Anda di halaman 1dari 4

11

BAB III
PEMBAHASAN

A. PENEGAKAN HUKUM TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA


PENIMBUN MASKER DAN HANDSANITIZER
Di tahun 2020 ini, sedang terjadi wabah virus baru yang disebut virus
Corona (Covid-19) yang berasal dari Wuhan China. Menurut data yang
diperoleh oleh Kompas.com per tanggal 19 Maret 2020 sudah ada 214.894
Orang Terinfeksi, 83.313 Sembuh, 8.732 Meninggal Dunia. Sedangkan di
Indonesia data terbaru yang diperoleh oleh halaman detik.com menyebutkan
terdapat 227 kasus Covid-19, yang 25 pasien meninggal dunia dan 11 orang
dinyatakan sembuh.
Terkait dengan terjadinya kasus Covid-19 Aparat Polri melakukan
operasi secara serentak di seluruh wilayah Indonesia untuk menyelidiki orang
atau perusahaan yang sengaja menyimpan/menimbun masker dan cairan
pembersih tangan. Berdasarkan Permendagri No. 17 Tahun 2007
penyimpanan merupakan kegiatan melakukan penerimaan,
penyimpanan, pengaturan, pembukuan, pemeliharaan barang dan
pengeluaran dari tempat penyimpanan. Penyimpanan adalah kegiatan
yang dilakukan oleh satuan kerja atau petugas gudang untuk menampung
hasil pengadaan barang/bahan kantor, baik berasal dari pembelian, instansi
lain, atau yang diperoleh dari bantuan.
Diduga banyak orang memanfaatkan kepanikan warga untuk menyimpan
masker dalam jumlah banyak dan menaikkan harga secara tidak wajar.
Kelangkaan masker terjadi di sejumlah tempat menyusul pengumuman
Pemerintah bahwa ada dua orang positif terkena Covid-19 dan puluhan pasien
sedang diawasi. Selama Rabu dan Kamis saja (4-5/3), Polri berhasil
mengungkap 12 kasus penimbunan masker dan cairan pembersih tangan
antiseptic (handsanitizer) di sejumlah wilayah Indonesia. Kepala Bagian
Penerangan Umum Polri Kombes (Pol) Asep Adisaputra di Mabes Polri,
Jakarta, Kamis (5/3) kemarin, mengatakan dari 12 kasus ini, ada 25 orang
yang menjadi tersangka. "Untuk kasus penimbunan masker dan hand
12

sanitizer kami ungkap 12 kasus tersebar di wilayah hukum Polda Metro Jaya,


Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah, Banten, Kepri, Sulsel, Kalbar dan
Kaltim," tutur Asep. Para tersangka akan dijerat menggunakan Pasal 107 UU
No. 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan. Pasal ini menyebutkan pelaku usaha
yang menyimpan barang kebutuhan pokok dan/atau barang penting dalam
jumlah dan waktu tertentu pada saat terjadi kelangkaan barang, gejolak harga,
dan/atau hambatan lalu lintas perdagangan barang sebagaimana dimaksud
Pasal 29 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun
dan/atau pidana denda paling banyak 50 miliar rupiah. Pasal 29 ayat (1) yang
dirujuk menegaskan larangan bagi pelaku usaha menyimpan barang
kebutuhan pokok atau barang penting. (Hukumonline.com)
Sebenarnya, UU Perdagangan tak melarang sepenuhnya penyimpanan
barang. Ayat (2) Pasal 29 memuat pengecualian. Disebutkan bahwa pelaku
usaha dapat melakukan penyimpanan barang kebutuhan pokok dan/atau
barang penting dalam jumlah dan waktu tertentu jika digunakan sebagai
bahan baku atau bahan penolong dalam proses produksi atau sebagai
persediaan barang untuk didistribusikan. UU memberikan kewenangan
kepada presiden untuk mengatur lebih lanjut pengecualian tersebut. (Rahman,
Z. 2015)
Sejauh ini polisi tetap memproses para pelaku penimbunan. "Tindakan
pelaku sangat tidak dibenarkan. Mereka melakukan penimbunan untuk
mengambil keuntungan. Padahal di pasar, masyarakat sangat membutuhkan
masker dan hand sanitizer," ujar Asep Adisaputra. Penindakan terhadap para
pelaku penimbunan masker ini menindaklanjuti instruksi Presiden Jokowi
pada Kapolri Jenderal Polisi Idham Azis untuk menindak pihak-pihak yang
menimbun masker dan menjualnya dengan harga tinggi. "Saya
memerintahkan Kapolri menindak tegas pihak-pihak yang tidak bertanggung
jawab yang memanfaatkan momentum seperti ini dengan menimbun masker
dan menjualnya dengan harga yang sangat tinggi. Hati-hati, ini yang saya
peringatkan," kata Presiden Jokowi di Istana Kepresidenan.
(Hukumonline.com)
13

