Anda di halaman 1dari 11

Nama : Agis Pebrian

NIM : 1902010252
Kelas : Manajemen F 2019
Mata Kuliah : Manajemen Kualitas

Contoh Penggunaan Six Sigma pada perusahaan manufaktur pada PT. LF


Beauty Manufacturing Indonesia
PT. LF Beauty Manufacturing Indonesia adalah sebuah kelompok
perusahaan Li & Fung berpusat di Hongkong yang bergerak dalam bidang jasa
manufaktur. Perusahaan memiliki 4 pelanggan tetap, yaitu: PT JHHP,
PT.Diversey, PT.Topindo dan PT.Wavin. Selama tahun 2015 perusahaan
mendapatkan 12 keluhan cacat yang mana 8 keluhan berasal dari PT. JHHP.
Dalam pengendalian kualitas produksi Kiwi Paste berdasarkan metode
Six Sigma. Tahapan Six Sigma dalam pemecahan masalah kualitas produk Kiwi
Paste menggunakan tahapan DMAIC yang terdiri dari Define, Measure, Analyze,
Improve dan Control.
1. Define
Define merupakan tahapan awal dalam mendefinisikan sebuah masalah,
yaitu tahapan pendefinisian pemilihan program Six Sigma, pareto diagram, dan
proses-proses kunci dalam program Six Sigma. Kriteria pemilihan program Six
Sigma pada PT. LF Beauty Manufacturing Indonesia adalah menggunakan data
history perusahaan dari tingkat performa proses produksi Kiwi Paste dengan
pelanggan PT JHPP sebagai fokus penelitian. Produk Kiwi Paste memiliki empat
kategori defect complaint diantaranya adalah isi finish good dalam satu karton
kurang, finish good bocor, finish good kotor, dan finish good penyok. Untuk itu
pemilihan program kualitas akan dilanjutkan dengan menentukan empat kategori
jenis defect complaint yang paling bermasalah dengan melihat persentase jumlah
defect terbanyak yang terjadi diproses produksi. Penentuan masalah didasarkan
atas data keluhan pelanggan PT JHPP pada tahun 2015 sebanyak 8 kali keluhan
dengan defect kemasan bocor dengan jumlah 3 keluhan, defect finish good kotor
sebanyak 2 keluhan, defect finish good bocor sebanyak 2 keluhan, dan defect isi
finish good kurang dalam satu karton sebanyak 1 complaint. Dari keempat jenis
defect, defect finish good bocor yang menjadi prioritas dalam program Six Sigma
ini karena defect tersebut adalah defect tertinggi dibanding defect lainnya.
2. Measure
Measure adalah langkah operasional kedua dalam program peningkatan
kualitas Six Sigma. Untuk mengetahui kapabilitas proses produksi perlu dilakukan
pengukuran Baseline kinerja atribut karakteristik pada tingkat output.
Tabel DPMO dan kapabilitas Sigma Kiwi Paste bulan Agustus 2015
Total Total CTQ DPMO Nilai
Produksi Cacat Sigma
40392 565 4 3,497 4,20

