Anda di halaman 1dari 14

BUDAYA POLITIK DAN PERILAKU MEMILIH MASYARAKAT

PASAR KEMIS PADA PEMILIHAN UMUM KEPALA DAERAH


SECARA LANGSUNG DI KABUPATEN TANGERANG
TAHUN 2021

Disusun Oleh:
Novi Alviani
Nim: 1601010127

PROGRAM STUDI ADMINISTRASI NEGERA JURUSAN ILMU ADMINISTRASI


NEGARA FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS ISLAM SYEKH YUSUF TANGERANG 2021

1
DAFTAR ISI
Cover............................................................................................................................................
Daftar Isi .................................................................................................................................... 2
BAB I PENDAHULUAN ........................................................................................................ 2
A. Latar Belakang Masalah .............................................................................................. 3
B. Rumusan Masalah ....................................................................................................... 5
C. Tujuan Penelitian ......................................................................................................... 5
BAB II PEMBAHASAN.......................................................................................................... 6
A. Politik Transaksional ................................................................................................... 6
B. Landasan Hukum dan Mekanisme Pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah................ 7
Langsung .................................................................................................................... 7
C. Politik Uang (Money Politics) ..................................................................................... 9
D. Politik Barang (Goods Politics)................................................................................... 9
E. Kerangka Berpikir ..................................................................................................... 11
BAB III Penutup .................................................................................................................... 12
A. Kesimpulan................................................................................................................ 12
B. Saran ......................................................................................................................... 12
Daftar Pustaka.......................................................................................................................... 14

2
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pemilihan umum kepala daerah adalah sebuah proses untuk mencapai otoritas
secara legal formal yang dilaksanakan atas partisipasi kandidat, pemilih, dan dikontrol oleh
lembaga pengawas, agar mendapatkan legitimasi dari masyarakat yang disahkan oleh
hukum yang berlaku. Kandidat kepala daerah yang memperoleh suara terbanyak dari
pemilih akan dinyatakan sebagai kepala daerah yang akan memimpin suatu wilayah dalam
beberapa jangka waktu ke depan. Pilkada di Indonesia telah mengalami beberapa kali
perubahan dalam pelaksanaan pemilu.
Oleh karena itu pada saat ini kita melaksanakan pemilu langsung dari presiden,
DPR, gubernur, bupati/walikota, hingga kepala desa. Dengan memilih langsung diharapkan
individu-individu dapat menemukan pemimpin yang sesuai dengan aspirasi mereka. Tahap
pelaksanaan pemilihan kepala daerah meliputi beberapa tahapan yaitu penetapan daftar
pemilih, pendaftaran dan penetapan kandidat kepala daerah/ wakil kepala daerah,
kampanye hingga masa tenang, pemungutan suara, penghitungan suara, penetapan
pasangan kandidat kepala daerah/ wakil kepala daerah terpilih dan pengesahan/ pelantikan.
Salah satu tahapan dari pemilu yaitu kampanye merupakan usaha untuk
mempengaruhi rakyat secara persuasif (tidak memaksa) dengan melakukan kegiatan
retorika, publik relasi, komunikasi massa, lobby dan lain-lain. 2 Kampanye adalah bagian
dari proses pemilu yang memiliki pengaruh terhadap hasil pemilu. Kampanye bertujuan
mendapatkan pencapaian dukungan, biasanya dilakukan oleh sekelompok orang yang
terorganisir untuk melakukan strategi pencapaian dalam rangka untuk menyukseskan
kampanye tersebut. Dalam rangka memenangkan perhitungan suara itulah, berbagai upaya
untuk memikat dan memperoleh suara diperbolehkan dan dilakukan, sepanjang tidak
melanggar hukum resmi. Itulah pelaksanaan yang telah disepakati dalam
“sopan-santun politik” (Topatimasang, 2011: 92).
Kejadian-kejadian berupa pelanggaran dalam pemilu sering terjadi khususnya pada
masa kampanye, salah satunya adalah money politics, kegiatan money politics yang banyak

