PENIMBUN MASKER DAN HANDSANITIZER Di tahun 2020 ini, sedang terjadi wabah virus baru yang disebut virus Corona (Covid-19) yang berasal dari Wuhan China. Menurut data yang diperoleh oleh Kompas.com per tanggal 19 Maret 2020 sudah ada 214.894 Orang Terinfeksi, 83.313 Sembuh, 8.732 Meninggal Dunia. Sedangkan di Indonesia data terbaru yang diperoleh oleh halaman detik.com menyebutkan terdapat 227 kasus Covid-19, yang 25 pasien meninggal dunia dan 11 orang dinyatakan sembuh. Terkait dengan terjadinya kasus Covid-19 Aparat Polri melakukan operasi secara serentak di seluruh wilayah Indonesia untuk menyelidiki orang atau perusahaan yang sengaja menyimpan/menimbun masker dan cairan pembersih tangan. Berdasarkan Permendagri No. 17 Tahun 2007 penyimpanan merupakan kegiatan melakukan penerimaan, penyimpanan, pengaturan, pembukuan, pemeliharaan barang dan pengeluaran dari tempat penyimpanan. Penyimpanan adalah kegiatan yang dilakukan oleh satuan kerja atau petugas gudang untuk menampung hasil pengadaan barang/bahan kantor, baik berasal dari pembelian, instansi lain, atau yang diperoleh dari bantuan. Diduga banyak orang memanfaatkan kepanikan warga untuk menyimpan masker dalam jumlah banyak dan menaikkan harga secara tidak wajar. Kelangkaan masker terjadi di sejumlah tempat menyusul pengumuman Pemerintah bahwa ada dua orang positif terkena Covid-19 dan puluhan pasien sedang diawasi. Selama Rabu dan Kamis saja (4-5/3), Polri berhasil mengungkap 12 kasus penimbunan masker dan cairan pembersih tangan antiseptic (handsanitizer) di sejumlah wilayah Indonesia. Kepala Bagian Penerangan Umum Polri Kombes (Pol) Asep Adisaputra di Mabes Polri, Jakarta, Kamis (5/3) kemarin, mengatakan dari 12 kasus ini, ada 25 orang yang menjadi tersangka. "Untuk kasus penimbunan masker dan hand 12
sanitizer kami ungkap 12 kasus tersebar di wilayah hukum Polda Metro Jaya,
Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah, Banten, Kepri, Sulsel, Kalbar dan Kaltim," tutur Asep. Para tersangka akan dijerat menggunakan Pasal 107 UU No. 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan. Pasal ini menyebutkan pelaku usaha yang menyimpan barang kebutuhan pokok dan/atau barang penting dalam jumlah dan waktu tertentu pada saat terjadi kelangkaan barang, gejolak harga, dan/atau hambatan lalu lintas perdagangan barang sebagaimana dimaksud Pasal 29 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun dan/atau pidana denda paling banyak 50 miliar rupiah. Pasal 29 ayat (1) yang dirujuk menegaskan larangan bagi pelaku usaha menyimpan barang kebutuhan pokok atau barang penting. (Hukumonline.com) Sebenarnya, UU Perdagangan tak melarang sepenuhnya penyimpanan barang. Ayat (2) Pasal 29 memuat pengecualian. Disebutkan bahwa pelaku usaha dapat melakukan penyimpanan barang kebutuhan pokok dan/atau barang penting dalam jumlah dan waktu tertentu jika digunakan sebagai bahan baku atau bahan penolong dalam proses produksi atau sebagai persediaan barang untuk didistribusikan. UU memberikan kewenangan kepada presiden untuk mengatur lebih lanjut pengecualian tersebut. (Rahman, Z. 2015) Sejauh ini polisi tetap memproses para pelaku penimbunan. "Tindakan pelaku sangat tidak dibenarkan. Mereka melakukan penimbunan untuk mengambil keuntungan. Padahal di pasar, masyarakat sangat membutuhkan masker dan hand sanitizer," ujar Asep Adisaputra. Penindakan terhadap para pelaku penimbunan masker ini menindaklanjuti instruksi Presiden Jokowi pada Kapolri Jenderal Polisi Idham Azis untuk menindak pihak-pihak yang menimbun masker dan menjualnya dengan harga tinggi. "Saya memerintahkan Kapolri menindak tegas pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab yang memanfaatkan momentum seperti ini dengan menimbun masker dan menjualnya dengan harga yang sangat tinggi. Hati-hati, ini yang saya peringatkan," kata Presiden Jokowi di Istana Kepresidenan. (Hukumonline.com) 13
