Anda di halaman 1dari 20

SOSIOLOGI SASTRA SEBAGAI PENDEKATAN MENGANALISIS KARYA

SASTRA

A. Pendahuluan
Sosiologi sastra merupakan pendekatan yang bertolak dari orientasi kepada semesta, namun bisa
juga bertolak dari orientasi kepada pengarang dan pembaca. Menurut pendekatan sosiologi
sastra, karya sastra dilihat hubungannya dengan kenyataan, sejauh mana karya sastra itu
mencerminkan kenyataan. Kenyataan di sini mengandung arti yang cukup luas, yakni segala
sesuatu yang berada di luar karya sastra dan yang diacu oleh karya sastra.
Demikianlah, pendekatan sosiologi sastra menaruh perhatian pada aspek dokumenter sastra,
dengan landasan suatu pandangan bahwa sastra merupakan gambaran atau potret fenomena
sosial. Pada hakikatnya, fenomena sosial itu bersifat konkret, terjadi di sekeliling kita sehari-hari,
bisa diobservasi, difoto, dan didokumentasikan. Oleh pengarang, fenomena itu diangkat kembali
menjadi wacana baru dengan proses kreatif (pengamatan, analisis, interpretasi, refleksi,
imajinasi, evaluasi, dan sebagainya) dalam bentuk karya sastra.
Sastra menyajikan gambaran kehidupan, dan kehidupan itu sendiri sebagian besar terdiri dari
kenyataan sosial. Dalam pengertian ini, kehidupan mencakup hubungan antarmasyarakat dengan
orang-orang, antarmanusia, antarperistiwa yang terjadi dalam batin seseorang. Maka,
memandang karya sastra sebagai penggambaran dunia dan kehidupan manusia, kriteria utama
yang dikenakan pada karya sastra adalah "kebenaran" penggambaran, atau yang hendak
digambarkan. Namun Wellek dan Warren mengingatkan, bahwa karya sastra memang
mengekspresikan kehidupan, tetapi keliru kalau dianggap mengekspresikan selengkap-
lengkapnya. Hal ini disebabkan fenomena kehidupan sosial yang terdapat dalam karya sastra
tersebut kadang tidak disengaja dituliskan oleh pengarang, atau karena hakikat karya sastra itu
sendiri yang tidak pernah langsung mengungkapkan fenomena sosial, tetapi secara tidak
langsung, yang mungkin pengarangnya sendiri tidak tahu
Pengarang merupakan anggota yang hidup dan berhubungan dengan orang- orang yang berada
disekitarnya, maka dalam proses penciptaan karya sastra seorang pengarang tidak terlepas dari
pengaruh lingkungannya. Oleh karena itu, karya sastra yang lahir ditengah-tengah masyarakat
merupakan hasil pengungkapan jiwa pengarang tentang kehidupan, peristiwa, serta pengalaman
hidup yang telah dihayatinya.
Dengan demikian, sebuah karya sastra tidak pernah berangkat dari kekosongan sosial. Artinya
karya sastra ditulis berdasarkan kehidupan sosial masyarakat tertentu dan menceritakan
kebudayaan-kebudayaan yang melatarbelakanginya.
Berangkat dari uraian tersebut, dalam tulisan ini akan diuraian pengertian Sosiologi Sastra
Sebagai Pendekatan dalam Menganalisis Karya Sastra

