Anda di halaman 1dari 4

Kisah Nabi Dzulkifli AS

Nama Nabi Dzulkifli ‘alaihi as-salam disebut dalam Al-Qur’an 2 kali, pertama pada Surat Al-
Anbiya’ ayat 85, dan kedua Surat Shad ayat 48. Kedua surat itu adalah masuk kelompok
surat-surat Makkiyah. Allah SWT berfirman:

٨٥ ‫ين‬ َّ ٰ ‫ ّل م َِّن ٱل‬ٞ ‫يس َو َذا ۡٱلك ِۡف ِۖل ُك‬


َ ‫ص ِب ِر‬ َ ‫َوإِ ۡس ٰ َمعِي َل َوإِ ۡد ِر‬

“Dan (ingatlah kisah) Ismail, Idris dan Dzulkifli. semua mereka termasuk orang-orang yang
sabar.” (Q.S. Al-Anbiya’ 21: 85)

ۡ ۡ ۡ ۡ
ِ َ‫ ّل ِّمنَ ٱأۡل َ ۡخي‬ٞ ‫َوٱذ ُك ۡر إِ ۡس ٰ َم ِعي َل َوٱليَ َس َع َو َذا ٱل ِكف ۖ ِل َو ُك‬
 ٤٨ ‫ار‬

“Dan ingatlah akan Ismail, Ilyasa’ dan Dzulkifli. semuanya termasuk orang-orang yang
paling baik.” (Q.S. Shad 38: 48)

Dalam kedua ayat di atas, nama Dzulkifli disebutkan setelah nama nabi-nabi dan rasul. Pada
surat Al-Anbiya’ 85 disebutkan setelah Nabi Ismail dan Nabi Idris, sedangkan pada Surat
Shad ayat 48 disebutkan setelah Nabi Ismail dan Ilyasa’. Walaupun tidak disebutkan secara
tegas bahwa Dzulkifli adalah seorang Nabi, tetapi karena disebutkan setelah penyebutan
nama nabi-nabi, maka masyhur di kalangan para ulama dan sejarahwan bahwa Dzulkifli juga
seorang Nabi. Ibnu Katsir menegaskan dalam kitab Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim (9: 431)
bahwa Dzulkifli adalah seorang Nabi dengan alasan tidak ada seorangpun yang namanya
disebut dalam deretan nama nabi-nabi kecuali dia adalah seorang nabi.

Ada yang menyatakan bahwa Dzulkifli adalah putera Nabi Ayyub AS. Syauqi Abu Khalil
dalam bukunya Athlas Al-Qur’an (hal. 100) meletakkan nama Nabi Dzulkifli dalam urutan
setelah Nabi Ayyub AS. Begitu juga Muhammad Washfi dalam bukunya Tarikh al-Anbiya’
wa ar-Rusul (hal. 171) meletakkan nama Dzulkifli dalam urutan setelah Nabi Ayyub AS.

Ada juga sebagian kalangan yang mengatakan bahwa Dzulkifli bukan seorang Nabi tetapi
hanya seorang yang saleh dan penguasa yang adil. Ibnu Juraij telah meriwayatkan dari
Mujahid, sebagaimana dikutip Ibn Katsir (hal. 431), bahwa Dzulkifli adalah seorang laki-laki
saleh, bukan seorang nabi. Ia memberikan jaminan kepada kaumnya bahwa ia sanggup
menangani dan mengatur urusan mereka dengan adil dan bijaksana. Oleh sebab itu dia
dijuluki Dzulkifli.

Ibnu Jarir at-Thabari juga mengutip riwayat dari Mujahid, bahwa setelah Ilyasa’ berusia
lanjut dia mengumpulkan kaumnya dan mengatakan bahwa dia akan menunjukkan seseorang
untuk melanjutkan tugasnya memimpin kaumnya. Orang yang akan ditunjukkan itu harus
memenuhi tiga syarat, yaitu selalu puasa siang hari, shalat malam tiap malam dan tidak boleh
marah. Mendengar tawaran atau tantangan dari Ilyasa’ itu tampillah seorang laki-laki
menyatakan kesanggupannya. Tetapi penampilannya tidak meyakinkan, masyarakat
menganggap rendah orang tersebut. Ilyasa’ menanyakan kepada laki-laki itu apakah dia
sanggup memenuhi atau tidak syarat itu? Laki-laki itu menyatakan sanggup. Tapi Ilyasa’
tidak menunjuknya hari itu.

Pada kesempatan lain tawaran itu kembali dilontarkan Ilyasa’ dengan tiga syarat yang sama,
tidak ada yang sanggup kecuali laki-laki tersebut. Akhirnya Ilyasa’ mengangkatnya sebagai
penggantinya.

