Anda di halaman 1dari 9

TUGAS PENDIDIKAN ANTI KORUPSI

NAMA LENGKAP : SHENIITA TUTUARIMA

NIM : 148420220021

PRODI : PENDIDIKAN MATEMATIKA

SEMESTER : III (TIGA)

DOSEN : DWI PAMUNGKAS, M.Pd

Soal !
1. Menurut saudara, apa itu korupsi dan koruptor ?
2. Cari dan sebutkan 10 koruptor dengan jumlah tertinggi! Jelaskan Kasusnya !
3. Cari dan sebutkan 10 koruptor di tingkat provinsi! Jelaskan kasusnya !

Jawaban :

1. Menurut saya, korupsi adalah tindakan yang merugikan orang lain dengan mengambil apa
yang bukan miliknya demi mendapatkan keutungan sepihak atau untuk diri sendiri.
Sedangkan koruptor adalah orang yang melakukan korupsi atau yang melakukan tindakan
tersebut.

2. 10 koruptor dengan jumlah tertinggi :

1) Soeharto
Mantan Presiden Kedua Soeharto disebut-sebut telah melakukan tindak pidana
korupsi terbesar dalam sejarah dunia. Kekayaan negara yang diduga telah dicuri oleh
Soeharto berkisar antara 15 hingga 35 miliar dolar AS atau sekitar Rp 490 triliun.
2) Drs. Setya Novanto, Ak
Kasus pengadaan E-KTP, kasus ini telah bergulir sejak 2011 dengan total kerugian
negara mencapat Rp 2,3 triliun. Setidaknya ada sekitar 280 saksi yang telah diperiksa
KPK atas kasus ini dan hingga kini ada 8 orang yang telah ditetapkan sebagai tersangka.
3) Eddy Tansil
Eddy Tansil atau Tan Tjoe Hong atau Tan Tju Fuan (lahir 2 Februari 1953) adalah
seorang penjahat dan juga koruptor Indonesia yang melarikan diri dari penjara Lembaga
Pemasyarakatan Cipinang, Jakarta, pada tanggal 4 Mei 1996 saat tengah menjalani
hukuman 20 tahun penjara karena terbukti menggelapkan uang sebesar 565 juta dolar
Amerika (sekitar 1,5 triliun rupiah dengan kurs saat itu) yang didapatnya melalui kredit
Bank Bapindo melalui grup perusahaan Golden Key Group. Pengadilan Negeri Jakarta
Pusat menghukum Eddy Tansil 20 tahun penjara, denda Rp 30 juta, membayar uang
pengganti Rp 500 miliar, dan membayar kerugian negara Rp 1,3 triliun. Sekitar 20-an
petugas penjara Cipinang diperiksa atas dasar kecurigaan bahwa mereka membantu
Eddy Tansil untuk melarikan diri. Sebuah LSM pengawas anti-korupsi, Gempita,
memberitakan pada tahun 1999 bahwa Eddy Tansil ternyata tengah menjalankan bisnis
pabrik bir di bawah lisensi perusahaan bir Jerman, Becks Beer Company, di kota Pu
Tian, di provinsi Fujian, China. Pada tanggal 29 Oktober 2007, Tempo Interaktif
memberitakan bahwa Tim Pemburu Koruptor (TPK) - sebuah tim gabungan
dari Kejaksaan Agung, Departemen Hukum dan HAM, dan Polri, telah menyatakan
bahwa mereka akan segera memburu Eddy Tansil. Keputusan ini terutama didasari
adanya bukti dari PPATK (Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan) bahwa
buronan tersebut melakukan transfer uang ke Indonesia satu tahun sebelumnya.,Akhir
2013, Kejaksaan Agung mengungkapkan bahwa Eddy Tansil telah terlacak
keberadaannya di China sejak tahun 2011 dan permohonan ekstradisi telah diajukan
kepada pemerintah China
4) Mantan Menpora Andi Malarangeng
