Anda di halaman 1dari 57

REFERAT DAN CASE REPORT

DEMAM BERDARAH DENGUE DAN EPILEPSI

Pembimbing :
dr. Rita Juniriana, Sp.A

Disusun oleh :
Haryadi Artha
1461050201

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK


PERIODE 23 JULI – 29 SEPTEMBER 2018

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS KRISTEN INDONESIA
TAHUN 2018
STATUS PEMERIKSAAN PASIEN

I. IDENTITAS PASIEN
No. MR : 11051961
Nama : An. S D
Jenis kelamin : Perempuan
TTL : Bogor, 13-12-2004
Alamat : KP Tanah Baru 003/006 Waringin Jaya Bojong Gede Kab Bogor
Usia : 13 tahun 7 bulan
Agama : Islam

Orang tua / Wali


Ayah
Nama : Tn. K
Tanggal lahir : 14 – 03 – 1978
Suku bangsa : Sunda
Alamat : Hambalang
Agama : Islam
Pendidikan : SMA
Pekerjaan : Bengkel
Penghasilan : 2.500.000 – 3.000.000

Ibu
Nama : Ny. T
Tanggal lahir : 24 – 08 – 1980
Suku bangsa : Sunda
Alamat : Hambalang
Agama : Islam
Pendidikan : SMA
Pekerjaan : tukang kredit
Penghasilan : 2.500.000 – 3.000.000

2
II. ANAMNESIS
Dilakukan allo anamnesis kepada ibu pasien dan dari data rekam medis pasien

1. Keluhan Utama: demam sejak 3 hari SMRS.

2. Riwayat Penyakit Sekarang:


Pasien datang ke RSUD Cibinong dengan keluhan demam sejak 3 hari
SMRS. Demam dirasakan terus-menerus sepanjang hari. Demam belum
pernah diukur namun orangtua mengeluhkan seluruh tubuh terasa panas.
Sudah coba diobati dengan obat penurun panas, demam turun sesaat namun
akan kembali naik. Demam tidak disertai dengan menggigil. Pasien
mengeluhkan pegal-pegal di tangan dan kaki. Selain itu pasien mengeluhkan
muntah setiap habis makan, berisi makanan dan air. Pasien juga mengeluhkan
nyeri perut di bagian atas. Keluhan juga disertai dengan batuk sejak 3 hari
lalu bersamaan dengan demam. Batuk berdahak, dengan dahak sulit
keluarkan. Nafsu makan pasien menurun, buang air besar dan buang air kecil
tidak ada keluhan. Selain itu, keluhan disertai dengan kejang sejak 2 hari
SMRS. Kejang dirasakan selama kurang lebih 2 menit, 10x dalam 1 hari. Saat
kejang kedua tangan dan kaki tampak kaku, mata membelalak ke atas.

3. Riwayat Penyakit Dahulu


Riwayat epilepsy sejak usia 8 bulan.

4. Riwayat Penyakit Keluarga


Riwayat kakek pasien menderita asma dan nenek pasien hipertensi.

5. Riwayat Kehamilan, Persalinan, dan Pasca Lahir


a. Kehamilan: ibu pasien tidak pernah memeriksakan
kandungannya
b. Persalinan: pasien lahir spontan, cukup bulan di rumah dengan
bantuan dukun beranak. BBL: 2500 gr. PBL: 49cm. Saat lahir,
pasien langsung menangis, tidak ada ikterik, tidak ada
sianosis, dan tidak ada kelainan bawaan

3
6. Riwayat Imunisasi
Pasien belum dilakukan imunisasi.

7. Riwayat Makanan
0 – 6 bulan: ASI eksklusif tiap 2-3 jam selama 30-45 menit, hisap kuat,
bergantian payudara kanan dan kiri.
7 – 12 bulan: susu formula 3-4 botol/hari. Nasi tim berisi nasi putih, ikan atau
ayam, dan sayur, 2x/hari sebanyak 1 mangkuk anak.
1 tahun – sekarang: Nasi tim berisi nasi putih, ayam atau ikan, sayur-sayuran,
3x/hari sebanyak kira-kira 1 piring kecil dewasa.

8. Riwayat Keluarga
Pasien adalah anak pertama dari 2 bersaudara.

9. Riwayat Perumahan
Pasien tinggal di rumah pribadi berukuran 6 x 9 m2 dengan dinding terbuat
dari batu bata dan atap terbuat dari seng. Terdapat 5 jendela di rumah pasien
dan jarak septic tank ke sumber air bersih >10m. Lingkungan rumah pasien
cukup bersih, tidak di pinggir jalan, dan terdapat tempat pembuangan
sampah.

III. PEMERIKSAAN FISIK

A. Pemeriksaan Umum
1. Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
2. Kesadaran : compos mentis
3. Tanda Utama
 Frekuensi nadi : 100 kali/ menit, teratur, isi cukup dan kuat
angkat
 Frekuensi nafas : 20 kali/ menit
 Suhu : 37,8oC
4. Pengukuran Antropometri

4
- Berat badan : 34 kg
- Tinggi badan : 150 cm

Pemeriksaan Sistem

1. Kepala
 Bentuk : normosefali
 Rambut : warna hitam, pertumbuhan rambut
merata, tidak mudah dicabut
 Mata : konjungtiva anemis -/-, sklera ikterik
-/-, mata cekung -/-
 Hidung : bentuk hidung simetris, cavum nasi
lapang, sekret -/-
 Telinga : bentuk telinga normotia, liang telinga
lapang, sekret -/-, serumen -/-
 Mulut
- Bibir : mukosa bibir tidak kering
- Gigi : tidak ada karies
- Lidah : lidah tidak kotor,
 Tenggorokan
- Faring : arkus faring simetris, hiperemis -/-
- Tonsil : T1/T1, hiperemis -/-
2. Leher : tidak ada pembesaran kelenjar
3. Thoraks
 Dinding dada : bentuk dada
laterolateral>anteroposterior
 Jantung
- Inspeksi : Iktus kordis tidak terlihat
- Palpasi : iktus cordis teraba di linea
midclavicula sinistra IC-4
- Perkusi : batas jantung kanan di linea
parasternal IC-4. Batas jantung kiri di linea midclavicula
sinistra IC-5

5
- Auskultasi : Bunyi jantung I dan II regular, murmur
(-), gallop (-)
 Paru
- Inspeksi: gerakan dinding dada simetris
- Palpasi: vocal fremitus kanan dan kiri simetris
- Perkusi: perkusi seluruh lapang paru sonor-sonor
- Auskultasi: bunyi nafas dasar vesikuler, ronki -/-, wheezing -/-
4. Abdomen
 Inspeksi : perut tampak datar
 Auskultasi : bising usus 4kali per menit
 Perkusi : timpani, nyeri ketok (-)
 Palpasi : supel, nyeri tekan epigastrium (+),
turgor kulit normal, hati & limpa tidak teraba membesar
5. Anggota Gerak : CRT <2detik, akral hangat, edema -/-
6. Tulang Belakang : scoliosis (-), lordosis (-), kifosis (-)
7. Kulit : tidak ada lesi pada kulit
8. Status Neurologis

Pemeriksaan refleks:

 Refleks meningen: Kaku kuduk (-), Brudzinky I(-), Brudzinsky II


(-/-), Kernig (-/-), Laseque (-/-)
 Refleks fisiologis: Biceps (++/++), Triceps (++/++), KPR (++/++),
APR (++/++)
 Refleks patologis: Hoffman (-), Babinski (-), Chaddock (-),
Gordon (-), Oppenheim (-), Schaeffer (-), Klonus kaki (-), Klonus
lutut (-), Mendel (-), Rosolimo (-)

Nervus Cranialis :
 I : penciuman baik
 II : penglihatan baik
 III : gerakan bola mata ke segala arah
 IV : strabismus -/-
 V : rangsang sensoris simetris

6
 VI : RCL +/+, RCTL +/+
 VII : wajah simetris
 VIII : pendengaran baik, nistagmus -/-
 IX : disfagia (-), disfoni (-)
 X : arkus faring simetris, refleks faring (+)
 XI : m.sternocleidomastodeus dan m.trapezius simetris
 XII : lidah terletak ditengah, tremor (-)

7
IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Pemeriksaan Laboratorium Darah


Pemeriksaan 28/7/2018 28/7/2018 Nilai Rujukan
14.50 21.31
Hb (g/dL) 15,5 15 12,0-17,3
Hematokrit (%) 46,4 45,6 36-42
Leukosit (/uL) 2.770 2.650 5.000-10.000
Trombosit (/uL) 84.000 98.000 150.000-450.000

V. DIAGNOSIS KERJA
DHF gr.1 dan riwayat epilepsi

VI. RENCANA PENATALAKSANAAN


1. IVFD: KaEN 1B 1800cc/hari
2. Paracetamol tab 500mg
3. Fenitoin loading 20mg/kgBB (600mg) k/p kejang dilanjutkan 12 jam
berikutnya fenitoin 2x85 mg bila kejang.
4. Konsul dr.Rita, Sp.A Cefotaxime 2x1gr

Pendahuluan

8
Infeksi virus dengue merupakan salah satu penyakit dengan vektor nyamuk
(”mosquito borne disease”) yang paling penting di seluruh dunia terutama di daerah
tropis dan subtropis. Penyakit ini mempunyai spektrum klinis dari asimptomatis,
undifferentiated febrile illness, demam dengue (DD) dan demam berdarah dengue
(DBD), mencakup manifestasi paling berat yaitu sindrom syok dengue (dengue
shock syndrome/DSS). 1
Pada tahun 1950an, hanya sembilan negara yang dilaporkan merupakan
endemi infeksi dengue, saat ini endemi dengue dilaporkan terjadi di 112 negara di
seluruh dunia. World Health Organization (WHO) memperkirakan lebih dari 2,5
milyar penduduk berisiko menderita infeksi dengue. Setiap tahunnya dilaporkan
terjadi 100 juta kasus demam dengue dan setengah juta kasus demam berdarah
dengue terjadi di seluruh dunia dan 90% penderita demam berdarah dengue ini
adalah anak-anak dibawah usia 15 tahun.1 Walaupun demikian tidaklah benar jika
dikatakan DD/DBD adalah penyakit pada anak, pada saat kejadian luar biasa (KLB)
tahun 2004 di enam rumah sakit di DKI Jakarta tercatat lebih dari 75% kasus
2
DD/DBD adalah dewasa. Tingkat mortalitas di sebagian besar negara di Asia
Tenggara mengalami penurunan dan saat ini berada dibawah 1%, walaupun di
beberapa negara masih diatas 4% akibat penanganan yang terlambat.1