B. Sosiologi Sastra Sebagai Pendekatan Menganalisis Karya Sastra

Sosiologi sastra berasal dari kata sosiologi dan sastra. Sosiologi berasal dari kata sos (Yunani)
yang berarti bersama, bersatu, kawan, teman, dan logi (logos) berarti sabda, perkataan,
perumpamaan. Sastra dari akar kata sas (Sansekerta) berarti mengarahkan, mengajarkan,
memberi petunjuk dan instruksi. Akhiran tra berarti alat, sarana. Merujuk dari definisi tersebut,
keduanya memiliki objek yang sama yaitu manusia dan masyarakat. Meskipun demikian, hakikat
sosiologi dan sastra sangat berbeda bahkan bertentangan secara dianetral.
Sosiologi adalah ilmu objektf kategoris, membatasi diri pada apa yang terjadi dewasa ini (das
sain) bukan apa yang seharusnya terjadi (das solen). Sebaliknya karya sastra bersifat evaluatif,
subjektif, dan imajinatif.
Menurut Ratna (2003: 2) ada sejumlah definisi mengenai sosiologi sastra yang perlu
dipertimbangkan dalam rangka menemukan objektivitas hubungan antara karya sastra dengan
masyarakat, antara lain.
1. Pemahaman terhadap karya sastra dengan pertimbangn aspek kemasyarakatannya.
2. Pemahaman terhadap totalitas karya yang disertai dengan aspek kemasyarakatan yang
terkandung di dalamnya.
3. Pemahaman terhadap karya sastra sekaligus hubungannya dengan masyarakat yang
melatarbelakangi.
4. Sosiologi sastra adalah hubungan dua arah (dialektik) anatara sastra dengan masyarakat, dan
5. Sosiologi sastra berusaha menemukan kualits interdependensi antara sastra dengan
masyarakat.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa sosiologi sastra tidak terlepas dari manusia dan
masyarakat yang bertumpu pada karya sastra sebagai objek yang dibicarakan.
Sosiologi sebagai suatu pendekatan terhadap karya sastra yang masih mempertimbangkan karya
sastra dan segi-segi sosial Wellek dan Warren (1956: 84, 1990: 111) membagi sosiologi sastra
sebagai berikut.
1. Sosiologi pengarang, profesi pengarang, dan istitusi sastra, masalah yang berkaitan di sini
adalah dasar ekonomi produksi sastra, latar belakang sosial status pengarang, dan idiologi
pengarang yang terlibat dari berbagai kegiatan pengarang di luar karya sastra, karena setiap
pengarang adalah warga masyarakat, ia dapat dipelajari sebagai makhluk sosial. Biografi
pengarang adalah sumber utama, tetapi studi ini juga dapat meluas ke lingkungan tempat tinggal
dan berasal. Dalam hal ini, informasi tentang latar belakang keluarga, atau posisi ekonomi
pengarang akan memiliki peran dalam pengungkapan masalah sosiologi pengarang (Wellek dan
Warren,1990:112)
2. Sosiologi karya sastra yang memasalahkan karya sastra itu sendiri yang menjadi pokok
penelaahannya atau apa yang tersirat dalam karya sastra dan apa yang menjadi tujuannya.
Pendekatan yang umum dilakukan sosiologi ini mempelajari sastra sebagai dokumen sosial
sebagai potret kenyataan sosial. (Wellek dan Warren, 1990:122). Beranggapan dengan
berdasarkan pada penelitian Thomas Warton (penyusun sejarah puisi Inggris yang pertama)
bahwa sastra mempunyai kemampuan merekam ciri-ciri zamannya. Bagi Warton dan para
pengikutnya sastra adalah gudang adat-istiadat, buku sumber sejarah peradaban.
3. Sosiologi sastra yang memasalahkan pembaca dan dampak sosial karya sastra, pengarang
dipengaruhi dan mempengaruhi masyarakat; seni tidak hanya meniru kehidupan, tetapi juga
membentuknya. Banyak orang meniru gaya hidup tokoh-tokoh dunia rekaan dan diterapkan
dalam kehidupannya.
Klasifikasi Wellek dan Warren sejalan dengan klasifikasi Ian Watt (dalam Damono, 1989: 3-4)
yang meliputi hal-hal berikut.
1. Konteks sosial pengarang, dalam hal ini ada kaitannya dengan posisi sosial sastrawan dalam
masyarakat, dan kaitannya dengan masyarakat pembaca termasuk juga faktor-faktor sosial yang
dapat mempengaruhi karya sastranya, yang terutama harus diteliti yang berkaitan dengan : (a)
bagaimana pengarang mendapat mata pencahariannya, apakah ia mendapatkan dari pengayoman
masyarakat secara langsung, atau pekerjaan yang lainnya, (b) profesionalisme dalam
kepengaragannya, dan (c) masyarakat apa yang dituju oleh pengarang.
2. Sastra sebagai cermin masyarakat, maksudnya seberapa jauh sastra dapat dianggap carmin
keadaan masyarakat. Pengertian “cermin” dalam hal ini masih kabur, karena itu, banyak
disalahtafsirkan dan disalahgunakan. Yang harus diperhatikan dalam klasifikasi sastra sebagai
cermin masyarakat adalah (a) sastra mungkin tidak dapat dikatakan mencerminkan masyarakat
pada waktu ditulis, sebab banyak ciri-ciri masyarakat ditampilkan dalam karya itu sudah tidak
berlaku lagi pada waktu ia ditulis, (b) sifat “lain dari yang lain” seorang pengarang sering
mempengaruhi pemilihan dan penampilan fakta-fakta sosial dalam karyanya, (c) genre sastra
sering merupakan sikap sosial suatu kelompok tertentu, dan bukan sikap sosial seluruh
mayarakat, (d) sastra yang berusaha untuk menampilkan keadaan masyarakat secermat-
cermatnya mungkin saja tidak dapat dipercaya sebagai cermin masyarakat. Sebaliknya, sastra
yang sama sekali tidak dimaksudkan untuk menggambarkan masyarakat mungkin masih dapat
digunakan sebagai bahan untuk mendapatkan informasi tentang masyarakat tertentu. Dengan
demikian, pandangan sosial pengarang diperhitungkan jika peneliti karya sastra sebagai cermin
masyarakat.
3. Fungsi sosial sastra, maksudnya seberapa jauh nilai sastra berkaitan dengan nilai-nilai sosial.
Dalam hubungan ini ada tiga hal yang harus diperhatikan (1) sudut pandang ekstrim kaum
Romantik yang menganggap sastra sama derajatnya dengan karya pendeta atau nabi. Karena itu,
sastra harus berfungsi sebagai pengbaharu dan perombak, (2) sastra sebagai penghibur saja, dan
(3) sastra harus mengajarkan sesuatu dengan cara menghibur.
Dalam bukunya A Glossary of Literature Term. Abrams menulis bahwa dari sosiologi sastra ada
tiga perhatian yang dapat dilakukan oleh kritikus atau peneliti yaitu:
1. Penulis dengan lingkungan budaya tempat ia tinggal.
2. Karya, dengan kondisi sosial yang direfleksikan di dalamnya.
3. Audien atau pembaca (1981: 178).
Lain halnya dengan Grebsten (dalam Damono, 1989) dalam bukunya mengungkapkan istilah
pendekatan sosiologi kultural terhadap sastra dengan kesimpulan sebagai berikut.
1. Karya sastra tidak dapat dipahami secara lengkap apabila dipisahkan dari lingkungan atau
kebudayaan atau peradaban yang telah menghasilkannya. Ia harus dipelajari dalam konteks yang
seluas-luasnya dan tidak hanya dirinya sendiri. Setiap karya sastra adalah hasil dari pengaruh
timbal-balik yang rumit dari faktor-faktor sosial dan kultural. Karya sastra itu sendiri merupakan
objek kultural yang rumit. Bagimanapun karya sastra bukanlah suatu gejala yang tersendiri.
2. Gagasan yang ada dalam karya sastra sama pentingnya dengan bentuk dan teknik
penulisannya, bahkan boleh dikatakan bahwa bentuk dan teknik itu ditentukan oleh gagasan
tersebut. Tak ada karya sastra yang besar yang diciptakan berdasarkan gagasan sepele dan
dangkal; dalam pengertian ini sastra adalah kegiatan yang sungguh-sunggug.
3. Setiap karya sastra yang bisa bertahan lama pada hakikatnya adalah suatu moral, baik dalam
hubungannya dengan kebudayaan sumbernya maupun dalam hubungannya dengan orang per
orang. Karya sastra bukan merupakan moral dalam arti yang sempit, yaitu yang sesuai dengan
suatu kode atau tindak tanduk tertentu, melainkan dalam pengertian bahwa ia terlibat di dalam
kehidupan dan menampilkan tanggapan evaluatif terhadapnya. Dengan demikian sastra adalah
eksprimen moral.
4. Masyarakat dapat mendekati karya sastra dari dua arah. Pertama, sebagai sesuatu kekuatan
atau faktor material, istimewa, dan kedua, sebagai tradisi yakni kecenderungan spiritual kultural
yang bersifat kolektif. Dengan demikian bentuk dan isi karya sastra dapat mencerminkan
perkembangan sosiologi, atau menunjukkan perubahan-perubahan yang halus dalam watak
kultural.
5. Kritik sastra seharusnya lebih dari sekedar perenungan estetis yang tampa pamrih ia harus
melibatkan diri dalam suatu tujuan tertentu. Kritik adalah kegiatan yang terpenting yang harus
mampu mempengaruhi penciptaaan sastra tidak dengan cara mendikte sastrawan agar memilih
tema tertentu misalnya, melainkan dengan menciptakan iklim tertentu yang bermanfaat bagi
penciptaan seni besar.
6. Kritikus bertanggung jawab baik kepada sastra masa silam maupun sastra masa depan. Dari
sumber sastra yang sangat luas itu kritikus harus memilih yang sesuai untuk masa kini.
Perhatiannya bukanlah seperti pengumpul benda-benda kuno yang kerjanya hanya menyusun
kembali, tetapi memberi penafsiran seperti yang dibutuhkan oleh masa kini. Dan karena setiap
generasi membutuhkan pilihan yang berbeda-beda, tugas kritikus untuk menggali masa lalu tak
ada habisnya.
Lanjut Damono (1989: 14) mengemukakan bahwa segala yang ada di dunia ini sebenarnya
merupakan tiruan dari kenyataan tertinggi yang berada di dunia gagasan. Seniman hanyalah
meniru apa yang ada dalam kenyataan dan hasilnya bukan suatu kenyataan. Pandangan senada
dikemukakan oleh Teeuw (1984- 220) mengatakan bahwa dunia empirek tak mewakili dunia
sesungguhnya, hanya dapat mendekatinya lewat mimesis, penelaahan, dan pembayangan ataupun
peniruan. Lewat mimesis, penelaahan kenyataan mengungkapkan makna, hakikat kenyataan itu.
Oleh karena itu, seni yang baik harus truthful berani dan seniman harus bersifat modest, rendah
hati. Seniman harus menyadari bahwa lewat seni dia hanya dapat mendekati yang ideal.
Endraswara dalam bukunya Metodologi Pengajaran Sastra, memberi pengertian bahwa sosiologi
sastra adalah penelitian yang terfokus pada masalah manusia karena sastra sering
mengungkapkan perjuangan umat manusia dalam menentukan masa depannya, berdasarkan
imajinasi, perasaan, dan intuisi (2003: 79). Sementara, Faruk (1994: 1) memberi pngertian bahwa
sosiologi sastra sebagai studi ilmiah dan objektf mengenai manusia dalam masyarakat, studi
mengenai lembaga dan proses-proses sosila. Selanjutnya, dikatakan bahwa sosiologi berusaha
menjawab pertanyaan mengenai bagaimana masyarakat dimungkinkan, bagaimana cara kerjanya,
dan mengapa masyarakat itu bertahan hidup.
Lewat penelitian mengenai lembaga-lembaga sosial, agama, ekonomi, politik dan keluarga yang
secara bersama-sama membentuk apa yang disebut sebagai struktur sosial, agama, ekonomi,
politik, dan keluarga yang secara bersama-sama membentuk apa yang disebut sebagai struktur
sosial, sosiologi dikatakan memperoleh gambaran mengenai cara-cara menyesuaikan dirinya
dengan dan ditentukan oleh masyarakat-masyarakat tertentu, gambaran mengenai mekanisme
sosialitas, proses belajar secara kultural yang dengannya individu-individu dialokasikannya pada
dan menerima peranan tertentu dalam struktur sosial itu.
Sosiologi sastra memiliki perkembangan yang cukup pesat sejak penelitian-penelitian yang
menggunakan teori strukturalisme dianggap mengalami stagnasi. Didorong oleh adanya
kesadaran bahwa karya sastra harus difungsikan sama dengan aspek-aspek kebudayaan yang
lain, maka karya sastra harus dipahami sebagai bagian yang tak terpisahkan dengan sistem
komunikasi secara keseluruhan.
Menurut Ratna (2003: 332) ada beberapa hal yang harus dipertimbangkan mengapa sastra
memiliki kaitan erat dengan masyarakat dan dengan demikian harus diteliti dalam kaitannya
dengan masyarakat, sebagai berikut.
1. Karya sastra ditulis oleh pengarang, diceritakan oleh tukang cerita, disalin oleh penyalin,
ketiganya adalah anggota masyarakat.
2. Karya sastra hidup dalam masyarakat, menyerap aspek-aspek kehidupan yang terjadi dalam
masyarakat yang pada gilirannya juga difungsikan oleh masyarakat.
3. Medium karya sastra baik lisan maupun tulisan dipinjam melalui kompetensi masyarakat yang
dengan sendirinya telah mengandung masalah kemasyarakatan.
4. Berbeda denga ilmu pengetahuan, agama, dan adat-istiadat dan tradisi yang lain, dalam karya
sastra terkandung estetik, etika, bahkan juga logika. Masyarakat jelas sangat berkepentigan
terhadap ketiga aspek tersebut.
5. Sama dengan masyarakat, karya sastra adalah hakikat intersubjektivitas, masyarakat
menemukan citra dirinya dalam suatu karya.
Berdasarkan uraian tersebut dapat dikatakan bahwa sosiologi sastra dapat meneliti melalui tiga
perspektif, pertama, perspektif teks sastra, artinya peneliti menganalisisnya sebagai sebuah
refleksi kehidupan masyarakat dan sebaliknya. Kedua, persepektif biologis yaitu peneliti
menganalisis dari sisi pengarang. Perspektif ini akan berhubungan dengan kehidupan pengarang
dan latar kehidupan sosial, budayanya. Ketiga, perspektif reseptif, yaitu peneliti menganalisis
penerimaan masyarakat terhadap teks sastra.
Sosiologi karya sastra itu sendiri lebih memperoleh tempat dalam penelitian sastra karena
sumber-sumber yang dijadikan acuan mencari keterkaitan antara permasalahan dalam karya
sastra dengan permasalahan dengan masyarakat lebih mudah diperoleh. Di samping itu,
permasalahan yang diangkat dalam karya sastra biasanya masih relevan dalam kehidupan
masyarakat.
Sastra dapat dikatakan sebagai cermin masyarakat, atau diasumsikan sebagai salinan kehidupan,
tidak berarti struktur masyarakat seluruhnya dapat tergambar dalam sastra. Yang didapat di
dalamnya adalah gambaran masalah masyarakat secara umum ditinjau dari sudut lingkungan
tertentu yang terbatas dan berperan sebagai mikrokosmos sosial. Seperti lingkungan bangsawan,
penguasa, gelandangan, rakyat jelata, dan sebagainya.
Perkembangan sosiolgi sastra modern tidak terlepas dari Hippolyte Taine, seorang ahli sosiologi
sastra modern yang pertama membicarakan latar belakang timbulnya karya sastra besar,
menurutnya ada tiga faktor yang mempengaruhi, yaitu ras, saat, dan lingkungan (Abrams, 1981:
178). Hubungan timbal-balik antara ras, saat, dan lingkungan inilah yang menghasilkan struktur
mental pengarang yang selanjutnya diwujudkan dalam karya sastra. Taine, menuruskan bahwa
sosiologi sastra ilmiah apabila menggunakan prinsip-prinsip penelitian seperti ilmu pasti, hukum.
Karya sastra adalah fakta yang multi-interpretable tentu kadar “kepastian” tidak sebanding
dengan ilmu pasti. Yang penting peneliti sosiologi karya sastra hendaknya mampu
mengungkapkan hal ras, saat, dan lingkungan
Berkaitan dengan sosiologi sastra sebagai kajian Eagleton (1983), mengemukakan bahwa
sosiologi sastra menonjol dilakukan oleh kaum Marxisme yang mengemukakan bahwa sastra
adalah refleksi masyarakat yang dipengaruhi oleh kondisi sejarah. Sastra karenanya, merupakan
suatu refleksi llingkungan budaya dan merupakan suatu teks dialektik antara pengarang. Situasi
sosial yang membentuknya atau merupakan penjelasan suatu sejarah dialektik yang
dikembangkan dalam karya sastra.
Sebagaimana yang dikemukakan Damono, Swingewood (1972: 15) pun mengingatkan bahwa
dalam melakukan analisis sosiologi terhadap karya sastra, kritikus harus berhati-hati dengan
slogan “sastra adalah cermin masyarakat’’. Hal ini melupakan pengarang, kesadaran, dan
tujuannya. Dalam melukiskan kenyataan, selain melalui refleksi, sebagai cermin, juga dengan
cara refleksi sebagai jalan belok. Seniman tidak semata melukiskan keadaan sesungguhnya,
tetapi mengubah sedemikian rupa kualitas kreativitasnya. Dalam hubungan ini Teeuw (1984: 18-
26) mengemukakan ada empat cara yang mungkin dilalui, yaitu (a) afirmasi ( merupakan norma
yang sudah ada, (b) restorasi ( sebagai ungkapan kerinduan pada norma yang sudah usang), (c)
negasi (dengan mengadakan pemberontakan terhadap norma yang sedang beralaku, (d) inovasi
(dengan mengadakan pembaharuan terhadap norma yang ada).
Berkenaan dengan kaitan antara sosiologi dan sastra tampaknya Swingewood (1972: 15)
mempunyai cara pandang bahwa suatu jagad yang merupakan tumpuan kecemasan, harapan, dan
aspirasi manusia, karena di samping sebagai makhluk sosial budaya akan sangat sarat termuat
dalam karya sastra. Hal inilah yang menjadi bahan kajian dalam telaah sosiologi sastra.

