Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH

“Hukum alam”

Disusun oleh:
SUMIRA AGUSTINA

217210459

Administrasi bisnis
Fakultas ilmu sosial dan ilmu politik
Universitas islam riau
2021/2022
SEJARAH HUKUM ALAM
A. PENDAHULUAN
Sejak zaman Yunani dan Romawi hingga saat ini, masyarakat dihadapkan pada
berbagai teori tentang hukum yang lahir pada setiap babak perjalanan sejarah hukum,
Pada umumnya, suatu teori hukum tidaklah dapat dilepaskan dari lingkungan
zamannya.Yang berarti bahwa teori-teori tentang hukum tidak ada yang berlaku
sepanjang masa. Ada masa gemilang dan ada masa merosot. Masa gemilang dicapai
jika kadar unsur-unsur kekuatan (strenghtpoints) jaug melebihi kadar unsur
kelemahan (weak points). Di lain sisi, pada saat kadar weak points meningkat, saat
itulah kemerosotan teori yang bersangkutan mulai tampak, dan berangsur-angsur
menghilang. Secara tidak kaku (relative) upaya untuk memahami setiap teori tersebut
dilakukan melalui klasifikasi para pakar hukum yang mempunyai pemikiran serupa,
ke dalam satu aliran atau mazhab tertentu. Sarjono Soekanto menggolongkannya ke
dalam lima aliran, yaitu:
1) aliran hukum alam (Aristolea, Aquinas, Grotius)
2) mazhab formalisme
3) mazhab kebudayaan dan sejarah (Von Savugny, Puchta, Maine)
4) aliranutilitarianisme dan sociological jurisprudence (Bentham, Jhering,)
5) aliran sociological jurisprudence dan legal realism (Ehrlich, Pound, Holmes
Llewellyn dan Frank)

Kemudian Lili Rasjidi menggolongkannya atas enam aliran, yaitu:


(1) aliran hukum alam/kodrat
(2) aliran hukum positif
(3) aliran ultilitarianisme
(4) mazhab sejarah
(5) sociological jurisprudence
(6) pragmatic legal realism
Masih banyak lagi penggolongan-penggolongan semacam itu; Mochtar
Kusumaatmadja, menambahkan lagi satu mahzab terkahir yang dinamakannya “teori
hukum pembangunan (nasional)”atau pernah dikenal sebagai “mahzab Unpad”
Tampaklah hukum alam/kodrat sebagai aliran yang tertua. Oleh karena itu, jika kita
melihat pandangan masyrakat umum, sebagaimana telah diutarakan dimuka dapatlah
di duga bahwa aliran hukum alam saat ini tinggal bernilai sejarah. Memang demikian
keadaannya pada jaman modern ini hukum alam kurang dianut orang.
Apakah aliran hukum alam sunguh-sungguh sudah lenyap dalam arti tidak ada
penganutnya lagi? Apakah saat ini hukum alam sudah tidak pernah berlaku? Ternyata
juga tidak demikian karena dalam dasawarsa-dasawarsa yang lalu masih terdengar
suara bahwa hukum alam bangkit kembali, bagaimana diakui oleh para pemikir
kontemporer seperti Roscoe Pound, Eikema, Hommes, dan Wolfgang Kluxen Ada pula yang
membenarkan bahwa benar hukum alam hidup kembali tetapi dengan nama
yang lain. Biasanya disebut asas-asas hukum umum seperti: “solidarete social” nya
Duguit,”grund norm”-nya, Hans Kelsen, “social engineering”-nya dari Roscoe Pound,
“kulturentwicklung”-nya Kohler, dan “regle morale”-nya Ripert6. Dengan demikian
maka kiranya tidaklah berlebihan jika dikatyakan mahzab hukum alam merupakan
suatu mahzab yang “jatuh - bangun” . Dan bagaimana kesudahaannya akan kita kaji
melalui pendekatan teori falsifikasi. Karl Popper dan teori revolusi sains Thomas. S
Kuhn.

