Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH

KONSEP KEHILANGAN, KEMATIAN DAN BERDUKA

PSIKOSOSIAL & KEBUDAYAAN DI DALAM KEPERAWATAN

Dosen : Halmina Ilyas S.Kep, Ns, M.Kep

Disusun Oleh :

1. HANDAYANI : 22106025
2. MITHA AYU DWI LESTARI : 22106028
3. ZAINAB ARSYAD : 22106034
4. SATRIANI : 22106038

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN NON REGULER


STIK MAKASSAR
2021

KATA PENGANTAR
Puji syukur Kehadirat Tuhan Yang Maha ESA Atas Limpahan Rahmat
dan Karunia-Nya sehingga Kami Dapat Menyelesaikan Makalah Dengan Judul
”Konsep Kehilangan, Kematian dan Berduka” untuk memenuhi tugas mata kuliah
Psikososial & Kebudayaan dalam Keperawatan.

Kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah


membantu dalam menyelesaikan makalah ini. Kami menyadari bahwa dalam
penulisan makalah ini masih jauh dari kata kesempurnaan. Oleh karena itu,kritik dan
saran yang bersifat membangun dari pembaca sangat kami harapkan.semoga
bermanfaat terimakasih

Makassar, 08 Januari 2022

Kelompok 4

DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ii

DAFTAR ISI iii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang 1
B. Rumusan Masalah 1
C. Tujuan Penulisan 1

BAB II PEMBAHASAN

A. Kehilangan 2
B. Kematian 6
C. Berduka 7

BAB III. PENUTUP

A. Kesimpulan 13
B. Saran 14

DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kehilangan adalah suatu keadaan individu yang berpisah dengan
sesuatu yang sebelumnya ada, kemudian menjadi tidak ada, baik terjadi
sebagian atau keseluruhan. Kehilangan merupakan pengalaman yang pernah
dialami oleh setiap individu dalam rentang kehidupannya. Sejak lahir individu
sudah mengalami kehilangan dan cenderung akan mengalaminya kembali
walaupun dalam bentuk yang berbeda (Lambert dan Lambert,1985).
Kematian merupakan peristiwa alamiah yang dihadapi oleh manusia.
Namun, bencana gempa di Bantul memaksa anak untuk melihat dan atau
mengalami kematian secara tiba-tiba (Lambert dan Lambert,1985).
Duka cita dilihat sebagai suatu keadaan yang dinamis dan selalu
berubah-ubah. Duka cita tidak berbanding lurus dengan keadaan emosi,
pikiran maupun perilaku seseorang. Duka cita adalah suatu proses yang
ditandai dengan beberapa tahapan atau bagian dari aktivitas untuk mencapai
beberapa tujuan, yaitu : menolak (denial), marah (anger), tawar-menawar
(bargaining), depresi (depression), dan menerima (acceptance). Pekerjaan
duka cita terdiri dari berbagai tugas yang dihubungkan dengan situasi ketika
seseorang melewati dampak dan efek dari perasaan kehilangan yang telah
dialaminya. Duka cita berpotensi untuk berlangsung tanpa batas waktu.

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian kehilangan dan dampaknya ?

