Oleh :
Hermanto
Moderator :
dr. DANI RAHMAWATI, Sp. S(K)
2019
BAB I
PENDAHULUAN
Post dural puncture headache (PDPH) atau nyeri kepala pasca-blok lumbal atau blok
spinal adalah sakit kepala yang sering berlokasi di daerah frontal dan oksipital, terjadi akibat
adanya kebocoran dari cairan serebrospinal melalui lubang di duramater akibat penusukan jarum
anestesi. PDPH pertama kali dideskripsikan oleh August Bier tahun 1898 dan didefinisikan
sebagai nyeri kepala setelah intervensi terapeutik dan diagnostik ruang epidural atau spinal
setelah anestesi tulang belakang, sebagai sakit kepala berat yang terjadi saat berdiri atau duduk
dan diperingan dengan posisi tidur telentang.1 CSF terbungkus oleh lapisan meningeal yaitu
arachnoidmater dan dura mater, istilah yang lebih tepat untuk PDPH, seperti yang dijelaskan
oleh Harrington dan Schmitt, adalah meningeal puncture headache (MPH); Namun,sampai saat
ini istilah yang digunakan tetap PDPH.2. Gejala yang terkait dengan PDPH dapat mencakup leher
kaku, mual, muntah, fotofobia, diplopia, paresthesia kulit kepala, nyeri tungkai atas dan bawah,
gangguan pendengaran termasuk tinnitus, hypoacusia, dan perubahan status mental .3,4, kebutaan,
8,9
hematoma subdural, perdarahan intraserebral, dan kejang. Sakit kepala biasanya timbul pada
24–48 jam setelah tusukan meningeal, namun, ada banyak laporan yang menunjukkan sakit
kepala paling lambat 7 hari setelah tusukan meningeal. Selain itu, Reamy melaporkan PDPH
yang dipresentasikan pada 12 hari setelah tusukan meningeal pada masa nifas.7 Kebanyakan sakit
kepala sembuh dalam 7 hari, tetapi dalam kasus yang jarang, mereka dapat bertahan selama
beberapa bulan.
Kejadian PDPH diperkirakan antara 30-50% setelah lumbal pungsi diagnostik atau
terapeutik, 0-5% setelah anestesi spinal, dan hingga 81% setelah pungsi dural yang tak disengaja
selama insersi epidural pada ibu hamil. 4 Postdural puncture headache berkembang dari 16%–
86% kasus setelah mencoba blok epidural dengan jarum ukuran besar. Penembusan apapun pada
dura mungkin akan menghasilkan PDPH. Penembusan ini dapat terjadi secara spontan atau
iatrogenik. PDPH dapat terjadi selama 48 jam setelah prosedur. Keluarnya cairan serebrospinal
secara spontan sangat jarang yaitu 1:50.000 orang.8
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.3. INSIDEN
Insiden PDPH diperkirakan 30 – 50% pada diagnostik atau terapi lumbal pungsi, 0 –
5% anestesi spinal dan 81% kejadian pungsi dural selama insersi epidural pada wanita hamil.
PDPH sering terjadi pada dewasa muda termasuk pasien obstetri dengan insiden sebanyak 14%.