A. SEJARAH AJARAN HUKUM ALAM


Tidaklah mudah memberi arti tentang apa yang dimaksud dengan hukum alam.
Hukum alam adalah lawan dari positiveme hukum hanya saja, kenyataannya banyak
dogmatisme hukum dikaitkan dengan filsafat hukum ala mini. Dalam filsafat hukum
alam terdapat keyakinan bahwa ada suatu sistem hukum ideal yang diciptakan oleh
Tuhan, alam dan alam pikiran manusia itu sendiri7 Sistem hukum ideal itu berlaku
sama bagi seluruh atau semua masyarakat dan bagi semua periode sejarah. Aturanaturannya
hanya dapat dijelaskan melalui alasan-alasan dan pemikiran logis. Oleh
karena itu, hukum alam berjalan di luar fenomena-fenomena yang dapat diamati baik
positiveme hukum maupun positiveme ilmu pengetahuan. Dengan perkataan lain
hukum alam adalah hukum yang berlaku mutlak bagi siapa saja, kapan saja, dan
dimana saja ia berada. Ia tidak dapat dibatasi oleh orang, waktu dan tempat. Hukum
alam adalah hukum yang abadi akan tetapi tidak semua alih filsafat dapat berpendapat
demikian. Thomas Aquinas mengatakan bahwa hukum alam bersifat flexible dan
adaptable. Hukum itu dapat berlaku terus jika untuk kepentingan manusia. Dengan demikian
dlam perjalannan sejarah, hukum alam mengalami perubahan-perubahan,
baik berupa tambahan maupun pengurangan, tergantung pada sumbangan hukum
alam itu sendiri untuk kebutuhan manusia.8 Demikian pula, Lili Rasjidi, dengan
mengankat pandangan Friedmann mengatakan bahwa pengertian hukum alam
berubah-ubah sesuai dengan perubahan masyarakat dan keadaan politik. Bagaimana
ajaran-ajaran hukum alam itu, dapatlah ditelusuri melalui periode-periode sejarah
berikut ini.

B.1. Zaman Klasik


Yang meletakkan dasar hukum alam adalah para ahli pikir Yunani. Heraclitus
sebagai orang yang pertama dalam deretan nama tokoh-tokoh pelopor hukum alam
tersebut. Ia berusaha menemukan hakikat dari segala yang ada, yang disebutnya
takdie, tatanan, dan akal duniawi. Dalam hal ini, alam yang tadinya sebgai substansi
mengalami degradasi tidak lagi sebagai substansi, melainkan suatu hubungan, suatu
tatanan benda-benda. Ini yang merupakan dasar kegemilangan aliran Yunani
(sophis).Gerakan tersebut muncul pada saat tingginya tingkat perkembangan politik, bahwa
manusaia sebagai makhluk politik (zoonpoliticon) harus mengabdi pada
masyarakat/negara11. Pandangan ini sejalan dengan paham “kolektivisme Aristoteles,
yaitu bahwa manusia hanyalah dapat berbahagia jika berasa di dalam negara dan
hidup bernegara, karena manusia selalu membutuhkan manusia lain untuk memenuhi
kebutuhannya. Dalam perimbangan kepentingan antara manusaia (warga ngara) dan
negara, negaralah yang menempati posisi primer, yang lebih diutamakan; sebab, jika
kepentingan negara terpelihara dengan baik dengan sendirinya kepentingan manusia
sebagai warga negara akan terjamin. Kewajiban untuk berbakti kepada negara tersebut adalah
kewajiban alamiah yang tunduk pada hukum alam. Di Yunani, kewajiban alamiah itu dibebankan
kepada semua laki-laki yan bebas (warga-warga polis yang mempunyai hak yuridis) sejalan
dengan ajaran “keadilan distributive”-nya Aristoteles. Pada masa itu Aristoteles telah
membedakan dua macam hukum yang berlaku, yaitu:
(1) hukum alam
adalah hukum yang selalu berlaku dan tidak pernah berubah karena
berhubungan dengan aturan alam
(2) hukum positif
adalah undang-undang yang dibuat sebagai dasar pelaksanaan pemerintah
Undang-undang ini pun ada dua macam yaitu undang-undang yang berakar pada tata
susila, dan undang-undang yang tertulis.

Menurut Aristoteles, undang-undang yang


disebut pertama itulah yang lebih besar kekuatan mengikatnya daripada undang-undang lainnya.
Undang-undang itu pulalah yang lebih stabil karena selalu menuju ke
penghidupan yang sempurna. Dengan demikian, hukum yang berlaku di Yunani menurut tata
urutannya adalah hukum alam sebagai hukum yang paling tinggi, kemudian undang-undang yang
tertulis.

