Anda di halaman 1dari 2

Soni Farid Maulana

IKAN BAKAR

Kau nafsu benar melihat jasadku dibakar, sehabis kau bilas berulang-ulang dengan
bumbu sedap kecap manis. Aroma gurih dagingku membumbung ke luas langit
biru, menyebar ke dalam hutan hingga si belang mengaum, sama laparnya dengan
dirimu. Kau tampak tak sabar ingin menyantapku. Sebelumnya, kau sucikan
jasadku dengan air jeruk nipis. Kau rendam berulang-ulang. “Demi nikmat yang
kelak aku santap!” demikian kau bilang, dan kau lupa mengucap bismillah.

Ya. Bahkan kau lupa dengan sakit gula yang kau derita. Bukankah maut sudah
mengincar nyawamu sejak dini hari? Kau membisu, dan aku kembali bertanya
kepadamu, apa dosaku, hingga jasadku dibelah dua, dan jeroanku kau buang begitu
saja ke dalam tong sampah, padahal Tuhan menciptanya dengan ilmu yang tak
terjangkau oleh otakmu? Nafsumu membuat lidahmu kian greng ingin menjilat
jasadku yang pulen, yang kau bakar dengan selera orang barbar.

Sungguh pertanyaanku hanya didengar oleh riak air kolam dan daun belimbing
yang membusuk di dasar lumpur. Hanya keheningan yang mengerti dukaku, juga
kilau mata pisau. Dan kau kini sungguh tidak sabar. Di meja makan kau siapkan
piring, nasi, sendok, dan garpu. Tak lupa segelas air bening dan tujuh macam obat
yang kau beli dari apotek terdekat. “Matang sudah ikan bakarku,” kau bilang
sambil menghardik si meong yang menatap wajahmu dengan penuh harap.

Kau tak peduli dengan semua itu, bahkan tak peduli dengan maut yang mengincar
nyawamu dalam darahmu yang kian meninggi kadar gulanya. Kau sungguh bebal.
“Hhmmm, sedap!” kau bilang, begitu lahap menyantap jasadku. Cahaya matahari
ditelan kabut pagi. Daging jasadku kau telan habis tanpa sisa. Tulang-belulangku
kau buang ke dalam tong sampah, diincar si meong. Sungguh, aku lebih bahagia
disantap si meong, yang tak lupa mengucap bismillah sebelum santap malam.

2010

Anda mungkin juga menyukai