Anda di halaman 1dari 35

LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN

GERONTIK DENGAN RHEUMATOID ARTHRITIS

OLEH:
NI KOMANG PRIMAYANTI
NIM. 2114901086

FAKULTAS KESEHATAN
PROGRAM STUDI PROFESI NERS
INSTITUT TEKNOLOGI DAN KESEHATAN BALI
2021
LAPORAN PENDAHULUAN KEPERAWATAN GERONTIK
DENGAN RHEUMATOID ARTHRITIS

A. Tinjauan Teori Gerontologi dan Proses Menua


1. Definisi Lanjut Usia
Lanjut usia merupakan bagian dari proses tumbuh kembang.
Perkembangan manusia berawal dari bayi, anak-anak, dewasa, dan
akhirnya menjadi tua, jadi manusia tidak secara tiba-tiba menjadi tua.
Dimasa ini seseorang mengalami kemunduran fisik, mental, sosial secara
bertahap. Lanjut usia bukanlah suatu penyakit, namun merupakan tahap
lanjut dari proses kehidupan yang ditandai dengan penurunan
kemampuan tubuh untuk beradaptasi dengan stres lingkungan.

2. Batasan Usia Lanjut


Batasan-batasan lansia menurut Organisasi Kesehatan Dunia atau
World Health Organization (WHO) yaitu:
a. Usia pertengahan (middle age), adalah usia antara 45-59 tahun.
b. Usia lanjut (elderly), adalah usia antara 60-74 tahun
c. Usia lanjut tua (old), adalah usia 75-90 tahun
d. Usia sangat tua (very old), adalah usia 90 tahun keatas.
Sedangkan kategori lansia menurut Depkes RI yaitu:
a. Pra lansia kelompok usia 45-59 tahun
b. Lansia antara usia 60-69 tahun
c. Lansia berisiko kelompok usia diatas 70 tahun.

3. Proses Penuaan
Penuaan atau proses terjadinya tua adalah suatu proses
menghilangnya secara perlahan-lahan kemampuan jaringan untuk
memperbaiki diri/mengganti dan mempertahankan fungsi normalnya
sehingga tidak dapat bertahan terhadap infeksi serta memperbaiki
kerusakan yang diderita (constantinides, 1994; dalam Maryam, dkk,
2008:45-46).

4. Teori Proses Penuaan


Menurut Azizah (2011:8-9), teori penuaan secara umum dapat
dibedakan menjadi dua yaitu teori penuaan secara biologi dan teori
penuaan psikososial.
a. Teori Biologi
1) Teori seluler
Kemampuan sel hanya mampu membelah dalam jumlah tertentu
dan kebanyakan sel-sel tubuh “diprogram untuk membelah 50
kali”. Jika sel pada lansia dilepas dari tubuh dan dibiakkan di
laboratorium lalu diobservasi, jumlah sel-sel yang akan
membelah akan terlihat lebih sedikit. Hal ini akan memberikan
beberapa pengertian terhadap proses penuaan biologis dan
menunjukan bahwa pembelahan sel lebih lanjut mungkin terjadi
untuk pertumbuhan dan perbaikan jaringan, sesuai dengan
berkurangnya umur. Pada beberapa sistem, seperti sistem saraf,
sistem muskoloskeletal dan jantung, sel pada jaringan dan organ
sistem itu tidak dapat diganti jika sel tersebut dibuang karena
rusak atau mati. Oleh karena itu, sistem tersebut beresiko
mengalami proses penuaan dan mempunyai kemampuan yang
sedikit atau tidak sama sekali untuk tumbuh dan memperbaiki
diri.
2) Teori protein (Kolagen dan Elastisin)
Jaringan seperti kulit dan kartilago kehilangan elastisitasnya
pada lansia. Proses kehilangan elastisitas ini dihubungkan
dengan adanya perubahan kimia pada komponen protein dalam
jaringan tersebut. Pada lansia beberapa protein (kolagen dan
kartilago, dan elastisin pada kulit) dibuat oleh tubuh dengan
bentuk dan struktur yang berbeda dari protein yang lebih muda.
Contohnya banyak kolagen pada kartilago dan elastisin pada
kulit kehilangan fleksibilitasnya serta menjadi lebih tebal,
seiring dengan bertambahnya usia. Hal ini dapat lebih mudah
dihubungkan dengan perubahan permukaan kulit yang
kehilangan elastisitasnya dan cenderung berkerut, juga
terjadinya penurunan mobilitas dan kecepatannya pada sistem
muskuloskeletal.
3) Teori menua akibat metabolisme
Pengurangan intake kalori akan menghambat pertumbuhan dan
memperpanjang umur. Perpanjangan umur karena jumlah kalori
tersebut antara lain disebabkan karena menurunnya salah satu
atau beberapa proses metabolisme.
4) Teori akibat radikal bebas
Radikal bebas (RB) dapat terbentuk dialam bebas, dan di dalam
tubuh fagosit (pecah), dan sebagai produk sampingan didalam
rantai pernafasan didalam mitokondria. Untuk organisasi
aerobik, radikal bebas terbentuk pada waktu respirasi (aerob)
didalam mitokondria karena 90% oksigen yang diambil tubuh
termasuk didalam mitokondria. RB bersifat merusak, karena
sangat reaktif, sehingga dapat bereaksi dengan DNA, protein,
dan asam lemak tak jenuh. Walaupun telah ada sistem
penangkal, namun sebagian RB tetap lolos, bahkan makin lanjut
usia makin banyak RB terbentuk sehingga proses pengerusakan
terus terjadi, kerusakan organel sel semakin banyak akhirnya sel
mati.
b. Teori Psikologi
1) Aktivitas atau Kegiatan (activity theory)
Seseorang yang dimasa mudanya aktif dan terus memelihara
keaktifannya setelah lanjut usia sense of integrity yang dibangun
dimasa mudanya tetap terpelihara sampai tua. Teori ini
menyatakan bahwa pada lanjut usia yang sukses adalah mereka
yang aktif dan ikut banyak dalam kegiatan sosial. Ukuran
optimum (pola hidup) dilanjutkan pada cara hidup dari usia
lanjut. Mempertahankan hubungan antara sistem sosial dan
individu agar tetap stabil dari usia pertengahan ke usia lanjut.
2) Kepribadian berlanjut (continuity theory)
Dasar kepribadian atau tingkah laku tidak berubah pada lanjut
usia. Identitas pada lansia yang sudah mantap memudahkan
dalam memelihara hubungan dengan masyarakat, melibatkan
diri dengan masalah dimasyarakat, keluarga dan hubungan
interpersonal. Pada teori ini menyatakan bahwa perubahan yang
terjadi pada seseorang yang lanjut usia sangat dipengaruhi oleh
tipe personality yang dimilikinya.
3) Teori pembebasan (disengagement theory)
Putusnya pergaulan atau hubungan dengan masyarakat dan
kemunduran individu dengan individu lainnya. Teori ini
menyatakan bahwa dengan bertambahnya usia, seseorang secara
pelan tetapi pasti mulai melepaskan diri dari kehidupan
sosialnya atau menarik diri dari pergaulan sekitarnya. Keadaan
ini mengakibatkan interaksi sosial lanjut usia menurun, baik
secara kualitas maupun kuantitas sehingga terjadi kehilangan
ganda.

