Anda di halaman 1dari 27

MAKALAH

“Faktor Yang Mempengaruhi Aging Process, Pembatasan Fisik Pada Lansia, Dan
Penggunaan Obat Yang Rasional Terhadap Lansia”

MATA KULIAH GERONTIK


Dosen : Dr. Margareth Sudjianto, M. Kes

Nama : Seilyn Kensi Kembau


Nim : 1814201080
Kelas : A3 Keperawatan / VII

UNIVERSITAS PEMBANGUNAN INDONESIA MANADO


FAKULTAS KEPERAWATAN
MANADO
2021
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas perkenanan-Nya sehingga
saya boleh menyelesaikan pembuatan makalah ini. Makalah ini disusun dengan tujuan untuk
memenuhi tugas Keperawatan Gerontik “Faktor Yang Mempengaruhi Aging Process, Pembatasan
Fisik Pada Lansia, Dan Penggunaan Obat Yang Rasional Terhadap Lansia”.
Makalah ini saya akui masih terdapat banyak kekurangan karena pengalaman dan pengetahuan
yang saya miliki masih kurang. Oleh karena itu, saya mengharapkan saran dan kritik yang
membangun untuk kesempurnaan makalah ini.

Kawangkoan

Penulis
BAB 1
PENDAHULUAN
1. Aging Process (Proses Penuaan)
A. Pengertian
Menurut WHO Lansia adalah seseorang yang telah memasuki usia 60 tahun keatas.
Lansia merupakan kelompok umur pada manusia yang telah memasuki tahapan akhir dari
fase kehidupannya. Kelompok yang dikategorikannya lansia ini akan menjadi suatu proses
yang disebut aging process atau proses penuaan.
Penuaan atau proses menua adalah suatu akumulasi berbagai perubahan patologis di
dalam sel dan jaringan yang terjadi seiring waktu, Proses yang terjadi berupa hilangnya
kemampuan jaringan untuk memperbaiki atau mengganti diri dan mempertahankan
fungsinya secara perlahan-lahan.
Ada 2 proses penuaan:
1. penuaan intrinsik (sejati)
2. penuaan ekstrinsik.

B. Fase Proses Penuaan


1. Fase subklinik (25-35)
Produksi hormon testosteron, growth hormon dan estrogen mulai menurun. Adanya radikal
bebas mulai menyebabkan kerusakan sel namun belum tampak penuaan.
2. Fase transisi (35-45)
Produksi hormon berkurang 25%. Gejala penuaan mulai tampak seperti : berkurangnya
kemampuan penglihatan dan pendengaran, rambut beruban, elastisitas kulit hilang dan timbul
pigmentasi, gairah sexual berkurang. Kerusakan akibat radikal bebas menyebabkan penyakit
penuaan (Ca, artritis, pelupa, diabetes dan penyakit arteri koroner).
3. Fase klinik (diatas 25 tahun)
Selain kadar hormon yang semakin menurun kemampuan menyerap nutrisi, vitamin dan
mineral juga makin berkurang namun terjadi peningkatan lemak tubuh. Mulai timbul
penyakit-penyakit degeneratif akibat kegagalan sistem organ.

C. Teori Proses Menua


Menurut Depkes RI (2016) tentang proses menua yaitu:
1. Teori – teori biologi
a. Teori genetik dan mutasi (somatic mutatie theory)
Menurut teori ini menua telah terprogram secara genetik untuk spesies – spesies tertentu.
Menua terjadi sebagai akibat dari perubahan biokimia yang diprogram oleh molekul –
molekul/DNA dan setiap sel pada saatnya akan mengalami mutasi sehingga terjadi
penurunan kemampuan fungsional sel.
b. Pemakaian dan rusak
Kelebihan usaha dan stres menyebabkan sel – sel tubuh lelah (rusak).
c. Reaksi dari kekebalan sendiri (auto immune theory)
Di dalam proses metabolisme tubuh, suatu saat diproduksi suatu zat khusus. Ada jaringan
tubuh tertentu yang tidak tahan terhadap zat tersebut sehingga jaringan tubuh menjadi
lemah dan sakit.
d. Teori “immunology slow virus” (immunology slow virus theory)
Sistem immune menjadi efektif dengan bertambahnya usia dan masuknya virus kedalam
tubuh dapat menyebabkan kerusakan organ tubuh.
e. Teori stres
Menua terjadi akibat hilangnya sel-sel yang biasa digunakan tubuh. Regenerasi jaringan
tidak dapat mempertahankan kestabilan lingkungan internal, kelebihan usaha dan stres
menyebabkan sel-sel tubuh lelah terpakai.
f. Teori radikal bebas
Radikal bebas dapat terbentuk dialam bebas, tidak stabilnya radikal bebas (kelompok
atom) mengakibatkan osksidasi oksigen bahan-bahan organik seperti karbohidrat dan
protein. Radikal bebas ini dapat menyebabkan sel-sel tidak dapat regenerasi.
g. Teori rantai silang
Sel-sel yang tua atau usang, reaksi kimianya menyebabkan ikatan yang kuat, khususnya
jaringan kolagen. Ikatan ini menyebabkan kurangnya elastis, kekacauan dan hilangnya
fungsi.
h. Teori program
Kemampuan organisme untuk menetapkan jumlah sel yang membelah setelahsel-sel
tersebut mati.
2. Teori Kejiwaan social
a. Aktivitas atau kegiatan (activity theory)
Lansia mengalami penurunan jumlah kegiatan yang dapat dilakukannya. Teori ini
menyatakan bahwa lansia yang sukses adalah mereka yang aktif dan ikut banyak dalam
kegiatan sosial. Ukuran optimum (pola hidup) dilanjutkan pada cara hidup dari lansia
berupa mempertahankan hubungan antara sistem sosial dan individu agar tetap stabil.
b. Kepribadian berlanjut (continuity theory)
Dasar kepribadian atau tingkah laku tidak berubah pada lansia. Pada teori ini menyatakan
bahwa perubahan yang terjadi pada seseorang yang lansia sangat dipengaruhi oleh tipe
personality yang dimiliki.
c. Teori pembebasan (disengagement theory)
Teori ini menyatakan bahwa dengan bertambahnya usia, seseorang secara berangsur-
angsur mulai melepaskan diri dari kehidupan sosialnya. Keadaan ini mengakibatkan
interaksi sosial lanjut usia menurun, baik secara kualitas maupun kuantitas sehingga
sering terjaadi kehilangan ganda (triple loss), yakni: (1) Kehilangan peran; (2) Hambatan
kontak sosial; (3) Berkurangnya kontak komitmen.