B.2. Zaman Abad Pertengahan


Tokoh yang terkenal pada zaman ini adalah Thomas Aquinas. Ia membedakan
hukum atas empat golongan, yaitu:
(1) Lex aeterna
adalah kebijaksanaan Allah yang menyatakan diri sebagai aturan segala
struktur ciptaan. Dalam arti ini Allah dapat dipahami sebagai “hukum abadi”
bagi segala ciptaannya.
(2) Lex divina
Adalah hukum yang mengisi segala kekurangan pikiran manusaia dan
membimbing manusia dengan wahyu Tuhan kearah kesucian untuk hiduop di akhirat. Ini
merupakan penjelasan bahwa lex divina adalah penjelasan dari
akal budi Tuhan yang tertulis dan hukum adalah yang tidak tertulis13
(3) Lex naturalis (hukum alam)
Ialah hukum yang merupakan cerminan dari kehendak Allah sang Pencipta, yang dipandang dari
sudut manusia selaku hasil ciptaan-Nya. Eksistensi
manusia sebagai makhluk yang berpikir itulah kodrat manusia. Karena kodrat
tersebut adalah kehendak Allah maka merupakan hukum bagi manuia untuk
bersikap tindak sesuai dengan kodrat. Setiap” sikap tindak” yang berdasarkan
kodrat itulah yang dimaksud lex naturalis14
(4) Lex humana
Yaitu hukum manusia atau hukum positif adalah hukum yang meripakan
pelaksanan dari hukum alam oleh manusia, yang disesuaikan dengan syratsyarat khusus yang
diperlukan untuk mengatur soal-soal keduniawian di dalam
negara. Dalam hal ini diikenal tiga cara penyesuaian hukum alam, yaitu:
a. mengulangi dan menggarisbawahinya misalnya larangan untuk
membunuh
b. menarik kesimpulan dedukatif hukum alam pada situasi-situasi tertentu
misalnya tututan keadilan dalam bidang ekonomi
c. menetapkan aturan dalam bidang yang menurut kodrat manusia tidak
memberi petunjuk tentang bagaimana harus diatus misalnya aturan lalu
lintas Pada zaman abad pertengahan ini dikenal dua prinsip hukum alam yang berlaku,
yaitu:
(1) Prinsip hukum alam primer
Adaah prinsip hukum sebagaimana dirumuskan oleh para pemikir Stoa pada
zaman klasik, misalnya hidup secara hormat dan tidak merugikan orang lain
dan memberikan kepada setiap orang sesuai dengan haknya.
(2) Prinsip hukum alam sekunder
Adalah norma-norma moral misalnya jangan membunuh15
B.3. Zaman Rasionalisme
Adalah zaman dimana hukum alam dikembalikan kepada hasil pemikiran
manusia semata-mata. Tokoh yang terkenal pada zaman ini Hugo de Groot, lebih
dikenal dengan nama Hugo Grotius yang dianggap sebagai pendiri teori hukum alam
modern16.
Menurut Grotius, sifat manusia yang khas adalah keinginannya untuk hidup
bermasyarakat, agar hidup tenang bersama kawan-kawan dan ini memang sesuai
dengan watak intelektualnya. Prinsip-prinsip hukum alam berasal dari sifat intelek
manusia yang menginginkan suatu masyarakat yang penuh damai. Prinsip-prinsip itu
terlepas dari perintah Tuhan. Hukum alam sangat kekal, sehingga oleh Tuhan pun
hukum itu tidak dapat diubah17 Ucapannya yang sangat terkenal adalah “ … hukum
alam akan tetap berlaku mesipun andaikata Tuhan tidak ada (estimasi daremus on esse
Deum) Dengan berucap demikian, tampaknya Grotius seakan-akan mengecilkan Tuhan. Akan
tetapi, sesungguhnya tidak demikian maksudnya. Pandangan Grotius tersebut adalah
semata-mata bersifat hipotesis, dengan tujuan membentuk suatu sistem hukum yang
akan menamakan keyakinan dalam suatu zaman di mana pertentangan teologi lambat
laun kehilangan dayanya untuk menanamlan keyakinan tersebut. Sebab, sebagai
seorang Protestan yang masih tebal iman kristianinya, ia tidak akan pernah
membenarkan bahwa Tuhan tidak mengambil bagian apa pun dalam setiap persoalan
manusia. Bahkan jelas dituliskan dam bukunya De lure Belli ac Pacis, Proglegomena,
paragraph 11 s.d 13 bahwa “ … hukum alam ditanamkan oleh Tuhan pada manusia.
Oleh karena itu, hukum alam mempunyai asal yang suci. Hukum-hukum yang
diwahyukan Tuhan menegaskan dan membantu manusia dalam pengetahuannya
tentang hukum alam”19 Apeldoorn juga menulis bahwa “ … menurut de Groot,
sumber hukum adalah budi, sumber kekuatan mengikat adalah Tuhan”20 Dengan
demikian dapatlah dikatakan bahwa kebenaran hukum alam memang terletak pada
pikiran manusia, namun Tuhan diperlukan dalam hal ini dalam menciptakan rasio
manusia untuk menjawab misteri alam.
Ada dua prinsip hukum alam yang diutarakan oleh Hugo Grotius. Pertama, prinsipprinsip dasar,
misalnya kesetiaan kepada janji, ganti rugi dan perlunya hukuman.
Semua prinsip ini berlaku dalam hukum internasional, seperti “pacta sunt servanda”,
yaitu tanggung jawab atas janji-janji yang diberikan dan perjanjian-perjanjian yang
ditandatangani, menghormati milik rakyat dan mengembalikan keuntungan yang
diperoleh darinya, membetulkan kerusakan yang ditimbulkan oleh kesalahan seseorang, dan
pengakuan atas hal-hal tertentu sebagai hukuman yang memang
seharusnyua diterima, betapapun hukum internasional tidak memakai istilah hukum
alam. Yang kedua ialah prinsip-prinsip yang melekat pada subyek hukum, misalnya
hak atas kebebasan, hak untuk berkuasa atas orang lain, hak untuk berkuasa sebgai
majikan, dan hak untuk berkuasa atas milik. Hak-hak inilah yang dijalankan oleh
pemerintah Belanda saat itu, seperti kebebasan mengurangi lautan dan memperluas
daerah jajahan, termasuk Hindia Belanda sejak zaman VOC (1602-1799), Sejak itu
pula bangsa Belanda diakui sebagai bangsa yang pertama menetapkan kebebasan di
lautan sebagai prinsip hukum alam, sebagaimana termuat dalam buku Grotius yang
terkenal “Mare Liberum” (1609)

