Anda di halaman 1dari 27

Referat

“KARSINOMA NASOFARING”

Disusun oleh:
Widya Lisma Wardani
2011901049

Pembimbing

dr.Sara Yosephine Aruan, M.KED (ORL HNS), Sp.THT-KL

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR BAGIAN ILMU KESEHATAN


TELINGA HIDUNG TENGGOROKAN KEPALA LEHER
RSUD TENGKU RAFI’AN SIAK
2022
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT yang telah melimpahkan karunianya serta
memberikan nikmat kesehatan dan kesempatan sehingga penulis dapat
menyelesaikan referat yang berjudul “Karsinoma Nasofaring”. Shalawat
beriringkan salam kepada Nabi Muhammad SAW, serta keluarga dan sahabatnya
yang telah membawa umat manusia ke alam yang penuh ilmu pengetahuan.

Terimakasih kami ucapkan kepada dosen pembimbing yang telah


membimbing sehingga kami dapat mencapai tujuan pembelajaran dan
menyelesaikan referat ini. Kami menyadari bahwa dalam pembuatan referat ini
masih banyak kekurangan. Untuk itu penulis mengharapkan saran dan masukan
dari pembimbing ataupun dari rekan mahasiswa/i untuk kesempurnaan pembuatan
referat ini.

Siak, 13 Januari 2022

Widya Lismawardani
2011901049

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ................................................................................... 2


DAFTAR ISI .................................................................................................. 3
BAB I PENDAHULUAN............................................................................... 4
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA .................................................................... 5
2.1 Anatomi dan histologi nasofaring............................................................... 5
2.2 Epidemiologi dan etiologi .......................................................................... 7
2.3 Patofisiologi ............................................................................................... 9
2.4 Manifestasi klinis ....................................................................................... 12
2.5 Stadium ...................................................................................................... 14
2.6 Diagnosis ................................................................................................... 15
2.7 Histopatologi .............................................................................................. 18
2.8 Diagnosis banding ..................................................................................... 21
2.9 Penatalaksanaan ......................................................................................... 22
2.10 Follow-up ................................................................................................. 24
2.11 Prognosis .................................................................................................. 25
2.12 Pencegahan .............................................................................................. 25
BAB 3 KESIMPULAN .................................................................................. 26
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 27

3
BAB I
PENDAHULUAN

Karsinoma nasofaring merupakan tumor ganas yang paling banyak


dijumpai di antara tumor ganas THT di Indonesia, dimana karsinoma nasofaring
termasuk dalam lima besar tumor ganas dengan frekwensi tertinggi, sedangkan
didaerah kepala dan leher menduduki tempat pertama. Tumor ini berasal dari
fossa Rosenmulleri pada nasofaring yang merupakan daerah transisional dimana
epitel kuboid berubah menjadi epitel skuamosa. 1
Insidens karsinoma nasofaring berbeda secara geografis dan etnik serta
hubungannya dengan Epstein-Barr Virus (EBV). Secara global, pada tahun 2000
terdapat lebih kurang 65.000 kasus baru dan 38.000 kematian yang disebabkan
penyakit ini. Di beberapa egara insidens kanker ini hanya 0,6 % dari semua
keganasan. Di Amerika insiden karsinoma nasofaring 1-2 kasus per 100.000 laki-
laki dan 0,4 kasus per 100.000 perempuan. Namun di egara lain dan kelompok
etnik tertentu, seperti di Cina, Asia Tenggara, Afrika Utara, tumor ganas ini
banyak ditemukan. Insiden karsinoma nasofaring tertinggi di dunia dijumpai pada
penduduk daratan Cina bagian selatan, khususnya suku Kanton di propinsi Guang
Dong dan daerah Guangxi dengan angka mencapai lebih dari 50 per 100.000
penduduk pertahun. Indonesia termasuk salah satu egara dengan prevalensi
penderita karsinoma nasofaring yang tinggi di luar Cina. Survei yang dilakukan
oleh Departemen Kesehatan pada tahun 1980 secara “pathology based”
mendapatkan angka prevalensi karsinoma nasofaring 4,7 per 100.000 penduduk
atau diperkirakan 7000 – 8000 kasus per tahun di seluruh Indonesia.1
Penanggulangan karsinoma nasofaring sampai saat ini masih merupakan
suatu problem, hal ini karena etiologi yang masih belum pasti, gejala dini yang
tidak khas serta letak nasofaring yang tersembunyi, sehingga diagnosis sering
terlambat.

4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 ANATOMI DAN HISTOLOGI NASOFARING


Nasofaring merupakan suatu ruang atau rongga yang berbentuk kubus yang
terletak di belakang hidung. Rongga ini sangat sulit untuk dilihat, sehingga dahulu
disebut “rongga buntu atau rongga tersembunyi”. Batas-batas rongga nasofaring,
di sebelah depan adalah koana (nares posterior). Sebelah atas, yang juga
merupakan atap adalah basis cranii. Sebelah belakang adalah jaringan mukosa di
depan vertebra servikal. Sebelah bawah adalah ismus faring dan palatummole, dan
batas lainnya adalah dua sisi lateral.1
Bangunan-bangunan penting yang terdapat di nasofaring adalah: 1,2
1. Adenoid atau Tonsila Lushka
Bangunan ini hanya terdapat pada anak-anak usia kurang dari 13 tahun. Pada
orang dewasa struktur ini telah mengalami regresi.
2 Fosa Nasofaring atau Forniks Nasofaring
Struktur ini berupa lekukan kecil yang merupakan tempat predileksi fibroma
nasofaring atau angiofibroma nasofaring.
3 Torus Tubarius
Merupakan suatu tonjolan tempat muara dari saluran tuba Eustachii (ostium
tuba)
4 Fosa Rosenmulleri
Merupakan suatu lekuk kecil yang terletak di sebelah belakang torus tubarius.
Lekuk kecil ini diteruskan ke bawah belakang sebagai alur kecil yang disebut
sulkus salfingo-faring. Fossa Rosenmulleri merupakan tempat perubahan atau
pergantian epitel dari epitel kolumnar/kuboid menjadi epitel pipih. Tempat
pergantian ini dianggap merupakan predileksi terjadinya keganasan
nasofaring.
Mukosa atau selaput lendir nasofaring terdiri dari epitel yang bermacam-
macam, yaitu epitel kolumnar simpleks bersilia, epitel kolumnar berlapis, epitel
kolumnar berlapis bersilia, dan epitel kolumnar berlapis semu bersilia. Pada tahun

