Anda di halaman 1dari 11

ISU KONFLIK KOREA UTARA DAN KOREA SELATAN

ABSTRAK

Perang saudara yang melanda semenanjung Korea sejak 65 tahun yang lalu mengantarkan
kedua negara Korea pada kondisi yang tidak mudah di era selanjutnya. Sejak itu, Korea
terpisah menjadi dua secara resmi dimana masing-masing menganggap bahwa dirinyalah
pemerintah sah Korea (Ahmad 2020). Saling mengklaim wilayah kekuasaan di semenanjung
oleh kedua pemerintahan Korea, sehingga menyebabkan pecahnya perang Korea yang
diawali dengan Militer Korea Utara Korean’s People Army (KPA) melintasi zona perbatasan
38th parallel untuk menginvansi Korea Selatan pada 25 Juli 1950. Korea Utara memutuskan
untuk menutup semua komunikasi dengan Korea Selatan setelah para pemimpin mereka
meminta para pembelot untuk berhenti menyebarkan informasi propaganda di perbatasan.
Korut mengecam Korea Selatan dan mengancam akan menutup kantor perhubungan internal
antar-Korea dan semua fasilitas saluran telepon setelah beberapa selebaran propaganda
dilaporkan masuk ke perbatasan Korea Utara. Jalinan hubungan Korea Selatan dan Korea
Utara perlahan pulih. Membuka kembali jalur komunikasi secara langsung menjadi awal dari
upaya memperbaiki hubungan kedua negara bersaudara itu. Hubungan keduanya sempat tak
akur dan memburuk tahun lalu. Namun, Presiden Korsel Moon Jae-in dan Pemimpin Korut
Kim Jong Un terus mengupayakan berbaikan dengan saling berkirim surat sejak April
lalu.Penelitian ini menggunakan pendekatan metode deksriptif analisis, yaitu suatu metode
dengan mengungkapkan masalah yang ada, mengolah data, menganalisis, meneliti,
menginterprestasikan serta membuat kesimpulan.

