Anda di halaman 1dari 6

KESATRIA DRONES

Namaku Andara. Demikian aku dipanggil. Kami memiliki nama sapaan masing-masng,
sesuai bunga yang kami sukai. Aku paling sering menari-nari lalu hinggap di atas bunga
Kaliandara kesukaanku. Sejak pagi hingga matahari senja menyepuh dedaunan dan bunga-bunga
menjadi merah, aku bisa menghisap nektar dari ribuan bunga Kaliandara di hutan dan bukit-
bukit. Betapa melelahkan, tapi juga menyenangkan. Inilah baktiku pada Bunda Ratu, juga pada
seluruh rakyat koloniku. Sebagai rakyat pekerja, aku dan ribuan yang lain, harus banting tulang,
terbang sejauh ribuan kilometer, mencari nektar dan serbuk sari.
Hujan baru saja turun amat deras disertai angin kencang. Pohon Kihiang besar tempat
rumah kami bergayut bergetar diterpa angin. Untung sarang yang kami bangun cukup terlindung,
di sebuah lubang di bawah pokok dahan rindang. Semestinya tempat ini aman dari gangguan.
Tapi tidak demikian. Kami memang terlindung dari gangguan alam, tapi dari serangan manusia
tetap menjadi sasaran. Mereka para pemburu atau pencari kayu bakar di hutan selalu mencari-
cari di mana sarang kami berada. Mereka begitu licik membawa racikan daun sirih, ditiupkan ke
arah kami. Aroma daun sirih begitu sakit di kepala dan kami tak berdaya. Atau kadang mereka
membawa obor mengepulkan asap ke arah kami. Ini lebih menakutkan. Saat kami menyingkir,
terbang atau terbunuh, tangan mereka seperti drakula atau zombi, menyeringai dan tertawa
terbahak mengambil lempengan sarang madu. Ya tentu sarang penuh madu yang kami simpan
sebagai bekal sebelum tiba masa paceklik.
Hujan masih deras, mengguyur pohon dan dedaunan.
Sepagi ini aku biasanya sudah terbang bertiga dengan Kenikir dan Dandelion. Kami
punya taman indah penuh bunga, tempat mengambil nektar dan serbuk sari. Tapi hujan kini
menahan sayap kami untuk terbang. Mestinya aku bisa mengerjakan sesuatu, membersihkan
sarang atau menjilati kaki dan punggung Bunda Ratu, agar dia lebih nyaman. Tapi itu tidak
kulakukan. Aku malah asyik berbincang dengn Kenikir dan Dandelion, di bagian ujung sarang
yang agak tenang.
“Aku kasian melihat Kesatria Drones Satu,” kataku.
“Emangnya kenapa dia?” tanya Kenikir.
“Akhir-akhir ini dia tampak murung dan gelisah.”
“Aku tahu apa sebabnya,” sela Dandelion.
“Hmmm….kamu sok tahu! Eh, emang kenapa sih?” Kenikir makin penasaran.
“Dia paling gagah di antara dua puluh Kesatria Drones,” sahutku.
“Dan aku tahu Bunda Ratu sepertinya suka dengan dia…hahaha,” Dandelion tertawa.
“Dasar sotoy! Belum tentu dong. Aku kira semua kesatria gagah dan tampan kok!”
Kenikir mencoba membantah.
“Iya, aku sendiri bisa membaca kedekatan itu,” timpalku. “Kesatria Satu memang
dilahirkan sebagai pejantan yang paling tampan. Bunda Ratu mencintainya. Tapi takdir telah
menimpanya.”
“Takdir?” Kenikir dan Dandelion bertanya bareng sambil melongo.
“Kamu ingat minggu lalu ada serangan manusia ke sarang kita kan? Oh iya, saat kejadian
itu kalian sedang pergi mencari nektar. Aku menyaksikan sendiri bagaimana Kesatria Satu
matian-matian melindungi tubuh Bunda Ratu agar tetap aman.”
“Lalu bagaimana?”
“Saat manusia penjarah itu mengepulkan asap tebal ke sarang kita, para Kesatria Drones
dan kami segera mengadakan perlawanan, mengejar dan menyerang manusia. Kesatria Satu
berteriak-teriak memberi komando agar kami terus menyerang dan menyengat. Manusia itu
kabur lari pontang-panting. Sarang kita selamat. Beberapa saudara kita mati terbunuh asap, dan
satu sayap Kesatria Satu patah. Sejak hari itu dia cedera, dan terus diam terpaku dalam
kesedihan.”
“Oowhh….” Kenikir dan Dandelion kembali bicara bareng, tapi sedikit tersenyum seperti
mengerti sesuatu.
“Éh, tapi aku lihat ada beberapa saudara kita yang merawatnya kan?”
“Iya, ada yang merawatnya. Tapi dia kini sering terdiam sendirian, sedih, merasa