2. Apa pengertian berduka dan dampaknya ?

3. Apa pengertian kematian dan dampaknya ?

C. Tujuan

1. Agar pembaca dapat memahami arti kehilangan dan dampaknya.

2. Agar pembaca dapat memahami arti berduka dan dampaknya.


3. Agar pembaca dapat memahami arti kematian dan dampaknya.

BAB II
PEMBAHASAN

A. Kehilangan
1. Definisi
Kehilangan adalah suatu keadaan individu yang berpisah dengan sesuatu
yang sebelumnya ada, kemudian menjadi tidak ada, baik terjadi sebagian
atau keseluruhan (Lambert dan Lambert,1985).
2. Tipe Kehilangan
Kehilangan dibagi dalam 2 tipe yaitu:
a. Aktual atau Nyata
Mudah dikenal atau diidentifikasi oleh orang lain, misalnya amputasi,
kematian orang yang sangat berarti / di cintai.
b. Persepsi
Hanya dialami oleh seseorang dan sulit untuk dapat dibuktikan,
misalnya; seseorang yang berhenti bekerja / PHK, menyebabkan
perasaan kemandirian dan kebebasannya menjadi menurun.
3. Jenis-jenis Kehilangan
Terdapat 5 katagori kehilangan, yaitu:
a. Kehilangan seseorang  seseorang yang dicintai
Kehilangan seseorang yang dicintai dan sangat bermakna atau orang
yang berarti adalah salah satu yang paling membuat stress dan
mengganggu dari tipe-tioe kehilangan, yang mana harus ditanggung
oleh seseorang.
b. Kehilangan yang ada pada diri sendiri (loss of self)
Bentuk lain dari kehilangan adalah kehilangan diri atau anggapan
tentang mental seseorang. Anggapan ini meliputi perasaan terhadap
keatraktifan, diri sendiri, kemampuan fisik dan mental, peran dalam
kehidupan, dan dampaknya. Kehilangan dari aspek diri mungkin
sementara atau menetap, sebagian atau komplit. Beberapa aspek lain
yang dapat hilang dari seseorang misalnya kehilangan pendengaran,
ingatan, usia muda, fungsi tubuh.
c. Kehilangan objek eksternal
Kehilangan objek eksternal misalnya kehilangan milik sendiri,
perhiasan, pekerjaan atau uang. Kedalaman berduka yang dirasakan
seseorang terhadap benda yang hilang tergantung pada arti dan
kegunaan benda tersebut.
d. Kehilangan lingkungan yang sangat dikenal
Kehilangan diartikan dengan terpisahnya dari lingkungan yang sangat
dikenal termasuk dari kehidupan latar belakang keluarga dalam waktu
satu periode atau bergantian secara permanen. Misalnya pindah
kekota lain, maka akan memiliki tetangga yang baru dan proses
penyesuaian baru.
e. Kehilangan kehidupan/ meninggal
Seseorang dapat mengalami mati baik secara perasaan, pikiran dan
respon pada kegiatan dan orang disekitarnya, sampai pada kematian
yang sesungguhnya. Sebagian orang berespon berbeda tentang
kematian.
4. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kehilangan
a. Faktor Perkembangan
) Anak-anak
 Belum mengerti seperti orang dewasa, belum bisa merasakan.
 Belum menghambat perkembangan.
 Bisa mengalami regresi.
) Orang Dewasa
 Kehilangan membuat orang mengenang tentang hidup.
 Menyiapkan diri bahwa kematian adalah hal yang tidak bisa
dihindari.
b. Faktor Keluarga
Keluarga mempengaruhi respond an ekspresi kesedihan. Anak
terbesar biasanya menunjukkan sikap kuat, tidak menunjukkan sikap
sedih secara terbuka.
c. Faktor Sosial Ekonomi
Apabila yang meninggal merupakan penanggung jawab ekonomi
keluarga, berarti kehilangan orang yang dicintai sekaligus kehilangan