Kata kunci : Konflik, Korea utara, Korea Selatan, Perang

PENDAHULUAN
Perang saudara yang melanda semenanjung Korea sejak 65 tahun yang lalu mengantarkan
kedua negara Korea pada kondisi yang tidak mudah di era selanjutnya. Kedua Negara
tersebut sebelumnya pernah berada dalam satu kesatuan dimasa Pemerintahan Dinasti
Choson pada tahun 1392-1910. Posisi geografi Korea yang stratrategis, dihempit oleh tiga
Negara besar yaitu Cina, Jepang, Uni Soviet dan daerah penguhubung Asia Timur Laut
dengan dunia luar. Membuat Korea berkali-kali mendapat serangan, terutama dari Japang
yang sebagai Negara dengan kekuatan terbesar di Asia yang selalu berekpansi memperluas
daerah jajahannya termasuk ke Korea yang sebagai daerah terdekat. Saat perang Pasifik,
Amerika Serikat menjatuhkan bom atom di Nagasaki dan Hirosima pada tanggal 6 dan 9
Agustus 1945. Perjalanan panjang Jepang untuk menguasai Asia terhenti pada 15 Agustus
1945 saat menyerahkan diri atas kekalahannya terhadap Amerika Serikat dan Sekutunya pada
Perang Dunia II. Seluruh Negara jajahan Jepang mendeklarasikan kemerdekaannya, termasuk
Korea (Djelantik, 2015). Setelah merdeka atas kejatuhan Jepang saat perang Dunia II,
membuat Amerika Serikat dan Uni Soviet merebut wilayah yang pernah di kuasai oleh
Jepang. Perebutan Korea dan penyebaran ideologi, Presiden Amerika Franklin D. Roosevelt
memutuskan bahwa Korea akan di kelola secara bersama-sama melalui perwakilan
multilateral (multilateral trusteeship) antara Uni Soviet, Amerika Serikat dan Inggris.
Amerika Serikat melihat situasi perwalian multilateral ini sebagai cara pintas untuk
membendung Uni Soviet dari pengaruhnya di semenanjung Korea. Berhubung perundingan
antara Amerika Serikat dan Uni Soviet tidak membawa hasil hingga Mei 1947, Amerika
Serikat menyerahkan masalah Korea ke Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Majelis Umum
PBB mengakui hak Korea untuk mendapatkan kemerdekaannya serta membentuk komisi
khusus untuk mengawasi pemilihan umum. Pemilihan umum dilaksanakan pada tanggal 10
Mei 1948 dan Sygman Rhee terpilih sebagai Presiden dan membentuk pemerintahan yang
mewakili seluruh Korea. Pada bulan Oktober 1948, Majelis Umum PBB mengakui berdirinya
Republic of Korea, namun Uni Soviet memveto untuk mencegah bergabungnya Korea
dengan AS. Sehingga mengadakan pemilihan umum sendiri di Korea Utara. Sejak itu, Korea
terpisah menjadi dua secara resmi dimana masing-masing menganggap bahwa dirinyalah
pemerintah sah Korea (Ahmad 2020). Saling mengklaim wilayah kekuasaan di semenanjung
oleh kedua pemerintahan Korea, sehingga menyebabkan pecahnya perang Korea yang
diawali dengan Militer Korea Utara Korean’s People Army (KPA) melintasi zona perbatasan
38th parallel untuk menginvansi Korea Selatan pada 25 Juli 1950. Situasi perang yang tidak
memungkinkan, mendorong diadakannya perundingan dan gencatan senjata pada 27 Juli
1953, Amerika Serikat, RRC dan Korea Utara menandatangani persetujuan gencatan senjata.
Presiden Korea Selatan saat itu, Seungman Rhee, menolak menandatanganinya namun
berjanji menghormati kesepakatan gencatan senjata tersebut. Sehingga situasi perang tersebut
belum berakhir sampai dengan saat ini. (Setiawati dkk., 2020).
Media Masa Kompas melansir, Korea Utara memutuskan untuk menutup semua
komunikasi dengan Korea Selatan setelah para pemimpin mereka meminta para pembelot
untuk berhenti menyebarkan informasi propaganda di perbatasan. Korut mengecam Korea
Selatan dan mengancam akan menutup kantor perhubungan internal antar-Korea dan semua
fasilitas saluran telepon setelah beberapa selebaran propaganda dilaporkan masuk ke
perbatasan Korea Utara. Para pejabat terkemuka di Korea Utara termasuk adik Kim Jon Un,
Kim Yo Jong, mengatakan, "Upaya kerja terhadap Korea Selatan akan berubah menjadi
perang melawan musuh," demikian sebagaimana dilansir kantor berita KCNA. Dilansir Daily
Mirror, Juru bicara Kementerian Pertahanan Korea Selatan melaporkan bahwa para pejabat
Korea Utara tidak menjawab panggilan rutin harian dari kantor penghubung ataupun
panggilan dari militer. Panggilan rutin yang dilakukan Korea Selatan dan Korea Utara
seharusnya diatur sebagai komunikasi dasar, sebagaimana dikatakan oleh Kementerian
Unifikasi dari Korea Selatan. Namun begitu, pihak Kementerian Unifikasi Korsel
mengatakan, mereka akan terus mengikuti prinsip-prinsip yang telah disepakati dan berusaha
untuk mewujudkan perdamaian dan kemakmuran di Semenanjung Korea. Keputusan untuk
tidak memutus komunikasi dari pihak Korsel dalam hubungannya dengan Korut merupakan
upaya untuk mencoba dan membujuk Korea Utara agar negara tertutup itu mau menyerah
atas program nuklirnya, di sisi lain, Korut juga telah mengalami sanksi internasional akan
program tersebut. Korea Utara dan Selatan sebenarnya masih dalam kondisi "perang" karena
akhir dari perang 1950-1953 tidak ditutup dengan perdamaian, tetapi dengan gencatan
senjata. Pakar analis mengatakan, tindakan Korut lebih dari karena masalah para pembelot
karena Korea Utara sedang dalam tekanan ekonomi di tengah krisis wabah corona dan
mendapatkan sanksi internasional.
Melansir Kompas ID, Jalinan hubungan Korea Selatan dan Korea Utara perlahan pulih.
Membuka kembali jalur komunikasi secara langsung menjadi awal dari upaya memperbaiki
hubungan kedua negara bersaudara itu. Hubungan keduanya sempat tak akur dan memburuk
tahun lalu. Namun, Presiden Korsel Moon Jae-in dan Pemimpin Korut Kim Jong Un terus
mengupayakan berbaikan dengan saling berkirim surat sejak April lalu.

METODOLOGI
Penelitian ini menggunakan pendekatan metode deksriptif analisis, yaitu suatu metode
dengan mengungkapkan masalah yang ada, mengolah data, menganalisis, meneliti,
menginterprestasikan serta membuat kesimpulan. Desain penelitian ini melakukan telaah di
sejumlah literatur (library research) yaitu metode berbasis kepustakaan dengan pengumpulan
data berdasarkan buku-buku yang berkaitan dengan pokok pembahasan. Metode berbasis
internet, dimanfaatkan untuk mengakses materi ilmiah tradisional (seperti artikel, jurnal
ilmiah dan buku), juga dapat dioptimalkan untuk mengumpulkan data atau informasi yang
berkaitan dengan topik penelitian.

TEORI

Konsep Konflik
Kata konflik mengandung banyak pengertian. Ada pengertian yang negatif, konflik
dikaitkan dengan: sifat-sifat kekerasan dan penghancuran. Dalam pengertian positif, konflik
dihubungkan dengan peristiwa: hal-hal baru, pertumbuhan, perkembangan, dan perubahan.
Sedangkan dalam pengertian yang netral, konflik diartikan sebagai: akibat biasa dari
keanekaragaman individu manusia dengan sifatsifat yang berbeda, dan tujuan hidup yang
tidak sama. (Kartini Kartono, 1998 ) Sedangkan menurut Soerjono Soekanto, Konflik adalah
pertentangan atau pertikaian suatu proses yang dilakukan orang atau kelompok manusia guna
memenuhi tujuannya dengan jalan menentang pihak lawan yang disertai ancaman dan
kekerasan. Oleh karena itu konflik diidentikkan dengan tindakan kekerasan. (Soerjono
Soekanto, 1992)

