Anda di halaman 1dari 13

1.

APLIKASI GHARAR DALAM MUAMALAT KONTEMPORER, JELASKAN CONTOH


KASUS SERTA DALILNYA

Gharar adalah semua akad yang mengandung ketidakjelasan atau keraguan tentang
adanya komoditi yang menjadi objek akad, ketida- kjelasan akibat, dan bahaya yang mengancam
antara untung dan rugi; pertaruhan, atau perjudian dan transaksi gharar ini merupakan salah satu
praktek yang dilarang dalam Islam sesuai dengan kaidah-kaidah dasar muamalah yaitu bebas dari
riba, gharar, kezhaliman dan maysir/ judi.

Gharar dalam mualamat Kontemporer

Gharar dewasa ini sering terjadi dikalangan ummat Islam terutama dalam muamalat
kontemporer sesuai dengan lajunya perkembangan zaman, maka begitupula laju perkembangan
mualamat kontemporer yang belum begitu disentuh oleh fuqaha klasik, maka perlu diadakan
penkajian ulang agar terhindar dari transaksi gharar. Penulis di sini hanya memperkenal tiga
akad sebagai sampel penulisan di jurnal Syariah yaitu: Multi level Marketing (MLM), Asuransi
dan Undian Berhadiah.

A. Multi Level Marketing (MLM)


Multi Level Marketing (MLM) adalah sistem penjualan yang memanfaatkan
sebagai tenaga penyalur secara langsung. Sistem penjualan ini menggunakan beberapa
level (tingkatan) di dalam pemasaran barang dagangannya. Unsur gharar di dalam
beberapa MLM, karena anggota yang sudah membeli produk tadi, mengharap
keuntungan yang lebih banyak dari bonus. Tetapi dia sendiri tidak mengetahui apakah
berhasil mendapatkan keuntungan tersebut atau malah merugi. Di antara bonus yang
dijanjikan kepada anggota adalah bonus atas penjualan (atau lebih tepatnya belanja)
downline. Dengan syarat menutup point (dengan berbelanja senilai bilangan tertentu;
100.000 rupiah, misalnya), anggota akan mendapatkan bonus sekian persen dari belanja
seluruh downline-nya. Belanja seluruh downline sejumlah bilangan tertentu adalah
asumsi alias belum tentu mereka berbelanja, sehingga bonus yang dijanjikan sekian
persen adalah sesuatu yang belum pasti.
Nabi Muhammad shallallaahu ‘alaihi wasallam sendiri melarang setiap transaksi
yang mengandung gharar, sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Hurairah radhiyallahu
‘anhu bahwasanya beliau berkata :

“Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam melarang jual beli dengan cara al-hashah
(yaitu: jual beli dengan melempar kerikil) dan cara lain yang mengandung unsur gharar
(spekulatif)” (HR. Muslim, no: 2783).
Melihat analisis di atas maka sekalipun produk yang diperjual- belikan adalah
halal, akan tetapi akad yang terjadi dalam bisnis MLM adalah akad yang melanggar
ketentuan syara’ baik dari sisi shafqatain fi shafqah (dua akad dalam satu transaksi/ akad
ganda) atau samsarah ‘ala samsarah (pemakelaran atas pemakelaran); pada kondisi lain
tidak memenuhi ketentuan akad, karena yang ada adalah akad terhadap jaminan
mendapat diskon dan bonus (point) dari pembelian langsung; maka MLM yang demikian
hukumnya adalah haram. Namun, jika ada MLM yang produknya halal, dan dijalankan
sesuai dengan syariat Islam; tidak melanggar shafqatayn fi shafqah (dua akad dalam satu
transaksi) atau samsarah ‘ala samsarah (pemakelaran atas pemakelaran) dan tidak ada
unsur gharar. Serta ketentuan hukum syara’ yang lain, maka tentu diperbolehkan.