5. Perubahan Pada Lansia


Semakin bertambahnya umur manusia, terjadi proses penuaan secara
degeneratif yang akan berdampak pada perubahan-perubahan pada diri
manusia (Maryam, dkk, 2008:55-63).
a. Perubahan biologis
1) Sel: Jumlah berkurang, ukuran membesar, cairan tubuh
menurun, dan cairan intraseluler menurun.
2) Kardiovaskular: Katup jantung menebal dan kaku, kemampuan
memompa darah menurun (menurunnya kontraksi dan volume),
elastisitas pembuluh darah menurun, serta meningkatnya
resistensi pembuluh darah perifer sehingga tekanan darah
meningkat.
3) Respirasi: Kekuatan otot pernapasan menurun dan kaku,
elastisitas paru menurun, kapasitas residu meningkat sehingga
menarik napas lebih berat, alveoli melebar dan jumlahnya
menurun, kemampuan batuk menurun, serta terjadi penyempitan
pada bronkus.
4) Persarafan: Saraf panca indra mengecil sehingga fungsinya
menurun serta lambat dalam merespon dan waktu bereaksi
khususnya yang berhubungan dengan stres. Berkurang atau
hilangnya lapisan myelin akson, sehingga menyebabkan
berkurangnya respon motorik dan refleks.
5) Muskuloskeletal: Cairan tulang menurun sehingga mudah rapuh
(osteoporosis), bungkuk (kifosis), persendian membesar dan
menjadi kaku (atrofi otot), kram, tremor, tendon mengerut dan
mengalami sklerosis.
6) Gastrointestinal: Esophagus melebar, asam lambung menurun,
lapar menurun, dan peristaltik menurun sehingga daya absorbsi
juga ikut menurun. Ukuran lambung mengecil serta fungsi organ
eksesori menurun sehingga menyebabkan berkurangnya
produksi hormon dan enzim pencernaan.
7) Genitourinaria: Ginjal mengecil, aliran darah ke ginjal menurun,
penyaringan di glomerulus menurun dan fungsi tubulus menurun
sehingga kemampuan mengonsentrasikan urin ikut menurun.
Banyak fungsi yang mengalami kemunduran, contohnya laju
filtrasi, ekskresi, dan reabsorbsi oleh ginjal. Hal ini akan
memberikan efek dalam pemberian obat pada lansia. Mereka
kehilangan kemampuan untuk mengekskresi obat atau produk
metabolisme obat. Pola berkemih tidak normal, seperti banyak
berkemih dimalam hari, sehingga mengharuskan mereka pergi
ketoilet sepanjang malam. Hal ini menunjukan bahwa
inkontinensia urin meningkat (Azizah, 2011:13).
8) Vagina: Selaput lendir mengering dan sekresi menurun.
9) Pendengaran: Membran timpani atrofi sehingga terjadi
gangguan pendengaran. Tulang-tulang pendengaran mengalami
kekakuan.
10) Penglihatan: Respon terhadap sinar menurun, adaptasi terhadap
gelap menurun, akomodasi menurun, lapang pandang menurun,
katarak.
11) Endokrin: Produksi hormon menurun.
12) Kulit: Keriput serta kulit kepala dan rambut menipis. Rambut
dalam hidung dan telinga menebal. Elastisitas menurun,
vaskularisasi menurun, rambut memutih (uban), kelenjar
keringat menurun, kuku keras dan rapuh.
b. Perubahan kognitif
1) Memory (daya ingat, ingatan)
2) IQ (Intellegent Quocient)
3) Kemampuan Belajar (Learning)
4) Kemampuan Pemahaman (Comprehension)
5) Pemecahan Masalah (Problem Solving)
6) Pengambilan Keputusan (Decission Making)
7) Kebijaksanaan (Wisdom)
8) Kinerja (Performance)
9) Motivasi
c. Perubahan Mental
Faktor-faktor yang memengaruhi perubahan mental:
1) Pertama-tama perubahan fisik, khususnya organ perasa.
2) Kesehatan umum
3) Keturunan (hereditas)
4) Lingkungan
5) Gangguan syaraf panca indera, timbul kebutaan dan ketulian.
6) Gangguan konsep diri akibat kehilangan jabatan.
7) Rangkaian dari kehilangan, yaitu kehilangan hubungan dengan
teman dan keluarga.
8) Hilangnya kekuatan dan ketegapan fisik, perubahan terhadap
gambaran diri, dan perubahan konsep diri.
d. Perubahan spiritual
Agama atau kepercayaan makin terintegrasi dalam kehidupannya.
Lansia makin matur dalam kehidupan keagamaanya, hal ini terlihat
dalam berfikir dan bertindak dalam sehari-hari.
e. Kesehatan psikososial
1) Kesepian
Terjadi pada saat pasangan hidup atau teman dekat meninggal
terutama jika lansia mengalami penurunan kesehatan, seperti
menderita penyakit fisik berat, gangguan mobilitas atau
gangguan sensorik terutama pendengaran.
2) Duka cita (Bereavement)
Meninggalnya pasangan hidup, teman dekat, atau bahkan hewan
kesayangan dapat meruntuhkan pertahanan jiwa yang telah
rapuh pada lansia. Hal tersebut dapat memicu terjadinya
gangguan fisik dan kesehatan.
3) Depresi
Duka cita yang berlanjut akan menimbulkan perasaan kosong,
lalu diikuti dengan keinginan untuk menangis yang berlanjut
menjadi suatu episode depresi. Depresi juga dapat disebabkan
karena stres lingkungan dan menurunnya kemampuan adaptasi.
4) Gangguan cemas
Dibagi dalam beberapa golongan: fobia, panik, gangguan cemas
umum, gangguan stress setelah trauma dan gangguan obsesif
kompulsif.
5) Parafrenia
Suatu bentuk skizofrenia pada lansia, ditandai dengan waham
(curiga), lansia sering merasa tetangganya mencuri barang-
barangnya atau berniat membunuhnya. Biasanya terjadi pada
lansia yang terisolasi/diisolasi atau menarik diri dari kegiatan
sosial.
6) Sindroma diogenes
Suatu kelainan dimana lansia menunjukkan penampilan perilaku
sangat mengganggu. Rumah atau kamar kotor dan bau karena
lansia bermain-main dengan feses dan urinnya, sering
menumpuk barang dengan tidak teratur. Walaupun telah
dibersihkan, keadaan tersebut dapat terulang kembali.

