Anda di halaman 1dari 20

BAB II

TINJAUAN KEPUSTAKAAN

KERANGKA TEORI

Retina merupakan lapisan yang paling dalam yang melapisi bola mata,

merupakan membran yang tipis, lunak dan transparan. Retina merupakan jaringan

bola mata yang paling cepat perkembangannya. Retina meluas dari optik disk ke

oraserrata. Secara garis besar dibagi atas 2 bagian: kutub posterior dan perifer yang

dipisahkan oleh ekuator retina. Kutub posterior sampai ekuator retina, ini merupakan

area posterior retina. Kutub posterior retina terbagi atas 2 area: optik disk dan

makula lutea. Retina perifer di posterior dibatasi oleh ekuator retina dan anterior

dengan oraserrata. Oraserrata merupakan batas yang paling perifer tempat retina

berakhir, terbagi dalam 2 bagian; anterior pars plikata dan posterior pars plana.

oraserrata juga tempat melekat vitreous dan koroid. Secara mikroskopis lapisan

retina mulai dari dalam keluar adalah:

 Internal limiting membrane, merupakan lapisan paling dalam yang berbatasan

dengan retina dari vitreus. Dibentuk oleh satuan dari perluasan terminal dari

serabut muller.

 Nerve fiber layer

 Ganglion cell layer

 Inner plexiform layer

 Inner nuclear layer

 Outer plexiform layer

 Outer nuclear layer

 External Limiting Membrane

Universitas Sumatera Utara


 Rods dan Cone

 Pigmen epithelium.

Ketebalan retina pada oraserrata 0,1 mm dan 0,23 mm pada kutub posterior.

Strukturnya sangat sederhana apabila dibandingkan dengan struktur saraf yang lain

seperti korteks serebri, retina memiliki daya pengolahan yang sangat canggih.

Pengolahan visual retina, seperti persepsi warna, kontras dan bentuk berlangsung di

korteks serebri. 8

Prevalensi kelainan pada retina di Indonesia mencapai angka 0,13% dan

merupakan penyebab kebutaan ke empat setelah katarak, glaukoma dan kelainan

refraksi. Hal ini diketahui berdasarkan Survey Kesehatan Indra Penglihatan dan
7
Pendengaran tahun 1993 -1996.

Berdasarkan National Programme for Control of Blindness (NPCB) 1992,

kebutaan akibat kelainan retina menempati urutan keempat setelah katarak, kelainan

kornea, optic atrofi dengan prevalensi sebesar 6,3%.

Berdasarkan Andrha Pradesh Eye Disease Study (APEDS) kebutaan akibat

kelainan retina menempati urutan kedua setelah katarak dengan jumlah presentase

22,4%. 3

Adapun kelainan pada retina yang sering menyebabkan kebutaan antara lain:

I. Retinopati Diabetik.

Menurut WHO tahun 2002, retinopati diabetik merupakan penyebab kebutaan yang

mencapai 4,8% diseluruh dunia.11 Berdasarkan studi Retinopati Diabetik, di Amerika

dan Inggris prevalensi kebutaan akibat retinopati diabetik merupakan penyebab

utama kebutaan pada usia 20-70 tahun. Berdasarkan Visual Impairment and

Blindness in Eropa, diabetik retinopati menempati urutan teratas penyebab


4,6
kebuataan pada usia 45-64 tahun.
Berdasarkan Wisconsin Epidemiology Study, tentang diabetik retiopati, bahwa

lamanya seseorang menderita diabetes sangat erat kaitannya dengan prevalensi

terjadinya diabetik retinopati, baik tipe I maupun tipe II. Dalam studi WESDR mereka

menemukan kasus kebutaan total, yaitu setelah 20 tahun lamanya menderita

diabetes mellitus, angka kebutaan pada tipe I mendekati 99% dan tipe II 60% yang

mencakup berbagai tingkatan diabetik retinopati. Pasien yang lebih muda

mempunyai onset 3,6% (usia < 30 tahun saat diagnosa, tipe I diabetes), dan pasien