secara ekonomi. Dan hal ini bisa mengganggu kelangsungan hidup.
d. Faktor Kultural
Kultur mempengaruhi manifestasi fisik dan emosi. Kultur barat
menganggap kesedihan adalah sesuatu yang sifatnya pribadi
sehingga hanya diutarakan pada keluarga, kesedihan tidak
ditunjukkan pada orang lain. Kultur lain menganggap bahwa
mengekspresikan kesedihan harus dengan berteriak dan menangis
keras-keras.
e. Faktor Agama
Dengan agama bisa menghibur dan menimbulkan rasa aman.
Menyadarkan bahwa kematian sudah ada dikonsep dasar agama.
Tetapi ada juga yang menyalahkan Tuhan akan kematian.
f. Faktor Penyebab Kematian
Seseorang yang ditinggal anggota keluarga dengan tiba-tiba akan
menyebabkan goncangan jiwa yang berat dan tahapan kehilangan
yang lebih lama. Ada yang menganggap bahwa kematian akibat
kecelakaan diasosiasikan dengan kesialan.
5. Kebutuhan keluarga yang kehilangan
a. Harapan
Perawatan yang terbaik sudah diberikan. Keyakinan bahwa mati
adalah akhir penderitaan dan kesakitan.
b. Partisipasi
Memberi perawatan. Sharing dengan staf perawatan.
c. Dukungan
Dengan dukungan seseorang bisa melewati kemarahan, kesedihan,
dan penyangkalan. Dukungan bisa digunakan sebagai koping dengan
perubahan yang terjadi.
d. Kebutuhan Spiritual
Berdoa sesuai dengan kepercayaan yang dianut. Mendapatkan
kekuatan dari Tuhan.
6. Rentang Respon Kehilangan
Berikut penjelasan skema rentang respon kehilangan.
a. Fase Denial (Penyangkalan)
Reaksi pertama adalah syok, tidak mempercayai kenyataan yang ada.
Selalu ada verbalisasi “itu tidak mungkin”, “saya tidak percaya itu
terjadi” yang tercantum dalam otaknya. Terjadi perubahan fisik seperti
letih, lemah, pucat, mual, diare, gangguan pernafasan, detak jantung
cepat, menangis, gelisah.
b. Fase Anger (Kemarahan)
Mulai sadar akan kenyataan. Marah diproyeksikan pada orang lain.
Terjadi reaksi fisik seperti muka merah, nadi cepat, gelisah, sudah
tidur, tangan mengepal. Berperilaku agresif.
c. Fase Bargaining (Tawar Menawar)
Adanya tawar menawar seperti verbalisasi “kenapa harus terjadi pada
saya?“ dinetralkan menjadi “seandainya saya berhati-hati, pasti tidak
terjadi pada saya”. Maksud disini adalah adanya suatu mekanisme
pertahanan diri untuk tidak menyalahkan diri sendiri.
d. Fase Depression (Depresi)
Menunjukan sikap menarik diri, tidak mau bicara atau putus asa.
Gejala yang timbul adalah menolak makan, susah tidur, letih,
dorongan libido menurun.
e. Fase Acceptance (Penerimaan)
Pikiran pada objek yang hilang berkurang. Verbalisasi ”apa yang dapat
saya lakukan agar saya cepat sembuh?” dan juga “yah, akhirnya saya
harus operasi”.
7. Dampak Kehilangan
Kehilangan mengakibatkan dampak dalam hidup seseorang seperti :
a. Pada masa anak-anak
Kehilangan dapat mengancam kemampuan untuk berkembang,
kadang akan timbul regresi serta rasa takut untuk ditinggalkan atau
dibiarkan kesepian.
b. Pada masa remaja atau dewasa muda
Kehilangan dapat menyebabkan disintegrasi dalam keluarga atau
suatu kehancuran keharmonisan keluarga.
c. Pada masa dewasa tua
Kehilangan khususnya kematian pasangan hidup dapat menjadi
pukulan yang sangat berat dan menghilangkan semangat hidup orang
yang ditinggalkan.