Kasus proyek pembangunan Pusat Pendidikan, Pelatihan, dan Sarana Olahraga
Nasional (P3SON) di Hambalang juga tercatat menjadi salah satu kasus korupsi besar
yang pernah ada. Nilai kerugiannya mencapai Rp 706 miliar.Pembangunan proyek
Hambalang ini direncanakan dibangun sejak masa Menteri Pemuda dan Olahraga Andi
Malarangeng dengan menghabiskan anggaran sebesar Rp 1,2 triliun. Proyek yang
ditargetkan rampung dalam waktu 3 tahun ini mangkrak hingga akhirnya aliran dana
korupsi terendus KPK. Aliran dana proyek ini masuk ke kantong beberapa pejabat. Di
antaranya Mantan Menpora Andi Malarangeng, Sekretaris Kemenpora Wafid
Muharram, Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum, Direktur Utama PT
Dutasari Citra Laras Mahfud Suroso, Anggota DPR Angelina Sondakh.
5) Gayus Tambunan
Gayus Halomoan Partahanan Tambunan atau biasa disebut Gayus Tambunan (lahir 9
Mei 1979) adalah mantan pegawai negeri sipil pada Direktorat Jenderal
Pajak Kementerian Keuangan Indonesia. Ia dikenal ketika Komjen (Pol) Susno Duadji
menyebutkan bahwa Gayus menyimpan uang 25 miliar rupiah di rekening banknya, plus
uang asing senilai Rp 60 miliar dan perhiasan senilai Rp 14 miliar di brankas bank atas
nama istrinya yang kesemuanya dicurigai sebagai harta haram. Dalam perkembangan
selanjutnya, Gayus sempat melarikan diri ke Singapura beserta anak istrinya sebelum
dijemput kembali oleh Satgas Mafia Hukum di Singapura. Kasus Gayus mencoreng
proses reformasi perpajakan di Kementerian Keuangan Republik Indonesia yang saat itu
gencar digulirkan Sri Mulyani dan sekaligus menghancurkan citra aparat perpajakan
Indonesia.
6) Drs. H. Zulkarnaen Djabar
Drs. H. Zulkarnaen Djabar  (lahir 19 September 1953) adalah seorang
politisi Indonesia dari Partai Golkar. Pada tahun 2012 ia tersandung kasus korupsi
proyek pengadaan Al Quran di Kementerian Agama Republik Indonesia senilai Rp 35
miliar sehingga ia ditahan oleh KPK.
7) Fayakhun Andriadi
KPK menetapkan anggota Komisi Pertahanan DPR Fayakhun Andriadi menjadi
tersangka kasus suap terkait proyek pengadaan drone dan satelit  monitoring di Badan
Keamanan Laut (Bakamla) pada 14 Februari 2018. KPK menyangka politikus Golkar
itu menerima suap senilai Rp 12 miliar untuk mengawal anggaran proyek tersebut di
DPR. Penetapan Fayakhun sebagai tersangka adalah hasil pengembangan operasi
tangkap tangan yang dilakukan KPK pada 2016. Saat itu KPK menangkap Direktur
Utama PT Melati Technofo Indonesia Fahmi Darmawansyah dan dua anak buahnya,
Muhammad Adami Okta dan Hardy Stefanus. KPK juga menangkap Deputi Bidang
Informasi Hukum dan Kerja Sama Bakamla Eko Susilo Hadi dan Kepala Biro
Perencanaan dan Organisasi Bakamla Nofel Hasan. Dalam persidangan Nofel Hasan,
jejak peran Fayakhun dalam perkara ini mulai terungkap. Fahmi Darmawansyah,
Managing Director PT Rohde and Schwarz Indonesia Erwin S. Arif dan staf Managing
Director PT Rohde and Schwarz Indonesia Sigit Susanto mengungkap peran dan aliran