1 Wanita, selama kehamilan dan setelah persalinan pervaginam, dianggap berisiko tinggi
terhadap PDPH. Kejadian PDPH tertinggi antara usia 18 dan 30 tahun dan menurun pada anak-
anak di bawah 13 tahun dan orang dewasa lebih dari 60 tahun. Kejadian PDPH meningkat pada
pasien dengan indeks massa tubuh yang rendah. Wanita yang mengalami obesitas atau tidak
sehat sebenarnya memiliki kejadian PDPH yang rendah. Penurunan kejadian ini disebabkan oleh
peningkatan tekanan intraabdomen yang dapat pengikat perut sehingga membantu menutupi
defek pada dura dan mengurangi hilangnya CSS. Wanita yang lebih muda mungkin memiliki
risiko lebih besar karena peningkatan elastisitas serat dural untuk menjaga defek dura yang paten
dibandingkan dengan dura yang kurang elastis pada pasien yang lebih tua. Pasien yang memiliki
riwayat sakit kepala setelah lumbal pungsi dan riwayat PDPH sebelumnya juga berisiko tinggi.5
Kejadian PDPH meningkat dengan penggunaan jarum spinal yang berukuran besar dan
komplikasi berkurang dengan penggunaan jarum pencil – tripped needles. Insiden PDPH secara
langsung berkaitan dengan diameter jarum yang menembus duramater. Diagnostik lumbal pungsi
memerlukan jarum 22- gauge untuk memfasilitasi pengukuran tekanan terbuka dan penarikan
CSS dalam waktu yang cukup singkat. Dengan jarum yang lebih kecil dari ukuran 22-gauge,
menampung 2 mL CSS yang mungkin memakan waktu 6 menit atau lebih dan pengukuran
tekanan CSS mungkin kurang akurat. Tambahan pada pedoman praktik American Academy of
Neurology (AAN) menganjurkan penggunaan jarum 22-gauge , namun dilaporkan pada
serangkaian kasus dimana jarum 25- gauge digunakan dengan sukses.5 10
Meskipun tusukan
jarum diameternya kecil digunakan untuk blok subarakhnoid mengurangi resiko PDPH, jarum ini
secara teknis sulit untuk digunakan dan berkaitan dengan tingkat keberhasilan yang rendah dari
anestesi spinal, terutama di tangan yang kurang berpengalaman. Hal ini disebabkan oleh
kegagalan dalam mengenali pungsi dural sekunder untuk memperlambat aliran melalui jarum
kecil, menyebabkan tusukan berganda dan berulang. Insiden dari PDPH dengan jarum Whitacre
25-gauge (tidak tajam) kurang daripada jarum Quincke 27-gauge (tajam). Morbiditas terkait
dengan lumbal pungsi dapat dikurangi dengan pemilihan sebuah pengukur jarum yang tepat dan
konfigurasi ujung jarum.7
2.5. DIAGNOSA
Tanda dan gejala PDPH biasanya bermanifestasi sebagai sakit kepala, postural frontal,
frontotemporal, atau oksipial dan menyebar keleher dan bahu, memberat saat kepala digerakan
dan posisi tegak dan membaik dalam posisi terlentang. PDPH terjadi dalam 48 jam setelah
pungsi dural. Sakit kepala dan sakit punggung merupakan gejala dominan yang berkembang
setelah pungsi dural. Sembilan puluh persen sakit kepala akan terjadi dalam 3 hari setelah
prosedur berlangsung, dan 66% mulai dalam 48 jam. Jarang, sakit kepala berkembang antara 5
sampai 14 hari setelah prosedur.8
Gejala-gejala yang menyertai biasanya mual, muntah dan leher kaku. Gejala lainnya
yaitu keluhan mata seperti fotofobia dan diplopia, dan keluhan pendengaran seperti tinitus,
vertigo dan hiperakusis. Kasus pertama diplopia setelah pungsi dural dilaporkan oleh Quincke
lebih dari 100 tahun yang lalu. Diplopia atau kelumpuhan otot luar mata setelah pungsi dural
telah dilaporkan, terutama dalam literatur neurologi dan oftalmologi. Diplopia biasanya terjadi
4 – 10 hari setelah pungsi dural tetapi dapat bermanifestasi sampai akhir minggu ketiga.
Pemulihan secara umum dapat diharapkan dalam dua minggu sampai delapan bulan, meskipun
kasus menetap jarang dilaporkan.1 Intrakranial subdural hematoma, cerebral herniasi dan
kematian merupakan komplikasi dari pungsi dural.3,20
Riwayat adanya pungsi dural dan gejala seperti sakit kepala pasca pungsi dural,
kekakuan pada leher dan adanya tanda neurologis mengkonfirmasikan diagnosis PDPH. Bila
terdapat keraguan dalam mendiagnosis PDPH, tes tambahan dapat mengkonfirmasi secara klinis.