B.4. Awal abad XX


Sejak akhir abad XVIII, teori hukum alam semakin tergeser oleh postivisme yang
menguasai abad XIX. Akan tetapi, mulai abad XX beberapa pemikir mengusahakan
lagi suatu dasar hukum alam, guna mencari keadilan yang ideal. Hal ini terjadi karena
timbulnya rasa tidak puas dengan materi yang dimiliki, jaminan bagi diri sendiri, dan
golongan borjuis yang berlagak menang Perang Dunia Pertama. Kemudian juga
pemerintahan Nazi di Jerman yang menampilkan manifestasi-manifestasi tanpa arti
dari positiveme dalam hukum. Dengan demikian maka para filosof Jerman
kontemporer mencoba membangun kembali, tidak hanya memperbaiki kerusakankerusakan
akibat Perang Dunia Kedua, melainkan juga membangun tata nilai yang
baru Tokoh yang menonjol di anatara para filosof tersebut antara lain adalah Johannes
Messner. Ia mengatakan bahwa hukum alam sama dengan prinsip-prinsip dasar bagi
kehidupan social dan individual. Ada tiga macam hukum alam yaitu23:
(1) hukum alam primer yang mutlak: berikanlah kepada setiap orang menurut
haknya. Dari prinsip ini diturunkan prinsip-prinsip umum seperti : jangan
membunuh
(2) hak fundamental: kebebasan batin, kebebasan agama, hak atas nama baik,
hak atas privacy, hak atas pernikahan, hak untuk membentuk keluarga dan
sebagainya;
(3) hukum kodrat sekunder: hak-jak ayng diperoleh ayng bertalian dengan situasi
kebudayaan, seperti hak milik dan hak-hak lain menurut asas-asas hukum
adat.