Konsep Konflik Internasional


Jika di tinjau dari penjelasan teori konflik di atas, maka konflik internasional sebagai
sebuah pertentangan yang melibatkan beberapa kelompok negara (blok) karena perbedaan
kepentingan. Konflik internasional bermula dari konflik antar dua negara karena masalah
politik atau ekonomi. Konfik berkembang menjadi konflik internasional karnea masing-
masing pihak akan mencari sekutu yang memiliki kesamaan visi atau tujuan terhadap
masalah yang dipertentangkan. Dengan demikian, terjadilah konflik internasional. Adapun
tipologi konflik internasional, antara lain:
1) Krisis Internasional (international crisis), krisis yang dimaksud disini seperti adanya hal-
hal prinsipil aktor internasional yang sedang terancam, waktu yang sempit sebelum
sebuah aksi dieksekusi, sebuah situasi dimana sebagian besar pihak tidak dalam posisi
antisipasi, dan sebuah situasi dimana konflik yang diperkirakan terjadi ternyata tidak
terwujud.
2) Konflik berintensitas rendah (Low-Intensity Conflict), krisis bisa dengan cepat berubah
menjadi konflik skala rendah. Konflik skala rendah diukur pada frekuensi atau tingkat
kekerasan yang ditimbulkannya.
3) Terorisme (Terrorism), terorisme dalam tataran internasional sangat mudah dijumpai
karena beberapa alasan. Diantaranya adalah penyebaran senjata yang memungkinkan
seseorang untuk mendapatkannya. Kedua, adalah semakin interdependensinya negara-
negara dalam berbagai aspek yang menghubungkan seseorang dengan lainnya. Teroris
menggunakan situasi ini untuk melakukan aksinya dengan harapan akan memberi
tekanan bagi para penguasa untuk memenuhi tujuan-tujuannya. Ketiga, kegagalan
consensus tentang masa depan komunitas internasional memungkinkan bertumbuhnya
paham terorisme. Keempat, penyebab utama adalah revolusi komunikasi. Dengan
kemajuan komunikasi yang mengglobal, dampak dari aksi terorisme adalah juga
mengglobal.
4) Perang Sipil dan Revolusi (Civil War and Revolution). Secara umum, Perang Sipil
adalah konflik didalam sebuah negara antar dua atau kelompok yang berperang karena
ketidaksepakatan atas masa depan negara. Biasanya, kelompok yang satu diwakili oleh
aktor non-negara dan yang lain merupakan aktor negara. Perang Sipil sering memiliki
dimensi internasional karena tidak jarang mendapat dukungan dari luar atau karena aktor
eksternal berkepentingan dengan hasil perang tersebut. Peraang Sipil tidak jarang pula
mengarah kepada sebuah Revolusi.
5) Perang Internasional (International War), merupakan konflik antara negaranegara yang
dijalankan oleh angkatan bersenjata mereka. (Berk, 2007)

Konsep Penyelesaian Konflik Internasional


Penyelesaian konflik Korea, yang digunakan dalam tulisan ini adalah landasan yang
tercantum dalam buku Hukum dan Hubungan Internasional yang di tuliskan oleh Jawahir
Tontowi (2016) yaitu penyelesaian konflik secara diplomasi terkait penyelesaian sengketa
internasional yang tercantum dalam Piagam PBB, Bab VI, pasal 33, yaitu :
a. Negosiasi (perundingan)
b. Penyelidikan (Enquiry)
c. Mediasi (Mediation)
d. Konsiliasi (Consiliation)
e. Arbitrasi (arbitration)
f. Peradilan Internasional (The International Court of Justice)

