Anda di halaman 1dari 7

4

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. TINDAK PIDANA
1. Pengertian Tindak Pidana
Hingga saat ini belum ada kesepakatan para sarjana tentang
pengertian Tindak pidana (strafbaar feit). Menurut Prof. Moeljatno S.H.,
Tindak Pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum,
larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu,
bagi barang siapa yang melanggar aturan tersebut.
Terdapat 3 (tiga) hal yang perlu diperhatikan :
a. Perbuatan pidana adalah perbuatan oleh suatu aturan hukum dilarang
dan diancam pidana.
b. Larangan ditujukan kepada perbuatan (yaitu suatu keadaan atau
kejadian yang ditimbulkan oleh kelakuan orang), sedangkan
ancaman pidana ditujukan kepada orang yang menimbulkan kejadian
itu.
c. Antara larangan dan ancaman pidana ada hubungan yang erat, oleh
karena antara kejadian dan orang yang menimbulkan kejadian itu ada
hubungan erat pula. “Kejadian tidak dapat dilarang jika yang
menimbulkan bukan orang, dan orang tidak dapat diancam pidana
jika tidak karena kejadian yang ditimbulkan olehnya”

2. Unsur-Unsur Tindak Pidana


Dalam suatu peraturan perundang-undangan pidana selalu mengatur
tentang tindak pidana. Sedangkan menurut Moeljatno “Tindak pidana
adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan
mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu bagi barang
siapa
yang melanggar larangan tersebut”. Untuk mengetahui adanya tindak
pidana, maka pada umumnya dirumuskan dalam peraturan perundang-
undangan pidana tentang perbuatanperbuatan yang dilarang dan disertai
5

dengan sanksi. Dalam rumusan tersebut ditentukan beberapa unsur atau


syarat yang menjadi ciri atau sifat khas dari larangan tadi sehingga dengan
jelas dapat dibedakan dari perbuatan lain yang tidak dilarang. Perbuatan
pidana menunjuk kepada sifat perbuatannya saja, yaitu dapat dilarang
dengan ancaman pidana kalau dilanggar.

Menurut Simons, unsur-unsur tindak pidana (strafbaar feit)


adalah :
a. Perbuatan manusia (positif atau negative, berbuat atau tidak berbuat
atau membiarkan).
b. Diancam dengan pidana (statbaar gesteld)
c. Melawan hukum (onrechtmatig)
d. Dilakukan dengan kesalahan (met schuld in verband staand)
e. Oleh orang yang mampu bertanggung jawab (toerekeningsvatoaar
person).

Simons juga menyebutkan adanya unsur obyektif dan unsur subyektif


dari tindak pidana (strafbaar feit).
a. Unsur Obyektif :
1) Perbuatan orang
2) Akibat yang kelihatan dari perbuatan itu.
3) Mungkin ada keadaan tertentu yang menyertai perbuatan itu
seperti dalam pasal 281 KUHP sifat “openbaar” atau “dimuka
umum”.
b. Unsur Subyektif :
1) Orang yang mampu bertanggung jawab
2) Adanya kesalahan (dollus atau culpa). Perbuatan harus dilakukan
dengan kesalahan. Kesalahan ini dapat berhubungan dengan akibat
dari perbuatan atau dengan keadaan mana perbuatan itu dilakukan