Diagnosis lumbal pungsi dapat terlihat dengan menurunnya tekanan CSS, protein CSS yang
sedikit meningkat dan peningkatan jumlah limfosit CSS. Pada pemeriksaan MRI menunjukkan
peningkatan difuse dural dengan bukti adanya “sagging brain” pada descent brain, optic chiasm,
dan brain stem dan pembesaran kelenjar pituitari. Pada CT myelography, retrograde radionuclide
myelography, dan cisternography dapat digunakan menglokalisir CSS yang bocor pada spinal.3,20
Gambar 5 kriteria diagnosis PDPH berdasarkan internasional classfikation of headache disorder
2.7. PENGOBATAN
Penatalaksanaan
2.7.1 Konservatif
Setelah dilakukan eksklusi komplikasi dari sistem saraf pusat dan mengkonfirmasi
diagnosis PDPH, penanganan awal yang dapat diberikan untuk 24 jam pertama sampai 48 jam
adalah konservatif karena lebih dari 85% PDPH akan membaik dengan terapi konservatif.
Penanganan konservatif meliputi tirah baring dengan posisi terlentang akan meningkatkan
kenyamanan pasien dan menghindari efek yang memperparah dengan posisi tegak. Namun,
dalam penelitian tidak ditemukan tirah banding dapat mencegah PDPH. Berbaring dengan posisi
telengkup juga dapat meningkatkan tekanan intraabdomen, dimana akan mengubah transmisi ke
ruang subarahnoid untuk meningkatkan tekanan CSS, tetapi posisi ini tidak nyaman untuk
kebanyakan pasien pasca operasi. Selain tirah baring, terapi cairan juga dapat dilakukan ketika
terjadi dehidrasi namun tidak ada bukti yang pasti bahwa hidrasi berlebihan itu efektif.10,11
2.7.2 Terapi Farmakologi
a. Analgetik : analgetik sederhana sebaiknya diberikan pada semua pasien dengan PDPH.
Paracetamol reguler dan non steroid antiinflamasi (NSAID) dapat mengontrol gejala secara
adekuat. Opioid juga dapat diberikan namun efek samping mual muntah dari opioid dapat
memperparah PDPH. Epidural dan morfin intratekal juga terbukti mencegah PDPH dan
mengurangi kebutuhan akan epidural blood patch (EBP). Perlu diketahui bahwa morfin intratekal
atau epidural dapat menyebabkan depresi pernapasan yang terjadi beberapa jam setelah injeksi
sehingga perlu dilakukan monitoring secara ketat dan bila perlu sediakan noloksin sebagai
antagonis opioid 10,11
b. Kafein : kafein pertama kali dilaporkan sebagai pengobatan untuk PDPH pada tahun 1949.
Kafein adalah stimulan sistem saraf pusat dan diperkirakan mempengaruhi PDPH dengan
menginduksi vasokonstriksi serebral. Dosis dari 75 - 500 mg telah diteliti dan kafein diberikan
secara oral, intramuskular dan intravena. Di Inggris yang dilakukan pada tahun 2005 menemukan
bahwa 30% unit persalinan memberikan kafein untuk mengobati PDPH dan banyak ahli anestesi
obstetrik menganjurkan cairan yang mengandung kafein. Ada bukti 15 yang rendah bahwa
kafein memberikan manfaat sementara pada PDPH, namun sebuah tinjauan dari konsensus
Amerika baru-baru ini menyimpulkan bahwa kafein bermanfaat bagi PDPH tidak beralasan.
Kafein dikaitkan dengan kejadian buruk termasuk aritmia jantung dan kejang ibu. Dalam dosis
tinggi (> 300mg) kafein bisa masuk ke ASI dan berpotensi menyebabkan iritabilitas neonatal.
10,11
BAB IV
DAFTAR PUSTAKA
1. Bier A: Versucheuber cocainistrung des ruckenmarkes. Dtsch Zeitschr Chir 51:361–369,
1899.