3
dilakukan oleh para kandidat maupun dari tim sukses guna meraup suara dan simpatisan.
Money politics merupakan salah satu hal yang paling ditakuti sekaligus dilakukan oleh
peserta pemilu. Ditakuti karena praktik ini adalah praktik jahat dan dilakukan oleh mereka
yang tidak mau repot dalam mendulang suara.
Pilkades yang dilakukan pada tahun 2021 setidaknya juga memilki isuisu mengenai
money politics atau goods politics sebagaimana dalam laporan Pengawas (Panwas)
Kabupaten Tangerang yang menerima sejumlah laporan dugaan pelanggaran kampanye
pemilihan kepala desa (Pilkades) 2021 yang dilakukan pasangan kandidat.
Ketua Panwas Kabupaten Tangerang mengatakan bentuk pelanggaran antara lain
money politics atau good politics dan penggunaan fasilitas negara. Kondisi tersebut
menunjukkan bahwa isu masalah goods politics yang terjadi menjadikan pemahaman yang
menganggap bahwa goods politics sebagai suatu hal yang wajar dilakukan sehingga banyak
pihak yang tidak menyadari implikasi dari goods politics tersebut di masa yang akan data.
Suburnya money politics dan goods politics juga tidak lepas dari cara pandang masyarakat
pemilih yang permisif terhadap politik barang itu. Pada proses demokrasi di Indonesia,
termasuk demokrasi di level akar rumput praktik goods politics tumbuh subur, karena
dianggap suatu kewajaran masyarakat tidak peka terhadap bahayanya. Mereka
membiarkannya karena tidak merasa bahwa goods politics secara normatif adalah perilaku
yang harus 7 dijauhi. Melihat kenyataan bahwa praktik goods politics telah begitu melekat
dalam kehidupan masyarakat, mulai dari tingkat bawah hingga atas, maka persoalan yang
pelik ini harus disikapi dengan serius.
Persoalan yang terkesan remeh namun memiliki implikasi negatif yang sangat besar
bagi perkembangan demokrasi dan penegakan hukum
(supremacy) di Indonesia. Goods politics membuat proses politik menjadi bias. Akibat
penyalahgunaan barang, pemilu sulit menampakkan ciri kejujuran, keadilan serta
persaingan yang fair. Pemilu seperti itu akhirnya menciptakan pemerintah yang tidak tidak
memikirkan nasib dan kesejahteraan rakyat. Berdasarkan latar belakang tersebut, maka
penelitian ini bertujuan untuk meneliti mengenai goods politics dalam pemilihan Kepala
Desa. Kasus yang akan diangkat adalah dalam pemilhan Kepala Desa tahun 2021. Judul
penelitian ini adalah : Goods Politics dalam Pemilihan Kepala Desa di Kabupaten
Tangerang (Studi Kasus di Kelurahan Pasar Kemis).

4
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan paparan latar belakang masalah di atas, maka dapat dirumuskan dalam rumusan
masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana goods politics dilakukan kepada masyarakat di Kelurahan Pasar Kemis pada
Pemilihan Kepada Desa tahun 2021?
2. Apa saja bentuk goods politics yang terjadi di Kelurahan Pasar Kemis pada pemilihan
Kepala Desa tahun 2021?
3. Siapa saja yang terlibat dalam praktik goods politics di Kelurahan Pasar Kemis pada
pemilihan Kepada Desa tahun 2021?

C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan permasalahan yang akan dibahas, maka tujuan dalam penelitian ini adalah:
1. Mengkaji bagaimana goods politics dilakukan kepada masyarakat di Kelurahan Pasar
Kemis pada Pemilihan Kepada Desa tahun 2021.
2. Mengetahui apa saja bentuk goods politics yang terjadi di Kelurahan Pasar Kemis pada
pemilihan Kepada Desa tahun 2021.
3. Mengetahui siapa saja yang terlibat dalam praktik goods politics di Kelurahan Pasar
Kemis Pada Pemilihan Kepada Desa tahun 2021.