dana ke Fayakhun. Dari fakta persidangan dan sejumlah bukti itulah KPK kemudian
menetapkan Fayakhun menjadi tersangka keenam kasus ini. Majelis hakim pada
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta telah menyatakan Fayakhun terbukti
menerima suap sebanyak USD 911 ribu dari Fahmi Darmawansyah. Hakim memvonis
Ketua DPD Golkar DKI Jakarta itu 8 tahun penjara dan denda Rp 1 miliar subsider 4
bulan kurungan.
8) Dr. Edhy Prabowo, S.E., M.M., M.B.A. 
Kasus Dugaan Suap Ekspor Benih Lobster mantan Menteri Kelautan dan Perikanan
(KKP), Edhy Prabowo ditangkap KPK. Dia ditangkap Komisi Pemberantas Korupsi
(KPK) bersama istri dan beberapa orang lainnya di Bandara Soekarno-Hatta sepulang
dari Amerika Serikat. Kasus yang menjeratnya terkait ekspor benih lobster atau benur.
KPK menetapkan Edhy Prabowo sebagai tersangka pada 26 November 2020. Selain
Edhy, KPK juga menetapkan enam tersangka lainnya yang juga terseret dalam kasus
ekspor benih lobster atau benur. KPK menduga, Edhy Prabowo menerima suap dengan
total Rp10,2 miliar dan 100.000 dolar AS dari Suharjito. Suap tersebut diberikan agar
Edhy selaku Menteri Kelautan dan Perikanan memberikan izin kepada PT Dua Putra
Perkasa Pratama untuk menerima izin sebagai eksportir benih lobster atau benur.
9) Juliari Batubara
Pada 6 Desember 2020 lalu, KPK menetapkan Menteri Sosial (Mensos) Juliari
Batubara sebagai tersangka kasus dugaan suap bantuan sosial Covid-19. KPK menduga
Juliari menerima uang Rp 8,2 miliar. Dari Operasi Tangkap Tangan (OTT) pada Sabtu, 5
Desember di beberapa tempat di Jakarta, petugas KPK mengamankan barang bukti uang
dengan jumlah sekitar Rp14,5 miliar dalam berbagai pecahan mata uang yaitu sekitar
Rp11, 9 miliar, sekitar 171,085 dolar AS (setara Rp2,420 miliar) dan sekitar 23.000
dolar Singapura (setara Rp243 juta).
10) Jaksa Pinangki Sirna Malasari
Jaksa Pinangki Sirna Malasari adalah tersangka dalam kasus penyuapan uang 500.000
dolar AS, sekitar Rp7,3 miliar dari buronan Bank Bali Joko Soegiarto Tjandra alias
Djoko Tjandra. Jaksa Pinangki yang berusaha memulangkan Djoko Tjandra tanpa harus
dipidana menjalani sidang perdananya pada Rabu 23 September 2020 di Ruang Sidang
Kusumahatmaja, Gedung Pengadilan Tipikor Jakarta. Di sana, terbongkar 'action plan'
yang ditawarkan pada tersangka kasus Bank Bali itu. Pada periode Juli 2020, beredar
foto pertemuan antara jaksa dengan Djoko Tjandra. Jaksa tersebut diduga adalah
Pinangki yang pada saat itu diketahui menjabat sebagai Kepala Sub Bagian Pemantauan
dan Evaluasi II pada Biro Perencanaan Jaksa Agung Muda Pembinaan. Atas kasus
ini, Jaksa Pinangki resmi dijatuhi sanksi disiplin dibebastugaskan dari jabatan struktural,
karena terbukti melanggar disiplin dan kode etik perilaku jaksa. Pada tanggal 29 Juli
2020, Pinangki Sirna Malasari akhirnya dicopot dari jabatan sebagai Kepala Subbagian
Pemantauan dan Evaluasi II pada Biro Perencanaan Jaksa Agung Muda Pembinaan.