B. Kematian
Kematian merupakan peristiwa alamiah yang dihadapi oleh manusia.
Pemahaman akan kematian mempengaruhi sikap dan tingkah laku seseorang
terhadap kematian. Selain pengalaman, pemahaman konsep kematian juga
dipengaruhi oleh perkembangan kognitif dan lingkungan sosial budaya.
Kebudayaan Jawa yang menjadi latar tumbuh kembang anak menjadi penting
untuk diperhatikan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pemahaman
anak usia sekolah dan praremaja tentang kematian dengan mengacu pada
tujuh subkonsep kematian, yakniirreversibility, cessation, inevitability,
universability, causality, unpredictability, danpersonal mortality dari Slaughter
(2003). Penelitian dilakukan melalui pendekatan kualitatif dengan metode
wawancara yang dilakukan pada tiga anak usia (6-7 tahun) dan 4 praremaja
(10-11 tahun).
Hasil penelitian menunjukkan pemahaman konsep kematian yang berbeda-
beda pada ketiga subjek yang berusia 6-7 tahun. Dua subjek belum
memahami subkonsepunpredictability dan causality, sedangkan kelima
subkonsep lainnya sudah dipahami oleh anak. Satu subjek lainnya hanya
memahami subkonsep inevitability, universality, dan personal mortality,
sedangkan empat subkonsep lainnya belum dipahami sama sekali. Secara
umum ketiga subjek belum memahami kematian sebagai fenomena biologis.
Partisipan yang berusia 10-11 tahun sudah memiliki ketujuh subkonsep
kematian walaupun belum bisa mendeskripsikannya secara utuh. Hasil
penelitian ini disoroti dari teori kematian, teori perkembangan dan budaya
Jawa. Hasil penelitian ini berimplikasi pada teori perkembangan konsep
kematian pada anak, dan juga pada seberapa jauh budaya Jawa memberikan
kesempatan pada anak untuk memiliki pemahaman yang utuh tentang
kematian.
Perkembangan euthanasia tidak terlepas dari perkembangan konsep tentang
kematian. Usaha manusia untuk memperpanjang kehidupan dan menghindari
kematian dengan mempergunakan kemajuan iptek kedokteran telah
membawa masalah baru dalam euthanasia, terutama berkenaan dengan
penentuan kapan seseorang dinyatakan telah mati. Berikut ini beberapa
konsep tentang mati yaitu :
1. Mati sebagai berhentinya darah mengalir
Konsep ini bertolak dari criteria mati berupa berhentinya jantung. Dalam
PP No. 18 tahun 1981 dinyatakan bahwa mati adalah berhentinya fungsi
jantung dan paru- paru. Namun criteria ini sudah ketinggalan zaman.
Dalam pengalaman kedokteran, teknologi resusitasi telah memungkinkan
jatung dan paru-paru yang semula terhenti dapat dipulihkan kembali.
2. Mati sebagai saat terlepasnya nyawa dari tubuh
Konsep ini menimbulkan keraguan karena, misalnya, pada tindakan
resusitasi yang berhasil, keadaan demikian menimbulkan kesan seakan-
akan nyawa dapat ditarik kembali.
3. Hilangnya kemampuan tubuh secara permanen
Konsep inipun dipertanyakan karena organ-organ berfungsi sendiri-
sendiri tanpa terkendali karena otak telah mati. Untuk kepentingan
transplantasi, konsep ini menguntungkan. Namun, secara moral tidak
dapat diterima karena kenyataannya organ-organ masih berfungsi
meskipun tidak terpadu lagi.
4. Hilangnya manusia secara permanen untuk kembali sadar dan
melakukan interaksi social
Bila dibandingkan dengan manusia sebagai makhluk social, yaitu individu
yang mempunyai kepribadian, menyadari kehidupannya, kemampuan
mengingat, mengambil keputusan, dan sebagainya, maka penggerak
dari otak, baik secara fisik maupun sosial, makin banyak dipergunakan.
Pusat pengendali ini terletak dalam batang otak. Olah karena itu, jika
batang otak telah mati, dapat diyakini bahwa manusia itu secara fisik dan
social telah mati. Dalam keadaan seperti ini, kalangan medis sering
menempuh pilihan tidak meneruskan resusitasi, DNR (do not
resuscitation).
Bila fungsi jantung dan paru berhenti, kematian sistemik atau kematian
sistem tubuh lainnya terjadi dalam beberapa menit, dan otak merupakan
organ besar pertama yang menderita kehilangan fungsi yang ireversibel,
karena alasan yang belum jelas. Organ-organ lain akan mati kemudian.
C. Berduka
1. Definisi
Berduka adalah respon emosi yang diekspresikan terhadap kehilangan
yang dimanifestasikan adanya perasaan sedih, gelisah, cemas, sesak
nafas, susah tidur, dan lain-lain. Berduka merupakan respon normal pada
semua kejadian kehilangan. NANDA merumuskan ada dua tipe dari
berduka yaitu berduka diantisipasi dan berduka disfungsional
2. Jenis-jenis Berduka
Ada 5 jenis konsep berduka, yaitu :
a. Berduka Norma
Terdiri atas perasaan, perilaku, dan reaksi yang normal terhadap
kehilangan. Misal : kesedihan, kemarahan, menangis, kesepian, dan
menarik diri dari aktivitas untuk sementara.
b. Berduka Antisipatif
Proses melepaskan diri yang muncul sebelum kehilangan atau
kematian yang sesungguhnya terjadi. Misal : ketika menerima
