Anda di halaman 1dari 14

STOMATITIS APHTHOSA RECURRENT

MAYOR

Oleh :
PUTRI RAHAYU LESTARI
40617013

FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI


IIK BHAKTI WIYATA KEDIRI
2018
A. Identitas Pasien

Nama Pasien : An. Abdi Musafir

Alamat : Kaligangsa 004/005 Margana, Tegal

Umur : 8 tahun

Suku : Jawa

Jenis Kelamin : Laki-laki

Agama : Islam

Gambar 1 : Stomatitis Aphthosa Rekuren Mayor (kunjungan I)

B. Anamnesa

Keluhan Utama

Sariawan pada bibir bawah kanan bagian dalam.

Riwayat Penyakit

Pasien datang bersama operator dengan keluhan bibir bawah kanan bagian
dalam sariawan sejak 4 hari yang lalu . Pasien merasakan sakit pada bibir tersebut
ketika digunakan untuk makan dan minum. Sariawan tersebut belum pernah
diobati sama sekali. Wali pasien mengaku bahwa pasien sering mengalami
sariawan, sariawan terakhir pada pasien sekitar 1 bulan yang lalu. Wali pasien
juga mengaku bahwa pasien tinggal di pondok dan kegiatan pasien di pondok
sangat padat, selain itu pasien juga tidak teratur dalam makan (pasien hanya
sarapan pagi dan makan siang, pasien jarang sekali untuk makan malam). Pasien
juga jarang mengkonsumsi buah dan sayur. Pasien merasa tidak nyaman dengan
kondisi tersebut, dan ingin dirawat.

C. Pemeriksaan Intra Oral

- pada mukosa labial bawah kanan terdapat ulser, diameter 5,5 mm, warna
dasar putih kekuningan dengan tepi eritema ,batas jelas, bentuk regular, single,
sakit.

D. Diagnosis

Suspect : recurrent aphthous stomatitis mayor

- Dilihat dari penyebab terjadinya SAR mayor, karena ukuran sariawan yang
lebih dari 5 mm dan pasien mengaku sering sariawan di tempat yang berbeda,
sariawan terkahir + 1 bulan yang lalu, sariawan tersebut timbul tanpa sebab
trauma atau alergi namun muncul secara tiba-tiba.

E. Terapi
1. pasien diintruksi untuk berkumur
2. keringkan lesi dengan cotton pellet steril
3. ulasi lesi dengan providone iodine 10% menggunakan cotton pellet
steril
4. keringkan dan ulasi lesi dengan periokin gel menggunakan cotton pellet
Resep :
R/ periokin gel 30 ml tube No. I
S 3 dd lit.or
_________ “ _______________
R/ Bicombion syr 250 ml fl No. I
S 1 dd I cth. p.c
_________” ________________

KIE
1. Menggunakan obat oles periokin gel secara teratur sesuai instruksi
operator. Sebelum menggunakan obat, pasien diinstruksikan untuk
berkumur terlebih dahulu. Setelah itu, luka dikeringkan menggunakan
cotton bud bersih. Kemudian luka diolesi dengan obat oles menggunakan
cotton bud, obat oles digunakan 4 kali sehari setiap 6 jam sekali.
Kemudian pasien diinstruksikan untuk tidak makam atau minum selama
30 menit.
2. Minum obat sirup secara teratur, sesuai instruksi operator. Obat sirup
diminum satu kali sehari detelah sarapan pagi.
3. Minum air mineral minimal 1,5 liter per hari.
4. Mengurangi makanan yang pedas.
5. Kontrol 7 hari lagi.

Kontrol 1
S : pasien datang untuk kontrol 1 hari ke 7 setelah peratawan sariawan pada bibir
bawah kanan bagian dalam. Pasien sudah tidak merasakan sakit. Pasien
menggunaakan obay secara teratur dan sesuai instruksi operator. Obatt bicombion
dan obat oleh sisa 2/3 bagian. Keadaan umum pasien baik.
O : Eo  normal
Io  pada mukosa labial dextra terdapat sikatrik, penampang 4 mm, bentuk
irreguler, batas diffuse single, tidak sakit.
A : Recurrent Aphthous Stomatitis Mayor belum sembuh
P : melanjutkan penggunaan obat oles dan obat minum, kontrol 7 hari
Gambar 2 : Stomatitis Aphthosa Rekuren Mayor (Kontrol I)
Kontrol 2
S : pasien datang untuk kontrol 2 setelah peratawan sariawan pada bibir bawah
kanan bagian dalam, pasien sudah tidak merasakan sakit. Obat oleh sisa 1/3
bagian, dan obat becombion sisa 1/3 botol.
O : Eo  normal
Io  pada mukosa labial bawah kanan, terdapat makula, eritema, penampang
3 mm, batas diffuse, bentuk irreguler, single, tidak sakit.
A : Recurrent Aphthous Stomatitis Mayor belum sembuh
P : melanjutkan penggunaan obat oles dan obat minum secara terarur sesuai
instruksi dari operator, menjaga OH.

