Anda di halaman 1dari 7

PROSIDING:

SEMINAR NASIONAL REKAM MEDIS & INFORMASI KESEHATAN


Standar Akreditasi Rumah Sakit (SNARS) Edisi 1 Terkait Rekam Medis

KONTINUITAS KODE ICD-10: STUDI KASUS DIABETES MELLITUS


PADA PASIEN PROLANIS DI PUSKESMAS GONDOMANAN
KOTA YOGYAKARTA
Angga Eko Pramono1, Annisa Ratnasari2, Andhica Ramadhan3
1,3
Departemen Layanan dan Informasi Kesehatan, Sekolah Vokasi UGM
2
Puskesmas Gondomanan Kota Yogyakarta
anggaekopramono@ugm.ac.id; antz.ratnasari@gmail.com; andhicaramadhan@gmail.com

Abstrak
Salah satu penyakit kronis yang termasuk dalam prolanis adalah diabetes mellitus. Setelah dokter menegakkan
diagnosis, penentuan kode diagnosis berdasarkan ICD-10 idealnya dilakukan oleh petugas rekam medis karena
hal itu merupakan salah satu kompetensi yang harus dimiliki oleh seorang petugas rekam medis. Dengan
demikian, kode yang diperoleh diharapkan akurat. Akan tetapi, dalam pelaksanaannya, penentuan kode diagnosis
penyakit di Puskesmas Gondomanan Kota Yogyakarta dilakukan oleh dokter dan perawat. Hal ini menyebabkan
kode diagnosis kasus diabetes mellitus yang dipilih tidak akurat dan cenderung berubah-ubah dalam setiap
episode perawatan. Tujuan Mengkaji penentuan kode diagnosis kasus diabetes mellitus dan faktor penyebab
inkonsistensi kode kasus diabetes mellitus pasien prolanis di Puskesmas Gondomanan Kota Yogyakarta.
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan rancangan studi kasus. Subyek penelitian ini adalah
coder (dokter dan perawat) sedangkan obyeknya adalah data kasus diabetes mellitus dan kode ICD-10 pasien
prolanis. Pengambilan data dilakukan dengan metode observasi, wawancara, dan studi dokumentasi. Teknik
analisis data menggunakan analisis data kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengodean diagnosis
penyakit di Puskesmas Gondomanan Kota Yogyakarta dilakukan oleh dokter dan perawat pada SIMPUS. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa data kode kasus diabetes mellitus tiap pasien dari bulan Januari hingga Desember
2017 pada 65 pasien prolanis di Puskesmas Gondomanan Kota Yogyakarta tidak kontinyu/konsisten. Ada
beberapa faktor penyebab ketidakkonsistensian kode diagnosis di Puskesmas Gondomanan Kota Yogyakarta
yaitu ketidaksesuaian kualifikasi SDM, ketidaklengkapan data diagnosis dan kode ICD-10 di dalam database
SIMPUS, tidak optimalnya penggunaan ICD-10, belum adanya SOP yang mengatur tatacara coding diagnosis,
serta petugas tidak mengecek riwayat hasil pemeriksaan pasien sebelumnya.
Kata kunci: kode ICD-10, diabetes mellitus, prolanis