PEMBAHASAN

Latarbelakang Konflik Korea Utara dan Korea Selatan


Korea Selatan dan Korea Utara sebenarnya bersaudara. Tetapi, akibat Perang Dingin satu
bangsa ini terpaksa dipisah, menjadi dua negarai. Korea Utara berideologi komunis yang
diadopsi dari Uni Soviet serta Cina, dan Korea Selatan mengikuti ideologi liberalisme yang
dipengaruhi oleh Amerika Serikat. Kemudian selama lebih dari 70 tahun bahkan sampai
sekarang, dua negara ini masih didalam situasi perang secara teknis dengan status gencatan
senjata, dan pemecahan masalah ini sudah menjadi isu internasional. Dengan berakhirnya
Perang Dunia II pada 15 Agustus 1945, Semenanjung Korea dibebaskan dari kekuasaan
kolonial imperialisme Jepang, namun ditempatkan di bawah pemerintahan kepercayan
Amerika Serikat yang berideologi liberal dan Uni Soviet yang berideologi komunis.
Demikianlah kekuatan eksternal masuk ke masing-masing bagian Selatan dan Utara di
Semenanjung Korea(Pemisahan Wilayah, tahun 1945). Setelah itu, pertikaian antara Amerika
Serikat dan Uni Soviet tentang perwalian tidak dapat diselesaikan, maka kedua Korea
mendirikan pemerintahan masing-masing yakni Republik Korea pada 15 Agustus 1948 dan
Republik Rakyat Demokratik Korea pada 9 September 1948 (Pemisahan secara politik, tahun
1948) (Kim E, 2019).
Perang Korea yang dimulai pada 25 Juni 1950 sampai dengan 27 Juli 1953, ketika konflik
antara rezim militer Korea Utara dengan Korea Selatan mencuat, membuat semenanjung
Korea menjadi medan pertempuran hingga tiga tahun lamanya. Perseteruan ini juga dimotori
oleh dua kekuatan dunia yang pada saat itu selalu berada di belakang Negara-negara yang
sedang bermasalah, yaitu Amerika Serikat dan Uni Soviet, yang tentu saja bertolak belakang
secara ideologi. Pertempuran dua negara saudara ini hingga kini tidak pernah terselesaikan.
Namun dinamikanya selalu menjadi perhatian dunia, khususnya kawasan Asia Timur.1
Upaya-upaya dalam meredam permusuhan dua Korea ini selalu tak pernah berhasil untuk
diterapkan. Sebelumnya sudah sejak lama kedua negara serumpun di sana terlibat konflik
terbuka. Kedua negara tak hanya dipisahkan tembok, tetapi juga tirai tebal ideologi. Utara
menganut garis komunis, sementara Selatan menerapkan demokrasi. Walau demikian,
sejatinya di antara rakyat di kedua negara tak ada dendam. Mereka terpisah karena politik.
Untuk itu, sejak sepuluh tahun terakhir, kedua belah pihak berupaya membuka dialog,
walaupun hasilnya masih minim. Sebelum terjadinya pertandingan ini , usahausaha menuju
perdamaian antara kedua negara telah banyak dilakukan, seperti usaha penyelenggaraan
Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Inter-Korea tahun 2000 dan pembentukan Six Party Talk
tahun 2003. Konferensi Tingkat Tinggi Inter- Korea adalah wadah pertemuan politik pertama
antara pemimpin kedua kepala negara sejak perang Korea bergulir pada tahun 1950-1953.
Korea Utara diwakili Kim Jong-il dan Korea Selatan diwakili oleh Kim Dae-jung. Dalam
pertemuan yang diselenggarakan pada tanggal 13 – 15 Juni 2000 ini, usaha
mencapaiperdamaian menjadi isu utama pembicaraan. Sedangkan Six Party Talks,
merupakan suatu wadah untuk menemukan solusi perdamaian dari konflik yang terjadi di
semenanjung Korea. Isu utama yang diangkat dari pembicaraan enam negara ini (Amerika
Serikat, Korea Utara, Korea Selatan, China, Jepang dan Rusia) adalah mengenai program
senjata nuklir Korea Utara (Atmojo dkk., 2015).
Program ini memang dianggap sebagai penyebab keresahan negara-negara tetangga
Korea Utara. Ada dua alasan mengapa Korea Utara berusaha mengembangkan program
nuklirnya. Pertama, pembekuan program nuklir yang bersumber pada plutonium tahun 1994
tidak membuahkan hasil timbal-balik yang diharapkan. Pyongyang menuduh AS mengingkari
Agreed Framework 1994 yang disepakati dengan menunda pengapalan 500.000 ton minyak
ke Korea Utara. AS berdalih, penundaan dilakukan karena Korea Utara terus menjalankan
program HEU (Highly-Enriched Uranium). Kedua, Korea Utara berambisi menjadi negara
nuklir. Dengan memiliki senjata nuklir, negara ini menyandang prestise, mampu survive dan
punya sarana blackmail. Tuduhan “axis of evil" makin meyakinkan Korea Utara perlunya
kemampuan bela diri. Pyongyang berpendapat, kepemilikan senjata nuklir merupakan hak
negara berdaulat “untuk mempertahankan kebebasan bangsa, keamanan negara dan
mencegah perang". Oleh karena itu, keanggotaan forum pembicaraan ini ditempati oleh
negara-negara tetangga Korea Utara, tak terkecuali sang ”Polisi Dunia”. Dari semua usaha
tersebut, pada kenyataannya proses menuju rekonsiliasi memang terus menjadi proses tarik-
ulur. Sebelum dan sesudah momen tersebut, komunikasi antar kedua negara yang lama
terlibat dalam konflik, sedikit demi sedikit mengalami kemajuan. Namun adabeberapa hal
yang pernah menjadi suatu hal positif dalam mendamaikan dua saudara ini, dan itu terjadi
dalam kegiatan yang dapat digolongkan sebagai suatu bentuk Soft Power. Kegiatan tersebut
adalah suatu Pertandingan Sepakbola, yang mungkin bagi sebagian orang hanyalah sebuah
permainan belaka. Namun bagi Korea Utara dan Korea Selatan, pertandingan yang
dilaksanakan di ibukota Korea Selatan, Seoul pada tanggal 7 September 2002 ini, dapat
dikatakan merupakan pertemuan yang menjadi milestone bagi hubungan kedua negara
(Resmi, 2018).
Karena pada saat itu, perwakilan dari ”Union for the future of Korea”6, Park Geun-hye
dan perwakilan kedua Negara yang masing-masing diwakili oleh Ri Kwang-gun yang
merupakan ketua umum federasi sepakbola Korea Utara dan Jong Mon-jun yang juga
merupakan ketua umum dari federasi sepakbola Korea Selatan mengeluarkan pernyataan
yang mencerminkan keinginan untuk bersatu dari kedua belah pihak, pernyataan tersebut
berbunyi ”Kami adalah satu, terlepas dari siapa pun yang menang” (We are one regardless
which side wins).7 Pertemuan pada pertandingan ini merupakan pertemuan yang pertama
kalinya sejak 10 tahun terakhir di atas lapangan sepakbola, dan sebelumnya pada tanggal 17
Mei 2002, Pemimpin tertinggi Korea Utara, Kim Jong-il telah berjanji akan mengirimkan tim
nasional sepakbola negaranya ke Korea Selatan untuk melakukan pertandingan persahabatan
yang diajukan oleh Korea Selatan dengan diwakili oleh Park Geunhye pemimpin ”Union for
the future of Korea” di Korea Selatan, yang juga merupakan anak perempuan dari mantan