Gambar 3 : Stomatitis Aphthosa Rekuren Mayor (Kontrol II)

F. Tinjauan Pustaka
Defenisi
SAR merupakan ulser oval rekuren pada mukosa mulut tanpa tanda tanda adanya
penyakit lain dan salah satu kondisi ulseratif mukosa mulut yang paling
menyakitkan terutama sewaktu makan, menelan dan berbicara. Penyakit ini
relative ringan karena tidak bersifat membahayakan jiwa dan tidak menular.
Tetapi bagi orang – orang yang menderita SAR dengan frekuensi yang sangat
tinggi akan merasa sangat terganggu. Beberapa ahli menyatakan bahwa SAR
bukan merupakan penyakit yang berdiri sendiri, tetapi lebih merupakan gambaran
beberapa keadaan patologis dengan gejala klinis yang sama. SAR dapat membuat
frustasi pasien dan dokter gigi dalam merawatnya karena kadang-kadang sebelum
ulser yang lama sembuh ulser baru dapat timbul dalam jumlah yang lebih banyak.

Berbagai klasifikasi RAS telah diajukan, tetapi secara klinis kondisi ini dapat
dibagi menjadi 3 subtipe; minor, mayor, dan hipetiformis. Semua tipe ulserasi
dihubungkan dengan rasa sakit dan presentasi klinis dari lesinya. Ulser minor
memiliki diameter yang besarnya kurang dari 1 cm dan sembuh tanpa disertai
pembentukan jaringan paut. Ulser mayor memiliki diameter lebih besar dari 1 cm
dan akan membentuk jaringan parut pada penyembuhannya. Ulser herpetiformis
dianggap sebagi suatu gangguan klinis yang berbeda, yang bermanifestasi dengan
kumpulan ulser kecil yang rekuren pada mukosa mulut (Lynch et al., 1994; Lewis
& Lamey , 1998).

Etiologi SAR

Sampai saat ini, etiologi SAR masih belum diketahui dengan pasti. Ulser pada
SAR bukan karena satu faktor saja tetapi multifaktorial yang memungkinkannya
berkembang menjadi ulser. Faktor-faktor ini terdiri dari: pasta gigi dan obat
kumur sodium lauryl sulphate (SLS), trauma, genetik, gangguan immunologi,
alergi dan sensitifitas, stres, defisiensi nutrisi, hormonal, merokok, infeksi bakteri,
penyakit sistemik, dan obat-obatan. Dokter gigi sebaiknya mempertimbangkan
bahwa faktor- faktor tersebut dapat memicu perkembangan ulser SAR.

2.1.4.1 Pasta Gigi dan Obat Kumur SLS


Penelitian menunjukkan bahwa produk yang mengandungi SLS yaitu agen
berbusa paling banyak ditemukan dalam formulasi pasta gigi dan obat kumur,
yang dapat berhubungan dengan peningkatan resiko terjadinya ulser, disebabkan
karena efek dari SLS yang dapat menyebabkan epitel pada jaringan oral menjadi
kering dan lebih rentan terhadap iritasi. Beberapa penelitian telah melaporkan
bahwa peserta yang menggunakan pasta gigi yang bebas SLS mengalami sariawan
yang lebih sedikit. Penurunan ini ditemukan setinggi 81% dalam satu penelitian.
Studi yang sama juga melaporkan bahwa subjek penelitian merasa bahwa
sariawan yang mereka alami kurang menyakitkan daripada pada saat mereka
menggunakan pasta gigi yang menggandung SLS.
2.1.4.2 Trauma
Ulser dapat terbentuk pada daerah bekas terjadinya luka penetrasi akibat trauma.
Pendapat ini didukung oleh hasil pemeriksaan klinis, bahwa sekelompok ulser
terjadi setelah adanya trauma ringan pada mukosa mulut. Umumnya ulser terjadi
karena tergigit saat berbicara, kebiasaan buruk, atau saat mengunyah, akibat
perawatan gigi, makanan atau minuman terlalu panas, dan sikat gigi. Trauma
bukan merupakan faktor yang berhubungan dengan berkembangnya SAR pada
semua penderita tetapi trauma dapat dipertimbangkan sebagai faktor pendukung.