PENDAHULUAN

Penderita diabetes mellitus meningkat dari 108 juta Indonesia telah mencanangkan program pengelolaan
orang pada tahun 1980 menjadi 422 juta orang pada penyakit kronis (prolanis) yang merupakan suatu
tahun 2014 (Mathers & Loncar, 2006). Jika tidak sistem pelayanan kesehatan dan pendekatan proaktif
ditangani dengan baik, berbagai macam komplikasi yang dilaksanakan secara terintegrasi. Program ini
yang disebabkan oleh diabetes dapat muncul seperti melibatkan peserta, fasilitas kesehatan dan BPJS
gagal ginjal, penyakit jantung, stroke, penyakit Kesehatan untuk program pemeliharaan kesehatan
gangguan pembuluh darah, amputasi alat gerak bagi peserta BPJS Kesehatan yang menderita penyakit
bawah, kebutaan, dan lain-lain (Chawla et al., 2016; kronis untuk mencapai kualitas hidup yang optimal
World Health Organization, 2017). Jenis penyakit dengan biaya pelayanan kesehatan yang efektif dan
yang paling banyak diderita sebagai komplikasi dari efisien. Diabetes mellitus merupakan salah satu
penyakit diabetes adalah hipertensi (Lubis dan diagnosis yang masuk dalam prolanis. Pasien yang
Susilawati, 2017). Indonesia menempati posisi ke terdaftar sebagai anggota prolanis setiap bulannya
tujuh di dunia untuk prevalensi penderita diabetes mendapatkan fasilitas pemeriksaan status kesehatan,
(International Diabetes Federation, 2015). pemeriksaan gula darah puasa, gula darah post-

ISBN: 978-602-6363-47-3 47
PROSIDING:
SEMINAR NASIONAL REKAM MEDIS & INFORMASI KESEHATAN
Standar Akreditasi Rumah Sakit (SNARS) Edisi 1 Terkait Rekam Medis

prandial, tekanan darah, indeks massa tubuh, dan METODE


pemberian obat untuk 30 hari setiap bulannya.
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan
Dalam perkembangan pelayanan kesehatan, rekam rancangan studi kasus. Subyek penelitian ini adalah
medis menjadi salah satu faktor pendukung terpenting. petugas yang melakukan kegiatan coding diagnosis
Di dalam Permenkes RI Nomor 269/Menkes/Per/ (dokter dan perawat) sedangkan obyeknya adalah
III/2008 tentang Rekam Medis telah disebutkan data kasus diabetes mellitus dan kode ICD-10
bahwa fungsi rekam medis adalah pemeliharaan pasien prolanis di Puskesmas Gondomanan tahun
kesehatan dan pengobatan pasien, alat bukti dalam 2017. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan
proses penegakan hukum, disiplin kedokteran dan observasi, wawancara, dan studi dokumentasi. Teknik
kedokteran gigi, penegakan etika kedokteran dan etika analisis data menggunakan analisis data kualitatif
kedokteran gigi, keperluan pendidikan dan penelitian, yang merujuk pada Sugiyono (2009) dan dimulai dari
dasar pembayaran biaya pelayanan kesehatan, serta proses reduksi data, penyajian data, dan penarikan
data statistik kesehatan. Dengan demikian, rekam kesimpulan.
medis merupakan hasil kerja sama para tenaga medis
untuk mencapai sebuah pelayanan kesehatan yang
baik bagi pasien. HASIL DAN PEMBAHASAN
Pelaksanaan pengodean diagnosis sebagai bagian Berdasarkan hasil observasi yang dilakukan terhadap
dari pengelolaan rekam medis harus lengkap dan data kode diagnosis pasien prolanis diketahui bahwa
akurat sesuai dengan arahan ICD-10 (WHO, 2010). selama tahun 2017 terdapat inkonsistensi pada
Keakuratan kode diagnosis pada berkas rekam penentuan kode diagnosis. Pasien yang terdaftar
dipakai sebagai dasar pembuatan laporan. Kode sebagai anggota prolanis setiap bulannya mendapatkan
diagnosis pasien apabila tidak terkode dengan akurat fasilitas pemeriksaan status kesehatan, pemeriksaan
maka informasi yang dihasilkan akan mempunyai laboraturium dan pemberian obat untuk 30 hari setiap
tingkat validasi data yang rendah. Hal ini tentu akan bulannya. Mayoritas pasien prolanis yang terdaftar
mengakibatkan ketidakakuratan dalam pembuatan di Puskesmas Gondomanan Kota Yogyakarta adalah
laporan, misalnya laporan morbiditas rawat jalan, pengidap diabetes mellitus. Kode diagnosis diabetes
laporan sepuluh besar penyakit ataupun klaim. Dengan mellitus pada pasien prolanis yang dipilih untuk
demikian, kode yang akurat mutlak harus diperoleh agar masing-masing pasien berbeda pada hampir setiap
laporan yang dibuat dapat dipertanggungjawabkan. episode perawatannya seperti yang dicontohkan
pada Tabel 1. Dari 65 pasien yang terdaftar sebagai
Hasil studi pendahuluan di Puskesmas Gondokusuman peserta prolanis, sebanyak 92% data kode ICD-10 tiap
Kota Yogyakarta menunjukkan bahwa kode kasus kunjungan per bulannya tidak sama.
diabetes mellitus pasien prolanis dalam satu tahun
menunjukkan adanya inkonsistensi. Pasien prolanis
yang berkunjung setiap bulan dan didiagnosis diabetes
mellitus dengan tipe yang sama dikode berbeda. Hal
ini membuat pelaporan yang dihasilkan menjadi tidak
valid sehingga datanya tidak mencerminkan kondisi
riil pasien. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk
mengkaji penentuan kode diagnosis kasus diabetes
mellitus dan faktor penyebab inkonsistensi kode
kasus diabetes mellitus pasien prolanis di Puskesmas
Gondomanan Kota Yogyakarta.