diktator Korea Selatan, Park Chung-hee. Pada saat itu, Park Geun-hye mengatakan ”Thursday
I proposed the friendly match during my visit to Pyongyang last week, and Kim agreed”.
Keadaan di dalam maupun di luar Sangam World Cup Stadium benarbenar mencerminkan
keinginan kuat dari masing-masing pendukung, hal tersebut terlihat dari fenomena
dikumandangkannya lagu ”Arirang” yang merupakan lagu kebangsaan jazirah Korea dan
diperlihatkannya bendera-bendera Jazirah Korea yang menjadi simbol bangsa Korea, serta
fenomena warna kaos biru langit dengan berlambangkan jazirah korea di dada mereka.
Pemandangan ini tak lazim, karena biasanya pendukung Korea Selatan hadir di stadion
dengan mengenakan peralatan dan pakaian serba merah. Namun kali ini tidak, mereka benar-
benar inginmenunjukan persatuan Korea.
Penyebab lain dari meledaknya perang Korea Utara Vs Korea Selatan terdiri dari 2 versi.
Informasi versi Korut, pihak Korsel bersikeras menggelar latihan militer pada selasa sore di
wilayah sengketa sekitar puluhan kilometer dari pulau Yeonpyeong dan mengabaikan
peringatan dari Korut. Latihan militer tersebut diduga sengaja memancing suasana panas
kedua Korea, sehingga semula Korut telah mengerahkan militer untuk memukul mundur
latihan militer yang sifatnya provokasi itu. Langkah ini diambil untuk menekan para
provokator. Pihak Korut menambahkan, jika pihak Korsel berani mengganggu ke perairan
DPRK (Korea Utara) maka pihaknya akan mengambil langkah militer. Peringatan itu sudah
berulangkali disampaikan kepada pihak Korsel. Sedangkan Versi Korsel menyalahkan pihak
Korut, yang terlebih dahulu meluncurkan roket ke arah Korsel saat berlangsungnya latihan
perang sehingga memancing keadaan memanas dan terpaksa Korsel memberikan tindakan
militer balasan. Serangan artileri Korut tersebut menyebabkan 2 tentara Korsel tewas dan
beberapa sipil terluka parah. Pihak Korsel juga menambahkan bahwa serangan pelanggaran
tersebut merusak sejumlah rumah di Pulau Yeonpyeong, milik Korsel. Di sisi lain, penilaian
pengamat akan serangan Korut hanya sebagai bentuk cari perhatian terhadap public akan
kekuatan militernya, saat pergantian kekuasaan dari Kim Jong-il kepada anaknya Kim Jong-
un (Laimeheriwa dan Wicaksono, 2017).
China akhirnya menyerukan dimulainya kembali perundingan enam pihak (Six-party
talks). Upaya itu untuk mencegah agar Korea Selatan (Korsel) dan Korea Utara (Korut)
terpicu kembali untuk menggelar perang saudara secara frontal, seperti 1950-53. Menurut
stasiun televisi CNN, seruan China itu muncul setelah sejumlah negara mengkritik Beijing
yang kurang serius menanggapi buruknya ketegangan di Semenanjung Korea pasca serangan
artileri ke Pulau Yeonpyeong. Belum ada kesediaan resmi dari kedua Korea atas seruan itu.
Kalangan pejabat Amerika Serikat (AS) dan negara-negara lain menilai China sebetulnya
punya pengaruh besar untuk ikut mendamaikan kedua Korea karena punya hubungan yang
erat dengan kedua pihak. Bahkan, China merupakan sekutu terdekat Korut. Status itu tidak
dimiliki banyak negara, termasuk AS. Ajakan perundingan ini disampaikan juru bicara
pemerintah China, Wu Dawei, di Beijing, Minggu 28 November 2010. Dimulai secara
berkala sejak Agustus 2003, forum itu melibatkan Korut, Korsel, AS, Jepang, China, dan
Rusia, untuk membahas cara mengatasi konflik dan ancaman senjata nuklir di Semenanjung
Korea. Namun, dalam beberapa tahun terakhir, forum itu terhenti karena meningkatnya lagi
ketegangan antara Korut dengan AS dan Korsel. Pada 2009, Korut secara sepihak
menghentikan dialog itu setelah diganjar sanksi PBB setelah melakukan ujicoba rudal. AS
dan sekutu-sekutunya khawatir Korut gencar membuat senjata nuklir sehingga harus diberi
sanksi, termasuk perdagangan. Wu menyatakan peristiwa yang terjadi akhir-akhir ini di
Semenanjung Korea membuat masyarakat internasional, khususnya anggota six-party talks,
prihatin. Inilah alasan dasar China mengajak keenam negara; Korsel, Korut, Amerika Serikat,
Rusia dan Jepang, untuk kembali melanjutkan perundingan itu. Dari pihak China, setelah
melakukan pertimbangan yang hati-hati, mengajak melakukan pertemuan darurat di antara
para pemimpin delegasi six-party talks pada awal Desember nanti di Beijing untuk bertukar
pandangan mengenai masalah yang terjadi akhir-akhir ini. Six-party talks memiliki peranan
yang penting dalam memperkuat komunikasi di antara banyak pihak, meningkatkan
denuklirisasi di semenanjung Korea dan menjaga perdamaian dan stabilitas di semenanjung
dan Asia Tenggara. Namun, belum ada kesediaan dari Korut dan Korsel atas ajakan China
itu. Bahkan Presiden Korsel, Lee Myung-bak, mengatakan bahwa saat ini bukanlah waktu
yang tepat untuk memulai kembali perundingan tersebut. Sumber dari pemerintah Korsel
yang tidak ingin disebutkan namanya, mengatakan bahwa perundingan ini tidak akan
menyelesaikan masalah. “Six-party talk tidak akan bisa menggantikan agresi yang dilakukan
oleh Korut. Tindakan nyata perlu dilakukan oleh Korut untuk menunjukkan perubahan
kelakuan.” Sementara itu, senator Amerika Serikat dari negara bagian Arizona, John McCain,
mengatakan bahwa perundingan ini memang jalan yang baik. Namun Korut tidak akan
berhenti berulah sampai diberikan hukuman yang berat. China, ujarnya, dapat saja
menghentikan Korut, namun mereka tidak melakukannya. China tidak bertindak seperti
negara kekuatan besar dunia yang bertanggung jawab. Mereka bisa saja menurunkan
ekonomi Korut hingga sedengkul jika mereka mau. Adapun sanksi yang diberikan kepada
Korut bukan berasal dari AS tetapi dari PBB. Resolusi PBB merefleksikan konsensus dari
dunia internasional, bahwa tindakan Korut melanggar kewajibannya dan mengancaman
keamanan internasional. Ini adalah inti yang menyebabkan sanksi itu dikeluarkan. Dengan
tambahan AS juga memberikan sanksi lain untuk Korut. Kami yakin sanksi yang diberikan
kepada Korut, ditujukan agar negara itu dapat menghormati kesepakatan yang sudah
disepakati sebelumnya. Bila Korut dapat mengikuti apa yang telah disepakati dalam Six
Party Talks, Semenanjung Korea akan bersih dari nuklir dan tentunya dapat menuju ke
normalisasi hubungan kedua Korea. Hal ini dapat mendorong pencabutan sanksi juga. Semua
ini dapat dilakukan, tetapi membutuhkan waktu lama dan perubahan dari sikap Korut
(Rosyidin, 2011).