Iblis mengumpulkan setan-setan dan mengatakan kepada mereka: “Kalian harus menggoda
laki-laki tersebut”. Para setan mencoba menggodanya, tapi tidak berhasil. Lalu Iblis turun
tangan sendiri menggodanya. Dia datang menemui laki-laki pengganti Ilyasa’ tersebut dalam
rupa seorang laki-laki tua yang lemah.

“Saya ada persengketaan dengan penduduk di tempat ku tinggal. Masalahnya begini, begini.
Laki-laki tua itu bercerita panjang lebar kian kemari, sehingga menghabiskan waktu tidur
siangnya. Laki-laki saleh itu hanya menggunakan kesempatan tidur siang sebentar untuk
istirahat.

Tidak boleh ada siapa pun datang bertamu atau berurusan pada waktu itu. Tapi iblis bisa
menembus pengawalan dan tanpa sepengetahuan petugas sudah berhadapan langsung dengan
laki-laki saleh tersebut. Iblis yang menyamar menjadi laki-laki tua berharap laki-laki saleh itu
akan marah, tapi ternyata dia tidak marah, tetap melayani sampai waktu istirahatnya habis.

Laki-laki saleh itu menyarankan kepada orang tua yang punya persoalan itu agar datang ke
majelisnya besok untuk diselesaikan pesoalannya. Besok orang tua itu sengaja tidak datang.
Justru dia datang lagi pada waktu laki-laki saleh itu beristirahat dan mulai mengadukan
masalahnya dengan bertele-tele, segaja mengulur waktu agar waktu istirahatnya habis.

Harapannya laki-laki saleh itu marah sehingga melanggar syarat yang disepakati dengan
Ilyasa’. Tetapi laki-laki saleh itu tidak pernah marah. Akhirnya Iblis menyerah, tidak sanggup
menggoda laki-laki itu agar marah. Sejak itu laki-laki saleh itu digelari Dzulkifli.

Ibnu Abi Hatim meriwayatkannya melalui hadits Zuhair Ibnu Ibn Ishaq, dari Daud, dari
Mujahid dengan lafal yang semisal. Hal yang sama telah diriwayatkan oleh Abdullah Ibn al-
Haris, Muhammad ibn Qaisdan Abu Hujairah al-Akbar serta yang lain-lainnya dari kalangan
ulama salaf, alur kisahnya mirip dengan kisah ini. Ibn Katsir mengomentari kisah itu, hanya
Allah lah yang mengetahui  kebenarannya.

Imam Ahmad, sebagaimana dikutip Ibn Katsir, telah meriwayatkan sebuah hadits gharib, dari
Ibnu Umar yang mengatakan bahwa dia pernah mendengar sebuah kisah dari Rasulullah,
bukan hanya dua tiga kali tapi sampai tujuh kali. Dalam kisah itu disebutkan dulu di kalangan
Bani Israil ada seorang Al-Kiflu (tetua) yang tidak segan-segan melakukan dosa apa pun.

Pada suatu hari datang seorang wanita minta tolong kepadanya, dia mau memberi bantuan 60
dinar tapi dengan syarat wanita itu mau tidur dengannya. Tatkala perbuatan zina, sudah
hampir dilakukan, tubuh wanita itu bergetar dan dia menangis. Tetua itu bertanya: “Mengapa
kamu menangis? Apa kamu tidak senang? Wanita menjelaskan bahwa dia belum pernah
melakukan perbuatan dosa ini. Sebenarnya dia tidak mau melakukannya tapi karena terdesak
oleh kebutuhan hidup, dia terpaksa melakukannya.

Tetua itu kemudian tidak jadi berzina dengan wanita itu. Dia menyuruh wanita itu pulang dan
uang 60 dinar itu menjadi haknya. Saat itu juga dia bertekad tidak akan melakukan perbuatan
maksiat lagi. Malam itu juga tetua itu meninggal dunia. Besoknya tertulis di pintu rumahnya
kalimat, “Allah telah mengampuni Al-Kiflu”.

Menurut Ibn Katsir riwayat tersebut tidak terdapat dalam kutub Sittah. Hanya Allah lah yang
tahu kebenarannya. Tetapi kalau diperhatikan riwayatnya, yang diceritakan di situ adalah al-
Kiflu bukan Dzulkifli. Bisa saja yang diceritakan itu tokoh lain yang bernama Al-Kiflu,
bukan Dzulkifli.
Buya Hamka dalam Tafsir Al-Azhar (17.2 101) menyatakan cerita-cerita tentang Dzulkifli
walau bersumber dari hadis tapi kualitasnya tidak jelas, kemungkinan kisah tersebut masuk
dalam kategori Israiliyat. Cukuplah yang kita yakini informasi dari Al-Quran bahwa Dzulkifli
adalah seorang Nabi dan Rasul yang sabar, sholih dan baik.

Anda mungkin juga menyukai