Presiden Joko Widodo sudah pernah mengatur masalah ini lewat
Perpres No. 71 Tahun 2015 tentang Penetapan dan Penyimpanan Barang Kebutuhan Pokok dan Barang Penting. Ketua Komunitas Konsumen Indonesia, David ML Tobing mengingatkan aparat penegak hukum untuk membedakan dua jenis barang yakni barang kebutuhan pokok dan barang penting sesuai peraturan perundang-undangan. Barang Kebutuhan Pokok adalah barang yang menyangkut hajat hidup orang banyak banyak dengan skala pemenuhan kebutuhan yang tinggi serta menjadi faktor pendukung kesejahteraan masyarakat. Beras, tahu, dan tempe termasuk ke dalam kategori ini. Sementara, Barang Penting adalah barang strategis yang berperan penting dalam menentukan kelancaran pembangunan nasional. Contohnya benih, pupuk, dan gas elpiji. David mengingatkan bahwa masker dan handsanitizer tak termasuk yang disebut dalam Perpres No. 71 Tahun 2015. Itu sebabnya, penggunaan pasal itu oleh aparat kepolisian berisiko karena penggunaannya kurang tepat. Menurut David, jalan keluar terhadap persoalan itu adalah penemuan hukum oleh hakim (rechtsvinding). (Hukumonline.com) Adapun di dalam UU Perdagangan pengaturan mengenai larangan sekaligus ancaman terhadap pelaku tindak pidana penimbunan barang diatur di dalam Pasal 29 ayat (1) dan ayat (3) yang menyatakan: “Pelaku Usaha dilarang menyimpan Barang kebutuhan pokok dan/atau Barang penting dalam jumlah dan waktu tertentu pada saat terjadi kelangkaan Barang, gejolak harga, dan/atau hambatan lalu lintas Perdagangan Barang”. Kemudian pengaturan lebih lanjut mengenai penyimpanan barang kebutuhan pokok dan/atau barang penting diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Presiden. Selanjutnya Pasal 107 mengatur ancaman sanksi terhadap larangan yang ada di dalam Pasal 29 ayat (1), yaitu berupa pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah). (Rahman, Z. 2015) Kemudian Pasal 29 (3) UU Perdagang mengamanatkan ketentuan lebih lanjut mengenai penyimpanan barang kebutuhan pokok dan/atau barang penting diatur dengan atau berdasarkan peraturan presiden, yang diimplementasikan di dalam Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2015 14
tentang Penetapan dan Penyimpanan Barang Kebutuhan Pokok dan Barang
Penting (Perpres Penetapan dan Penyimpanan Barang Kebutuhan Pokok dan Barang Penting), dimana Pasal 11 menyatakan dalam hal terjadi kelangkaan barang, gejolak harga, dan/atau hambatan lalu lintas perdagangan barang, barang kebutuhan pokok dan/atau barang penting dilarang disimpan di gudang dalam jumlah dan waktu tertentu diluar batas kewajaran yang melebihi stok atau persediaan barang berjalan, untuk memenuhi pasar dengan waktu paling lama 3 (tiga) bulan, berdasarkan catatan rata-rata penjualan per bulan dalam kondisi normal. Ketentuan dalam Pasal 11 ayat (2) yang memberikan batas waktu maksimal 3 (tiga ) bulan untuk menyimpan kebutuhan pokok dan/atau barang penting ini yang ternyata telah menimbulkan problem tersendiri di dalam penegakan hukum. Karena kondisi dilapangan, menyimpan kebutuhan pokok dan/atau barang penting “sebelum” waktu 3 (tiga) bulan ternyata telah dapat menyebabkan kelangkaan suplai kebutuhan pokok dan atau barang penting. (Rahman, Z. 2015) Selanjutnya Pelaku Usaha yang melakukan manipulasi data dan/atau informasi mengenai persediaan Barang kebutuhan pokok dan/atau Barang penting sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah). (Rahman, Z. 2015)