Dhara, perempuan yang sejak dahulu aku cintai dan aku jaga
dengan sepenuh hati. Nyatanya, akulah pria yang membuat
hati dan hidupnya berantakan. Aku dengan segala drama di
dalam hidupku yang membuat dia sekacau ini.
Semua drama hidupku rumit dan kalau aku jelaskan dari awal,
pastinya akan membuat Dhara sakit hati. Aku pikir dengan
memendamnya dan bersikap seolah semuanya baik-baik saja
akan bisa memanipulasi keadaan menjadi baik-baik saja.
Dulu, aku pikir Lisa dan Dhara bisa berada dalam satu jenjang
prioritas yang sama. Namun, nyatanya tidak. Aku lebih
memprioritaskan Lisa karena aku tidak mau kehilangan gadis
itu. Dia anakku satu-satunya.
Kalau sudah seperti ini, nasi sudah menjadi bubur. Tidak ada
yang bisa aku lakukan selain menerima dan mengikuti semua
keputusan Dhara. Demi kebahagian perempuan itu, walaupun
keputusan yang dia ambil, sama sekali tidak membuatku
bahagia.
Saat ini, tidak ada lagi kebahagiaan yang aku rasakan. Semua
kepahitan yang sudah dan juga yang akan segera aku terima,
semuanya adalah karma untukku.
Dia mengangguk.
"Halo, Mama Dhara. Ini Lisa lagi hehehe. Mama, Mama kapan
ke sini? Lisa kangen Mama. Mama Renata galak, dia enggak
sebaik Mama Dhara. Aku maunya sama Mama Dhara aja.
Mama Renata sama Papa sering bertengkar di depan Lisa,
Lisa enggak suka lihatnya. Terus udah hampir sebulan Mama
Renata enggak kesini, mungkin dia sibuk lagi jadinya enggak
punya waktu buat Lisa."
Anak itu, ternyata pengamat yang baik. Padahal selama ini aku
berusaha menutupinya, tetapi terlihat juga.
"Mama, sebelum Lisa meninggal. Lisa pengen banget ngeliat
Papa dan Mama bersatu lagi kaya dulu. Pengen banget lihat
Papa yang diam-diam ngeliatin Mama sambil senyum-senyum."
"Semoga rekaman ini didengar Mama saat Lisa masih ada ya,
biar keinginan Lisa terkabul, tapi kalau rekaman ini didengar
saat Lisa udah enggak ada."
"Lisa cuma mau bilang, Mama, Papa sayang dan cinta banget
sama Mama. Lisa tahu karena Lisa sering ngeliatin Papa. Papa
beda banget kalau ada Mama Renata dan ada Mama Dhara.
Papa lebih keliatan senang kalau sama Mama Dhara."
Aku mengambil kembali botol air mineral tadi. "Tapi ini bekas
saya," ucapku kembali mengingatkan.
"Ya kenapa?"
Enggak apa-apa sih sebenarnya, tapi aku takut dia enggak
mau satu botol denganku.
Lisa sendiri juga tahu, mana kasih sayang yang lebih tulus
diberikan kepadanya. Ibu kandungnya atau Ibu pengantinya.
Gadis itu sudah pernah mengatakan bahwa dia memilih Dhara,
bukan Renata.
"Sedih?"
"Iya, Lisa pasti sedih. Renata jadi enggak punya waktu untuk
dia."
"Maaf ya, Dhara. Saya melakukan itu buat Lisa. Bukan untuk
saya. Mau dia menikah dan punya anak pun saya enggak
peduli yang penting disaat anak kami membutuhkannya dia
ada."
Ini minyak wangi yang biasanya selalu Dhara pakai. Aku ingat
mereknya sehingga aku memutuskan untuk membeli minyak
wangi ini untuk diriku. Aroma ini mengingatkanku kepada
perempuan itu.
Dulu aku pikir ditinggal selingkuh adalah rasa sakit yang paling
dalam. Namun, nyatanya tidak.
Dan luka itu bisa bertahan sampai lama, bahkan bisa jadi
sampai seumur hidup.
Rasa bersalah itu nyata. Andai aku tahu hal ini dari awal
sehingga ketika mengambil keputusan apapun, aku harus
berpikir berkali-kali agar tidak menyakiti orang yang aku cintai
dan lebih baik lagi tidak menyakiti hati manusia manapun.
🚫 Sudut Pandang Aarav (E.6) 🚫
Katanya, kalau cinta butuh perjuangan.
"Saya tadi mau ketemu kamu terus kamu enggak ada dan
akhirnya saya ngobrol sama Ibu. Saya minta maaf sama beliau
karena udah nyakitin kamu," ucapku berterus terang.