5
1954, Ackerman dan Del Regato berpendapat bahwa epitel semu berlapis pada
nasofaring ke arah mulut akan berubah mejadi epitel pipih berlapis. Demikian
juga epitel yang ke arah palatum molle, batasnya akan tajam dan jelas sekali.
Yang terpenting di sini adalah pendapat umum bahwa asal tumor ganas nasofaring
itu adalah tempat-tempat peralihan atau celah-celah epitel yang masuk ke jaringan
limfe di bawahnya.1-3

Gambar 1 Anatomi nasofaring

Walaupun fosa Rosenmulleri atau dinding lateral nasofaring merupakan


lokasi keganasan tersering, tapi kenyataannya keganasan dapat juga terjadi di
tempat-tempat lain di nasofaring.3 Para peneliti mengemukakan bahwa keganasan
nasofaring dapat juga terjadi pada:

1. Dinding atas nasofaring atau basis kranii dan tempat di mana terdapat adenoid.
2. Di bagian depan nasofaring yaitu terdapat di pinggir atau di luar koana.
3. Dinding lateral nasofaring mulai dari fosa Rosenmulleri sampai dinding faring
dan palatum molle.

6
Gambar 2 Fossa of Rosenmuller

2.2.EPIDEMIOLOGI DAN ETIOLOGI


Angka kejadian Kanker Nasofaring (KNF) di Indonesia cukup tinggi,
yakni 4,7 kasus/tahun/100.000 penduduk atau diperkirakan 7000 – 8000
kasus per tahun di seluruh Indonesia (Survei yang dilakukan oleh Departemen
Kesehatan pada tahun 1980 secara “pathology based”). Santosa (1988)
mendapatkan jumlah 716 (8,46%) penderita KNF berdasarkan data patologi
yang diperoleh di Laboratorium Patologi anatomi FK Unair  Surabaya (1973 –
1976) diantara 8463 kasus keganasan di Seluruh tubuh. Di Bagian THT
Semarang mendapatkan 127 kasus KNF dari tahun 2000 - 2002. Di RSCM
Jakarta ditemukan lebih dari 100 kasus setahun, RS. Hasan Sadikin Bandung
rata-rata 60 kasus, Ujung Pandang 25 kasus, Denpasar 15 kasus, dan di
Padang dan Bukit tinggi (1977-1979). Dalam pengamatan dari pengunjung
poliklinik tumor THT RSCM, pasien karsinoma nasofaring dari ras Cina
relative sedikit lebih banyak dari suku bangsa lainya.1,3
Studi epidemiologi KNF dengan berfokus kepada etiologi dan kebiasaan
biologi dari penyakit ini telah dikemukakan hasilnya oleh UICC

7
(International Union against Cancer) dalam symposium kanker nasofaring yg
diadakan di Singapura tahun 1964, dan dari investigasi dalam empat dekade
terakhir telah ditemukan banyak temuan penting di semua aspek. KNF
mempunyai gambaran epidemiologi yg unik, dalam daerah yg jelas, ras, serta
agregasi family.1,4
Kanker nasofaring merupakan tumor ganas daerah kepala dan leher yang
paling banyak ditemukan di Indonesia (hampir 60%), sisanya tumor ganas
hidung dan sinus paranasal (18%), laring (16%), dan tumor ganas rongga
mulut, tonsil, hipofaring (cukup rendah). Prevalensi KNF di Indonesia cukup
tinggi yaitu 4,7 per 100.000 penduduk. Sebagian besar datang berobat dalam
stadium lanjut, sehingga hasil pengobatan dan prognosis menjadi buruk.1
Catatan dari berbagai rumah sakit di Indonesia menunjukkan bahwa KNF
menduduki urutan keempat setelah kanker leher rahim, payudara, dan kulit.
Distribusi KNF di Indonesia hampir merata di setiap daerah. Di RSCM Jakarta
ditemukan lebih dari 100 kasus setahun, RS. Hasan Sadikin Bandung 60
kasus, Makassar 25 kasus, Palembang 25 kasus, Denpasar 15 kasus  dan 11
kasus di Padang dan Bukittinggi. Demikian pula di Medan, Semarang,
Surabaya dan kota-kota lainnya.1
KNF paling banyak dijumpai pada ras mongoloid (cukup tinggi pada
penduduk Cina bagian selatan, Hongkong, Vietnam, Thailand, Malaysia,
Singapura, dan Indonesia).1
KNF jarang dijumpai pada anak-anak.1 Insiden meningkat setelah usia 30
tahun dan mencapai puncaknya pada usia 40-60 tahun. Semua bentuk KNF
banyak dijumpai pada laki-laki dibandingkan perempuan (2,5:1 dan 3:1) dan
apa sebabnya belum dapat dijelaskan secara pasti mungkin terdapat kaitan
dengan genetik, kebiasan hidup, pekerjaan, dll.1
Berbeda halnya dengan jenis kanker kepala dan leher lain, Kanker
Nasofaring (KNF) jarang dihubungkan dengan kebiasaan merokok dan minum
alkohol tetapi lebih dikaitkan dengan virus Epstein Barr, predisposisi genetik
dan pola makan tertentu. Meskipun demikan tetap ada peneliti yang mencoba
menghubungkannya dengan merokok, secara umum resiko terhadap KNF