B. Asuransi
Asuransi dalam bahasa Arab istilah dengan kata at-ta’min, yang secara bahasa
berarti tuma’ninatun nafsi wa zawalul khauf, tenangnya jiwa dan hilangnya rasanya takut.
Maksudnya, orang yang ikut dalam kegiatan asuransi, jiwanya akan tenang dan tidak ada
rasa takut ataupun was-was dalam menjalani kehidupan, karena ada pihak yang
memberikan jaminan atau pertanggungan.
Asuransi mengandung ketidakjelasan dan ketida kpastian (Jahalat wa al gharar),
kerena tertanggung diwajibkan membayar sejumlah premi yang telah ditentukan,
sedangkan berapa jumlah yang akan dibayarkan tidak jelas. Lebih dari itu belum ada
kepastian apakah jumlah tertentu itu akan diberikan kepada tertanggung atau tidak. Hal
ini sangat tergantung pada peristiwa yang telah disepakati dan ditentukan. Mungkin ia
akan memperoleh seluruhnya, tetapi mungkin juga tidak akan memperoleh sama sekali.
Secara syariah dalam akad pertukaran harus jelas berapa yang dibayarkan dan berapa
yang diterima.
Keadaan ini akan menjadi rancu (gharar) karena kita tahu berapa yang akan
diterima (sejumlah uang pertanggungan), tetapi tidak tahu berapa yang akan dibayarkan
(jumlah seluruh premi) karena hanya Allah yang tahu kapan seseorang akan meninggal.
Di sinilah gharar terjadi pada asuransi konvensional
Konsekuensi dari adanya gharar dalam suatu akad adalah tidak sahnya akad
tersebut secara hukum syariah, di samping itu, akad yang mengandung gharar merupakan
akad yang diharamkan untuk dilakukan. Dalam praktek asuransi, gharar terjadi
setidaknya dalam empat hal, dalam wujud, husul, miqdar dan ajal-nya.
1) Gharar dalam wujud
Yaitu ketidakjelasan ada atau tidaknya “klaim/ pertanggungan” atau manfaat yang
akan diperoleh nasabah dari perusahaan asuransi. Karena keberadaan klaim/
pertanggungan tersebut terkait dengan ada tidaknya resiko. Jika resiko terjadi, klaim
didapatkan, dan jika resiko tidak terjadi maka klaim tidak akan didapatkan. Hal ini
seperti pada jual beli hewan dalam kandungan sebelum induknya mengandung.
Meskipun induk memiliki kemungkinan mengandung.

2) Gharar dalam husul (merealisasikan/ memperolehnya)


Yaitu ketidakjelasan dalam memperoleh klaim/ pertanggungan, kendatipun
wujudnya atau keberadaan klaim tersebut bisa diperkirakan, namun dalam
mendapatkannnya terdapat ketidakjelasan. Seperti seorang peserta, ia tidak
mengetahui apakah bisa mendapatkan klaim atau tidak, karena bisa tidaknya
mendapatkan klaim tergantung dari resiko yang menimpanya. Hal ini seperti yang
terdapat dalam jual beli ikan di laut. Wujudnya ada, namun memperolehnya belum
tentu bisa.

3) Gharar dalam miqdar (Jumlah Pembayaran)


Yaitu ketidak jelasan dari jumlah, baik jumlah premi yang dibayar oleh nasabah,
maupun jumlah klaim yang dibayarkan oleh perusahaan asuransi. Misalnya dalam
asuransi jiwa, bisa jadi seseorang membayar 12 kali, namun tidak klaim sama sekali.
Dan bisa juga seseorang baru bayar premi satu kali namun mendapatkan klaim 50
juta. Demikian juga perusahaan bagi asuransi, dimana ia tidak tahu seberapa besar
seroang nasabah membayar premi dan seberapa lama ia akan menerima klaim.

4) Gharar dalam ajal (waktu)


Yaitu ketidakjelasan seberapa lama nasabah membayar premi. Karena bisa jadi
seorang nasabah baru membayar satu kali kemudian mendapatkan klaim, bisa juga
terjadi seorang nasabah belasan kali membayar premi namun tidak memperoleh
apapun dari pembayarannya tersebut. Bahkan dalam asuransi jiwa (kematian), klaim
sangat tergantung dengan bajal. Dan ajal hanya Allah SWT saja yang Mengetahuinya.
Lalu pertanyaannya, bagaimana dengan Asuransi Syariah? Memberikan status
hukum terhadap asuransi konvensional ini, para ulama fiqh kontemporer berbeda-
beda. Mereka terbagi menjadi empat kelompok
Kelompok pertama mengharamkan asuransi, kedua menghalalkan asuransi tanpa
ada terkecauli, ketiga mengharamkan asuransi yang bersifat komersial atau bisnis
semata-mata dan membolehkan asuransi yang bersifat sosial. Adapun keempat
mengganggap asuransi hukumnya subhat, sebab tidak ada dalil yang tegas melarang
atau membolehkannya.