3. Beberapa Teori Proses Penuaan


1. Teori radikal bebas
Radikal bebas adalah elektron tubuh yang tidak berpasangan dan berusaha mencari pasangan
agar stabil. Sebelum mendapatkan pasangan, radikal bebas akan terus merusak sel normal
tubuh yag mengakibatkan sel rusak/menua. Radikal bebas timbul akibat proses metabolisme
sel, olahraga, polusi dan asap rokok dan paparan sinar matahari.
2. Teori replikasi DNA
Proses menua akibat kesalahan masa replikasi DNA. Kerusakan DNA menyebabkan
pengurangan replikasi DNA. Pada usia 70an diperkirakan kemampuan replikasi sel tersebut
hilang 50%.
3. Teori kelainan alat (orgel error theory)
Kesalahan transkipsi DNA menghasilkan RNA yang tak sempurna dan berakibat kelainan
enzim dan protein intra seluler. Fungsi sel menjadi berkurang, rusak dan terjadi kematian sel.
4. Teori ikatan silang (cross linkage)
Ikatan silang yang progresif antara protein-protein intraseluler dan interseluler pada serabut
kolagen membran basalis atau substansia dasar jaringan penyambung sehingga terjadi
kerusakan organ.
5. Teori telomer
- Termasuk teori programatik
- Telomer adalah rangkaian asam nukleat di ujung kromosom yang berfungsi menjaga
kebutuhan kromosom
- Setiap kali sel membelah, ujung telomer menjadi lebih pendek. Jika ujung telomer sudah
pendek kemampuan membelah berkurang dan akhirnya tidak dapat membelah lagi →
mati
- Pemendekan telomer → jam biologis dalam penuaan sel.
3 Beberapa Teori Proses Penuaan
6. Teori radikal bebas
Radikal bebas adalah elektron tubuh yang tidak berpasangan dan berusaha mencari pasangan
agar stabil. Sebelum mendapatkan pasangan, radikal bebas akan terus merusak sel normal
tubuh yag mengakibatkan sel rusak/menua. Radikal bebas timbul akibat proses metabolisme
sel, olahraga, polusi dan asap rokok dan paparan sinar matahari.
7. Teori replikasi DNA
Proses menua akibat kesalahan masa replikasi DNA. Kerusakan DNA menyebabkan
pengurangan replikasi DNA. Pada usia 70an diperkirakan kemampuan replikasi sel tersebut
hilang 50%.
8. Teori kelainan alat (orgel error theory)
Kesalahan transkipsi DNA menghasilkan RNA yang tak sempurna dan berakibat kelainan
enzim dan protein intra seluler. Fungsi sel menjadi berkurang, rusak dan terjadi kematian sel.
9. Teori ikatan silang (cross linkage)
Ikatan silang yang progresif antara protein-protein intraseluler dan interseluler pada serabut
kolagen membran basalis atau substansia dasar jaringan penyambung sehingga terjadi
kerusakan organ.
10. Teori telomer
- Termasuk teori programatik
- Telomer adalah rangkaian asam nukleat di ujung kromosom yang berfungsi menjaga
kebutuhan kromosom
- Setiap kali sel membelah, ujung telomer menjadi lebih pendek. Jika ujung telomer sudah
pendek kemampuan membelah berkurang dan akhirnya tidak dapat membelah lagi →
mati
- Pemendekan telomer → jam biologis dalam penuaan sel.

D. Faktor Yang Mempengaruhi Proses Penuaan


1. Faktor intrinsik
✔ Genetik
✔ Hormon
✔ Ras
2. Faktor ekstrinsik
✔ Lingkungan (SUV)
✔ Pembentukan radikal bebas
✔ Faktor lain
✔ Gizi, lifestyle, stress, habit, penyakit menahun, penurunan BB drastis

Faktor Intrinsik
1. Genetik, menetukan dimulainya penuaan.
Mis : orang dengan kulit kering akan mengalami penuaan lebih cepat.
2. Hormonal, orang tua → penurunan hormon Menopause → estrogen menurun → keriput,
kulit kering, elastisitas menurun.
3. Ras, berkaitan dengan struktur kulit sebagai pertahanan tuubuh, mis : pigmen melanin
sebagai proteksi dari sinar matahari.
Faktor Ekstrinsik
1. Pengaruh lingkungan fisik/sinar matahari
- Paparan kronik sinar matahari → radikal bebas (RB) meningkat → penuaan
- Akibat sinar matahari → kerusakan sel, kerusakan kolagen, kelainan pigmentasi,
kerusakan pembuluh darah
2. Berbagai faktor → RB meningkat → kerusakan struktur kulit meningkat → meningkatkan
penuaan. Mis : radiasi sinar X, polusi, asap rokok, pengawet, pewarna makanan , dll.
3. Faktor lain
- Gizi buruk, stress, penyakit menahun, penurunan BB yang terlalu cepat, konsumsi
alkohol/rokok/kopi
- Pada kulit keringnkarena perawatan kulit yang salah (kosmetik yang tidak sesuai),
kelembaban udara yang menurun (mis. Ruangan AC)
Peran Radikal Bebas pada Penuaan
1. Kulit sebagai sawar terluar sering terpapar berbagai stress oksidatif, seperti : rokok, sinar
matahari, polusi, mikroorganisme aerobik.
2. Kulit harus mampu mengatasi serangan oksidatif eksternal dan terbentuknya Reaktif Oksigen
Spesies (ROS)
3. Kulit memiliki sistim antioksidan, yang mampu menetralkan efek ROS
4. ROS berperan penting dalam penuaan
5. ROS → deplesi dan kerusakan sistim antioksidan
6. ROS → kerusakan DNA, RNA, protein dan membran sel. Perubahan dan kerusakan
molekul-molekul ini berperan dalam penuaan
7. ROS juga berperan penting dalam metabolisme kolagen
8. ROS tidak langsung menghancurkan kolagen tapi menginduksi matriks metaloproteinase
(MMPs), yaitu ezim yang bertanggung jawab terhadap degradasi kolagen.
Peran Paparan Sinar UV pada Penuaan
1. Paparan UV → kerusakan kulit
2. Paparan dengan UV selama 10-20 menit → peningkatan kadar hidrogen peroksida
3. UVA → oksigen singlet dan hidrogen peroksida → peningkatan MMP 1, 2, 3
4. UVB → radikal hidroksil dan intermediet lipid peroksidase → peningkatan MMP 1 dan 3
5. Tanda kerusakan kulit akibat paparan UV → akumulasi elastin yang amorf dan degradasi
kolagen.

E. Manifestasi Klinik
Perubahan morfologi pada kulit menua merupakan kombinasi gambaran klinis penuaan
intrinsik dan ekstrinsik.
Penuaan intrinsik tampak sebagai :

 Penipisan epidermal
 Kering, kerut, kendor, elastisitas menurun
 Lesi penuaan : keratosis seoreik, cherry angioma, lentigo
Penuaan ekstrinsik tampak :

 Kulit menebal, kering dan kasar


 Kerut dalam dan tidak hilang dengan peregangan
 Warna kulit pucat dengan teleangiektasi dan bercak pigmentas

f. Ciri-ciri Lansia
Menurut Depkes RI (2016), ciri-ciri lansia adalah sebagai berikut :

1. Lansia merupakan periode kemunduran


Kemunduran pada lansia sebagian datang dari faktor fisik dan faktor psikologis sehingga motivasi
memiliki peran yang penting dalam kemunduran pada lansia. Misalnya lansiayang memiliki motivasi
yang rendah dalam melakukan kegiatan, maka akanmempercepat proses kemunduran fisik, akan tetapi
ada juga lansia yang memilikimotivasi yang tinggi, maka kemunduran fisik pada lansia akan lebih lama
terjadi.
2. Lansia memiliki status kelompok minoritas
Kondisi ini sebagai akibat dari sikap sosial yang tidak menyenangkan terhadap lansiadan diperkuat
oleh pendapat yang kurang baik, misalnya lansia yang lebih senangmempertahankan pendapatnya
maka sikap sosial di masyarakat menjadi negatif, tetapiada juga lansia yang mempunyai tenggang rasa
kepada orang lain sehingga sikap sosialmasyarakat menjadi positif.
3. Menua membutuhkan perubahan peran
Perubahan peran pada lansia sebaiknya dilakukan atas dasarkeinginan sendiri bukan atas dasar tekanan
dari lingkungan dari lingkungan
BAB 2

