa."

"Duh, Mas. Melahirkan sakit nggak?" tanya Dhara saat


kandungannya sudah menginjak usia sembilan bulan. Kemarin
saat konsultasi dengan dokter kandungan, dokter itu menduga
kalau minggu-minggu ini Dhara akan segera melahirkan.
Aarav terdiam setelah mendengar pertanyaan itu. Dia kan pria,
belum pernah juga merasakan lahiran dan dia juga tidak tahu
rasanya. Kata orang-orang sih sakit, tapi dia tidak boleh
mengatakan itu, takut Dhara semakin panik.

"Nanti saya temani. Kita berjuang bersama ya, Sayang," ucap


pria itu memenangkan.

"Nanti jangan ke mana-mana ya. Pegangin tangan aku, biar


aku tenang."

"Iya, Sayang."

Dhara menarik tangan Aarav lalu menjatuhkannya tepat di


perut. "Aku mau tidur, tapi perutnya mau sambil diusap-usap,"
pintanya.

Aarav mengusap perut Dhara dengan lembut. "Begini?"


tanyanya mencoba memastikan.

Dhara mengangguk kecil."Iya, Papa. Begitu terus ya sampai


aku tidur."

"Mas, serius!" dia menunjuk ke arah perutnya, "ini sakit


banget," ucap Dhara yang baru saja masuk ke dalam ruang
kerja suaminya.

Aarav yang sedang meeting langsung mematikan sambungan


dengan sepihak. "Mau melahirkan?" tanyanya juga ikut panik.

"Kayanya iya," dia menujuk air yang mengalir di kakinya, "kata


Ibu, ini pecah ketuban."

"Sebentar," Aarav berlari ke kamar, mengambil jaket lalu


mengambil tas yang isinya sudah mereka persiapkan untuk
persalinan, "ayo kita ke rumah sakit," ucap Aarav sambil
menarik tangan Dhara pelan.

"Ih, Mas. Akunya digendong dong."

Lupa, Aarav lupa kalau saat ini istrinya sedang kesakitan.

Aarav memakaikan jaket di tubuh Dhara lalu menggendong


perempuan itu menuju ke rumah sakit, sedangkan Ibu dan
adik-adiknya nanti menyusul.

"Tarik napas, buang, Sayang," ucap Aarav terus-menerus saat


mereka berada di perjalanan.

"Aku yang tarik napas, kenapa Mas jadi yang ikut-ikutan."

"Lupa, Sayang. Maklum, terbawa suasana." Dhara hanya


terdiam sambil merasakan perutnya yang luar biasa sakit.
⚪ Sudut Pandang Penulis (E.3) ⚪
"Namanya Greatta, Bu," ucap Dhara sambil memperkenalkan
anak perempuannya yang baru saja lahir.

Ibu tersenyum lalu mengusap-usap pipi bayi mungil itu.


"Namanya secantik wajahnya," ucap Ibu sambil menatap cucu
pertamanya dengan mata yang berbinar-binar.

"Sini bayinya Ibu gendong, kamu istirahat dulu aja." Dhara


mengangguk lalu memberikan Greatta ke Ibu.

Tidak lama kemudian, Aarav datang dengan roti coklat di


tangannya. Roti coklat permintaan istrinya. "Mau makan
sekarang?" tanyanya yang langsung direspons dengan
anggukan oleh perempuan itu.

Aarav membuka bungkusan roti itu lalu memasukan sepotong


demi sepotong ke dalam mulut Dhara. Ibu yang melihat mereka
hanya mampu untuk tersenyum. Dia tahu betul, saat ini
anaknya memang jadi manja kepada sang suami.

"Udah, Mas. Kenyang."

Aarav meletakan roti yang sisa sebelah itu di nakas lantas


mengambil air mineral dengan tutup yang sudah dibuka.
"Minum dulu." Sesudah minum, Aarav kembali menutup botol
itu.

"Sayang," pria itu mendekatkan bibirnya ke telinga Dhara,


"nanti Greatta umur satu atau dua tahun, kita program bayi lagi
ya."

Begitu mendengarnya, tentu saja perempuan itu langsung


melayangkan cubitannya. Dia masih pendarahan, tetapi pikiran
suaminya sudah sampai ke sana. "Kan baru rencana, Sayang."
Setelah pulang dari rumah sakit, Aarav dan Dhara bekerjasama
untuk mengurus anak mereka. Mereka lakukan semua hal
secara bersama-sama, misalnya saat menganti popok atau
memandikan bayi itu.

"Saya lihat-lihat anaknya mirip kamu ya," ucap Aarav saat


mereka sedang menjemur Greatta di halaman depan.

"Ya masa mirip Lina. Ya mirip aku lah, kan ini anak aku," balas
Dhara cepat. Suaminya memang suka ada-ada saja.

"Bukan, maksudnya saya. Greatta lebih mirip kamu daripada


mirip saya," ada jeda sebentar, "ya mungkin nanti anak kedua
mirip saya." Udah ngomongin anak kedua, padahal anak
pertama saja belum berumur satu minggu.

"Great, bobo siang ya," ucap Dhara saat meletakan Greatta


di box bayi. Anak kecil berumur satu tahun itu hanya terdiam
dengan mata yang sayu.

Dhara menunggu sampai mata anak itu terpejam barulah dia


naik ke atas ranjang, mengikuti suaminya yang sudah
berbaring disana. "Kamu sengaja bikin Great tidur cepat karena
ingin berduaan dengan saya kan?" tanyanya yang langsung
direspons tatapan datar.

"Papanya manjain anaknya terus. Mamanya juga mau," ucap


Dhara berterus terang.

Aarav terkekeh lantas dia mengecup bibir istrinya dengan


gemas. "Mama mau dimanjain gimana?" tanyanya.

Mereka saling berpandangan seakan mengerti satu sama lain,


mereka langsung melakukannya.
"Semoga anaknya pria ya, Mah. Kalau perempuan juga enggak
apa-apa sih," ucap Aarav sebelum Dhara tertidur lelap.

Dan inilah akhir cerita mereka. Setelah mereka saling menyakiti


dan juga banyak rintangan yang menghalangi, akhirnya rasa
cinta dan perbuatan saling memaafkan membawa mereka
pada kebahagiaan.

Bagian Tambahan Selesai

Anda mungkin juga menyukai