C. Undian Berhadiah
Undian dalam bahasa Arab disebut Qur’ah, hal ini sering dilakukan oleh
Rasulullah saw., biyasanya dilakukan bila harus memutuskan siapa yang berhak atas
suatu hal namun tidak dasar yang mengharuskan nabi memilih salah satu diantara
mereka. Kata lain dari undian adalah Lottere yang berasal dari bahasa Belanda Lotterij,
artinya undian berhadiah.
Undian berhadiah atau lottere lebih dekat dengan judi atau maisir.Maisir adalah
permainan yang mengandung unsur taruhan, dilakukan oleh dua orang atau lebih secara
langsung atau berhadap- hadapan dalam suatu majlis. Menurut Ibrahim Hosen ada dua
hal yang harus diperhatikan yaitu taruhan dan berhadap-hadapan. Orang yang bertaruh
pasti menghadapi salah satu dari dua kemungkinan yaitu menang atau kalau, jadi sifatnya
untung-ungan, mengadu nasib.
Jenis undian di tinjau dari sudut manfaat dan mudharatnya, ulama mazhab
(Mazhab Hanafi, Maliki, Hambali dan Syafi’i) membagi undian atas dua bagian
a. Undian yang mengandung unsur mudha>rat atau kerusakan. Pada bagian ini terdapat
dua jenis undian, diantaranya:
1) Undian yang menimbulkan kerugian finansial pihak-pihka yang diundi. Dengan
kata lain, antara pihak-pihak yang diundi terdapat unsur-unsur untung rugi, yakni
jika disatu pihak ada yang mendapatkan keuntungan, maka dipihak lainnya ada
yang merugi dan bahkan menderita kerusakan mental. Biyasannya keuntungan
yang diraihnya jauh lebih kecil dari kerugian yang ditimbulkannya.
2) Undian yang hanya menimbulkan kerugian atau kerusakan bagi dirinya sendiri,
yaitu berupa kerusakan mental Manusia menguntungkan nasib, rencana, pilahn
dan aktivitaskan kepada para “pengundi nasib” atau “peramal” sehingga akal
fikirannya kurang berfungsi untuk menentukan pilihan dan sikapnya. Ini
berakibat mental pelakunya menjadi labil. Kurang percaya diri, dan berfikir tidak
realistik.41 b. Undian yang tidak mengandung atau menimbulkan mudha>rat dan
tidak mengakibatkan kerugian, baik bagi pihak-pihak pengundi maupun bagi
pihak pengundi itu sendiri. Para pelakunya hanya mendapatkan keuntungan dari
satu pihak dan pihak lain tidak mendapat apa-apa, akan tetapi tidak menderita
kerugian.

Yusuf Qardawi Beliau juga memandnag lottere adalah salah satu dari praktik judi,
dengan alasan sebagai berikut:
a. Lottere (undian berhadiah) mengandung unsur perjudian, sebagaimana dalam
kenyataannya orang yang bersangkutan (pembeli kupon), mengandalkan pada nasib
bukan pada usaha dan kerja keras yang sesuai dengan sunnatullah. Juga bukan pada
pekerjaan rumus sebab akibat seperti pada pertanian, perniagaan, industri dan lain-lain.
Yang penting menunggu turunya hadiah dari langit yang akan mengubah nasib dari
miskin ke kaya.
b. Praktek ini menonjolkan egoism dan menyampingkan semangat persaudaraan.
c. Merugikan banyak konsumen dan menguntungkan beberapa orang. Yang membeli
kupon ini jumlahnya ribuan, puluhan ribu bahkan jutaan, mereka semua itu rugi dan
yang beruntung hanya satu orang saja.
d. Mengajarkan orang untuk berlebihan. Kenyataannya para konsumen membeli terus
barang-barang yang sebenarnya tidak mereka butuhkan.