A. Definisi
Pembatasan aktifitas fisik, semakin lanjut usia seseorang, mereka akan mengalami
kemunduran terutama di bidang kemampuan fisik yang dapat mengakibatkan penurunan pada
peranan-peranan sosialnya. Hal ini mengakibatkan timbulnya gangguan dalam hal mencukupi
kebutuhan hidupnya. Sehingga dapat meningkatkan ketergantungan yang memerlukan
bantuan orang lain.
Batasan Lanjut Usia
Menurut WHO menggolongkan Lansia menjadi 4, yaitu
1. Usia pertengahan (middle age) adalah 45-59 tahun
2. Lanjut usia (elderly) adalah 60-74 tahun
3. Lanjut usia tua (old) adalah 75-90 tahun
4. Usia sangat tua (very old) diatas 90 tahun
Sedangkan menurut UU No. 13 Tahun 1998 tentang kesehjateraan lanjut usia, seseorang
disebut lansia bila telah memasuki atau mencapai usia 60 tahun lebih (Nugroho, 2008).
Karakteristik Lansia
Karakteristik lansia menurut Ratnawati (2017); Darmojo & Martono (2006) yaitu :
1) Usia
Menurut UU No. 13 tahun 1998 tentang kesejahteraan lanjut usia, lansia adalah
seseorang yang telah mencapai usia diatas 60 tahun (Ratnawati, 2017).
2) Jenis kelamin
Data Kemenkes RI (2015), lansia didominasi oleh jenis kelamin perempuan.
Artinya, ini menunjukkan bahwa harapan hidup yang paling tinggi adalah
perempuan (Ratnawati, 2017).
3) Status pernikahan
Berdasarkan Badan Pusat Statistik RI SUPAS 2015, penduduk lansia ditilik
dari status perkawinannya sebagian besar berstatus kawin (60 %) dan cerai mati (37
%). Adapun perinciannya yaitu lansia perempuan yang berstatus cerai mati sekitar
56,04 % dari keseluruhan yang cerai mati, dan lansia laki-laki yang berstatus kawin
ada 82,84 %. Hal ini disebabkan usia harapan hidup perempuan lebih tinggi
dibandingkan dengan usia harapan hidup laki-laki, sehingga presentase lansia
perempuan yang berstatus cerai mati lebih banyak dan lansia laki-laki yang bercerai
umumnya kawin lagi (Ratnawati, 2017).
4) Pekerjaan
Mengacu pada konsep active ageing WHO, lanjut usia sehat berkualitas adalah
proses penuaan yang tetap sehat secara fisik, sosial dan mental sehingga dapat tetap
sejahtera sepanjang hidup dan tetap berpartisipasi dalam rangka meningkatkan
kualitas hidup sebagai anggota masyarakat. Berdasarkan data Pusat Data dan
Informasi Kemenkes RI 2016 sumber dana lansia sebagian besar pekerjaan/usaha
(46,7%), pensiun (8,5%) dan (3,8%) adalah tabungan, saudara atau jaminan sosial
(Ratnawati, 2017).
BAB 3
A. Latar Belakang
Penggunaan obat yang rasional adalah pemilihan dan penggunaan obat yang
efektifitasnya terjamin serta aman, dengan mempertimbangkan masalah harga, yaitu dengan
harga yang paling menguntungkan dan sedapat mungkin terjangkau. Untuk menjamin
efektifitas dan keamanan, pemberian obat harus dilakukan secara rasional, yang berarti perlu
dilakukan diagnosis yang akurat, memilih obat yang tepat, serta meresepkan obat tersebut
dengan dosis, cara, interval serta lama pemberian yang tepat.
Penggunaan obat rasional juga berarti menggunakan obat berdasarkan indikasi yang
manfaatnya jelas terlihat dapat diramalkan (evidence based therapy). Manfaat tersebut dinilai
dengan menimbang semua bukti tertulis hasil uji klinik yang dimuat dalam kepustakaan yang
dilakukan melalui evaluasi yang sangat bijaksana.
Menimbang manfaat dan resiko tidak selalu mudah dilakukan, hal-hal yang perlu
diperhatikan untuk menentukannya yaitu derajat keparahan penyakit yang akan diobati,
efektivitas obat yang akan digunakan, keparahan dan frekuensi efek samping yang mungkin
timbul, serta efektivitas dan keamanan obat lain yang bisa dipakai sebagai pengganti.
Semakin parah suatu penyakit, semakin berani mengambil resiko efek samping, namun bila
efek samping mengganggu dan relatif lebih berat dari penyakitnya sendiri mungkin
pengobatan tersebut perlu diurungkan. Semakin remeh suatu penyakit, semakin perlu
bersikap tidak menerima efek samping.
Kemampuan untuk melakukan telaah terhadap berbagai hasil uji klinik yang disajikan
menjadi amat penting dalam masalah ini. Biasanya dalam pedoman pengobatan, pilihan obat
yang ada telah melalui proses tersebut, dan dicantumkan sebagai obat pilihan utama (drug of
choice), pilihan kedua, dan seterusnya.

PENGOBATAN RASIONAL
Mengapa diperlukan pengobatan rasional ?
Pengobatan yang tidak rasional dapat menyebabkan :
• Pengobatan yang tidak aman
• Kambuhnya penyakit
• Masa sakit memanjang
• Membahayakan dan menimbulkan kekhawatiran pasien
• Membengkaknya biaya

Pengertian rasional itu sendiri menurut WHO adalah :


• sesuai dengan keperluan klinik
• dosis sesuai dengan kebutuhan pasien
• diberikan dalam jangka yang sesuai
• dengan biaya termurah bagi pasien dan komunitasnya

Dalam konteks biomedis, P.O.R mempunyai kriteria :


• Tepat diagnosis
• Tepat indikasi
• Tepat pemilihan obat (khasiat, keamanan, mutu, biaya)
• Tepat dosis, cara dan lama pemberian
• Tepat penilaian terhadap kondisi pasien
• Tepat peracikan dan pemberian informasi
• Kepatuhan pasien
• Tepat dalam melakukan upaya tindak lanjut
• Penggunaan obat yang rasional memberi perhatian penting kepada pemberian
antibiotika, ada tidaknya poli-farmasi serta pemberian injeksi.

BEBERAPA PERTIMBANGAN DALAM PEMILIHAN OBAT (WHO, 1995 )


• Manfaat (Efecacy)
• Kemanfaatan dan Keamanan Obat sudah terbukti Keamanan (safety)
• Resiko pengobatan yang paling kecil dan seimbangdengan manfaat dan keamanan
yang sama dan terjangkau oleh pasien (affordable) Kesesuaian / suittability (cost)

Contoh penggunaan obat yang tidak rasional dan harus dihindarkan antara lain :

• Penggunaan obat dimana terapi obat tidak diindikasikan


misal antibiotika untuk ISPA ringan, diare.
• Pemilihan obat yang salah untuk indikasi tertentu, misal tetrasiklin untuk infeksi
streptokokus faringitis anak.
• Penggunaan obat dengan indikasi meragukan dan status keamanan yang tidak jelas
• Cara pemberian yang salah
• Penggunaan obat mahal walaupun alternatif obat yang aman, efektif dan lebih murah
tersedia.

Secara umum dan dalam konteks yang lebih luas penggunaan obat yang tidak rasional dapat
memberi dampak ;
 terjadinya pemborosan biaya dan anggaran masyarakat
 resiko efek samping dan resistensi
 ketersediaan obat kurang terjamin
 mutu pengobatan dan pelayanan kesehatan buruk, memberikan persepsi yang keliru
tentang pengobatan pada masyarakat.

1. Menentukan masalah pasien atau melakukan diagnosis.


Merupakan dasar dari tindakan pengobatan rasional. Diagnosis dibuat atas dasar fakta
yang ditemukan dari suatu urutan yang logis yaitu anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang lain yang diperlukan.
Dalam praktek sehari-hari sering diagnosis sudah dibuat sebelum semua fakta terkumpul,
malah sering pula tidak dapat dibuat atau baru dibuat setelah beberapa waktu bila gejala
penyakit berkembang. Dalam proses membuat diagnosis ini terletak kesulitan pertama yang
mengakibatkan pengobatan lebih ditentukan oleh kebiasaan daripada deduksi ilmiah rasional.
Bila diagnosis belum dapat ditentukan sering dipikirkan berbagai kemungkinan diagnosis
atau differensial diagnosis yang kemudian diobati, sehingga pengobatan diberikan secara
polifarmasi untuk menutupi berbagai kemungkinan tersebut. Selain itu seringkali diagnosis
sulit dibuat karena pasien tidak mampu membayar pemeriksaan penunjang yang dibutuhkan.