diagnosis terminal, seseorang akan memulai proses perpisahan dan
menyesuaikan diri dengan berbagai urusan dunia sebelum ajalnya
tiba.
c. Berduka yang Rumit
Dialami oleh seseorang yang sulit untuk maju ke tahap berikutnya,
yaitu tahap kedukaan normal. Masa berkabung seolah-olah tidak
kunjung berakhir dan dapat mengancam hubungan orang yang
bersangkutan dengan orang lain.
d. Berduka Tertutup
Kedudukan akibat kehilangan yang tidak dapat diakui secara terbuka.
Misal : kehilangan pasangan karena AIDS, anak mengalami kematian
orang tua, ibu yang kehilangan anaknya di kandungan atau ketika
bersalin.
e. Berduka Disfungsional
Suatu status yang merupakan pengalaman individu yang responnya
dibesar-besarkan saat individu kehilangan secara aktual maupun
potensial. Tipe ini kadang-kadang menjurus ke tipikal, abnormal, atau
kesalahan/ kekacauan.
3. Rentang Respon Berduka
Menurut Kubler-Ross dalam Potter dan Perry (1997), respon berduka
seseorang terhadap kehilangan dapat melalui tahap-tahap berikut.
a. Tahap Denial (Penyangkalan)
Reaksi pertama individu yang mengalami kehilangan adalah syok,
tidak percaya, atau mengingkari kenyataan bahwa kehilangan benar-
benar terjadi. Reaksi fisik yang terjadi pada tahap ini adalah letih,
lemah, pucat, mual, diare, gangguan pernafasan, detak jantung cepat,
menangis, gelisah, dan sering kali individu tidak tahu harus berbuat
apa. Reaksi ini dapat berlangsung selama beberapa menit hingga
beberapa tahun.
b. Tahap Anger (Kemarahan)
Pada tahap ini individu menolak kehilangan. Kemarahan yang timbul
sering diproyeksikan kepada orang lain atau dirinya sendiri. Orang
yang mengalami kehilangan juga tidak jarang menunjukkan perilaku
agresif, berbicara kasar, menyerang orang lain, menolak pengobatan,
bahkan menuduh dokter atau perawat tidak berkompeten. Respon fisik
yang sering terjadi antara lain muka merah, denyut nadi cepat, gelisah,
susah tidur, tangan mengepal, dan seterusnya.
c. Tahap Bargaining (Tawar Menawar)
Pada tahap ini terjadi penundaan kesadaran atas kenyataan terjadinya
kehilangan dan dapat mencoba untuk membuat kesepakatan secara
halus atau terang-terangan seolah kehilangan tersebut dapat dicegah.
Individu mungkin berupaya untuk melakukan tawar-menawar dengan
memohon kemurahan Tuhan.
d. Tahap Depression (Depresi)
Pada tahap ini pasien sering menunjukkan sikap menarik diri, kadang-
kadang bersikap sangat menurut, tidak mau bicara, menyatakan
keputusan, rasa tidak berharga, bahkan bisa muncul keinginan bunuh
diri. Gejala fisik ditunjukkan antara lain menolak makan, susah tidur,
letih, dan lain-lain.
e. Tahap Acceptance (Penerimaan)
Tahap ini berkaitan dengan reorganisasi perasaan kehilangan. Pikiran
yang selalu berpusat pada objek yg hilang akan mulai berkurang atau
bahkan hilang. Perhatiannya akan beralih pada objek yg baru. Apabila
individu dapat memulai tahap tersebut dan menerima dengan perasaan
damai, maka dia dapat mengakhiri proses kehilangan secara tuntas.
Kegagalan untuk masuk ke proses ini akan mempengaruhi
kemampuannya dalam mengatasi perasaan kehilangan selanjutnya.
4. Teori Proses Berduka
Tidak ada cara yang paling tepat dan cepat untuk menjalani proses
berduka. Konsep dan teori berduka hanyalah alat yang dapat digunakan
untuk mengantisipasi kebutuhan emosional seseorang dan keluarganya,
serta rencana intervensi untuk membantu mereka memahami kesedihan
dan cara mengatasinya. Berikut penjelasan teori proses berduka dari
beberapa pakar.
a. Teori Engels
Menurut Engels (1964) proses berduka mempunyai beberapa fase
yang dapat diaplikasikan pada seseorang yang sedang berduka
maupun menjelang ajal. Berikut beberapa fase yang dilalui.
1) Fase I (shock dan tidak percaya)
Seseorang menolak kenyataan atau kehilangan dan mungkin
menarik diri, duduk malas, atau pergi tanpa tujuan. Reaksi secara
fisik termasuk pingsan, diaporesis, mual, diare, detak jantung
cepat, tidak bisa istirahat, insomnia dan kelelahan.
2) Fase II (berkembangnya kesadaran)
Seseoarang mulai merasakan kehilangan secara nyata/ akut dan
mungkin mengalami putus asa. Kemarahan, perasaan bersalah,
frustasi, depresi, dan kekosongan jiwa tiba-tiba terjadi.
3) Fase III (restitusi)
Berusaha mencoba untuk sepakat/ damai dengan perasaan yang
hampa/ kosong, karena kehilangan masih tetap tidak dapat
menerima perhatian yang baru dari seseorang yang bertujuan
untuk mengalihkan kehilangan seseorang.
4) Fase IV
Menekan seluruh perasaan yang negatif dan bermusuhan
terhadap almarhum. Bisa merasa bersalah dan sangat menyesal
tentang kurang perhatiannya di masa lalu terhadap almarhum.
5) Fase V
Kehilangan yang tak dapat dihindari harus mulai diketahui/
disadari. Sehingga pada fase ini diharapkan seseorang sudah
dapat menerima kondisinya. Kesadaran baru telah berkembang.