B. Konsep Dasar Rheumatoid Arthritis


1. Pengertian Rheumatoid Arthritis
Rheumatoid arthritis merupakan penyakit autoimun (penyakit yang
terjadi pada saat tubuh diserang oleh sistem kekebalan tubuhnya sendiri)
yang mengakibatkan peradangan dalam waktu lama pada sendi. Penyakit
ini menyerang persendian, biasanya mengenai banyak sendi, yang
ditandai dengan radang pada membran sinovial dan struktur-struktur
sendi serta atrofi otot dan penipisan tulang. Reumatoid arthritis adalah
suatu penyakit autoimun dimana persendian (biasanya sendi tangan dan
kaki) secara simetris mengalami peradangan, sehingga terjadi
pembengkakan, nyeri dan seringkali akhirnya menyebabkan kerusakan
bagian dalam sendi. Reumatik adalah gangguan berupa kekakuan,
pembengkakan, nyeri dan kemerahan pada daerah persendian dan
jaringan sekitarnya (Adellia, 2011).

2. Klasifikasi Rheumatoid Arthritis


Buffern (2010) mengklasifikasikan rheumatoid arthritis menjadi 4 tipe,
yaitu:
a. Rheumatoid arthritis klasik
Pada tipe ini harus terdapat 7 kriteria tanda dan gejala sendi yang
berlangsung terus menerus, paling sedikit dalam waktu 6 minggu.
b. Rheumatoid arthritis defisit
Pada tipe ini harus terdapat 5 kriteria tanda dan gejala sendi yang
harus berlangsung terus menerus, paling sedikit dalam waktu 6
minggu.
c. Probable rheumatoid arthritis
Pada tipe ini harus terdapat 3 kriteria tanda dan gejala sendi yang
harus berlangsung terus menerus, paling sedikit dalam waktu 6
minggu.
d. Possible rheumatoid arthritis
Pada tipe ini harus terdapat 2 kriteria tanda dan gejala sendi yang
harus berlangsung terus menerus, paling sedikit dalam waktu 3
bulan.
Jika ditinjau dari stadium penyakit, terdapat tiga stadium rheumatoid
arthritis yaitu:
a. Stadium synovitis
Pada stadium ini terjadi perubahan dini pada jaringan sinovial yang
ditandai dengan hiperemi, edema karena kongesti, nyeri pada saat
bergerak maupun istirahat, bengkak dan kekakuan.
b. Stadium destruksi
Pada stadium ini selain terjadi kerusakan pada jaringan sinovial
terjadi juga pada jaringan sekitarnya yang ditandai adanya kontraksi
tendon.
c. Stadium deformitas
Pada stadium ini terjadi perubahan secara progresif dan berulang
kali, deformitas dan gangguan fungsi secara menetap.

3. Etiologi Rheumatoid Arthritis


Penyebab pasti rheumatoid arthritis tidak diketahui, diperkirakan
merupakan kombinasi dari faktor genetik, lingkungan, hormonal dan
faktor sistem reproduksi. Namun faktor pencetus terbesar adalah faktor
infeksi seperti bakteri, mikoplasma dan virus. Menurut Smith dan Haynes
(2002), ada beberapa faktor risiko yang dapat menyebabkan seseorang
menderita rheumatoid arthritis yaitu:
a. Faktor genetik
Beberapa penelitian yang telah dilakukan melaporkan terjadinya
rheumatoid arthritis sangat terkait dengan faktor genetik.
b. Usia dan jenis kelamin
Insidensi rheumatoid arthritis lebih banyak dialami oleh wanita
daripada laki-laki dengan rasio 2:1 hingga 3:1. Perbedaan ini
diasumsikan karena pengaruh dari hormon, namun data ini masih
dalam penelitian. Wanita memiliki hormon estrogen sehingga dapat
memicu sistem imun. Rheumatoid arthritis sering terjadi pada orang-
orang usia sekitar 50 tahun.
c. Infeksi
Infeksi dapat memicu rheumatoid arthritis pada host yang mudah
terinfeksi secara genetik. Virus merupakan agen yang potensial
memicu rheumatoid arthritis seperti parvovirus, rubella, EBV,
borellia burgdorferi.
d. Lingkungan
Faktor lingkungan dan gaya hidup juga dapat memicu rheumatoid
arthritis seperti merokok. Ada beberapa teori penyebab rheumatoid
arthritis antara lain infeksi streptococcus hemolitikus dan
streptococcus non-hemolitikus, endokrin, autoimun, metabolik dan
faktor genetik serta faktor pemicu lainnya. Pada saat ini, rheumatoid
arthritis diduga disebabkan oleh faktor autoimun dan infeksi.
Autoimun ini bereaksi terhadap kolagen tipe II, faktor infeksi
disebabkan oleh virus dan organisme mikoplasma atau grup
difterioid yang menghasilkan antigen tipe II kolagen dari tulang
rawan sendi penderita.