48 ISBN: 978-602-6363-47-3
PROSIDING:
SEMINAR NASIONAL REKAM MEDIS & INFORMASI KESEHATAN
Standar Akreditasi Rumah Sakit (SNARS) Edisi 1 Terkait Rekam Medis

Tabel 1. Kode Kasus Diabetes Mellitus Pasien Prolanis

Pasien Bulan Kunjungan


ke- Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nov Des
E11/ E11/
1* E11 E11 E11 E11
2 E11 E11.9 E11.9 E11 E11.8 E11
3 E11 E11 E11.8 E11 E11 E11 E11 E11.9 E11.9 E11.9
4 E10 E10.9 E10.9 E10.9 E10.9 E10.9
5 E11 E11.9 E11.9 E11 E11.8 E11
6* E10.9 E10.9 E10.9 E10.9 E10.9
7 E11.9 E11.8 E11 E10.9 E11.9 E11.9 E11.8 E11.8 E11.9
8 E.11 E11 E11 E11.9 E11.9 E11.6 E11.8 E11
E11/ E11.4/ E11/
E11 E11/ E11.4/ E11/ E11.8/
9 / E11 E11 E11.9 E11.9 E11.9
E11 E11 E11
E11
10 E11 E11 E11 E10.9 E11.8 E11.8 E11 E11.8
E11/
11 E11 E11 E11 E11 E11 E11 E11.9 E11.9

Ket: * = kode konsisten; / = kunjungan berulang dalam sebulan; kotak kosong = pasien tidak berkunjung ke puskesmas