2.1.4.3 Genetik
Faktor ini dianggap mempunyai peranan yang sangat besar pada pasien yang
menderita SAR. Faktor genetik SAR diduga berhubungan dengan peningkatan
jumlah human leucocyte antigen (HLA), namun beberapa ahli masih menolak hal
tersebut. HLA menyerang sel-sel melalui mekanisme sitotoksik dengan jalan
mengaktifkan sel mononukleus ke epitelium. Sicrus (1957) berpendapat bahwa
bila kedua orangtua menderita SAR maka besar kemungkinan timbul SAR pada
anak-anaknya. Pasien dengan riwayat keluarga SAR akan menderita SAR sejak
usia muda dan lebih berat dibandingkan pasien tanpa riwayat keluarga SAR.

2.1.4.4 Gangguan Immunologi


Tidak ada teori yang seragam tentang adanya imunopatogenesis dari SAR, adanya
disregulasi imun dapat memegang peranan terjadinya SAR. Salah satu penelitian
mungungkapkan bahwa adanya respon imun yang berlebihan pada pasien SAR
sehingga menyebabkan ulserasi lokal pada mukosa. Respon imun itu berupa aksi
sitotoksin dari limfosit dan monosit pada mukosa mulut dimana pemicunya tidak
diketahui. Menurut Bazrafshani dkk, terdapat pengaruh dari IL-1B dan IL-6
terhadap resiko terjadinya SAR. Menurut Martinez dkk, pada SAR terdapat
adanya hubungan dengan pengeluaran IgA, total protein, dan aliran saliva.
Sedangkan menurut Albanidou-Farmaki dkk, terdapat karakteristik sel T tipe 1
dan tipe 2 pada penderita SAR.

2.1.4.5 Stres
Stres merupakan respon tubuh dalam menyesuaikan diri terhadap perubahan
lingkungan yang terjadi terus menerus yang berpengaruh terhadap fisik dan
emosi. Stres dinyatakan merupakan salah satu faktor yang berperan secara tidak
langsung terhadap ulser stomatitis rekuren ini. Faktor stres ini akan dibahas
dengan lebih rinci pada subbab selanjutnya.

2.1.4.6 Defisiensi Nutrisi


Wray (1975) meneliti pada 330 pasien SAR dengan hasil 47 pasien menderita
defisiensi nutrisi yaitu terdiri dari 57% defisiensi zat besi, 15% defisiensi asam
folat, 13% defisiensi vitamin B12, 21% mengalami defisiensi kombinasi terutama
asam folat dan zat besi dan 2% defisiensi ketiganya. Penderita SAR dengan
defisiensi zat besi, vitamin B12 dan asam folat diberikan terapi subtitusi vitamin
tersebut hasilnya 90% dari pasien tersebut mengalami perbaikan. Faktor nutrisi
lain yang berpengaruh pada timbulnya SAR adalah vitamin B1,B2 dan B6. Dari
60 pasien SAR yang diteliti, ditemukan 28,2% mengalami penurunan kadar
vitamin-vitamin tersebut. Penurunan vitamin B1 terdapat 8,3%, B2 6,7%, B6 10%
dan 33% kombinasi ketiganya. Terapi dengan pemberian vitamin tersebut selama
3 bulan memberikan hasil yang cukup baik, yaitu ulserasi sembuh dan rekuren
berkurang. Dilaporkan adanya defisiensi Zink pada penderita SAR, pasien
tersebut diterapi dengan 50 mg Zink Sulfat peroral tiga kali sehari selama tiga
bulan. Lesi SAR yang persisten sembuh dan tidak pernah kambuh dalam waktu
satu tahun. Beberapa peneliti lain juga mengatakan adanya kemungkinan
defisiensi Zink pada pasien SAR karena pemberian preparat Zink pada pasien
SAR menunjukkan adanya perbaikan, walaupun kadar serum Zink pada pasien
SAR pada umumnya normal.