Gambar 1. Insiden rata-rata setiap propinsi saat terjadi KLB Dengue tahun 2004

Infeksi dengue dapat disebabkan oleh salah satu dari keempat serotipe virus
yang dikenal (DEN-1,DEN-2,DEN-3 dan DEN-4). Infeksi salah satu serotipe akan
memicu imunitas protektif terhadap serotipe tersebut tetapi tidak terhadap serotipe
yang lain, sehingga infeksi kedua akan memberikan dampak yang lebih buruk. Hal
ini dikenal sebagai fenomena yang disebut antibody dependent enhancement (ADE),
dimana antibodi akibat serotipe pertama memperberat infeksi serotipe kedua. 1

9
Mengingat infeksi dengue termasuk dalam 10 jenis penyakit infeksi akut
endemis di Indonesia maka seharusnya tidak boleh lagi dijumpai misdiagnosis atau
kegagalan pengobatan. Menegakkan diagnosis DBD pada stadium dini sangatlah
sulit karena tidak adanya satupun pemeriksaan diagnostik yang dapat memastikan
diagnosis DBD dengan sekali periksa, oleh sebab itu perlu dilakukan pengawasan
berkala baik klinis maupun laboratoris. 2

Definisi
Demam dengue (DD) merupakan sindrom benigna yang disebabkan oleh
”arthropod borne viruses” dengan ciri demam bifasik, mialgia atau atralgia, rash,
leukopeni dan limfadenopati. Demam berdarah dengue (DBD) merupakan penyakit
demam akibat virus dengue yang berat dan sering kali fatal. 3
DBD dibedakan dari DD berdasarkan adanya peningkatan permeabilitas
vaskuler dan bukan dari adanya perdarahan. Pasien dengan demam dengue (DD)
dapat mengalami perdarahan berat walaupun tidak memenuhi kriteria WHO untuk
DBD. 1

Sejarah infeksi dengue dan virus dengue


DD klinis dilaporkan pertama kali oleh Banyamin Reesh pada bulan Agustus
-Oktober 1780 (break bone fever) di Philadelphia.4,6 Pada tahun 1954, DBD pertama
kali dilaporkan di Filipina yang kemudian menyebar ke negara-negara kawasan Asia
Tenggara. Pada tahun 1980 an penyakit ini merambah negara-negara di Benua
Amerika yang beriklim tropis dan subtropis.6
Di Indonesia, pertama kali dilaporkan kasus DD oleh Bylon di Batavia
tahun1779.4 Kasus DBD pertama kali terdiagnosis di Surabaya pada tahun 1968.
Penyakit ini terutama menyerang anak usia dibawah 15 tahun. Dalam kurun waktu
40 tahun, penyakit ini telah menyebar ke seluruh propinsi di Indonesia. 6 Istilah
haemorrhagic fever di Asia Tenggara pertama kali digunakan di Filipina tahun
1953 , kasusnya dilaporkan oleh Quintos dkk pada tahun 1954.4,7
Hingga tahun 1956 baru dikenal virus dengue tipe 1 dan 2. 4 Virus DEN-1
pertama kali diisolasi Sabin dan Schlesinger di Honolulu tahun 1943. Pada tahun
yang sama, Kimura dan Hotta berhasil mengisolasi dan mempublikasikan virus
DEN-1 selama terjadi epidemi di Nagasaki.5 Virus DEN-2 berhasil diisolasi oleh

10
sejumlah ahli di New Guinea pada tahun 1944. Virus DEN-3 dan 4 diidentifikasi
oleh Hammon dkk tahun 1960 4 dan dua tahun kemudian berhasil mengidentifikasi
virus DEN- 5 dan 6.5

Etiologi
Virus dengue termasuk genus Flavivirus dari keluarga flaviviridae dengan
ukuran 50 nm dan mengandung RNA rantai tunggal. 8 Hingga saat ini dikenal empat
serotipe yaitu DEN-1,DEN-2,DEN-3 dan DEN-4. 1-9
Virus dengue ditularkan oleh nyamuk Aedes dari subgenus Stegomya. Aedes
aegypty merupakan vektor epidemik yang paling penting disamping spesies lainnya
seperti Aedes albopictus, Aedes polynesiensis yang merupakan vektor sekunder dan
epidemi yang ditimbulkannya tidak seberat yang diakibatkan Aedes aegypty.8

Gambar 2. Profil nyamuk Aedes dibandingkan nyamuk anopheles dan culex

Patofisiologi

11
Patofisiologi yang terpenting dan menentukan derajat penyakit ialah adanya
perembesan plasma dan kelainan hemostasis yang akan bermanifestasi sebagai
peningkatan hematokrit dan trombositopenia. Adanya perembesan plasma ini
membedakan demam dengue dan demam berdarah dengue. 9,10
Hingga saat ini patofisiologi DD/DBD masih belum jelas. 3 Beberapa teori
dan hipotesis yang dikenal untuk mempelajari patofisiologi infeksi dengue ialah :

1. Teori virulensi virus 6. Teori endotoksin


2. Teori imunopatologi 7. Teori limfosit
3. Teori antigen antibodi 8. Teori trombosit endotel
4. Teori infection enchancing antibody 9. Teori apoptosis. 9
5. Teori mediator
Sejak tahun 1950an, dari pengamatan epidemiologis, klinis dan laboratoris muncul
teori infeksi sekunder oleh virus lain berturutan, teori antigen antibodi dan aktivasi
komplemen, dari sini berkembang menjadi teori infection enhancing antibody
kemudian muncul peran endotoksemia dan limfosit T. 9

Gambar 2. Teori secondary heterologous infection yang pertama kali dipublikasikan


oleh Suvatte,1977 dan pernah dianut untuk menjelaskan patofisiologi DD/DBD

12
Diantara teori-teori dan hipotesis patofisiologi infeksi dengue, teori
enhancing antibody dan teori virulensi virus merupakan teori yang paling penting
untuk dipahami. 10
Teori secondary heterologous infection, dimana infeksi kedua dari serotipe
berbeda dapat memicu DBD berat, berdasarkan data epidemiologi dan hasil
laboratorium hanya berlaku pada anak berumur diatas 1 tahun. Pada pemeriksaan uji
HI, DBD berat pada anak dibawah 1 tahun ternyata merupakan infeksi primer. Gejala
klinis terjadi akibat adanya Ig G anti dengue dari ibu. Dari observasi ini, diduga kuat
adanya antibodi virus dengue dan sel T memori berperan penting dalam patofisiologi
DBD. 10

Teori enhancing antibody/ the immune enhancement theory


Teori ini dikembangkan Halstead tahun 1970an. Belaiau mengajukan dasar
imunopatologi DBD/DSS akibat adanya antibodi non-neutralisasi heterotrpik selama
perjalanan infeksi sekunder yang menyebabkan peningkatan jumlah sel mononuklear
yang terinfeksi virus dengue. Berdasarkan data epuidemiologi dan studi in vitro,
teorui ini saat ini dikenal sebagai ”antibody dependent enhancement” (ADE) yang
dianut untuk menjelaskan patogenesis DBD/DSS. Hipotesisi ini juga mendukung
bahwa pasien yang menderita infeksi sekunder dengan serotipe virus dengue
heteroolog memiliki risiko lebih tinggi mengalami DBD dan DSS. 1
Menurut teori ADE ini, saat pertama digigit nyamuk Aedes aegypty, virus
DEN akan masuk dalam sirkulasi dan terjadi 3 mekanisme yaitu :
- Mekanisme aferen dimana virus DEN melekat pada monosit melalui reseptor
Fc dan masuk dalam monosit
- Mekanisme eferen dimana monosit terinfeksi menyebar ke hati, limpa dan
sumsum tulang (terjadi viremia).
- Mekanisme efektor dimana monosit terinfeksi ini berinteraksi dengan
berbagai sistem humoral dan memicu pengeluaran subtansi inflamasi (sistem
komplemen), sitokin dan tromboplastin yang mempengaruhi permeabilitas
kapiler dan mengaktivasi faktor koagulasi. 10

Antibodi Ig G yang terbentuk dari infeksi dengue terdiri dari:


- Antibodi yang menghambat replikasi virus (antibodi netralisasi)

13
- Antibodi yang memacu replikasi virus dalam monosit (infection enhancing
antibody). 10

Antibodi non netralisasi yang dibentuk pada infeksi primer akan


menyebabkan kompleks imun infeksi sekunder yang menghambat replikasi virus.
Teori ini pula yang mendasari bahwa infeksi virus dengue oleh serotipe berlainan
akan cenderung lebih berat. Penelitian in vitro menunjukkan jika kompleks antibodi
non netralisasi dan dengue ditambahkan dalam monosit akan terjadi opsonisasi,
internalisasi dan akhirnya sel terinfeksi sedangkan virus tetap hidup dan berkembang.
Artinya antibodi non netralisasi mempermudah monosit terinfeksi sehingga penyakit
cenderung lebih berat.10

Gambar 3. Teori secondary heterologous infection

Hipotesis ADE ini telah mengalami beberapa modifikasi yang mencakup


respon imun meliputi limfosit T dan kaskade sitokin. Rothman dan Ennis (1999)
menjelaskan bahwa kebocoran plasma (plasma leakage) pada infeksi sekunder
dengue terjadi akibat efek sinergistik dari IFN-γ, TNF-α dan protein kompleman
teraktivasi pada sel endotelial di seluruh tubuh.1
Hipotesis ADE dijelaskan sebagai berikut; antibodi dengue mengikat virus
membentuk kompleks antibodi non netralisasi-virus dan berikatan pada reseptor Fc

14
monosit (makrofag). Antigen virus dipresentasikan oleh sel terinfeksi ini melalui
antigen MHC memicu limfosit T (CD4 dan CD 8) sehingga terjadi pelepasan sitokin
(IFN-γ) yang mengaktivasi sel lain termasuk makrofag sehingga terjadi up-regulation
pada reseptor Fc dan ekspresi MHC. Rangkaian reaksi ini memicu imunopatologi
sehingga faktor lain seperti aktivasi komplemen, aktivasi platelet, produksi sitokin
(TNFα, IL-1,IL-6) akan menyebabkan eksaserbasi kaskade inflamasi.