yang lebih tua mempunyai onset 1,6% (usia > 30 tahun saat diagnosa, tipe II

diabetes). Pada kelompok usia yang lebih muda, 86% kasus kebutaan disebabkan

oleh diabetik retinopati. Pada kelompok usia yang lebih tua, dimana sering terjadi

komplikasi penyakit mata lainnya, sepertiga kasus kebutaan disebabkan oleh

diabetik retinopati.10

Penyebab pasti kelainan mikrovaskuler pada penderita diabetes belum

diketahui dengan pasti. Diduga akibat hiperglikemia kronis yang merupakan hasil

perubahan biokimia dan fisiologis menyebabkan kerusakan endotel vaskuler.

Perubahan spesifik kapilar retina disebabkan oleh kehilangan perisit dan penebalan

membran basal, yang diikuti oleh oklusi kapiler dan nonperfusi retina, sehingga

terjadi dekompensasi fungsi barier endotel, yang menyebabkan terjadinya kebocoran

serum dan edema retina.10,12,13

Prevalensi diabetik retinopati ini berbeda-beda tiap populasi. Di Iceland,

prevalensi diabetik retinopati pada diabetes mellitus tipe I+52%, sedangkan menurut

studi Rotterdam, prevalensi retinopati diabetic sebesar 4,8%. Prevalensi ini biasanya
4
meningkat sesuai dengan lamanya penyakit dan usia penderita.
Menurut British Diabetic Association, faktor resiko terjadinya diabeti retinopati

antara lain obesitas, riwayat diabetes mellitus, usia tua (40-75 tahun), wanita dengan
4
riwayat diabetes gestasional dan adanya riwayat hipertensi.

Berdasarkan studi diabetik retinopati, diabetik retinopati dapat diklasifikasikan

dalam 2 jenis:

a. Retinopati Diabetik Nonproliferatif (NPDR)

Pada retinopati diabetik nonproliferatif, perubahan mikrovaskuler retina

hanya terbatas pada retina saja, tidak menyebar ke membrane limitan interna.

Karakteristik NPDR termasuk; mikroaneurisma, area kapiler nonperfusi,

infark dari nerve fiber layer, IRMAs, perdarahan dot and blot intraretina, edema

retina, eksudat keras, arteriol abnormalitas, dilatasi dan beading dari vena retina.

NPDR dapat mengenai fungsi visual dengan 2 mekanisme:

1. Meningkatnya permeabilitas pembuluh darah intra retina, menyebabkan

edema makular.

2. Variasi perbandingan dari penutupan kapiler intra retina, dihasilkan

pada macular ischemia.10

Diagnosis diabetik makular edema (DME) sangat baik menggunakan slit-

lamp biomikroskopis, untuk pemeriksaan segmen posterior menggunakan kontak

lens untuk memperjelas visualisasi. Penemuan penting pada pemeriksaan

termasuk:

 Lokasi dari penebalan retina relatif di fovea

 Terlihat eksudat dan lokasinya

 Terlihatnya sistoid macular edema

Fluoresen angiografi digunakan untuk melihat kebocoran pembuluh darah

retina akibat kerusakan barier pembuluh darah retina.


Manifestasi diabetik makular edema berupa penebalan retina secara focal

atau difus dengan atau tanpa eksudat. Karakteristik fokal macular edema oleh

kebocoran fluorescein dari lesi kapiler spesifik. Karakteristik difus macular edema

oleh adanya retina kapiler yang abnormal meluas berhubungan dengan

kebocoran difus akibat pecahnya sawar pembuluh darah retina yang ektensif

disertai dengan sistoid makular edema.

Pengobatan pada diabetik makular edema

Strategi pengobatan untuk diabetik makular edema meliputi modifikasi

gaya hidup, olahraga, menghentikan merokok, kontrol gula darah, tekanan darah,

kadar lemak darah dan massa index tubuh.