Korea Utara dan Korea Selatan Tutup Komunikasi Tahun 2020


Melansir situs resmi BBC Indonesia Juni 2020, Korea Utara menyatakan akan memutus
semua saluran komunikasi dengan Korea Selatan, termasuk telepon hotline antara pemimpin
kedua negara. Tindakan itu, menurut Korut, adalah yang pertama dari serangkaian aksi
terhadap Korsel yang disebut sebagai "musuh". Korea Utara mengatakan mereka menutup
saluran telepon langsung dengan Korea Selatan mulai hari Selasa (09/06) serta mengakhiri
komunikasi lainnya. Korea Utara "akan sepenuhnya memutus dan menutup jalur penghubung
antara pihak berwenang Korea Utara dan Selatan, yang telah dipelihara melalui kantor
penghubung bersama Utara-Selatan.
Kondisi keamanan di semenanjung Korea bakal semakin memanas lagi. Ini menyusul
langkah Korea Selatan menyelidiki keterlibatan adik Pemimpin Korea Utara Kim Jon Un,
Kim Yo Jong dalam peledakan kantor penghubung antara dua Korea yang berlokasi di
Kaesong. Kantor penghubung tersebut meledak pada Juni lalu. Sebelum terjadi peledakan,
Kim Yo Jong yang juga menjadi tangan kanan Pemimpin Korea Utara Kim Jon Un,
melontarkan ancaman tindakan militer terhadap Korea Selatan. Sebelum penghancuran,
Pyongyang melontarkan serangkaian kecaman buntut kegiatan para pembelot di perbatasan
Korsel, Korut menyesalkan sikap tetangganya itu yang dianggap membiarkan pembangkang
mengirim pesan propaganda, di mana salah satunya berisi hinaan bagi Kim.
Tensi semakin memanas setelah Korut mengancam bakal mengerahkan militer ke
perbatasan, meski pada akhirnya, mereka membatalkannya. Bangunan yang dihancurkan
Korut dibangun dan didanai oleh pemerintah Negeri "Ginseng". Kim menggunakan peledak
untuk menghancurkan bangunan misi kuasi-diplomatik Korea Selatan yang melayani
kepentingan publik," terang Lee dalam laporannya. Berdasarkan hukum Korsel, Lee
menekankan menghancurkan bangunan dengan peledak dan mengganggu kedamaian
hukumannya adalah mati, atau tujuh tahun penjara. Hukuman mati masih diterapkan oleh
Negeri "Ginseng" meski pemerintah setempat belum mengeksekusi siapa pun sejak 1997
silam. Secara teori, tentu mustahil bagi Seoul untuk menangkap Kim adik atau Pak dan
kemudian menghadapkannya ke pengadilan Selatan. Tetapi seperti dilansir Yonhap, Lee
mengatakan dia ingin memberitahukan kepada rakyat Korut "kemunafikan yang dilakukan
pemimpinnya". Pengumuman tersebut berselang sepekan setelah pengadilan Korsel
memerintahkan para petinggi Korut membayar kompensasi bagi tahanan perang yang
mendekam di negaranya. Relasi dua Korea tumbang buntut kolapsnya pertemuan Kim Jong
Un dengan Presiden AS, Donald Trump, di Hanoi, Vietnam.