8
pada perokok 2-6 kali dibandingkan dengan bukan perokok (HSU dkk.2009).
ditemukan juga bahwa menurunnya angka kematian KNF di Amerika utara
dan Hongkong merupakan hasil dari mengurangi frekuensi merokok. Adanya
hubungan antara faktor kebiasaan makan dengan terjadinya KNF dipelajari
oleh Ho dkk. Ditemukan kasus KNF dalam jumlah yang tinggi pada mereka
yang gemar mengkonsumsi ikan asin yang dimasak dengan gaya Kanton
(Cantonese-style salted fish). Risiko terjadinya KNF sangat berkaitan dengan
lamanya mereka mengkonsumsi makanan ini. Di beberapa bagian negeri Cina
makanan ini mulai digunakan sebagai pengganti air susu ibu pada saat
menyapih.5
Tentang faktor genetik telah banyak ditemukan kasus herediter atau
familier dari pasien KNF dengan keganasan pada organ tubuh lain. Suatu
contoh terkenal di Cina selatan, satu keluarga dengan 49 anggota dari dua
generasi didapatkan 9 pasien KNF dan 1 menderita tumor ganas payudara.
Secara umum didapatkan 10% dari pasien karsinoma nasofaring menderita
keganasan organ lain.5

2.3 PATOFISIOLOGI
Keganasan pada umumnya dapat terjadi melalui dua mekanisme yaitu,
pertama pemendekan waktu siklus sel sehingga akan menghasilkan lebih banyak
sel yang diproduksi dalam satuan waktu. Kedua, penurunan jumlah kematian sel
akibat gangguan pada proses apoptosis. Gangguan pada berbagai protoonkogen
dan gen penekan tumor (TSGs) yang menghambat penghentian proses siklus sel. 6
Pada keadaan fisiologis proses pertumbuhan, pembelahan, dan diferensiasi sel
diatur oleh gen yang disebut protoonkogen yang dapat berubah menjadi onkogen
bila mengalami mutasi. Onkogen dapat menyebabkan kanker karena memicu
pertumbuhan dan pembelahan sel secara patologis.6,7
Karsinoma Nasofaring merupakan keganasan berupa tumor yang
berasal dari sel-sel epitel yang menutupi permukaan nasofaring.
Tumbuhnya tumor akan dimulai pada salah satu dinding nasofaring yang
kemudian akan menginfiltrasi kelenjar dan jaringan sekitarnya. Lokasi
yang paling sering menjadi awal terbentuknya karsinoma nasofaring

9
adalah pada fosa Rossenmuller. Penyebaran ke jaringan dan
kelenjar limfa sekitarnya kemudian terjadi perlahan, seperti layaknya
metastasis lesi karsinoma lainnya.
Penyebaran KNF dapat berupa :
1. Penyebaran ke atas
Tumor meluas ke intrakranial menjalar sepanjang fossa
medialis disebut penjalaran Petrosfenoid, biasanya melalui
foramen laserum, kemudian ke sinus kavernosus, fosa kranii
media dan fosa kranii anterior mengenai saraf-saraf kranialis
anterior (N.I-N.VI). Kumpulan gejala yang terjadi akibat
rusaknya saraf kranialis anterior akibat metastasis tumor ini
disebut Sindrom Petrosfenoid. Yang paling sering terjadi
adalah diplopia dan neuralgia trigeminal (parese N. II-N.VI).
2. Penyebaran ke belakang
Tumor meluas ke belakang secara ekstrakranial
menembus fascia faringobasilaris yaitu sepanjang fosa
posterior (termasuk di dalamnya foramen spinosum, foramen
ovale dll), di mana di dalamnya terdapat N.IX-XII; disebut
penjalaran retroparotidian. Yang terkena adalah grup
posterior dari saraf otak yaitu N.VII-N.XII beserta nervus
simpatikus servikalis. Kumpulan gejala akibat kerusakan
pada N.IX- N.XII disebut sindrom retroparotidean/Sindrom
Jugular Jackson. Nervus VII dan VIII  jarang mengalami
gangguan akibat tumor karena letaknya yang tinggi dalam
sistem anatomi tubuh.
3. Penyebaran ke kelenjar getah bening
Penyebaran ke kelenjar getah bening merupakan salah
satu penyebab utama sulitnya menghentikan proses
metastasis suatu karsinoma. Pada karsinoma nasofaring,
penyebaran ke kelenjar getah bening sangat mudah terjadi
akibat banyaknya stroma kelenjar getah bening pada

10
lapisan submukosa nasofaring. Biasanya penyebaran ke
kelenjar getah bening diawali pada nodus limfatik yang
terletak di lateral retrofaring yaitu Nodus Rouvierre. Di
dalam kelenjar ini sel tersebut tumbuh dan berkembang biak
sehingga kelenjar menjadi besar dan tampak sebagai
benjolan pada leher bagian samping. Benjolan ini
dirasakan tanpa nyeri karenanya sering diabaikan oleh
pasien. Selanjutnya sel-sel kanker  dapat berkembang terus,
menembus kelenjar dan mengenai otot dibawahnya.
Kelenjar menjadi lekat pada otot dan sulit digerakkan.
Keadaan ini merupakan gejala yang lebih lanjut lagi.
Limfadenopati servikalis merupakan gejala utama yang
mendorong pasien datang ke dokter.

4. Metastasis jauh
Sel-sel kanker dapat ikut mengalir bersama getah
bening atau darah, mengenai organ tubuh yang letaknya jauh
dari nasofaring. Yang sering ialah tulang, hati dari paru. Hal
ini merupakan stadium akhir dan prognosis sangat buruk. 
Pertumbuhan KNF dapat bersifat eksofitik dimana
massa dapat memenuhi seluruh area post nasal dan ditandai
dengan ulserasi dan pendarahan kontak. Namun pada 10%
pasien dengan KNF lesi dapat bersifat submukosa sehingga
pada pemeriksaan nasofaring, mukosa dapat terlihat
normal dan hanya tampak permukaan yang iregular.
Pertumbuhan ini disebut sebagai endofitik. Selain itu
pertumbuhan endofitik juga biasanya hanya ditandai
dengan perubahan warna mukosa menjadi kemerahan. Pada
suatu kajian, pertumbuhan endofitik cenderung lebih agresif 
dibandingkan eksofitik.