Pengobatan laser pada diabetik macular edema

Beberapa dari paradigma pengobatan yang terbaru berasal dari Early

Treatment Diabetic Retinopathy Study (EDTRS) menemukan clinically significant

macular edema (CSME) dan rekomendasi pengobatan dengan fokal laser

fotokoagulasi:

 Edema retina pada atau diantara area 500 mikrometer dari sentral macula.

 Eksudat keras pada atau diantara area 500 mikrometer dari sentral jika

berhubungan dengan penebalan retina yang berdekatan.

 Daerah dari penebalan lebih besar dari 1 disk area jika lokasi diantara 1

disk diameter dari sentral macula.10

Manajemen medis diabetik makular edema:

1. Injeksi triamsinolon aseetonid sub-tenon posterior untuk edema makula

diabetik yang sulit disembuhkan. Dapat memperbaiki penglihatan dalam 1

bulan dan menstabilkan penglihatan diatas 1 tahun.


2. Intra-vitreal triamsinolon asetonid untuk respon yang gagal pada

konvensional laser fotokoagulasi, walaupun kadang-kadang digunakan

juga pada pengobatan primer.

3. anti-VEGF agen dan kortikosteroid dapat bermanfaat pada pengobatan

ini.

Manajemen bedah diabetik makular edema

Pars plana vitrektomi dan detachment dari posterior hyaloids juga berguna

untuk mengobati diabetic macular edema, khususnya dengan posterior hyaloid


10,12
traction dan diabetic macular edema difus.

Diabetik makular iskhemia

Retinal capillary nonperfusion merupakan gambaran yang berhubungan

dengan progresif NPDR.

Proliferatif diabetik retinopati progresif

NPDR berat ditetapkan oleh EDTRS ditemukan karakteristik 1 dari yang

berikut:

1. Perdarahan intra retinal difus dan mikroaneurisma pada 4 kuadran

2. Venous beading pada 2 kuadran

3. Intra retinal mikroaneurisma pada 1 kuadran

EDTRS menemukan NPDR berat mempunyai peluang 15% progresi menjadi

resiko tinggi PDR diantara 1 tahun. NPDR sangat berat terlihatnya 2 dari

gambaran diatas dan mempunyai peluang 45% progresi menjadi resiko tinggi

PDR diantara 1 tahun.10, 13

b. Proliferatif diabetik retinopati (PDR)

PDR mengenai 5-10% dari populasi diabetes. Tipe I diabetes

khususnya mempuyai resiko kira-kira 60% setelah 30 tahun.


Proliferasi fibrovaskular ekstra retina memperlihatkan variasi stadium

dari perkembangan PDR. Pembuluh darah baru berkembang dalam 3 stadium

1. Ditemukan pembuluh darah baru dengan minimal fibrous tissue

menyeberang dan meluas mencapai ILM

2. Pembuluh darah baru meningkat ukurannya dan meluas, dengan

meningkatnya komponen fibrous.

3. Pembuluh darah baru mengalami kemunduran meninggalkan sisa

proliferasi fibrovaskular disepanjang posterior hyaloid.

Berdasarkan dari perluasan proliferasi, PDR dibagi menjadi kategori awal,

resiko tinggi dan lanjut. Berdasarkan lokasi dari proliferasi neovaskular:

 Neovascularization of the disc (NVD), apabila berkembang pada atau

diantara 1 disk diameter dari optic disk.

 Neovascularization elsewhere (NVE), apabila berkembang lebih dari 1

disk diameter.10,13 Pasien dengan PDR meningkatnya resiko dari

serangan jantung, stroke, diabetic nefropati, amputasi dan kematian.10

Pengobatan laser pada PDR

Pengobatan utama untuk PDR meliputi penggunaan thermal laser

fotokoagulasi pada pola penretina untuk menginduksi regresi. Pengobatan

scatter pan retinal fotokoagulasi (PRP) sering direkomendasi. Tujuan scatter

PRP adalah menyebabkan regresi dari jaringan neovaskular yang ada dan

menjaga progresifitas neovaskularisasi pada masa yang akan datang. 10

Penatalaksanaan bedah pada PDR

Ada 2 skuale utama dari PDR lanjut adalah perdarahan vitreous dan

traksional retinal detashmen.