Korea Utara dan Korea Selatan Membuka Komunikasi Kembali Tahun 2021
CNN Indonesia melansir, Korea Utara dan Korea Selatan resmi membuka kembali jalur
telepon untuk komunikasi lintas perbatasan mereka setelah terputus hampir 14 Bulan. Petugas
dari kedua negara sudah berkomunikasi melalui telepon pertama pada Senin pagi. Dengan
pemulihan jalur komunikasi Korsel-Korut, pemerintah mengevaluasi fondasi untuk
pemulihan hubungan inter-Korea yang sudah ada. Pemerintah berharap dapat kembali
melanjutkan dialog dan memulai diskusi praktis untuk memulihkan hubungan antar-Korea.
Kabar pemulihan jaringan telepon ini datang tak lama setelah pemimpin tertinggi Korea
Utara, Kim Jong-un, mengutarakan niatnya untuk memulihkan jalur komunikasi Korut-
Korsel yang terputus. Media propaganda Korut, KCNA, melaporkan bahwa menurut Kim,
upaya ini merupakan salah satu cara untuk mewujudkan "perdamaian abadi" di Semenanjung
Korea.
Dengan pemulihan jalur komunikasi Selatan-Utara, pemerintah mengevaluasi bahwa
landasan untuk memulihkan hubungan antar-Korea telah ada. Jalur komunikasi kedua belah
pihak telah terputus dan dipulihkan beberapa kali. Pada tahun 2020, setelah pertemuan
puncak antar-Korea yang gagal, Korea Utara meledakkan kantor penghubung Korea Utara-
Selatan yang telah dibangun untuk meningkatkan komunikasi. Pada tahun tersebut, Korea
Utara juga memutuskan semua jalur komunikasi dengan Selatan termasuk hotline kedua
pemimpin maupun saluran komunikasi militer setelah ketegangan memburuk. Sempat
dilakukan pemulihan pada jalur komunikasi di bulan Agustus, tetapi terputus lagi setelah
Seoul berpartisipasi dalam latihan militer bersama dengan Amerika Serikat. Baik Korea Utara
dan Korea Selatan saat ini dapat dikatakan masih berperang secara teknis, dengan tidak
tercapainya kesepakatan damai ketika Perang Korea berakhir pada tahun 1953.
Keputusan untuk membuka kembali saluran diplomasi ini difasilitasi serangkaian
pertukaran surat sejak April antara Presiden Korsel Moon Jae-in dan pemimpin Korut Kim
Jong Un, kedua negara memilih membuka kembali komunikasi bertepatan dengan perayaan
gencatan senjata yang mengakhiri Perang Korea pada 1953. Korut memutus semua saluran
komunikasi dengan Korsel pada Juni tahun lalu, di mana saat itu beralasan tidak perlu
melanjutkan komunikasi dengan negara yang dianggap “musuh”. Sejak saat itu, Korut
menolak mengangkat telepon ketika pejabat Korsel melakukan panggilan rutin di saluran
telepon militer dan lainnya. Beberapa hari setelah komunikasi terputus, hubungan kedua
negara mencapai titik terendah dalam beberapa tahun terakhir ketika Korut mengebom kantor
penghubung bersama antar-Korea di kota Kaesong, Korut, dekat perbatasan, di mana pejabat
dari kedua negara memiliki kantor. Seluruh bangsa Korea ingin melihat hubungan Utara-
Selatan pulih dari kemunduran dan stagnasi secepat mungkin. Hubungan kedua negara
membaik pada 2018 ketika Presiden Moon dan Kim Jong Un bertemu tiga kali, meredakan
ketegangan langka di Semenanjung Korea yang berlangsung bertahun-tahun yang dipicu oleh
uji coba nuklir dan rudal jarak jauh Korut. Tetapi hubungan segera memburuk setelah KTT
kedua Kim dengan mantan Presiden AS Donald Trump berakhir di Hanoi, Vietnam, pada
awal 2019 tanpa kesepakatan bagaimana menghentikan program senjata nuklir Korut atau
meringankan sanksi PBB pada Korut. Setelah Kim kembali ke negaranya dengan tangan
kosong, Korut menyalahkan Korsel. Pemerintah Korut memerintahkan komunikasi diputus
dan kantor penghubung di Kaesong dihancurkan.
Namun pemerintahan Presiden Moon tetap berusaha mengajak Korut kembali ke meja
perundingan. Salah satu prioritasnya adalah membuka kembali saluran komunikasi.
Korea Selatan telah lama menekankan pentingnya saluran telepon lintas batas untuk
mencegah bentrokan yang tidak diinginkan antara kedua militer. Kedua negara juga
menggunakan saluran tersebut untuk mengajukan dialog dan membahas bantuan
kemanusiaan dan sikap damai lainnya, seperti mengatur reuni keluarga yang telah lama
terpisah oleh Perang Korea. Pemerintah Moon juga membantu memberlakukan undang-
undang baru yang melarang pengiriman selebaran propaganda ke Korut. Korut sejak lama
marah soal selebaran ini, yang biasanya menggambarkan Kim sebagai diktator kejam yang
mempermainkan senjata nuklir. Korut menyebut pengiriman selebaran ini sebagai salah satu
alasan pemutusan komunikasi tahun lalu.