2. Menetapkan tujuan pengobatan


Sebelum memilih pengobatan harus lebih dahulu ditetapkan tujuan terapi. Apa sebetulnya
yang ingin dicapai. Menguraikan tujuan pengobatan merupakan cara yang baik untuk
menyusun pola berpikir,melakukan konsentrasi untuk problem sesungguhnya, meminimalkan
kemungkinan pengobatan yang perlu dilakukan sehingga pilihan akhir lebih mudah
ditentukan. Menguraikan tujuan pengobatan mencegah penggunaan obat yang tidak perlu.
3. Memeriksa kerasionalan penggunaan obat yang dipilih
Setelah menetapkan tujuan pengobatan, jika memang dibutuhkan obat untuk mengatasi
masalah, perlu diperiksa apakah obat yang dipilih sesuai dengan kondisi pasien. Obat yang
dipilih selain harus memenuhi kriteria efektif,aman, nyaman dan terjangkau, perlu
disesuaikan dengan kondisi masing-masing pasien. Langkah pertama melihat pedoman
pengobatan yang tersedia, apakah bahan aktif, bentuk sediaan, dosis, cara pemberian dan
lama pemberian telah sesuai untuk pasien. Untuk tiap-tiap aspek yang ditelaah, harus
dipertimbangkan masalahefektivitas dan keamanannya. Meneliti efektivitas mencakup
penelaahan indikasi apakah pengobatan dapat mencapai tujuan yang telah ditetapkan, serta
kenyamanan bentuk sediaan. Keamanan berkaitan dengan kontra indikasi dan kemungkinan
interaksi serta kewaspadaan pada pasien dengan resiko tinggi. Kemampuan melakukan
telaahan mengenai masalah tersebut perlu dilihat dari hasil uji klinik yang bermutu. Kajian ini
sulit dilakukan, karena itu perlu disediakan informasi yang berisi telaahan efektivitas
berbagai obat denan indikasi serupa, beserta kajian keamanannya, juga informasi mengenai
biayanya.
Pedoman pengobatan yang tersedia juga terbatas, sebagian besar berisi pedoman tata laksana
diagnosis dan tindakan medik yang perlu dilakukan, tetapi tidak mengenai pemilihan dan
penggunaan obat.

4. Membuat resep
Resep adalah instruksi dari peresep untuk pemberi obat (dispenser). Setiap negara
mempunyai peraturan mengenai standar pembuatan resep. Secara umum resep harus jelas,
dapat dibaca dan mencantumkan secara tepat apa yang harus diberikan. Resep seharusnya
ditulis dengan nama generik, namun informasi mengenai obat generik hampir-hampir tidak
tidak ada yang sampai pada peresep. Selain itu, seringkali juga peresep meragukan mutu obat
enerik ini.

5. Memberi informasi,instruksi dan hal-hal yang perlu diwaspadai


Dikatakan 50% pasien tidak menggunakan obat secara benar, tidak teratur, atau tidak
menggunakan sama sekali. Penyebab yang paling sering adalah timbulnya efek samping,
pasien tidak merasakan manfaat obat, atau cara penggunaan yang rumit terutama bagi orang
tua. Untuk meningkatkan ketaatan pasien, perlu dilakukan pemilihan obat dengan benar,
membina hubungan baik dokter-pasien serta menyediakan waku untuk memberi
informasi/instruksi/peringatan. Pemberian informasi ini masih jauh dari harapan karena
dianggap memakan waktu.

6. Melakukan monitoring
Dengan monitoring dapat ditentukan apakah pengobatan memberi hasil seperti yang
diharapkan. Atau perlu dilakukan tindak lanjut. Bila penyakit telah sembuh obat perlu
dihentikan, bila penyakit belum sembuh tetapi terapi efektif tanpa efek samping pengobatan
dapat dilanjutkan, bila timbul efek samping perlu ditelaah kembali obat yang diberikan. Bila
terapi tidak efektif perlu dipertimbangkan kembali diagnosis yang telah dibuat, obat yang
dipilih, apakah dosis dan cara penggunaannya telah sesuai, dan apakah cara monitoring telah
tepat.

UPAYA IMPLEMENTASI PENGOBATAN RASIONAL


Dunia kedokteran belum sepenuhnya menerima tantangan untuk memperbaiki penggunaan
obat karena sebagian besar pasien ternyata memperlihatkan perbaikan, sebagian besar obat
mempunyai batas keamanan (margin of safety) yang luas, banyak penyakit yang bersifat self
limiting dan masalah yang timbul karena penggunaan obat seringkali dapat ditimpakan pada
penyakit yang diobatinya.

Beberapa cara yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kerasionalan pengunaan obat yaitu :
1. Upaya regulasi
Pemerintah dalam hal ini Departemen Kesehatan berperan dalam pengaturan yang dapat
mendukung penggunaan obat yang rasional

2. Upaya pendidikan
Pengajaran penggunaan obat rasional dalam kurikulum Fak.Kedokteran. Bagi para dokter
dapat diberikan post service training melalui berbagai program pelatihan dan penyegaran
mengenai penggunaan obat rasional. Pendidikan dan pelatihan juga diberikan bagi petugas
pelayanan kesehatan lain serta masyarakat.

3. Upaya manajerial
Dalam upaya ini termasuk pembentukan Komisi farmasi dan Terapi (KFT) di RS, Penetapan
daftar Obat Essensial, penyusunan pedoman pengobatan.

Upaya diatas dapat dirinci sebagai berikut :


1. Pendidikan dan pelatihan P.O.R
Pelatihan/pengajaran farmakologi klinik yang tidak adekuat menghasilkan praktek
peresepan yang tidak rasional. Karenanya pendidikan dan pelatihan P.O.R perlu
dilakukan.
2. Pendidikan Berkelanjutan dan supervisi
Pendidikan berkelanjutan, supervisi dan telaah kritis mengenai peresepan dapat
mendukung pengobatan rasional. Sangat sedikit kesempatan untuk penelaahan rutin
kebiasaan peresepan dan sedikit kesempatan untuk mempelajari obat baru dari sumber
yang tidak bias. Kegiatan penelitian dan pengembangan menyebabkan pengetahuan
juga bertambah baik mengenai pengobatan yang telah ada maupun pengenalan
pengobatan yang sama sekali baru. Untuk menjamin bahwa pengetahuan ini dapat
memberi manfaat bagi pasien, perlu dilaksanakan program pendidikan berkelanjutan.
3. Pengaturan promosi obat
Aktivitas promosi yang dilakukan oleh pabrik obat mengenai produk-produk khusus
menghasilkan peresepan yang tidak rasional dan mahal.
Pengobatan rasional menghadapi problem besar karena informasi yang tidak
seimbang, bias dan tidak etis yang disampaikan oleh pabrik obat. Diamati pula bahwa
ada insentif yang besar bagi dokter yang dimasukkan dalam biaya promosi untuk
menjamin loyalitas. Menurut laporan CIC (1991), sejumlah industri farmasi membuat
kontrak dengan para dokter untuk selalu menggunakan produk mereka dalam
peresepannya. Direkomendasikan untuk memberikan informasi obyektif sesuai
kebutuhan yang diikuti dengan sistem untuk melakukan auditnya. Tidak adanya
kontrol terhadap bahan promosi yang diberikan langsung kepada dokter dan imbalan
yang rendah yang diterimadokter pemerintah, mengakibatkan pengaruh insentif yang
menarik dari industri lebih berpengaruh ketimbang kebutuhan rasional pasien.
4. Penyusunan dan revisi berkala pedoman pengobatan
Umumnya pedoman yang tersedia lebih pada pedoman tata laksana diagnosis dan
tindakan medik. Bila ada pedoman, seringkali sudah kedaluarsa. Seharusnya pedoman
pengobatan berisi terapi yang paling efektif, aman,dengan biaya yang paling
menguntungkan, dan disusun secara nasional dengan konsensus dari berbagai
kelompok profesi multi disiplin.
5. Drug surveillance
Perlu dilakukan drug surveillance untuk memberikan data pendukung pengobatan
rasional serta menimbulkan keyakinan pada peresep, apalagi bila mereka dilibatkan
secara langsung.
6. Informasi obat
Informasi yang obyektif, berdasarkan bukti-bukti ilmiah yang terpercaya berdasarkan
uji klinik yang memenuhi standar. Perlu dibuat terbitan berkala/buletin yang berisi
antara lain informasi obat generik, mutu obat generik, telaahan efektivitas dan
keamanan berbagai obat untuk indikasi yang sama, dan telaahan harga obat untuk
terapi yang serupa. Informasi harus meningkatkan kesadaran mengenai biaya
pengobatan. Profesi dapat memprakarsai penerbitan informasi ini bersama pihak
terkait.
7. Monitoring dan evaluasi
Evaluasi disertai umpan balik yang dilaksanakan secara berkesinambungan memberi
dampak positif terhadap pengobatan rasional. Penerapan konsep obat esensial dan
obat generik di fasilitas kesehatan publik perlu diperkuat melalui monitoring dan
evaluasi penggunaan obat serta pengendalian suplai obat. Monitoring dan evaluasi
dapat meningkatkan ketaatan pada berbagai ketentuan dan pedoman yang berlaku.
8. Pemberdayaan KFT
KFT atau komisi sejenisnya perlu dibentuk dan diupayakan agar dapat melaksanakan
fungsinya dalam mencermati penggunaan obat dan kerasionalan pengobatan.
9. Ketersediaan sumber daya
Untuk upaya seperti informasi obat, drug surveillance, pemasaran obat generik yang
mendukung peresepan obat rasional, perlu didukung ketersediaan sumber dana.