 Perdarahan vitreous: the diabetic retinopathy vitrectomy study (DRVS)

telah menetapkan vitrektomi awal pada pasien dengan perdarahan

vitreous sekunder pada PDR.

 Traktional retinal detashmen: vitrektomi bertujuan untuk memperbaiki

traksi vitreoretina dan memfasilitasi perlekatan kembali retina oleh

penarikan atau pengelupasan vitreous kortikal atau posterior hialoid

keluar dari permukaan retina.10

Medikal manajemen diabetic retinopati

Prinsip utama adalah memperlambat dan mencegah komplikasi. Ini

bisa dicapai oleh pelaksanaan pemeriksaan lokal dan menyeluruh yang

mempengaruhi onset NPDR dan progresif menjadi PDR.10

II. Degenerasi Makula terkait usia

Berdasarkan WHO perkiraan pada tahun 2002, penyebab terbanyak kebutaan di

dunia degenerasi makula terkait usia menempati urutan ke-4 sebesar 8,7%. 11.

Degenerasi makula penyebab terbanyak hilangnya penglihatan yang tidak dapat

kembali di negara berkembang pada individu diatas 50 tahun. Di USA sedikitnya

10% individu diantara umur 75 tahun telah memiliki beberapa gangguan penglihatan

sentral sebagai hasil degenerasi makula terkait usia diatas 75 tahun, 30%

mempunyai beberapa tingkatan. Stadium akhir (buta) terjadi kira-kira 1,7% individu

diatas 50 tahun dan kira-kira 18% diatas 85 tahun.12

Framingham Eye Study, 6,4% pasien usia 65-74 tahun dan 19,7% pasien

diatas 75 tahun memiliki tanda-tanda degenerasi macula terkait usia. 15 Faktor resiko

yang memungkinkan terjadinya degenerasi macula terkait usia: umur, ras paling
banyak pada kaukasian, riwayat keluarga,katarak, makulopati terkait usia, merokok,

kegemukan dan hipertensi. 16,17,18

Degenerasi Makula Terkait Usia diklasifikasikan atas 2 kelompok:

1. Degenerasi Makula Terkait Usia Non eksudatif/ Non neovaskular

Drusen adalah tanda dari bentuk degenerasi macula terkait makula non

neovaskular (non eksudatif). Kecil, bulat, lesi kuning, lokasi pada level RPE

dibawah macula. Drusen ini dapat membesar, menyatu, mengalami klasifikasi

dan jumlah bertambah. Derajat gangguan penglihatan bervariasi bergantung

luasnya atrofi serta jaraknya terhadap fovea.15,18

2. Degenerasi Makula terkait Usia Eksudatif/ neovaskuler.

Pada tipe eksutdatif, sebagian besar penderita akan mengalami gangguan

penglihatan yang berat akibat terbentuknya neovaskularisasi dan makulopati

eksudatif. Cairan serosa dari koroid dibawahnya dapat bocor melalui defek

kecil di membrang bruch menyebabkan pelepasan epitel pigmen retina.

Peningkatan cairan itu dapat semakin menyebabkan pemisahan retina

sensorik dibawahnya dan penglihatan akan menurun. Bila mengenai macula

dapat juga terjadi pertumbuhan pembuluh-pembuluh baru kea rah dalam yang

meluas dari koroid sampai ke sub retina yang memudahkan timbul pelepasan

macula dan gangguan penglihatan sentral irreversible pada pasien dengan

drusen.15

Terapi pada Degenerasi Makula terkait usia ini sampai sekarang belum

terdapat pengobatan yang dapat diterima secara umum. Laser photokoagulasi

dan photodynamic terapi ditujukan pada tipe eksudatif neovaskuler dengan

CNV yang berbatas tegas.