tersisihkan oleh para Kesatria Drones yang lain. Kalian tahu, akhir-akhir ini aku sering melihat
Bunda Ratu bersolek. Tubuhnya yang indah memancarkan pesona cinta pada para Kesatria
Drones yang mengelilinginya. Bulunya yang kuning keemasan seperti menyala dengan aroma
yang memikat para kesatria. Bunda Ratu sepertinya ingin segera bercinta melakukan
perkawinan.”
“Hmmm….gak apa-apa dech Kesatria Satu bercinta denganku. Aku mau kok!”
Dandelion bercanda seraya mengedipkan matanya.
“Hussh! Tuhan mentakdirkan kita hanya untuk berbakti pada Bunda Ratu, dan tidak
punya hak untuk bercinta!” kataku. Dandelion diam tidak menyahut, di mukanya tampak ada
raut kesedihan yang samar.
Hujan mulai reda. Aku lalu pergi ke bagian sarang lain tempat Kesatria Satu berbaring.
Dia agak terperanjant melihat kedatanganku. Aku menatapnya beberapa lama.
“Ada apa Andara, kamu menatapku seperti itu? Menjauhlah dariku. Kini aku terbuang
dan tersisihkan,” katanya dengan suara parau.
“Aku ingin menghiburmu, Kesatria,” sahutku pelan seraya mengelus kepalanya. Dia
menatap dalam-dalam, tangannya lalu menggenggam tangku erat-erat.
“Terima kasih, Andara. Kau begitu baik,” katanya setengah berbisik.
“Janganlah murung seperti ini, Kesatria. Aku tau, kau satu-satunya kesatria yang gagah
berani melindungi Bunda Ratu, menjaga kami saat musuh datang mengancam.”
“Aku sayang pada Bunda Ratu, Andara. Aku sayang pada kalian semua.”
“Aku tahu itu. Cinta Kesatria begitu dalam pada Bunda Ratu hingga berani berkorban.”
“Tapi kini aku terbuang, Andara. Bunda Ratu melupakanku saat sayapku telah patah.”
“Bukankah itu perbuatan mulia? Berkorban demi Bunda Ratu hingga kau harus
kehilangan satu sayap?”
“Entahlah…aku hanya tahu bahwa itu adalah tugasku melindungi Bunda Ratu. Dia harus
selamat dari ancaman apapun, karena dialah yang akan melahirkan ribuan saudaramu yang lain!”
“Mulia sekali pikiranmu, Kesatria. Tuhan akan menolongmu!”
“Katakan padaku. Andara. Apakah Bunda Ratu masih mau memilihku dan kawin
denganku?” Kesatria bertanya dengan tatapan mata penuh keraguan.
Aku baru saja akan menjawab, saat tiba-tiba Bunda Ratu datang menghampiri.
Langkahnya pelan penuh keanggunan. Bibirnya indah dengan senyum menawan. Aku segera
mundur menjauh, memberi tempat pada Bunda Ratu.
“Hujan telah reda dan matahari akan segera bersinar,” kata Bunda Ratu dengan suaranya
yang khas, merdu dan indah. “Hari ini pohon-pohon akan berseri dan bunga-bunga mekar di
taman. Mari kita terbang dan bercinta, Kesatira.”
Kesatria beberapa lama terkesiap. Terdiam penuh keheranan, seolah tak percaya apa yang
tadi didengarnya.
“Kau tahu, sayapku patah, Bunda Ratu. Bagaimana aku bisa terbang?”
“Tahukah kamu, Kesatria, sejak peristiwa itu, aku amat terpukul dan sedih saat tahu
bahwa kau terluka dan sayapmu patah. Aku segera menyuruh beberapa pelayan untuk
mengurusmu agar cepat sembuh.”
“Bukankah masih banyak kesatria lain yang bisa kau pilih?”
“Tidak, sebuah perkawinan bukan hanya menyatukan dua alat kelamin kita, Kesatria.
Tapi harus ada cinta. Kau telah berkorban untuku. Bagaimana aku bisa memilih kesatria lain
sementara rasa itu telah bersemi di hatiku?” Suara Bunda Ratu bergetar dan dalam. Beberapa
saat hening. Kesatria Satu yang sejak tadi menatapnya, tidak menjawab, kecuali memeluknya
dengan erat. Aku melihat lembaran cahaya matahari pertama dari sela dedaunan menembus
pungung mereka yang berpelukan.
“Tahukan kau Kesatria, bahwa ini adalah saat-saat terakhir bagimu? Kita akan bercinta
dan kau tak akan pernah kembali ke tempat ini?” suara Bunda Ratu bergetar pilu.
“Ya, aku tahu, bagiku cinta adalah kematian. Itu takdirku. Tapi bagaimana aku bisa
terbang dengan sayap patah?”
“Cinta akan memberi kekuatan. Marilah terbang, aku akan menggandengmu di udara!”