Gambar 4. Respon imun pad ainfeksi virus dengue terhadap pencegahan infeksid an
patogenesis DBD/DSS
(dikutip dari kepustakaan no. 10 )

Tabel 1. Peran sitokin dan mediator kimiawi dalam patogenesis DBD


(dikutip dari kepustakaan no. 10 )

15
16
Manifestasi Klinis
Pada dasarnya ada empat sindrom klinis dengue yaitu :
1. Silent dengue atau Undifferentiated fever
2. Demam dengue klasik
3. Demam berdarah Dengue ( Dengue Hemorrhagic fever)
4. Dengue Shock Syndrome (DSS). 11

Gambar 5. Siklus transmisi demam dengue/ demam berdarah dengue

Demam Dengue
Demam dengue ialah demam akut selama 2-7 hari dengan dua atau lebih
manifestasi ; nyeri kepala, nyeri retro-orbital, mialgia, ruam kulit, manifestasi
11
perdarahan dan leukopenia. Awal penyakit biasanya mendadak dengan adanya
trias yaitu demam tinggi, nyeri pada anggota badan dan ruam. 4,12
- Demam : suhu tubuh biasanya mencapai 39 C sampai 40 C dan demam
bersifat bifasik yang berlangsung sekitar 5-7 hari. 8
- Ruam kulit : kemerahan atau bercak bercak meraj yang menyebar dapat
terlihat pada wajah, leher dan dada selama separuh pertama periode demam
dan kemungkinan makulopapular maupun menyerupai demam skalartina
yang muncul pada hari ke 3 atau ke 4. 8 Ruam timbul pada 6-12 jam sebelum
suhu naik pertama kali (hari sakit ke 3-5) dan berlangsung 3-4 hari. 12
Anoreksi dan obstipasi sering dilaporkan. Gejala klinis lainnya meliputi fotofoi,
berkeringat, batuk, epistaksis dan disuria. Kelenjar limfa servikal dilaporkan
membesar pada 67-77% kasus atau dikenal sebagai Castelani’s sign yang
patognomonik. Beberapa bentuk perdarahan lain dapat menyertai.4,12

17
Gambar 6. Spektrum Klinis DD dan DBD

Pada pemeriksaan laboratorium selama DD akut ialah sebagai berikut


- Hitung sel darah putih biasanya normal saat permulaan demam kemudian
leukopeni hingga periode demam berakhir
- Hitung trombosit normal, demikian pula komponen lain dalam mekanisme
pembekuaan darah. Pada beberapa epidemi biasanya terjadi trombositopeni
- Serum biokimia/enzim biasanya normal,kadar enzim hati mungkin
meningkat. 8

Demam Berdarah Dengue


Pada awal perjalanan penyakit, DBD menyerupai kasus DD. 11 Kasus DBD ditandai 4
manifestasi klinis yaitu :
- Demam tinggi
- Perdarahan terutama perdarahan kulit
- Hepatomegali
- Kegagalan peredaran darah (circulatory failure).4,7,8,12
Pada DBD terdapat perdarahan kulit, uji tornikuet positif, memar dan
perdarahan pada tempat pengambilan darah vena. Petekia halus tersebar di anggota
gerak, muka, aksila sering kali ditemukan pada masa dini demam. Epistaksis dan
perdarahan gusi jarang dijumpai sedangkan perdarahan saluran pencernaan hebat
lebih jarang lagi dan biasanya timbul setelah renjatan tidak dapat diatasi.12
Hati biasanya teraba sejak awal fase demam, bervariasi mulai dari teraba 2-4
cm dibawah tepi rusuk kanan. Pembesaran hati tidak berhubungan dengan keparahan

18
penyakit tetapi hepatomegali sering ditemukan dalam kasus-kasus syok. Nyeri tekan
hati terasa tetapi biasanya tidak ikterik.8

Tabel 2. Gejala klinis demam dengue dan demam berdarah dengue


(Dikutip dari kepustakaan no. 11dan 12)
Demam Dengue Gejala Klinis Demam Berdarah
Dengue
++ Nyeri Kepala +
+++ Muntah ++
+ Mual +
++ Nyeri Otot +
++ Ruam Kulit +
++ Diare +
+ Batuk +
+ Pilek +
++ Limfadenopati +
+ Kejang +
0 Kesadaran menurun ++
0 Obstipasi +
+ Uji tornikuet positif ++
++++ Petekie +++
0 Perdarahan saluran cerna +
++ Hepatomegali +++
+ Nyeri perut +++
++ Trombositopenia ++++
0 Syok +++

Pada pemeriksaan laboratoriun dapat ditemukan adanya trombositopenia


sedang hingga berat disertai hemokonsentrasi. Perubahan patofisiologis utama
menentukan tingkat keparahan DBD dan membedakannya dengan DD ialah
gangguan hemostasis dan kebocoran plasma yang bermanifestasi sebagai
trombositopenia dan peningkatan jumlah trombosit.8

19
Gambar 7. Kurva suhu pada demam berdarah dengue,
saat suhu reda keadaan klinis pasien memburuk (syok)
(dikutip dari kepustakaan no.2)

20
Dengue Shock Syndrome
Pada DSS dijumpai adanya manifestasi kegagalan sirkulasi yaitu nadi lemah
dan cepat, tekanan nadi menurun (<20mmHg), hipotensi, kulit dingin dan lembab
dan pasien tampak gelisah. 11

Gambar 8. Kelainan utama pada DBD, gambaran skematis kebocoran


plasma pada DBD ( Dikutip dari kepustakaan no. 13)

Diagnosis
Kriteria diagnosis WHO hanya berlaku untuk DBD, tidak untuk spektrum
infeksi dengue yang lain. WHO membuat panduan diagnosis DBD karena DBD
adalah masalah kesehatan masyarakat dengan angka kematian yang tinggi. Bila
kriteria WHO tidak terpenuhi maka yang dihadapi memang bukan DBD, mungkin
DD atau infeksi virus lainnya. Kriteria WHO sangat membantu dalam membuat
diagnosis pulang (bukan diagnosis masuk rumah sakit), sehingga catatan medis dapat
dibuat lebih tepat.2

21
Kriteria diagnosis DBD ialah dua atau lebih tanda klinis ditambah tanda
laboratoris yaitu trombositopeni dan hemokonsentrasi (kedua hasil laboratorium
tersebut harus ada) dan dikonfirmasi dengan pemeriksaan serologi.2

Kriteria diagnosis DBD (Case definition) berdasarkan WHO 1997 ialah :


Kriteria klinis :
- Demam tinggi mendadak tanpa sebab jelas terus menerus selama 2-7 hari
- Terdapat manifestasi perdarahan termasuk uji tornikuet positif, petekie,
ekimosis, epistaksis, perdarahan gusi, hematemesis dan melena
- Pembesaran hati
- Syok ditandai nadi cepat dan lemah serta penurunan tekanan nadi
Kriteria laboratorium :
- Trombositopenia (100.000/l atau kurang)
- Hemokonsentrasi dengan peningkatan hematokrit lebih dari 20%. 8

Pembagian derajat DBD menurut WHO 1975 dan 1986 ialah :


- Derajat I : Demam diikuti gejala tidak spesifik. Satu-satunya manifestasi
perdarahan adalah tes torniquet yang positif atau mudah memar.
- Derajat II : Gejala yang ada pada tingkat I ditambah dengan perdarahan
spontan.  Perdarahan bisa terjadi di kulit atau di tempat lain.
- Derajat III: Kegagalan sirkulasi ditandai oleh denyut nadi yang cepat dan
lemah, tekanan nadi menurun (<20mmHg) atau hipotensi, suhu tubuh rendah,
kulit lembab dan penderita gelisah.
- Derajat IV : Syok berat dengan nadi yang tidak teraba dan tekanan darah
tidak dapat diperiksa. 4,7,8,12

Pemeriksaan Penunjang

1. Pemeriksaan laboratorium
Trombositopeni dan hemokonsentrasi merupakan kelainan yang selalu
ditemukan pada DBD. Penurunan jumlah trombosit < 100.000/pl biasa ditemukan
pada hari ke-3 sampai ke-8 sakit, sering terjadi sebelum atau bersamaan dengan

22
perubahan nilai hematokrit. Hemokonsentrasi yang disebabkan oleh kebocoran
plasma dinilai dari peningkatan nilai hematokrit.
Penurunan nilai trombosit yang disertai atau segera disusul dengan
peningkatan nilai hematokrit sangat unik untuk DBD, kedua hal tersebut biasanya
terjadi pada saat suhu turun atau sebelum syok terjadi. Perlu diketahui bahwa nilai
hematokrit dapat dipengaruhi oleh pemberian cairan atau oleh perdarahan. Jumlah
leukosit bisa menurun (leukopenia) atau leukositosis, limfositosis relatif dengan
limfosit atipik sering ditemukan pada saat sebelum suhu turun atau syok.
Hipoproteinemi akibat kebocoran plasma biasa ditemukan. Adanya fibrinolisis dan
ganggungan koagulasi tampak pada pengurangan fibrinogen, protrombin, faktor VIII,
faktor XII, dan antitrombin III. PTT dan PT memanjang pada sepertiga sampai
setengah kasus DBD.4

2. Pencitraan pencitraan
2.1 Pemeriksaan rontgen dada
Pencitraan dengan foto paru dapat menunjukan adanya efusi pleura dan pengalaman
menunjukkan bahwa posisi lateral dekubitus kanan lebih baik dalam mendeteksi
cairan dibandingkan dengan posisi berdiri apalagi berbaring.13

Gambar 9. Indeks efusi pleura akibat infeksi virus dengue

2.2. Pencitraan Ultrasonografis


Pencitraan USG pada anak lebih disukai dengan pertimbangan dan yang penting
tidak menggunakan sistim pengion (sinar X) dan dapat diperiksa sekaligus berbagai
organ dalam perut. Adanya ascites dan cairan pleura pada pemeriksaan USG sangat
membantu dalam penatalaksanaan DBD. Pemeriksaan USG dapat pula dipakai
sebagai alat diagnostik bantu untuk meramalkan kemungkinan penyakit yang lebih
berat misalnya dengan melihat penebalan dinding kandung empedu dan penebalan

23
pankreas dimana tebalnya dinding kedua organ tersebut berbeda bermakna pada
DBD I-II dibanding DBD III-IV. 13

3. Pemeriksaan Serologi.
Ada beberapa uji serologi yang dapat dilakukan yaitu :
- Uji hambatan hemaglitinasi
- Uji Netralisasi
- Uji fiksasi komplemen
- Uji Hemadsorpsi Immunosorben
- Uji Elisa Anti Dengue Ig M
- Tes Dengue Blot. 7

Pemeriksaan rapid sero diagnostic test


Uji serodiagnostik cepat komersial dapat membantu diagnostik dan dapat pula
menimbulkan keraguan. Uji serodiagnostik cepat sering menghasilkan negatif palsu
pada hari demam ke 2-3. Kit serodiagnostik yang berisi Ig M, Ig M dan Ig G atau Ig
G saja. Infeksi primer, hari sakit 3-4 akan dijumpai peningkatan Ig M lalu meningkat
dan mencapai puncaknya dan menurun kembali dan menghilang pada hari sakit ke
30-60. Peningkatan Ig M akan diikuti peningkatan Ig G yang mencapai puncak pada
hari ke 15 kemudian menurun dalam kadar rendah seumur hidup. Tetapi pada infeksi
sekunder akan memacu timbulnya Ig G sehingga kadarnya naik dengan cepat
sedangkan Ig M menyusul kemudian. Apabila tidak terdeteksi pada hari demam ke 2-
3 pada klinis mencurigakan maka pemeriksaan harus diulang 4-6 hari lagi.