2. Hukum kontrak syariah


Dalam hukum kontrak syari’ah terdapat asas-asas perjanjian yang melandasi penegakan dan
pelaksanaannya. Asas-asas perjanjian tersebut diklasifikasikan menjadi asas-asas perjanjian yang
tidak berakibat hukum dan sifatnya umum dan asas-asas perjanjian yang berakibat hukum dan
sifatnya khusus.

Adapun asas-asas perjanjian yang tidak berakibat hukum dan sifatnya umum adalah:

A. Asas Ilahiah atau Asas Tauhid


Setiap tingkah laku dan perbuatan manusia tidak akan luput dari ketentuan Allah
SWT. Seperti yang disebutkan dalam QS.al-Hadid (57): 4 yang artinya ”Dia bersama
kamu di mana saja kamu berada. Dan Allah maha melihat apa yang kamu kerjakan”.
Kegiatan mu’amalah termasuk perbuatan perjanjian, tidak pernah akan lepas dari nilai-
nilai ketauhidan. Dengan demikian manusia memiliki tanggung jawab akan hal itu.
Tanggung jawab kepada masyarakat, tanggung jawab kepada pihak kedua,tanggung
jawab kepada diri sendiri, dan tanggung jawab kepada Allah SWT. Akibat dari penerapan
asas ini, manusia tidak akan berbuat sekehendak hatinya karena segala perbuatannya akan
mendapat balasan dari Allah SWT.
B. Asas Kebolehan (Mabda al-Ibahah)
Terdapat kaidah fiqhiyah yang artinya,”Pada asasnya segala sesuatu itu
dibolehkan sampai terdapat dalil yang melarang”. Kaidah fiqih tersebut bersumber pada
dua hadis berikut ini: Hadis riwayat al Bazar dan at-Thabrani yang artinya: “Apa-apa
yang dihalalkan Allah adalah halal, dan apa-apa yang diharamkan Allah adalah haram,
dan apa-apa yang didiamkan adalah dimaafkan. Maka terimalah dari Allah pemaaf-Nya.
Sungguh Allah itu tidak melupakan sesuatupun”.
C. Asas Keadilan (Al ‘Adalah)
Dalam QS. Al-Hadid (57): 25 disebutkan bahwa Allah berfirman yang artinya
”Sesungguhnya Kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti
yang nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka al-Kitab dan Neraca (keadilan)
supaya manusia dapat melaksanakan keadilan”. Selain itu disebutkan pula dalam QS.Al
A’raf (7): 29 yang artinya “Tuhanku menyuruh supaya berlaku adil”. Dalam asas ini para
pihak yang melakukan kontrak dituntut untuk berlaku benar dalam mengungkapkan
kehendak dan keadaan, memenuhi perjanjian yang telah mereka buat, dan memenuhi
semua kewajibannya.
D. Asas Persamaan Atau Kesetaraan
Hubungan mu’amalah dilakukan untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia.
Seringkali terjadi bahwa seseorang memiliki kelebihan dari yang lainnya. Oleh karena itu
sesama manusia masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan. Maka antara
manusia yang satu dengan yang lain, hendaknya saling melengkapi atas kekurangan yang
lain dari kelebihan yang dimilikinya. Dalam melakukan kontrak para pihak menentukan
hak dan kewajiban masing- masing didasarkan pada asas persamaan dan kesetaraan.
Tidak diperbolehkan terdapat kezaliman yang dilakukan dalam kontrak tersebut.
Sehingga tidak diperbolehkan membeda-bedakan manusia berdasar perbedaan warna
kulit, agama, adat dan ras. Dalam QS.al-Hujurat (49): 13 disebutkan yang artinya ”Hai
manusia sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang
perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu
saling mengenal”
E. Asas Kejujuran dan Kebenaran (Ash Shidiq)
Jika kejujuran ini tidak diterapkan dalam kontrak, maka akan merusak legalitas
kontrak dan menimbulkan perselisihan diantara para pihak. QS.al- Ahzab (33): 70
disebutkan yang artinya, ”Hai orang –orang yang beriman, bertaqwalah kamu kepada
Allah dan katakanlah perkataan yang benar”. Suatu perjanjian dapat dikatakan benar
apabila memiliki manfaat bagi para pihak yang melakukan perjanjian dan bagi
masyarakat dan lingkungannya.
F. Asas Tertulis (Al Kitabah)
Suatu perjanjian hendaknya dilakukan secara tertulis agar dapat dijadikan sebagai
alat bukti apabila di kemudian hari terjadi persengketaan. Dalam QS.al- Baqarah (2);
282- 283 dapat dipahami bahwa Allah SWT menganjurkan kepada manusia agar suatu
perjanjian dilakukan secara tertulis, dihadiri para saksi dan diberikan tanggung jawab