4. Patofisiologi Rheumatoid Arthritis


Rheumatoid arthritis sering disebut radang selaput sinovial.
Penyebab dari rheumatoid arthritis masih belum jelas. Pada penderita
rheumatoid arthritis suatu antigen penyebab artritis reumatoid yang
berada pada membran sinovial, akan diproses oleh antigen presenting
cells (APC) yang terdiri dari berbagai jenis sel seperti sel sinoviosit A,
sel dendritik atau makrofag yang semuanya mengekskresi determinan
HLA-DR pada membran selnya. Antigen yang telah diproses akan
dikenali dan diikat oleh sel CD4+ bersama dengan determinan HLA-DR
yang terdapat pada permukaan membran APC tersebut membentuk suatu
kompleks trimolekular. Kompleks trimolekular ini dengan bantuan
interleukin-1 (IL-1) yang dibebaskan oleh monosit atau makrofag
selanjutnya akan menyebabkan terjadinya aktivasi sel CD4+.
Pada tahap selanjutnya kompleks antigen trimolekular tersebut akan
mengekskresi reseptor interleukin-2 (IL-2) pada permukaan CD4+. IL-2
yang diekskresi oleh sel CD4+ akan mengikatkan diri pada reseptor
spesifik pada permukaannya sendiri dan akan menyebabkan terjadinya
mitosis dan proliferasi sel tersebut. Proliferasi sel CD4+ ini akan
berlangsung terus selama antigen tetap berada dalam lingkunan tersebut.
Selain IL-2, CD4+ yang telah teraktivasi juga mensekresi berbagai
limfokin lain seperti gamma-interferon, tumor necrosis factor b (TNF-b),
interleukin-3 (IL-3), interleukin-4 (IL-4), granulocyte-macrophage
colony stimulating factor (GM-CSF) serta beberapa mediator lain yang
bekerja merangsang makrofag untuk meningkatkan aktivitas
fagositosisnya dan merangsang proliferasi dan aktivasi sel B untuk
memproduksi antibodi. Produksi antibodi oleh sel B ini dibantu oleh IL-
1, IL-2, dan IL-4.
Setelah berikatan dengan antigen yang sesuai, antibodi yang
dihasilkan akan membentuk kompleks imun yang akan berdifusi secara
bebas ke dalam ruang sendi. Pengendapan kompleks imun akan
mengaktivasi sistem komplemen yang akan membebaskan
komponennkomplemen C5a. Komponen komplemen C5a merupakan
faktor kemotaktik yang selain meningkatkan permeabilitas vaskular juga
dapat menarik lebih banyak sel polimorfonuklear (PMN) dan monosit ke
arah lokasi tersebut. Pemeriksaan histopatologis membran sinovial
menunjukkan bahwa lesi yang paling dini dijumpai pada artritis
reumatoid adalah peningkatan permeabilitas mikrovaskular membran
sinovial, infiltrasi sel PMN dan pengendapan fibrin pada membran
sinovial.
Fagositosis kompleks imun oleh sel radang akan disertai oleh
pembentukan dan pembebasan radikal oksigen bebas, leukotrien,
prostaglandin dan protease neutral (collagenase dan stromelysin) yang
akan menyebabkan erosi rawan sendi dan tulang. Radikal oksigen bebas
dapat menyebabkan terjadinya depolimerisasi hialuronat sehingga
mengakibatkan terjadinya penurunan viskositas cairan sendi. Selain itu
radikal oksigen bebas juga merusak kolagen dan proteoglikan rawan
sendi.
Prostaglandin E2 (PGE2) memiliki efek vasodilator yang kuat dan
dapat merangsang terjadinya resorpsi tulang osteoklastik dengan bantuan
IL-1 dan TNF-b. Rantai peristiwa imunologis ini sebenarnya akan
terhenti bila antigen penyebab dapat dihilangkan dari lingkungan
tersebut. Akan tetapi pada artritis reumatoid, antigen atau komponen
antigen umumnya akan menetap pada struktur persendian, sehingga
proses destruksi sendi akan berlangsung terus. Tidak terhentinya
destruksi persendian pada artritis reumatoid kemungkinan juga
disebabkan oleh terdapatnya faktor reumatoid. Faktor reumatoid adalah
suatu autoantibodi terhadap epitop fraksi Fc IgG yang dijumpai pada 70-
90% pasien artritis reumatoid. Faktor reumatoid akan berikatan dengan
komplemen atau mengalami agregasi sendiri, sehingga proses
peradangan akan berlanjut terus. Pengendapan kompleks imun juga
menyebabkan terjadinya degranulasi mast cell yang menyebabkan
terjadinya pembebasan histamin dan berbagai enzim proteolitik serta
aktivasi jalur asam arakidonat.
Masuknya sel radang ke dalam membran sinovial akibat
pengendapan kompleks imun menyebabkan terbentuknya pannus yang
merupakan elemen yang paling destruktif dalam patogenesis artritis
reumatoid. Pannus merupakan jaringan granulasi yang terdiri dari sel
fibroblas yang berproliferasi, mikrovaskular dan berbagai jenis sel
radang. Secara histopatologis pada daerah perbatasan rawan sendi dan
pannus terdapatnya sel mononukleus, umumnya banyak dijumpai
kerusakan jaringan kolagen dan proteoglikan.
Pada penderita rheumatoid arthritis sinovium menjadi sangat tebal
dan terasa seperti pembengkakan di sekitar sendi dan tendon. Sinovium
berproliferasi ke dalam lipatan, lipatan ini kemudian disusupi oleh
berbagai sel inflamasi diantaranya polimorf yang transit melalui jaringan
ke dalam sel sendi, limfosit dan plasma sel. Lapisan sel sinovium
menjadi menebal dan hiperplastik, kejadian ini adalah tanda proliferasi
vaskuler awal rheumatoid arthritis. Peningkatan permeabilitas pembuluh
darah dan lapisan sinovial menyebabkan efusi sendi yang mengandung
limfosit dan polimorf yang hampir mati (Kumar and Clark, 2009).
Sinovium hiperplastik menyebar dari daerah sendi ke permukaan
tulang rawan. Penyebaran ini menyebabkan kerusakan pada sinovium,
dan tulang rawan mengalami peradangan, kejadian ini menghalangi
masuknya gizi ke dalam sendi sehingga tulang rawan menjadi menipis.
Fibroblast dari sinovium berkembang biak dan tumbuh di sepanjang
pembuluh darah antara margin sinovial dan rongga tulang epifis dan
merusak tulang (Kumar and Clark, 2009).
Proses awalnya, antigen (bakteri, mikroplasma atau virus)
menginfeksi sendi. Akibatnya terjadi kerusakan lapisan sendi yaitu pada
membran sinovial dan terjadi peradangan yang berlangsung terus-
menerus. Peradangan ini akan menyebar ke tulang rawan kapsul fibroma
ligament tendon. Kemudian terjadi penimbunan sel darah putih dan
pembentukan pada jaringan parut sehingga membran sinovium menjadi
hiperatropi dan menebal. Terjadinya hiperatropi dan penebalan ini
menyebabkan aliran darah yang masuk ke dalam sendi menjadi
terhambat. Keadaan seperti ini akan mengakibatkan terjadinya nekrosis
(rusaknya jaringan sendi), nyeri hebat dan deformitas (perubahan bentuk)
(Dipiro et al., 2008).
Sendi yang paling sering terkena rheumatoid arthritis adalah sendi
tangan, pergelangan tangan dan kaki. Selain itu, siku, bahu, pinggung,
lutut dan pergelangan kaki mungkin terlibat. Peradangan kronis dengan
kurangnya program latihan yang memadai bisa berpengaruh pada
hilangnya rentang gerak, atrofi otot, kelemahan dan deformitas.
Keterlibatan tangan dan pergelangan tangan adalah umum pada pasien
rheumatoid arthritis. Keterlibatan tangan dimanifestasikan dengan nyeri,
pembengkakan, ketidakstabilan, dan atrofi dalam fase kronis. Kesulitan
fungsional ditandai dengan berkurangnya gerakan motorik halus.

