Anda di halaman 1dari 2

Peran Ayah dalam Membimbing Literasi Sains

Suyitman
Pegiat Literasi Anak, Guru MTsN 1 Kebumen

FATHERLESS country atau negeri tanpa ayah merupakan istilah dan sekaligus sindiran bagi negara
yang minim keterlibatan ayah dalam mendidik anak. Dan, Indonesia termasuk di dalamnya. Meski
kesetaraan gender telah lama didengungkan, sebagian besar masyarakat masih menganggap bahwa
ayah hanya sebagai penanggung jawab dalam mencari nafkah. Urusan pendidikan anak merupakan
tugas seorang ibu atau pihak lain.

Berdasarkan hasil survei tentang Kualitas Pengasuhan Anak yang dilakukan Komisi Perlindungan Anak
Indonesia (KPAI) pada 2015, sebagaimana dikutip Sahabat Keluarga Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan (Kemendikbud), ibu masih mendominasi dalam pengasuhan anak. Selain ibu, ada asisten
rumah tangga dan nenek atau kakek. Ayah yang terlibat dalam proses pengasuhan anak secara
langsung hanya 27,9%. Sebuah kondisi yang cukup memprihatinkan.

Padahal peran ayah sangat vital bagi perkembangan anak, apalagi bagi pengembangan literasi sains.
Literasi sains diartikan sebagai pengetahuan dan kecakapan ilmiah untuk mampu mengidentifikasi
pertanyaan, memperoleh pengetahuan baru, menjelaskan fenomena ilmiah, serta mengambil simpulan
berdasar fakta. Literasi sains juga berkaitan dengan pemahaman terhadap karakteristik sains,
kesadaran bagaimana sains dan teknologi membentuk lingkungan alam, intelektual, dan budaya, serta
kemauan untuk terlibat dan peduli terhadap isu-isu yang terkait sains (OECD, 2016).

Dengan kata lain, literasi sains yang membutuhkan cara berpikir rasional, logis, dan sistematis.
Kemampuan dasar dalam literasi sains banyak diperoleh dari ayah. Berdasarkan penelitian neurologis,
sebagaimana dikutip oleh Muazzah dalam Sahabat Keluarga Kemendikbud, ayah menggunakan 99%
akalnya, sedangkan ibu hanya 1%. Kebiasaan ini melahirkan istilah “ayah lebih tega daripada ibu.”

Ayah lebih banyak menggunakan akalnya daripada perasaan, sedangkan ibu lebih dominan pada rasa.
Karena itulah, dalam literasi sains, sosok ayah menjadi model utama bagi anak untuk lebih banyak
menggunakan akalnya daripada perasaan. Dominannya penggunaan akal dalam literasi sains banyak
didapatkan oleh kedekatan anak dengan ayahnya.

Ayah Habibie

Salah satu ayah yang berhasil menerapkan literasi sains kepada anaknya adalah Alwi Abdul Djalil
Habibie, ayah dari presiden ke-3 RI, BJ Habibie. Selain karena kejeniusannya, Habibie juga mendapat
pendidikan yang baik dari ayahnya. Alwi berperan penting dalam mendidik Habibie kecil sehingga
menjadi seorang teknokrat yang mendunia.

Peran Alwi dapat dibaca dalam buku biografi BJ Habibie berjudul “Rudy: Kisah Masa Muda Sang
Visioner”. Dalam buku karangan Gina S Noer, dapat diperoleh teladan tentang peran ayah dalam
pendidikan literasi sains. Ada beberapa hal yang dapat ditiru dari pengalaman Habibie kecil dan
ayahnya, antara lain: pertama, mengembangkan rasa ingin tahu. Bukan hanya Habibie, setiap anak
pasti memiliki rasa ingin tahu yang besar. Mereka akan menanyakan apa saja yang dilihatnya. Rasa
ingin tahu itulah sebagai dasar literasi sains yang menyebabkan mereka berpikir, bertanya, dan belajar.