Selanjutnya konversi DPMO menjadi kapabilitas Sigma dapat dilakukan


dengan menyesuaikan dengan tabel konversi Six Sigma. Untuk nilai DPMO 3.497
ini, kapabilitas Sigmanya adalah 4,20. Angka ini didapat dari hasil perhitungan
sebagai berikut:
Sigma = normsinv ((1.000.000 – DPMO)/1.000.000)+1,5
Sigma = normsinv ((1.000.000 – 3.497)/1.000.000)+1,5
= 4,20
Pengukuran Sigma Quality Level bertujuan untuk mengetahui
perbandingan kondisi proses produksi perusahaan dengan standar proses terbaik
terbaik (world class) dan juga sebagai data terukur untuk menetapkan target
perbaikan. Perbandingan ini sebagai dasar melakukan analisa perbaikan untuk
meningkatkan Sigma Quality Level Perusahaan. Berdasarkan dapat diketahui
bahwa kemampuan proses Kiwi Paste dengan defect kemasan bocor yang dicapai
berdasarkan sigma quality level adalah menempati kualitas perusahaan dengan
level good company average.
Secara umum kinerja perusahaan sudah baik, akan tetapi perlu langkah-
langkah perbaikan untuk mendapatkan posisi yang lebih baik lagi. Dengan
melihat kemampuan perusahaan tersebut yang berada pada level good company
average, maka target perbaikan yang akan dicapai adalah mengurangi tingkat
cacat (jumlah market claim) sebesar 99,88 % atau meningkatkan sigma quality
level menjadi 6 σ.
3. Analyze
Analisa faktor-faktor yang menjadi akar penyebab masalah Finish Good
bocor pada item Kiwi Pasta dapat menggunakan fishbone diagram. Pembuatan
fishbone diagram dilakukan dengan memasukkan semua faktor yang mungkin
menjadi penyebab masalah dengan cara brainstorming dan diskusi. Hasil
brainstorming adalah seperti yang tampak pada gambar 2.
Faktor penyebab dalam fishbone diagram secara umum digolongkan atas
faktor manusia (man), metode (method), mesin (machine), dan bahan baku
(material). Dalam analisa diagram fishbone, faktor manusia sangat mempengaruhi
terjadinya defect kemasan bocor pada saat proses assemble dengan menggunakan
mesin auto capper. Mesin auto capper disini adalah jenis mesin peneumatic yang
memanfaatkan tenaga angin sebagai motor mesin, dalam hal ini operator selalu
melakukan adjustment angin dengan melihat dari hasil aktual proses assemble
yang dihasilkan (Gambar 1). Pengetahuan setiap operator berbeda-beda sesuai
dengan pengalaman masing-masing. Hal inilah yang menghasilkan proses
assemble tidak sempurna.

Gambar 1 Mesin Auto Carper Gambar 2 Alat Adjust Angin Auto Carper

4. Improve
Pada tahapan improve, yang dilakukan adalah melakukan usulan
perbaikan berdasarkan diagram fishbone yang telah diperoleh. Implementasi yang
dilakukan pada mesin adalah dengan melakukan pemasangan alat ukur tekanan
angin di unit mesin auto capper. Alat ukur ini digunakan untuk mengetahui berapa
kondisi aktual angin, tekanan bar yang dipakai pada kerja mesin auto capper
tersebut.
Setelah dilakukan instalasi alat set bar auto capper lalu dilakukan proses validasi
dari jumlah bar yang diperlukan untuk mesin auto capper. Proses yang dilakukan
adalah:

a. Dilakukan beberapa sample variasi dari jumlah tekanan bar yaitu : 2.2 bar, 3
bar, 4 bar, 5 bar , 6 bar.

b. Lalu dilakukan aging didalam oven pada temperature 380C selama 16 jam

c. Dilihat dari jumlah finish good yang bocor


Berdasarkan data validasi yang dilakukan oleh Tim PCD dan Quality
didapatkan hasil, pada percobaan tekanan bar 2,2 diperoleh hasil 3 dari 30 sample
finish good bocor atau sebanyak 10 % dari sampel bocor. Pada percobaan tekanan
bar 3 diperoleh hasil 1 dari 30 sampel finish good bocor atau sebanyak 3 % dari
sampel bocor. Pada percobaan tekanan bar 4 diperoleh hasil 2 dari 30 sampel
finish good bocor atau sebanyak 7 % dari sample bocor. Pada percobaan tekanan
bar 5 diperoleh hasil tidak ditemukan finish good bocor atau sebanyak 0 % dari
sample bocor. Pada percobaan tekanan bar 6 diperoleh hasil 8 dari 30 sampel
finish good bocor atau sebanyak 27 % dari sampel bocor
Tabel Validasi Tekanan Mesin Auto Carper
Rollpress Rollpress
No Tidak No Tidak
Pressure Bocor Pressure Bocor
Sample Bocor Sample Bocor
(Bar) (Bar)
2,2 Bar 1 1 3 Bar 1 1
2 1 2 1
3 1 3 1
4 1 4 1
5 1 5 1
6 1 6 1
7 1 7 1
8 1 8 1
9 1 9 1
10 1 10 1
11 1 11 1
12 1 12 1
13 1 13 1
14 1 14 1
15 1 15 1
16 1 16 1
17 1 17 1
18 1 18 1
19 1 19 1
20 1 20 1
21 1 21 1
22 1 22 1
23 1 23 1
24 1 24 1
25 1 25 1
26 1 26 1
27 1 27 1
28 1 28 1
29 1 29 1
30 1 30 1
Total 3 27 Total 1 29
% 10% 90% % 3% 97%