individu yang melakukan perjanjian dan yang menjadi saksi tersebut. Selain itu
dianjurkan pula jika suatu perjanjian dilaksanakan tidak secara tunai maka dapat
dipegang suatu benda sebagai jaminannya.
G. Asas Iktikad baik (Asas Kepercayaan)
Asas ini dapat disimpulkan dari pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata yang berbunyi,
”Perjanjian harus dilaksanakan dengan iktikad baik”. Asas ini mengandung pengertian
bahwa para pihak dalam suatu perjanjian harus melaksanakan substansi kontrak atau
prestasi berdasarkan kepercayaan atau keyakinan yang teguh serta kemauan baik dari
para pihak agar tercapai tujuan perjanjian.
H. Asas Kemanfaatan dan Kemaslahatan
Asas ini mengandung pengertian bahwa semua bentuk perjanjian yang dilakukan
harus mendatangkan kemanfaatan dan kemaslahatan baik bagi para pihak yang
mengikatkan diri dalam perjanjian maupun bagi masyarakat sekitar meskipun tidak
terdapat ketentuannya dalam al Qur’an dan Al Hadis Asas kemanfaatan dan
kemaslahatan ini sangat relevan dengan tujuan hukum Islam secara universal.
Sebagaimana para filosof Islam di masa lampau seperti al-Ghazali (w.505/1111) dan asy-
Syatibi (w 790/1388) merumuskan tujuan hukum Islam berdasarkan ayat-ayat al-Qur’an
dan al-Hadis sebagai mewujudkan kemaslahatan.
I. Asas Konsensualisme atau Asas Kerelaan (mabda’ ar- rada’iyyah)
Dalam QS. An-Nisa (4): 29 yang artinya: ”Hai orang-orang yang beriman,
janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan
jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di antara kamu”, dari ayat di atas
dapat dipahami bahwa segala transaksi yang dilakukan harus atas dasar suka sama suka
atau kerelaan antara masing-masing pihak tidak diperbolehkan ada tekanan, paksaan,
penipuan, dan mis-statement. Jika hal ini tidak dipenuhi maka transaksi tersebut
dilakukan dengan cara yang batil.39 Asas ini terdapat juga dalam hadis riwayat Ibn
Hibban dan al-Baihaqi yang artinya: ”Sesungguhnya jual beli berdasarkan perizinan
(rida)”.
J. Asas Kebebasan Berkontrak (mabda’ hurriyah at-ta’aqud)
Islam memberikan kebebasan kepada para pihak untuk melakukan suatu
perikatan. Bentuk dan isi perikatan tersebut ditentukan ditentukan oleh para pihak.
Apabila telah disepakati bentuk dan isinya, maka perikatan tersebut mengikat para pihak
yang menyepakatinya dan harus dilaksanakan segala hak dan kewajibannya.
K. Asas Perjanjian Itu Mengikat
Asas ini berasal dari hadis Nabi Muhammad saw yang artinya: “Orang- orang
muslim itu terikat kepada perjanjian-perjanjian (Klausul-klausul) mereka, kecuali
perjanjian (klausul) yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram” Dari
hadis di atas dapat dipahami bahwa setiap orang yang melakukan perjanjian terikat
kepada isi perjanjian yang telah disepakati bersama pihak lain dalam perjanjian. Sehingga
seluruh isi perjanjian adalah sebagai peraturan yang wajib dilakukan oleh para pihak yang
mengikatkan diri dalam perjanjian.
L. Asas Keseimbangan Prestasi
Yang dimaksudkan dengan asas ini adalah asas yang menghendaki kedua belah
pihak memenuhi dan melaksanakan perjanjian. Dalam hal ini dapat diberikan ilustrasi,
kreditur mempunyai kekuatan untuk menuntut prestasi dan jika diperlukan dapat
menuntut pelunasan prestasi melalui harta debitur, namun debitur memikul pula
kewajiban untuk melaksanakan perjanjian itu dengan iktikad baik.
M. Asas Kepastian Hukum (Asas Pacta Sunt Servanda)
Asas kepastian hukum ini disebut secara umum dalam kalimat terakhir QS. Bani
Israil (17): 15 yang artinya, ”….dan tidaklah Kami menjatuhkan hukuman kecuali setelah
Kami mengutus seorang Rasul untuk menjelaskan (aturan dan ancaman) hukuman
itu….”. Selanjutnya di dalam QS.al-Maidah (5): 95 dapat dipahami Allah mengampuni
apa yang terjadi di masa lalu. Dari kedua ayat tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa
asas kepastian hukum adalah tidak ada suatu perbuatanpun dapat dihukum kecuali atas
kekuatan ketentuan peraturan perundang-undangan yang ada dan berlaku untuk perbuatan
tersebut.