11
2.4 MANIFESTASI KLINIS
Anamnesis dan pemeriksaan fisik yang cermat penting dilakukan dalam
mengevaluasi tumor kepala dan leher. Pemeriksaan fisik meliputi inspeksi dan
palpasi semua aspek kepala, wajah, leher, hidung, rongga mulut, dan dasar lidah.
Sebaiknya dilakukan pemeriksaan kaca nasofaring dan laring indirek atau
pemeriksaan nasofaringoskopik serat optik fleksibel. Hindari pemeriksaan yang
hanya berfokus pada daerah tempat tumor berada , tetapi melakukan pemeriksaan
seluruh daerah kepala dan leher. Tidak jarang muncul adanya berbagai lesi secara
simultan atau sekuensial di daerah kepala dan leher. 1
Gejala atau manifestasi klinis dari karsinoma nasofaring dapat dibagi menjadi
beberapa kelompok, yaitu gejala hidung/nasofaring, gejala telinga, gejala tumor di
leher, gejala mata dan gejala saraf.
1. Gejala Hidung/Nasofaring 1
Harus dicurigai adanya karsinoma nasofaring, bila ada gejala-gejala:
 Bila penderita mengalami pilek lama, lebih dari 1 bulan, terutama
penderita usia lebih dari 40 tahun, sedang pada pemeriksaan hidung
terdapat kelainan.
 Bila penderita pilek dan keluar sekret yang kental, berbau busuk, lebih-
lebih jika terdapat titik atau garis perdarahan tanpa kelainan di hidung
atau sinus paranasal.
 Pada penderita yang berusia lebih dari 40 tahun, sering keluar darah dari
hidung (epistaksis) sedangkan pemeriksaan tekanan darah normal dan
pemeriksaan hidung tidak ada kelainan.

2. Gejala Telinga
Gejala pada telinga umumnya berupa pendengaran yang berkurang, telinga
terasa penuh seperti terisi air, berdengung (tinitus) dan nyeri (otalgia).
Gangguan pendengaran yang terjadi biasanya berupa tuli hantaran dan terjadi
bila ada perluasan tumor atau karsinoma nasofaring ke sekitar tuba, sehingga
terjadi sumbatan.1,2

12
3. Gejala Tumor Leher
Pembesaran leher atau tumor leher merupakan penyebaran terdekat secara
limfogen dari karsinoma nasofaring. Penyebaran ini bisa terjadi unilateral
maupun bilateral. Spesifitas tumor leher sebagai metastase karsinoma
nasofaring adalah letak tumor di ujung prosesus mastoid, di belakang angulus
mandibula, di dalam muskulus sternokleidomastoideus, keras dan tidak
mudah bergerak. Kecurigaan bertambah besar bila pada pemeriksaan rongga
mulut, lidah, faring, tonsil, hipofaring dan laring tidak ditemukan kelainan.1,2

4. Gejala Mata
Penderita akan mengeluh penglihatannya berkurang, namun bila
ditanyakan secara teliti, penderita akan menerangkan bahwa ia melihat
sesuatu menjadi dua atau dobel. Jelas yang dimaksud di sini adalah diplopia.
Hal ini terjadi karena kelumpuhan N.VI yang letaknya di atas foramen
laserum yang mengalami lesi akibat perluasan tumor. Keadaan lain yang
dapat memberikan gejala mata adalah karena kelumpuhan N.III dan N.IV,
sehingga menyebabkan kelumpuhan mata yang disebut dengan oftalmoplegia.
Bila perluasan tumor mengenai kiasma optikus dan N.II maka penderita dapat
mengalami kebutaan.1,2

5. Gejala Saraf
Sebelum terjadi kelumpuhan saraf kranialis biasanya didahului oleh
beberapa gejala subyektif yang dirasakan sangat menganggu oleh penderita
seperti nyeri kepala atau kepala terasa berputar, hipoestesia pada daerah pipi
dan hidung, dan kadang mengeluh sulit menelan (disfagia). Tidak jarang
ditemukan gejala neuralgia trigeminal oleh ahli saraf saat belum ada keluhan
yang berarti. Proses karsinoma yang lebih lanjut akan mengenai N. IX, X, XI,
dan XII jika perjalanan melalui foramen jugulare. Gangguan ini disebut
dengan sindrom Jackson. Bila sudah mengenai seluruh saraf kranial disebut
dengan sindrom unilateral. Dapat pula disertai dengan destruksi tulang
tengkorak dan bila sudah demikian prognosisnya menjadi buruk. 1,2

13
2.5 STADIUM
Karsinoma nasofaring dapat diklasifikasikan berdasarkan stadium klinis dan
gambaran histopatologisnya. Penentuan stadium karsinoma nasofaring digunakan
sistem TNM menurut UICC (1992).1
 T (Tumor Primer)
T0 = Tidak tampak tumor
T1 = Tumor terbatas pada satu lokasi saja (lateral, porterosuperior, atap,
dll)
T2 = Tumor terdapat pada dua lokasi atau lebih tetapi masih di dalam
rongga nasofaring
T3 = Tumor telah keluar dari rongga nasofaring (ke rongga hidung atau
orofaring
T4 = Tumor telah keluar dari nasofaring dan telah merusak tulang
tengkorak atau mengenai saraf-saraf otak
Tx = Tumor tidak jelas besarnya karena pemeriksaan tidak lengkap

 N (Pembesaran kelenjar getah bening regional)


N0 = Tidak ada pembesaran KGB
N1 = Terdapat pembesaran KGB homolateral dan masih bisa digerakkan
N2 = Terdapat pembesaran KGB kontralateral/bilateral dan masih bias
digerakkan
N3 = Terdapat pembesaran baik homolateral/kontralateral/bilateral yang
sudah melekat pada jaringan sekitar
 M (Metastasis jauh)
M0 = Tidak ada metastasis jauh
M1 = Terdapat metastasis jauh
Dari keterangan di atas, karsinoma nasofaring dikelompokkan menjadi 4
stadium, yaitu:
a. Stadium I : T1 N0 M0
b. Stadium II : T2 N0 M0