Berdasarkan Age Related Eye Disease Study, dengan pemberian suplemen

zinkum dosis tinggi dan antioksidan (vitamin A,C dan E) jangka panjang dapat

menurunkan resiko berkembangnya degenerasi macula terkait usia tipe

eksudatif/neovaskular. Beberapa studi epidemiologis menunjukkan bahwa

peranan mikronutrien seperti karotenoid dapat menurunkan terjadinya AMD

serta mencegah terjadinya progresifitas AMD. 15,16

III. Retinitis Pigmentosa.

Berdasarkan visual impairment and Blindness, Retinitis Pigmentosa

merupakan salah satu penyebab kehilangan visus yang penting pada usia-usia

produktif. Retinitis Pigmentosa merupakan merupakan distrofi pigmen retina primer,

merupakan kelainan heriditer yang kelainannya lebih menonjol pada rods dari pada

cone. Kebanyakan diturunkan secara autosomal resesif, diikuti dengan autosomal

dominan dan paling sedikit diturunkan melalui X-liked resesif.

Insiden:

 Terjadi pada 5 orang per 1000 penduduk, pada seluruh penduduk dunia.

 Umur: gambaran progresifitas lambat pada anak-anak, sering mengakibatkan

kebutaan pada pertengahan usia lanjut.

 Ras: penyakit ini dapat ditemukan pada semua ras.

 Suku Bangsa: laki-laki lebih sering ditemukan dari pada perempuan dengan

perbandingan 3:2.

 Lateraliti: sering ditemukan bilateral dan efeknya sama pada ke dua mata.
Gambaran Klinik:

A. Simtom visual:

 Buta senja: merupakan karakteristik yang terjadi pada beberapa tahun

sebelum adanya kelainan-kelainan pada retina dengan adanya

perubahan. Penglihatan retina, ini menunjukkan terjadinya degenerasi

pada rods.

 Adaptasi gelap, peninggian light treshold pada perifer retina, walaupun

proses adaptasi gelap itu sendiri menyerang sangat lambat.

 Tubular vision merupakan kasus yang lanjut.

B. Perubahan fundus:

 Perubahan pigmentasi retina, ini adalah bentuk perivaskular yang khas

dan mirip dengan bentuk bone corpuscule. Pada mulanya perubahan

ini ditemukan hanya pada daerah equatorial dan kemudian menyebar

diantara anterior dan posterior.

 Penyempitan arterior retina dan menjadi seperti benang pada stadium

akhir.

 Optik disk menjadi pucat dan keruh pada stadium akhir dan akhirnya

berturut-turut menjadi atrofi optik.

 Perubahan-perubahan lainnya yang terlihat seperti koloid bodies,

sklerosis khoroidal, CME, atrofi atau cellophane makulopati.

C. Perubahan lapangan pandang.

 Annular atau ring-shaped Scotoma, adalah tanda khas yang

menunjukkan adanya degenerasi pada daerah equatorial retina. Seperti

perjalanan penyakitnya, skotoma meningkat pada pada anterior dan


posterior dan selanjutnya terjadi pada penglihatan kspasien mengalami

kebutaan.

D. Pemeriksaan Elektrofisiologikal.

Perubahan elektrofisiologikal tampak lebih cepat pada penyakit ini

sebelum tanda-tanda sebelum tanda-tanda subyektif atau tanda-tanda

obyektif (perubahan fundus).

 ERG sub-normal atau

 EOG tidak tampak light peak.

Therapi

Sebagian besar pengobatan tidak berhasil, sampai saat ini belum ada

pengobatan yang efektif untuk penyakit ini.

1. Evaluasi terhadap penghentian progresifitas perjalanan penyakit yang telah

dicoba dari tahaun ke tahun, termasuk: vasodilar, ekstrak plasenta,

tranplantasi otot rektus ke dalam rongga suprakoroid, light exclusion therapi,

terapi ultrasonik, terapi akupuntur. Belum lama ini, Vitamin A dan E telah

direkomendasikan untuk mengontrol progresifitas.

2. Low vision aids (LVA) dalam bentuk magnifying glasses, dan night vision

device, mungkin dapat membantu.

3. Rehabilitasi pasien yang berpengaruh terhadap dirinya seperti latar belakang

sosial ekonomi.