3. Ruang Lingkup Berlakunya Hukum Pidana Menurut Waktu


6

Penerapan hukum pidana atau suatu perundang-undangan pidana berkaitan


dengan waktu dan tempat perbuatan dilakukan. Serta berlakunya hukum
pidana menurut waktu menyangkut penerapan hukum pidana dari segi lain.
Dalam hal seseorang melakukan perbuatan (feit) pidana sedangkan perbuatan
tersebut belum diatur atau belum diberlakukan ketentuan yang bersangkutan,
maka hal itu tidak dapat dituntut dan sama sekali tidak dapat dipidana. Asas
Legalitas (nullum delictum nula poena sine praevia lege poenali) Terdapat
dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP. Tidak dapat dipidana seseorang kecuali atas
perbuatan yang dirumuskan dalam suatu aturan perundang-undangan yang
telah ada terlebih dahulu. Dalam perkembangannya amandemen ke-2 UUD
1945 dalam Pasal 28 ayat (1) berbunyi dan berhak untuk tidak dituntut atas
dasar hukum yang berlaku surut tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun
dan Pasal 28 J ayat (2) Undang-undang Dasar 1945 yang berbunyi : “Dalam
menjalankan hak dan kebebasannya setiap orang wajib tunduk kepada
pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-
mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan
orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan
pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan dan ketertiban umum
dalam suatu masyarakat demokratis”. Karenanya asas ini dapat pula
dinyatakan sebagai asas konstitusional. (Pusat Pendidikan dan Pelatihan
Kejaksaan Republik Indonesia, 2010)

4. Jenis Hukum Pidana


Dalam Buku Ajar Fakultas Hukum Universitas Udayana Denpasar
Terdapat 2 Jenis Hukum pidana antara lain :
a. Hukum Pidana Umum adalah Hukum Pidana yang berlaku untuk
setiap orang. Sumbernya ada dalam KUHP. KUHP terdiri dari tiga
buku : Buku I tentang Ketentuan Umum, dari Pasal 1 – Pasal 103;
Buku II tentang Kejahatan, dari Pasal 104 - Pasal 448; dan Buku III
tentang Pelanggaran, Pasal 449 – Pasal 569. (Kemenkumham, 2012)
b. Hukum Pidana Khusus (bijzonder strafrecht) adalah aturan-aturan
hukum pidana yang menyimpang dari hukum pidana umum.
7

Penyimpangan ini terkait dengan ketentuan tersebut hanya untuk


subyek hukum tertentu atau mengatur tentang perbuatan-perbuatan tertentu
(Hukum Pidana Tentara, Hukum Pidana Fiskal, Hukum Pidana Ekonomi
dan Hukum Pidana Politik). Selain itu Sudarto juga menyebut istilah
Undang-undang Pidana Khusus yang diklasifikasikan dalam tiga
dikelompok, yaitu :
a. Undang-undang yang tidak dikodifikasikan (ongecodificeerd strafrecht),
misalnya : Undang-undang Lalulintas Jalan Raya, Undang-undang
Narkotika, Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,
Undang-undang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana
Pencucian uang, dan lain-lain.
b. Peraturan-peraturan hukum administratif yang mengandung sanksi
pidana, misalnya : UU Lingkungan hidup, UU Perburuhan, UU
Konservasi Sumber Daya Hayati, dan lain-lain.
c. Undang-undang yang mengandung hukum pidana khusus yang mengatur
tentang tindak pidana-tindak pidana untuk golongan tertentu atau
perbuatan-perbuatan tertentu. Misalnya : KUHP Militer, UU Tindak
pidana Ekonomi, UU Pajak, dan sebagainya. (Sudarto Dalam Buku Ajar
FH UNUD, 2016)

B. PERDAGANGAN
1. Pengertian Perdagangan
Menurut UU Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2014 Pada Bab 1
Pasal 1 dijelaskan bahwa Perdagangan adalah tatanan kegiatan yang
terkait dengan transaksi Barang dan/atau Jasa di dalam negeri dan
melampaui batas wilayah negara dengan tujuan pengalihan hak atas
Barang dan/atau Jasa untuk memperoleh imbalan atau kompensasi,
Sedangkan Barang adalah setiap benda, baik berwujud maupun tidak
berwujud, baik bergerak maupun tidak bergerak, baik dapat dihabiskan
maupun tidak dapat dihabiskan, dan dapat diperdagangkan, dipakai,
digunakan, atau dimanfaatkan oleh konsumen atau Pelaku Usaha.
8

2. Asas Dan Tujuan Perdagangan


Menurut UU Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2014 Pada Bab 2 Pasal
2 dan 3 telah dijelaskan Kebijakan Perdagangan disusun berdasarkan asas:
a. Kepentingan nasional;
b. Kepastian hukum;
c. Adil dan sehat;
d. Keamanan berusaha;
e. Akuntabel dan transparan;
f. Kemandirian;
g. Kemitraan;
h. Kemanfaatan;
i. Kesederhanaan;
j. Kebersamaan; dan
k. Berwawasan lingkungan.