2. O’Connell NE, Wand BM, McAuley J, Marston L, Moseley GL: Interventions for treating
pain and disability in adults with complex regional pain syndrome—an overview of systematic
reviews. Cochrane Database Syst Rev 4:CD009416, 2013
3. Perez RS, Zollinger PE, Dijkstra PU, et al.: Evidence based guidelines for complex regional
pain syndrome type 1. BMC Neurol 10(1):1–14, 2010.
4. de Mos M, Huygen FJPM, Dieleman JP, Koopman JSHA, Stricker BHC, Sturkenboom
MCJM: Medical history and the onset of complex regional pain syndrome (CRPS). Pain
139(2):458–466, 2008.
5. Peterlin BL, Rosso AL, Nair S, Young WB, Schwartzman RJ: Migraine may be a risk factor
for the development of complex regional pain syndrome. Cephalalgia 30(2):214–223, 2010.
6. Kingery WS: Role of neuropeptide, cytokine, and growth factor signaling incomplex regional
pain syndrome. Pain Med 11(8):1239–1250, 2010.
7. Sandroni P, Benrud-Larson LM, McClelland RL, Low PA: Complex regional pain syndrome
type I: incidence and prevalence in Olmsted county, a population-based study. Pain 103(1
2):199–207, 2003.
8. Ghaleb, A., Khorasani, A., Mangar, D. Post-dural puncture headache. International Journal of
General Medicine. 2012; 5; 45-51
9. Dagmar Oberhofer et al. Incidence and clinical significance of post-dural puncture headache
in young orthopaedic patients and parturients. Periodicum Biologorum. 2013. Vol. 115, No 2,
203–208
10. Campbell, N.J. Effective Management of the Post Dural Puncture Headache. Anaesthesia
Tutorial of the Week 181. 2010. 1-7
11. Olufemi Babatunde Omole & Gboyega Adebola Ogunbanjo (2015) Postdural puncture
headache: evidence-based review for primary care, South African Family Practice, 57:4, 241-
246, DOI: 10.1080/20786190.2015.1014154
12. Shaikh,S.I., Ramesh, N.K. Perioperative Management of Post Dural Puncture Headache.
International Journal of Biomedical and Advance Research. 2015; 6(02): 78-83
12. Sharma A, Agarwal S, Broatch J, Raja S: A web-based cross-sectional epidemiological
survey of complex regional pain syndrome. Reg Anesth 34(2):110–115, 2009.
13. de Mos M, Huygen FJ, van der Hoeven-Borgman M, Dieleman JP, Ch Stricker BH,
Sturkenboom MC: Outcome of the complex regional pain syndrome. Clin J Pain 25(7):590–597,
2009.
14. Birklein F, Schlereth T: Complex regional pain syndrome-significant progress in
understanding. Pain 156(suppl1):S94–S103, 2015.
15. Birklein F, Schmelz M: Neuropeptides, neurogenic inflammation and complex regional pain
syndrome (CRPS). Neurosci Lett 437(3):199–202, 2008.
17.de Mos M, Huygen FJPM, Stricker BHC, Dieleman JP, Sturkenboom MCJM:The association
between ACE inhibitors and the complex regional pain syndrome: suggestions for a neuro
inflammatory pathogenesis of CRPS. Pain 142(3):218–224, 2009.
18. Kramer HH, Eberle T, Uceyler N, et al.: TNF-alpha in CRPS and normal trauma—significant
differences between tissue and serum. Pain 152(2):285–290, 2011.
19. Choi PT, Galinski SE, Takeuchi L, Lucas S, Tamayo C, Jadad AR: PDPH is a common
complication of neuraxial blockade in parturients: a meta-analysis of obstetrical studies. Can J
Anaesth 50:460–469, 2003.
20. Hatfield M, Handrich S, Willis J, Beres R, Zaleski G: Blood patch rates after lumbar
puncture with Whitacre versus Quincke 22- and 20-gauge spinal needles. AJR Am J Roentgenol
190:1686–1689, 2008