b. Teori Kubler-Ross
Kerangka kerja yang ditawarkan oleh Kubler-Ross (1969) adalah
berorientasi pada perilaku dan menyangkut 5 tahap, yaitu sebagai
berikut.
1) Penyangkalan (Denial)
Individu bertindak seperti seolah tidak terjadi apa-apa dan dapat
menolak untuk mempercayai bahwa telah terjadi kehilangan.
Pernyataan seperti “tidak, tidak mungkin seperti itu!” atau “tidak
akan terjadi pada saya!” sangat umum dilontarkan.
2) Kemarahan (Anger)
Individu mempertahankan kehilangan dan mungkin “bertindak
lebih” pada setiap orang dan segala sesuatu yang berhubungan
dengan lingkungan. Pada fase ini orang akan lebih sensitif
sehingga mudah sekali tersinggung dan marah. Hal ini merupakan
koping individu untuk menutupi rasa kecewa dan merupakan
menifestasi dari kecemasannya menghadapi kehilangan.
3) Penawaran (Bargaining)
Individu berupaya untuk membuat perjanjian dengan cara yang
halus atau jelas untuk mencegah kehilangan. Pada tahap ini, klien
sering kali mencari pendapat orang lain.
4) Depresi (Depression)
Terjadi ketika kehilangan disadari dan timbul dampak nyata dari
makna kehilangan tersebut. Tahap depresi ini memberi
kesempatan untuk berupaya melewati kehilangan dan mulai
memecahkan masalah.
5) Penerimaan (Acceptance)
Reaksi fisiologi menurun dan interaksi sosial berlanjut. Kubler-
Ross mendefinisikan sikap penerimaan ada bila seseorang
mampu menghadapi kenyataan dari pada hanya menyerah pada
pengunduran diri atau berputus asa.
c. Teori Martocchio
Martocchio (1985) menggambarkan 5 fase kesedihan yang mempunyai
lingkup yang tumpang tindih dan tidak dapat diharapkan. Durasi
kesedihan bervariasi dan bergantung pada faktor yang mempengaruhi
respon kesedihan itu sendiri. Berikut penjelasannya.
1) Lahir sampai usia 2 tahun
Tidak punya konsep tentang kematian. dapat mengalami rasa
kehilangan dan dukacita. Pengalaman ini menjadi dasar untuk
berkembangnya konsep tentang kehilangan dan dukacita.
2) Usia 2 sampai 5 tahun
Menyangkal kematian sebagai suatu proses yang normal. Melihat
kematian sebagai sesuatu dapat hidup kembali. Mempunyai
kepercayaan tidak terbatas dalam kemampuannya untuk membuat
suatu hal terjadi.
3) Usia 5 sampai 8 tahun
Melihat kematian sebagai akhir, tidak melihat bahwa kematian
akan terjadi pada dirinya. Melihat kematian sebagai hal yang
menakutkan. Mencari penyebab kematian.
4) Usia 8 sampai 12 tahun
Memandang kematian sebagai akhir hayat dan tidak dapat
dihindari. Mungkin tak mampu menerima sifat akhir dari
kehilangan. Dapat mengalami rasa takut akan kematian sendiri.
5) Usia remaja
Memahami seputar kematian, serupa dengan orang dewasa.
Harus menghadapi implikasi personel tentang kematian.
menunjukkan perilaku berisiko. Dengan serius mencari makna
tentang hidup lebih sadar dan tentang masa depan.
d. Teori Rando
Rando (1993) mendefinisikan respon berduka menjadi 3 kategori
seperti penjelasan berikut.
1) Penghindaran
Pada tahap ini terjadi shock, menyangkal dan tidak percaya.
2) Konfrontasi
Pada tahap ini terjadi luapan emosi yang sangat tinggi ketika klien
secara berulang-ulang melawan kehilangan mereka dan kedukaan
mereka paling dalam dan dirasakan paling akut.