asas-asas perjanjian yang berakibat hukum dan sifatnya khusus :


1. . Asas Konsensualisme/Kerelaan (Mabda’ ar-Ridlo’iyyah) Dalam Al Quran Surat 4 An-
Nisa ayat 29: ‫ض ِم ْن ُك َْم َوَال تَ ْقتُلُوا‬ َ ‫ين آ َمنُوا ال تَأْ ُكلُوا أَ ْم َوالَ ُك َْم بَ ْينَ ُك َْم بِ ْالبَا ِطَ َِل إِال أَ ْنَ تَ ُك‬
َ ‫ون تِ َجا َرةَ ع َْنَ تَ َرا‬ َ ‫يَا أَيُّهَا الَّ ِذ‬
َ ‫” أَ ْنفُ َس ُك َْم إِ ََّن ال َََّل َك‬Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling
‫ان بِ ُك َْم َر ِحي ما‬
memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang
berlaku dengan suka sama suka di antara kamu”. • Transaksi harus berdasar suka sama
suka / kerelaan dari para pihak, dilarang ada tekanan, paksaan, penipuan, dan mis-
statement. Jika hal ini tidak dipenuhi maka transaksi tsb dilakukan dengan cara yg batil. •
Asas ini juga bersumber dari hadits riwayat Ibn Hibban & Baihaqi: ‫عن أبى سعيد الخدرى‬
‫ )رواه البيهقي وابن ماجه و‬.‫ إنما البيع عن تراض‬:‫رضي هللا عنه أن رسول هللا صلى هللا عليه و أله وسلم قال‬
‫" (صحصه ابن حبان‬Dari Abi Sa'id Al Khudlori bahwa Rasulullah s.a.w. bersabda:"
Sesungguhnya jual beli itu harus dilakukan suka sama suka." • Pasal 1320 ayat (1)
KUHPerdata: syarat sah perjanjian hrs ada kesepakatan para pihak. Asas konsensualisme
menyatakan bahwa perjanjian umumnya tidak diadakan secara formal, tetapi cukup
dengan kesepakatan kedua belah pihak, yang merupakan persesuaian antara kehendak
dan pernyataan yg dibuat 31 oleh para pihak.
2. 32. 2 6 / 0 1 / 1 4 3 6 10. Asas Kebebasan Berkontrak (Mabda’ Hurriyah at-ta’aqud) •
Islam memberikan kebebasan kepada para pihak untuk melakukan suatu perikatan.
Bentuk perikatan tsb ditentukan oleh para pihak. Bila telah disepakati bentuk dan isinya,
maka perikatan tsb mengikat para pihak & harus dilaksanakan hak dan kewajibannya. •
Hal ini tidak absolute. Sepanjang tidak bertentangan dengan syari’ah, maka perikatan
tersebut wajib dilaksanakan. • Menurut Faturrahman Djamil:“Syariah memberikan
kebebasan kepada setiap orang yang melakukan akad sesuai yang diinginkannya, tetapi
yang menentukan syarat sahnya adalah ajaran agama".[30] • Dalam Al Quran Surat 5 Al-
Maidah ayat 1 disebutkan: 32 ‫ين آ َمنُوا أَوْ فُوا بِ ْال ُعقُو َِد‬
َ ‫“ يَا أَيُّهَا الَّ ِذ‬Hai orang-orang yang beriman,
penuhilah perjanjian-perjanjian itu”
3. 33. 2 6 / 0 1 / 1 4 3 6 33 11. Asas Perjanjian Itu Mengikat • Asas ini berasal dari hadits
Nabi Muhammad saw riwayat At Turmudzi: ‫الصلح جائز بين المسلمين إال صلحا حرم حالال أو أحل‬
‫ و المسلمين على شروطهم إال شرطا حرم حالال أو أحل حراما )رواه الترمذى عن عمرو بن‬,‫حراما‬
‫“ (عوف‬Perdamaian dapat dilakukan di antara kaum muslimin, kecuali perdamaian yang
mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram; dan kaum muslimin terikat