C. Penutup
Perkembangan sosiologi sastra merupakan perkembangan dari pendekatan mimetik yang
memahami karya sastra dalam hubungannya dengan realitas dan aspek sosial kemasyarakatan.
Sebagai salah satu pendekatan dalam kritik sastra, sosiologi sastra dapat mengacu pada cara
memahami dan menilai sastra yang memprtimbangkan segi-segi kemasyarakatan (sosial).
Pengkajian sastra dapat memahami dan menelaah karya sastra dari sosiologi pengarang,
sosiologi karya, dan sosiologi pembaca. Melalui sosiologi pengarang misalnya akan dikaji novel
Pramoedya Ananta Toer Bumi Manusia dengan hubungan dengan latar sosial pengarang yang
berasal dari Blora sebuah kota di perbatasan Jawa Tengah dan Jawa Timur. Ia anak sulung dari
sembilan bersaudara. Ayahnya adalah nasionalis tulen yang sebelum perang ikut dalam berbagai
kegiatan, tetapi secara politik tidak tergolong sayap kiri. Gelar bangsawan “Mas” ia coret dari
namanya, hingga Pram kecil bertahun-tahun kemudian masih melihat coretan di awal papan
nama di rumah orang tuanya.
Contoh penerapan sosiologi karya sastra dalam hubungannya dengan masalah sosial adalah
pengkajian novel Bumi Manusia dengan mengaitkannya dengan realitas kehidupan yang terjadi
dalam masyarakat. Novel tersebut dipahami dalam hubungannya dengan masalah latar cerita
hukum Belanda dan hubungan antara pribumi dan orang Belanda yang memiliki hubungan
bersekat antara tuan kelas atas dan kaum rendahan. Sejarah mencatat kaum pribumi berada pada
bawah. bahkan dibawah Cina secara hubungan hirarki dalam sejarah kekuasaan Belanda. Novel
ini membuat pembaca mengerti hubungan Nyai yang bukanlah seorang Meufrow atau nyonya.
Hukum belanda yang tak berpihak kaum pribumi. Sampai posisi kaum terdidik yang tetap tak
sama dengan kamu terdidik dari keturunan Belanda. Cerita ini menggambarkan keadaan struktur
sosial, ekonomi dan budaya pada jamannya. setiap manusia menempati posisinnya masing-
masing. Sebagai bukti struktur sosial berlaku sampai sekarang.
Selanjutnya, penerapan sosiologi pembaca Bumi Manusia sebagai karya sastra yang tergolong
banyak dibaca dan ditanggapi masyarakat. Walaupun motivasi para pembaca dalam membaca
novel tersebut mungkin bermacam-macam, misalnya ada yang menganggapnya sebagai huburan
belaka. Ada yang tertarik karena ceritanya tentang kehidupan seorang nyai yang kuat, prinsif,
dan objektif. Hal ini juga didukung oleh fakta bahwa Buku ini ditulis Pramoedya Ananta Toer
ketika masih mendekam di Pulau Buru. Sebelum ditulis pada tahun 1975, sejak tahun 1973
terlebih dahulu telah diceritakan ulang kepada teman-temannya.Setelah diterbitkan, Bumi
Manusia kemudian dilarang beredar setahun kemudian atas perintah Jaksa Agung. Sebelum
dilarang, buku ini sukses dengan 10 kali cetak ulang dalam setahun pada 1980-1981. Sampai
tahun 2005, buku ini telah diterbitkan dalam 33 bahasa. Pada September 2005, buku ini
diterbitkan kembali di Indonesia oleh Lentera Dipantara.
Buku ini melingkupi masa kejadian antara tahun 1898 hingga tahun 1918, masa ini adalah masa
munculnya pemikiran politik etis dan masa awal periode Kebangkitan Nasional. Masa ini juga
menjadi awal masuknya pemikiran rasional ke Hindia Belanda, masa awal pertumbuhan
organisasi-organisasi modern yang juga merupakan awal kelahiran demokrasi pola Revolusi
Perancis.
Diposkan oleh Siti Aida Azis di Rabu, April 15, 2009

Sosiologi Sastra
Sosiologi sebagai studi yang ilmiah dan objektif mengenai manusia dalam masyarakat, studi
mengenai lembaga-lembaga dan proses-proses sosial. Oleh karenanya sosiologi berusaha
menjawab pertanyaan mengenai masyarakat dimungkinkan, bagaimana carakerjanya dan
mengapa masyarakat itu bertahan hidup. Gambaran ini akan menjelaskan cara-cara manusia
menyesuaiakan diri dengan ditentukan oleh masyarakat-masyarakat tertentu, gambaran mengenai
mekanisme sosialisasi, proses belajar secara kultural, yang dengannya individu-individu
dialokasikan pada dan menerima peranan-peranan tertentu dalam strutur sosial. Di samping itu
sosiologi juga menyangkut mengani perubahan-perubahan sosial yang terjadi secara berangsur-
angsur maupun secara revolusioner dengan akibat-akibat yang ditimbulkan oleh perubahan
tersebut (Damono, 1978).

