Anda di halaman 1dari 3

KBG?

JANGAN DINORMALISASI, MARI AKHIRI


Salsabiila Luqman

Begitu saya menyelami internet perihal kekerasan berbasis gender (disingkat KBG,
dengan tambahan O sebagai abreviasi dari online / daring), yang menyambut saya adalah
berita dari Kompas bertajuk kekerasan secara siber yang angkanya melonjak selama
pandemi, disusul dengan keberadaan situs penolong seperti Yayasan Pulih dan Red Line
Indonesia. Dari situ, saya sadar bahwa ini adalah bentuk isu kekerasan yang dewasa ini, jadi
perhatian khalayak banyak. Sesuatu yang sejatinya membuat suasana menjadi tidak
nyaman, tidak aman, dan mengganggu seperti itu memang belum (semoga tidak) terjadi
kepada saya. Namun, beberapa kali teman saya—baik sebaya maupun tidak—
mengutarakan keresahannya. Entah karena mereka memang menjadi korban, atau sekadar
meminta saran baiknya harus bersikap seperti apa ketika situasi tersebut datang.
Mengutip dari Red Line Indonesia, UNHCR memberikan definisi KBG sebagai
kekerasan langsung pada seseorang yang didasarkan atas seks atau gender. Kejahatan
seperti ini rentan dialami oleh anak muda, perempuan, dan kelompok minoritas seksual.
Perlakuan kerdil yang dialami teman-teman non-binary dan transgender pun masih jadi
sesuatu yang belum menemui solusi. Saya sempat berpikir soal fakta berdirinya UN Women,
Komnas Perempuan, dan Kementerian Pemberdayaan Perempuan (dan Perlindungan Anak),
alias tidak adanya ruang untuk kaum adam. Ini bukti bahwa perempuan memang powerful
hingga memiliki lembaga sendiri, atau justru serentan itu sampai perlu tempat
perlindungan. Anggapan bahwa pekerjaan di bidang sains, teknologi, teknik, dan
matematika bukanlah profesi perempuan, bagi saya juga merupakan bentuk diskriminasi
yang konyol.
Hingga saat ini, belum ada kebangkitan yang berarti, terutama dari media sebagai
wadah besar manusia dalam menyerap informasi, perihal berita kekerasan ini. Bahasa yang
melulu diperhalus seperti “dibuat tak berdaya” untuk mengartikan “diperkosa”, dapat
membuat pembacanya tidak aware atas kejadian buruk yang menimpa korban, di mana
pemerkosaan jelas termasuk ke dalam KBG dalam kelompok kekerasan seksual. Perlu
digarisbawahi bahwa setiap kegiatan seksual yang dilakukan tanpa persetujuan, dalam
ranah rumah tangga sekali pun, juga termasuk kekerasan seksual. Miris hati saya dengan
mereka yang kerap berdalih, “Seorang istri harus melayani suami. Kalau kayak gitu, bukan
kekerasan seksual namanya”, sedang istri bukanlah seorang pelayan semata di dalam
hierarki keluarga. Pelaku yang ragamnya berupa rekan, pasangan, atasan, hingga mantan
sekali pun dapat melakukan KBG.
Melihat bagaimana teman saya dianggap remeh sebagai buruh di pabrik hanya
karena menjadi perempuan, bagaimana rekan saya dipandang jijik hanya karena
mengoleskan tabir surya ke wajahnya yang maskulin, serta kawan saya yang harus selalu
berusaha menyembunyikan lebam yang dideritanya karena bertengkar dengan pasangan,
membuat saya perlu menggali lebih dalam soal kekerasan semacam ini. KBG amat
memungkinkan melahirkan trauma, keinginan untuk self-harm, rasa malu untuk pergi ke
tempat umum hingga pengisolasian diri, dipaksa menikah dengan si pelaku, pemaksaan
aborsi, beredarnya stigma bahwa lelaki itu kuat sehingga tidak memerlukan bantuan
kesehatan mental, hingga Penyakit Menular Seksual yang tidak mudah untuk dibasmi.
Laporan demi laporan ke penegak hukum telah dirampungkan dengan hasil yang belum
tentu nyata, kerap menjadi kerugian secara finansial yang juga diderita korban.
KBG dapat menyerang siapa saja, tidak terkecuali public figure yang keberadaannya
seringkali jadi kambing hitam dengan alasan, “Itu risiko jadi orang terkenal”. Perlakuan tidak
senonoh di lokasi syuting dan tempat kerja lainnya, hingga jempol ringan netizen dalam
beropini soal bentuk fisik seorang artis juga jadi isu yang masih disepelekan. Sekali dua kali,
kejadian ini disinggung dan diangkat menjadi sebuah buku karya Meira Anastasia, berjudul