4. Profilaksis, konseling genetik untuk tidak menikah dengan keturunan yang

sama untuk menghindari diturunkannya insiden penyakit ini. Selanjutnya bagi

yang sudah menikah dianjurkan untuk tidak mempunyai anak.19


IV. Retinal Detachment

Retinal Detachment merupakan salah satu kelainan retina yang dapat

menimbulkan kebutaan apabila tidak ditangani segera. Retinal detachment

menandakan pemisahan retina sensorik dari epitel pigmen retina dibawahnya,

ablasio retina diklasifikasikan atas.

1. Retinal detachment regmatogen

Retinal detachment regmatogen merupakan bentuk yang paling

banyak dijumpai, karakteristiknya adalah pelepasan total (full thickness) suatu

regma di retina sensorik, traksi korpus vitreus dan mengalirnya korpus vitreus

cair melalui defek retina sensorik ke dalam ruang subretina. Sebanyak 90%

sampai 97% dijumpai adanya retinal break dan sebagian besar pasien

mengeluh adanya photopsia dan floaters. Tekanan bola mata cenderung

rendah dibandingkan dengan mata sebelah. Tanda khas yang dijumpai yakni

shafer sign (tobacco dust). Manajemen rhegmatogenous retinal detachment

dapat dilakukan dengan cara tehnik bakel sclera yang bertujuan menutup

robekan retina dengan cara indentasi sclera maka traksi vitreus berkurang dan

mengurangi masukan vitreus cair melalui robekan retina ke ruang subretina.

Sehingga daerah robekan retina menempel kembali dengan EPR. Pada tehnik

pneumatic retinopexy, gelembung udara diinjeksikan ke dalam rongga vitreus

yang berfungsi sebagai temponade terhadap robekan retina sehingga retina

melekat kembali. Kedua tehnik diatas dapat menghasilkan perlekatan retina

yang kuat dengan melakukan cryotheraphy, laser atau diathermy dan kadang

perlu dilakukan vitrektomi. Kegagalan tehnik diatas sering disebabkan oleh

adanya Proliferative Vitreo Retinopathy (PVR) dimana terjadi proliprasi

membran periretina yang menimbulkan traksi kuat yang menyulitkan


penempelan retina atau timbulnya retinal break yang baru dan juga bias
19
menimbulkan ablasio retina traksional.

2. Retinal detachment traksional

Retinal Detachment traksional adalah bentuk kedua tersering. Hal ini

terutama disebabkan oleh Retinopati diabetik proliferatif, vitreo retinopati

proliferatif dan trauma mata dimana membran yang timbul pada vitreus

menarik neurosensori retina dari RPE. Gambaran karakteristiknya yaitu

permukaan retina yang licin dan imobil. Terapi dari traksional retinal

detachment merupakan kombinasi antara vitrektomi dan tehnik bakel sklera.

3. Retinal detachment eksudatif

Retinal Detachment Eksudatif, ini disebabkan oleh kerusakan

pembuluh darah retina atau RPE. Sehingga memungkinkan penimbunan

cairan dibawah retina sensorik. Hal ini sering disebabkan oleh infeksi,

neoplasma. Adanya sifting fluid merupakan karakteristik dari eksudatif retinal

detachment karena cairan subretina dipengaruhi oleh gaya grafitasi maka

dimana cairan ini menumpuk disana terjadi ablasio retina. Ablasio retina

eksudatif ini dapat mengalami regresi spontan. Setelah cairan subretina

mengalami resorbsi, oleh karena itu terapi ablasio ini diarahkan terhadap
19
penyebabnya sehingga jarang dilakukan operasi.

Selain faktor intrinsik seperti usia, ras, jenis kelamin dan faktor genetik, ada

juga faktor ekstrinsik yang berpengaruh antara lain pendidikan, dan pekerjaan yang

berdampak langsung pada status sosial-ekonomi.


Pencegahan kebutaan merupakan tujuan utama, tetapi oleh karena

keterbatasan dokter, perawat, obat dan sarana operasi, maka untuk bisa

mewujudkan vision 2020, ada tujuan dan sasaran yang harus dicapai:

Ad.1. Tujuan

 Tujuan umum:

Meningkatkan derajat kesehatan indera penglihatan guna mewujudkan

manusia Indonesia yang berkualitas.