Aku Andara, lebah pekerja yang mencintai ratunya, betapa terpaku menyaksikan
peristiwa ini. Hatiku berdebar-debar.
Matahari telah sempurna memancarkan cahayanya, menyapa pohon-pohon dan dedaunan
basah. Seluruhnya mengkilat basah, seperti tubuh perawan mandi di sungai. Bunga-bunga di
taman tersenyum riang menyambut sepasang kekupu berkejaran. Sehabis hujan alam
menghadirkan keagungannya yang lain. Tapi di udara terbuka, angin tidak mendesir seperti
biasa. seperti berduka dan menunggu sesuatu yang akan terjadi.
Sepasang kekasih, Kesatria Drones dan Bunda Ratu mulai terbang dari sarangnya.
Terbang yang cukup aneh tidak seperti biasanya. Tubuh Kesatria sedikit menempel, digandeng
Bunda Ratu. Entah mengapa, aku merasakan sesuatu yang tidak nyaman melihat kemesraan ini.
Aku dilahirkan dengan nasib tragis, tidak punya hak untuk mencintai. Tapi mengapa Tuhan
menyelipkan rasa itu, samar-samar tumbuh di lubuk hatiku?
Aku diam-diam terbang mengikuti mereka.
Peristiwa sakral itu pun terjadi. Sesuatu yang mengaduk-aduk seluruh perasaanku. Aku
tiba-tiba mendengar suara sayup-sayup dari kejauhan. “Masukanlah, sebelum tubuhmu terkapar”
Mereka saling berhimpitan, bergulat dalam lengketnya getah kehidupan. Lalu pedang kejantanan
Kesatria menusuk, memanggang gelembung itu. Tampaklah spektrum warna memburat keluar
dari dalamnya, warna-warni yang semula lahir dari putih yang purba menjadi biru, kuning, dan
merah. Terdengar suara pekikan saat tubuh Kesatria meluncur deras lalu hancur terbentur pada
dinding batu di lereng bukit. Sambil terbang perlahan, Bunda Ratu terus menatap mayat Kesatria.
”Maafkan aku kekasih. Maut dan cinta ini memisahkan kita, karena itu kutukan yang tak
pernah bisa kuhindari. Tapi berbahagialah di sana. Akan kulahirkan ribuan kau yang lain”. ***

…oOo…
Kaliandara, Matahari, Kenikir, Soli, Bunglor, Aster, Dandelion, Geranium, Gardenia,

Anda mungkin juga menyukai