dengan syarat-syarat mereka kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau
menghalalkan yang haram” (HR. Tirmidzi dari ‘Amr bin ‘Auf). • Dari hadits di atas dapat
dipahami bahwa setiap orang yang melakukan perjanjian terikat kepada isi perjanjian
yang telah disepakati bersama pihak lain dalam perjanjian. Sehingga seluruh isi
perjanjian adalah sebagai peraturan yang wajib dilakukan oleh para pihak yang
mengikatkan diri dalam perjanjian.
4. 34. 2 6 / 0 1 / 1 4 3 6 34 12. Asas Keseimbangan • Meskipun secara faktual jarang terjadi
keseimbangan antara para pihak dalam bertransaksi, namun hukum perjanjian Islam tetap
menekankan perlu keseimbangan tersebut, baik keseimbangan antara apa yang diberikan
dan apa yang diterima maupun keseimbangan dalam memikul risiko. • Asas
keseimbangan dalam transaksi tercermin pada dibatalkan suatu akad yang mengalami
ketidakseimbangan prestasi yang mencolok. • Asas keseimbangan dalam memikul risiko
tercermin dalam larangan terhadap transaksi riba, dalam konsep riba hanya debitur yang
memikul segala risiko atas kerugian usaha, sementara kreditor bebas sama sekali dan
harus mendapat prosentase tertentu sekalipun pada saat dananya mengalami kembalian
negative.
5. 35. 2 6 / 0 1 / 1 4 3 6 35 13. Asas Kepastian Hukum (AsasPacta Sunt Servanda ) Asas
kepastian hukum ini disebut secara umum dalam kalimat terakhir Al Quran Surat 17 Bani
Israil / Al Isro' ayat 15: ‫از َرةَ ِو ْز َر أُ ْخ َرى‬
ِ ‫ض َُّل َعلَ ْيهَا َوال تَ ِز َُر َو‬ َ َ‫َم َ ِن ا ْهتَدَى فَإِنَّ َما يَ ْهتَ ِدي لِنَ ْف ِس ِهَ َو َم ْن‬
ِ َ‫ض ََّل فَإِنَّ َما ي‬
َ ‫ين َحتَّى نَ ْب َع‬
‫ث َرسُوال‬ ¢َ ِ‫" َو َما ُكنَّا ُم َع ِِّذب‬Barang siapa yang berbuat sesuai dengan hidayah (Allah),
maka sesungguhnya dia berbuat itu untuk (keselamatan) dirinya sendiri; dan barang siapa
yang sesat maka sesungguhnya dia tersesat bagi (kerugian) dirinya sendiri. Dan seorang
yang berdosa tidak dapat memikul dosa orang lain, dan Kami tidak akan mengadzab
sebelum Kami mengutus seorang rasul". Al Quran Surat 5 al-Maidah ayat 95: ‫ين‬ َ ‫يَا أَيُّهَا الَّ ِذ‬
‫ِم يَحْ ُك َُم بِ ِهَ َذ َوا َع ْد َل ِم ْن ُك َْم هَ ْدي ا‬¢ََِ ‫ ا فَ َجزَ ا َء ِم ْث َُل َما قَتَ َل ِم َن النَّ َع‬¢‫ص ْي َد َوأَ ْنَتُ َْم ُح ُر َم َو َم ْنَ قَتَلَهَُ ِم ْن ُك َْم ُمتَ َع ِِّمد‬
َّ ‫آ َمنُوا ال تَ ْقتُلُوا ال‬
َُ‫ََََُُّل ِم ْنه‬¢ ‫ف َو َم ْنَ عَا َد فَيَ ْنَتَقِ َُم ال‬
َ َ‫ََََُُّل َع َّما َسل‬¢ ‫ق َوبَا َل أَ ْم ِر ِهَ َعفَا ال‬
َ ‫صيَا ما لِيَ ُذو‬
ِ ‫ك‬َ ِ‫َْو َع ْد َُل َذل‬¢َْ َ‫ين أ‬ َ ‫َْو َكفَّا َرةَ طَ َعا َُم َم َسا ِك‬¢َْ َ‫بَالِ َغ ْال َك ْعبَ ِةَ أ‬
‫َزي َز ُذو ا ْنتِقَا َم‬ ََُّ
ِ ‫ََُل ع‬¢ ‫َوال‬
6. 36. 2 6 / 0 1 / 1 4 3 6 "Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu membunuh
