Anda di halaman 1dari 4

Nama : Irvan Renaldiano

Semester/Kelas : 3/C
NIM : 1208010101
Mata kuliah : Birokrasi
Dosen Pengampu : Drs. Mubarok, M.Si
OTONOMI DAERAH GOOD REGULATION GOVERNANCE
Historis Otonomi Daerah
Pada tanggal 23 juli 1903 undang-undang mengenal desentralisasi pemerintah di hindia
belanda, bernama de wet houdende decentralisatie van het bestuur in nederlands indie, berhasil
diterima dan di undang dalam staatsblad van het koninkrijk der nenderlanden tahun 1903 nomor
219. Undang-undang tesebut kemudian di undangkan di hindia belanda lewat indische staatsblad
nomor 329, yang selanjutnya lebih dikenal dengan sebutan decentralisatie wet 1903.
Sistem desentralisasi berdasar UU desentralisasi 1903, dianggap ketinggalan zaman perlu
perombakan dasar tidak saja atas pasal 68a, 68b, 68c, R.R., tetapi juga atas pasal-pasal lain yang
berkaitan dengan “peraturan dasar” (RR) yang disebut: bestuurhervormings wet 1922 (peraturan
dasar ketata negaraan hindia belanda, yang isinya memperbaharui UU desentralisasi 1903
Masa pasca kekuasaan pemrintahan colonial di Indonesia dapat dibagi kepada dua priode
penyelenggaraan pemerintah daerah, yaitu ketika berlakunya undang-undang No.1 tahun 1945
dan undang-undang No. 22 Tahun 1948
Tiga prinsip dasar desentralisasi, yakni:
1. Di daerah-daerah (daerah besar dan kecil), akan hanya ada satu bentuk susunan
pemerintahan, yaitu pemerintah daerah yang berhak mengatur dan mengurus rumah
tangganya sendiri (daerah otonom).
2. Daerah-daerah di bentuk menurut susunan derajat dari atas kebawah sebanyak-banyaknya
tiga tingkat.
3. Kepada daerah-daerah akan diberikan hak otonom seluas-luasnya untuk mengatur dan
mengurus rumah tangga daerahnya, dengan menganut system otonomi riil.
Ketika konstelasi politik berubah dimana Indonesia tidak lagi menganut sistem demokrasi
parlementer tetapi menerapkan sistem demokrasi terpimpin melaui dekrit presiden 5 juli 1959
dengan kembali ke UUD 1945, otonomi daerah mengalami kemunduran legge menyebutnya
sebagai retreat from autonmy mengapa ini terjadi karena pemerintah mengambil tindakan drastis
yaitu dengan mengubah UU No.1 Tahun 1957 dan menggatinya dengan penpres No.6 tahun
1959 dan kemudian disempurnakan melalui Penpres No.5 Tahun 1960.
Otonomi Daerah
Istilah otonom berasal dari pengalaman dua kata bahasa yunani, yakni autos yang berarti
sendiri dan nomos yang berarti undang-undang otonomi bermakna membuat perundang-
undangan sendiri (zelfwetgeving).
Didalam otonomi, hubungan kewenangan antara pemerintah pusat dan daerah, antara
bertalian dengan cara pembagian urusan penyelenggaraan pemerintah atau cara untuk
menentukan urusan rumah tangga daerah. Cara penentuan ini akan mencerminkan suatu bentuk
otonomi terbatas atau otonomi luas.
Dapat digolongkan sebagai otonomi terbatas apabila:
1. Urusan-urusan rumah tangga daerah ditentukan secara kategoris dan pengembangannya
diatur dengan cara-cara tertentu pula.
2. Apabila system supervisi dan pengawasan dilakukan demikian rupa, sehingga daerah
otonom kehilangan kemandirian untuk menentukan secara bebas cara-cara mengatur dan
mengurus rumah tangga daerahnya.
3. Sistem hubungan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah yang menimbulkan hal-
hal seperti keterbatasan kemampuan keuangan asli daerah yang akan membatasi ruang
gerak otonomi daerah.
Otonomi luas bisa bertolak dari prinsip: semua urusan pemerintahan pada dasarnya menjadi
urusan rumah tangga daerah, kecuali yang ditentukan sebgai urusan pusat.
Otonomi yang pernah diterapkan di berbagai Negara didunia Menurut S.H.
Sarundajangmacam ,yakni:
1. Otonomi organik (rumah tangga organic);
2. Otonomi formal (rumah tangga formal);
3. Otonomi material (rumah tangga material/substantif);
4. Otonomi riil (rumah tangga riil);
5. Otonomi yang nyata, bertanggung jawab dan dinamis.