14
c. Stadium III : T1/2/3 N1 M0 atau T3 N0 M0
d. Stadium IV : T4 N0 M0 atau T1/2/3/4 N2/3 M0 atau T1/2/3/4 N0/1/2/3 M1
Berdasarkan gambaran histopatologinya, karsinoma nasofaring dibedakan
menjadi 3 tipe menurut WHO.1,3 Pembagian ini berdasarkan pemeriksaan dengan
mikroskop elektron di mana karsinoma nasofaring adalah salah satu variasi dari
karsinoma epidermoid. Pembagian ini mendapat dukungan lebih dari 70% ahli
patologi dan tetap dipakai hingga saat ini.
a. Tipe WHO 1
Termasuk di sini adalah karsinoma sel skuamosa (KSS). Tipe WHO 1
mempunyai tipe pertumbuhan yang jelas pada permukaan mukosa nasofaring,
sel-sel kanker berdiferensiasi baik sampai sedang dan menghasilkan cukup
banyak keratin baik di dalam dan di luar sel.

b. Tipe WHO 2
Termasuk di sini adalah karsinoma non keratinisasi (KNK). Tipe WHO 2
ini paling banyak variasinya, sebagian tumor berdiferensiasi sedang dan
sebagian sel berdiferensiasi baik, sehingga gambaran yang didapatkan
menyerupai karsinoma sel transisional.

c. Tipe WHO 3
Merupakan karsinoma tanpa diferensiasi (KTD). Di sini gambaran sel-sel
kanker paling heterogen. Tipe WHO 3 ini termasuk di dalamnya yang dahulu
disebut dengan limfoepitelioma, karsinoma anaplastik, clear cell carcinoma,
dan variasi spindel.

2.6 DIAGNOSIS
a. Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik 3
Ada sebuah patokan agar selalu ingat dan curiga akan adanya nasofaring,
seperti di bawah ini:
1) Setiap ada tumor di leher, ingatlah selalu adanya karsinoma nasofaring.
Lebih-lebih jika tumor terletak di bawah prosesus mastoid dan di belakang
angulus mandibula.
2) Dugaan karsinoma nasofaring akan lebih kuat jika:

15
 Disertai gejala hidung dan telinga
 Disertai gejala mata dan saraf
3) Dugaan karsinoma nasofaring hampir pasti bila ada gejala lengkap
Bila memakai pedoman yang berpatokan pada tumor leher ini maka kita
sudah mendapatkan stadium lanjut, sebab tumor leher merupakan perluasan
atau metastase tumor induk.

b. Pemeriksaan Penunjang
1) CT scan kepala dan leher
Dengan pemeriksean CT-Scan daerah kepala dan leher, sehingga pada
tumor primer yang tersembunyi pun tidak kan terlalu sulit di temukan.
Indikasi pemeriksaan CT Scan adalah sebagai berikut: 1,8
 Evaluasi keterlibatan tulang dan destruksi akibat tumor.
 Melihat luasnya invasi tumor.

 Untuk menentukan besarnya tumor jaringan lunak di daerah yang tidak


mudah dilihat secara klinis ( misal, daerah nasofaring, dasar tengkorak,
rongga parafaring).

 Mendeteksi adanya metastasis regional.


 Memantau respon tumor terhadap terapi radiasi dan kemoterapi.
Karena 25% kanker kepala dan leher stadium III dan IV bermetastsis di
luar kelenjar getah bening leher, semua pasien yang akan di operasi
memerlukan foro toraks atau CT dada jika memungkinkan. CT dada juga
dapat menapis adanya kanker paru, yang menyertai kira-kira 15% karsinoma
sel skuamosa kepala dan leher. Massa hepar yang teraba, ikterus, dan
perubahan hasil pemeriksaan fungsi hati merupakan indikasi untuk CT
abdomen. Nyeri tulang atau tanda-tanda neurologik adalah indikasi untuk
melakukan evaluasi radiologi untuk melihat kemungkinan metastasis ke
tulang dan otak. 1

16
2) MRI
MRI dapat menggambarkan masa jaringan-lunak dan fasia plane lebih baik
daripada CT. MRI menandai lesi dengan berbagai pengambilan potongan
secara berurutan, memberikan gambar dalam bidang datar dan tidak dalam
bidang akasial, serta menunjukan pembuluh darah tanpa penggunaan zat
kontras atau radiasi ionisasi. MRI mempunyai aplikasi yang unik dalam
mengevakuasi tumor sinus, orbita, dan otak, karena MRI dapat membedakan
densitas jaringan lunak. MRI dan CT bukan pemeriksaan yang ekslusif satu
sama lain karena masing-masing mempunyai keunggulan terhadap lain. CT
masih terus menggunakan MRI menghabiskan lebih banyak biaya, waktu
pemeriksaan yang lebih lama, artefak gerakan lebih banyak dan di
kontradiksikan untuk pasien dengan benda asing logam yang diimplantasi
(klip aneurisma, stimulator neural, dan implant koklea). Walaupun
pemindaian nuklear tidak digunakan secara rutin, tomografi positron emisi
akhir-akhir ini telah digunakan dengan hasil yang menjanjikan dalam
mendeteksi penyakit metastatik di leher. 5

3) Pemeriksaan Serologi untuk infeksi virus Epstein-Barr


Pemeriksaan serologi lgA anti EA dan IgA anti VCA untuk infeksi virus
mendeteksi karsinoma nasofaring. Pemeriksaan ini biasanya hanya digunakan
untuk menentukan prognosis pengobatan karenan spesifisitasnya yang
rendah. Titer yang didapat berkisar antara 80 hingga 1280 dan terbanyak pada
titer 160. 1

4) Biopsi
Ini merupakan diagnosis pasti untuk karsinoma nasofaring. Biopsi dapat
dilakukan dengan 2 cara, melalui hidung atau mulut. Biopsi melalui hidung
dilakukan tanpa melihat jelas tumornya (blind biopsy). Cunam biopsi
dimasukkan melalui rongga hidung menelusuri konka media ke nasofaring,
kemudian cunam diarahkan ke lateral dan dilakukan biopsi. 1
Biopsi melalui mulut dengan bantuan kateter nelaton yang dimasukkan
melalui hidung dan ujung kateter yang berada dalam mulut ditarik keluar dan