Jika dilihat pada gambar bagian 1 terlihat bagian pasta yang mencair
keluar dari area tutup dan body kemasan pasta,hal tersebut yang terjadi pada
tekanan bar : 2.2 bar, 3 bar, 4 bar, dan 6 bar. Dan pada gambar bagian 2 terlihat
bagian pasta yang mencair tidak keluar dari area tutup dan body kemasan pasta
hal tersebut yang terjadi pada tekanan 5 bar. Berdasarkan hasil validasi di atas
jumlah bar yang dipakai adalah pada tekanan 5 bar dikarenakan berasarkan data
didapatkan hasil 0 % bocor.
Implementasi perbaikan yang dilakukan pada faktor metode adalah
dengan thermometer dan memasang forr reford temperature pada area dry
produksi dan area warehouse. Hal ini bertujuan agar bisa diketahui secara detail
data kuantitatif dari temperature area tersebut. mplementasi perbaikan yang
dilakukan pada faktor environment adalah dengan mencari penyebab yaitu suhu
temperatur area ruang penyimpangan di atas standar, dikarenakan kondisi
overload kapasitas produksi, sehingga produk disimpan di lokasi yang bukan
seharusnya. Implementasi yang dilakukan adalah dengan melakukan order PO
costumer dengan menyesuaikan dari kapasitas produksi.
5. Control
Pada tahap ini dilakukan pengukuran dan pengendalian terhadap kegiatan
usulan perbaikan dan implementasi yang telah dilakukan pada line Kiwi Pasta PT.
LF Beauty Manufacturing Indoneia. Pada tahap control ini akan diketahui apakah
tindakan perbaikan yang telah dilakukan dapat memberikan peningkatan kualitas
pada produk atau tidak. Pada tahap control ini yang dibaca adalah defect tersebut
tidak akan timbul lagi dengan complaint yang sama dikemudian hari. Pada
akhirnya dapat menghilangkan defect tersebut.
Setelah dilakukan perbaikan selama 6 bulan, diperoleh peningkatan nilai
sigma dari 4,200 menjadi 5,280, berdasarkan keluhan pelanggan PT JHHP pada
bulan Juli 2016 . Pengukuran Sigma Quality Level digunakan sebagai
pembanding (benchmark) terhadap proses terbaik dan juga sebagai data terukur
untuk menetapkan target perbaikan selanjutnya. Dengan adanya ukuran / metrik
yang telah diketahui, maka kita akan dapat melihat besarnya progress yang
dicapai setelah dilakukan improvement dan hasilnya apakah telah sesuai dengan
target atau tidak.

Sumber: Nelfiyanti Dkk. 2018. Implementasi Six Sigma untuk Perbaikan Kualitas
Produk Kiwi Paste Berdasarkan Keluhan Pelanggan (Studi Kasus Di PT LF
Beauty Manufacturing Indonesia). Jurnal Sistem dan Manajemen Industri Vol 2
No 1 Juli 2018, 41-50. Program Studi Teknik Industri, Fakultas Teknik,
Universitas muhammadiyah Jakarta, Jl. Cempaka Putih Tengah III No.24,
RT.11/RW.5, Jakarta Pusat, Jakarta 10510 Indonesia.
Contoh Penggunaan Six Sigma pada perusahaan jasa pada Puskesmas X di
Kota Malang
Puskesmas X adalah sebuah puskesmas yang mudah dijangkau oleh
masyarakat, secara keseluruhan puskesmas X melayani daerah seluas 41,96 km²
yang terdiri 10 desa, 36 dusun, 78 RW (RukunWarga) dan 336 RT
(RukunTetangga). Dengan jumlah penduduk sebanyak 58.717 jiwa dengan
komposisi 29.699 (50,58%) berjenis kelamin wanita dan 29.018 (49,42%) berjenis
kelamin laki-laki. Karena jumlah penduduk yang begitu banyak maka kepadatan
penduduk di kecamatan tempat puskesmas X berada adalah 1.394 jiwa/km2.
Puskesmas X membawahi 2 pustu (puskesmas pembantu), 8 ponkesdes (pondok
kesehatan desa) dan 61 posyandu (pos pelayanan terpadu), terdapat 29 praktek
dokter, 10 praktek bidan dan 8 apotek.
Analisis hasil penelitian menggunakan metode six sigma yang terdiri dari
lima tahap yaitu define, measure, analyze, improve dan control pada Puskesmas X
sebagai berikut :
1. Define
Penyebab layanan Puskesmas X cacat dapat didefiniskan sebagai berikut :
a. Jenis obat yang tersedia di Puskesmas X tidak lengkap
b. Puskesmas X tidak menyediakan layanan sesuai yang dijanjikan
c. Puskesmas X tidak selalu siap membantu pasien
d. Pegawai Puskesmas X tidak mempunyai pengetahuan yang memadai dalam
menjawab pertanyaan pasien
e. Puskesmas X tidak menempatkan kepentingan pasien sebagai prioritas utama.
Rencana tindakan yang harus dilakukan berdasarkan hasil observasi dan analisis
penelitian adalah :