5
BAB II
PEMBAHASAN

A. Politik Transaksional
Keadaan ekonomi menjadi perhatian utama dan setiap daerah akan berusaha untuk
memajukan dan mendapatkan skala ekonomi yang lebih baik. Pasar seringkali menjadi
gagasan dari semua yang dapat dibeli atau dijual. Dalam konsep pasar tersebut standar lama
seringkali digantikan oleh hukum penawaran dan permintaan, termasuk pula dalam pasar
politik.
Dalam keadaan ini, politik transaksional lahir dan berkembang dengan
merendahkan statusnya namun tetap dipraktekkan oleh banyak orang ini sebagai bentuk
"realitas". Menurut Tomas (2008) politik transaksional adalah penggunaan kekuasaan atau
kewenangan resmi untuk mendapatkan keuntungan yang tidak patut. Politik transaksional
juga berarti politik dagang, ada yang menjual dan ada yang membeli. Tentu semuanya
membutuhkan alat pembayaran yang ditentukan bersama.
Jika dalam jual-beli, maka alat pembayarannya biasanya berupa uang tunai. Pada
praktik politik, jika terjadi politik transaksional, ada yang memberi uang dan ada yang
menerima uang dalam transaksi politik tersebut. Berdasarkan hasil pemikiran yang
dilahirkan oleh para pemikir Frankfurt School yang notabene berasal dari kalangan
Marxisme, mengungkapkan teori menarik bahwa dunia politik adalah panggung
transaksional antara kepentingan ekonomi (bisnis) dan politik (kekuasaan). Bahwa puncak
kesuksesan politik adalah mampu meraih kekuasaan dan mampu meraup pundi-pundi
ekonomi yang dapat menyejahterakan para politikus dan kelompoknya (Supadiyanto,
2013).
Logika politik transaksional sadar atau tidak sadar telah ikut mempengaruhi jalannya
kehidupan politik, sehingga menyebabkan para politikus berpikir praktis dan menyederhanakan
segala tujuan demi memenuhi ambisi untuk berkuasa. Di Indonesia profesi sebagai pejabat yang
duduk di berbagai lembaga legislatif, eksekutif dan yudikatif masih menarik minat banyak orang.
Setidaknya bagi mereka yang kini aktif di berbagai organisasi sosial dan politik. Politik
transaksional memang bisa memuluskan ambisi para politikus menduduki berbagai jabatan
mentereng. Akan tetapi itu bisa mengakibatkan buruknya kualitas moral para politikus itu sendiri,

6
sebab mereka berpikir bahwa dengan bermodalkan uang yang cukup besar bisa memuluskan karier
politik mereka.
Dalam arti yang sangat nyata, politik transaksional adalah ibu dari semua pelanggaran
resmi. Hal ini mengacu pada kondisi bahwa baik pelanggaran hukum maupun yang mana hukum
secara tidak tegas melarang. Dengan demikian akan menjadi hal berguna untuk membentuk
semacam keputusan untuk menentukan kapan suatu tindakan berada di bawah politik transaksional
atau tidak. Praktik politik transaksional, sering kita dekatkan kepada politik 13 uang (Tomas, 2008).