B. KELANGSUNGAN HIDUP HUKUM ALAM MENURUT PENDEKATAN


FALSIFIKASI DAN REVOLUSI SAINS
Dalam sejarah perkembangannya, hukum alam telah mengalami masa jabatan
selama lebih dari 2000 tahun, kemudian tergeser oleh positiveme hukum. Akan tetapi,
pada abad XX ia tampil kembali kendatipun dalam keadaan yang dianut dan yang
tidak dianut. Oleh karena itu, pertanyaan yang mengusik adalah mampukah hukum
alam itu bertahan untuk masa yang akan datang? Pertanyaan ini akan dijawab melalui
pendekatan falsifikasi dan revolusi sains terhadap mazhab-mazhab dalam teori ilmu
hukum. Walaupun antara teori falsifikasi Karl Popper dan teori revolusi sains Thomas
S.Kuhn hingga saat ini masih tampil dalam arena perdebatan para pendukungnya, namun untuk
menjawab pertanyaan ini, kedua teori tersebut boleh dianggap benar
menurut sudut pandang mereka masing-masing dalam mencapai suatu kebenaran.
Apabila suatu kebenaran itu dicapai melalui pembuktian kesalahan teori sebelumnya,
itulah ajaran teori falsifikasi24. Sebaliknya, apabila suatu kebenaran dicapai melalui
pembuktian teori baru yang lebih benar, itula inti ajaran teori revolusi sains. Khusus
untuk menelaah sejarah perkembangan ilmu hukum dan membuat persepsi tentang
masa depan sebuah teori ilmu hukum, kedua teori tersebut dapat menjadi bahan acuan.