 Tujuan khusus:

1. Meningkatkan upaya Pelayanan Kesehatan Indera Penglihatan

2. Tersedianya sumber daya yang memadai dari pemerintah, swasta dan

masyarakat di bidang Kesehatan Indera penglihatan

3. Tersedianya fasilitas Pelayanan Kesehatan Indera Penglihatan yang bermutu

dan terjangkau sampai ke tingkat Kabupaten/Kota

4. ersedianya sistem informasi dan komunikasi timbal balik terpadu dalam upaya

Kesehatan Indera Penglihatan

5. Meningkatnya sumber daya manusia (Dokter Spesialis Mata, Perawat Mahir

Mata, Refraksionis Optisien, Tenaga Elektro Medik, Tenaga Ahli Gizi). Di

bidang Kesehatan Indera Penglihatan dan terdistribusi secara merata.

6. Meningkatnya peran serta dan pemberdayaan Pemda Provinsi dan

Kabupaten/Kota untuk Kesehatan Indera Penglihatan.

7. Meningkatnya kemampuan dan mutu lembaga penyelenggara pendidikan

tenaga kesehatan di bidang indera penglihatan.

8. Meningkatnya kepedulian masyarakat akan pentingnya kesehatan Indera

Penglihatan.
9. Mantapnya manajemen penanggulangan gangguan penglihatan dan

kebutaan.1

Ad.2. Sasaran

1. Seluruh lapisan masyarakat mulai dari balita, usia sekolah, usia produktif dan

lanjut usia.

2. Semua tenaga kesehatan yang berperan dalam penanggulangan gangguan

penglihatan dan kebutaan, seperti Dokter Spesialis Mata, Dokter puskesmas,

Refraksionis Optisien, Perawat Puskesmas dan tenaga medic penunjang

terkait.

3. Organisasi profesi terkait seperti Perhimpunan Dokter Spesialis Mata

Indonesia, Ikatan Refraksionis Optisien Indonesia dan Persatuan Perawat

Indonesia. 1

Sementara dari sisi pengembangan fasilitas pelayanan kesehatan mata maka

ada 2 aspek yang harus diperhatikan.

a. Aspek komunitas.

 Kesadaran Masyarakat

 Perilaku dan adat istiadat setempat

 Kondisi sosioekonomi dan pendidikan

 Kondisi geografis dan transportasi

 Upaya promotif dan preventif.20

b. Aspek klinik.

 Sarana dan prasarana tindakan medic spesialistik mata

 Kemampuan dan keterbatasan SDM.20


Berdasarkan telaah tersebut diatas, maka untuk mewujudkan vision 2020

perlu dilakukan upaya berikut:

1. Konsolidasi dalam bentuk penggalangan sumber daya dan dana masyarakat.

2. Inventarisasi data dan pemetaan masalah kesehatan mata dan distribusi SDM

pelaksanaan yang ada.

3. Pendekatan politik kepada Pemerintah Daerah dan DPRD di daerah yang

masalah kesehatan matanya cukup signifikan.

4. Penyusunan rencana dan program kerja nasional yang jelas dan

komprehensif.

5. Penyusunan standard an prosedur operasi yang sesuai dengan tuntutan

masyarakat.

6. Perencanaan mobilisasi tenaga Dokter Spesialis Mata dan Tenaga Kesehatan

lainnya yang terkait untuk mendukung efektifitas kinerja dan tidak tumpang

tindih.