B. Landasan Hukum dan Mekanisme Pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah


Langsung

Sistem pemilihan kepala daerah di Indonesia telah mengalami perubahan. Hal ini
karena sistem akan menyesuaikan dengan kondisi zaman, kondisi polikik, tradisi, ekonomi,
sosial budaya. Pada masa Orde Baru pasca tahun 1965 dominasi Pemerintah pusat terhadap
pemerintah daerah semakin kuat. Rezim Soeharto mengontrol penuh kepala daerah di
seluruh tingkatan, sesuai Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok
Pemerintahan di Daerah. Kepala daerah diangkat oleh Presiden, yang mekanisme
pemilihannya di DPRD juga dikontrol oleh Presiden (Pamungkas, 2009:75).
Pada era ini, kepala daerah sesungguhnya bukan hasil pemilihan DPRD, karena
patut atau tidak seseorang menjadi kepala daerah, bergantung sepenuhnya pada penilaian
Presiden. Aturan tersebut terkait kepentingan Pemerintah Pusat untuk mendapatkan
Gubernur atau Bupati yang mampu bekerja sama. Misalnya, DPRD provinsi memiliki dua
calon Gubernur, yang salah satunya didukung lebih banyak legislator. Jika Pemerintah
Pusat menghendaki calon yang memiliki lebih sedikit dukungan DPRD, Presiden berhak
mengangkatnya. Begitu juga pemberhentiannya, dapat dilakukan tanpa persetujuan DPRD.
Pada masa reformasi setelah jatuhnya rezim Orde Baru pada tahun 1998 berakhir
pula bentuk kekuasan sentralistik. Pada tahun 1999 terbit Undang-Undang Nomor 22
Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah pada 7 Mei 1999, yang segera mengubah
penyelenggaraan pemerintahan di daerah. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun
1999 tersebut, pemerintah dareah terdiri dari kepala daerah dan perangkat daerah,
sedangkan DPRD 14 berada di luar pemerintah daerah, yang berfungsi sebagai badan
legislatif pemerintah daerah untuk mengawasi jalannya pemerintahan. Setelah banyak

7
dikritik menyuburkan praktik politik uang maka kemudian terbit Undang-Undang Nomor
32 Tahun 2004 yang mengatur tentang pemilihan mum kepala daerah secara langsung.
Namun UU tersebut terlebih dahulu diuji melalui judicial review hingga pada tahun
2005 terbit Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 3 Tahun
2005, yang berimplikasi pada perubahan Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005
tentang pedoman pelaksanaan pemilukada langsung menjadi Peraturan Pemerintah Nomor
17 Tahun 2005. Setelah tahun 2005 tersebut pemilukada dilaksanakan secara langsung.
Pada sistem ini calon kepala daerah adalah pasangan calon yang diusulkan partai
politik atau gabungan partai politik yang memperoleh dukungan minimal 15 persen kursi
DPRD atau dari akumulasi perolehan suara sah pada Pemilu Legislatif. Penyempurnaan
sistem selanjutnya dilakukan melalui revisi sehingga terbit UndangUndang Nomor 12
Tahun 2008 tentang perubahan terhadap Undang-undang mengenai pelaksanaan otonomi
daerah. Pada UU tersebut terdapat perubahan mencolok, yaitu diperbolehkan calon
perseorangan (independen) menjadi calon kepala daerah dalam pemilukada secara
langsung. Meskipun sempat terbit UU Nomor 17 Tahun 2014 dimana ketentuan
memengeai kepala daerah yang kembali dipilih DPRD untuk meminimalkan hiruk-pikuk
kampanye pemilukada yang terjadi sepanjang tahun di seluruh wilayah di Indonesia,
namun keputusan tersebut dianulir sehingga pemilihan 15 kepala daerah kembali dilakukan
secara langsung dan diundangkan dalam UU No. 8 tahun 2015.

8
C. Politik Uang (Money Politics)
Pengertian Politik Uang (Money Politics)
Politik uang (money politics) dapat diartikan sebagai upaya mempengaruhi
perilaku orang lain dengan menggunakan imbalan tertentu. Ada yang mengartikan politik
uang sebagai tindakan jual beli suara pada proses politik dan kekuasaan. Tindakan itu bisa
terjadi dalam jangkauan (range) yang lebar, dari pemilihan kepala desa sampai pemilhan
umum suatu Negara (Ismawan, 1999:5).
Politik uang adalah suatu bentuk pemberian atau janji menyuap seseorang baik
supaya orang itu tidak menjalankan haknya untuk memilih maupun supaya ia menjalankan
haknya dengan cara tertentu pada saat pemilihan umum. Pembelian bisa dilakukan
menggunakan uang atau barang.
Politik uang adalah sebuah bentuk pelanggaran kampanye
(www.wikipedia.com). Politik uang umumnya dilakukan simpatisan, kader atau bahkan
pengurus partai politik menjelang hari H pemilihan

