DISUSUN OLEH:
ULFAH MUTHMAINNAH DERIYANTI
NIM 2104041
CI INSTITUSI CI LAHAN
(……………………..) (…………….……)
atas:
1. dinding kanalis vertebralis yang terdiri atas tulang vertebrae dan ligamen.
a) duramater (pachymeninx)
(CSF)
dari medula spinalis yang berbentuk kerucut dan terutama terdiri atas
radiks nervus lumbalis bagian kaudal dan radiks nervus sakralis yang
medula spinalis.
beberapa segmen, yaitu: cervikal (C1-C8), segmen torakal
B. Etiologi
Penyebab lesi total transversal medula spinalis meliputi 3
1. Cedera Medula Spinalis akibat kecelakaan
2. Kista / tumor siringomielia, meningioma, Schwannoma, Glioma, Sarkoma. Dan
tumor metastase.
3. Infeksi : spondilitis tuberkulosa, meningitis atau herpes zoster
4. Kelainan tulang vertebra : Kolaps tulang belakang yang terjadi karena pengeroposan
tulang akibat kanker, osteroporosis atau cedera yang hebat, Artritis degenerative
(asteoatritis) yang menyebabkan terbentuknya penonjolan tulang yang tidak
beraturan (taji tulang) yang menekan akar saraf, Stenosis spinalis (penyempitan
rongga disekitar korda spinalis), sering terjadi pada usia lanjut.
C.Epidemiologi
Pada praktek klinis, lesi total transversal medulla spinalis jarang terjadi,
kecuali faktor penyebabnya berupa trauma berat, misalnya peluru dan atau fraktur
tulang belakang yang total. Data epidemiologic dan berbagai Negara menyebutkan
bahwa angka kejadian cedera medulla spinalis sekitar 11,5-53,4 kasus per
100.000 penduduk pertahun.
C. Patofisiologi
Akibat lesi di medulla spinalis dapat terjadi manifestasi :
1. Gangguan fungsi motorik
a) Gangguan fungsi motorik di tingkat lesi. Karena lesi total juga merusk komu
anterior medulla spinalis dapat terjadi kelumpuhan LMN pada otot-otot yang
dipersyarafi oleh kelompok motoneutron yang terkena lesi dan menyebabkan
nyeri punggung yang terjadi secara tiba- tiba.
b) Gangguan motorik di bawah lesi : dapat terjadi kelumpuhan UMN karena
jaras kortikospinal lateral segmen thorakal terputus. Gerakan reflex tertentu
yang tidak dikendalikan oleh otak akan tetap utuh atau bahkan meningkat.
Contohnya : reflex lutut tetap ada dan bahkan meningkat. Meningkatnya
refleks ini menyebabkan kejang tungkai. Refleks yang tetap dipertahankan
menyebabkan otot yang terkena menjadi memendek, sehingga terjadi
kelumpuhan jenis spastic. Otot yang spastik teraba kencang dan keras dan
sering mengalami kedutan.
2. Gangguan fungsi sensorik : karena lesi total juga merusak otak komu posterior
medula spinalis maka akan terjadi penurunan atau hilang fungsi sensibilitas di bawah
lesi. Sehingga klien tidak dapat merasakan adanya rangsang taktil, rangsang nyeri,
rangsang nyeri, rangsang thermal, rangsang discrim dan rangsang lokalis.
3. Gangguan fungsi autonom : karena terputusnya jaras ascenden spinothalamicus maka
klien akan terjadi kehilangan perasaan akan kencing.
D. Pemeriksaan
1. Laboratorium
a) Hematology
menandakan selain adanya infeksi juga stress fisik ataupun terjadi kematian
jaringan.
b) Kimia klinik
PT / PTT untuk melihat fungsi pembekuan darah sebelum pemberian terapi
anti koagulan. Dapat terjadi gangguan elektrolit karena terjadi gangguan
dalam fungsi perkemihan, dan fungsi gastrointestinal.
Hemoglobin dapat menurun karena destruksi sumsum tulang vertebra atau
perdarahan. Peningkatan leukosit
2. Radiodiagnostik
a) CT Scan untuk melihat adanya edema, hematoma, iskemi dan infark
b) MRI : menunjukan daerah yang mengalami fraktur, infark, hemoragik
c) Rontgen : menunjukan daerah yang mengalami fraktur, dan kelainan tulang,
gambaran infeksi TB paru. Telah terjadi kerusakan jaras ascenden
spinotalamikus dimana klien sudah tidak bisa merasakan sensasi ingin
kencing dan BAB.
d) Nyeri yang dirasakan dapat dilakukan dengan teknik masase atau dengan
distraksi.