KESIMPULAN
Konflik Korea Utara dan Korea Selatan telah berlangsung selama 65 tahun. Denuklirisasi
menjadi pokok utama permasalahan yang hingga kini belum menemui titik terang dari
berbagai upaya untuk menciptakan perdamaian antara kedua Korea. Dalam perjalanannya
konflik yang dilatari belakangi oleh dua ideologi besar, yaitu: sosialis - komunis dan kapitalis
- demokarasi yang hingga kini telah menjelma sebagai kepentingan besar Amerika Serikat
untuk mempertahankan daerah kekuasaanya (sekutu) di wilayah Pasifik, sementara di sisi lain
Cina yang sebagai Negara sosialis – komunis, kini menjadi Negara super power setelah
Amerika Serikat melebihi kekuatan Rusia, sehingga memainkan peran yang sama seperti AS
di wilayah pasifik dengan membantu Korea Utara yang langsung berbatasan dengannya
untuk menghadang pengaruh atau ancaman Amerika Serikat dan sekutunya di wilayah pasifik
melalui Korea Selatan, telah menjadikan konflik Korea semakin rumit. Bahkan menjadi
sebaliknya, masa depan hubungan antara Korea Utara dan Korea Selatan terlihat akan tetap
dalam kondisi konflik dan sangat berpeluang untuk pecah kembali perang besar antara kedua
Korea. Hal tersebut di karenakan Korea Utara telah memiliki senjata pemusnah masal antara
benua yang membuatnya tidak takut dan tunduk kepada siapapun. Produk nuklir Korut
hingga kini tidak dapat diinterfensi dan diberhentikan sekalipun ancaman dan sangsi bertubi-
tubi di jatuhkan kepada Korut.
DAFTAR PUSTAKA

Jurnal :
Ahmad, A. (2020). Prospek Penyelesaian Konflik Korea Selatan Dan Korea Utara. Author:
Fahrin Umarama.

Djelantik, S. (2015). Asia Pasifik : Konflik, Kerja Sama, Dan Relasi Antarkawasan. Jakarta :
Yayasan Pustaka Obor Indonesia.

Setiawati, N., Mangku, D.G.S. And Yuliartini, N.P.R., 2020. Penyelesaian Sengketa
Kepulauan Dalam Perspektif Hukum Internasional (Studi Kasus Sengketa
Perebutan Pulau Dokdo Antara Jepang-Korea Selatan). Jurnal Komunitas
Yustisia, 2(3), Pp.168-180.

Kim, E., 2019. Dinamika Diplomasi Internasional Dan Pengopersaian Kawasan Industri
Kaesong (Doctoral Dissertation, Universitas Pelita Harapan).

Atmojo, H.D., Widianingrum, M.S. And Utomo, D.K., 2015. Peranan Dewan Keamanan
Perserikatan Bangsa-Bangsa Dalam Krisis Nuklir Korea Utara. Belli Ac Pacis,
1(2), Pp.35-49.

Resmi, M.G., 2018. Pengaruh Pengembangan Senjata Nuklir Korea Utara Terhadap
Stabilitas Keamanan Regional Asia Timur (Doctoral Dissertation, Perpustakaan).

L Laimeheriwa, O. And Wicaksono, A., 2017. Analisis Motif Penyerangan Rudal Balistik
Korea Utara Terhadap Korea Selatan (Periode 2010-2015).

Rosyidin, M., 2011. Kebijakan Cina Dalam Krisis Semenanjung Korea: Perspektif
Konstruktivis. Global & Strategis, 6(1).

Web Resmi :
https://www.kompas.com/global/read/2020/06/10/082114270/setelah-ancaman-korea-utara-
putuskan-semua-komunikasi-dengan-korea?page=all

https://www.kompas.id/baca/internasional/2021/07/28/korsel-dan-korut-kembali-buka-jalur-
komunikasi-langsung

https://www.cnnindonesia.com/internasional/20211004084918-113-702911/korut-dan-korsel
resmi-buka-lagi-jalur-telepon-khusus

Anda mungkin juga menyukai