D. Politik Barang (Goods Politics)


Politik barang (goods politics) adalah bentuk turunan dari politik uang (money politics)
dalam arena perpolitikan khususnya dalam pemilihan kepala daerah. Proses pemilihan kepala
daerah di Indonesia seringkali mengalami berbagai macam permasalahan yang menjadi tantangan
dalam pelaksanaannya. Mulai dari regulasi yang berlaku, konflik antar kandidat dan pendukung
kandidat kepala daerah, permasalahan dalam transaksi antar partai, sampai adanya politik barang
(goods politics) yang banyak terjadi di dalam pelaksanaan pemilihan kepala daerah. Hal tersebut
tentunya sangat mengganggu dalam proses pemilihan kepala daerah yang tujuan utamanya untuk
memperoleh pemimpin daerah yang berkualitas.
Masyarakat umum memahami politik barang (goods politics) sebagai praktik pemberian
barang atau memberi iming-iming sesuatu, kepada seseorang atau massa secara berkelompok atau
individual, untuk mendapatkan keuntungan politis. Artinya, tindakan goods politics itu dilakukan
secara sadar oleh pelaku. Irasionalisasi politik telah menjadi budaya dalam proses demokrasi di
Indonesia, khususnya tentang pemilihan kepala daerah. Kalau hal tersebut terus berlangsung maka
dapat dipastikan hasil dari proses pemilihan kepala daerah tidak akan melahirkan pemimpin yang
baik dan 26 bersih akan tetapi dengan permasalahan tersebut akan melahirkan
Faktor Penyebab Tumbuh Suburnya Politik Barang (Goods Politics) Menurut Amzulian
Rifai (2003:101-104) adanya beberapa faktor yang menjadikan masalah politik barang selalu saja
terjadi meskipun terjadai perubahan dalam sistem pelaksanaan pemilihan kepala daerah yaitu:

9
1. Mekanisme pengawasan yang lemah
2. Sanksi partai yang hampir tidak ada 3. Komitmen menuju
kebaikan yang lemah
4. Penegakan hukum yang masih lemah.
Dengan adanya politik barang (goods politics), akan membawa dampak buruk terhadap suatu
kekuasaan. Karena secara logika, kandidat pada saat pemilihan sudah mengeluarkan sekian rupiah
demi untuk kekuasaan. Tentunya setelah berkuasa akan mencari celah untuk mengganti yang sudah
dikeluarkan. Akhirnya tentu akan timbul korupsi (penggelapan uang/barang berharga).

10
E. Kerangka Berpikir
Pemilihan Kepada Daerah tahun 2021 di Kabupaten Tangerang yang lalu sudah
dilakukan dan sudah mendapatkan Kepala Desa terpilih. Namun demikian dalam ruang
opini publik beberapa jejak langkah masing-masing kandidat dalam upaya memperoleh
dukungan publik masih memberikan pembuktian. Misalnya pada masa kampanye hingga
menjelang pemilihan sempat beredar mengenai bentuk goods politics yang dilakukan oleh
pasangan kandidat Wali Kota salah satunya di Kelurahan Pasar Kemis.
Pada beberapa kasus politik, goods politics juga berkaitan dengan kesepakatan dan
imbalan tertentu di luar uang. Dalam praktik politik praktis, hampir pasti ada goods politics.
Karena pada dasarnya politik adalah kompromi, sharing kekuasaaan. Harus dipahami juga,
bahwa dalam politik kenegaraan juga ada istilah pembagian kekuasaan. Bukan hanya di
Indonesia, tetapi juga di seluruh dunia, karena memang politik adalah proses pembagian
kekuasaan.
Dimana seseorang atau sekelompok orang yang meraih kekuasaan akan berbagi
kekuasaan dengan orang lain. Indikator goods politics adalah adanya perjanjian antara tim
pemenangan dengan masyarakat, yaitu pemberian barang. Penyebab goods politics karena
anggapan masyarakat hak pilih adalah aset yang berharga dan keengganan masyarakat
dalam berpartisipasi sebagai pemilih aktif serta dampak yaitu perolehan suara kandidat
Wali Kota. Goods politics yang terjadi di masyarakat pada umumnya dilakukan oleh pihak
pemenangan kandidat Kepada Desa kepada masyarakat dengan adanya Beberapa
perjanjian politik berupa barang atau non materi. Terdapat perbedaan pada masyarakat akan
goods politics yang dilakukan oleh tim pemenangan kandidat Kepala Desa, dimana ada
masyarakat yang menerima dan memilih kandidat tersebut, namun ada juga masyarakat
yang menerima tetapi tidak memilih kandidat tersebut.