C.1. Pendekatan menurut teori falsifikasi


Karl Popper beranggapan bahwa suatu teori baru akan diterima jia ternyata
bahwa teori itu dapat meruntuhkan teori sebelumnya. Pengujian kedua teori (lama dan
baru) itu dilakukan melalui suatu tes empiris, yang direncanakan untuk membuktikan
salah tehadap apa yang diujinya, alias memfalsifikasi. Kalau dalam tes tersebut
sebuah teori terbukti salah, maka teori tersebut akan diterima sampai diketemukannya
cara pengujian yang lebih ketat25
Lepas dari cara pengujian apakah melalui tes empiris atau tidak, esensi teori
falsiikasi ini adalah suatu kebenaran yang diperoleh melalui kritik, artinya,
mengungkapkan kelemahan teori sebelumnya. Hal ini tampak jelas dalam
perkembangan teori-teori ilmu hukum, khususnya pergeseran kedudukan oleh mazhab
hukum yang satu terhadap yang lainnya.
Teori hukum positif hadir dan diterima setelah adanya kritik terhadap teori
hukum alam. Banayak buku yang menyingkapkan kelemahan hukum alam. Kelemahan yang
paling sering dikemukakan ialah bahwa hukum alam tidak menjamin
kepastian hukum. Hukum alam sendiri tidak dapat dipastikan secara obyektif, tidak
pula dapat ditentukan apa yang menjadi kodrat manusia. Akibat berbagai kelemahan
ini, dicari teori baru yang mampu menjamin kepastian hukum tersenut. Hadirlah teori
hukum positif yang mengajarkan bahwa hukum identik dengan undang-undang.
Upaya menyebarluaskan teori hukum positif antara lain dilakukan memlaui Code
Napoleon yang terkenal di Romawi, sebagaimana diterima juga di Perancis dan
Belanda. Akan teta[pi, jika memasuki Jerman, Cosde Napoleon ditolak karena
dianggap hukum asing. Hukum yang berlaku menurut mereka (Jerman) hanyalah
hukum yang tumbuh dan berkembang menurut perkembangan sejarah bangsa itu
sendiri. Jadi hukum yang berlaku di Jerman harus hukum adapt Jerman sendiri, bukan
hukum asing seperti Code Napoleon. Bagi bangsa Jerman, penolakan terhadap Code
Napoleon itu sekaligus merupakan kritik terhadap teori hukum positif , dan lahirlah
mazhab sejarah dengan tokoh utamanya Friedrich Carl von Savigny.
Mazhab sejarah merpakan paradigma pengganti positiveme hukum. Paradigma
positiveme hukum, yan mengagung-agungkan pemikiran manusia dalam menciptakan
hukum yang logis, ditumbangkan oleh paradigma mazhab sejarah. Hukum tidak
dibuat, melainkan timbul dan berkembang bersama masyarakat. Hukum merupakan
ekspresi dan semngat jiwa rakyat (volksgeist). Artinya , hukum adalah pengalaman
sejarah. Baik aliran hukum positif John Austin maupun mazhab sejarah von Savigny
dipersalahkan oleh Roscoe Pound. Kedua pandangan tersebut tidak ada satupun yang
dapat bertahan sendiri di dalam sistem hukum; kedua-duanya harus timbal balik.
Lebih lanjut, menurut Roscoe Pound, hanya hukum yang sanggup menghadapi ujian
akal yang dapat hidup terus, karena yang menjadi unsur-unsur kekal dalam hukum
hanyalah pernyataan-pernyataan kekal. Pernyataan kekal itu harus berdiri di atas
pengalaman dan diuji oleh pengalaman. Pengalaman dikembangkan oleh akal.
Sebaliknya, akal diuji oleh pengalaman26 Dengan demikian muncul mazhab baru
sebgai paradigma baru yang dinamakan “Sociological Jurisprudence”. Inti pemikiran
mazhab ini ialah bahwa hukum yang baik adalah hukum yang sesuai dengan “living
law” yang sebagai “inner order” masyarakat, yang mencerminkan nilai-nilai yang
hidup di dalamnya27
Akan tetapi, baik mazhab sejarah von Savigny maupun aliran “Sociological
Jurisprudence” dikritik oleh Prof. Muchtar Kusumaatmadja. Kedua mazhab itu tidak
dapat menerangkan secara memuaskan apa yang dimaksudkan dengan “volksgeist”
atau nilai-nilai yang hidup di dalam masyarakat, yang menurut mereka pada analisis terakhir
merupakan hakikat hukum dalam arti yang sebenar-benarnya.28 Kritik inilah
yang merontokkan paradigma lama, mazhab “Sociological Jurisprudence”, dan
muncul teori baru, yang oleh Prof. Muchtar Kusumaatmadja dinamakan “teori hukum
pembangunan (nasional)” atau mazhab Unpad
Dari uraian-uraian tersebut jelaslah bahwa kehadiran teori yang baru akan terjadi
setelah teori yang bersangkutan membuktikan salah terhadap teori sebelumnya.
Dengan lain perkataan, teori yang baru dalam ilmu hukum terjadi setelah
memfalsifikasi teori sebelumnya.
Meskipun demikian, dari perdebatan antara mazhab hukum yang satu terhadap
yang lain, sebagaimana dipertontonkan di muka, ternyata bahwa tidak semua unsur dari masing-
masing mazhab dirontokkan, digeser ataupun digugurkan oleh mazhab
hukum berikutnya. Terhadap mazhab hukum alam, unsur yang digugurkan adalah
unsur kepastian hukum karena hukum alam tidak menjamin kepastian hukum
tersebut. Adapun unsur etika, yang merupakan jati—diri hukum alam, justru
dipertahankan sebagai tolak ukur bagi suatu hukum yang adil, sehingga mampu
menerobos setiap rintangan mazhab hukum yang hadir setelah mazhab hukum alam.
Dengan kata lain , teori falsifikasi hanya merontokkan kelemahan (weakness) hukum
alam, sementra potensi (streng) hukum alam, yang berupa nilai etika yang terkandung
di dalamnya, tetap hidup terus pada setiap mazhab hukum.
C.2. Pendekatan menurut Teori Revolusi Sains
Teori revolusi saons dilkemukakan oleh Thomas S. Kuhn dalam bukunya yang
berjudul The Structure Revolutions” yang terbit tahun 1962, yang terbit kembali tahun
1970 dengan sedikit perubahan isi, tanpa mengubah judul. Dalam perdebatannya
melawan Popper, bahwa Popper telah menjungkirbalikkan kenyataan dengan terlebih
dahulu menguraikan terjadinya ilmu empiris melalui jalan hipotesis yang disusul
dengan upaya falsifikasi.29 Upaya yang bertolak dari hipotesis (=benar) ke falsifikasi
(=salah) tentunya dari positif ke negative. Akan tetapi, oleh Popper ini dikatakan
sebagai perkembangan, bukan kemerosotan. Hal ini yang dimaksudkan oleh Thomas
S. Kuhn dengan istilah “menjungkirbalikkan kenyataan”
Dengan istilah “paradigma” selaku tema sentral yang mewarnai seluruh bukunya
tersebut, betapa pun Khun tidak memberikan suatu batasan pengertian tentang paradigma,30 ia
membuktikan bahwa perubahan-perubahan yang terjadi dalam sejarah
ilmu pengetahuan justru tidak pernah terjadi menurut upaya empiris utnuk
membuktikan kesalahan suatu teori, melainkan terjadi menurut revolusi. Dengan
demikian ia membuktikan bahwa kemajuan ilmiah bersifat revolusioner.
Pada dasarnya paradigma itu membimbing kegiatan ilmu dalam keadaan “normal
science” sehingga ilmuwan berkesempatan mengembangkan paradigma yang sedang
berkuasa31 Maka sifat “norma science” sering menekankan pada hal-hal baru dan
fundamental. Akan tetapi, dalam memperoleh hal-hal yang baru tersebut perlu
diruntuhkan komitmen-komitmen yang mendasar.
Meskipun demikian, ada kalanya seorang ilmuean, selama menjalankan teorinya.
Saat seperti inilah yang disebut “anomali”. Jika anomali kian menumpuk dan
meningkat kualitasnya, terjadilah “crisis”, yang akibatnya peran paradigma yang
bersangkutan mulai diragukan. Dalam keadaan itu sang ilmuwan mulai keluar dari
“normal science” dan kembali lagi menggunakan cara-cara ilmiah yang lama, sambil
memperluas cara-cara itu untuk menghadirkan suatu paradigama tandingan guna
mengatasi krisis tersebut, sekaligus membimbang penelitian berikutnya. Kehadiran
paradigma baru stelah mengalahkan paradigma sebelumnya itulah yang dimaksudkan
oleh Kuhn dengan istilah “revolusi sains”
Secara berurutan, alur pemikiran Kuhn dapat digambarkan sebagai berikut:
Diagram cara kerja revolusi sains Oleh karena itu, paradigma tandingan terhadap positiveme
hukum adalah
mazhab sejarah mendasarkan diri pada hukum sebagai hasil pengalaman sejarah.
Akan tetapi, hukum semata-mata hasil pengalaman sejarah tanpa melampaui hasil
pemikiran logis tidak tidak dapat menjadi sarana pembaharu bagi masyrakat. Dengan
demikian, maka muncul aliran “Pragmatic Legal Realism” sebagai paradigma
pengganti yang mengajarkan “law as a tool of social engineering” (Roscoe Pound),
yang mirip dengan teori mazhab Unpad yang mengajarkan bahwa hukum adalah
“sarana pembaruan masyarakat”. Perbedaan teori “law is a of social engineering”
(Roscoe Pound) dengan teori “hukum sebagai sarana pembaruan masyarakat”
(Mochtar Kusumaatmadja) ialah bahwa teori Roscoe Pound ditujukan terutama
kepada peranan pembaruan keputusan-keputusan pengadilan, khususnya keputusan
dari supreme court sebagai mahkamah tertinggi. Hal ini sejalan dengan sistem hukum
Anglo Saxon yang dianut di Amerika, yang lebih mendasarkan hukumnya pada
keputusan pengadilan dengan semboyan “hukum adalah apa yang dibuat oleh hakim"
atau “All the law is judge made law”, suatu slogan termasyur dari John Chipman
Gray. Sebaliknya, teori hukum sebagai sarana pembaharuan masyarakat dari
Mochtar Kusumaatmadja ditujukan kepada pembaharuan peraturan perundanganundangan,
kendatipum yurisprudensi (keputusan hakim) juga tidak dapat diabaikan,
dalam arti ikut memegang peranan.
Baik menurut pendekatan falsifikasi maupun revolusi saind terhadap teori-teori
ilmu hukum, tampak bahwa perkembangan teori-teori hukum belakangan ini
merupakan hasil kumulasi dari teori-teori hukum sebelumnya. Misalnya, “sociological
jurisprudence” merupakan kumulasi dari positivisme hukum dan mahzab sejarah.
Teori hukum pembangunan merupakan hasil kumulasi dari positivisme hukum dan “
sociological prudence” yang dipengaruhi oleh teori “pragmatic legal realism”. Lalu,
bagaimana dengan hukum alam? Apakah sudah ditinggalkan sama sekali ataukah
masih ikut berkumulasi dalam teori hukum yang paling mutakhir? Jawabannya akan
kita lihat dalam uraian berikut.