Rasa ingin tahu muncul ketika jaringan otak mulai terbentuk. Setelah bayi lahir, pertumbuhan otak anak
berkembang 80% hingga usianya 3 tahun. Perkembangan otak mencapai kesempurnaannya ketika
anak berusia 5 tahun. Saat itu jaringan koneksi otak terbentuk dan aktif. Otak mampu menyerap
informasi maupun merespons stimulasi baru dengan kecepatan dua kali lebih cepat dari orang dewasa.
Itulah mengapa masa balita berusia 1–5 tahun disebut sebagai masa periode emas atau golden age.
Masa ini tentunya tidak akan terulang, sebaiknya ayah berperan aktif untuk mengoptimalisasi
kecerdasan anak di masa tersebut. Ayah harus memberikan pola asuh yang baik dan memberi stimulus
yang tepat sebagaimana Alwi berikan kepada Habibie.

Kedua, menggunakan bahasa sederhana. Suatu ketika, saat berusia tiga tahun, Habibie menanyakan
apa yang dilakukan ayahnya dengan menggabungkan dua pohon mangga yang berbeda. Alwi pun
menjawabnya dengan bahasa anak. Tujuan penggabungan dua pohon itu agar Habibie dan teman-
temannya bisa makan mangga yang enak. Jawaban Alwi merupakan bahasa anak yang sederhana dan
mudah dipahami.

Jawaban tersebut membuat rasa ingin tahu Habibie terus berkembang. Habibie selalu menanyakan apa
yang ditemui dan dilihat pada ayahnya. Habibie juga ingin mengetahui apa penyebabnya, mengapa bisa
begini, mengapa bisa begitu.

Ketiga, literasi membaca. Setelah rasa ingin tahu Habibie tumbuh, Alwi mengajari Habibie membaca dan
menyediakan buku-buku. Karena faktor kejeniusannya, Habibie mampu membaca pada usia empat
tahun. Kemampuan tersebut juga didukung oleh faktor tingginya rasa ingin tahu. juga dipengaruhi oleh
besarnya rasa ingin tahu. Ibarat orang yang sedang lapar, Habibie melahap buku-buku pemberian
ayahnya. Pada usia itu, buku menjadi cinta pertama Habibie dan membaca menjadi bagian hidupnya.

Keempat, memberi kesempatan anak menemukan jawaban sendiri. Setelah mampu membaca, Habibie
akan mencari tahu jawaban dari pertanyaan-pertanyaannya. Habibie membaca buku untuk menjawab
pertanyaan yang mengganggu pikirannya. Penemuan sendiri atas jawaban pertanyaan akan tertanam
lebih lama di dalam ingatan anak.

Kelima, melibatkan anak dalam kegiatan ayah. Habibie tidak mungkin bertanya tentang stek pohon
mangga, jika dia tidak melihat langsung apa yang dilakukan ayahnya. Sebagai landbouwconsulent atau
setara dengan kepala dinas pertanian saat ini, Alwi banyak melakukan percobaan untuk meningkatkan
tanaman pangan. Saat itulah Habibie melihat eksperimen yang dilakukan ayahnya sehingga rasa ingin
tahunya terus berkembang.

Itulah lima hal yang dapat ditiru oleh ayah zaman sekarang. Dengan memberikan pendidikan literasi
sains kepada anak sejak kecil maka akan menjadi bekal ketika anak dewasa. Alwi tidak mendidik
Habibie sampai dewasa. Dia meninggal dunia ketika Habibie berusia 13 tahun. Meski begitu,
pengalaman kecilnya bersama ayah menjadikan Habibie sebagai tokoh kebanggaan Indonesia.

Sebagai penutup, penulis menyadari bahwa mungkin anak kita tidak sejenius Habibie kecil, tapi dengan
perhatian dan pendidikan yang ayah berikan, anak kita mungkin bisa lebih hebat dari Habibie. Bukankah
Einstein bilang kesuksesan seseorang hanya 1% ditentukan oleh kejeniusan? Sisanya 99% adalah
usaha, termasuk pendidikan oleh ayah.

Tulisan ini dapat Anda dapatkan pada laman https://nasional.sindonews.com/berita/1443518/18/peran-


ayah-dalam-membimbing-literasi-sains

Anda mungkin juga menyukai