Gambar 10. Respon imun terhadap infeksi dengue

24
Respon imun terhadap infeksi dengue :
Antibodi Ig M :
- Mungkin tidak terbentuk hingga 20 hari setelah onset infeksi
- Mungkin terbentuk pada kadar yang rendah atau tidak terdeteksi pasca infeksi
primer singkat
Antibodi Ig G :
- Terbentuk dengan cepat pasca 1-2 hari onset gejala
- Meningkat pada infeksi primer
- Menetap hingga 30-40 hari dan kemudian menurun
Sekitar 20-30% pasien dengan infeksi sekunder dengue tidak menghasilkan Ig M anti
dengue pada kadar yang dapat dideteksi hingga hari ke 10 dan harus didiagnosis
peningkatan Ig G anti dengue. 14

Gambar 11. Perjalanan penyakit infeksi virus dengue

Komplikasi
1. Ensefalopati dengue dapat terjadi pada DBD dengan maupun tanpa syok
2. kelainan Ginjal akibat syok berkepanjangan
3. Edema paru, akibat over loading cairan. 11

Penatalaksanaan
Pengobatan DBD bersifat suportif simptomatik dengan tujuan memperbaiki
sirkulasi dan mencegah timbulnya renjatan dan timbulnya Koagulasi Intravaskuler
Diseminata (KID).13

25
Gambar 12. Sistem triase dalam penatalaksanaan DBD di rumah sakit
(dikutip dari kepustakaan no. 2)

Penatalaksanaan Demam Dengue


Penatalaksanaan kasus DD bersifat simptomatis dan suportif meliputi :
- Tirah baring selama fase demam akut
- Antipiretik atau sponging untuk menjaga suhu tbuh tetap dibawah 40 C,
sebaiknya diberikan parasetamol
- Analgesik atau sedatif ringan mungkin perlu diberikan pada pasien yang
mengalami nyeri yang parah
- Terapi elektrolit dan cairan secara oral dianjurkan untuk pasien yang
berkeringat lebih atau muntah. 8

Penatalaksanaan Demam berdarah Dengue


Berdasarkan ciri patofisiologis maka jelas perjalanan penyakit DBD lebih
berat sehingga prognosis sangat tergantung pada pengenalan dini adanya kebocoran
plasma. Penatalaksanaan fase demam pada DBD dan DD tidak jauh berbeda. Masa
kritis ialah pada atau setelah hari sakit yang ketiga yang memperlihatkan penurunan
tajam hitung trombosit dan peningkatan tajam hematokrit yang menunjukkan adanya
8
kehilangan cairan. Kunci keberhasilan pengobatan DBD ialah ketepatan volume
replacement atau penggantian volume, sehingga dapat mencegah syok.2
Perembesan atau kebocoran plasma pada DBD terjadi mulai hari demam
ketiga hingga ketujuh dan tidak lebih dari 48 jam sehingga fase kritis DBD ialah dari

26
saat demam turun hingga 48 jam kemudian. Observasi tanda vital, kadar hematokrit,
trombosit dan jumlah urin 6 jam sekali (minimal 12 jam sekali) perlu dilakukan.
Pengalaman dirumah sakit mendapatkan sekitar 60% kasus DBD berhasil
diatasi hanya dengan larutan kristaloid, 20% memerlukan cairan koloid dan 15%
memerlukan transfusi darah. Cairan kristaloid yang direkomendasikan WHO untuk
resusitasi awal syok ialah Ringer laktat, Ringer asetat atau NaCL 0,9%. Ringer
memiliki kelebihan karena mengandung natrium dan sebagai base corrector untuk
mengatasi hiponatremia dan asidosis yang selalu dijumpai pada DBD. Untuk DBD
stadium IV perlu ditambahkan base corrector disamping pemberian cairan Ringer
akibat adanya asidosis berat. 2
Saat pasien berada dalam fase demam, pemberian cairan hanyalah untuk
rumatan bukan cairan pengganti karena kebocoran plasma belum terjadi. Jenis dan
jumlah cairan harus disesuaikan. Pada DD tidak diperlukan cairan pengganti karena
tidak ada perembesan plasma.2
Bila pada syok DBD tidak berhasil diatasi selama 30 menit dengan resusitasi
kristaloid maka cairan koloid harus diberikan (ada 3 jenis ;dekstan, gelatin dan
hydroxy ethyl starch)sebanyak 10-30ml/kgBB. Berat molekul cairan koloid lebih
besar sehingga dapat bertahan dalam rongga vaskular lebih lama (3-8 jam) daripada
cairan kristaloid dan memiliki kapasitas mempertahankan tekanan onkotik vaskular
lebih baik.2
Tabel 3. Jenis cairan kristaloid untuk resusitasi DBD

Pada syok berat (lebih dari 60 menit) pasca resusitasi kristaloid


(20ml/kgBB/30menit) dan diikuti pemberian cairan koloid tetapi belum ada
perbaikan maka diperlukan pemberian transfusi darah minimal 100 ml dapat segera

27
diberikan. Obat inotropik diberikan apabila telah dilakukan pemberian cairan yang
memadai tetapi syok belum dapat diatasi.2

Tabel 4. Jenis cairan koloid untuk resusitasi DBD

Pemasangan CVP pada DBD tidak dianjurkan karena prosedur CVP bersifat
traumatis untuk anak dengan trombositopenia, gangguan vaskular dan homeostasis
sehingga mudah terjadi perdarahan dan infeksi, disamping prosedur pengerjaannya
juga tidak mudah dan manfaatnya juga tidak banyak.2
Pemberian suspensi trombosit umumnya diperlukan dengan pertimbangan
bila terjadi perdarahan secara klinis dan pada keadaan KID. Bila diperlukan suspensi
trombosit maka pemberiannya diikuti dengan pemberian fresh frozen plasma (FFP)
yang masih mengandung faktor-faktor pembekuan untuk mencegah agregasi
trombosit yang lebih hebat. Bila kadar hemoglobin rendah dapat pula diberikan
packed red cell (PRC).2
Setelah fase krisis terlampau, cairan ekstravaskular akan masuk kembali
dalam intravaskular sehingga perlu dihentikan pemberian cairan intravena untuk
mencegah terjadinya oedem paru. Pada fase penyembuhan (setelah hari ketujuh) bila
terdapat penurunan kadar hemoglobin, bukan berarti perdarahan tetapi terjadi
hemodilusi sehingga kadar hemoglobin akan kembali ke awal seperti saat anak masih
sehat. Pada anak yang awalnya menderita anemia akan tampak kadar hemoglobin
rendah, hati-hati tidak perlu diberikan transfusi. 2

28
Gambar 13. Keseimbangan tekanan hidrostatik dan onkotik pergerakan cairan pada
kapiler yang harus dipertahankan untuk mencegah terjadinya syok pada DBD
(dikutip dari kepustakaan no. 13)

29
Penatalaksanaan DBD disesuaikan dengan derajat terlampir sebagai berikut:

Bagan 1. Tatalaksana infeksi virus Dengue pada kasus tersangka DBD.

30
Bagan 2. Tatalaksana DBD stadium I atau stadium II tanpa peningkatan Ht.

31
Bagan 3. Tatalaksana kasus DBD dengan peningkatan Ht > 20%

32
Bagan 4. Tatalaksana Kasus Sindrom Syok Dengue

33
Kriteria memulangkan pasien :
1. Tidak demam selama 24 jam tanpa antipiretik
2. Nafsu makan membaik
3. Tampak perbaikan secara klinis
4. Hematokrit stabil
5. Tiga hari setelah syok teratasi
6. Jumlah trombosit diatas 50.000/ml
7. Tidak dijumpai adanya distress pernafasan (akibat efusi pleura atau asidosis).7

Pencegahan
- Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN)
a. Melakukan metode 3 M (menguras, Menutup dan Menyingkirkan
tempat perindukan nyamuk) minimal 1 x seminggu bagi tiap keluarga
b. 100% tempat penampungan air sukar dikuras diberi abate tiap 3 bulan
c. ABJ (angka bebas jentik) diharapkan mencapai 95%
- Foging Focus dan Foging Masal
d. Foging fokus dilakukan 2 siklus dengan radius 200 m dengan selang
waktu 1 minggu
e. Foging masal dilakukan 2 siklus diseluruh wilayah suspek KLB dalam
jangka waktu 1 bulan
f. Obat yang dipakai : Malation 96EC atau Fendona 30EC dengan
menggunakan Swing Fog

Gambar 14. Kegiatan foging


- Penyelidikan Epidemiologi

34
g. Dilakukan petugas puskesmas yang terlatih dalam waktu 3x24 jam
setelah menerima laporan kasus
h. Hasil dicatat sebagai dasar tindak lanjut penanggulangan kasus
- Penyuluhan perorangan/kelompok untuk meningkatkan kesadaran
masyarakat.
- Kemitraan untuk sosialisasi penanggulangan DBD. 15

Penutup
Infeksi virus dengue merupakan salah satu penyakit dengan vektor nyamuk
(”mosquito borne disease”) yang paling penting di seluruh dunia terutama di daerah
tropis dan subtropis. Penyakit ini mempunyai spektrum klinis dari asimptomatis,
undifferentiated febrile illness, demam dengue (DD) dan demam berdarah dengue
(DBD), mencakup manifestasi paling berat yaitu sindrom syok dengue (dengue
shock syndrome/DSS).
Dalam menegakkan diagnosis dan memberikan pengobatan yang tepat,
pemahaman mengenai perjalanan infeksi virus dengue harus dikuasai dengan baik.
Pemantauan klinis dan laboratoris berkala merupakan kunci tatalaksanan DBD.
Akhirnya dalam menegakkan diagnosis dan memberikan pengobatan pada kasus
DBD perlu disesuaikan dengan kondisi pasien. Penanganan yang cepat tepat dan
akurat akan dapat memberikan prognosis yang lebih baik.