17
diklem bersama dengan ujung kateter yang berada di hidung sehingga
palatum molle tertarik ke atas. Kemudian dengan kaca laring dilihat daerah
nasofaring. Biopsi dilakukan dengan melihat kaca tersebut atau dengan
memakai nasofaringoskop yang dimasukkan melalui mulut dan massa tumor
akan terlihat jelas. Biopsi tumor dilakukan dengan anestesi topikal dengan
xylocain 10%. Bila dengan cara ini masih belum didapatkan hasil yang
memuaskan maka dapat dilakukan pengerokan dengan kuret daerah lateral
nasofaring dalam narkosis. 1
Telah disetujui oleh WHO bahwa hanya ada 3 bentuk karsinoma
(epidermoid) pada nasofaring yaitu karsinoma sel skuamosa (berkeratinisasi),
karsinoma tidak berkeratinisasi dan karsinoma tidak berdiferensiasi.
Limfoepitelioma, sel transisional, sel spindle, sel clear, anaplastik dan lain-
lain dimasukkan dalam kelompok tidak berdiferensiasi. Sering juga di dapat
kombinasi dari ketiga jenis karsinoma. 1

2.7 HISTOPATOLOGI
Keratinizing Squamous Cell Carcinoma
Pada pemeriksaan histopatologi keratinizing squamous cell carcinoma
memiliki kesamaan bentuk dengan yang terdapat pada lokasi lainnya. Dijumpai
adanya diferensiasi dari sel squamous dengan intercellular bridge atau
keratinisasi. Tumor tumbuh dalam bentuk pulau-pulau yang dihubungkan dengan
stroma yang desmoplastik dengan infiltrasi sel-sel radang limfosit, sel plasma,
neutrofil dan eosinofil yang bervariasi. Sel-sel tumor berbentuk poligonal dan
stratified. Batas antar sel jelas dan dipisahkan oleh intercellular bridge. Sel-sel
pada bagian tengah pulau menunjukkan sitoplasma eosinofilik yang banyak
mengindikasikan keratinisasi. Dijumpai adanya keratin pearls.9,10

18
Gambar 4 Keratinizing Squamous Cell Carcinoma (Dikutip dari: Rosai J. Rosai and
Ackermans Surgical Pathology,Volume one, Ninth Edition, Philadelphia: Mosby,
2004).

Gambar 5 Keratinizing Squamous Cell Carcinoma (Dikutip dari: Rosai J. Rosai and
Ackermans Surgical Pathology,Volume one, Ninth Edition, Philadelphia: Mosby,
2004).

Non Keratinizing Squamous Cell Carcinoma


Pada pemeriksaan histopatologi non keratinizing squamous cell carcinoma
memperlihatkan gambaran stratified dan membentuk pulau-pulau.9,10 Sel-sel
menunjukkan batas antar sel yang jelas dan terkadang dijumpai intercellular
bridge yang samar-samar. Dibandingkan dengan undifferentiated carcinoma
ukuran sel lebih kecil, rasio inti sitoplasma lebih kecil, inti lebih hiperkhromatik
dan anak inti tidak menonjol 9,10

19
Gambar 6 Non Keratinizing Squamous Cell Carcinoma. (Dikutip dari: Rosai J. Rosai
and Ackermans Surgical Pathology,Volume one, Ninth Edition, Philadelphia: Mosby,
2004).

Undifferentiated Carcinoma
Pada pemeriksaan undifferentiated carcinoma memperlihatkan gambaran
sinsitial dengan batas sel yang tidak jelas,inti bulat sampai oval dan vesikular,
dijumpai anak inti. Sel-sel tumor sering tampak terlihat tumpang tindih 6. Beberapa
sel tumor dapat berbentuk spindel. Dijumpai infiltrat sel radang dalam jumlah
banyak, khususnya limfosit, sehingga dikenal juga sebagai lymphoepithelioma.
Dapat juga dijumpai sel-sel radang lain, seperti sel plasma, eosinofil, epitheloid
dan multinucleated giant cell (walaupun jarang).
Terdapat dua bentuk pola pertumbuhan tipe undifferentiated yaitu tipe
Regauds, yang terdiri dari kumpulan sel-sel epiteloid dengan batas yang jelas
yang dikelilingi oleh jaringan ikat fibrous dan sel-sel limfosit. Yang kedua tipe
Schmincke, sel-sel epitelial neoplastik tumbuh difus dan bercampur dengan sel-sel
radang. Tipe ini sering dikacaukan dengan large cell malignant lymphoma. 10

20
Gambar 7 Undifferentiated Carcinoma terdiri dari sel-selyang membentuk sarang-sarang
padat
( “Regaud type”). (Dikutip dari: Rosai J. Rosai and Ackermans Surgical Pathology,Volume
one,
Ninth Edition, Philadelphia: Mosby, 2004).

2.8 DIAGNOSA BANDING


1) Angiofibroma nasofaring
Angiofibroma nasofaring adalah tumor jinak pembuluh darah di nasofaring
yang secara histologik jinak namun secara klinis bersifat ganas, karena
mempunyai kemampuan mendestruksi tulang dan meluas ke jaringan sekitarnya,
seperti ke sinus paranasal, pipi, mata  dan tengkorak, serta sangat mudah berdarah
yang sulit dihentikan dan terjadi pada laki-laki prepubertas dan remaja. 
Umumnya terdapat pada rentang usia 7 s/d 21 tahun dengan insidens terbanyak
antara usia 14-18 tahun dan jarang pada usia diatas 25 tahun. Tumor ini
merupakan tumor jinak nasofaring terbanyak5 dan 0,05% dari seluruh tumor
kepala dan leher. Dilaporkan insidennya antara 1 : 5.000 – 1 : 60.000 pada pasien
THT.1,6
2) Kelainan hiperplastik nasofaring
Dalam keadaan normal korpus adenoid di atap nasofaring umumnya pada usia
sebelum 30 tahun sudah mengalami atrofi. Tetapi pada sebagian orang dalam
proses atrofi ini mengalami infesi serius yang menimbulkan nodul-nodul

21
gelombang asimetri di tempat ini, bila terjadi ulserasi, perdarahan maka perlu
biopsy untuk membedakannya.