2. Sasaran Penelitian Sosiologi Sastra


a. Konteks Sosial Pengarang
Konteks sosial sastrawan ada hubungannya dengan posisi sosial sastrawan dalam masyarakat dan
kaitannya dengan masyarakat pembaca. Dalam bidang pokok ini termasuk juga faktor-faktor
sosial yang dapat mempengaruhi karya sastranya. Oleh karena itu, yang terutama diteliti adalah
sebagai berikut.
1) Bagaimana sastrawan mendapatkan mata pencaharian; apakah ia menerima bantuan dari
pengayom atau dari masyarakat secara langsung atau bekerja rangkap.
2) Profesionalisme dalam kepengarangan; sejauh mana sastrawan menganggap pekerjaannya
sebagai suatu profesi.
3) Masyarakat yang dituju oleh sastrawan. Dalam hal ini, kaitannya antara sastrawan dan
masyarakat sangat penting sebab seringkali didapati bahwa macam masyarakat yang dituju itu
menentukan bentuk dan isi karya sastra mereka (Damono, 1979: 3-4).
b. Sastra Sebagai Cermin Masyarakat
Sastra sebagai cermin masyarakat yaitu sejauh mana sastra dianggap sebagai mencerminkan
keadaan masyarakatnya. Kata “cermin” di sini dapat menimbulkan gambaran yang kabur, dan
oleh karenanya sering disalahartikan dan disalahgunakan. Dalam hubungan ini, terutama harus
mendapatkan perhatian adalah.
1) Sastra mungkin dapat dikatakan mencerminkan masyarakat pada waktu ia ditulis, sebab
banyak ciri masyarakat yang ditampilkan dalam karya sastra itu sudah tidak berlaku lagi pada
waktu ia ditulis.
2) Sifat “lain dari yang lain” seorang sastrawan sering mempengaruhi pemilihan dan penampilan
fakta-fakta sosial dalam karyanya.
3) Genre sastra sering merupakan sikap sosial suatu kelompok tertentu, dan bukan sikap sosial
seluruh masyarakat.
4) Sastra yang berusaha menampilkan keadaan masyarakat yang secermat-cermatnya mungkin
saja tidak bisa dipercaya atau diterima sebagai cermin masyarakat. Demikian juga sebaliknya,
karya sastra yang sama sekali tidak dimaksudkan untuk menggambarkan keadaan masyarakat
secara teliti barangkali masih dapat dipercaya sebagai bahan untuk mengetahui keadaan
masyarakat. Pandangan sosial sastrawan harus diperhatikan apabila sastra akan dinilai sebagai
cermin masyarakat (Damono, 1979: 4).
c. Fungsi Sosial Sastra
Pendekatan sosiologi berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan seperti “Sampai berapa jauh
nilai sastra berkait dengan nilai sosial?”, dan “Sampai berapa jauh nilai sastra dipengaruhi nilai
sosial?” ada tiga hal yang harus diperhatikan.
1) Sudut pandang yang menganggap bahwa sastra sama derajatnya dengan karya pendeta atau
nabi. Dalam pandangan ini, tercakup juga pandangan bahwa sastra harus berfungsi sebagai
pembaharu dan perombak.
2) Sudut pandang lain yang menganggap bahwa sastra bertugas sebagai penghibur belaka. Dalam
hal ini gagasan-gagasan seni untuk seni misalnya, tidak ada bedanya dengan usaha untuk
melariskan dagangan agar menjadi best seller.
3) Sudut pandang kompromistis seperti tergambar sastra harus mengajarkan dengan cara
menghibur (Damono, 1979: 4).
Apabila dikaitkan dengan sastra maka terdapat tiga pendekatan; Pertama, konteks sosial
pengarang. Hal ini berhubungan dengan sosial sastrawan dalam masyarakat dan kaitannya
dengan masyarakat pembaca. Dalam pokok ini termasuk pula faktor-faktor sosial yang bisa
mempengaruhi pengarang sebagai perseorangan di samping mempengaruhi isi karya sastranya.
Hal yang terutama di teliti dalam pendekatan ini adalah: (a) bagaimana pengarang mendapatkan
mata pencaharian (b) sejauh mana pengarang menganggap pekerjaannya sebagai profesi dan (c)
mayarakat yang dituju oleh pengarang. Kedua, sastra sebagai cermin masyarakat. Hal yang
terutama di teliti dalam pendekatan ini adalah (a) sejauh mana sifat pribadi pengarang
mempengaruhi gambaran masyarakat yang ingin disampaikan (c) sejauh mana genre sastra yang
digunakan pengarang dapat mewakili seluruh masyarakat. Ketiga, fungsi sosial sastra. Dalam
hubungan ini ada tiga hal yang menjadi perhatian (a) sejauh mana sastra dapat berfungsi sebagai
perombak masyarakatnya (b) sejauh mana pengarang hanya berfungsi sebagai penghibur saja
dan (c) sejuah mana terjadi sintesis antara kemungkinan point a dan b diatas (Damono, 1978).
Secara epitesmologis dapat dikatakan tidak mungkin untuk mebangun suatu sosiologi sastra
secara general yang meliputi pendekatan yang dikemukakan itu. Konsep mengenali masyarakat
akan berbeda satu dengan yang lain. Dalam penelitian novel ”Sang Pemimpi” karya Andrea
Hirata ini maka konsep sosiologi sastra akan menggunakan pendekatan sastra sebagai cermin
masyarakat. Hal ini akan digunakan untuk menjelaskan sejauh mana pengarang dapat mewakili
dan menggambarkan seluruh masyarakat dalam karyanya.

3. Sastra dan Masyarakat


Karya sastra menerima pengaruh dari masyarakat dan sekaligus mampu memberi pengaruh
terhadap masyarakat (Semi, 1990: 73). Sastra dapat dikatakan sebagai cerminan masyarakat,
tetapi tidak berarti struktur masyarakat seluruhnya tergambarkan dalam sastra, yang didapat di
dalamnya adalah gambaran masalah masyarakat secara umum ditinjau dari sudut lingkungan
tertentu yang terbatas dan berperan sebagai mikrokosmos sosial, seperti lingkungan bangsawan,
penguasa, gelandangan, rakyat jelata, dan sebagainya. Sastra sebagai gambaran masyarakat
bukan berarti karya sastra tersebut menggambarkan keseluruhan warna dan rupa masyarakat
yang ada pada masa tertentu dengan permasalahan tertentu pula.
Novel merupakan salah satu di antara bentuk sastra yang paling peka terhadap cerminan
masyarakat. Menurut Johnson (Faruk, 2005: 45-46) novel mempresentasikan suatu gambaran
yang jauh lebih realistik mengenai kehidupan sosial. Ruang lingkup novel sangat memungkinkan
untuk melukiskan situasi lewat kejadian atau peristiwa yang dijalin oleh pengarang atau melalui
tokoh-tokohnya. Kenyataan dunia seakan-akan terekam dalam novel, berarti ia seperti kenyataan
hidup yang sebenarnya. Dunia novel adalah pengalaman pengarang yang sudah melewati
perenungan kreasi dan imajinasi sehingga dunia novel itu tidak harus terikat oleh dunia
sebenarnya.
Sketsa kehidupan yang tergambar dalam novel akan memberi pengalaman baru bagi
pembacanya, karena apa yang ada dalam masyarakat tidak sama persis dengan apa yang ada
dalam karya sastra. Hal ini dapat diartikan pula bahwa pengalaman yang diperoleh pembaca akan
membawa dampak sosial bagi pembacanya melalui penafsiran-penafsirannya. Pembaca akan
memperoleh hal-hal yang mungkin tidak diperolehnya dalam kehidupan. Menurut Hauser
(Ratna, 2003: 63), karya seni sastra memberikan lebih banyak kemungkinan dipengaruhi oleh
masyarakat, daripada mempengaruhinya.
Sastra sebagai cermin kehidupan masyarakat, sebenarnya erat kaitannya dengan kedudukan
pengarang sebagai anggota masyarakat. Sehingga secara langsung atau tidak langsung daya
khayalnya dipengaruhi oleh pengalaman manusiawinya dalam lingkungan hidupnya. Pengarang
hidup dan berelasi dengan orang lain di dalam komunitas masyarakatnya, maka tidaklah heran
apabila terjadi interaksi dan interelasi antara pengarang dan masyarakat.
Ada beberapa hal yang harus dipertimbangkan mengapa sastra memiliki kaitan erat dengan
masyarakat dan dengan demikian harus diteliti dalam kaitannya dengan masyarakat, sebagai
berikut.
Karya sastra ditulis oleh pengarang, diceritakan oleh tukang cerita, disalin oleh penyalin,
sedangkan ketiga subjek tersebut adalah anggota masyarakat.
1. Karya sastra hidup dalam masyarakat, menyerap espek-aspek kehidupan yang terjadi dalam
masyarakat, yang pada gilirannya juga difungsikan oleh masyarakat.
2. Medium karya sastra, baik lisan maupun tulisan, dipinjam melalui kompetensi masyarakat,
yang dengan sendirinya telah mengandung masalah-masalah kemasyarakatan.
3. Berbeda dengan ilmu pengetahuan, agama, adat-istiadat, dan tradisi yang lain, dalam karya
sastra terkandung estetika, etika, bahkan juga logika. Masyarakat jelas sangat berkepentingan
terhadap ketiga aspek tersebut.
4. Sama dengan masyarakat, karya sastra adalah hakikat intersubjektivitas, masyarakat
menentukan citra dirinya dalam suatu karya (Ratna, 2006: 322-333).
Gambaran kehidupan yang terpancar dalam novel akan memberikan pengalaman baru bagi
masyarakat atau pembaca, karena apa yang ada dalam masyarakat tidak sama persis dengan apa
yang ada dalam karya sastra. Melalui penafsirannya, pembaca akan memperoleh hal-hal yang
mungkin tidak diperolehnya dalam kehidupan.
Dengan demikian, dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa sosiologi sastra adalah salah satu
pendekatan untuk mengurai karya sastra yang mengupas masalah hubungan antara pengarang
dengan masyarakat, hasil berupa karya sastra dengan masyarakat, dan hubungan pengaruh karya
sastra terhadap pembaca. Namun dalam kajian ini hanya dibatasi dalam kajian mengenai
gambaran pengarang melalui karya sastra mengenai kondisi suatu masyarakat.