2.1.4.7 Hormonal
Pada wanita, sering terjadinya SAR di masa pra menstruasi bahkan banyak yang
mengalaminya berulang kali. Keadaan ini diduga berhubungan dengan factor
hormonal. Hormon yang dianggap berperan penting adalah estrogen dan
progesteron. Dua hari sebelum menstruasi akan terjadi penurunan estrogen dan
progesterone secara mendadak. Penurunan estrogen mengakibatkan terjadinya
penurunan aliran darah sehingga suplai darah utama ke perifer menurun dan
terjadinya gangguan keseimbangan sel-sel termasuk rongga mulut, memperlambat
proses keratinisasi sehingga menimbulkan reaksi yang berlebihan terhadap
jaringan mulut dan rentan terhadap iritasi lokal sehingga mudah terjadi SAR.
Progesteron dianggap berperan dalam mengatur pergantian epitel mukosa mulut.

Etiologi penyakit ini masih belum jelas, namun banyaknya laporan mengenai
rekurensi penyakit ini pada masa sebelum, saat, dan pasca menstruasi
memunculkan dugaan adanya pengaruh hormon terhadap terjadinya SAR.
Meskipun masih kontroversi, namun beberapa penelitian diantaranya Jones dan
Mason melaporkan adanya hubungan antara SAR dengan siklus menstruasi dan
jumlah penderita wanita yang mencapai dua kali disbanding laki-laki.Croley dan
Miers12 juga meneliti pengaruh hormonestrogenyangternyata merangsang
maturasi lengkap sel epitel mukosa mulut dan progesterone yang
menghambatnya.Selain itu tampak jelas adanya perubahan pada lapisan mukosa
mulut, dan peningkatan jumlah bakteri dalam jaringan yang dipengaruhi oleh
hormon estrogen, sedangkan progesteron berperan dalam jaringan periodonsium,
hormone progesteron menunjukkan rata-rata 1,9507 pg/ml dengan standar deviasi
2,78563. Tingginya kadar hormon estradiol dibanding kadar progesterone
disebabkan oleh karena hormon ini merupakan komponen terbesar penyusun
estrogen. Estrogen sendiri diproduksi dalam ovarium dengan fungsi mengatur
siklus haid, meningkatkan pembelahan sel serta bertanggung jawab untuk
perkembangan karakteristik sekunder wanita. Hasil penelitian Croley dan Miers
menjelaskan bahwa estrogen berpengaruh untuk merangsang maturasi lengkap sel
epitel mukosa rongga mulut, yaitu peningkatan sel epitel superfisial dan keratin.
Hubungan siklus menstruasi dengan SAR ditunjukkan pada tingginya penderita
SAR pada wanita yang mencapai dua kali dibanding pada pria, hal ini dilaporkan
oleh Jason dan Maso.
Pengaruh ini mungkin disebabkan oleh fluktuasi kadar estrogen dan progesteron
yang reseptornya dapat dijumpai dalam rongga mulut, khususnya pada
gingiva.Pada penderita SAR, dianggap berkurangnya kadar progesteron hingga
80%, menyebabkan faktor self limiting berkurang, polymorphonuclear leukocytes
menurun, demikian juga permeabilitas vaskuler yang mengalami vasodilatasi oleh
karena pengaruh estrogen, dan menjadi lebih permeable oleh pengaruh
progesteron.Perubahan permeabilitas ini menyebabkan mudahnya terjadi invasi
bakteri yang menjadi penyebab iritasi atau infeksi dalam rongga mulut dan
akhirnya akan menyebabkan ulkus setiap periode pramenstruasi. Penelitian ini
menunjukkan bahwa kadar estradiol yang normal, serta kadar progesteron yang
kurang dari normal berpengaruh terhadap terjadinya ulkus pada penderita SAR
saat mengalami menstruasi. Dari hasil penelitian ini, dapat disimpulkan bahwa
kadar estradiol penderita SAR, dengan pola menstruasi teratur cenderung normal,
sedangkan kadar progesteron kurang dari normal.

2.1.4.8 Infeksi Bakteri


Graykowski dan kawan-kawan pada tahun 1966 pertama kali menemukan adanya
hubungan antara bakteri Streptokokus bentuk L dengan lesi SAR dengan
penelitian lebih lanjut ditetapkan bahwa Streptokokus sanguis sebagai penyebab
SAR. Donatsky dan Dablesteen mendukung pernyataan tersebut dengan
melaporkan adanya kenaikan titer antibodi terhadap Streptokokus sanguis 2A
pada pasien SAR dibandingkan dengan kontrol.