Aku mengambil paper bag yang aku bawa lalu aku berikan
kepadanya. "Makanan kesukaan kamu."
Seram ya dia, padahal dulu aku yang sering dihina seram, tapi
ternyata dia juga menyeramkan.
🚫 Sudut Pandang Aarav (E.7) 🚫
Keesokan hari sampai dua hari menuju sidang perceraian aku
selalu mengunjungi rumah kami, tapi sekarang aku
menyebutkan rumah Dhara karena rumah itu aku berikan
untuknya.
"Aku enggak bisa. Mas udah nyakitin aku begitu dalam," dia
bangun dari duduknya, "aku mau ke kamar. Mas Aarav boleh
pulang, sampai bertemu disidang perceraian."
Waktu kurang dari satu jam lagi dan belum ada diskusi diantara
kami. Kalau Dhara datang tepat waktu, gagal semuanya. Kami
akan bercerai.
Aku membuka ponselku lantas menghubungi Dhara,
mengirimkannya pesan, tetapi tidak ada simbol terkirim. Aku
meneleponnya, tetapi ponselnya juga tidak aktif.
Aku melirik ke arah jam, sepuluh menit lagi sidang kami akan
dimulai. Aku menarik napas, berbalik lalu berjalan kembali ke
mobil. Mungkin saja Dhara sudah berada di dalam. Saat ini aku
sudah pasrah. Kalau memang ini jalannya, ya sudah aku
menyerah.
"Sekarang, Pak?"
"Iya. Sekarang."
⚠⚠⚠
Kalau aku tahu, setidaknya aku bisa tenang jika mereka semua
dalam keadaan baik-baik saja.
Dia terdiam cukup lama seperti berpikir. "Empat hari yang lalu,"
ucapnya lalu menggeleng cepat, "seminggu yang lalu
sepertinya. Saya mikirin kamu terus, Dhara. Sampai enggak
ingat mandi."
Duh, pria ini. Dulu katanya kalau samaan, biar couple banget.
"Mas," panggilku.
Semua orang pasti punya salah dan setelah aku berpikir lebih
jauh, enggak semua permasalahan harus diselesaikan dengan
perpisahan. Apalagi kami sudah dalam ikatan pernikahan,
enggak boleh semudah itu untuk meminta cerai. Pernikahan
kami enggak sebercanda itu.
Semoga saja pria itu kembali menjadi Mr. Scary-ku yang dulu.
Aku akan terima kekurangan yang dia miliki, meskipun ruang
gerakku akan dibatasi. Enggak masalah karena setelah kami
memutuskan untuk kembali bersatu, aku akan memecat Fajar
agar tidak ada lagi masa lalu di ruang lingkupku. Aku lakukan
itu semata-mata untuk menjaga perasaannya.
Aku cuma mau bilang, kalian enggak ngerti rasanya jadi aku.
⚠ Sudut Pandang Dhara (E.3) ⚠
"Aku terima masa lalu dan memaafkan semua kebohongan
Mas Aarav." Mas Aarav tiba-tiba mematung, menatapku tanpa
berkedip.
Aku berdecak sebal lalu turun dari ranjang. "Eh kamu kok
kakinya baik-baik aja?" ucapnya cepat.
Dhara♥
Setelah aku pikir-pikir, perceraian bukan jalan yang terbaik
Dhara♥
Terima kasih ya Fajar udah ada buat aku saat kemarin aku
sedih
Dhara♥
Oh, iya. Sekarang lagi di perkebunan gak? Aku mau ke sana
Anda
Oh, gitu. Oke
Anda
Iya, di perkebunan
Anda
Ok
Dia menunjuk ke sebuah lahan yang baru saja kami buat. "Di
sana aja." Aku mengangguk lalu kami melangkah bersama
menuju lahan itu.
"Beberapa tahun kita saling bekerja sama, ada atau tidak ada
pembangunan, tapi kenapa sekarang kamu seperti ini?"
Aku hanya terdiam. Benar, aku tidak paham jadi dia. Mungkin
dia begitu mencintai Pak Aarav sampai-sampai dia mampu
untuk memaafkan kesalahan fatal pria itu.
Dulu saat aku melamarnya dan tidak lama kemudian Pak Aarav
juga melamarnya, perempuan itu malah memilih Pak Aarav
padahal aku yang lebih dahulu.
"Hmm," Aarav tampak berpikir, "yang jelas saya mau lebih dari
dua."
Dhara menggeleng.
"Mau apa? Ayo ngidam, saya bisa jadi Papa yang siap siaga."
"Iya, Papa."
"Iya, Sayang."
"Ya masa mirip Lina. Ya mirip aku lah, kan ini anak aku," balas
Dhara cepat. Suaminya memang suka ada-ada saja.