Hasil observasi menunjukkan bahwa proses Tahapan input data rekam medis pada SIMPUS
pengkodean diagnosis penyakit sudah oleh perawat dimulai dengan membuka
dilaksanakan di Puskesmas Gondomanan Kota modul klinik tujuan. Perawat selanjutnya akan
Yogyakarta. Namun, kegiatan pengkodean mencari data pasien dengan memasukkan nama
belum dilengkapi dengan peraturan/kebijakan atau nomor rekam medis pasien sesuai dengan
yang mengatur mengenai proses pengkodean berkas rekam medis. Setelah itu, perawat akan
diagnosis penyakit. Petugas yang melakukan memilih jendela “diagnosa” untuk menginput
pengkodean adalah dokter dan perawat. Setelah data diagnosis. Untuk menginput, perawat harus
memeriksa pasien, dokter akan menuliskan masukkan keyword berupa kode diagnosis atau
pelayanan yang diberikan kepada pasien ke istilah diagnosis pada kolom yang tersedia
dalam berkas rekam medis termasuk diagnosis dan (Gambar 1 dan Gambar 2). Dengan demikian,
kodenya. Dokter mengkode diagnosis secara sistem akan memunculkan database diagnosis
langsung dengan menuliskannya pada berkas yang sesuai dengan keyword. Pada kasus diabetes
rekam medis tanpa merujuk pada buku ICD-10. mellitus, keyword “e1” akan memunculkan 34
Setelah berkas rekam medis selesai digunakan data kode diagnosis sedangkan keyword “diabet”,
dalam pemberian layanan kesehatan, isi berkas sistem akan memunculkan 27 data kode
rekam medis akan diinput kedalam sistem informasi diagnosis. Masing-masing data dapat dipilih
manajemen puskesmas (SIMPUS) oleh perawat. langsung sebagai kode final tanpa
Pada saat proses penginputan ini, bila ditemukan pengecekan lanjutan apakah kode tersebut
diagnosis yang belum ditentukan kodenya oleh merupakan kode 3-digit kategori yang masih
dokter maka perawat yang akan menentukan dilengkapi dengan kode digit ke-4
kode diagnosis dan langsung menginputkannya (subkategori).
pada SIMPUS tanpa menuliskannya pada berkas
Apabila diagnosis sudah ditemukan, perawat
rekam medis. Perawat pun tidak merujuk pada
akan memilih kode yang paling tepat dengan
buku ICD-10 dalam penentuan kode diagnosis
mengklik tombol “pilih” dan menentukan jenis
meski buku ICD- 10 telah tersedia di Puskesmas
kasus dilanjutkan dengan mengklik tombol
Gondomanan Kota Yogyakarta.
“tambah diagnosa” untuk menyimpan pilihan
ISBN: 978-602-6363-47-3 49
PROSIDING:
SEMINAR NASIONAL REKAM MEDIS & INFORMASI KESEHATAN
Standar Akreditasi Rumah Sakit (SNARS) Edisi 1 Terkait Rekam Medis
kode diagnosis tersebut. Selain diagnosis, dilakukan, pengobatan yang diberikan, dan
perawat juga harus memasukkan data hasil status pulang pasien sesuai dengan yang tertera
anamnesis, pemeriksaan, tindakan yang pada berkas rekam medis.

Gambar 1. Tampilan Input Data dengan Keyword Kode Diagnosis

Gambar 2. Tampilan Input Data dengan Keyword “Diabet”

50 ISBN: 978-602-6363-47-3
PROSIDING:
SEMINAR NASIONAL REKAM MEDIS & INFORMASI KESEHATAN
Standar Akreditasi Rumah Sakit (SNARS) Edisi 1 Terkait Rekam Medis

Tabel 2. Kutipan Wawancara

Kategori Faktor Penyebab Kutipan Wawancara


Man Ketidaksesuaian R1: Karena sudah masuk ke tupoksi untuk input SIMPUS, otomatis kami
kualifikasi SDM (perawat) yang mengerjakan coding, tapi sesuai dengan yang tertulis
di berkas saja.
R2: Dokter tidak dapat materi tentang coding saat kuliah dulu. Selain itu,
tidak ada pelatihan juga.
R3: Masalahnya, alur di puskesmas tidak menempatkan kami, perekam
medis, sebagai coder. Jadi yang melakukan kegiatan coding
sekaligus input data adalah perawat atau bidan atau justru dokternya
sendiri
Petugas tidak R1: Kita cuma melihat saja dari berkas rekam medis yang ditulis oleh
mengecek riwayat dokter lalu langsung input ke SIMPUS
hasil pemeriksaan R2: Kadang-kadang tidak ditulis di berkas rekam medis, dan tampilan
pasien sebelumnya SIMPUS tidak mengakomodir riwayat dalam satu menu tampilan
R3: Petugas mengkode apa yang ditemui, tidak melihat riwayat kemarin
Machine Ketidaklengkapan R1: Ada kode yang ditulis dokter di berkas rekam medis tidak ada di
data diagnosis dan SIMPUS, jadi kode SIMPUS adakalanya beda dengan kode yang di
kode ICD-10 di berkas.
dalam database R2: Kalo sekarang sudah lebih lengkap. Beberapa kode sudah sampai
SIMPUS digit ke-5, tapi untuk kasus diabetes kami belum tahu sudah lengkap
atau belum
R3: Belum lengkap, belum sama dengan yang di ICD-10.
Method Tidak optimalnya R1: Pakai aplikasi yang online, perawat cukup memasukkan diagnosa
penggunaan ICD-10 lalu di-search saja atau pakai buku catatan kode-kode, lalu ketika
menemukan kasus yang baru nanti kita catat ke buku pintar besok
kalau ada lagi kita bukak disitu.
R2: Biasanya kita pakai yang online, lagipula dokter tidak tahu cara
penggunaannya karena belum pernah dilatih
R3 Buku ICD-10 ada tetapi tidak dipakai
Belum adanya SOP R1: Belum, belum pernah lihat.
yang mengatur R2: Tidak ada SOP yang mengatur siapa yang mengkode dan bagaimana
tatacara coding cara mengkode.
diagnosis
R3: Belum ada, belum dibuat SOP terkait coding

Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan (Tabel hasil kode diagnosis tidak akurat. Dampaknya akan
2), dapat diketahui bahwa belum ada petugas yang berpengaruh pada pelaporan diagnosis yang tidak
bertugas secara khusus sebagai coder. Pelaksanaan valid.
pengkodean diagnosis di Puskesmas Gondomanan
Hsia (2009) menyebutkan bahwa 61,7% kesalahan
Kota Yogyakarta dilakukan bukan oleh perekam medis
pengodean yang terjadi di pelayanan kesehatan tersebar
sebagaimana idealnya. Padahal, puskesmas sudah
pada dokter dan petugas administrasi rumah sakit yang
mempunyai seorang petugas yang berlatar belakang
bertugas menangani kegiatan pengodean. Santosa &
lulusan rekam medis. Petugas yang melaksanakan
Malek (2011) menyatakan bahwa salah satu faktor
kegiatan pengkodean diagnosis adalah dokter, perawat,
yang mempengaruhi kualitas pelayanan di puskesmas
dan/atau bidan. Selain melaksanakan kegiatan
adalah sumber daya manusia, meliputi dokter,
pemeriksaan terhadap pasien, dokter, perawat, dan/
perawat, bidan, dan tenaga kesehatan lain sehingga
atau bidan juga bertugas untuk menginput isi berkas
perlu adanya peningkatan profesionalisme dari
rekam medis ke dalam SIMPUS. Ketidaksesuaian
sumber daya tersebut. Peningkatan profesionalisme
kompetensi petugas dalam pengkodean menyebabkan

ISBN: 978-602-6363-47-3 51
PROSIDING:
SEMINAR NASIONAL REKAM MEDIS & INFORMASI KESEHATAN
Standar Akreditasi Rumah Sakit (SNARS) Edisi 1 Terkait Rekam Medis