Imperfect, sebagai bahan perenungan bahwa mereka yang populer itu memilik hati,
sehingga menjaga diri dan ketikan di dunia maya menjadi hal yang mutlak perlu.
Menyambung wacana di atas, istilah KBGO yang berfokus membahas kekerasan
secara daring, sayangnya masih dianggap candaan semata. Hadirnya beragam kemudahan
yang disediakan oleh internet dan difasilitasi oleh beragam teknologi canggih, justru
membawa petaka baru. Padahal, menurut Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan
Perlindungan Anak (Kemen PPPA), tidak ada kesenjangan dari segi gender dalam mengakses
dan memahami internet serta menggunakan gawai. Yang paling sering menjadi korban
adalah perempuan sebagai ‘pihak yang mudah diberi tipu daya’, termakan janji akan
dinikahkan (sebagai yang menurut saya paling banyak dilontarkan dan menjadi angin lalu
pada akhirnya). Kekerasan yang orang awam dapat terima, umumnya hanya apabila
melibatkan foto dan pesan-pesan nakal. Padahal ada juga perlakuan yang tidak nyaman di
media sosial, seperti teror untuk mendapatkan perhatian dari pribadi-pribadi yang dianggap
menarik. Adanya istilah grooming, penyebaran illegal content, body shaming, serta ancaman
distribusi data pribadi, menjadi sedikit dari sekian banyak masalah yang mengudara secara
daring. Beragam penyebab seperti kecemburuan hingga hasrat seksual pun jadi dorongan
seseorang berperilaku begitu.
Gerakan #MeToo menjadi kampanye nyata di media sosial sebagai terpicunya para
pengguna media sosial mengakhiri KBGO. Kawula muda sebagai target empuk perlu
dibimbing dan diingatkan untuk selalu berhati-hati dalam berinteraksi dengan orang asing di
media sosial, mengingat kita tidak bisa selalu mengontrol perkembangan anak di media
sosial. Pentingnya memiliki tempat curhat yang terpercaya juga mendorong keberanian
untuk mengungkapkan kejahatan. Puan Talks dari Kompas, misalnya, serta berjamurnya
akun Instagram yang mengobarkan isu KBGO dalam bentuk infografik, juga jadi contoh riil
lain bahwa setelah masyarakat dibuka matanya perihal ini, saatnya hukum pun lebih tajam
menusuk para pelaku. Pengakuan setiap manusia memiliki hak atas privasinya, adalah
tujuan mulia dengan jalan panjang yang perlu ditempuh bersama. Ditemani LBH, Komnas
Perempuan, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak yang sedang
menggalakkan literasi digital untuk meningkatkan kesadaran akan KBGO, hotline yang
tersedia, serta UN Women dan SAFEnet di kancah internasional, semoga KBG pada akhirnya
mampu ditekan secara drastis. Karena kemerdekaan adalah hak segala bangsa, maka setiap
individunya juga harus merasakan udara kebebasan dalam menjadi dirinya sendiri.
Saya di satu sisi bisa bernapas sedikit lebih lega, dengan ada lebih banyaknya pribadi
dan komunitas yang mau melihat isu ini, sebagai perwakilan suara para korban yang
terbungkam. Di sisi lain, saya merasa masih perlu belajar banyak karena penting bagi saya
untuk memastikan tidak akan ada lagi ruang bagi predator dan tangan-tangan usil dalam
usahanya menyakiti orang lain. Saya jelas tidak mampu membayangkan kerugian psikis,
ekonomi, hingga keterasingan sosial yang harus dilalui setiap korban. Bagi saya,
mempercayai korban adalah tindakan pertama yang mutlak perlu, untuk memastikan bahwa
ia tidak sendirian. Berapa banyak kasus yang pada akhirnya harus ditutup begitu saja,
karena kepala sekolah dari lembaga pendidikan yang meminta begitu, atau seperti kasus KPI
yang baru-baru ini malah membalikkan korban sebagai pelaku pencemaran nama baik?
Enough is enough.
Langkah menulis semua ini dan mendapatkan materi perihal KBGO, adalah start baik
yang bisa saya terapkan bagi diri saya sendiri, sebagai ally bagi teman-teman sekitar saya.
KBG bukanlah suatu tren, melainkan hama yang wajib dibasmi. Hadirnya pandemi sebagai
penjelas akan isu KBGO yang menuntut manusia untuk hidup lebih lama di dunia maya,
semoga dapat menjadi pemicu agar diskusi dan literasi tidak hanya berhenti sampai di sini.

Anda mungkin juga menyukai