5. Manifestasi Klinis Rheumatoid Arthritis


Pasien-pasien dengan rheumatoid arthritis menunjukan tanda dan gejala
seperti berikut:
a. Nyeri persendian
b. Bengkak (reumatoid nodule)
c. Kekakuan pada sendi terutama setelah bangun tidur pada pagi hari
d. Terbatasnya pergerakan
e. Sendi-sendi terasa panas
f. Demam (pireksia)
g. Anemia
h. Berat badan menurun
i. Kekuatan berkurang
j. Tampak warna kemerahan di sekitar sendi
k. Perubahan ukuran pada sendi dari ukuran normal
l. Pasien tampak anemik
Pada tahap yang lanjut akan ditemukan tanda dan gejala seperti:
a. Gerakan menjadi terbatas
b. Adanya nyeri tekan
c. Deformitas disertai pembengkakan
d. Kelemahan
e. Depresi
Beberapa gambaran klinis yang lazim ditemukan pada penderita
rheumatoid arthtritis. Gambaran klinis ini tidak timbul sekaligus pada
saat yang bersamaan oleh karena penyakit ini memiliki gambaran klinis
yang sangat bervariasi.
a. Gejala-gejala konstitusional seperti lelah, anoreksia, berat badan
menurun dan demam.
b. Poliartritis simetris terutama pada sendi perifer, termasuk sendi-
sendi di tangan, namun biasanya tidak melibatkan sendi-sendi
interfalangs distal. Hampir semua sendi diartrodial dapat terserang.
c. Kekakuan di pagi hari selama lebih dari 1 jam. Kekakuan ini berbeda
dengan kekakuan sendi pada osteoartritis, yang biasanya hanya
berlangsung selama beberapa menit dan selalu kurang dari 1 jam.
d. Artritis erosif merupakan ciri khas penyakit ini pada gambaran
radiologik. Peradangan sendi yang kronik mengakibatkan erosi di
tepi tulang dan hal ini dapat dilihat pada radiogram.
e. Deformitas yaitu kerusakan dari struktur-struktur penunjang sendi.
Pergeseran ulnar atau deviasi jari, subluksasi sendi
metakarpofalangeal, deformitas boutonniere dan leher angsa adalah
beberapa deformitas tangan yang sering dijumpai pada penderita.
Pada kaki terdapat protrusi (tonjolan) kaput metatarsal yang timbul
sekunder dari subluksasi metatarsal. Sendi-sendi besar juga dapat
terserang dan mengalami pengurangan kemampuan bergerak
terutama dalam melakukan gerak ekstensi.
f. Nodula-nodula reumatoid yaitu massa subkutan yang ditemukan
pada sekitar sepertiga orang dewasa penderita reumatoid arthritis.
Lokasi yang paling sering dari deformitas ini adalah bursa
olekranon (sendi siku ) atau di sepanjang permukaan ekstensor dari
lengan. Adanya nodula-nodula ini biasanya merupakan suatu
petunjuk suatu penyakit yang aktif dan lebih berat.
Adapun tanda dan gejala yang umum ditemukan atau sangat serius
terjadi pada lanjut usia menurut Buffer (2010), yaitu: sendi terasa kaku
pada pagi hari, bermula sakit dan kekakuan pada daerah lutut, bahu, siku,
pergelangan tangan dan kaki, juga pada jari-jari, mulai terlihat bengkak
setelah beberapa bulan, bila diraba akan terasa hangat, terjadi kemerahan
dan terasa sakit/nyeri, bila sudah tidak tertahan dapat menyebabkan
demam.

6. Pemeriksaan Diagnostik Rheumatoid Arthritis


a. Tes serologi:
Sedimentasi eritrosit meningkat, dapat terjadi anemia dan
leukositosis, Reumatoid faktor, terjadi 50-90% penderita
b. Sinar X dari sendi yang sakit:
Menunjukkan pembengkakan pada jaringan lunak, erosi sendi, dan
osteoporosis dari tulang yang berdekatan (perubahan awal)
berkembang menjadi formasi kista tulang, memperkecil jarak sendi
dan subluksasio.
c. Scan radionuklida:
Mengidentifikasi peradangan sinovium
d. Artroskopi Langsung:
Visualisasi dari area yang menunjukkan irregularitas/degenerasi
tulang pada sendi.
e. Aspirasi cairan sinovial:
Mungkin menunjukkan volume yang lebih besar dari normal: buram,
berkabut, munculnya warna kuning (respon inflamasi, produk-
produk pembuangan degeneratif), elevasi SDP dan leukosit,
penurunan viskositas dan komplemen (C3 dan C4).
f. Biopsi membran sinovial:
Menunjukkan perubahan inflamasi dan perkembangan panas.
g. Ig (Ig M dan Ig D): Peningkatan besar menunjukkan autoimun
sebagai penyebab rheumatoid arthritis
Kriteria diagnostik Artritis Reumatoid adalah terdapat poli- arthritis yang
simetris yang mengenai sendi-sendi proksimal jari tangan dan kaki serta
menetap sekurang-kurangnya 6 minggu atau lebih bila ditemukan nodul
subkutan atau gambaran erosi peri-artikuler pada foto rontgen.

7. Penatalaksanaan Rheumatoid Arthritis


a. Penatalaksanaan Medis
1) OAINS diberikan sejak dini untuk mengatasi nyeri sendi akibat
inflamasi yang sering dijumpai. OAINS yang dapat diberikan:
a) Aspirin: Pasien dibawah 50 tahun dapat mulai dengan dosis
3-4 x 1 g/hari, kemudian dinaikan 0,3-0,6 g per minggu
sampai terjadi perbaikan atau gejala toksik. Dosis terapi 20-
30 mg/minggu.
b) Ibuprofen, naproksen, piroksikam, diklofenak, dan
sebagainya.
2) DMARD (disease-modiflying antirheumatic drugs) digunakan
untuk melindungi rawan sendi dan tulang dari proses destruksi
akibat arhtritis rheumatoid. Mula khasiatnya baru terlihat setelah
3-12 bulan kemudian. Setelah 2-5 tahun, maka efektivitasnya
dalam menekan proses rheumatoid akan berkurang. Jenis-jenis
yang digunakan adalah:
a) Klorokuin: Paling banyak digunakan karena harganya
terjangkau, namun efektivitasnya lebih rendah
dibandingkan dengan yang lain. Dosis anjuran klorokuin
fosfat 250 mg/hari, hidrosiklorkuin 400 mg/hari.
b) Sulfatsalazin dalam bentuk tablet bersalut enterik digunakan
dalam dosis 1x500 mg/hari, ditingkatkan 500 mg per
minggu, sampai mencapai dosis 4x500 mg. Setelah remisi
tercapai, dosis dapat diturunkan hingga 1 g/hari untuk
dipakai dalam jangka panjang sampai tercapai remisi
sempurna. Jika dalam waktu 3 bulan tidak terlihat
khasiatnya, obat ini dihentikan dan diganti dengan yang
lain, atau dikombinasi.
c) D-penisilamin, kurang disukai karena bekerja sangat
lambat. Digunakan dalam dosis 250-300 mg/hari, kemudian
dosis ditingkatkan setiap 2-4 minggu sebesar 250-300
mg/hari untuk mencapai dosis total 4x250-300 mg/hari.
d) Garam emas adalah gold standar bagi DMARD. Khasiatnya
tidak diragukan lagi meski sering timbul efek samping.
Auro sodium tiomalat (AST) diberikan melalui
intramuskular, dimulai dengan dosis percobaan pertama
sebesar 10 mg, seminggu kemudian dosis kedua 20 mg.
Seminggu kemudian diberikan dosis penuh 50 mg/minggu
selama 20 minggu. Dapat dilanjutkan dengan dosis
tambahan sebesar 50 mg tiap 2 minggu sampai 3 minggu
sampai keadaan remis tercapai.
e) Obat imunosupresif atau imunoregulator, memotreksat
sangat mudah digunakan dan waktu mulai kerjanya relatif
pendek. Dosis dimulai 5-7,5 mg setiap minggu. Bila dalam
4 bulan tidak menunjukkan perbaikan, dosis harus
ditingkatkan. Dosis jarang melebihi 20 mg/minggu.
Penggunaan siklosprorin untuk artritis reumatoid masih
dalam penelitian.
f) Kortikosteroid hanya dipakai untuk pengobatan artritis
reumatoid dengan komplikasi berat dan mengancam jiwa,
seperti vaskulitis, karena obat ini memiliki efek samping
yang sangat berat. Dalam dosis rendah (seperti prednison 5-
7,5 mg satu kali sehari) sangat bermanfaat sebagai bridging
therapy dalam mengatasi sinovitis sebelum DMARD mulai
bekerja, yang kemudian dihentikan secara bertahap. Dapat
diberikan suntikan kortikosteroid intraartikular jika terdapat
peradangan berat. Sebelumnya infeksi harus disingkirkan
terlebih dahulu.
3) Pembedahan menjadi pilihan apabila pemberian obat-obatan
tidak berhasil mencegah dan memperlambat kerusakan sendi.
Pembedahan dapat mengembalikan fungsi dari sendi yang telah
rusak. Prosedur yang dapat dilakukan adalah artroplasti,
perbaikan tendon, sinovektomi
a) Sinovektomi
Pengambilan jaringan konektif yang rusak yang melapisi
ruang (kapsul) sendi. Ini akan mengurangi nyeri,
pembengkakan, dan kerusakan lebih lanjut dari sendi yang
meradang. Setelah dilakukan sinovektomi, tubuh akan
beregenerasi dan jaringan yang sehat akan menggantikan
jaringan yang rusak.
b) Arthrotomi
Yaitu operasi penggantian sendi
c) Arthrodesis
Operasi fusi tulang belakang. Ini merupakan prosedur
pembedahan untuk mencangkok tulang untuk menyatukan
dua ujung sendi untuk mengurangi atau menghilangkan
nyeri tulang dan sendi.
d) Arthroplasty
Pembedahan yang dilakukan untuk merekonstruksi atau
penggantian sendi yang bermasalah (sakit) dengan sendi
tiruan dari bahan dasar metal, karet silikon atau plastic
b. Penatalaksanaan Keperawatan
1) Pendidikan pada pasien mengenai penyakitnya dan
penatalaksaan yang akan dilakukan sehingga terjalin hubungan
baik dan terjamin ketaatan pasien.
2) Istirahat
Merupakan hal penting karena reumatik biasanya disertai rasa
lelah yang hebat. Walaupun rasa lelah tersebut dapat saja timbul
setiap hari, tetapi ada masa dimana penderita merasa lebih baik
atau lebih berat. Penderita harus membagi waktu seharinya
menjadi beberapa kali waktu beraktivitas yang diikuti oleh masa
istirahat.
3) Latihan fisik dan termoterapi
Latihan spesifik dapat bermanfaat dalam mempertahankan
fungsi sendi. Latihan ini mencakup gerakan aktif dan pasif pada
semua sendi yang sakit, sedikitnya dua kali sehari. Obat untuk
menghilangkan nyeri perlu diberikan sebelum memulai latihan.
Kompres panas pada sendi yang sakit dan bengkak mungkin
dapat mengurangi nyeri. Latihan dan termoterapi ini paling baik
diatur oleh pekerja kesehatan yang sudah mendapatkan latihan
khusus, seperti ahli terapi fisik atau terapi kerja. Latihan yang
berlebihan dapat merusak struktur penunjang sendi yang
memang sudah lemah oleh adanya penyakit.
4) Rehabilitasi
Rehabilitasi merupakan tindakan untuk menggembalikan tingkat
kemampuan pasien AR dengan tujuan:
a) Mengurangi rasa nyeri
b) Mencegah terjadinya kekakuan dan keterbatasan gerak sendi
c) Mencegah terjadinya atrofi dan kelemahan otot
d) Meningkatkan rasa nyaman dan kepercayaan diri
e) Mempertahankan kemandirian sehingga tidak bergantung
kepada orang lain.