a. Melakukan inventarisasi obat berdasarkan data penyakit pasien dalam kurun


waktu tiga tahun terakhir dan mengajukan persediaan menyeluruh jenis obat
yang dibutuhkan

b. Meningkatkan kemampuan dan kapabilitas tenaga medis dalam melayani


pasien
c. Meningkatkan kemampuan dan pengetahuan tenaga medis dalam pertolongan
cepat dan tepat

d. Memperbaiki System Operational Procedure (SOP) yang harus ditinjau setiap


setahun sekali sebagai evaluasi tingkat layanan Puskesmas X

e. Mengaplikasikan teknologi informasi yang memadai guna pelaksanaan


administrasi yang baik dan pencatatan data pasien yang update.

f. Memberi pelatihan pelayanan prima kepada tenaga administrasi serrta


pelatihan kepribadian agar melayani pasien dengan penuh kesopanan, sabar
dan profesional

g. Menekankan visi dan misi Puskesmas X setiap pertemuan antara pimpinan


Puskesmas X dengan karyawan Puskesmas agar seluruh jajaran tenaga medis
dan administrasi selalu menempatkan kepentingan pasien sebagai prioritas
utama.
2. Measure
Dalam measure dilakukan check sheet untk mempermudah area
permasalahan berdasarkan frekuensi layanan cacat untuk dilakukan perbaikan.
Dari hasil perhitungan hasil kuesioner pada Bulan Desember 2016 diperoleh peta
kendali pada gambar berikut ini :

Grafik Peta Kendali Bulan Desember 2016

Tahap pengukuran Six Sigma dari hasil layanan Puskesmas X dengan menghitung
DPU dan DPMO serta mengkonversikan hasil perhitungan DPMO pada Tabel Six
Sigma berikut.

JUMLAH LAYANAN NILAI


TANGGAL DPU DPMO
LAYANAN CACAT SIGMA
1 18 11 0,6111111 61111,11 3.16
2 18 11 0,6111111 61111,11 3.16
3 18 10 0,5555556 55555,56 3.13
4 18 11 0,6111111 61111,11 3.16
5 18 11 0,6111111 61111,11 3.16
6 15 12 0,8 80000 2.96
7 18 13 0,7222222 72222,22 2.95
8 18 10 0,5555556 55555,56 3.13
9 16 9 0,5625 56250 3.14
10 18 11 0,6111111 61111,11 3.16
11 18 8 0,4444444 44444,44 3.38
12 18 10 0,5555556 55555,56 3.13
13 17 12 0,7058824 70588,24 2.93
14 18 11 0,6111111 61111,11 3.16
15 18 12 0,6666667 66666,67 3.06
16 18 13 0,7222222 72222,22 2.95
17 18 12 0,6666667 66666,67 3.06
18 18 11 0,6111111 61111,11 3.16
19 18 11 0,6111111 61111,11 3.16
20 15 10 0,6666667 66666,67 3.06
21 18 9 0,5 50000 3.22
22 18 9 0,5 50000 3.22
23 18 8 0,4444444 44444,44 3.38
24 18 11 0,6111111 61111,11 3.16
25 16 11 0,6875 68750 3.08
26 18 7 0,3888889 38888,89 3.32
27 18 11 0,6111111 61111,11 3.16
28 16 12 0,75 75000 2.94
29 18 12 0,6666667 66666,67 3.06
30 18 11 0,6111111 61111,11 3.16

