Makalah Pih Hukum Alam
Makalah Pih Hukum Alam
“Hukum alam”
Disusun oleh:
SUMIRA AGUSTINA
217210459
Administrasi bisnis
Fakultas ilmu sosial dan ilmu politik
Universitas islam riau
2021/2022
SEJARAH HUKUM ALAM
A. PENDAHULUAN
Sejak zaman Yunani dan Romawi hingga saat ini, masyarakat dihadapkan pada
berbagai teori tentang hukum yang lahir pada setiap babak perjalanan sejarah hukum,
Pada umumnya, suatu teori hukum tidaklah dapat dilepaskan dari lingkungan
zamannya.Yang berarti bahwa teori-teori tentang hukum tidak ada yang berlaku
sepanjang masa. Ada masa gemilang dan ada masa merosot. Masa gemilang dicapai
jika kadar unsur-unsur kekuatan (strenghtpoints) jaug melebihi kadar unsur
kelemahan (weak points). Di lain sisi, pada saat kadar weak points meningkat, saat
itulah kemerosotan teori yang bersangkutan mulai tampak, dan berangsur-angsur
menghilang. Secara tidak kaku (relative) upaya untuk memahami setiap teori tersebut
dilakukan melalui klasifikasi para pakar hukum yang mempunyai pemikiran serupa,
ke dalam satu aliran atau mazhab tertentu. Sarjono Soekanto menggolongkannya ke
dalam lima aliran, yaitu:
1) aliran hukum alam (Aristolea, Aquinas, Grotius)
2) mazhab formalisme
3) mazhab kebudayaan dan sejarah (Von Savugny, Puchta, Maine)
4) aliranutilitarianisme dan sociological jurisprudence (Bentham, Jhering,)
5) aliran sociological jurisprudence dan legal realism (Ehrlich, Pound, Holmes
Llewellyn dan Frank)
C.3. Hukum alam tidak hanyut oleh falsifikasi dan tidak rontok oleh revolusi
sains.
Tidak dapat disangkal bahwa hukum alam sebagai hukum abadi, tetap berlaku
bagi siapa saja hingga saat ini dan tentu saja berlaku juga untuk waktu yang akan
datang. Dalam kesimpulan hasil analisisnya, d’Entreves mengemukakan antara lain
bahwa ajaran hukum alam yang lama, jika dilihat dari pandangan modern yang kritis
ini, ajaran tersebut dapat tahan uji karena dalam hukum alam terkandung sifat hukum
dan sifat etika. Dengan kedua sifatnya itu, fungsi pokok hukum alam dalam turut
menyelesaikan persoalan hukum adalah sebagai penengah antara bidang hukum
murnian bidang moral. Dalam hal ini fungsi hukum alam memberikan status bagi titik
perpotongan antara hukum dan moral. Tentang apakah titik perpotongan itu ada, itulah
ujian terakhir bagi berlaku atau tidaknya semua pemikiran hukum alam.
Sementara Ridwan Halim, dalam bukunya menuis bahwa hukum karma itu sendiri
merupakan bagian dari hukum alam yang berlaku tanpa batas waktu dan tanpa batas
orang tertentu, serta tanpa batas ruang tertentu. Demikian dikatakannya
“…….Hukum karma itu dalam kenyataanya merupakan bagian dari Hukum Alam
yang senantiasa berlaku atas setiap diri manusia secara mutlak tanpa terkecuali,
selaras dengan nilai dan harga segala perbuatan atau karma yang pernah dilakukan
oleh siapa saja”.
Bahwa hukum alam tetap ada dan berlaku, ini didukung pula oleh penulis lain,
Lili Rasjidi, yang mengangkat pandangan L. Bender bahwa hukum alam itu ada dan
tetap berlaku. Dengan berbagai argumentasi, mereka menolak setiap pandangan yang
mengabaikan kehadiran hukum alam dengan berbagai sifat yang terkandung di
dalamnya.
Lepas dari pandangan-pandangan pro dan kontra terhadap hukum alam, yang jelas
ialah nilai etika, sebagai jati diri hukum alam, akan memberi warna kepada hukum
positif agar hukum positif dapat berkualitas sebagai hukum yang baik dan adil. Tanpa
nilai etika itu, hukum dapat saja merupakan alat penguasa untuk meligitimasikan
tujuan-tujuan yang tidak wajar. Penguasa dapat menciptakan hukum sendiri, sesuai
dengan kepentingan-kepentingannya. Maka dibalik topeng legalitas, kesewenangan
kekuasaan dapat merajalela dengan bebas.
Kecuali itu hukum alam dengan ciri etikanya dapat mempengaruhi sikap tindak
penguasa dalam menggunakan kekuasaannya. Di dalam negara berdasarkan hukum,
tindakan pemerintah harus berdasarkan hukum, namun setiap tindakan yang
berdasarkan hukum yang berlaku baru merupakan “syarat perlu” (Necesarry
condition), belum tentu merupakan “syarat yang mencukupi” (sufficient condition).
Karena itu, selain dituntut tindakan yang sesuai dengan hukum, pemerintah dituntut
pula yang menjalankan “asas-asas umum pemerintahan yang baik” (principles of good
administration) seperti: asas kepastian hukum, asas keseimbangan, asas bertindak
cermat, asas motivasi, asas tidak boleh mempercampuradukkan kewenangan, asas
kesamaan dalam mengambil keputusan, asas permainan yang layak, asas keadilan
atau kewajaran, asas menanggapi pengharapan yang wajar, asas peniadaan akibat
suatu keputusan yang batal, asas perlindungan atas pandangan hidup, asas
kebijaksanaan, dan asas penyelenggaraan kepentingan umum. Semua asas ini adalah
kontribusi dari hukum alam, bukan hukum positif.
Sebagai kesimpulan akhir, berdasarkan uraian-uraian tersebut diatas, dapatlah
disampaikan beberapa hal sebagai berikut:
(1) hukum alam, khususnya nilai etika yang menjadi jati dirinya, mampu
menerobos setiap rintangan mazhab hukum, dan tidak pernah gugur oleh
rintangan-rintangan tersebut,
(2) teori falsifikasi dan revolusi sains, yang meskipun berbeda dalam metode
untuk mencapai kebenaran, namun terhadap eksistensi hukum alam, kedua
teori tersebut menghasilkan kebenaran yang sama, yaitu hukum alam yang
telah diklasifikasikan nilai-nilai kelemahannya;
(3) dalam konsepsi negara hukum, hukum alam tidak hanya berperan dalam
membentuk hukum positif yang baik dan adil, melainkan juga berperan
dalam sikap tindakan pemerintah agar sesuai dengan asas-asas umum
pemerintahan yang baik;
(4) betapapun peranannya cukup handal dalam konsepsi negara hukum, hukum
alam enggan muncul sebagai mahzab sendiri yang menumbangkan
kelemahan mahzab hukum pembangunan yang kini tengah berkuasa; namun,
ia juga tidak mau tenggelam dan mati begitu saja karena peranannya tetap
dibutuhkan.
Maka lengkaplah sudah sebuah tinjauan kritis terhadap jatuh bangunnya mahzab
hukum alam.