35
EPILEPSI

Definisi
Kejang merupakan manifestasi berupa pergerakan secara mendadak dan tidak
terkontrol yang disebabkan oleh kejang involunter saraf otak.(3)
Menurut International League Against Epilepsy (ILAE) dan International
Bureau for epilepsy (IBE) pada tahun 2005 epilepsi didefinisikan sebagai suatu
kelainan otak yang ditandai oleh adanya factor predisposisi yang dapat mencetuskan
kejang epileptik,perubahan neurobiologis, kognitif, psikologis dan adanya
konsekuensi social yang diakibatkannya. Definisi ini membutuhkan sedikitnya satu
riwayat kejang epileptik sebelumnya. (4)
Status epileptikus merupakan kejang yang terjadi >30 menit atau kejang
berulang tanpa disertai pemulihan kesadaran diantara dua serangan kejang.(4)

Epidemiologi
Epilepsi merupakan salah satu kelainan otak yang serius dan umum terjadi.
Sekitar lima puluh juta orang di seluruh dunia mengalami kelainan ini. Angka
epilepsy lebih tinggi di negara berkembang. Insiden epilepsy di negara maju
ditemukan sekitar 50/100.000. sementara di Negara berkembang mencapai
100/100.000. (5)
Di Negara berkembang sekitar 80-90% diantaranya tidak mendapatkan
pengobatan apapun.(6) penderita laki-laki umumnya sedikit lebih banyak
dibandingkan dengan perempuan. Insiden tertinggi terjadi pada anak berusia dibawah
2 tahun dan usia lanjut di atas 65 tahun.

Etiologi
Ditinjau dari penyebab, epilepsy dapat dibagi menjadi 3 golongan, yaitu : (7)
 Epilepsi idiopatik : penyebabnya tidak diketahui, meliputi ±50% dari
penderita epilepsi anak dan umumnya mempunyai predisposisi genetic,
awitan biasanya pada usia >3tahun. Dengan berkembangnya ilmu
pengetahuan dan alat-alat diagnostic yang canggih kelompok ini semakin
sedikit.

36
 Epilepsi simptomatik : disebabkan oleh kelainan / lesi pada susunan saraf
pusat. Misalnya : post trauma kapitis, infeksi susunan saraf pusat (SSP),
gangguan metabolic, malformasi otak kongenital, asphyxia neonatorum, lesi
desak ruang, gangguan peredaran darah otak, toksik serta kelainan
neurodegenerative.
 Epilepsy kriptogenik : dianggap simtomatik tetapi penyebabnya belum
diketahui, termasuk disini adalah sindrom West, sindrom Lennox-Gastaut dan
epilepsy mioklonik.

Klasifikasi
Menurut International League Against Epilepsy (ILAE) 1989, epilepsi
diklasifikan menurut bangkitan epilepsi dan berdasarkan sindrom epilepsi.
1. Fokal / Partial (localized related)
1.1. Idiopatik (berhubungan dengan usia awitan)
1.1.1. Epilepsi benigna dengan gelombang paku di daerah
sentrotemporal (childhood epilepsy with centrotemporal spikes)
1.1.2. Epilepsy benigna dengan gelombang paroksismal pada daerah
oksipital
1.1.3. Epilepsi primer saat membaca (primary reading epilepsy)
1.2. Simtomatik
1.2.1. Epilepsi parsial kontinua yang kronik progresif pada anak – anak
(Kojenikow’s Syndrome)
1.2.2. Sindrom dengan bangkitan yang dipresipitasi oleh suatu
rangsangan (kurang tidur, alcohol, obat-obatan, hiperventilasi,
refleks epilepsy, stimulasi fungsi kortikal tinggi, membaca)
1.2.3. Epilepsi lobus temporal
1.2.4. Epilepsi lobus frontal
1.2.5. Epilepsi lobus parietal
1.2.6. Epilepsi lobus oksipital
1.3. Kriptogenik
2. Epilepsi Umum
2.1. Idiopatik (sindrom epilepsi berurutan sesuai dengan usia awitan)

37
2.1.1. Kejang neonatus familial benigna
2.1.2. Kejang neonatus benigna
2.1.3. Kejang epilepsi mioklonik pada remaja
2.1.4. Epilepsi lena pada anak
2.1.5. Epilepsi lena pada remaja
2.1.6. Epilepsi mioklonik pada remaja
2.1.7. Epilepsi dengan bangkitan umum tonik – klonik pada saat terjaga
2.1.8. Epilepsi umum idiopatik lain yang tidak termasuk salah satu di
atas
2.1.9. Epilepsi tonik klonik yang dipresipitasi dengan aktivasi yang
spesifik
2.2. Kriptogenik atau Simtomatik (berurutan sesuai dengan peningkatan usia)
2.2.1. Sindrom West (spasme infantiil dan spasme salam)
2.2.2. Sindrom Lencox – Gastaut
2.2.3. Epilepsi Mioklonik astatic
2.2.4. Epilepsi mioklonik lena
2.3. Simtomatik
2.3.1. Etiologi non spesifik
 Ensefalopati mioklonik dini
 Ensefalopati pada infantiil dini dengan burst supresi
 Epilepsi simtomatik umum lainnya yang tidak termasuk di
atas
2.3.2. Sindrom Spesifik
2.3.3. Bangkitan epilepsi sebagai komplikasi penyakit lain
3. Epilepsi dan Sindrom yang tak dapat ditentukan fokal atau umum
3.1. Bangkitan Umum dan fokal
3.1.1. Bangkitan neonatal
3.1.2. Epilepsi mioklonik berat pada bayi
3.1.3. Epilepsi dengan gelombang paku kontinyu selama tidur dalam
3.1.4. Epilepsi afasia yang didapat (Sindrom Landau – Kleffner)
3.1.5. Epilepsi yang tidak termasuk dalam klasifikasi diatas
3.2. Tanpa gambaran tegas fokal atau umum
4. Sindrom Khusus

38
4.1. Bangkitan yang berkaitan dengan situasi tertentu
4.1.1. Kejang demam
4.1.2. Bangkitan kejang / status epileptikus yang timbul hanya
sekali( isolated)
4.1.3. Bangkitan yang hanya terjadi bila terdapat kejadian metabolic
akut, atau toksis, alcohol, obat-obatan, eklamsia, hiperglikemi non
ketotik
4.1.4. Bangkitan berkaitan dengan pencetus spesifik (epilepsi
reflektorik)
Bangkitan Umum (konvulsi atau non konvulsi)

A. Absence / lena / petit mal


Bangkitan ini ditandai dengan gangguan kesadaran mendadak (absence)
dalam beberapa detik (sekitar 5-10 detik) dimana motorik terhenti dan
penderita diam tanpa reaksi. Seragan ini biasanya timbul pada anak-anak
yang berusia antara 4 sampai 8 tahun. Pada waktu kesadaran hilang, tonus
otot skeletal tidak hilang sehingga penderita tidak jatuh. Saat serangan mata
penderita akan memandang jauh ke depan atau mata berputar ke atas dan
tangan melepaskan benda yang sedang dipegangnya. Pasca serangan,
penderita akan sadar kembali dan biasanya lupa akan peristiwa yang baru
dialaminya. Pada pemeriksaan EEG akan menunjukan gambaran yang khas
yakni “spike wave” yang berfrekuensi 3 siklus per detik yang bangkit secara
menyeluruh.

B. Klonik
Kejang Klonik dapat berbentuk fokal, unilateral, bilateral dengan pemulaan
fokal dan multifokal yang berpindah-pindah. Kejang klonik fokal
berlangsung 1 – 3 detik, terlokalisasi , tidak disertai gangguan kesadaran dan
biasanya tidak diikuti oleh fase tonik. Bentuk kejang ini dapat disebabkan
oleh kontusio cerebri akibat trauma fokal pada bayi besar dan cukup bulan
atau oleh ensepalopati metabolik.

C. Tonik

39
Berupa pergerakan tonik satu ekstrimitas atau pergerakan tonik umum dengan
ekstensi lengan dan tungkai yang menyerupai deserebrasi atau ekstensi
tungkai dan fleksi lengan bawah dengan bentuk dekortikasi.

D. Tonik-klonik /Grand mal


Secara tiba-tiba penderita akan jatuh disertai dengan teriakan, pernafasan
terhenti sejenak kemudian diiukti oleh kekauan tubuh. Setelah itu muncul
gerakan kejang tonik-klonik (gerakan tonik yag disertai dengan relaksaki).
Pada saat serangan, penderita tidak sadar, bisa menggigit lidah atau bibirnya
sendiri, dan bisa sampai mengompol. Pasca serangan, penderita akan sadar
secara perlahan dan merasakan tubuhnya terasa lemas dan biasanya akan
tertidur setelahnya.

E. Mioklonik
Bangkitan mioklonik muncul akibat adanya gerakan involuntar sekelompok
otot skelet yang muncul secara tiba-tiba dan biasanya hanya berlangsung
sejenak. Gambaran klinis yang terlihat adalah gerakan ekstensi dan fleksi
lengan atau keempat anggota gerak yang berulang dan terjadinya cepat.

F. Atonik
Bangkitan ini jarang terjadi. Biasanya penderita akan kehilangan kekuatan
otot dan terjatuh secara tiba-tiba.

Patofisiologi

Serangan epilepsi terjadi apabila proses eksitasi di dalam otak lebih dominan
dari pada proses inhibisi. Perubahan-perubahan di dalam eksitasi aferen, disinhibisi,
pergeseran konsentrasi ion ekstraseluler, voltage-gated ion channel opening, dan
menguatnya sinkronisasi neuron sangat penting artinya dalam hal inisiasi dan
perambatan aktivitas serangan epileptik. Aktivitas neuron diatur oleh konsentrasi ion
di dalam ruang ekstraseluler dan intraseluler, dan oleh gerakan keluar-masuk ion-ion
menerobos membran neuron.