E. Komplikasi
Komplikasi pre operatif
1. Respon sistem saraf simpatis akan vasokontriksi dan bisa terjadi
peningkatan curah jantung.
2. Vasokontriksi memiliki dampak positif yaitu mempertahankan tekanan
darah, aliran darah ke jantung dan otak adekuat.
3. Peningkatan curah jantung yang memiliki dampak positif yaitu
mempertahankan tekanan darah.
4. Penurunan aktivitas gastrointestinal memiliki dampak negatif yaitu
anoreksia, nyeri karena adanya gas maupun konstipasi.
5. Respon hormonal juga berpengaruh dalam proses kecemasan pada pasien
pre operasi. Respon tubuh terhadap kecemasan pada pasien pre operasi
dilihat dari segi perubahan hormonal
Metyl prednisolon 30 mg/kb BB, 45 menit setelah bolus selama 23 jam. Hasil optimal
bila pemberian dilakukan <8jam onset.
Tambahkan profilaksis stress ukus : antacid/antagonis H2, jika pemulihan sempurna,
pengobatan tidak diperlukan
Berikan Antibiotik, biasanya untuk menyembuhkan. Jika terjadi infeksi
b) Operasi
Dengan menggunakan teknik Harrison roda stabilization (instrument Harrison) yaitu
menggunakan batang distraksi baja tahan karat untuk mengoreksi dan stabilisasi deformitas
vertebra.
G.Pengkajian
a. Identitas klien
Meliputi nama, umur, (kebanyakan terjadi pada usia tua), jenis kelamin, pendidikan, alamat,
pekerjaan, agama, suku bangsa, tanggal dan jam MRS, nomor register, diagnose medis.
b. Keluhan Utama
Biasanya didapatkan laporan kelemahan dan kelumpuhan ekstremitas, inkontinensia
defekasi dan berkemih.
c. Riwayat penyakit sekarang
Biasanya terjadi riwayat trauma, pengkajian yang didapat meliputi hilangnya sensibilitas,
paralisis, ileus paralitik, retensi urin, hilangnya refleks.
d. Riwayat penyakit dahulu
Adanya riwayat penyakit infeksi, tumor, cedera tulang belakang, DM, jantung, anemia, obat
antikoagulan, alcohol.
e. Riwayat penyakit keluarga
Mengkaji adanya generasi dahulu yang menderita hipertensi atau DM.
f. Pola-pola fungsi kesehatan
H.Diagnosa Keperawatan
a. Resiko infeksi
b. Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisiologis
c. Retensi urin berhubungan dengan disfungsi neurologis
d. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan keterbatasan gerak
I.Intervensi
a. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan neuron, fungsi motorik dan
sensorik.
Tujuan :
Memperbaiki mobilitas
Kriteria Hasil : mempertahankan posisi fungsi dibuktikan oleh tak adanya kontraktur,
footdrop, meningkatkan kekuatan bagian tubuh yang sakit/kompensasi,
mendemonstrasikan teknik/perilaku yang memungkinkan melakukan kembali aktifitas.
1) Ganti posisi pasien setiap 8 jam dengan memperhatikan kestabilan tubuh dan kenyamanan
pasien.
2) Beri papan penahan pada kaki
3) Gunakan otot orthopedhi, edar, handsplits
c) Retensi urine yang berhubungan dengan ketidakmampuan untuk berkemih secara spontan,
terputusnya jaras spinothalamikus.
Tujuan : Peningkatan eliminasi urine
Kriteria Hasil : pasien dapat mempertahankan pengosongan blodder tanpa residu dan distensi,
keadaan urine jeenih, kultur urine negative, intake dan output cairan seimbang.
1) Kaji tanda-tanda infeksi saluran kemih
2) Kaji intake dan output cairan
3) Lakukan pemasangan kateter sesuai program
4) Anjurkan pasien untuk minum 2-3 liter setiap hari
5) Cek bladder paisen setiap 2 jam.
6) Lakukan pemeriksaan urinalisa, kultur dan snesibilitas
7) Monitor temperature tubuh setiap 8 jam.
Bahrudin, M. (2016). Neurologi klinis. Malang: UMM Press, Hal 13-16, 442-449
Kowalak, P. J., Welsh, W., & Mayer, B. (2011). Buku Ajar Patofisologi. Jakarta:
EGC
Doulames, M.V. and Plant, W.G. (2016). Induced Pluripotent Stem Cell Therapies fo
Cervical Spinal Cord Injury. International Journal of Molecular Sciences, 17(530),
pp. 1-5
Smeltzer, S.C., Bare, B.G., Hinkle, J.L., and Cheever, K.H. (2014). Texbook of
medical surgical nursing. 12th ed. Philadelphia: Lipincott Williams &
Wilkins.