binatang buruan, ketika kamu sedang ihram. Barang siapa di antara kamu membunuhnya
dengan sengaja, maka dendanya ialah mengganti dengan binatang ternak seimbang
dengan buruan yang dibunuhnya, menurut putusan dua orang yang adil di antara kamu,
sebagai had-ya yang di bawa sampai ke Kakbah, atau (dendanya) membayar kafarat
dengan memberi makan orang-orang miskin, atau berpuasa seimbang dengan makanan
yang dikeluarkan itu, supaya dia merasakan akibat yang buruk dari perbuatannya. Allah
telah memaafkan apa yang telah lalu. Dan barang siapa yang kembali mengerjakannya,
niscaya Allah akan menyiksanya. Allah Maha Kuasa lagi mempunyai (kekuasaan untuk)
menyiksa". • Dari ayat ini dapat dipahami bahwa Allah swt. mengampuni apa yang
terjadi di masa lalu. Dari kedua ayat di atas, dapat disimpulkan bahwa asas kepastian
hukum merupakan tidak ada satu perbuatanpun dapat di hukum kecuali atas kekuatan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang ada dan berlaku untuk perbuatan tersebut.
• Asas kepastian hukum ini terkait dengan akibat perjanjian. Dalam hal ini hakim atau
pihak ketiga harus menghormati substansi kontrak yg dibuat oleh para pihak, seperti
sebuah undang-undang, mereka tidak boleh intervensi terhadap substansi kontrak yg
dibuat para pihak. • Asas Pacta Sunt Servanda termuat dlm Pasal 1338 ayat (1) KUH
Perdata:”Perjanjian yg dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang”. 36
7. 37. 2 6 / 0 1 / 1 4 3 6 14. Asas Kepribadian (Personalitas) • Asas kepribadian merupakan
asas yang menentukan bahwa seseorang yang akan melakukan dan atau membuat kontrak
hanya untuk kepentingan perseorangan. Hal ini dapat dipahami dari Pasal 1315 dan Pasal
1340 KUHPerdata. Pasal 1315 KUH Perdata menjelaskan: ”Pada umumnya seseorang
tidak dapat mengadakan perikatan atau perjanjian selain untuk dirinya sendiri”. • Pasal
1340 KUHPerdata disebutkan: ”Perjanjian hanya berlaku antara 37 para pihak yang
membuatnya”. • Namun ada pengecualian seperti diintrodusir dalam Pasal 1317 KUH
Perdata: ”Dapat pula perjanjian diadakan untuk kepentingan pihak ketiga, bila suatu
perjanjian yang dibuat untuk diri sendiri atau suatu pemberian kepada orang lain
mengandung suatu syarat semacam itu”. • Pasal ini mengkonstruksikan: seseorang dapat
mengadakan perjanjian untuk kepentingan pihak ketiga dengan suatu syarat yang
ditentukan. • Pasal 1318 KUHPerdata tidak hanya mengatur perjanjian untuk diri sendiri
tetapi juga untuk kepentingan ahli warisnya dan untuk orang-orang yang memperoleh hak
darinya. • Asas kepribadian dalam perjanjian dikecualikan bila perjanjian tersebut
dilakukan seseorang untuk orang lain yang memberikan kuasa bertindak hukum untuk
dirinya atau orang tersebut berwenang atasnya.

Anda mungkin juga menyukai