3. 10 koruptor di tingkat provinsi :

(1) Alex Noerdin ( Gubernur Sumatra Selatan, Tahun 2008-2018 )

Kejaksaan Agung menetapkan Alex Noerdin sebagai tersangka dalam dua kasus


korupsi yang berbeda. Pada tanggal 16 September 2021, ia ditetapkan menjadi
tersangka kasus pembelian gas bumi oleh Perusahaan Daerah Pertambangan dan Energi
Sumatra Selatan 2010–2019. Kerugian negara dari kasus ini adalah sekitar 30 juta Dolar
Amerika Serikat serta tidak dibayarkannya setoran modal sebesar 63.750 Dolar
Amerika Serikat. Seminggu kemudian pada tanggal 22 September 2021, Alex Noerdin
kembali dijadikan tersangka kasus korupsi, yaitu kasus hibah pembangunan Masjid
Sriwijaya. Kerugian negara dari kasus ini adalah sekitar Rp 130 miliar. Penetapan Alex
Noerdin sebagai tersangka dua kasus korupsi terjadi ketika ia menjabat sebagai
anggota DPR masa jabatan 2019–2024.

(2) Syamsul Arifin (Gubernur Sumatra Utara, Tahun 2008-2011)

Syamsul diberhentikan dari jabatan Gubernur Sumatra Utara oleh Presiden Susilo


Bambang Yudhoyono. Pemberhentian dilakukan menyusul keluarnya
putusan Mahkamah Agung terkait kasus hukum Syamsul. Pemberhentian itu tertuang
dalam Keputusan Presiden (Keppres) No 95 /P tahun 2012 tanggal 12 Oktober 2012
tentang Pemberhentian Syamsul Arifin sebagai Gubernur Sumatra Utara Masa Jabatan
Tahun 2008–2013. Sedangkan pertimbangan hukum yang dijadikan landasan, yakni
tindak lanjut Putusan Mahkamah Agung No 472 /K/Pid.Sus/2012 tanggal 3 Mei 2012
yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap atas tindak pidana korupsi. Ia divonis
bersalah dalam kasus korupsi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
(APBD) Kabupaten Langkat yang merugikan negara senilai Rp 98,7 miliar dalam
penggunaan APBD 2000-2007. MA memvonisnya dengan hukuman enam tahun
penjara

(3) Ratu Atut Chosiyah ( Gubnernur Banten, Tahun 2007 – 2014 )

Mantan Gubernur Banten, Ratu Atut Chosiyah, ditetapkan sebagai tersangka dalam
dua perkara sekaligus. Keduanya yaitu kasus dugaan korupsi pengadaan alat kesehatan
kedokteran umum di puskesmas Kota Tangerang Selatan, Banten tahun anggaran 2012
dan kasus suap sengketa Pilkada Lebak. Pada kasus Pilkada Lebak, adik Atut, Chaeri
Wardana (TCW) alias Wawan, telah ditetapkan sebagai tersangka terlebih dulu. Wawan
adalah suami dari mantan Wali Kota Tangsel, Airin Rachmi Diany. Wawan juga
menjadi tersangka dalam kasus korupsi pengadaan alkes di Tangerang Selatan.
Penangkapan Ratu Atut Chosiyah oleh KPK juga menguak dinasti politik di provinsi
tersebut. Tak hanya itu, Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Akil Mochtar juga terseret
dalam kasus ini karena Wawan juga ditangkap dalam kasus penyuapan. Dalam kasus
korupsi pengadaan alat kesehatan, Atut Chosiyah divonis 5,5 tahun penjara oleh majelis
hakim pada Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis (20/7/2017). Atut juga diwajibkan
membayar denda Rp 250 juta subsider 3 bulan kurungan. Atut terbukti merugikan
negara sebesar Rp 79,7 miliar dalam pengadaan alat kesehatan di Provinsi Banten.
Sementara pada kasus suap terhadap Akil Mochtar, Atut dijatuhi hukuman tujuh tahun
penjara pada tingkat kasasi. Hukuman itu lebih berat dari vonis di pengadilan tingkat
pertama yakni 4 tahun penjara dan denda Rp 200 juta subsider 5 bulan kurungan. Atut
dinyatakan bersalah memberikan uang Rp 1 miliar kepada Ketua MK Akil Mochtar
melalui advokat Susi Tur Andayani. Uang itu diberikan untuk memenangkan gugatan
yang diajukan pasangan Amir Hamzah dan Kasmin dalam sengketa Pilkada Lebak
tahun 2013. Pada Januari 2021, Ratu Atut juga mengajukan peninjauan kembali (PK)
dalam kasus suap terhadap Akil Mochtar.