C. Konsep Dasar Asuhan Keperawatan Gerontik Pada Klien Dengan


Rheumatoid Arthritis
1. Pengkajian Keperawatan Asuhan Keperawatan Gerontik
a. Identitas klien
Meliputi nama klien, jenis kelamin, umur agama, status perkawinan,
pekerjaan dan alamat rumah.
b. Keluhan Utama:
1) Adanya keluhan nyeri dan kekakuan pada tangan atau pada
tungkai.
2) Perasaan tidak nyaman dalam beberapa periode atau waktu
sebelum pasien mengetahui dan merasakan adanya perubahan
pada sendi.
c. Riwayat Kesehatan:
1) Masalah kesehatan yang pernah dialami dan dirasakan saat ini
2) Masalah kesehatan keluarga atau keturunan
3) Genogram
4) Kebiasaan sehari-hari
a) Biologis: Meliputi pola makan dan minum, pola tidur, pola
eleminasi (BAB dan BAK), aktivitas sehari-hari, rekreasi
dan indeks KATZ yang digunakan untuk menilai
kemampuan fungsional aktivitas kehidupan sehari-hari
b) Psikologis:
(1) Penilaian mental menggunakan SPMSQ (Short Potable
Mental Status Questionnaire) atau MMSE (Mini
Mental State Exam) untuk mengetahui fungsi
intelektual klien.
(2) Penilaian dengan menggunakan skala Depresi Beck
meliputi kesedihan, pesimisme, rasa kegagalan,
ketidakpuasan, rasa bersalah, tidak menyukai diri
sendiri, membahayakan diri sendiri, menarik diri dari
sosial, keragu-raguan, perubahan gambaran diri,
kesulitan kerja, keletihan dan anoreksia.
(3) Keadaan emosi
(4) Konsep diri meliputi identitas diri, gambaran diri, ideal
diri, peran diri dan harga diri.
(5) Penilaian APGAR keluarga meliputi adaptasi,
hubungan, pertumbuhan, afeksi dan pemecahan.
(6) Sosial meliputi dukungan keluarga, hubungan dengan
keluarga dan hubungan dengan orang lain.
(7) Spiritual meliputi pelaksanaan ibadah dan keyakinan
tentang kesehatan.
d. Pemeriksaan Fisik
1) Tinjauan sistem meliputi keadaan umum, GCS, tingkat
kesadaran, suhu, tekanan darah, tinggi badan, nadi, pernafasan
dan berat badan.
2) Kepala: Pada umumnya tidak tampak perubahan
3) Mata, telinga, hidung dan mulut: Pada umumnya tidak akan
tampak perubahan
4) Leher: Pada umumnya tidak akan tampak perubahan
5) Dada dan punggung: Pada umunya tidak akan tampak
perubahan.
6) Abdomen: Pada umumnya tidak akan tampak perubahan
7) Ekstremitas atas dan bawah:
Kerusakan dari struktur penunjang sendi dengan perjalanan
penyakit. Pergeseran ulnar atau deviasi jari, pergeseran sendi
pada tulang telapak tangan dan jari, deformitas boutonniere dan
leher angsa adalah beberapa deformitas tangan yang sering
dijumpai pada penderita rheumatoid arthritis. Pada kaki terdapat
tonjolan kaput metatarsal yang timbul sekunder dari subluksasi
metatarsal. Sendi-sendi yang besar juga dapat terserang dan
mengalami pengurangan kemampuan bergerak terutama dalam
melakukan gerakan ekstensi.
8) Kulit: Pada umumnya tidak akan tampak perubahan
9) Genetalia: Pada umumnya tidak akan tampak perubahan
e. Keadaan lingkungan
f. Data Subjektif:
1) Mengatakan nyeri ketika bergerak atau beraktivitas
2) Mengatakan nyeri seperti tertekan
3) Mengatakan kekakuan pada pagi hari, biasanya bilateral dan
simetris
4) Mengatakan terasa kebas
5) Mengatakan kesemutan pada tangan maupun kaki
6) Mengatakan hilangnya sensasi pada jari tangan
7) Mengatakan demam ringan menetap
8) Mengatakan lelah, anoreksia, dan berat badan menurun
g. Data Objektif:
1) Tampak terdapat keterbatasan rentang gerak
2) Tampak atrofi otot
3) Tampak kesulitan untuk melakukan aktivitas perawatan pribadi
4) Tampak pembengkakan pada sendi (rheumatoid nodule)
5) Tampak kemerahan pada sendi
6) Tampak perubahan ukuran pada sendi dari ukuran normal
7) Klien tampak anemik
8) Tampak adanya deformitas disertai pembengkakan