11
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Pengaruh goods politics terhadap partisipasi masyarakat Kelurahan Pasar Kemis
pada pemilihan Kepala Desa 2021, memang memberikan pengaruh yang cukup signifikan
dimana mayoritas masyarakat yang menerima goods politics turut berpartisipasi dalam
pemilihan Kepada Desa, walaupun dalam pemberian uang maupun barang kepada pemilih
tidak menjamin dalam menentukan pilihan masyarakat dalam memberikan suaranya.
Alasan masyarakat menerima goods politics pada pemilihan Kepala Desa tahun
2021 yaitu karena masalah ekonomi, tradisi atau kebiasaan ketika pemilu, pendidikan
politik yang rendah, sehingga masyarakat cenderung terbuka dan menerima goods politics
yang dilakukan oleh kandidat dan menerima segala macam bentuk pemberian. Pemberian
uang yang membuat masyarakat merasa wajib untuk mengikuti proses pemilu karena
adanya bentuk kesepakatan tidak tertulis dengan unsur-unsur paksaan dari para pelaku
goods politics.

B. Saran
Perlu dilakukan pendidikan politik secara terus menerus terutama sebelum pemilu di dalam
masyarakat tentang akibat atau dampak negatif dari goods politics, kegiatan ini dimulai dengan
sosialisasi yang dilakukan para tim sukses masing-masing kandidat atau bisa juga melalui kader-
kader partai politik dan diawasi dengan badan pemilu setempat mengenai bahaya goods politics.
Hal ini dilakukan untuk membentuk pandangan masyarakat bahwa goods politics memiliki
dampak-dampak yang merugikan dalam jangka panjang apabila salah dalam menentukan pilihan.
Perlu juga menekankan kepada pemilih agar lebih mengutamakan memilih
berdasarkan rekam jejak atau track record kandidat. Selain itu diharapkan dapat mengontrol
tindakan tim sukses kandidat maupun kader-kader partai politik agar bersama-sama
berjuang secara fair. Pemikiran kandidat dimana goods politics sebanarnya tidak terlalu
menjamin kepastian akan jumlah suara yang yang didapat sesuai dengan dana yang telah
dikeluarkan dan perlunya aturan yang jelas dan tegas untuk diberlakukan kepada
masyarakat melalui pendekatan secara personal apabila masih ada oknum simpatisan atau

12
tim sukses yang melakukan politik uang untuk menolak pemberian, karena jelas mereka sudah
melakukan tindakan yang salah yakni tindakan yang termasuk ke kategori korupsi dengan
memberikan sogokan.

13
DAFTAR PUSTAKA

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 Tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah


Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Otonomi Daerah
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemilihan Umum Kepala Daerah Secara
Langsung Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 Tentang Pemilu
Agustino, Leo. 2009. Pilkada dan Dinamika Politik Lokal. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Aspinal, E dan Sukmajadi, M. 2015. Politik Uang di Indonesia: Patron dan Klientelisme pada
Pemilu Legislatif 2014.Yogyakarta: PolGov

14

Anda mungkin juga menyukai