2.9 PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan karsinoma nasofaring pada dasarnya ada 2 macam, yaitu
pencegahan dan pengobatan.
1) Pencegahan
Karena penyebab kanker nasofaring belum jelas, maka pencegahan
yang dilakukan hanya berdasarkan faktor-faktor yang dinilai berpengaruh
akan timbulnya karsinoma nasofaring tersebut. Usaha tersebut adalah
penggunaan vaksin virus Epstein-Barr, mengurangi dan menghindari bahan-
bahan atau polutan yang dapat mempengaruhi timbulnya karsinoma
nasofaring, dan perbaikan sosial ekonomi.3,10
Penerangan akan cara hidup yang salah, mengubah cara memasak
makanan untuk mencegah akibat yang timbul dari bahan-bahan berbahaya,
penyuluhan mengenai lingkungan hidup yang tidak sehat, meingkatka
keadaan social-ekonomi dan berbagai hal yang berkaitan dengan
kemungkinan-kemungkinana factor penyebab.
2) Pengobatan
Dalam pengobatan kanker umumnya meliputi tindakan bedah atau
operasi, penggunaan obat-obatan sitostatika dan hormon, radioterapi dan
imunoterapi.
a. Pembedahan
Pembedahan dapat dilakukan dengan cara pembedahan
transpalatal (Diefenbach, Welson) maupun transmaksiler paranasal
(Moure Ferguson), tetapi terapi bedah ini tidak berkembang, dan hasilnya
menjadi kurang efektif. Terapi bedah dapat juga dilakukan pada tumor
metastase dengan membuang kelenjar limfe di leher. Operasi ini untuk
membuang kelenjar limfe permukaan tetapi sulit untu membuang kelenjar
di daerah retrofaring dan parafaring. 3,7,10

22
b. Radioterapi
Radiasi ditujukan pada daerah tumor induk dan daerah
perluasannya. Radioterapi dikenal 2 macam, yaitu teleterapi dan
brakiterapi. Teleterapi bila sumber sinar jauh dari tumor dan di luar tubuh
penderita. Sedangkan brakiterapi, sumber sinar dekat dengan tumor dan
dipasang dalam tubuh penderita. Teknik penyinaran dengan teleterapi
diberikan bila ada perluasan tumor ke depan yaitu daerah hidung dan
sekitarnya serta belum ada metastase ke kelenjar limfe leher. 10

c. Obat-obatan Sitostatika
Dapat diberikan sebagai obat tunggal maupun kombinasi. Obat
tunggal umumnya dikombinasikan dengan radioterapi. Obat yang dapat
dipergunakan sebagai sitostatika tunggal adalah methotrexat, metomycine
C, Endoxan, Bleocyne, Fluorouracyne, dan Cisplastin. Obat ini
memberikan efek adiktif dan sinergistik dengan radiasi dan diberikan pada
permulaan seri pemberian radiasi. Obat bisa juga diberikan sebelum dan
sesudah penyinaran sebagai sandwich terapy.
Obat kombinasi diberikan sebagai pengobatan lanjutan setelah
radiasi, serta penting pada pengobatan karsinoma yang kambuh. Banyak
kombinasi obat ganda yang dipakai antara lain kombinasi: BCMF
(Adriamycin, Cyclophosphamide, Methotrexat dan Fluoroacil), ABUD
(Adriamycin, Bleomycin, Umblastin dan Decarbazine), COMA
(Cyclophosphamide, Vincristine, Methotrexat, dan Adriamycin). 1,5,8,10

d. Imunoterapi
Dalam pengobatan keganasan, imunoterapi telah banyak dilakukan
di klinik onkologi, tetapi sampai saat ini tampaknya masih merupakan
research dan trial. Untuk karsinoma nasofaring telah dilakukan penelitian
antara lain dengan menggunakan interferon dan Poly ICLC. 1

e. Obat Antivirus

23
Acyclovir dapat menghambat sintesis DNA virus sehingga dapat
menghambat pertumbuhan virus termasuk juga Virus Epstein Barr. Obat
antivirus ini penting pada karsinoma nasofaring anaplastik yang
merupakan EBV carrying tumor dengan DNA EBV positif .3

f. Perawatan paliatif 1
Perhatian pertama diberikan pada pasien dengan pengobatan
radiasi. Mulut terasa kering disebabkan oleh kerusakan kelenjar liur
mayor maupun minor sewaktu penyinaran. Menasihati dengan banyak
makan dengan kuah, membawa minuman kemanapun pergi dan mencoba
memakan dan mengunyah bahan yang rasa asa sehingga merangsang
keluarnya air liur. Gangguan lain adalah fibrosis jaringan akibat
penyinaran, sakit kepala, kehilan`gan nafsu makan dan kadang-kadang
muntah atau rasa mual.
Kesulitan yang timbul pada perawatan pasien pasca pengobatan
legkap dimana tumor tetep ada (residu) atau kambuh kembali (residif).
Dapat ppula timbul metastasis jauh pasca pengobatan seperti ke tulang,
paru, hati dan otak. Pada keadaan tersebut di atas, tidak banyak tindakan
medis yang dapat diberikan selain pengobatan simtomatis untuk
meningkatkan kualitas hidup pasien. Perawatan paliatif diindikasikan
langsung kepada pasien untuk pengurangan rasa nyeri, mengntrol gejala
dan memperpanjang usia. Radiasi sangat efektif untuk menguragi nyeri
akibat metastasis tulang. Pasien akhirnya meninggal akibat keadaan
umumt yang buruk, perdarahan dari hidung dan nasofaring yang tida
dapat dihentikan dan terganggunya fungsi alat-alat vital akibat metastasis
tumor.