dapat dilakuakn dengan metode pelatihan. Menurut SOP yang mengatur pengodean diagnosis, database
Mathis dan Jackson (2006), pelatihan (training) dapat diagnosis dan kode ICD-10 yang ada di SIMPUS
memberikan karyawan pengetahuan dan keterampilan tidak lengkap, tidak digunakannya buku ICD-10
yang spesifik. dalam kegiatan coding, jaringan LAN tidak stabil,
dan kurang kondusifnya lingkungan kerja. Penelitian
Sebagai alat bantu dalam mengkode diagnosis, buku
Saputro dan Nuryati (2015) juga menunjukkan bahwa
ICD-10 sudah tersedia di Puskesmas Gondomanan.
faktor-faktor yang menyebabkan ketidakakuratan kode
Meskipun sudah diterbitkan Surat Keputusan Kepala
diagnosis penyakit adalah kegiatan klasifikasi dan
Puskesmas yang menyebutkan bahwa standar kode
kodefikasi penyakit yang dilakukan oleh profesi yang
klasifikasi diagnosis dan terminologi yang digunakan
tidak memiliki kompetensi sebagai seorang coder
berdasarkan ICD-10, penggunaan ICD-10 dalam proses
dan entry kode diagnosis dilakukan secara fleksibel,
pengkodean belum maksimal. Petugas lebih memilih
kurang lengkapnya kode yang tersedia, istilah yang
menggunakan daftar kode-kode penyakit yang sering
digunakan dalam database SIMPUS belum sesuai
muncul di Puskesmas Gondomanan yang dibuat sendiri
dengan istilah medis yang baku, penentuan kode
oleh petugas dan dikenal sebagai buku pintar. Hal ini
yang hanya mengacu pada daftar tabulasi penyakit
tidak sejalan dengan Hatta (2011) yang menegaskan
yang sering terjadi dan belum dibuat SOP terkait
bahwa kegiatan pengkodean harus mengacu pada
pengkodean.
standar klasifikasi yang berlaku (ICD-10).
Pelaksanaan kegiatan coding di Puskesmas
Gondomanan Kota Yogyakarta tidak dilengkapi KESIMPULAN
dengan SOP terkait sehingga petugas tidak memiliki
Adanya inkonsistensi pada penentuan kode diagnosis
acuan standar. Padahal, SOP dapat memberikan
pasien prolanis di Puskesmas Gondomanan Kota
pelayanan juga membantu mengurangi kesalahan
Yogyakarta disebabkan oleh beberapa faktor. Faktor
dan pelayanan di bawah standar dengan memberikan
penyebabnya adalah pengkodean diagnosis penyakit di
langkah-langkah yang sudah diuji dan disetujui dalam
Puskesmas Gondomanan Kota Yogyakarta dilakukan
melaksanakan berbagai kegiatan (Komisi Akreditasi
oleh tenaga kesehatan yang bukan berlatar belakang
Rumah Sakit, 2001).
lulusan rekam medis dengan tanpa mengikuti kaidah
Kode diagnosis yang ada di dalam database SIMPUS coding sesuai ICD-10. Penyebab lainnya adalah
masih belum lengkap dan detail. Sebaliknya, database diagnosis dan kode ICD-10 yang ada di
SIMPUS hanya menyediakan kode diagnosis yang SIMPUS belum lengkap dan belum tersedianya SOP
belum spesifik (berupa kategori penyakit) namun yang mengatur kegiatan pengkodean. Untuk itu,
dapat dipilih yang berakibat petugas sering memilih sebagai langkah perbaikan, Puskesmas Gondomanan
diagnosis tersebut sebagai diagnosa akhir. Kode yang Kota Yogyakarta harus segera membuat SOP dan
belum spesifik (kategori penyakit) merupakan kode kebijakan mengenai proses coding yang isinya juga
ICD-10 dengan 3 digit alfanumerik yang sebenarnya telah mengatur tentang penyesuaian tupoksi dengan
masih mempunyai digit ke-4 (subkategori) yang kompetensi SDM. Selanjutnya, pelatihan mengenai
menyatakan spesifikasi dari penyakit terkait. Sebagai coding atau penggunaan ICD-10 bagi SDM juga perlu
contoh, petugas menentukan kode diagnosis diabetes dilaksanakan. Hal yang tidak kalah penting adalah
mellitus dengan tipe II dengan gangrene hanya dikode terkait pembaruan database klasifikasi penyakit pada
E11. Padahal, kode yang lebih akurat berdasarkan SIMPUS yang dibutuhkan agar kode yang dipilih
ICD-10 adalah E11.5. menjadi tepat. Dengan adanya perbaikan untuk
pengeliminasian faktor penyebab inkonsistensi kode
Hasil penelitian ini hampir serupa dengan penelitian diagnosis tersebut, data laporan yang dibuat diharapkan
sebelumnya. Menurut Pramono dan Nuryati (2013), akan menjadi lebih valid. Dengan demikian, informasi
ada beberapa faktor penyebab ketidakakuratan kode yang disajikan dapat mencerminkan kondisi kesehatan
diagnosis di Puskesmas Gondokusuman II Kota yang sesungguhnya sehingga akan mendukung proses
Yogyakarta yaitu tidak sesuainya kualifikasi SDM pengambilan keputusan yang lebih efektif dan efisien.
yang melaksanakan kegiatan coding, tidak adanya

