Anda di halaman 1dari 2

Nama: Sumyati Oktaviani

NIM: 2002020007
Prodi: Akuntansi A 2020

Dampak Larangan Eksport Batubara Indonesia Terhadap Perekonomian Indonesia


Di Indonesia, industri pertambangan mineral logam dikuasai oleh investor asing dan
BUMN, serta perusahaan swasta. Perusahaan-perusahaan tersebut didirikan berdasarkan
peraturan perundang-undangan Indonesia dalam bentuk badan hukum Indonesia.Dalam
dokumen kontrak karya pertambangan, perusahaan pertambangan asing juga diwajibkan
melepaskan saham kepemilikan.
Hak penguasaan Negara sebagai konsep sampai saat ini belum mempunyai pengertian
serta makna yang jelas dan tegas yang dapat diterima oleh semua pihak dalam hubungannya
dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam nasional sehingga mengundang
banyak penafsiran yang berimplikasi kepada inplementasinya.
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara
adalah bom waktu untuk Indonesia.UU ini mengatur penghiliran hasil tambang mineral dan
batubara dan melarang ekspor bahan mentah tahun 2014. UU inimengamanahkan
pembangunan smelter sehingga produksi tambang dalam negeri dapat diproses sebelum
diekspor. Tujuan UU Minerba sangatlah mulia: agar Indonesia bisa merasakan nilai tambah
dari produk- produk tambang, mendongkrak produk domestik bruto, dan menyerap tenaga
kerja.
Berbeda dengan harapan awal, pascapenetapan UU ini eksploitasi pertambangan justru
melonjak tajam.Pemilik tambang berlomba menambang sebanyak-banyaknya sebelum
dilarang.Akibatnya, produksi sejumlah komoditas tambang melonjak. Contohnya produksi
bauksit tahun 2009 sebanyak 783.000 mt, tahun 2011 menjadi 17.634.000 mt, atau
melonjak 2.150 persen. Hal serupa terjadi pada komoditas ore nikel, di mana produksi pada
2009 hanya 5.802.000 wmt, tapi tahun 2011 sudah 15.973.000, atau meningkat 175 persen.
Pelaksanaan kebijakan pelarangan ekspor bahan mentah sudah di depan mata, tetapi
Indonesia masih belum memiliki smelter memadai untuk mengimbangi produksi tambang.
Tercatat setidaknya ada tiga komoditas yang akan defisit smelter pada tahun 2014, yaitu
tembaga, bauksit, dan nikel. Produksi bauksit nasional pada 2011 mencapai 17,6 juta ton.8
Saat ini, Indonesia belum memiliki smelter bauksit. Rencana pembangunan sejumlah
smelter bauksit, hingga 2014, hanya mampu menampung 7,1 juta ton. Gap antara produksi
tambang dan kapasitas smelter 10,5 juta ton, dengan asumsi semua pembangunan smelter
lancar.
Komoditas nikel mengalami hal serupa. Pertambangan nikel Indonesia menghasilkan
15,9 juta ton nikel tahun 2011. Smelter nikel eksisting Indonesia memiliki kapasitas
9,03juta ton. Sampai dengan tahun 2014, diperkirakan akan ada tambahan sejumlah smelter
baru, dengan kapasitas total 4,15 juta ton. Gap antara produksi tambang dan smelter pada
tahun 2014 mencapai 2,72 juta ton.
Untuk komoditas tembaga, produksi tembaga nasional tahun 2011 mencapai 20,2 juta
ton, sedangkan smelter tembaga yang eksisting hanya mampu menampung 1 juta ton.9
Adapun rencana pembangunan sejumlah smelter tembaga hingga 2014 hanya menambah
kapasitas smelter menjadi 1,2 juta ton. Setidaknya akan ada 18 juta ton tembaga yang tidak
dapat diolah.
Dilihat dari sisi pertumbuhan output perekonomian, hasil simulasi menghasilkan beberapa
temuan yaitu :
1. Skenario berdasarkan proyeksi LEAP menghasilkan nilai kenaikan output yang lebih
rendah dibandingkan nilai kenaikan output yang dihasilkan oleh skenario zero export.
2. Economic Gain yang dihasilkan dari penerapan kebijakan zero export gas mengikuti
pola pergerakan kenaikan nilai suplai gas alam Indonesia selama periode proyeksi
2013-2030, yaitu meningkat selama periode 2013-2023 lalu menurun tajam selama
2023-2026 untuk kemudian meningkat secara konsisten hingga akhir periode proyeksi
ditahun 2030.
3. Skenario zero gas export juga memberikan manfaat ekonomi tambahan dalam bentuk
penghematan devisa sebesar US$ 4,9 miliar per tahun selama periode 2013-2030.

Anda mungkin juga menyukai