C.3. Hukum alam tidak hanyut oleh falsifikasi dan tidak rontok oleh revolusi
sains.
Tidak dapat disangkal bahwa hukum alam sebagai hukum abadi, tetap berlaku
bagi siapa saja hingga saat ini dan tentu saja berlaku juga untuk waktu yang akan
datang. Dalam kesimpulan hasil analisisnya, d’Entreves mengemukakan antara lain
bahwa ajaran hukum alam yang lama, jika dilihat dari pandangan modern yang kritis
ini, ajaran tersebut dapat tahan uji karena dalam hukum alam terkandung sifat hukum
dan sifat etika. Dengan kedua sifatnya itu, fungsi pokok hukum alam dalam turut
menyelesaikan persoalan hukum adalah sebagai penengah antara bidang hukum
murnian bidang moral. Dalam hal ini fungsi hukum alam memberikan status bagi titik
perpotongan antara hukum dan moral. Tentang apakah titik perpotongan itu ada, itulah
ujian terakhir bagi berlaku atau tidaknya semua pemikiran hukum alam.
Sementara Ridwan Halim, dalam bukunya menuis bahwa hukum karma itu sendiri
merupakan bagian dari hukum alam yang berlaku tanpa batas waktu dan tanpa batas
orang tertentu, serta tanpa batas ruang tertentu. Demikian dikatakannya