40
Silbernagl S. Color Atlas Pathopysiology. New York : Thieme.2000

Lima buah elemen fisiologi sel dari neuron–neuron tertentu pada korteks
serebri penting dalam mendatangkan kecurigaan terhadap adanya epilepsi:

1. Kemampuan neuron kortikal untuk bekerja pada frekuensi tinggi dalam merespon
depolarisasi diperpanjang akan menyebabkan eksitasi sinaps dan inaktivasi konduksi
Ca2+ secara perlahan.

41
2. Adanya koneksi eksitatorik rekuren (recurrent excitatory connection), yang
memungkinkan adanya umpan balik positif yang membangkitkan dan menyebarkan
aktivitas kejang.

3. Kepadatan komponen dan keutuhan dari pandangan umum terhadap sel-sel


piramidal pada daerah tertentu di korteks, termasuk pada hippocampus, yang bias
dikatakan sebagai tempat paling rawan untuk terkena aktivitas kejang. Hal ini
menghasilkan daerah-daerah potensial luas, yang kemudian memicu aktifitas
penyebaran nonsinaptik dan aktifitas elektrik.

4. Bentuk siap dari frekuensi terjadinya potensiasi (termasuk juga merekrut respon
NMDA) menjadi ciri khas dari jaras sinaptik di korteks.

5. Efek berlawanan yang jelas (contohnya depresi) dari sinaps inhibitor rekuren
dihasilkan dari frekuensi tinggi peristiwa aktifasi.

Serangan epilepsi akan muncul apabila sekelompok kecil neuron abnormal


mengalami depolarisasi yang berkepanjangan berkenaan dengan cetusan potensial
aksi secara tepat dan berulang-ulang. Secara klinis serangan epilepsi akan tampak
apabila cetusan listrik dari sejumlah besar neuron abnormal muncul secara
bersamasama, membentuk suatu badai aktivitas listrik di dalam otak. Badai listrik
tadi menimbulkan bermacam-macam serangan epilepsi yang berbeda (lebih dari 20
macam), bergantung pada daerah dan fungsi otak yang terkena dan terlibat. Dengan
demikian dapat dimengerti apabila epilepsi tampil dengan manifestasi yang sangat
bervariasi.

Sebagai penyebab dasar terjadinya epilepsi terdiri dari 3 kategori yaitu :

1. Non Spesifik Predispossing Factor ( NPF ) yang membedakan seseorang peka


tidaknya terhadap serangan epilepsi dibanding orang lain. Setiap orang sebetulnya
dapat dimunculkan bangkitan epilepsi hanya dengan dosis rangsangan berbeda-beda.

2. Specific Epileptogenic Disturbances (SED). Kelainan epileptogenik ini dapat


diwariskan maupun didapat dan inilah yang bertanggung jawab atas timbulnya

42
epileptiform activity di otak. Timbulnya bangkitan epilepsi merupakan kerja sama
SED dan NPF.

3. Presipitating Factor (PF). Merupakan faktor pencetus terjadinya bangkitan epilepsi


pada penderita epilepsi yang kronis. Penderita dengan nilai ambang yang rendah, PF
dapat membangkitkan reactive seizure dimana SED tidak ada.

Ketiga hal di atas memegang peranan penting terjadinya epilepsi sebagai hal dasar.

Hipotesis secara seluler dan molekuler yang banyak dianut sekarang adalah :

Membran neuron dalam keadaan normal mudah dilalui oleh ion kalium dan ion
klorida, tetapi sangat sulit dilalui oleh ion natrium dan ion kalsium. Dengan demikian
konsentrasi yang tinggi ion kalium dalam sel ( intraseluler ), dan konsentrasi ion
natrium dan kalsium ekstraseluler tinggi. Sesuai dengan teori dari Dean (Sodium
pump), sel hidup mendorong ion natrium keluar sel, bila natrium ini memasuki sel,
keadaan ini sama halnya dengan ion kalsium. Bangkitan epilepsi karena transmisi
impuls yang berlebihan di dalam otak yang tidak mengikuti pola yang normal,
sehingga terjadi sinkronisasi dari impuls.

Sinkronisasi ini dapat terjadi pada sekelompok atau seluruh neuron di otak secara
serentak, secara teori sinkronisasi ini dapat terjadi.

1. Fungsi jaringan neuron penghambat ( neurotransmitter GABA dan Glisin ) kurang


optimal hingga terjadi pelepasan impuls epileptik secara berlebihan.

2. Keadaan dimana fungsi jaringan neuron eksitatorik ( Glutamat dan Aspartat )


berlebihan hingga terjadi pelepasan impuls epileptik berlebihan juga.

Fungsi neuron penghambat bisa kurang optimal antara lain bila konsentrasi GABA
(gamma aminobutyric acid ) tidak normal.  Pada otak manusia yang menderita
epilepsi ternyata kandungan GABA rendah.  Hambatan oleh GABA dalam bentuk
inhibisi potensial postsinaptik ( IPSPs = inhibitory post synaptic potentials) adalah
lewat reseptor GABA.  Suatu hipotesis mengatakan bahwa aktifitas epileptic

43
disebabkan oleh hilang atau kurangnya inhibisi oleh GABA, zat yang merupakan
neurotransmitter inhibitorik utama pada otak. Ternyata pada GABA ini sama sekali
tidak sesederhana seperti yang disangka semula. Riset membuktikan bahwa
perubahan pada salah satu komponennya bias menghasilkan inhibisi tak lengkap
yang akan menambah rangsangan. Sinkronisasi dapat terjadi pada sekelompok kecil
neuron saja, sekelompok besar atau seluruh neuron otak secara serentak. Lokasi yang
berbeda dari kelompok neuron ini menimbulkan manifestasi yang berbeda dari
serangan epileptik. Secara teoritis ada 2 penyebabnya yaitu fungsi neuron
penghambat kurang optimal ( GABA ) sehingga terjadi pelepasan impuls epileptik
secara berlebihan, sementara itu fungsi jaringan neuron eksitatorik ( Glutamat )
berlebihan. Berbagai macam penyakit dapat menyebabkan terjadinya perubahan
keseimbangan antara neuron inhibitor dan eksitator, misalnya kelainan heriditer,
kongenital, hipoksia, infeksi, tumor, vaskuler, obat atau toksin. Kelainan tersebut
dapat mengakibatkan rusaknya faktor inhibisi dan atau meningkatnya fungsi neuron
eksitasi, sehingga mudah timbul epilepsi bila ada rangsangan yang memadai. Daerah
yang rentan terhadap kerusakan bila ada abnormalitas otak antara lain di
hipokampus. Oleh karena setiap serangan kejang selalu menyebabkan kenaikan
eksitabilitas neuron, maka serangan kejang cenderung berulang dan selanjutnya
menimbulkan kerusakan yang lebih luas. Pada pemeriksaan jaringan otak penderita
epilepsi yang mati selalu didapatkan kerusakan di daerah hipokampus. Oleh karena
itu tidak mengherankan bila lebih dari 50% epilepsi parsial, fokus asalnya berada di
lobus temporalis dimana terdapat hipokampus dan merupakan tempat asal epilepsi
dapatan. Pada bayi dan anak-anak, sel neuron masih imatur sehingga mudah terkena
efek traumatik, gangguan metabolik, gangguan sirkulasi, infeksi dan sebagainya.
Efek ini dapat berupa kemusnahan neuron-neuron serta sel-sel glia atau kerusakan
pada neuron atau glia, yang pada gilirannya dapat membuat neuron glia atau
lingkungan neuronal epileptogenik. Kerusakan otak akibat trauma, infeksi, gangguan
metabolisme dan sebagainya, semuanya dapat mengembangkan epilepsi. Akan tetapi
anak tanpa brain damage dapat juga menjadi epilepsi, dalam hal ini faktor genetik
dianggap penyebabnya, khususnya grand mal dan petit mal serta benigne
centrotemporal epilepsy.Walaupun demikian proses yang mendasari serangan
epilepsi idiopatik, melalui mekanisme yang sama.

44
Gejala

 Kejang parsial simplek 

Serangan dimana pasien akan tetap sadar. Pasien akan mengalami gejala
berupa “déjà vu” : perasaan dimana pernah melakukan sesuatu yang sama
sebelumnya.

 Perasaan senang atau takut yang muncul secara tiba-tiba dan tidak
dapat di jelaskan.
 Perasaan seperti kebas, tersengat listrik atau ditusuk-tusuk jarum pada
bagian tubuh tertentu.
 Gerakan yang tidak dapat di kontrol pada bagian tubuh tertentu
 Halusinasi  

• Kejang parsial (psikomotor) kompleks


Serangan yang mengenai bagian otak yang lebih luas dan biasanya bertahanlebih lama.
Pasien mungkin hanya sadar sebagian dan kemungkinan besar tidak akan mengingat waktu
serangan.
Gejalanya meliputi :
- gerakan seperti mencucur atau mengunyah
- melakukan gerakan yang sama berulang – ulang atau memainkan pakaiannya
- Melakukn gerakan yang tidak jelas artinya, atau berjalan berkeliling dalam keadaan
seperti
sedang bingung
- gerakan menendang atau meninju yang berulang – ulang
- berbicara tidak jelas seperti menggumam

• Kejang tonik klonik (epilepsy grand mal).


Merupakan tipe kejang yang paling sering, di mana terdapat dua tahap: tahap
tonik atau kaku diikuti tahap klonik atau kelonjotan. Pada serangan jenis ini pasien
dapat hanya mengalami tahap tonik atau klonik saja. Serangan jenis ini biasa
didahului oleh aura.

45
Aura merupakan perasaan yang dialami sebelum serangan dapat berupa : merasa
sakit perut , baal, kunang – kunang , telinga berdengung.
Pada tahap tonik pasien dapat : kehilangan kesadaran, kehilangan
keseimbangan dan jatuh karena otot yang menegang, berteriak tanpa alasan yang
jelas, menggigit pipi bagian dalam atau lidah. Pada saat fase klonik : terjadi kontraksi
otot yang berulang dan tidak terkontrol, mengompol atau buang air besar tidak dapat
di kontrol, pasien tampak sangat pucat, pasien mungkin akan merasa lemas, letih
ataupun ingin tidur setelah serangan semacam ini.