Peran Pasien Demi Tercapainya Penggunaan Obat Rasional/POR (Rational Drug


Use/RDU)
POR/RDU bukan semata-mata tanggung jawab tenaga kesehatan. Tetapi terwujudnya
POR/RDU juga sangat dipengaruhi oleh perilaku pasien sebagai konsumen medis, sehingga
pasien pun memiliki tanggung jawab yang sama besarnya untuk mendukung tercapainya
POR/RDU.
Apa saja yang bisa dilakukan pasien dalam mendukung terwujudnya POR/RDU ?
1. Agar tercapai Tepat Pasien 
Bantu tenaga kesehatan agar dapat menilai kondisi pasien dengan tepat. Informasikan
pada tenaga kesehatan jika pasien adalah seorang ibu menyusui, atau memiliki
riwayat alergi terhadap obat tertentu, memiliki kelainan ginjal, hati , dll. Memang
seharusnya hal ini diajukan oleh tenaga kesehatan sendiri, tetapi tidak ada salahnya
pasien berinisiatif menginformasikannya jika tenaga kesehatan lupa menanyakan. Toh
semua demi kepentingan pasien sendiri.
2. Agar tercapai Tepat Indikasi
Bantu tenaga kesehatan menegakkan diagnosa dengan menginformasikan selengkap-
lengkapnya gejala, keluhan atau sakit yang sedang dialami.
3. Agar tercapai Tepat Obat
Pada saat pasien menerima resep, seharusnya bukan menjadi tanda bahwa waktu
kunjungan ke dokter telah berakhir. Justru konsultasi harus dilanjutkan guna
mendiskusikan obat apa saja yang diresepkan. Tanyakan pada dokter mengenai
komposisinya, kegunaannya, cara pakai, hingga lama penggunaan obat. Dengan
demikian pasien sudah mendapat gambaran obat apa saja yang akan diminum dan
efek terapinya yang didapatkan sebelum memutuskan untuk membeli obat tersebut.
Jika ada obat yang dirasa tidak sesuai dengan gejala yang dirasakan, tanyakan pada
Dokter. Sebaiknya pasien aktif bertanya, jangan hanya pasrah dan diam saja karena
yang sedang dibahas adalah kesehatan pasien sendiri. Hal ini juga akan menjadi
fungsi kontrol dari pasien bagi dokter agar selalu terdorong memberikan obat yang
sesuai indikasi.
4. Agar tercapai Tepat Biaya
Pasien harus mengetahui hak-haknya sebagai konsumen medis termasuk memilih obat
yang sesuai dengan keuangannya, apakah menggunakan obat generik, obat bermerek
atau obat originator / paten.
Mari kembali galakkan  penggunaan obat yang rasional demi taraf hidup sehat yang lebih
baik.

B. Tujuan
Agar penggunaan obat yang rasional mempunyai dampak positif yang cukup besar
didalam meningkatkan mutu pelayanan kesehatan dan penurunan biaya kesehatan
masyarakat.
A. Definisi
Penggunaan Obat secara Rasional (POR) atau Rational Use of Medicine (RUM)
merupakan suatu kampanye yang disebarkan ke seluruh dunia, juga di Indonesia. Dalam
situsnya, WHO menjelaskan bahwa definisi Penggunaan Obat Rasional adalah apabila pasien
menerima pengobatan sesuai dengan kebutuhan klinisnya, dalam dosis yang sesuai dengan
kebutuhan, dalam periode waktu yang sesuai dan dengan biaya yang terjangkau oleh dirinya
dan kebanyakan masyarakat. Dengan empat kata kunci yaitu kebutuhan klinis, dosis, waktu,
dan biaya yang sesuai, POR merupakan upaya intervensi untuk mencapai pengobatan yang
efektif.
Kampanye POR oleh WHO dilatarbelakangi oleh dua kondisi yang bertolak belakang.
Kondisi pertama menunjukkan bahwa terdapat lebih dari 50% obat-obatan di dunia
diresepkan dan diberikan secara tidak tepat, tidak efektif, dan tidak efisien. Bertolak belakang
dengan kondisi kedua yaitu kenyataan bahwa sepertiga dari jumlah penduduk dunia ternyata
kesulitan mendapatkan akses memperoleh  obat esensial.
Penggunaan obat dapat diidentifikasi rasionalitasnya dengan menggunakan Indikator  8
Tepat dan 1 Waspada. Indikator 8 Tepat dan 1 Waspada tersebut adalah Tepat diagnosis,
Tepat Pemilihan Obat, Tepat Indikasi, Tepat Pasien, Tepat Dosis, Tepat cara dan lama
pemberian, Tepat harga, Tepat Informasi dan Waspada terhadap Efek Samping Obat.
Beberapa pustaka lain merumuskannya dalam bentuk 7 tepat tetapi penjabarannya tetap
sama. Melalui prinsip tersebut, tenaga kesehatan dapat menganalisis secara sistematis proses
penggunaan obat yang sedang berlangsung. Penggunaan obat yang dapat dianalisis adalah
penggunaan obat melalui bantuan tenaga kesehatan maupun swamedikasi oleh pasien.

LANGKAH-LANGKAH MENERAPKAN PENGGUNAAN OBAT SECARA


RASIONAL

WHO action programme on essential drugs (1994), mengemukakan bahwa untuk


menetapkan penggunaan obat secara rasional perlu dilalui serangkaian langkah yaitu :

1. menentukan masalah pasien


2. menetapkan tujuan pengobatan
3. memeriksa kerasionalan penggunaan obat yang dipilih serta meneliti efektivitas dan
keamanannya
4. membuat resep
5. memberi informasi, instruksi, hal-hal yang perlu diwaspadai
6. melakukan monitoring

PENGGUNAAN OBAT YANG RASIONAL (Rational Drug Use)


Menurut WHO (1987 ), pemakaian obat dikatakan rasional jika memenuhi kriteria :
• ‡Sesuai dengan indikasi penyakit 
• ‡Tersedia setiap saat dengan harga terjangkau 
• ‡Diberikan dengan dosis yang tepat 
• ‡Cara pemberian dengan interval waktu pemberian yang tepat 
• ‡Lama pemberian yang tepat 
 ‡Obat yang diberikan harus efektif, dengan mutu terjamin dan aman.
Penjabaran dari Indikator Rasionalisasi Obat yaitu 8 Tepat dan 1 Waspada:
1. Tepat Diagnosis
Penggunaan obat harus berdasarkan penegakan diagnosis yang tepat. Ketepatan
diagnosis menjadi langkah awal dalam sebuah proses pengobatan karena
ketepatan pemilihan obat dan indikasi akan tergantung pada diagnosis penyakit
pasien. Contohnya misalnya pasien diare yang disebabkan Ameobiasis maka akan
diberikan Metronidazol. Jika dalam proses penegakkan diagnosisnya tidak
dikemukakan penyebabnya adalah Amoebiasis, terapi tidak akan menggunakan
metronidazol.