52 ISBN: 978-602-6363-47-3
PROSIDING:
SEMINAR NASIONAL REKAM MEDIS & INFORMASI KESEHATAN
Standar Akreditasi Rumah Sakit (SNARS) Edisi 1 Terkait Rekam Medis

DAFTAR PUSTAKA Moleong L.J. (2011). Metodologi Penelitian Kualitatif.


Bandung: Remaja Rosdakarya.
Chawla, A., Chawla, R., & Jaggi, S. (2016).
Microvasular and macrovascular complications in Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 269/Menkes/
diabetes mellitus: Distinct or continuum? Indian Per/III/2008 tentang Rekam Medis. Diakses dari
Journal of Endocrinology and Metabolism, 20(4), https://dinkes.surabaya.go.id/ pada tanggal 12
546. Maret 2018.
Creswell, J. W. (2012). Research Design Pendekatan Pramono, A. E. & Nuryati. (2013). Keakuratan
Kualitatif, Kuantitatif, dan Mixed, Cetakan Ke-2. Kode Diagnosis Penyakit Berdasarkan Icd- 10
Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Di Puskesmas Gondokusuman II Kota
Yogyakarta. Jurnal Manajemen Informasi
Hatta G. R. (2011). Pedoman Manajemen Informasi
Kesehatan Indonesia, 1(1), 43-61.
Kesehatan di Sarana Pelayanan Kesehatan.
Jakarta: UI-Press. Santosa, H. & Malek, N.M. (2011). Penilaian Kualitas
Pelayanan Pusat Kesehatan Masyarakat di
Hsia, D. C. (2009). Accuracy of Diagnostic Coding
Wilayah Sumatera Utara, Indonesia. Jurnal
for Medicare Patients Under The Prospective-
Manajemen Pelayanan Kesehatan, 14(01), 49-
Payment System. Diakses dari http://www.ncbi.
54. Yogyakarta: Fakultas Kedokteran UGM.
nlm.nih.gov/pubmed/3113929/22.
Saputro, N. T. & Nuryati. (2015). Faktor Penyebab
Huffman E. K. (1994). Health Information
Ketidaktepata N Kode Diagnosis Di Puskesmas
Management. Illionis: Phsycians’ Record
Mojolaban Sukoharjo Jawa Tengah. Jurnal
Company.
Manajemen Informasi Kesehatan Indonesia,
International Diabetes Federation. (2015). IDF 3(1), 59-64.
Diabetes Atlas 7th Edition. Diakses dari Idf.org.
Sugiyono. (2009). Metode Penelitian Kuantitatif,
pada tanggal 13 Maret 2018.
Kualitatif, R & D. Bandung: Alfabeta.
Komisi Akreditasi Rumah Sakit. (2001). Pedoman
World Health Organization. (2010). Diabetes Fact
Penyusunan SOP dan Program Di Rumah Sakit.
Sheet. Diakses dari http://www.who.int/
Jakarta: Depkes RI.
mediacentre/factsheets/fs312/en/ pada tanggal
Mathers, C. D. & Loncar, D. (2016). Projections of 13 Maret 2018.
Global Mortality and Burden of Disease from
_______. (2010). International Statistical
2002 to 2030. PLOS Medicine, 3(11), e442.
Classification of Diseases and Ralated Health
Mathis, R.L. & Jackson, J.H. (2006). Manajemen Problems, Tenth Revision. Geneva: WHO.
Sumber Daya Manusia. Jakarta: Salemba Empat.

ISBN: 978-602-6363-47-3 53

Anda mungkin juga menyukai