2. Diagnosa Keperawatan Asuhan Keperawatan Gerontik


a. Nyeri kronis berhubungan dengan kondisi muskoloskeletal kronis
b. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan integritas
struktur tulang, kekakuan sendi
c. Gangguan citra diri berhubungan dengan perubahan penampilan
tubuh, sendi, bengkok, dan deformitas
d. Defisit perawatan diri berhubungan dengan gangguan
muskuloskeleta (penurunan kekuatan sendi)
e. Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurangnya informasi
terkait penyakit
f. Resiko cedera berhubungan dengan penurunan kekuatan otot.
3. Intervensi Keperawatan Asuhan Keperawatan Gerontik
Dx Kep Tujun dan Kriteria Intervensi
Hasil
Nyeri kronis Setelah dilakukan a. Identifikasi lokasi,
berhubungan asuhan keperawatan karakteristik, durasi,
dengan kondisi 1x24 jam, diharapkan frekuensi, kualitas, dan
muskoloskeletal klien dapat intensitas nyeri
kronis mengidentifikasi dan b. Identifikasi skala nyeri
mengontrol nyeri c. Identifikasi respons
dengan kriteria hasil: nyeri non verbal
a. Mampu mengenali d. Identifikasi faktor
nyeri (skala, yang memperberat dan
intensitas, frekuensi memperingan nyeri
dan tanda nyeri). e. Identifikasi
b. Mampu mengontrol pemahaman tentang
nyeri dengan kondisi, situasi, dan
menggunakan tehnik perasaannya.
non farmakologi f. Monitor keberhasilan
untuk mengurangi terapi komplementer
nyeri yang sudah diberikan
c. Melaporkan bahwa g. Monitor efek samping
nyeri berkurang penggunaan analgetik
dengan h. Berikan teknik non
menggunakan farmakologis untuk
manajemen nyeri. mengurangi nyeri
d. Menyatakan rasa (akupresur, terapi
nyaman setelah musik, terapi pijat,
nyeri berkurang. aromaterapi, kompres
hangat/dingin)
i. Kontrol lingkungan
yang memperberat
rasa nyeri (mis. suhu
ruangan, kebisingan)
j. Fasilitasi istirahat dan
tidur
k. Ajarkan teknik
nonfarmakologis untuk
mengurangi nyeri
l. Kolaborasi pemberian
analgetik, jika perlu
Gangguan Setelah dilakukan a. Identifikasi adanya
mobilitas fisik asuhan keperawatan nyeri atau keluhan
berhubungan selama 1x24 jam, fisik lainnya
dengan kerusakan diharapkan klien dapat b. Identifikasi toleransi
integritas struktur meningkatkan fisik melakukan
tulang, kekakuan mobilitas, dengan pergerakan
sendi kriteria hasil: c. Monitor kondisi umum
a. Klien meningkat selama melakukan
dalam aktivitas fisik mobiliasai
b. Kekuatan otot d. Fasilitasi aktivitas
meningkat mobilisasi dengan alat
c. Rentang gerak bantu (mis. tongkat ,
(Range Of Motion) kruk)
meningkat e. Bantu klien untuk
d. Memperagakan menggunakan tongkat
penggunaan alat saat berjalan dan cegah
bantu untuk terhadap cedera
mobiliasi. f. Fasilitasi melakukan
mobilisasi fisik
g. Libatkan keluarga
untuk membantu
pasien dalam
meningkatkan
pergerakan
h. Ajarkan mobilisasi
sederhana yang harus
dilakukan (mis. duduk
di tempat tidur, duduk
di sisi tempat tidur,
pindah dari tempat
tidur ke kursi)
i. Latih klien dalam
pemenuhan kebutuhan
ADLs secara mandiri
sesuai kemampuan
j. Dampingi dan bantu
klien saat mobilisasi
dan bantu penuhi
kebutuhan ADLs
pasien
Gangguan citra Setelah dilakukan a. Identifikasi perubahan
diri berhubungan asuhan keperawatan citra tubuh yang
dengan perubahan selama 1x24 jam, mengakibatkan isolasi
penampilan diharapkan klien dapat sosial
tubuh, sendi, meningkatkan citra b. Monitor frekuensi
bengkok, dan tubuh, dengan kriteria mengkritik dirinya
deformitas hasil: c. Kaji secara verbal dan
a. Body image positif non verbal respon
b. Mampu klien terhadap
mengidentifikasi tubuhnya
kekuatan personal d. Dorong klien
c. Mendeskripsikan mengungkapkan
secara faktual perasaannya
perubahan fungsi e. Diskusikan kondisi
tubuh stres yang
d. Mempertahankan memengaruhi citra
interaksi sosial tubuh (mis. luka,
penyakit,
pembedahan)
f. Diskusikan persepsi
klien dan keluarga
tentang perubahan
citra tubuh
Defisit perawatan Setelah dilakukan a. Pantau tingkat
diri berhubungan asuhan keperawatan kekuatan dan toleransi
dengan gangguan selama 1x24 jam, aktivitas
muskuloskeletal diharapkan perawatan b. Pantau peningkatan
(penurunan diri dapat terjaga, dan penurunan
kekuatan sendi) dengan kriteri hasil: kemampuan untuk
a. Mampu melakukan berpakaian dan
tugas fisik yang melakukan perawatan
paling mendasar dan rambut
aktivitas perawatan c. Bantu pasien memilih
pribadi secara pakaian yang mudah
mandiri dengan atau dipakai dan dilepas
tanpa alat bantu d. Sediakan pasien
b. Mampu untuk pakaian yang mudah
mengenakan dijangkau
pakaian dan berhias e. Fasilitasi pasien untuk
secara mandiri atau menyisir rambut, bila
tanpa alat bantu memungkinkan
c. Mampu f. Dukung kemandirian
mempertahakan dalam berhias,
kebersihan pribadi berpakaian, bantu
dan penampilan pasien jika diperlukan
yang rapi secara g. Pertahankan privasi
mandiri dengan atau saat pasien berpakaian
tanpa alat bantu h. Bantu pasien untuk
d. Dapat memilih menaikkan,
pakaian dan mengancingkan, dan
mengambilnya dari meresleting pakaian
lemari atau laci baju
e. Mampu meresleting
dan mengancing
pakaian
f. Menggunakan
pakaian secara rapi
dan bersih
g. Menunjukkan
rambut yang rapi
dan bersih
Kurang Setelah dilakukan a. Berikan penilaian
pengetahuan asuhan keperawatan tentang tingkat
berhubungan 1x24 jam, diharapkan pengetahuan pasien
dengan kurangnya klien dapat mengetahui tentang proses
informasi terkait tentang penyakitnya, penyakit yang spesifik
penyakit dengan kriteria hasil: b. Jelaskan patofisiologi
a. Klien dan keluarga dari penyakit dan
menyatakan bagaimana hal ini
pemahaman tentang berhubungan dengan
penyakit, kondisi, anatomi dan fisiologi,
prognosis dan dengan cara yang tepat
program pengobatan c. Gambarkan tanda dan
b. Klien dan keluarga gejala yang bisa
mampu muncul pada penyakit,
melaksanakan dengan cara yang
prosedur yang di cepat
jelaskan secara d. Identifikasi
benar kemungkinan
c. Klien dan keluarga penyebab dengan cara
mampu menjelaskan yang tepat
kembali apa yang e. Sediakan informasi
dijelaskan pada pasien tentang
perawat/tim kondisi kondisi,
kesehatan lainnya. dengan cara yang tepat
f. Diskusikan perubahan
gaya hidup yang
mungkin diperlukan
untuk mencegah
komplikasi di masa
yang akan datang dan
atau proses
pengontrolan penyakit
g. Diskusikan pilihan
terapi atau penanganan
h. Instruksikan pasien
mengenai tanda dan
gejala untuk
melaporkan pada
pemberi perawatan
kesehatan, dengan cara
yang tepat.
Resiko cedera Setelah dilakukan a. Sediakan lingkungan
berhubungan asuhan keperawatan yang aman untuk
dengan penurunan selama 1x24 jam pasien
kekuatan otot. diharapkan resiko b. Identifikasi kebutuhan
cedera dapat teratasi keamanan pasien,
dengan kriteria hasil: sesuai dengan kondisi
a. Klien terbebas dari fisik dan kondisi
cidera kognitif pasien dan
b. Klien mampu riwayat penyakit
menjelaskan terdahulu
cara/metode untuk c. Menghindari
mencegah lingkungan yang
injuri/cidera berbahaya (misalnya
c. Klien mampu memindahkan
menjelaskan faktor perabotan)
resiko dari d. Memasang side rail
lingkungan tempat tidur
d. Mampu e. Menyediakan tempat
memodifikasi gaya tidur yang nyaman dan
hidup untuk bersih
mencegah injuri f. Menempatkan saklar
lampu ditempat yang
mudah dijangkau
pasien
g. Menganjurkan
keluarga untuk
menemani pasien
h. Mengontrol
lingkungan dari
kebisingan
i. Memindahkan barang
barang yang dapat
membahayakan