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Untuk dapat mendiagnosis seseorang menderita epilepsi dapat dilakukan
melalui anamnesis dan pemeriksaan klinis dengan hasilpemeriksaan EEG dan
radiologis. Namun demikian, bila secara kebetulan melihat serangan yang sedang
berlangsung maka epilepsi (klinis) sudah dapat ditegakkan. (8)

1. Anamnesis

Anamnesis harus dilakukan secara cermat, rinci dan menyeluruh, karena


pemeriksa hampir tidak pemah menyaksikan serangan yang dialami penderita.
Penjelasan perihal segala sesuatu yang terjadi sebelum, selama dan sesudah serangan
(meliputi gejala dan lamanya serangan) merupakan informasi yang sangat berarti dan
merupakan kunci diagnosis. Anamnesis juga memunculkan informasi tentang trauma
kepala dengan kehilangan kesadaran, meningitis, ensefalitis, gangguan metabolik,
malformasi vaskuler dan obat-obatan tertentu.

Anamnesis (auto dan aloanamnesis), meliputi:

- Pola / bentuk serangan

- Lama serangan

- Gejala sebelum, selama dan paska serangan

- Frekuensi serangan

46
- Faktor pencetus

- Ada / tidaknya penyakit lain yang diderita sekarang

- Usia saat serangan terjadinya pertama

- Riwayat kehamilan, persalinan dan perkembangan

- Riwayat penyakit, penyebab dan terapi sebelumnya

- Riwayat penyakit epilepsi dalam keluarga

 
Anamnesa / Alloanamnesa Epilepsi umum :
Major :
Grand mal (meliputi 75% kasus epilepsi) meliputi tipe primer dan sekunder.
Epilesi grand mal ditandai dengan hilang kesadaran dan bangkitan tonik-klonik.
Manifestasi klinik: kedua golongan epilepsi grand mal tersebut sama, perbedaan
terletak pada ada tidaknya aura yaitu gejala pendahulu atau preiktal sebelum
serangan kejang-kejang. Pada epilepsi grand mal simtomatik selalu didahului aura
yang memberi manifestasi sesuai dengan letak fokus epileptogen pada permukaan
otak.Aura dapat berupa perasaan tidak enak, melihat sesuatu, mencium bau-bauan
tak enak, mendengar suara gemuruh, mengecap sesuatu, sakit kepala dan
sebagainya.Bangkitan sendiri dimulai dengan hilang kesadaran sehingga aktivitas
penderita terhenti. Kemudian penderita mengalami kejang tonik. otot-otot
berkontraksi sangat hebat, penderita terjatuh, lengan fleksi dan tungkai ekstensi.
Udara paru-paru terdorong keluar dengan deras sehingga terdengar jeritan yang
dinamakan jeritan epilepsi. Kejang tonik ini kemudian disusul dengan kejang klonik
yang seolah-olah mengguncang-guncang dan membanting-banting tubuh si sakit ke
tanah. Kejang tonik-klonik berlangsung 2 -- 3 menit. Selain kejang-kejang terlihat
aktivitas vegetatif seperti berkeringat, midriasis pupil, refleks cahaya negatif, mulut
berbuih dan sianosis. Kejang berhenti secara berangsur-angsur dan penderita dalam
keadaan stupor sampai koma. Kira-kira 4-5 menit kemudian penderita bangun,

47
termenungdan kalau tak diganggu akan tidur beberapa jam. Frekuensi bangkitan
dapat setiap jam sampai setahun sekali.

Minor :
Epilepsi petit mal yang sering disebut pykno epilepsi ialah epilepsi umum
yang idiopatik. Meliputi kira-kira 3 -- 4% dari kasus epilepsi..
Bangkitan mioklonus. Bangkitan berupa gerakan involunter misalnya
anggukan kepala, fleksi lengan yang terjadi berulang-ulang. Bangkitan terjadi
demikian cepatnya sehingga sukar diketahui apakah ada kehilangan kesadaran atau
tidak. Bangkitan ini sangat peka terhadap rangsang sensorik.(9)
Bangkitan akinetik. Bangkitan berupa kehilangan kelola sikap tubuh karena
menurunnya tonus otot dengan tiba-tiba dan cepat sehingga penderita jatuh atau
mencari pegangan dan kemudian dapat berdiri kembali. Ketiga jenis bangkitan
ini(petit mal, mioklonus dan akinetik) dapat terjadi pada seorang penderita dan
disebut trias Lennox-Gastaut.
Spasme infantil. Jenis epilepsi ini juga dikenal sebagai salaam spasm atau
sindroma West. Timbul pada bayi 3 -- 6 bulan dan lebih sering pada anak laki-laki.
Penyebab yang pasti belum diketahui, namun selalu dihubungkan dengan kerusakan
otak yang luas seperti proses degeneratif, gangguan akibat trauma, infeksi dan
gangguan pertumbuhan. Bangkitan dapat berupa gerakan kepala kedepan atau keatas,
lengan ekstensi, tungkai tertarik ke atas, kadang-kadang disertai teriakan atau
tangisan,miosis atau midriasis pupil, sianosis dan berkeringat.
Bangkitan motorik. Fokus epileptogen terletak di korteks motorik. Bangkitan
kejang pada salah satu atau sebagian anggota badan tanpa disertai dengan hilang
kesadaran. Penderita seringkali dapat melihat sendiri gerakan otot yang misalnya
dimulai pada ujung jari tangan, kemudian ke otot lengan bawah dan akhirnya seluruh
lengan.Manifestasi klinik ini disebut Jacksonian marche Epilepsi parsial ( 20% dari
seluruh kasus epilepsi).
Bangkitan sensorik Bangkitan yang terjadi tergantung dari letak fokus
epileptogen pada koteks sensorik. Bangkitan somato sensorik dengan fokus terletak
di gyrus postcentralis memberi gejala kesemutan, nyeri pada salah satu bagian tubuh,
perasaan posisi abnormal atau perasaan kehilangan salah satu anggota badan.
Aktivitas listrik pada bangkitan ini dapat menyebar ke neuron sekitarnya dan dapat

48
mencapai korteks motorik sehingga terjadi kejang-kejang. Epilepsi lobus temporalis.
Jarang terlihat pada usia sebelum 10 tahun. Memperlihatkan gejala fokalitas yang
khas sekali. Manifestasi klinik fokalitas ini sangat kompleks karena fokus
epileptogennya terletak di lobus temporalis dan bagian otak ini meliputi kawasan
pengecap, pendengar, penghidu dan kawasan asosiatif antara ketiga indra tersebut
dengan kawasan penglihatan. Manifestasi yang kompleks ini bersifat psikomotorik,
dan oleh karena itu epilepsi jenis ini dulu disebut epilepsi psikomotor.
Bangkitan psikik berupa halusinasi dan bangkitan motorik lazimnya berupa
automatisme. Manifestasi klinik ialah sebagai berikut: Kesadaran hilang sejenak,
dalam keadaan hilang kesadaran ini penderita masuk ke alam pikiran antara sadar
dan mimpi (twilight state), dalam keadaan ini timbul gejala fokalisasi yang terdiri
dari halusinasi dan automatisme yang berlangsung beberapa detik sampai beberapa
jam. Halusinasi dan automatisme yang mungkin timbul : Halusinasi dengan
automatisme pengecap, halusinasi dengan automatisme membaca, halusinasi dengan
automatisme penglihatan, pendengaran atau perasaan aneh.
2. Pemeriksaan fisik umum dan neurologis

- Pada orang dewasa


Pemeriksaan umum dan neurologis dilakukan seperti biasa. Pada kulit dicari
adanya tanda neurofibromatosis berupa bercak-bercak coklat, bercak-bercak putih,
dan adenoma seboseum pada muka pada sklerosi tuberose. Hemangioma pada muka
dapat menjadi tanda adanya penyakit Sturge-Weber. Pada toksoplasmosis, fundus
okuli mungkin menunjukkan tanda-tanda korio renitis. Mencari kelainan bawaan,
asimetri pada kepala, muka, tubuh,ekstrimitas.

3. Pemeriksaan penunjang

Pemeriksaan Laboratorium Perlu diperiksa kadar glukosa, kalsium, magnesium,


natrium, bilirubin, ureum dalamdarah. Yang memudahkan timbulnya kejang
ialah keadaan hipoglikemia, hypokalemia, hipomagnesia, hiponatremia,
hypernatremia, hiperbilirubinemia, dan uremia. Penting pula diperiksa pH darah
karena alkalosis mungkin disertai kejang.(10) Pemeriksaan cairan otak dapat
mengungkapkan adanya radang pada otak atau selaputnya, toksoplasmosis susunan

49
saraf sentral, leukemia yang menyerang otak, metastasis tumor ganas, adanya
perdarahan otak atau perdarahan subaraknoid.

a. Pemeriksaan radiologis
Arteriografi dan pneumoensefalografi dilakukan bila perlu.
Elektroensefalografi (EEG) merupakan pemeriksaan penunjang yang
informatif yang dapat memastikan diagnosis epilepsy. Gelombang yang
ditemukan pada EEG berupa gelombang runcing, gelombang paku, runcing
lambat, paku lambat. Pemeriksaan tambahan lain adalah pemeriksaan
foto polos kepala
b. Pemeriksaan psikologis atau psikiatris
Untuk diagnosis bila diperlukan uji coba yang dapat menunjukkan naik
turunnya kesadaran.
c. Elektro ensefalografi (EEG)

Pemeriksaan EEG harus dilakukan pada semua pasien epilepsi dan


merupakan pemeriksaan penunjang yang paling sering dilakukan untuk
rnenegakkan diagnosis epilepsi. Adanya kelainan fokal pada EEG
menunjukkan kemungkinan adanya lesi struktural di otak, sedangkan adanya
kelainan umum pada EEG menunjukkan kemungkinan adanya kelainan
genetik atau metabolik. Rekaman EEG dikatakan abnormal.

1) Asimetris irama dan voltase gelombang pada daerah yang sama di kedua
hemisfer otak.

2) Irama gelombang tidak teratur, irama gelombang lebih lambat dibanding


seharusnya misal gelombang delta.