3) Akomodasi
Pada tahap ini terjadi secara bertahap penurunan kedukaan akut
dan mulai memasuki kembali secara emosional dan sosial dunia
sehari-hari dimana klien belajar untuk menjalani hidup dengan
kehidupan mereka.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Kehilangan merupakan suatu kondisi dimana seseorang mengalami suatu


kekurangan atau tidak ada dari sesuatu yang dulunya pernah ada atau pernah
dimiliki. Kehilangan merupakan suatu keadaan individu berpisah dengan suatu
yang sebelumnya ada menjadi tidak ada, baik sebagian atau seluruhnya.

Berduka merupakan respon normal pada semua kejadian kehilangan.


NANDA merumuskan ada dua tipe dari berduka yaitu berduka diantisipasi dan
berduka disfungsional.

Berduka diantisipasi adalah suatu status yang merupakan pengalaman


individu dalam merespon kehilangan yang aktual ataupun yang dirasakan
seseorang, hubungan/kedekatan, objek atau ketidakmampuan fungsional
sebelum terjadon kehilangan yang aktual ataupun yang dirasakan seseorang,
hubungan/kedekatan, objek atau ketidakmampuan fungsional sebelum terjadinya
kehilangan. Tipe ini masih dalam batas normal.

Berduka disfungsional adalah suatu status yang merupakan pengalaman


individu yang responnya dibesar-besarkan saat individu kehilangan secara aktual
maupun potensial, hubungan, objek dan ketidakmampuan fungsional. Tipe ini
kadang- kadang menjurus ke tipikal, abnormal, atau keslahan/kekacauan.

Peran perawat adalah untuk mendapatkan gambaran tentang perilaku


berduka, mengenali pengaruh berduka terhadap perilaku dan meberikan
dukungan dalam bentuk empati. Kehilangan dibagi dalam 2 tipe : aktual atau
nyata dan persepsi. Terdapat 5 kategori kehilangan, yaitu : kehilangan seseorang
yang dicintai, kehilangan lingkungan yang sangat dikenal, kehilangan objek
eksternal, kehilangan yang ada pada diri sendiri/aspek diri, dan kehilangan
kehidupan/meninggal. Elizabeth Kubler-rose, 1969.h.51, membagi respon duka
dalam lima fase, yaitu : pengikaran, marah, tawar-menawarn, depresi dan
penerimaan.
DAFTAR PUSTAKA

Potter & Perry. 2005. Fundamental Keperawatan volume 1. Jakarta: EGC.

Suseno, Tutu April. 2004. Pemenuhan Kebutuhan Dasar Manusia: Kehilangan,


Kematian dan Berduka dan Proses keperawatan. Jakarta: Sagung Seto.

Suseno, Tutu April. 2004. Pemenuhan Kebutuhan Dasar Manusia : Kehilangan,


Kematian, dan Berduka dan Proses Keperawatan. Jakarta : Sagung Seto

Stuart and Sundeen. 1998. Buku Saku Keperawatan Jiwa edisi 3. Jakarta: ECG

Niven Neil. 2003. Psikologi Kesehatan Pengantar untuk Perawat dan Profesional
Kesehatan Lain edisi 2. Jakarta : EGC

Faikanto. 2009. Metode Koping pada Orang yang Kehilangan, Kematian, dan
Dukacita.

Anda mungkin juga menyukai