2. Tepat pemilihan obat


Berdasarkan diagnosis yang tepat maka harus dilakukan pemilihan obat yang
tepat. Pemilihan obat yang tepat dapat ditimbang dari ketepatan kelas terapi dan
jenis obat yang sesuai dengan diagnosis. Selain itu, Obat juga harus terbukti
manfaat dan keamanannya. Obat juga harus merupakan jenis yang paling mudah
didapatkan. Jenis obat yang akan digunakan pasien juga seharusnya jumlahnya
seminimal mungkin.

3.    Tepat indikasi


Pasien diberikan obat dengan indikasi yang benar sesuai diagnosa Dokter.
Misalnya Antibiotik hanya diberikan kepada pasien yang terbukti terkena
penyakit akibat bakteri.

4.   Tepat pasien
Obat yang akan digunakan oleh pasien mempertimbangkan kondisi individu yang
bersangkutan. Riwayat alergi, adanya penyakit penyerta seperti kelainan ginjal
atau kerusakan hati, serta kondisi khusus misalnya hamil, laktasi, balita, dan
lansia harus dipertimbangkan dalam pemilihan obat. Misalnya Pemberian obat
golongan Aminoglikosida pada pasien dengan gagal ginjal akan meningkatkan
resiko nefrotoksik sehingga harus dihindari.

5.    Tepat dosis


Dosis obat yang digunakan harus sesuai range terapi obat tersebut. Obat mempunyai
karakteristik farmakodinamik maupun farmakokinetik yang akan mempengaruhi
kadar obat di dalam darah dan efek terapi obat. Dosis juga harus disesuaikan dengan
kondisi pasien dari segi usia, bobot badan, maupun kelainan tertentu.

6. Tepat  cara dan lama pemberian


Cara pemberian yang tepat harus mempertimbangkan mempertimbangkan keamanan
dan kondisi pasien. Hal ini juga akan berpengaruh pada bentuk sediaan dan saat
pemberian obat. Misalnya pasien anak yang tidak mampu menelan tablet parasetamol
dapat diganti dengan sirup. Lama pemberian meliputi frekuensi dan lama pemberian
yang harus sesuai karakteristik obat dan penyakit. Frekuensi pemberian akan
berkaitan dengan kadar obat dalam darah yang menghasilkan efek terapi. Contohnya
penggunaan antibiotika Amoxicillin 500 mg dalam penggunaannya diberikan tiga kali
sehari selama 3-5 hari akan membunuh bakteri patogen yang ada. Agar terapi berhasil
dan tidak terjadi resistensi maka frekuensi dan lama pemberian harus tepat.
7. Tepat harga
Penggunaan obat tanpa indikasi yang jelas atau untuk keadaan yang sama sekali tidak
memerlukan terapi obat merupakan pemborosan dan sangat membebani pasien,
termasuk peresepan obat yang mahal. Contoh Pemberian antibiotik pada pasien ISPA
non pneumonia dan diare non spesifik yang sebenarnya tidak diperlukan hanya
merupakan pemborosan serta dapat menyebabkan efek samping yang tidak
dikehendaki.

8. Tepat informasi
Kejelasan informasi tentang obat yang harus diminum atau digunakan pasien akan
sangat mempengaruhi ketaatan pasien dan keberhasilan pengobatan. Misalnya pada
peresepan Rifampisin harus diberi informasi bahwa urin dapat berubah menjadi
berwarna merah sehingga pasien tidak akan berhenti minum obat walaupun urinnya
berwarna merah.

9. Waspada efek samping


Pemberian obat potensial menimbulkan efek samping, yaitu efek tidak diinginkan
yang timbul pada pemberian obat dengan dosis terapi. Contohnya Penggunaan
Teofilin menyebabkan jantung berdebar. Prinsip 8 Tepat dan 1 Waspada diharapkan
dapat menjadi indikator untuk menganalisis rasionalitas dalam penggunaan Obat.
Kampanye POR diharapkan dapat meningkatkan efektivitas dan efisiensi belanja obat
dan mempermudah akses masyarakat untuk memperoleh obat dengan harga
terjangkau. POR juga dapat mencegah dampak penggunaan obat yang tidak tepat
sehingga menjaga keselamatan pasien. Pada akhirnya, POR akan meningkatkan
kepercayaan masyarakat (pasien) terhadap mutu pelayanan kesehatan.

1.Standard Operating Procedure (SOP) di unit Pelayanan Kesehatan


 Anamnesis
 Pemeriksaan
 Penegakan Diagnosis
 Pemilihan Intervensi Pengobatan
 Penulisan Resep
 Pemberian Informasi
 Tindak Lanjut Pengobatan

2.Penggunaan Obat Yang Rasional


Memenuhi kriteria :
- Sesuai dengan Indikasi penyakit
- Diberikan dengan dosis yang tepat
- Interval waktu pemberian yang tepat
- Lama Pemberian yang tepat
- Obat yang diberikan harus efektif, dengan mutu terjamin, murah dan aman.
Tersedia setiap saat dengan harga yang terjangkau.

Haruslah Mencakup :
1. Tepat Diagnosis
Contoh :
Penyakit diare disertai lendir, darah serta gejala tenesmus diagnosis amoehiasis → R /
metronidazol
2. Tepat Indikasi
Contoh → Infeksi Bakteri → antibiotic
Misal : Pada infeksi saluran nafas, adanya Sputummucapuralen atau bayi kurang dari 2
bulan, dengan kecepatan respirasi > 60 x/menit.3.
 
3. Tepat Pemilihan Obat
Contoh : Demam untuk kasus Infeksi dan inflamasi → Parasetamol (paling aman)
Sedangkan Asam mefenamat dan ibuprofen (anti inflamasi non steroid) → demam yang
terjadi akibat proses peradangan / inflamasi

4. Tepat dosis, cara dan lama pemberian → pemberian dosis >>> untuk obat yang bersifat
narrow therapeuric margin (rentang terapi yang sempit (mis : teofilin, digitalis,
minoklosida) → berisiko timbulnya efek samping.
Sebaliknya dosis terlalu kecil tidak menjamin terapi yang diinginkan.
  
5.Kepatuhan pasien
Ketidaktaatan minum obat terjadi pada keadaan :
Jenis/jumlah obat yang diberikan terlalu banyak 
Frekuensi pemberian obat perhari terlalu sering
Jenis sediaan obat terlalu beragam (mis : sirup, tablet dan lain-lain)
Pemberian obat dalam jangka panjang (mis : DM, hipertensi)
Pasien tidak mendapatkan penjelasan cukup cara minum dan lain-lain.

6.Tepat penilaian terhadap kondisi pasien


Respon terhadap efek obat sangat beragam → teofilin dan aminoglikosida pada kelainan
ginjal pemberian aminoglokosida →hindarkan → nefrotoksik meningkat.
Yang perlu dipertimbangkan :
 ß- blocker (mis : propanol) → tidak diberikan pada hipertensiyang mempunyai
riwayat asma → bronkospasmus
 Anti inflamasi non steroid sebaiknya dihindarai pada penderita asma → mencetuskan
serangan asma.
 Simetidin, klorpropamid, aminoglikosida, alopurinal pada usialanjut ekstra hati-hati
oleh karena waktu paruh memanjang secara bermakna → efek toksik meningkat pada
pemberian secara berulang.
 Peresapan kunilon (mis : siproloksaksin, afloksasin, tetrasiklin, doksisiklin dan
metronidazol pada ibu hamil → dihindari (efek buruk pada janin yang dikandungnya).
1. Tepat pemberian informasi
Contoh : Rifampisin → urin berwarna merah
  Antibiotika → harus diminum sampai habis (1 course of treatment)

2. Tepat dalam melakukan upaya tindak lanjut


Contoh :
 Teofilin sering gejala takikardi, jika terjadi dosis ditinjau ulang/obatnya diganti
 Syok anafilaksis pemberian injeksi adrenali yang kedua perlusegera dilakukan , jika
yang pertama respons sirkulasikardiovaculer belum seperti yang diharapkan.