2.1.4.9 Alergi dan Sensitifitas


Alergi adalah suatu respon imun spesifik yang tidak diinginkan (hipersensitifitas)
terhadap alergen tertentu. Alergi merupakan suatu reaksi antigen dan antibodi.
Antigen ini dinamakan alergen, merupakan substansi protein yang dapat bereaksi
dengan antibodi, tetapi tidak dapat membentuk antibodinya sendiri. SAR dapat
terjadi karena sensitifitas jaringan mulut terhadap beberapa bahan pokok yang ada
dalam pasta gigi, obat kumur, lipstik atau permen karet dan bahan gigi palsu atau
bahan tambalan serta bahan makanan. Setelah berkontak dengan beberapa bahan
yang sensitif, mukosa akan meradang dan edematous. Gejala ini disertai rasa
panas, kadang-kadang timbul gatal-gatal, dapat juga berbentuk vesikel kecil,
tetapi sifatnya sementara dan akan pecah membentuk daerah erosi kecil dan ulser
yang kemudian berkembang menjadi SAR.

2.1.4.10 Obat-obatan
Penggunaan obat nonsteroidal anti-inflamatori (NSAID), beta blockers, agen
kemoterapi dan nicorandil telah dinyatakan berkemungkinan menempatkan
seseorang pada resiko yang lebih besar untuk terjadinya SAR.

2.1.4.11 Penyakit Sistemik


Beberapa kondisi medis yang berbeda dapat dikaitkan dengan kehadiran SAR.
Bagi pasien yang sering mengalami kesulitan terus-menerus dengan SAR harus
dipertimbangkan adanya penyakit sistemik yang diderita dan perlu dilakukan
evaluasi serta pengujian oleh dokter. Beberapa kondisi medis yang dikaitkan
dengan keberadaan ulser di rongga mulut adalah penyakit Behcet’s, penyakit
disfungsi neutrofil, penyakit gastrointestinal, HIV-AIDS, dan sindroma Sweet’s.
2.1.4.12 Merokok
Adanya hubungan terbalik antara perkembangan SAR dengan merokok. Pasien
yang menderita SAR biasanya adalah bukan perokok, dan terdapat prevalensi dan
keparahan yang lebih rendah dari SAR diantara perokok berat berlawanan dengan
yang bukan perokok. Beberapa pasien melaporkan mengalami SAR setelah
berhenti merokok.

Gambaran Klinis :
Gambaran klinis SAR penting untuk diketahui karena tidak ada metode diagnosa
laboratoriam spesifik yang dapat dilakukan untuk menegakkan diagnose SAR.
SAR diawali gejala prodormal yang digambarkan dengan rasa sakit dan terbakar
selama 24-48 jam sebelum terjadi ulser. Ulser ini menyakitkan, berbatas jelas,
dangkal, bulat atau oval, tertutup selaput pseudomembran kuning keabu-abuan,
dan dikelilingi pinggiran yang eritematus dan dapat bertahan untuk beberapa hari
atau bulan.

G. Kerangka Konsep

Defisiensi Nutrisi (Vit B12,


As. Folat, Zat Besi)

Transpor oksigen dan nutrisi


terganggu

Aktivitas enzim pada


mitokondria dlm sel menurun

Diferensiasi dan pertumbuhan sel Proses diferensiasi sel epitel ke


epitel terganggu str. Korneum terhambat
Hilangnya kreatinisasi normal,
sel epitel atropi

Mukosa mulut menjadi lebih tipis

Mikrolesi

Ulser

Daftar Pustaka

Lewis MAO, Lamey PJ. 1998. Tinjauan Klinis Penyakit Mulut . Jakarta: Widya
Medika. Hal: 48-49. 2.

 Apriasari ML, Tuti H. 2010. Stomatitis Aftosa Rekuren oleh karena Anemia.
Dentofasial Jurnal Kedokteran Gigi 9 (1): Hal 184. 3.
 
Langlais, R. P & Miller, C. S. 2012. Atlas bewarna Kelainan Rongga Mulut  yang
Lazim . Editor : Lilian Juwono. Hipokrates. Jakarta. Hal 94-96. 4.
 
Bakar, abu. Kedokteran Gigi Klinis, Quantum . Jakarta. 2012. Hal : 39. 5.
 
Pindborg, J. J. 2009.  Atlas Penyakit Mukosa Mulut . Penerjemah : Kartika
Wangsaraharja. Binarupa Aksara. Tanggerang. Hal 181-182

Anda mungkin juga menyukai