Pengaturan kegiatan Perdagangan bertujuan:


a. Meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional;
b. Meningkatkan penggunaan dan perdagangan produk dalam negeri;
c. Meningkatkan kesempatan berusaha dan menciptakan lapangan
pekerjaan
d. Menjamin kelancaran distribusi dan ketersediaan barang kebutuhan
pokok dan barang penting;
e. Meningkatkan fasilitas, sarana, dan prasarana perdagangan;
f. Meningkatkan kemitraan antara usaha besar dan koperasi, usaha
mikro, kecil, dan menengah, serta pemerintah dan swasta;
g. Meningkatkan daya saing produk dan usaha nasional;
h. Meningkatkan citra produk dalam negeri, akses pasar, dan ekspor
nasional;
i. Meningkatkan perdagangan produk berbasis ekonomi kreatif;
j. Meningkatkan pelindungan konsumen;
k. Meningkatkan penggunaan sni;
l. Meningkatkan pelindungan sumber daya alam; dan
9

m. Meningkatkan pengawasan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan

3. Pengendalian Barang Kebutuhan Pokok dan/atau Barang Penting


Dalam menjaga kestabilan akan kebutuhan barang dan jasa
pemerintah sudah mengatur tentang pengendalian barang kebutuhan
pokok dan barang penting yang tercantum dalam UU Republik Indonesia
Nomor 7 Tahun 2014 pada Bab IV Bagian Kedelapan yang sebagai
berikut :
a. Pasal 25
1) Pemerintah dan Pemerintah Daerah mengendalikan ketersediaan
Barang kebutuhan pokok dan/atau Barang penting di seluruh
wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam jumlah yang
memadai, mutu yang baik, dan harga yang terjangkau.
2) Pemerintah dan Pemerintah Daerah berkewajiban mendorong
peningkatan dan melindungi produksi Barang kebutuhan pokok
dan Barang penting dalam negeri untuk memenuhi kebutuhan
nasional.
3) Barang kebutuhan pokok dan Barang penting sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan
Peraturan Presiden.
b. Pasal 26
1) Dalam kondisi tertentu yang dapat mengganggu kegiatan
Perdagangan nasional, Pemerintah berkewajiban menjamin
pasokan dan stabilisasi harga Barang kebutuhan pokok dan Barang
penting.
2) Jaminan pasokan dan stabilisasi harga Barang kebutuhan pokok
dan Barang penting sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan untuk menjaga keterjangkauan harga di tingkat
konsumen dan
melindungi pendapatan produsen.
3) Dalam menjamin pasokan dan stabilisasi harga Barang kebutuhan
pokok dan Barang penting, Menteri menetapkan kebijakan harga,
10

pengelolaan stok dan logistik, serta pengelolaan Ekspor dan


Impor.
c. Pasal 27
Dalam rangka pengendalian ketersediaan, stabilisasi harga, dan
Distribusi Barang kebutuhan pokok dan Barang penting, Pemerintah
dapat menunjuk Badan Usaha Milik Negara.
d. Pasal 28
Dalam rangka melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 26, Pemerintah mengalokasikan anggaran yang bersumber dari
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan/atau sumber lain sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
e. Pasal 29
1) Pelaku Usaha dilarang menyimpan Barang kebutuhan pokok
dan/atau Barang penting dalam jumlah dan waktu tertentu pada
saat terjadi kelangkaan Barang, gejolak harga, dan/atau hambatan
lalu lintas Perdagangan Barang.
2) Pelaku Usaha dapat melakukan penyimpanan Barang kebutuhan
pokok dan/atau Barang penting dalam jumlah dan waktu tertentu
jika digunakan sebagai bahan baku atau bahan penolong dalam
proses produksi atau sebagai persediaan Barang untuk
didistribusikan.
3) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyimpanan Barang kebutuhan
pokok dan/atau Barang penting diatur dengan atau berdasarkan
Peraturan Presiden

Anda mungkin juga menyukai