7. Memacu kapasitas operasi Dokter Spesialis Mata dari 200 menjadi 1000

operasi pertahun.20
2.2. STRUKTUR GEOGRAFI DAN DEMOGRAFI KABUPATEN LANGKAT

Kabupaten Langkat merupakan salah satu daerah yang berada di Sumatera

Utara. Secara geografis Kabupaten Langkat berada pada 3º 14’- 4º 13’ Lintang

Utara, 97º 52’ - 98º 45’ Bujur Timur dan 4-105 m dari permukaan laut. Kabupaten

Langkat menempati area seluas ±6.263,29 km2(629.329 Ha) yang terdiri dari 23

kecamatan dan 277 desa serta 34 kelurahan defenitif. Area Kabupaten Langkat

disebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Aceh Tamiang dan Selat Malaka,

disebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Karo, disebelah barat berbatasan

dengan Kabupaten Aceh Tenggara/Tanah Alas, dan disebelah Timur berbatasan

dengan Kabupaten Deli Serdang. Berdasarkan luas daerah menurut kecamatan di

Kabupaten Langkat, luas daerah terbesar adalah Kecamatan Batang Serangan

dengan luas 934,90 km2 atau 14,93 persen diikuti Kecamatan Bahorok dengan luas

884,79 km2 atau 12,25 persen. Sedangkan luas daerah terkecil adalah Kecamatan

Binjai dengan luas 45,55 km2 atau 0,79 persen dari total luas wilayah Kabupaten

Langkat.

Seperti umumnya daerah – daerah lainnya yang berada di kawasan Sumatera

Utara, Kabupaten Langkat termasuk daerah yang beriklim tropis. Sehingga daerah ini

memiliki 2 musim yaitu : musim kemarau dan musim hujan.

Berdasarkan Kabupaten Langkat Dalam Angka 2008, Kabupaten Langkat

memiliki jumlah penduduk sekitar 1.042.523 jiwa dengan kepadatan penduduk

sebesar 164,04 jiwa / km2 . Perkembangan jumlah penduduk tahun 2004, 2005,

2006, 2007, berkisar 955.348, 970.433, 1.013.849 dan 1.027.414 dengan laju

pertumbuhan penduduk Kabupaten Langkat pada tahun 2007 dibandingkan tahun

2004 adalah sebesar 7,014 %.


Sarana kesehatan yang ada di Kabupaten Langkat meliputi 3 Rumah Sakit

Umum Pemerintah, 1 Rumah Sakit Umum Swasta. Sementara pada daerah

Kecamatan dan Pedesaan Kabupaten Langkat pada tahun 2007 ini memiliki sarana

kesehatan yang cukup memadai yaitu : 28 buah Puskesmas, 153 Puskesmas

pembantu dan 1256 buah Posyandu yang semuanya tersebar di tiap Kecamatan.
Tabel 2.1. Banyaknya sarana pelayanan kesehatan di kabupaten
Langkat menurut kecamatan pada tahun 2008

Kecamatan PKM Puskesmas Balai Puskesmas Posyandu


Pembantu Pengobatan Keliling
Bahorok 2 6 9 0 67
Salapian 2 11 6 1 84
Sei Bingei 2 10 7 2 79
Kuala 1 7 7 0 68
Selesai 1 10 2 1 78
Binjai 1 4 4 2 53
Stabat 2 9 12 2 79
Wampu 1 8 4 1 54
Batang Serangan 1 5 0 2 46
Sawit Seberang 1 5 2 0 36
Padang Tualang 1 7 2 0 56
Hinai 1 8 2 1 50

Secanggang 3 10 10 0 75
Tanjung Pura 1 7 5 0 91

Gebang 1 9 2 0 50
Babalan 2 3 6 1 92
Sei Lepan 1 4 1 0 50
Brandan Barat 1 6 7 1 20
Besitang 1 10 3 0 59
Pangkalan Susu 2 7 11 0 69
Serapit
Kutambaru
Pematang jaya
Jumlah Total 28 146 102 14 1256

Sumber BPS. Prop. Sumut 2008

Tenaga Medis yang tersedia di Kabupaten Langkat, baik negeri maupun


swasta ada 104 orang Dokter Umum, 49 orang Dokter Gigi dan 13 orang Dokter
Spesialis. Dari 13 orang Dokter Spesialis yang ada di Kabupaten Langkat, 1 orang
Dokter Spesialis Mata. 21

Anda mungkin juga menyukai