(4) Zumi Zola ( Gubernur Jambi, Tahun 2016 – 2021 )


Pada 2018, Zumi Zola Zulkifli yang saat itu menjabat sebagai Gubernur Jambi
ditetapkan KPK sebagai tersangka kasus penerimaan suap sejumlah proyek di
provinsinya. Selain itu, Zumi Zola juga didakwa memberi sesuatu kepada
penyelenggara negara dengan tujuan mendapat pengesahan RAPBD Provinsi Jambi
Tahun Anggaran 2017 dan 2018. Atas kasusnya, mantan artis tersebut dihukum 6 tahun
penjara oleh majelis hakim pada Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta. Zumi Zola
juga dihukum membayar denda Rp 500 juta subsider 3 bulan kurungan. Hakim juga
mencabut hak politik Zumi selama 5 tahun setelah selesai menjalani pidana pokok.
Menurut majelis hakim, Zumi menerima gratifikasi sebesar lebih dari Rp 40 miliar serta
177.000 dolar AS dan 100.000 dollar Singapura. Selain itu, Zumi menerima 1 unit
Toyota Alphard dari kontraktor.Menurut majelis hakim, Zumi tidak pernah melaporkan
semua grarifikasi yang diterima sampai 30 hari sejak diterima kepada KPK. Zumi
terbukti menggunakan hasil gratifikasi itu untuk membiayai keperluan pribadi dia dan
keluarganya. Dalam kasus ini, Zumi juga terbukti menyuap 53 anggota DPRD Provinsi
Jambi serta menyuap para anggota Dewan senilai total Rp 16,34 miliar. Suap tersebut
diberikan agar pimpinan dan anggota DPRD Provinsi Jambi menyetujui Rancangan
Peraturan Daerah Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Provinsi Jambi Tahun
Anggaran 2017 (RAPERDA APBD TA 2017) menjadi Peraturan Daerah APBD TA
2017.

(5) Agusrin M Najamudin, S.T ( Gubernur Bengkulu, Pada tahun 2005-2010 )

Mantan Gubernur Bengkulu, Agusrin M Najamudin diputus 4 tahun penjara oleh


Mahkamah Agung (MA). Dia dinyatakan terbukti korupsi dengan kerugian uang negara
Rp 20,16 Mililar. Putusan MA ini lebih ringan 6 bulan dari tuntutan jaksa yang
menuntut 4,5 tahun penjara. Selain itu, MA juga menjatuhkan denda Rp 200 juta.
Putusan MA ini membalik putusan Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat (Jakpus). Saat
itu, majelis hakim PN Jakpus yang diketuai oleh Syarifuddin membebaskan Agusrin.
Agusrin dinyatakan sebagai terdakwa dalam kasus dugaan korupsi penyaluran dan
penggunaan dana bagi hasil BB dan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan
(BPHTB) Provinsi Bengkulu tahun 2006.

(6)Dr. Ir. H. Abdullah Puteh, M.Si (Gubernur Aceh, Tahun 2000-2004 )


Pada tanggal 7 Desember 2004, Ia dijebloskan ke Rutan Salemba, Jakarta karena
dituduh melakukan korupsi dalam pembelian 2 buah helikopter PLC Rostov jenis MI-2
senilai Rp 12,5 miliar.Pada 11 April 2005, Puteh divonis hukuman penjara 10 tahun
oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Saat vonis hakim dibacakan, Puteh berada
di rumah sakit karena baru selesai dioperasi prostatnya. Segera setelah putusan tersebut
dikeluarkan, Departemen Dalam Negeri memberhentikan Puteh sebagai Gubernur.
Sebelumnya Puteh hanya dinonaktifkan. Pada tanggal 18 November 2009, Puteh secara
resmi bebas bersyarat dari Lapas Sukamiskin, Bandung, Jawa Barat.