Penggunaan Obat Yang Tidak Rasional


Sering dijumpai dalam praktek sehari-hari, tanpa indikasi yang jelas, penentuan dosis, cara
dan lama pemberian yang keliru serta harga yang mahal → contoh ketidakrasionalan
peresepan.
Tidak rasional → dampak negatif yang diterima oleh pasien >>dari manfaatnya. Dampak
negatif (efek samping dan resistensi kuman)dampak ekonomi (biaya tidak terjangkau)
dampak sosial (ketergantungan pasien terhadap intervensi obat).

Penggunaan obat yang tidak rasional dikategorikan (ciri-ciri) :

1. Peresepan berlebih (over prescribing)Yaitu memberikan obat yang sebenarnya tidak


diperlukanuntuk penyakit yang bersangkutan. Contoh :
 
2. Pemberian antibiotik pada ISPA non pneumonia (umumnyadisebabkan oleh virus).
 
3. Pemberian obat dengan dosis >> dari yang dianjurkan.

4. Jumlah obat yang diberikan lebih dari yang diperlukan untuk pengobatan penyakit


tersebut.

5. Peresepan kurang (under prescribing)Yaitu jika pemberian obat kurang dari yang
seharusnyadiperlukan, baik dosis, jumlah maupun lama pemberian. Contoh :
 Pemberian antibiotika obat selama 3 hari untuk ISPA Pneumonia
 Tidak memberikan oralit pada anak yang jelas menderita diare

6.Peresepan majemuk (multiple prescribing)


Yaitu jika memberikan beberapa obat untuk suatu indikasipenyakit yang sama, pemberian
lebih dari satu obat untuk penyakityang diketahui dapat disembuhkan dengan satu
jenis obat.Contoh : pemberian puyer pada anak dengan batuk pilek, berisi :
a. Amoksisilin
b. Parasetamol
c. GG
d. Deksametason
e. CTM dan Luminal

7.Peresepan salah (incorrect prescribing)


Yaitu Pemberian obat untuk indikasi yang keliru dengan resiko efek samping
Contoh :
 Pemberian antibiotic golongan kuinolon (mis: Siprofloksasin dan Ofloksasin) untuk
wanita hamil.
 Meresepkan Asam Mefenamat untuk demam pada anak < 2 tahun.

Contoh lain ketidakrasionalan penggunaan obat dalam prakteksehari-hari:


1. Pemberian obat untuk penderita yang tidak memerlukan terapi obat 
Contoh : Pemberian  Robaransia untuk perangsang nafsu makan pada anak interverensi
gizi jauh lebih bermanfaat.
2. Penggunaan obat yang tidak sesuai dengan indikasi penyakit.
Contoh : Pemberian   Injeksi vitamin B12 untuk keluhan  pegel linu
3. Pemberian obat yang tidak sesuai dengan aturan
Contoh :
- Pemberian  Ampisilin setelah makan
- Frekuensi Pemberian Amoksilin 4 x sehari, bukannya 3 x
4. Penggunaan obat yang memiliki potensi toksisitas >> sementaraobat lain dengan
mamfaat yang sama tetapi jauh lebih amantersedia.
Contoh : Pemakaian antibiotik golongan Aminoglikosida pada penderita usia lanjut →
resiko ototolsik dan nefrotoksik, sementara antibiotik lain yang aman tersedia.
5. Penggunaan obat yang harganya mahal, sementara obat sejenis denganmutu yang
sama dan harga lebih murah tersediaContoh : Peresepan obat paten relative mahal,
padahal ada obat generik murah, manfaat sama
6. Penggunaan obat yang belum terbukti secara ilmiah kemanfaatan dan keamanannya
Contoh : Obat baru yang belum teruji manfaat, keamanannya sementaraobat lain
telah teruji tersedia.
7. Penggunaan obat yang jelas-jelas akan mempengaruhi kebiasaan/persepsiyang keliru
dari masyarakat terhadap hasil pengobatan
Contoh : Kebiasaan pemberian injeksi Roboransia →penderita dewasa akan mendorong
selalu meminta diinjeksi jika datang dengan keluhan yang sama.
Contoh penggunaan obat yang tidak rasional :
 Pemberian injeksi B 12 untuk keluhan pegel linu

Dampak Penggunaan Obat Yang Tidak Rasional


Dampak negative beragam dan bervariasi (efek samping danbiaya mahal) yang lebih luas
(resistensi kuman terhadap antibiotik terterntu ), mutu pelayanan secara umum.

Secara ringkas dampak negative meliputi :


1. Dampak pada mutu pengobatan dan pelayanan
2. Dampak terhadap biaya pengobatan
3. Dampak terhadap kemungkinan efek samping dan efek lain yangtidak diharapkan.
4. Dampak terhadap mutu ketersediaan obat
5. Dampak psikosisial

A. Dampak pada mutu pengobatan dan pelayanan


Menghambat upaya penurunan angka morboditas dan mortalitas penyakit. 
Contoh : Penyakit diare akut non spesifik umumnya mendapat antibiotik dan obat injeksi
sementara → pemberian oralit (yang lebih dianjurkan) → kurang banyak dilakukan resiko
terjadinya dehidrasi pada anak → membahayakan keselamatan.
ISPA non pneumonia pada anak umumnya mendapat antibiotik yang sebenarnya tidak
perlu. Tidak mengherankan angka kematianbanyi dan balita akibat ISPA dan diare
masih cukup tinggi diIndonesia.

B. Dampak terhadap biaya pengobatan


 Pemakaian obat tanpa indikasi yang jelas
 Pemakaian obat sama sekali → tidak memerlukan terapi obat, merupakan
pemborosan dan membebani pasien.
 Peresepan obat mahal, ada murah → antibiotik.
  Contoh : ISPA non pneumonia → antibiotic.

C. Dampak terhadap kemungkinan Efek Samping dan efek lain yang tidak diharapkan


Contoh : 
- Resiko terjadinya penularan penyakit (mis : hepatitis dan HIV) meningkat pada
penggunaan injeksi yang tidak legeartis (mis : 1 jarum suntik digunakan untuk lebih
dari 1 pasien)
- Kebiasaan memberikan injeksi → meningkatkan syok anafilaksis
- Resiko efek samping meningkat secara konsisten → banyaknya jenis obat yang diberikan
pasien → nyata pada usia lanjut. Kelompok usia ini → 1 diantara 6 penderita.
- Terjadi resistensi kuman → antibiotic berlebih (over prescribing), kurang (under
prescribing), pemberian yangbukan indikasi (mis : oleh virus).

D. Dampak terhadap mutu ketersediaan obat


Dari studi dasar yang dilakukan oleh bagian farmakologi FKUGM bekerja sama dengan
Dirjen POM Depkes RI 1997.
Tahun 1998 lebih dari 80 % keluhan demam, batuk dan pilek → antibiotik rata -rata 3 hari
pemberian → keluhan puskesmas tidak cukup ketersediaan antibiotic, akibatnya pasien
menderita infeksi bakteri → antibiotik sudah tidak tersedia. Selanjutnya yang terjadi pasien
→ antibiotik yang bukan menjadi “drug of choice” dari infeksi tersebut.

Terdapat 2 masalah utama.


- Seolah-olah mutu ketersediaan obat sangat jauh dari memadai. Padahal yang terjadi →
antibiotic telah dibagi rata kesemua pasien yang sebenarnya tidak memerlukan.
- Dengan mengganti jenis antibiotik → tidak sembuh pasien (karena antibiotik yang
diberikan mungkin tidak memiliki spektrum anti
bakteri untuk penyakit tersebut (mis : Pneumonia → metronidazole) atau penyakit →
parah → meninggal.

E. Dampak Psikososial
Ketidakrasionalan pemberian obat → berpengaruh buruk bagi pasien.Pengaruh buruk dapat
berupa :
Ketergantungan terhadap intervensi obat maupun persepsi yang keliru
terhadap pengobatan.Contoh yang banyak dijumpai sehari-hari :
 Kebiasaan dokter/petugas kesehatan → injeksi → memuaskan pasien → dikaji ulang
→ oral lebih aman dari injeksi. Resiko >> pemberian tidak legartis (menggunakan
satu jarum secaraberulang-ulang).
 Tentunya kenyakinan pada masyarakat → injeksi pengobatan terbaik yang selalu
dianjurkan/ditawarkan oleh dokter atau petugas.
 Memberikan Roboransia pada anak → merangsang nafsu makan→ keliru, motivasi
orang tua → makan bergizi apalagi anak sakit.
Pemberian subtitusi terapi pada diare.
Diare → oralit (benar → tidak dianjurkan)
Diare akukt non spesifik → injeksi, antibiotic (tidak diperlukan)

Akibat penggunaan obat tidak rasional


 
1. Pemborosan biaya dan anggaran masyarakat
2. Resiko efek samping dan resistensi
3. Mutu ketesediaan obat kurang terjamin.
4. Mutu pengobatan dan pelayanan kesehatan buruk .
5. Memberikan persepsi yang keliru tentang pengobatan padamasyarakat.