Presiden Joko Widodo sudah pernah mengatur masalah ini lewat


Perpres No. 71 Tahun 2015 tentang Penetapan dan Penyimpanan Barang
Kebutuhan Pokok dan Barang Penting. Ketua Komunitas Konsumen
Indonesia, David ML Tobing mengingatkan aparat penegak hukum untuk
membedakan dua jenis barang yakni barang kebutuhan pokok dan barang
penting sesuai peraturan perundang-undangan. Barang Kebutuhan Pokok
adalah barang yang menyangkut hajat hidup orang banyak banyak dengan
skala pemenuhan kebutuhan yang tinggi serta menjadi faktor pendukung
kesejahteraan masyarakat. Beras, tahu, dan tempe termasuk ke dalam kategori
ini. Sementara, Barang Penting adalah barang strategis yang berperan penting
dalam menentukan kelancaran pembangunan nasional. Contohnya benih,
pupuk, dan gas elpiji. David mengingatkan bahwa masker dan handsanitizer
tak termasuk yang disebut dalam Perpres No. 71 Tahun 2015. Itu sebabnya,
penggunaan pasal itu oleh aparat kepolisian berisiko karena penggunaannya
kurang tepat. Menurut David, jalan keluar terhadap persoalan itu adalah
penemuan hukum oleh hakim (rechtsvinding). (Hukumonline.com)
Adapun di dalam UU Perdagangan pengaturan mengenai larangan
sekaligus ancaman terhadap pelaku tindak pidana penimbunan barang diatur
di dalam Pasal 29 ayat (1) dan ayat (3) yang menyatakan: “Pelaku Usaha
dilarang menyimpan Barang kebutuhan pokok dan/atau Barang penting
dalam jumlah dan waktu tertentu pada saat terjadi kelangkaan Barang,
gejolak harga, dan/atau hambatan lalu lintas Perdagangan Barang”.
Kemudian pengaturan lebih lanjut mengenai penyimpanan barang kebutuhan
pokok dan/atau barang penting diatur dengan atau berdasarkan Peraturan
Presiden. Selanjutnya Pasal 107 mengatur ancaman sanksi terhadap larangan
yang ada di dalam Pasal 29 ayat (1), yaitu berupa pidana penjara paling lama
5 (lima) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp50.000.000.000,00
(lima puluh miliar rupiah). (Rahman, Z. 2015)
Kemudian Pasal 29 (3) UU Perdagang mengamanatkan
ketentuan lebih lanjut mengenai penyimpanan barang kebutuhan pokok
dan/atau barang penting diatur dengan atau berdasarkan peraturan presiden,
yang diimplementasikan di dalam Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2015
14

tentang Penetapan dan Penyimpanan Barang Kebutuhan Pokok dan Barang


Penting (Perpres Penetapan dan Penyimpanan Barang Kebutuhan Pokok dan
Barang Penting), dimana Pasal 11 menyatakan dalam hal terjadi kelangkaan
barang, gejolak harga, dan/atau hambatan lalu lintas perdagangan barang,
barang kebutuhan pokok dan/atau barang penting dilarang disimpan di
gudang dalam jumlah dan waktu tertentu diluar batas kewajaran yang
melebihi stok atau persediaan barang berjalan, untuk memenuhi pasar dengan
waktu paling lama 3 (tiga) bulan, berdasarkan catatan rata-rata penjualan per
bulan dalam kondisi normal. Ketentuan dalam Pasal 11 ayat (2) yang
memberikan batas waktu maksimal 3 (tiga ) bulan untuk menyimpan
kebutuhan pokok dan/atau barang penting ini yang ternyata telah
menimbulkan problem tersendiri di dalam penegakan hukum. Karena kondisi
dilapangan, menyimpan kebutuhan pokok dan/atau barang penting “sebelum”
waktu 3 (tiga) bulan ternyata telah dapat menyebabkan kelangkaan suplai
kebutuhan pokok dan atau barang penting. (Rahman, Z. 2015)
Selanjutnya Pelaku Usaha yang melakukan manipulasi data dan/atau
informasi mengenai persediaan Barang kebutuhan pokok dan/atau Barang
penting sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (2) dipidana dengan
pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau pidana denda paling
banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah). (Rahman, Z. 2015)

Anda mungkin juga menyukai