(7) Drs. H. Ismeth Abdullah ( Gubernur Kepulauan Riau, Tahun 2006-2010 )

Gubernur Kepulauan Riau Ismeth Abdullah divonis dua tahun penjara dan denda Rp
100 juta. Majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi menyatakan terdakwa
Ismeth terbukti merugikan negara Rp 5,4 miliar dalam kasus proyek pengadaan mobil
kebakaran di daerahnya pada 2004-2005.

(8) Ridwan Mukti ( Gubernur Bengkulu, Tahun 2016-2017 )

Dalam OTT, KPK juga menyita uang Rp 1 miliar yang diduga merupakan suap
untuk Ridwan Mukti.Uang suap tersebut merupakan bagian dari total komitmen fee
suap senilai Rp 4,7 miliar untuk Ridwan Mukti terkait proyek pembangunan jalan di
Bengkulu. Uang Rp 1 miliar tersebut merupakan pemberian dari Direktur PT Statika
Mitra Sarana (PT SMS) Jhoni Wijaya. PT SMS merupakan pemenang dua proyek,
yakni peningkatan jalan TES-Muara Aman dan proyek peningkatan jalan Curug Air
Dingin Kabupaten Rejang Lebong. Atas kasus ini, Ridwan Mukti dan Lili Maddari
divonis majelis hakim delapan tahun penjara dan denda Rp 400 juta pada 11 Januari
2018. Selain itu, keduanya juga dijatuhi hukuman tidak boleh mencalonkan diri sebagai
pejabat publik selama dua tahun setelah menjalani masa putusan. Putusan ini lebih
ringan dari tuntutan jaksa penuntut umum (JPU) 10 tahun penjara dan denda Rp 400
juta.Selanjutnya, uang Rp 1 miliar suap yang diberikan dari kontraktor kepada kedua
terdakwa diserahkan ke negara.

(9) Gatot Pujo Nugroho (Gubernur Sumatera Utara, Tahun 2009 - 2014 )

Pada 2017, Gatot Pujo Nugroho yang saat itu menjabat Gubernur Sumatera Utara,
menjadi tahanan KPK karena kasus korupsi dana hibah dan bantuan sosial (bansos)
2012 dan 2013 senilai Rp 4 miliar. Gatot terbukti memberikan hadiah kepada sejumlah
pejabat DPRD Sumatera Utara periode 2009-2014 dan 2014-2019, terkait dengan fungsi
dan kewenangannya. Hadiah itu diberikan untuk berbagai keperluan, di antaranya
mendapatkan persetujuan laporan pertanggungjawaban Pemerintah Sumatera Utara
tahun anggaran 2012 oleh DPRD Provinsi. Selain itu, untuk mengesahkan Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Provinsi Sumatera Utara tahun anggaran 2015
yang juga berkaitan dengan kewenangan DPRD Provinsi. Atas semua perbuatan
melanggar hukum yang diperbuat, Gatot Pujo divonis 6 tahun penjara dan denda sebesar
Rp 200 juta subsider 4 bulan kurungan.

(10) H. M. Rusli Zainal, S.E., M.P. (Gubernur Riau ke-11, Tahun 1999-2003)

Rusli Zainal ditetapkan sebagai tersangka kasus tindak pidana korupsi terkait
perubahan Perda No.6 tahun 2010 tentang penambahan anggaran pembangunan venue
untuk pelaksaanaan Pekan Olahraga Nasional ke-18 di Pekanbaru, Riau. Rusli Zainal
diduga menerima suap dan diduga kuat serta memberikan persetujuan dalam pemberian
suap terhadap sejumlah anggota DPRD Provinsi Riau. Rusli disebutkan menerima Rp
500 juta di rumah dinasnya.

Anda mungkin juga menyukai