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
            Karya sastra adalah artefak, adalah benda mati, baru mempunyai makna dan menjadi
objek estetik bila diberi arti oleh manusia pembaca sebagaimana artefak peninggalan manusia
purba mempunyai arti bila diberi makna oleh arkeolog (Pradopo: 1995). Pemberian makna atau
penangkapan makna karya sastra itu dilakukan dalam kegiatan kritik sastra. Aspek-aspek pokok
kritik sastrta adalah analisis, interpretasi (penafsiran), dan evaluasi atau penilaian.

Dalam pemberian makna terhadap karya sastra tersebut, tentunya pembaca, sebagai kritikus
sastra, terikat pada teks karya sastra sendiri berdasarkan kodrat atau hakikat karya sastra. Maka,
untuk dapat menangkap makna sebuah karya sastra, pastilah diperlukan cara-cara yang sesuai
dengan sifat hakikat karya sastra, yakni melalui sebuah pendekatan atau teori sastra.

Pertengahan tahun 1970, di Indonesia mulai dikenal adanya teori-teori sastra, misalnya
strukturalisme dan sosiologi sastra. Orientasi sastra keduanya sangat berbeda. Strukturalisme
memandang karya sastra sebagai sesuatu yang mandiri, yang penelitiannya berpusat pada
struktur dalam karya sastra. Sedangkan sosiologi sastra berorientasi mimetik, memandang karya
sastra sebagai cerminan masyarakat, yang perhatiannya berpusat pada struktur kemasyarakatan
dalam karya sastra (Pradopo: 1995, v).

B. Tujuan

Pemakalahan ini bertujuan untuk:

1. Mendeskripsikan tentang teori sosiologi sastra dan metodenya.


2. Memaparkan analisis karya sastra menggunakan teori sosiologi sastra.

II. PEMBAHASAN

A. Teori Sosiologi Sastra

Sosiologi sastra berasal dari kata sosiologi dan sastra. Sastra merupakan pencerminan
masyarakat. Melalui karya sastra, seorang pengarang mengungkapkan problema kehidupan.
Karya sastra menerima pengaruh dari masyarakat dan sekaligus mampu memberi pengaruh
terhadap masyarakat. Sosiologi dapat diartikan sebagai ilmu  atau pengetahuan yang sistematis
tentang kehidupan berkelompok manusia dalam hubungannya dengan manusia-manusia lainnya
yang secara umum disebut masyarakat.

Sosiologi sastra merupakan pendekatan yang bertitik tolak dengan orientasi kepada pengarang.
Abrams via internet (1981 :178) mengatakan sosiologi sastra dikenakan pada tulisan-tulisan para
kritikus dan ahli sejarah sastra yang  utamanya ditujukan pada cara-cara seseorang pengarang
dipengaruhi oleh status kelasnya, ideologi masyarakat, keadaan-keadaan ekonomi yang
berhubungan dengan pekerjaannya, dan jenis pembaca yang dituju. Kesemuanya itu terangkum
dalam aspek yang membangun sebuah cipta sastra, salah satu aspek yang membangun keutuhan
sebuah cerita adalah menyangkut perwatakan tokoh-tokohnya. Ciri-ciri perwatakan seorang
tokoh selalu berkaitan dengan pengarang dan lingkungan di mana ia hidup. Demikian juga
menyangkut tipe orang atau tokohnya. Biasanya dalam setiap cerita selalu terdapat beberapa
tokoh, dalam hal inilah pengetahuan sosiologi berperan  mengungkapkan isi sebuah karya sastra.
Konsep sosiologi sastra didasarkan pada dalil bahwa karya sastra ditulis oleh seorang pengarang,
dan pengarang merupakan a salient being, makhluk yang mengalami sensasi-sensasi dalam
kehidupan empirik masyarakatnya. Dengan demikian, sastra juga dibentuk oleh masyarakatnya,
sastra berada dalam jaringan sistem dan nilai dalam masyarakatnya. Dari kesadaran ini muncul
pemahaman bahwa sastra memiliki keterkaitan timbal-balik dalam derajat tertentu dengan
masyarakatnya; dan sosiologi sastra berupaya meneliti pertautan antara sastra dengan kenyataan
masyarakat dalam berbagai dimensinya.

Sosiologi sastra berkembang dengan pesat sejak penelitian-penelitian dengan memanfaatkan 


teori strukturalisme dianggap mengalami kemunduran, stagnasi, bahkan dianggap sebagai
involusi. Analisis strukturalisme dianggap mengabaikan relevansi masyarakat yang merupakan
asal-usulnya. Rahmat Djoko Pradopo (1993:34) menyatakan bahwa tujuan studi sosiologis dalam
kesusastraan adalah untuk mendapatkan gambaran utuh mengenai hubungan antara pengarang,
karya sastra, dan masyarakat. Ratna via Sutri (2006: 332-333) mengemukakan bahwa sastra
memiliki kaitan erat dengan masyarakat sebagai berikut:

1. Karya sastra ditulis oleh  pengarang, diceritakan oleh tukang cerita,  disalin oleh
penyalin, sedangkan ketiga subjek tersebut adalah anggota masyarakat.
2. Karya sastra hidup dalam masyarakat, menyerap aspek-aspek kehidupan yang terjadi
dalam masyarakat, yang pada gilirannya juga difungsikan oleh masyarakat.
3. Medium karya sastra, baik lisan maupun tulisan, dipinjam melalui kompetansi
masyarakat, yang dengan sendirinya telah mengandung masalah-masalah
kemasyarakatan.
4. Berbeda dengan ilmu pengetahuan, agama, adat-istiadat, dan tradisi yang lain, dalam
karya sastra terkandung estetika, etik, bahkan logika. Masyarakat jelas sangat
berkepentingan terhadap ketiga aspek tersebut.
5. Sama dengan masyarakat, karya sastra dalah hakikat intersubjektivitas, masyarakat
menemukan citra dirinya dalam suatu karya.

Sosiologi Sastra tidak hanya membicarakan karya sastra itu sendiri melainkan hubungan
masyarakat dan lingkungannya serta kebudayaan yang menghasilkannya. Atmazaki via Sutri
(1990: 7) menyatakan bahwa pendekatan Sosiologi Sastra mempunyai tiga unsur di dalamnya.
Unsur-unsur tersebut antara lain sebagai berikut:

1. Konteks sosial pengarang

Faktor-faktor yang mempengaruhi pengarang dalam menciptakan karya sastra. Faktor-faktor


tersebut antara lain mata pencaharian, profesi kepegawaian, dan masyarakat lingkungan
pengarang.

2. Sastra sebagai cerminan masyarakat

karya sastra mengungkapkan gejala sosial masyarakat dimana karya itu tercipta dalam sastra
akan terkandung nilai moral, politik, pendidikan, dan agama dalam sebuah masyarakat.

3. Fungsi sastra
Fungsi sastra dalam hal ini adalah nilai seni dengan masyarakat, apakah di antara unsur tersebut
ada keterkaitan atau saling berpengaruh.

B. Sosiologi sebagai Pendekatan Sastra

Pendekatan sosiologi sastra yang paling banyak dilakukan saat ini menaruh perhatian yang besar
terhadap aspek dokumenter sastra dan landasannya adalah gagasan bahwa sastra merupakan
cermin zamannya. Dalam hal itu tugas sosiologi sastra adalah menghubungkan pengalaman
tokoh-tokoh khayal dan situasi ciptaan pengarang itu dengan keadaan sejarah yang merupakan
asal usulnya.

