Nafajri N
Nafajri N
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Islam adalah agama yang dibawa oleh seluruh Nabi dan Rasul, mulai dari Nabi Adam
hingga Nabi Muhammad SAW. Islam juga merupakan agama yang Allah ridhai dan yang
menjadi beban dan amanat yang para Nabi dan Rasul harus sampaikan pada ummatnya.
Sudah tentu Islam adalah agama yang syumuliah (mencakup segala aspek kehidupan ini).
Sebagaimana Nabi Muhammad SAW. diutus untuk memperbaiki akhlak umat, maka
Islam mengajarkan hal-hal yang berkaitan dengan akhlak manusia. Salah satu yang termasuk
adalah akhlak tasawuf yaitu merupakan disiplin ilmu murni dalam islam. Akhlak dan
Tasawuf mempunyai hubungan yang sangat erat yang didalamnya dibahas beberapa
maqamat dan ahwal untuk mencapai makrifat. Diantaranya al-Fana, al-Baqa, Ittihad, dan al-
Hulul.
Maka dalam makalah ini kami akan membahas tentang al-Fana, al-Baqa, Ittihad, dan
al-Hulul agar pembaca mengetahu konsep akhlak tasawuf.
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Penelitian
PEMBAHASAN
A. Pengertian
1. Al-Fana
Dari segi bahasa al-Fana berarti binasa. al-Fana berbeda dari al-Fasad (rusak).
Al-Fana artinya tidak nampaknya sesuatu,sedangkan Fasad atau rusak adalah
berubahnya sesuatu menjadi sesuatu yang lain.1 Menurut ahli sufi, arti Fana adalah
hilangnya kesadaran pribadi dengan dirinya sendiri atau dengan sesuatu yang
lazimnya digunakan pada diri. Fana juga berarti bergantinya sifat-sifat kemanusiaan
dengan sifat-sifat ketuhanan dan dapat pula berarti hilangnya sifat-sifat tercela.
Mustafa Zahri mengatakan bahwa yang dimaksud fana adalah lenyapnya
inderawi atau kebasyariahan, yakni sifat sebagaimana biasa yang suka pada syahwat
dan hawa nafsu. Orang yang telah diliputi hakikat ketuhanan, sehingga tiada lagi
melihat alam baharu, alam rupa dan alam wujud ini, maka ia akan dikatakan fana dari
alam cipta atau dari alam makhluk. Selain itu Fana juga dapat berarti hilangnya sifat-
sifat buruk lahir batin.
2. al-Baqa
Sebagai akibat dari Fana adalah Baqa, secara hafriah Baqa’ berarti kekal
sedangkan dalam pandangan kaum sufi, Baqa’ adalah kekalnya sifat-sifat terpuji dan
sifat-sifat Tuhan dalam diri manusia. Karena sifat-sifat kemanusiaan (basyariah) telah
lenyap maka yang kekal dan tinggal adalah sifat-sifat ilahiyah atau ketuhanan. Untuk
mencapai baqa’ ini perlu dilakukan usaha-usaha seperti bertaubat, berdzikir,
beribadah dan menghiasi dengan akhlaq terpuji.
Konsep al-Fana’ tidak dapat dipisahkan oleh al-Baqa’. Keduanya merupakan
konsep yang berpasangan. Jika seorang sufi sedang mengalami fana, ketika itu juga ia
sedang mengalami baqa’.
3. al-Ittihad
Jika tahap fana dan baqa telah tercapai, maka dengan sendirinya tercapai pula
tahap ittihad. Yakni penyatuan batin atau rohaniah dengan Tuhan, karena tujuan dari
fana dan baqa sendiri adalah ittihad. Dalam ajara ittihad , salah satu metode tasawuf
yang dikatakan oleh al-Baidawi, yang dilihat hanya satu wujud, sungguhpun
1
Jamil Shaliba, Muj’am al-Falsafi, Jilid II, (Beirut: Dar al-Kitab, 1979), hlm 167
sebenarnya ada dua wujud yang berpisah dari yang lain. Karena yang dilihat hanya
satru wujud, maka dalam ittihad ini bisa terjadi pertukaran peranan antara sufi dan
Tuhan2. Dalam tingkatan ini seorang sufi telah merasa bahwa dirinya bersatu dengan
Tuhan.
Dengan demikian, jika seorang sufi mengatakan misalnya ‘Maha suci aku’,
maka yang dimaksud aku di situ bukan sufi sendiri, tetapi sufi yang telah bersatu batin
dan rohaninya dnegan Tuhan melalui fana dan baqa
4. al-Hulul
Pengertian hulul secara harfiah berarti Tuhan mengambil tempat dalam tubuh
manusia tertentu, yaitu manusia yang telah dapat melenyapkan sifat-sifat
kemanusiannya melalui fana.3 Sebelum Tuhan menjadikan makhluk, Ia hanya melihat
diriNya sendiri. Dalam kesendirian-Nya itu terjadilah dialog antara Tuhan dengan
diri-Nya sendiri yang di dalamnya tidak terdapat kata atau huruf. yang dilihat Allah
hanyalah kemulian dan ketinggian dzat-Nya. Allah melihat pada zatnya sendiri dan Ia
pun cinta pada zat-Nya, dan cinta inilah yang menjadi sebab wujud dan sebab dari
banyak ini. Iapun mengeluarkan dari yang tiada bentuk copy dari diri-Nya yang
mempunyai sifat dan nama-Nya. Bnetuk copy ini adalah Adam. Setelah menjdaikan
Adam dengan cara itu, ia memuliakan dan mengagungkan Adam. Ia cinta pada Adam,
dan pada diri Adam Allha cinta pada bentuknya. Dengan diemikian pada diri Adam
terdapat sifat-sifat yang dipancarkan Tuhan yang berasal dari Tuhan sendiri.
2
Musatafa Zahri, Kunci Memahami, op.cit., hlm.236
3
A. Qadir Mahmud, al-Falsafah al-Sufiyah fi al-Islam, (Bairut: Dar al-Fikr, 1966), hlm.337.
Sedangkan kedudukan dari Fana’ dan Baqa’ merupakan hal, karena hal yang
demikian itu terjadi terus-menerus dan juga karena dilimpahkan oleh Allah.
2. Tujuan dan Kedudukan Ittihad dan al-Hulul
Ittihad adalah hal yang sama yang dijadikan faham oleh al-Hallaj dengan
fahamnya al-Hulul yang berarti penyatuan meliputi : a) penyatuan substansial antara
jasad dan ruh; b) penyatuan ruh dengan Tuhan dalam diri manusia; c) inkarnasi suatu
aksiden dalam substansinya; d) penyatuan bentuk dengan materi pertama dan e)
hubungan antara suatu benda dengan tempatnya. Meskipun demikian, terdapat
perbedaan al-Hulul dengan ittihad.
Pertama, paham al-hulul merupakan pengenbangan atau bentuk lain dari
paham mahabbah sebagaimana disebutkan Rabi’ah al-Adawiyah. Kedua, hulul
menggambarkan adanya ittihad atau kesatuan rohaniyah dengan Tuhan. Namun,
Harun Nasution membedakan kesatuan rohaniyah melalui hulul dan yang melalui
ittihad. Seperti yang dialami oleh al-Hallaj, ia kelihatannya tak hilang dalam dirinya
sendiri. Berbeda dengan yang dialami oleh Abu Yazid dalam ittihad, Abu Yazid
hancur dan yang ada hanya diri Tuhan. Dan dalam ittihad yang dilihat hanya satu
wujud dan dalam hulul ada dua wujud yang bersatu dalam satu tubuh.
PENUTUP
A. KESIMPULAN