Prinsip dan Pilar Good Governance

1. Partisipasi
2. Penegakan hukum
3. Transparansi
4. Daya Tanggap
5. Berorientasi pada konsensus
6. Keadilan
7. Efektif dan Efisien
8. Akuntabilitas
9. Visi Strategis
Hubungan antara Good Governance dengan Otonomi Daerah

Upaya pelaksanaan tata pemerintahan yang baik, UU No 32 tahun 2004 tentang


Pemerintahan Daerah merupakan salah salu instrumen yang merefleksikan keinginan pemerintah
untuk melaksanakan tata pemerintahan yang baik dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah
Optimalisasi Pelaksanaan Otonomi Daerah melalui Good Governance
Pelayanan umum yang berkualitas merupakan ukuran untuk menilai sebuah pemerintahan
yang baik, sedangkan pelayanan umum yang buruk lebih mencerminkan pemerintahan yang
miskin inovasi dan tidak memiliki keinginan untuk menyejahterakan masyarakatnya (bad
governance).
Teori Rasional Komprehensif

Teori rasional komprehensif ini menuntut hal-hal yang tidak rasional dalam diri
pengambil keputusan. Asumsinya adalah seorang pengambil keputusan memiliki cukup
informasi mengenai berbagai alternatif sehingga mampu meramalkan secara tepat akibat dari
pilihan-pilihan alternatif yang ada, serta memperhitungkan asas biaya manfaatnya dan
mempertimbangkan banyak masalah yang saling berkaitan.
Masalah di berbagai negara berkembang seperti Indonesia untuk menerapkan teori
rasional komprehensif ini karena beberapa alasan, yaitu:
1. Informasi dan data statistik yang ada tidak lengkap sehingga tidak bisa dipakai untuk
dasar pengambilan keputusan. Kalau dipaksakan maka akan terjadi sebuah keputusan
yang kurang tepat.
2. Teori ini diambil atau diteliti dengan latar belakang berbeda dengan negara berkembang
yang ekologi budayanya berbeda.
3. Birokrasi di negara berkembang tidak bisa mendukung unsur-unsur rasional dalam
pengambilan keputusan, karena dalam birokrasi negara berkembang kebanyakan korupsi
sehingga menciptakan hal-hal yang tidak rasional.

Teori Inkremental
Teori ini dalam pengambilan keputusan dengan cara menghindari banyak masalah yang
harus dipertimbangkan dan merupakan model yang sering ditempuh oleh pejabat-pejabat
pemerintah dalam mengambil keputusan Kelemahan teori incremental
1. Keputusan-keputusan yang diambil akan lebih mewakili atau mencerminkan kepentingan
dari kelompok yang kuat dan mapan sehingga kepentingan kelompok lemah terabaikan.
2. Keputusan diambil lebih ditekankan kepada keputusan jangka pendek dan tidak
memperhatikan berbagai macam kebijakan lain.
3. Di negara berkembang teori ini tidak tepat karena negara berkembang lebih
membutuhkan perubahan yang besar dan mendasar.
4. Menurut Yehezkel Dror (1968) gaya inkremental dalam membuat keputusan cenderung
menghasilkan kelambanan dan terpeliharanya status quo.

Teori Pengamatan Terpadu


Beberapa kelemahan tersebut menjadi dasar konsep baru yaitu seperti yang dikemukakan
oleh ahli sosiologi organisasi Aitai Etzioni yaitu pengamatan terpadu (Mixid Scaning) sebagai
suatu pendekatan untuk mengambil keputusan baik yang bersifat fundametal maupun
inkremental.
Model pengamatan terpadu ini pada hakikatnya merupakan pendekatan kompromi yang
menggabungkan pemanfaatan model rasional komprehensif dan model inkremental dalam proses
pengambilan keputusan

Anda mungkin juga menyukai