Pedekatan yang dilakukan terhadap karya  sastra pada dasarnya ada dua, yaitu pendekatan
intrinsik dan pendekatan ekstrinsik. Unsur-unsur merupakan unsur-unsur dalam yang diangkat
dari isi karya sastra, seperti tema, alur atau plot, perwatakan, gaya bahasa dan penokohan.
Sedangkan unsur-unsur ekstrinsik berupa pengaruh dari luar yang terdapat dalam karya sastra itu
diantaranya sosiologi, politik, filsafat, antropologi dan lain-lain. Ilmu-ilmu ini merupakan
pendukung dalam pengembangan karya sastra, dengan demikian ilmu-ilmu tersebut erat
hubungannya dengan karya sastra. Analisis aspek ekstrinsik karya sastra ialah analisis karya
sastra itu sendiri dari segi isinya, dan sepanjang mungkin melihat kaitannya dengan kenyataan-
kenyataan dari luar karya sastra itu sendiri.

Pendekatan sosiologis atau pendekatan ekstrinsik biasanya mempermasalahkan sesuatu diseputar


sastra dan masyarakat bersifat sempit dan eksternal. Yang dipersoalkan biasanya mengenai
hubungan sastra dan situasi sosial tertentu, sistem ekonomi, sosial, adat istiadat, dan politik.
Dapat dipahami bahwa bilamana seseorang  ingin mengetahui keadaan sosiologis dari suatu
masa karya tertentu ditulis, kita memang belum tentu dapat mengenal tata kemasyarakatan yang
ada pada waktu itu, tetapi setidak-tidaknya kita dapat mengenal tema mana yang kira-kira
dominan pada waktu itu melalui pendekatan sosiologis.

Suatu hal yang perlu dipahami dalam melakukan pendekatan sosiologi ini adalah bahwa
walaupun seorang pengarang melukiskan kondisi sosial yang berada di lingkungannya, namun ia
belum tentu menyuarakan keinginan masyarakatnya. Dari arti ia tidaklah mewakili  atau
menyalurkan keinginan-keinginan kelompok masyarakat tertentu, yang pasti pengarang
menyalurkan atau mewakili hati nuraninya sendiri, dan bila ia kebetulan mengucapkan sesuatu
yang bergejolak dimasyarakat, hal ini merupakan suatu kebetulan ketajaman batinnya dapat
menangkap isyarat-isyarat tersebut.  Dari berbagai pandangan di atas dapat disimpulkan bahwa
analisis sosiologi sastra bertujuan untuk memaparkan dengan cermat fungsi dan keterkaitan
antarunsur yang membangun sebuah karya sastra dari aspek kemasyarakatan pengarang,
pembaca, dan gejala sosial yang ada.

C. Metode Analisis

Metode penelitian adalah cara kerja untuk memahami objek yang menjadi sasaran penelitian.
Langkah-langkah dalam menganalisis menggunakan metode sosiologi sastra pertama yaitu
menganalisis unsur intrinsiknya. Analisis karya sastra dengan pendekatan apapun tidak boleh
melupakan analisis unsure intrinsiknya. Setelah dijabarkan unsure-unsur intrinsiknya, dikaitkan
permasalahan dengan menggunakan teori sosiologi, misalnya hubungan antar individu,
perubahan social dan kondisi masyarakat sosial.

III. KESIMPULAN

Sastra merupakan pencerminan masyarakat. Melalui karya sastra, seorang pengarang


mengungkapkan problema kehidupan yang pengarang sendiri ikut berada di dalamnya. Karya
sastra menerima pengaruh dari masyarakat dan sekaligus mampu memberi pengaruh terhadap
masyarakat

            Sosiologi sastra berorientasi mimetik, memandang karya sastra sebagai cerminan
masyarakat, yang perhatiannya berpusat pada struktur kemasyarakatan dalam karya sastra.
Pendekatan sosiologi sastra bertujuan untuk memaparkan dengan cermat fungsi dan keterkaitan
antarunsur yang membangun sebuah karya sastra dari aspek kemasyarakatan pengarang,
pembaca, dan gejala sosial yang ada.

Analisis Cerpen

24 Jun 2010 Tinggalkan Sebuah Komentar

by maryammahdi in sastra, Uncategorized

BAB I

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Karya sastra merupakan suatu bentuk komunikasi yang disampaikan dengan cara yang khas dengan memberi
kebebasan pada pengarang untuk menuangkan kreatifitas imajinasinya. Hal ini menyebabkan karya sastra
menjadi lain, tidak lazim, namun juga bersifat kompleks sehingga memiliki berbagai kemungkinan penafsiran,
dan sekaligus menyebabkan pembaca menjadi terbata-bata untuk berkomunikasi dengannya (Nurgiyantoro,
2007:34-35).

Usaha untuk dapat memahami karya sastra (termasuk prosa fiksi) diperlukan suatu pendekatan. Salah satu
pendekatan dalam menganalisis prosa fiksi adalah pendekatan struktural. Cerita pendek, yang selanjutnya
disebut cerpen adalah karya sastra jenis prosa fiksi. Untuk lebih memahami tentang sebuah cerpen bisa
menggunakan pendekatan struktural. Pada kesempatan ini akan dianalisis sebuah cerpen yang berjudul
“Sungai”, karya Nugroho Notosusanto. Cerpen tersebut tidak terlalu sulit untuk dipahami pembaca, karena
menggunakan bahasa yang sederhana. Namun demikian ada beberapa bagian yang tidak serta merta bisa
langsung dipahami, kecuali , mungkin dengan dibaca berulang-ulang.

Untuk itulah, sebagai salah satu upaya membantu memahami cerpen, penulis bermaksud  menganalisis cerpen
dengan pendekatan struktural. Melalui pendekatan struktural, semoga pesan-pesan yang tersirat maupun yang
tersurat dalam cerpen “Sungai” dapat dipahami oleh pembaca cerpen tersebut sera dapat menggali nilai-nilai
yang terkandung di dalamnya.
Masalah

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dirumuskan masalahnya sebagai berikut.

1)      Bagaimanakah menganalisis cerpen “Sungai” karya Nugroho Notosusanto melalui pendekatan struktural?

2)      Apa sajakah nilai-nilai yang terkandung dalam cerpen “Sungai” karya Nugroho Notosusanto?

Tujuan Penulisan

Tujuan penulisan dan penyajian makalah ini adalah sebagai berikut.

1)      Mendeskripsikan tentang analisis cerpen “Sungai” dengan pendekatan struktural.

2)      Menggali nilai-nilai yang terkandung dalam cerpen “Sungai” karya Nugroho Notosusanto.
BAB II

PEMBAHASAN

Sinopsis Cerpen “Sungai”

Cerpen ini mengisahkan peristiwa yang terjadi pada saat tanah air tercinta ini (Indonesia) dalam penguasaan
penjajah Belanda, pada tahun 1948. Tentara Belanda telah menduduki Yogya, persetujuan gencatan senjata
telah dilanggar, dan Republik tidak merasa terikat lagi oleh perjanjian yang sudah ada.

Adalah Sersan Kasim, Kepala Regu 3, Peleton 2 dari kompi TNI terakhir yang akan kembali ke daerah
operasinya di Jawa Barat. Bersama para tentara lainnya, mereka berjalan dalam jarak Yogya-Priyangan.
Mereka berjalan kaki, menempuh jarak lebih dari 300 kilometer, turun lembah, naik gunung, menyeberangi
sungai kecil dan besar. Akhirnya mereka tiba kembali di tepian Sungai Serayu. Angin pegunungan dari
seberang lembah, ditambah lagi air hujan yang mengguyur, membuat mereka menggigil kedinginan. Dengan
cermat Sersan Kasim kembali memperbaiki letak selimut berlapis dua yang menyelimuti Acep, seorang bayi
mungil, anaknya. Ibunya meninggal sehari setelah melahirkannya dalam pengungsian di Yogya. Ya, dalam
perjalanan sejauh itu Sersan Kasim membawa serta anaknya, karena ia tak mau menitipkan pada penduduk
yang asing baginya.

Dari mulut ke mulut, ada pesan dari depan, agar para kepala regu kumpul. Sersan Kasim dan kepala regu
lainnya ke depan, Komandan Peleton sudah menanti di depan Regu 1. Mereka menerima instruksi tentang
penyeberangan. Melalui intelligence, terdengar kabar bahwa musuh menjaga tepian sana dengan kekuatan satu
kompi. Karena pengawasan ketat, mereka memutuskan untuk menyeberangi sungai lebih ke hilir, walaupun
kemungkinan ketinggian air sungai mencapai dada.

Setelah para ketua regu menuju ke anak buahnya masing-masing, Sersan Kasim merasa pandangan komandan
mengisyaratkan  kalau bayinya dapat membahayakan lebih dari seratus prajurit, sebagaimana telah terjadi
sebelumnya. Tangisan satu bayi yang kemudian menular pada anak kecil lainnya saat dalam perjalanan,
membuat musuh tahu, bahwa sedang ada perjalanan tentara Republik dan para keluarganya. 16 prajurit dan 10
keluarganya terkena serangan mendadak musuh, hanya karena diawali tangis seorang bayi. Bagi Sersan Kasim
tak ada pilihan lain kecuali tetap membawa bayinya.