3. Analyze
Analisa hasil pengamatan dan perhitungan maka didapatkan 5 layanan
cacat yaitu :
a. Jenis obat yang tersedia di Puskesmas X tidak lengkap
b. Puskesmas X tidak menyediakan layanan sesuai yang dijanjikan
c. Puskesmas X tidak selalu siap membantu pasien
d. Pegawai Puskesmas X tidak mempunyai pengetahuan yang memadai dalam
menjawab pertanyaan pasien
e. Puskesmas X tidak menempatkan kepentingan pasien sebagai prioritas utama
Penyebab paling utama adalah bahwa pegawai Puskesmas X tidak
mempunyai pengetahuan untk menjawab pertanyaan pasien dengan persentase
sebesar 62,8 %. Jadi perbaikan difokuskan pada kelima penyebab layanan cacat,
yang terjadi pada Bulan Desember 2016.

4. Improve
Setelah mengetahui penyebab layanan cacat di Puskesmas X maka
disusun rekomendasi usulan tindakan perbaikan secara umum dalam upaya
menekan tingkat kerusakan yaitu :

a. Melakukan inventarisasi obat berdasarkan data penyakit pasien dalam kurun


waktu tiga tahun terakhir dan mengajukan persediaan menyeluruh jenis obat
yang dibutuhkan

b. Meningkatkan kemampuan dan kapabilitas tenaga medis dalam melayani


pasien

c. Meningkatkan kemampuan dan pengetahuan tenaga medis dalam pertolongan


cepat dan tepat

d. Memperbaiki System Operational Procedure (SOP) yang harus ditinjau setiap


setahun sekali sebagai evaluasi tingkat layanan Puskesmas X.

e. Mengaplikasikan teknologi informasi yang memadai guna pelaksanaan


administrasi yang baik dan pencatatan data pasien yang update.

f. Memberi pelatihan pelayanan prima kepada tenaga administrasi serrta


pelatihan kepribadian agar melayani pasien dengan penuh kesopanan, sabar
dan profesional.

g. Menekankan visi dan misi Puskesmas X setiap pertemuan antara pimpinan


Puskesmas X dengan karyawan Puskesmas agar seluruh jajaran tenaga medis
dan administrasi selalu menempatkan kepentingan pasien sebagai prioritas
utama.
5. Control
Merupakan tahapan akhir six sigma yang meliputi :

a. Melakukan pengawasan pengajuan dan pengadaan serta inventarisasi bahan


obat medis agar sesuai kebutuhan
b. Selalu menekankan visi misi Puskesmas X ke seluruh jajaran manajemen dan
tenaga pendukung untuk mewujudkan tujuan Puskesmas X

c. Pelatihan dan perbaikan dikaji setiap dua tahun sekali demi upaya
improvement yang menuju keberhasilan peningkatan pelayanan Puskesmas X

d. Total layanan cacat dalam periode satu bulan selalu dievaluasi dalam Rapat
Koordinasi Manajemen
Berdasarkan hasil pengolahan data menunjukkan bahwa perbaikan
pengetahuan dan skill tenaga administrasi serta tenaga medis sangat diperlukan
menjadi profesional dan diterapkan dalam tim manajemen Puskesmas X untuk
menunjang peningkatan pelayanan Puskesmas X. Selain itu perlunya pengawasan
melekat bagi pimpinan Puskesmas X terhadap layanan kepada pasien khususnya
dalam menginformasikan hal-hal yang diperlukan pasien dalam rangka
penyembuhan penyakitnya.

Sumber: Mahendaringratry, Ayunda Dkk. 2017. Implementasi DMAIC Six Sigma


Dalam Meningkatkan Layanan Puskesmas X di Kota Malang. Volume 3. No. 1
November 2017. Program Studi Teknik Elektro, Universitas Gajayana, Malang.

Anda mungkin juga menyukai