3) Adanya gelombang yang biasanya tidak terdapat pada anak normal,


misalnya gelombang tajam, paku (spike), paku-ombak, paku majemuk, dan
gelombang lambat yang timbul secara paroksimal. Bentuk epilepsi tertentu
mempunyai gambaran EEG yang khas, misalnya spasme infantile mempunyai
gambaran EEG hipsaritmia, epilepsi petit mal gambaran EEG nya gelombang
paku ombak 3 siklus per detik (3 spd), epilepsi mioklonik mempunyai

50
gambaran EEG gelombang paku / tajam / lambat dan paku majemuk yang
timbul secara serentak (sinkron).

a. Rekaman video EEG

Rekaman EEG dan video secara simultan pada seorang penderita yang
sedang mengalami serangan dapat meningkatkan ketepatan diagnosis
dan lokasi sumber serangan. Rekaman video EEG memperlihatkan
hubungan antara fenomena klinis dan EEG, serta memberi
kesempatan untuk mengulang kembali gambaran klinis yang ada.
Prosedur yang mahal ini sangat bermanfaat untuk penderita yang
penyebabnya belum diketahui secara pasti, serta bermanfaat pula
untuk kasus epilepsi refrakter. Penentuan lokasi fokus epilepsi parsial
dengan prosedur ini sangat diperlukan pada persiapan operasi.

PENATALAKSANAAN

Tujuan utama dari terapi epilepsi adalah tercapainya kualitas hidup penderita
yang optimal. Ada beberapa cara untuk mencapai tujuan tersebut antara lain
menghentikan bangkitan, mengurangi frekuensi bangkitan tanpa efek samping
ataupun dengan efek samping seminimal mungkin serta menurunkan angka kesakitan
dan kematian. (10)

Dalam farmakoterapi, terdapat prinsip-prinsip penatalaksanaan untuk epilepsi


yakni,

1. Obat anti epilepsi (OAE) mulai diberikan apabila diagnosis epilepsi sudah
dipastikan, terdapat minimum 2 kali bangkitan dalam setahun. Selain itu pasien dan
keluarganya harus terlebih dahulu diberi penjelasan mengenai tujuan pengobatan dan
efek samping dari pengobatan tersebut.

2. Terapi dimulai dengan monoterapi

51
3. Pemberian obat dimulai dari dosis rendah dan dinaikan secara bertahap samapai
dengan dosis efektif tercapai atau timbul efek samping obat.

4. Apabila dengan penggunakan OAE dosis maksimum tidak dapat mengontrol


bangkitan, maka ditambahkan OAE kedua dimana bila sudah mencapai dosis terapi,
maka OAE pertama dosisnya diturunkan secara perlahan.

5. Adapun penambahan OAE ketiga baru diberikan setelah terbukti bangkitan tidak
terkontrol dengan pemberian OAE pertama dan kedua.

Berikut merupakan OAE pilihan pada epilepsi berdasarkan mekanisme kerjanya :

1. Karbamazepin : Blok sodium channel konduktan pada neuron, bekerja juga pada
reseptor NMDA, monoamine dan asetilkolin.

2. Fenitoin :  Blok sodium channel dan inhibisi aksi konduktan kalsium dan klorida
dan neurotransmitter yang voltage dependen

3. Fenobarbital : Meningkatkan aktivitas reseptor GABA , menurunkan eksitabilitas


glutamate, menurunkan konduktan natrium, kalium dan kalsium.

4. Valproat : Diduga aktivitas GABA glutaminergik, menurunkan ambang konduktan


kalsium (T) dan kalium.

5. Levetiracetam : Tidak diketahui

6. Gabapetin :  Modulasi kalsium channel tipe N

7. Lamotrigin : Blok konduktan natrium yang voltage dependent

8. Okskarbazepin :  Blok sodium channel, meningkatkan konduktan kalium,


modulasi aktivitas channel.

9. Topiramat :  Blok sodium channel, meningkatkan influks GABA-Mediated


chloride, modulasi efek reseptor GABA.

52
10. Zonisomid : Blok sodium, potassium, kalsium channel. Inhibisi eksitasi
glutamate.

Setelah bangkitan terkontrol dalam jangka waktu tertentu, OAE dapat


dihentikan tanpa kekambuhan. Penghentian sebaiknya dilakukan secara bertahap
setelah 2 tahun bebas dari bangkitan kejang. Ada 2 syarat yang penting diperhatikan
ketika hendak menghentikan OAE yakni, :

1. Syarat umum yang meliputi :


- Penghentian OAE telah didiskusikan terlebih dahulu dengan pasien/keluarga
dimana penderita sekurang-kurangnya 2 tahun bebas bangkitan.

- Gambaran EEG normal

- Harus dilakukan secara bertahap, umumnya 25% dari dosis semula setiap bulan
dalam jangka waktu 3-6bulan.

- Bila penderita menggunakan 1 lebih OAE maka penghentian dimulai dari 1 OAE
yang bukan utama.

2. Kemungkinkan kekambuhan setelah penghentian OAE


- Usia semakin tua, semakin tinggi kemungkinan kekambuhannya.

- Epilepsi simtomatik

- Gambaran EEG abnormal

- Semakin lamanya bangkitan belum dapat dikendalikan.

- Penggunaan OAE lebih dari 1

- Masih mendaptkan satu atau lebih bangkitan setelah memulai terapi

- Mendapat terapi 10 tahun atau lebih.

53
- Kekambuhan akan semakin kecil kemungkinannya bila penderita telah bebas
bangkitan selama 3-5 tahun atau lebih dari 5 tahun. Bila bangkitan timbul kembali
maka pengobatan menggunakan dosis efektif terakhir, kemudian evaluasi.

54
ANALISA KASUS

Diagnosis kerja pada pasien ini adalah Demam Berdarah Dengue gr. II dan
riwayat epilepsi. Hal ini ditegakkan berdasarkan gejala klinis dan pemeriksaan
penunjang. Gejala klinis yang ditemukan yaitu: demam hari ke-4 disertai muntah
setiap makan, nyeri ulu hati dan nyeri pada persendian. Pemeriksaan penunjang
didapatkan: trombositopenia, leukopenia, dan peningkatan hematokrit. Hal ini sesuai
dengan kriteria diagnosis DBD yaitu didapatkan minimal 2 gejala klinis, 2 gejala dari
pemeriksaan laboratorium, dan adanya tanda kebocoran plasma, maka dapat
didiagnosis pasien menderita demam berdarah dengue. Pada kasus, pasien
didiagnosis dengan DBD gr. II, namun berdasarkan kriteria diagnosis DBD menurut
WHO, DBD gr.II harus disertai dengan uji Rumpel Leed (+) dan adanya perdarahan
spontan lain seperti petechiae, gusi berdarah, mimisan, dll. Maka berdasarkan teori
pasien termasuk dalam DBD gr. I.
Tatalaksana pada pasien sesuai dengan teori yaitu, pemberian cairan
kristaloid RL 1800cc/hari sesuai kebutuhan cairan rumatan sesuai BB pasien. Selain
itu, diberikan Paracetamol tab 3x500mg. Kemudian, pasien dengan riwayat epilepsi
kambuhan 2 hari sebelum masuk rumah sakit diberikan fenitoin dosis rumatan 4-
8mg/kgBB/hari dibagi kedalam 2 dosis.

55
Daftar Pustaka

1. Setiabudi D. Evalution of Clinical Pattern and Pathogenesis of Dengue


Haemorrhagic Fever. Dalam : Garna H, Nataprawira HMD, Alam A,
penyunting. Proceedings Book 13th National Congress of Child Health.
KONIKA XIII. Bandung, July 4-7, 2005. h. 329-
2. Hadinegoro SRS. Pitfalls & Pearls dalam Diagnosis dan Tata Laksana
Demam Berdarah Dengue. Dalam : Trihono PP, Syarif DR, Amir I, Kurniati
N, penyunting. Current Management of Pediatrics Problems. Pendidikan
Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak XLVI. Jakarta 5-6
September 2004.h. 63-
3. Halstead SB. Dengue Fever and Dengue Hemorrhagic Fever. Dalam :
Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB, penyunting. Textbook of Pediatrics.
Edisi ke-17. Philadelphia : WB Saunders.2004.h.1092-4
4. Soedarmo SSP. Demam Berdarah (Dengue) Pada Anak. Jakarta : UI Press
1988
5. Halstead CB. Dengue hemorrhagic fever: two infections and antibody
dependent enhancement, a brief history and personal memoir . Rev Cubana
Med Trop 2002; 54(3):h.171-79
6. Soewondo ES. Demam Dengue/Demam Berdarah Dengue Pengelolaan pada
Penderita Dewasa. Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan XIII. Surabaya 12-
13 September 1998.h.
7. Soegijanto S. Demam Berdarah Dengue : Tinjauan dan Temuan Baru di Era
2003. Surabaya : Airlangga University Press 2004.h.1-9
8. World Health Organization Regional Office for South East Asia. Prevention
and Control of Dengue and Dengue Haemorrhagic Fever : Comprehensive
Guidelines. New Delhi : WHO.1999
9. Sutaryo. Perkembangan Patogenesis Demam Berdarah Dengue. Dalam :
Hadinegoro SRS, Satari HI, penyunting. Demam Berdarah Dengue: Naskah
Lengkap Pelatihan bagi Dokter Spesialis Anak & Dokter Spesialis Penyakit

56
Dalam dalam tatalaksana Kasus DBD. Jakarta : Balai Penerbit
FKUI.2004.h.32-43
10. Hadinegoro SRS. Imunopatogenesis Demam Berdarah Dengue. Dalam :
Akib Aap, Tumbelaka AR, Matondang CS, penyunting. Naskah Lengkap
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak XLIV.
Pendekatan Imunologis Berbagai Penyakit Alergi dan Infeksi. Jakarta 30-31
Juli 2001. h. 41-55
11. Hadinegoro SRS,Soegijanto S, Wuryadi S, Suroso T. Tatalaksana Demam
Dengue/Demam Berdarah Dengue pada Anak. Naskah Lengkap Pelatihan
bagi Dokter Spesialis Anak & Dokter Spesialis Penyakit Dalam dalam
tatalaksana Kasus DBD. Jakarta : Balai Penerbit FKUI.2004.h. 80-135
12. Soedarmo SSP.Infeksi Virus Dengue. Dalam : Soedarmo SSP, Garna H,
Hadinegoro SRS, penyunting. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak : Infeksi &
Penyakit Tropis. Edisi pertama. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.2002.h.176-208
13. Samsi TK. Penatalaksanaan Demam Berdarah Dengue di RS Sumber Waras.
Cermin Dunia Kedokteran 2000; 126 : 5-13
14. Panbio. Dengue. Didapatkan dari : URL: http://www.panbio.com.au/
modules.php? name= ontent&pa=showpage&pid=33. Diunduh pada tanggal
27 Juni 2006.
15. Dinas Kesehatan Propinsi DKI Jakarta. Standar Penanggulan Penyakit DBD.
Edisi 1 Volume 2. Jakarta :Dinas Kesehatan 2002.

57

Anda mungkin juga menyukai