Mereka mulai menyeberangi sungai. Semakin ke tengah semakin dalam, mencapai perut, kemudian hampir ke
dada. Mereka semakin kedinginan, terlebih Sersan Kasim. Bukan saja karena hujan dan basah oleh air sungai,
tapi karena Acep mulai gelisah dan meronta dalam gendongannya. Tangisnya pun akhirnya memecah
kesunyian. Para prajurit berdegup jantungnya, menahan nafas, saling memandang dan terpaku di tempatnya. Di
hulu sungai sebuah peluru kembang api ditembakkan ke udara. Langit jadi terang benderang. Seluruh kompi
memandangnya; bergantung kepadanya. Nasib seluruh kompi tertimpa pada bahunya.

Tak ada yang tahu pasti, apa yang terjadi dalam beberapa menit kemudian, yang terasa seperti berjam-jam.
Juga Sersan Kasim, tak sadar. Yang ia tahu anaknya menangis, dan setiap saat musuh dapat menumpasnya
dengan menembakkan peluru dan mortir.

Sejurus kemudian suara Acep meredup. Sesaat lagi lenyap sama sekali. Tembakan berhenti dan pasukan dapat
tiba di seberang dengan selamat.

Keesokan harinya, saat fajar merekah para prajurit menunda perjalanannya untuk berbela sungkawa dalam
upacara singkat pemakaman Acep. Komandan Kompi menghampiri Kasim, menggenggam tangannya. Dalam
angannya terbayang pengorbanan Nabi Ibrahim yang siap mengorbnkan putranya, Ismail.

2.1 Analisis Struktural Cerpen “Sungai” Karya Nugroho Notosusanto

Berikut akan diuraikan analisis struktural cerpen “Sungai”  dengan mengidentifikasi, mengkaji, dan
mendeskripsikan fungsi dan hubungan antar unsur instrinsik cerpen yang dimaksud.
2.1.1 Tema

Tema yang diangkat dalam cerpen “Sungai” adalah tentang kasih sayang seorang suami kepada istrinya, kasih
sayang bapak kepada anaknya, dan pengorbanan dari apa yang sangat dikasihinya, untuk mendapatkan sesuatu
yang lebih mulia. Dalam rangkaian ceritanya, penulis hendak menyampaikan kepada pembaca bahwa pada
saat-saat tertentu dalam kondisi yang sangat mendesak/darurat, dituntut dengan penuh kesadaran dan
keikhlasan untuk siap berkorban.

Hal ini tercermin dalan cerpen “Sungai”, Sersan Kasim yang akhirnya mengijinkan istrinya ikut menyertai
hijrahnya ke Yogya, walau dalam kondisi yang seba sulit, dan istrinya bersikeras untuk ikut. Kemudian Sersan
Kasim memilih untuk tetap membawa bayinya dalam perjalanan panjang yang penuh resiko, dari pada
menitipkannya pada orang asing. Dan dalam kondisi yang sangat terdesak, Sersan Kasim “mengorbankan “
anak yang sangat dikasihinya untuk menyelamatkan ratusan prajurit lainnya dari serangan musuh.

2.1.2 Setting

Setting adalah latar peristiwa, baik berupa tempat, waktu, maupun peristiwa serta memiliki fungsi fisikal dan
fungsi psikologis (Aminudin, 2004:67). Berikut akan dicoba diuraikan setting dalam cerpen “Sungai”
1)      Setting Tempat

(1)   Sungai

Dari judulnya, cerpen tersebut menggambarkan bahwa kisaran tempat adalah di sungai, tepatnya Sungai
Serayu, di kaki pegunungan daerah Banjarnegara. Cerpen ini diawali dengan istilah menyeberangi sungai,  dan
pada klimaks cerita, peristiwa itu terjadi di sungai, dalam perjalanan Yogya-Priangan.

(2)   Jawa Barat

Jawa Barat adalah daerah operasi tempat Sersan Kasim bertugas. Daerah yang ditinggalkannya karena Sersan
Kasim beserta beberapa kompi prajurit harus meninggalkannya untuk hijrah ke Yogya, kota yang diduduki
Belanda seiring dengan pelanggaran persetujuan gencatan senjata.

(3)   Yogya

Yogya adalah tempat tujuan hijrah TNI, dan tempat Acep, anak Sersan Kasim dilahirkan, sekaligus tempat istri
Sersan Kasim meninggal sehari setelah Acep dilahirkan dengan sisa tenaganya.

(4)   Di pinggir desa

Tempat Acep dimakamkan, saksi bisu pengorbanan Sersan Kasim.

2)      Setting Waktu

(1)   Jam satu malam

Malam yang gulita dan hujan di mana pada saat itu para prajurit melakukan perjalanan menuju ke Priangan,
Jawa Barat. Perjalanan dilakukan dengan jalan kaki, dan dilakukan malam agar tidak diketahui oleh musuh.

(2)   Sepuluh bulan yang lalu

Tepatnya pada bulan Februari 1948, ketika Sersan Kasim dan kompi lainnya sera para keluarganya juga
menyeberangi sungai yang sama. Pada saat itu istri Sersan Kasim memaksa untuk menyertai suaminya, walau
dalam kondisi hamil.
(3)   Pada waktu fajar merekah

Saat para prajurit menunda perjalanan untuk menyertai pemakaman Acep.

(4)   Matahari telah naik

Hari mulai siang, kompi segera melanjutkan perjalanan yang masih panjang. Dalam cerpen dituliskan,
“matahari telah naik, menghalau kabut kemana-mana, memanasi bumi yang lembab oleh hujan semalam.”
Penulis menafsirkan bahwa keputusan terberat yang diambil Sersan Kasim dan menyelamatkan banyak nyawa
menjadi sebuah pengorbanan yang mulia, sebagaimana Nabi Ibrahim, yang siap mengorbankan anak
tercintanya untuk memenuhi ujian akan kecintaannya kepada Alloh SWT. Kini para prajurit itu telah selamat,
dan ada harapan baru dengan semangat yang baru, dengan tetap melanjutkan perjuangan.

3)      Setting Peristiwa

Cerpen “Sungai” mengisahkan peristiwa pada masa “perang”. Meskipun sudah tiga tahun Indonesia merdeka,
namun Belanda masih bercokol di Indonesia dan masih ingin menguasai kembali.

2.1.3 Penokohan dan Perwatakan

1) Tokoh Inti/Tokoh Utama

Cerpen “Sungai” menampilkan tokoh inti atau tokoh utama, yaitu Sersan Kasim yang memiliki watak
penyayang; nampak betapa ia menyayangi istrinya yang baru setengah tahun  dinikahinya. Selain itu Begitu
sayangnya ia kepada Acep anaknya, makanya ia bersikeras untuk tetap membawa Acep dalam perjalanan yang
sulit dan penuh tantangan dari pada menitipkannya pada orang asing, khawatir akan keselamatan dalam
pengasuhannya. Hanya bapaknyalah keluarga yang dimilikinya, tanpa tahu ibunya, Sersan Kasim ingin tetap
bersama dan mengasuh dalam buaian dan kasih sayangnya.   Bertanggung jawab; sebagai seorang pimpinan
regu, ia bertanggung jawab atas keselamatan anak buahnya. Bahkan iapun mempertaruhkan harapan idam-
idamannya, biji matanya, anak kesayangannya untuk menjadi jaminan atas keselamatan anak buahnya sera
anggota kompi yang lainnya.

3)      Tokoh Tambahan/Tokoh Pembantu

Cerpen “Sungai” menampilkan Komandan Peleton sebagai tokoh pembantu yang melengkapi penokohan
Sersan Kasim. Komandan adalah pimpinan yang cermat, bertanggung jawab, dan bijak dalam memutuskan.
Pada saat ia mendapat informasi tentang keberadaan musuh yang berjaga-jaga di hulu sungai, ia mengambil
langkah yang tepat untuk segera mengumpulkan para pemimpin regu, kemudian menyampaikan info tersebut
dan mengambil sikap untuk memerintahkan para pemimpin regu untuk memimpin anak buahnya menyeberang
lewat hilir sungai. Bertanggung jawab dan bijak, nampak ketika ia mengumpulkan para ketua regu,
mengingatkan kepada Sersan Kasim tentang banyaknya prajurit yang menjadi korban, gara-gara tangis bayi
yang memecahkan kesunyian, hingga perjalanan rombongan tentara dan para keluarganya tercium musuh.
Namun demikian, sisi manusiawinya menjadikan ia bijak ketika akhirnya mengijinkan Sersan Kasim tetap akan
membawa anaknya  dengan catatan tetap waspada akan keselamatan semua prajurit.

2.1.4 Plot/Alur Cerita

Cerpen “Sungai’ yang terdiri dari 31 paragraf merupakan tahapan-tahapan yang membentuk rangkaian cerita.
Tahapan-tahapan tersebut menurut Loban dkk. (dalam Aminudin, 2004:85) dapat digambarkan sebagai berikut.