2.10 FOLLOW UP
Tidak seperti keganasan kepala leher yang lainnya, KNF mempunyai risiko
terjadinya rekurensi, dan follow up jangka panjang diperlukan. Kekambuhan
tersering teradi kurang dari 5 tahun, 5-15% kekambuhan seringkali terjadi antara

24
5-10 tahun. Sehingga pasien KNF perlu di follow up setidaknya 10 tahun setelah
terapi.1

2.11 PROGNOSIS
Sangat mencolok perbedaan prognosis ( angka bertahan hidup 5 tahun) dari
stadium awal dengan stadium lanjut, yaitu 76,9% untuk stadium I, 56,0% untuk
stadium II, 38,4% untuk stadium III, dan hanya 16,4% untuk stadium IV. 1
Prognosis diperburuk oleh beberapa faktor, seperti :2
 Stadium yang lebih lanjut.

 Usia lebih dari 40 tahun

 Laki-laki dari pada perempuan

 Ras Cina dari pada ras kulit putih

 Adanya pembesaran kelenjar leher

 Adanya kelumpuhan saraf otak adanya kerusakan tulang tengkorak

 Adanya metastasis jauh

2.12 PENCEGAHAN
Pemberian vaksinasi pada penduduk yang bertempat tinggal di daerah dengan
risiko tinggi. Memindahkan (migrasi) penduduk dari daerah dengan risiko tinggi
ke tempat lain. Penerangan akan kebiasaan hidup yang salah, mengubah cara
memasak makanan untuk mencegah akibat yang timbul dari bahan-bahan yang
berbahaya. Penyuluhan mengenai lingkungan hidup yang tidak sehat,
meningkatkan keadaan sosial-ekonomi dan berbagai hal yang berkaitan dengan
kemungkinan-kemungkinan faktor penyebab. Melakukan tes serologik IgA-anti
VCA dan IgA anti EA secara missal di masa yang akan datang bermanfaat dalam
menemukan karsinoma nasofaring secara lebih dini.1

25
BAB III
KESIMPULAN

Karsinoma nasofaring merupakan tumor ganas di daerah kepala dan leher,


yang menyerang bagian nasofaring. Adapaun penyebab karsinoma nasofaring
adalah virus Epstein-Barr, tetapi virus ini bukan satu-satunya faktor, karena
banyak faktor lain yang sangat mempengaruhi kemungkinan timbulnya tumor ini,
seperti letak geografis, rasial, jenis kelamin, genetik, pekerjaan, lingkungan,
kebiasaan hidup, kebudayaan, sosial ekonomi, infeksi kuman atau parasit.
Gejala karsinoma nasofaring dapat dibagi dalam 4 kelompok, yaitu gejala
nasofaring, gejala telinga, gejala mata dan saraf, sertametastasis atau gejala di
leher. Gejela nasofaring berupa epistaksis ringan atau sumbatan hidung.
Gangguan di telinga dapat menyebabkan tinnitus, rasa tidak nyaman di telinga
sampai rasa nyeri di telinga (otalgia). Penekanan pada sejumlah saraf otak dapat
menyebabkan diplopia dan neuralgia trigeminal. Metastasis ke kelenjar leher
dalam bentuk benjolan di leher yang mendorong pasien untuk berobat karena
sebelumnya tidak terdapat keluhan lain.
Diagnosis karsinoma nasofaring dapat menggunakan CT-Scan,
pemeriksaan serologi dan biopsy yang merupakan pemeriksaan bakunya. Dari
hasil histopatologinya, dapat ditemukan 3 bentuk karsinoma yaitu karsinoma sel
skuamosa, karsinoma tidak berkeratinisasi dan karsinoma tidak berdiferensiasi.
Penentuan stadium karsinoma nasofaring menggunakan sistem TMN
menurut UICC dan dibagi menjadi stadium I-IV. Penentuan ini berguna untuk
menentukan jenis terapi yang akan diberikan. Radioterapi merupakan metode
terapi paling utama, radioterapi dikombinasi dengan kemoterapi dapat
meningkatkan efektifitas terapi kanker nasofaring.
Pencegahan karsinoma nasofaring berupa pemberian vaksinasi, migrasi
penduduk ke daerah dengan faktor risiko rendah, penerangan akan kebiasaan
hidup yang salah, penyuluhan mengenasi lingkungan hidup yang tidak sehat, dan
melakukan tes serologik.

26
DAFTAR PUSTAKA

1. Roezin A, Adham M. Karsinoma Nasofaring. Dalam: Buku Ajar Ilmu


Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala, dan Leher. Edisi 6. Jakarta:
Balai Penerbit FKUI; 2009. hlm. 182-187.

2. American Cancer Society. Nasopharyngeal cancer. Atlanta, American Cancer


Society. 2011.

3. Asroel, Harry A. Penatalaksanaan radioterapi pada karsinoma nasofaring. USU


digital library Tenggorokan Hidung danTelinga Universitas Sumatera Utara.

4. Bailey BJ MD, Jhonson JT MD. Newlands SD,MD,PhD, MBA.


Nasopharyngeal cancer in head and neck surgery-otolaryngology. 4th Ed.
Volume 2. Philadephia: Lippincott Williams & Wilkins; 2001. p.1657- 67

5. Lu Jiade J, Cooper Jay S, M Lee Anne WM. The epidemiologi of


Nasopharigeal Carcinoma In : Nasopharyngeal Cancer. Berlin :
Springer,2010. p. 1-9.
6. Marur, S and Forastiere A.A. Head and neck cancer: changing epidemiology,
diagnosis, and treatment. Mayo Clin Proc. April 2008; 83(4). p. 489-501.
7. Jeyakumar, Anita et al. Review of nasopharyngeal carcinoma. ENT-ear, nose
& throat. Journal March. 2006.

8. Longmore M,Wilkinson I, Turmezei T,Cheug CK. Oxford Handbook of


Clinical Medicine. 7th Ed. United States, New York: Oxford University. p.
179.

9. Leu, Yi-Shing L, Jehn C. “Carcinoma in the Pharynx: Nasopharynx,


Oropharynx and Hypopharynx”. J. Chinese Oncol. Soc. 25(2), 102-113.

10. Ho JHC. Staging and radiotherapy of nasopharyngeal carcinoma. In : Cancer


in Asia Pacific. Vol.1. Hong Kong, 1998.p. 487-93

27

Anda mungkin juga menyukai