Upaya Mengatasi Masalah Penggunaan Obat Yang Tidak Rasional


Dikelompokkan dalam beberapa hal
1. Upaya pendidikan (educational strategies)
2. Pendidikan selama masa kuliah (pre-service)
3. Sesudah menjalankan prkatek kepropesian (past-service)
4. Pendidikan past-service antara lain :
- Pendidikan berkelanjutan (contining-medical education)
- Informasi pengobatan (academic based detailing)
- Seminar-seminar, buletin dan lain-lain
- Sarana pendidikan yang dapat digunakan untuk intervensi :
• Materi cetak buletin, pedoman pengobatan
• Pendidikan tatap muka (face to face education) : kuliah penyegaran, seminar.
• Media lain : televise, video dan lain-lain.

Informasi / sumber-sumber informasi


Upaya informasi
- Intervensi informasi bagi dokter.
Informasi ilmiah → menunjang praktek keprofesian bebas dari pengaruh promosi
industry farmasi.
- Intervensi apoteker → mengenai obat
- Intervensi informasi bagi pasien / masyarakat → mentaati upaya pengobatan.

Informasi yang disampaikan ke pasien antara lain :


1. Penyakit yang diderita
2. Jenis dan peran obat yang diberikan dalam proses penyembuhan.
3. Informasi mengenai cara, frekuensi, lama pemberian obat.
4. Kemungkinan resiko efek samping.
5. Cara penanggulangan efek samping.
6. Apa yang harus dilakukan, jika dalam periode tertentu belum memberikan hasil yang
diharapkan.
Informasi yang harus dilakukan, selain pengobatan yang diberikanseperti : banyak minum
bagi penderita demam, istirahat dan makan minum secukupnya → common cold.

Jangan memberikan injeksi bila :


1. Tanpa indikasi yang jelas
2. Tidak dapat menyediakan satu jarum untuk satu pasien
3. Tidak dapat menyediakan adrenalin dan cartison di samping obatsuntik yang ada.
4. Tidak mengetahui cara penangaaanan syok anafilaksis.

6. Pedoman Pengobatan
a. Yaitu suatu perangkat ilmiah yang dapat digunakan sebagaipedoman dalam melakukan
pengobatan. Pedoman pengobatan hanyamemuat pilihan utama dan alternatif yang telah
terbukti memberikanmamfaat yang maksimal bagi pasien dengan risiko yang minimal.
b. Pedoman pengobatan sangat diperlukan sebagai salah satu pegangandalam pengambilan
keputusan terapetika, karena pedomanpengobatan pada dasarnya menganjurkan pilihan
terapi utama danaltrnartif yang sudah terbukti kemanfaatan (efficacy) dan keamanannya
(safety) untuk masing-masing kondisi penyakit
c. Dengan menggunakan pedoman pengobatan maka :
- Pasien hanya akan menerima pilihan obat yang baik (palingbermanfaat, aman,
ekonomik dan rasional serta tersedia setiapsaat diperlukan).
- Pelaksanaan pengobatan mencerminkan standard keprofesianyang tinggi.
- Kesediaan setiap obat lebih terjamin.
- Pelaksanaan program pengobatan lebih efisien.
- Secara formal memberi pengamanan hukum bagi dokter.

7. Pemantauan dan Evaluasi Penggunaan Obat Yang Rasional


1. Tujuan Pemantauan Penggunaan Obat yang RasionalUntuk menilai apakah kenyataan
praktek penggunaan obatyang dilakukan telah sesuai dengan pedoman yang disepakati.
2. Manfaat Pemantauan :
- Dengan pemantauan ini dapat dideteksi adanya kemungkinan pemakaian obat yang
berlebih (over prescribing), kurang (under prescribing), boros (extravagant
prescribing), maupun tidak tepat (incorrect prescribing).
- Perencanaan obat.
3. Cara Melakukan Pemantauan Penggunaan Obat
Secara langsung → anamnesis → sampai penyerahan obat.
4. Apa yang Dipantau
 Kecocokan antara gejala/tanda-tanda (symstoms/sings),diagnosis dan pengobatan
yang diberikan
 Kesesuaian pengobatan yang diberikan dengan pengobatanyang ada
 Pemakaian obat tanpa indikasi yang jelas (antibiotic untuk ISPA non peneumonia)
 Praktek polyfarmasi
 Ketepatan indikasi
Ketepatan jenis, jumlah, cara dan lama pemberian.
Monitoring dan Evaluasi.

Indikator Peresepan
Empat parameter utama yang akan dinilai dalam monitoring dan evaluasi penggunaan obat yang
rasional adalah :
- Penggunaan standar pengobatan
- Proses pengobatan (Penerapan SOP)
- Ketepatan diasnostik
- Ketepatan pemilihan intervensi pengobatan
Keempat parameter tersebut dijabarkan dalam indicator penggunaan obat :
 Rata-rata jenis obat per kasus
 Presentase penggunaan obat antibiotik 
 Presentase penggunaan injeksi.
BAB 5
PENUTUP

Kesimpulan
a. Penuaan atau proses menua adalah suatu akumulasi berbagai perubahan patologis di
dalam sel dan jaringan yang terjadi seiring waktu.
b. Proses yang terjadi berupa hilangnya kemampuan jaringan untuk memperbaiki atau
mengganti diri dan mempertahankan fungsinya secara perlahan-lahan.
c. Ada 2 proses penuaan, penuaan intrinsik (sejati) dan penuaan ekstrinsik.
Pembatasan aktifitas fisik, semakin lanjut usia seseorang, mereka akan mengalami
kemunduran terutama di bidang kemampuan fisik yang dapat mengakibatkan penurunan pada
peranan-peranan sosialnya. Hal ini mengakibatkan timbulnya gangguan dalam hal mencukupi
kebutuhan hidupnya. Sehingga dapat meningkatkan ketergantungan yang memerlukan
bantuan orang lain.
Pemberian obat yang aman dan akurat merupakan salah satu terapi obat terpenting
terhadap pasien. Obat adalah alat utama terapi yang digunakan dokter untuk mengobati
pasien yang memiliki masalah kesehatan. Walaupun obat menguntungkan pasien dalam
banyak hal, beberapa obat yang menimbulkan efek yang berbahaya akibat efek samping yang
ditimbulkan, memberikan obat dengan tepat, memantau respon dan membantu pasien
menggunakannya dengar benar dan berdasarkan pengetahuan akan dapat meningkatkan mutu pelayanan
kesehatan pada pasien.
DAFTAR PUSTAKA

https://www.scribd.com/presentation/498686002/faktor-yang-mempengaruhi-aging-process
https://id.scribd.com/doc/294974084/154337120-Makalah-Penggunaan-Obat-Rasional-Fix
Sneha Ambwani,Dr, A K Mathur ,Dr, Rational Drug Use, Health Administrator Vol : XIX
Number 1: 5-7

http://www.who.int/medicines/areas/rational_use/en/index.html

Iwan Dwiprahasto, Penggunaan obat yang tidak rasional dan implikasinya dalam sistem
pelayanan kesehatan, Bagian Farmakologi & Terapi/Clinical Epidemiology & Biostatistics
Unit
FK-UGM/RSUP. Dr. Sardjito Yogyakarta

Masalah Penggunaan Obat di Institusi Pelayanan Kesehatan, www.farklin.com

Rational Use of Antibiotic, http://www.rationalmedicine.org

Anda mungkin juga menyukai