Klimaks

Komplikasi
dan konflik                                                                       Revelasi

catastrophe

Eksposisi
Keterangan gambar:

1)      Eksposisi, merupakan uraian/paparan  yang disajikan penulis sebagai pembuka untuk memasuki
ceritanya. Paparan sifatnya masih datar, belum nampak intrik-intrik yang dapat memicu konflik. Dalam cerpen
“Sungai” eksposisi digambarkan  pada paragraf 1,2,3, dan 4

2)      Komplikasi dan konfliks, merupakan intrik-intrik awal yang akan berkembang hingga menjadi konflik.
Dalam cerpen “Sungai, komplikasi dan konflik digambarkan mulai dari paragraf 5 s.d. paragraf 19. Melalui
paragraf  tersebut  dikisahkan tentang perjalanan kompi yang bersamanya Sersan Kasim membawa serta
istrinya, kemudian istrinya meninggal, dan kini dia harus kembali melakukan perjalanan jauh dengan kompi
lainnya dengan membawa anaknya. Mulai muncul konflik ketika komandannya mengisyaratkan untuk tidak
membawa serta anaknya, dan Sersan Kasim tetap meminta ijin untuk membawanya.

3) Klimaks, merupakan situasi puncak ketika konflik berada dalam kadar yang paling tinggi. Hal ini nampak
pada paragraf 20 sampai 25, dimana Sersan Kasim dalam kondisi paling sulit, mempertahankan keselamatan
anaknya, dari garangnya alam yang tidak bersahabat ketika menyeberang sungai yang kedalamannya hampir
mencapai dada bapaknya yang menggendongnya, ditambah dengan guyuran hujan yang membuat badan
mungilnya basah dan dingin. Namun di luar kemampuannya, Acep menangis, dan melolong. Di dorong oleh
tanggung jawabnya sebagai pimpinan regu atas keselamatan anak buahnya, ia melakukan “sesuatu” (penulis
tidak menyatakan dengan jelas apa yang dilakukan Sersan Kasim) untuk menghentikan tangis anaknya. Acep
benar-benar diam, tak menangis lagi, tidak hanya untuk saat itu, tetapi untuk selamanya.

4) Revelasi, merupakan menyingkapan tabir suatu problema, dimana keesokan harinya baru para prajurit tahu,
bahwa Acep telah meninggal. Penulispun tidak menyatakan apakah mereka tahu penyebabnya atau tidak,
namun dari apa yang tersirat dalam “tatapan Komandan” mengisyaratkan bahwa apa yang terjadi semalam
adalah bentuk pengorbanan terbesar bagi Sersan Kasim, dengan penulis memunculkan angan-angan sang
Komandan tentang pengorbanan Nabi Ibrahim. Hal ini terdapat pada paragraf 26 sampai 27.

5) Catastrophe, merupakan penyelesaian yang menyedihkan dan solution yakni penyelesaian yang masih
bersifat terbuka, karena pembaca sendirilah yang dipersilahkan menyelesaikan lewat daya imajinasinya. Hal ini
tergambar pada paragraf  28 sampai 31. Kesediham yang dalam terukir jelas pada wajah Sersan Kasim.
Keharuan yang luar biasa kini meluap-luap dalam dadanya, membanjir, menghanyutkan. Tak ada lagi buah hati
yang diidam-idamkan sebagai penerus cita-citanya, tak ada lagi oleh-oleh yang akan dipersembahkan untuk
orang tuanya, tak ada lagi pelipur laranya….

2.1.5 Titik Pandang (Point of View)

Titik pandang adalah cara pengarang menampilkan para pelaku dalam cerita yang dipaparkannya. Titik
pandang dalam cerpen “Sungai”, adalah narrator observer, sebab pengisah hanya berfungsi sebagai pengamat
terhadap pemunculan para pelaku . pengarang menyebut pelakunya dengan ia, dia, dan nama-nama lain.

2.1.6 Gaya  (Style)

Gaya (style) merupakan cara seorang pengarang menyampaikan gagasannya dengan menggunakan media
bahasa yang indah dan harmonis serta mampu menuansakan makna dan suasana yang dapat menyentuh daya
intelektual dan emosi pembaca.Unsur-unsurnya antara lain terletak pada pilihan kata, penataan kata dalam
kalimat, dan nuansa makna serta suasana penuturan yang ditampilkannya.

Cerpen “Sungai”  banyak menampilkan kata-kata istimewa yang bersifat “asosiatif-reflektif”. Penataan kata
dalam kalimatnya juga istimewa, serta nampak nuansa makna penuturan yang ditampilkannya pun berbeda.
Ada beberapa pilihan kata dalam penataan yang istimewa, yang disuguhkan penulis untuk memperindah
bahasanya, misalnya keharuan mendenyutkan jantungnya; cuaca gulita dan murung, hujan turun selembut
embun, namun cukup membasahkan; rambutnya lebat seperti hutan di Priangan;  rasa sayang membual
keluar dan menyesakkan kerongkongan Kasim; fajar merekah; merobek-robek kesunyian malam dari tebing ke
tebing; suaranya tajam menyayat hati; serta pada kalimat Matahari telah naik, menghalau kabut kemana-
mana, memanasi bumi yang lembab oleh hujan semalam.

Selain pilihan kata dalam penataan yang istimewa, terdapat variasi panjang pendek kalimatnya. Misalnya ada
kalimat yang hanya terdiri atas dua kata, seperti pada kalimat Acep menangis. Terdapat juga kalimat yang
hanya terdiri atas komplemen, seperti Melolong-lolong. Serta terdapat kalimat yang panjang, misalnya pada
paragraf di bawah ini.

Sunyi turun kembali ke bumi, berat menekan di dada sekian puluh lelaki yang jantungnya berdegup seperti
bedug ditabuh bertalu-talu. Kembang api di langit mulai mati,, dan kelam mulai menyelimuti kembali suasana
di lembah sungai itu. Kini tang terdengar hanya derau air yang tak putus-putusnya ditingkah oleh kwek-kwek-
kwek katak di tepian.

Dengan kata lain, beberapa paragraf  banyak mengandung unsur-unsur gaya bahasa atau figurative language
seperti repetisi, metonimi, dan hiperbola.

2.2    Nilai-nilai Cerper “Sungai” karya Nugroho Notosusanto

Setelah dilakukan analisis , dapat digali nilai-nilai yang hendak disampaikan penulis melalui karyanya, antara
lain sebagai berikut.

2.2.1        Kasih sayang

Sebagaimana dalam cerpen tersebut, yang ditokohkan oleh Sersan Kasim. Kasing sayang pada istrinya
tergambar bagaimana akhirnya ia mengijinkan istrinya yang memaksa ikut, walau sedang hamil. Juga kepada
anaknya. Ia ingin selalu merawatnya, mendampinginya, memberi kehangatan kasih sayang  padanya.
2.2.2 Tanggung jawab dan amanah

Sebagai pemimpin, ia harus menjaga keselamatan anak buahnya. Meski dalam kondisi tersulit ia dituntut untuk
selalu mengambil keputusan yang tepat dan bijak. Ia tetap bisa memimpin walau dengan menggendong
bayinya.

2.2.3 Pengorbanan

Dalam menjalankan amanahnya, apapun akan dilakukan. Untuk menjaga keselamatan anak buahnya, ia
berusaha “mendiamkan “ bayinya yang menangis, agar pernyeberangan mereka tidak diketahui musuh. Ia
lakukan hal yang terberat dalam hidupnya, ketika anak satu-satunya, warisan dari istri tercinta, pelipur laranya,
akhirnya dikorbankan sebagai tanggung jawabnya sebagai pimpinan. Tidak dijelaskan dengan pasti, apa yang
dilakukan Sersan Kasim untuk mendiamkan bayinya. Yang jelas Komandan Peleton teringat akan Nabi
Ibrahim yang siap mengorbankan buah hatinya, Ismail untuk sesuatu yang mulia, sebagai bukti kecintaannya
pada Alloh SWT.
BAB III

PENUTUP

3.1        Kesimpulan

Setelah melakukan analisis struktural cerpen “Sungai” karya Nugroho Notosusnto, dapat disimpulkan sebagai
berikut. Pertama, analisis struktural dapat dilakukan dengan mengidentifikasi, mengkaji, dan mendeskripsikan
fungsi dan hubungan antarunsur intrinsiknya. Kedua, melalui cerpen “Sungai”, Nugroho Noto Susanto hendak
menyampaikan pesan tentang nilai kasih sayang, tanggung jawab dan amanah, serta pengorbanan.

3.2        Saran

Melalui analisis sederhana ini diharapkan kepada semua pihak  peduli untuk lebih memperhatikan dan
mengaprresiasi karya sastra, khususnya bagi mahasiswa pascasarjana program studi  Pendidikan Bahasa
Indonesia. Secara berkesinambungan komitmen ini diteruskan kepada guru/pendidik dan pecinta sastra
Indonesia, untuk lebih menghargai karya anak negeri dalam pembentukan karakter bangsa melalui karya sastra.

Anda mungkin juga menyukai