“…….Hukum karma itu dalam kenyataanya merupakan bagian dari Hukum Alam
yang senantiasa berlaku atas setiap diri manusia secara mutlak tanpa terkecuali,
selaras dengan nilai dan harga segala perbuatan atau karma yang pernah dilakukan
oleh siapa saja”.
Bahwa hukum alam tetap ada dan berlaku, ini didukung pula oleh penulis lain,
Lili Rasjidi, yang mengangkat pandangan L. Bender bahwa hukum alam itu ada dan
tetap berlaku. Dengan berbagai argumentasi, mereka menolak setiap pandangan yang
mengabaikan kehadiran hukum alam dengan berbagai sifat yang terkandung di
dalamnya.
Lepas dari pandangan-pandangan pro dan kontra terhadap hukum alam, yang jelas
ialah nilai etika, sebagai jati diri hukum alam, akan memberi warna kepada hukum
positif agar hukum positif dapat berkualitas sebagai hukum yang baik dan adil. Tanpa
nilai etika itu, hukum dapat saja merupakan alat penguasa untuk meligitimasikan
tujuan-tujuan yang tidak wajar. Penguasa dapat menciptakan hukum sendiri, sesuai
dengan kepentingan-kepentingannya. Maka dibalik topeng legalitas, kesewenangan
kekuasaan dapat merajalela dengan bebas.
Kecuali itu hukum alam dengan ciri etikanya dapat mempengaruhi sikap tindak
penguasa dalam menggunakan kekuasaannya. Di dalam negara berdasarkan hukum,
tindakan pemerintah harus berdasarkan hukum, namun setiap tindakan yang
berdasarkan hukum yang berlaku baru merupakan “syarat perlu” (Necesarry
condition), belum tentu merupakan “syarat yang mencukupi” (sufficient condition).
Karena itu, selain dituntut tindakan yang sesuai dengan hukum, pemerintah dituntut
pula yang menjalankan “asas-asas umum pemerintahan yang baik” (principles of good
administration) seperti: asas kepastian hukum, asas keseimbangan, asas bertindak
cermat, asas motivasi, asas tidak boleh mempercampuradukkan kewenangan, asas
kesamaan dalam mengambil keputusan, asas permainan yang layak, asas keadilan
atau kewajaran, asas menanggapi pengharapan yang wajar, asas peniadaan akibat
suatu keputusan yang batal, asas perlindungan atas pandangan hidup, asas
kebijaksanaan, dan asas penyelenggaraan kepentingan umum. Semua asas ini adalah
kontribusi dari hukum alam, bukan hukum positif.
Sebagai kesimpulan akhir, berdasarkan uraian-uraian tersebut diatas, dapatlah
disampaikan beberapa hal sebagai berikut:
(1) hukum alam, khususnya nilai etika yang menjadi jati dirinya, mampu
menerobos setiap rintangan mazhab hukum, dan tidak pernah gugur oleh
rintangan-rintangan tersebut,
(2) teori falsifikasi dan revolusi sains, yang meskipun berbeda dalam metode
untuk mencapai kebenaran, namun terhadap eksistensi hukum alam, kedua
teori tersebut menghasilkan kebenaran yang sama, yaitu hukum alam yang
telah diklasifikasikan nilai-nilai kelemahannya;
(3) dalam konsepsi negara hukum, hukum alam tidak hanya berperan dalam
membentuk hukum positif yang baik dan adil, melainkan juga berperan
dalam sikap tindakan pemerintah agar sesuai dengan asas-asas umum
pemerintahan yang baik;
(4) betapapun peranannya cukup handal dalam konsepsi negara hukum, hukum
alam enggan muncul sebagai mahzab sendiri yang menumbangkan
kelemahan mahzab hukum pembangunan yang kini tengah berkuasa; namun,
ia juga tidak mau tenggelam dan mati begitu saja karena peranannya tetap
dibutuhkan.
Maka lengkaplah sudah sebuah tinjauan kritis terhadap jatuh bangunnya mahzab
hukum alam.

Anda mungkin juga menyukai