4. Implementasi Keperawatan Asuhan Keperawatan Gerontik


Proses implementasi/pelaksanaan merupakan langkah keempat yang
dilaksanakan sesuai dengan intervensi yang telah ditetapkan dalam
rencana tindakan keperawatan. Pada pelaksanaan rencana tindakan
terdapat jenis tindakan yaitu tindakan observasi, nursing treatment,
edukasi dan kolaborasi.

5. Evaluasi Keperawatan Asuhan Keperawatan Gerontik


Evaluasi merupakan langkah terakhir dari proses keperawatan
dengan cara melakukan identifikasi sejauh mana tujuan dari rencana
keperawatan tercapai atau tidak. Dalam melakukan evaluasi perawat
seharusnya memiliki pengetahuan dan kemampuan dalam memahami
respon terhadap intervensi keperawatan, kemampuan menggambarkan
kesimpulan tentang tujuan yang dicapai serta kemampuan dalam
menghubungkan tindakan keperawatan pada kriteria hasil. Pada tahap
evaluasi ini terdiri dari dua kegiatan yaitu kegiatan yang dilakukan
dengan mengevaluasi selama proses perawatan berlangsung atau menilai
dari respon klien disebut evaluasi proses, dan kegiatan melakukan
evaluasi dengan target tujuan yang diharapkan disebut sebagai evaluasi
hasil.
DAFTAR PUSTAKA

Adelia. (2011). Libas Rematik dan Nyeri Otot dari Hidup Anda. Yogyakarta:
Brilliant Books
Azizah, Lilik Ma’rifatul. (2011). Keperawatan Lanjut Usia Edisi 1.
Jogjakarta: Graha Ilmu
Buffer. (2010). Rheumatoid Arthritis. Jakarta: EGC
Maryam, R. S., dkk. (2008). Mengenal Usia Lanjut dan Perawatannya.
Jakarta: Salemba Medika
Nurarif, Amin Huda. (2015). Aplikasi Asuhan Keperawatan berdasarkan
Diagnosa Medis dan Nanda NIC NOC. Jogjakarta: Mediaction

Smith, J.B., Haynes, M. K. (2002). Rheumatoid arthritis: A molecular


understanding. Annals of Internal Medicine, 136:908-922
Suratun. (2008). Asuhan Keperawatan Klien Gangguan Sistem
Muskuloskeletal. Jakarta: EGC.
Tim Pokja SDKI DPP PPNI. (2016). Standar Diagnosa Keperawatan
Indonesia. Jakarta: DPP PPNI
Tim Pokja SDKI DPP PPNI. (2018). Standar Intervensi Keperawatan
Indonesia. Jakarta: DPP PPNI
Tim Pokja SDKI DPP PPNI. (2019). Standar Luaran Keperawatan
Indonesia. Jakarta: DPP PPNI
WOC Rheumatoid Arthritis

Antigen penyebab RA berada pada membran sinovial

Monosit & makrofag mengeluarkan IL-1

Aktivasi sel CD4+ Merangsang pembentukan


IL-3 dan IL 4
Sekresi IL-2

Terjadi mitosis & proliferasi sel

Aktivasi sel B

Terbentuk antibodi

Reaksi antibodi terhadap penyebab RA

Terbentuk kompleks imun di ruang sendi

Pengendapan kompleks imun

Reumatoid Artritis (RA)

Pelepasan mediator kimia bradikinin Inflamasi membran sinovial Kurangnya pemajanan/mengingat


Stimulus ujung saraf nyeri
Kurang pengetahuan
Penebalan membran sinovial Fagositosis kompleks imun
oleh sel radang
Menyentuh serabut C
Terbentuk tannus
Nyeri Kronis Pembentukan radikal oksigen bebas
Menghambat nutrisi pada Terbentuk nodul Depolimerasi hialorunat
kartilago
Deformitas sendi Veskositas cairan sendi ↓
Kerusakan kartilago Kartilago nekrosis Gangguan citra tubuh Pembentukan tulang terganggu
& tulang
Erosi kartilago
Pemendekan tulang
Tendon & ligamen
melemah Adhesi permukaan sendi
Kontraktur
Ankylosis fibrosa
Kekuatan otot ↓ Risiko cedera
Kekakuan pada sendi

Gangguan Mobilitas fisik Keterbatasan gerak

Defisit perawatan diri

Anda mungkin juga menyukai