Anda di halaman 1dari 9

Ranah 3 Warna(Trilogi Negeri 5 Menara #2)

by Ahmad Fuadi

Repiu versi 1
-------------------

Jakarta, 20XY

Matahari masih berada dalam peraduannya. Saat ini, bulanlah yang terlihat berkuasa di angkasa. Di sebuah kamar
nyaman, wanita paruh baya terlihat gelisah di tempat tidur. Sudah sejak tadi ia berusaha pergi ke alam mimpi,
namun tak juga berhasil. Entah kenapa ia yang biasanya gampang terlelap, kali ini susah sekali memejamkan mata.

Bosan berada di tempat tidur, wanita paruh baya itu segera mengambil baju hangat dan berjalan keluar kamar.
Tujuannya sudah jelas, menuju daerah kekukuasaannya, perpustakaan pribadi yang berada di bagian lain dari
rumah induk

"Malam eh pagi grandnie” suara petugas keamanan melalui pengeras suara terdengar santun. Wanita paruh baya
yang dipanggil grandnie itu melambaikan tangannya. Rupanya si petugas melihatnya berjalan dan memberikan
sekedar sapaan. Beberapa bagian rumah dan lingkungan tempat tinggal itu memang dipasang cctv sehingga
memudahkan kerja petugas keamanan. Maka bukanlah hal yang mengherankan jika petugas pengaman bisa
melihat perjalannya dari kamar tidur menuju perpustakaan pribadi padahal saat itu pukul 2 dini hari.

Setelah sampai di depan perpustakaan, Wanita paruh baya itu tidak segera masuk ke dalam.. Ia memandangin sisi
luar perpustakaan dengan perasaan sayang. Saat ini putra tunggalnya merenovasi perpustakaan pribadi itu
sebagai hadiah ulang tahunnya. Tidak saja melengkapi keamanan super canggih, ruangan anti api, interior luar
dan dalam juga mendapat perhatian. Perpustakaan itu menjadi tempat yang sangat aman dan nyaman.

Tak tahan dinginnya udara, wanita paruh bergegas masuk setelah menekan nomor kombinasi. Ia lalu menutup
pintu dan menekan kode kunci dari dalam. Saat itu ia menginginkan kesendirian. Dipasangnya penghangat
ruangan sesaat sebelum ia menuju lemari kaca terkunci yang ada dalam perpustakaan. Lemari itu juga dilengkapi
pintu dan menekan kode kunci dari dalam. Saat itu ia menginginkan kesendirian. Dipasangnya penghangat
ruangan sesaat sebelum ia menuju lemari kaca terkunci yang ada dalam perpustakaan. Lemari itu juga dilengkapi
dengan pengaman super canggih.

Lemarinya memang hanya lemari jati biasa, namun isinya yang sungguh luar biasa. Di dalam lemari itu tersimpan
aneka buku-buku antik dan atribut pelengkapnya. Ada buku yang dikoleksinya sejak masih di sekolah dasar, buku
dengan tanda tangan penulis, serta buku-buku edisi pertama. Sudah banyak pedagang buku antik yang
merayunya merelakan isi lemari untuk dilego. Lemari itu jarang dibuka, kecuali saat ia melakukan ritual memberi
hadiah buku yang diambil dari lemari itu bagi cucu kesayanganya, saat ada yang meminjam untuk pameran, atau
untuk dipinjamkan bagi segelintir sahabat terpercayanya. Dan keadaan khusus seperti saat itu

Entah kenapa, saat itu ia ingin membaca ulang koleksinya yang berada dalam lemari itu. Matanya menyapu
seluruh isi lemari dengan pandangan kasih sayang. Dipilihnya beberapa buku lalu dibawanya ke sofa yang ada di
tengah ruangan. Wanita paruh baya itu duduk dan mulai membaca , namun baru beberapa saat ia sudah menutup
buku itu dan menggantikannya dengan buku lain. Tapi buku itu pun kurang menarik perhatiannya.

Sebuah ketukan halus dipintu dirasa mengganggunya, hampir saja ia memarahi orang yang mengganggu
ketenangannya di pagi buta. Ternyata wajah di balik kaca adalah wajah cucu kesayangannnya, wajah calon pewaris
perpustakannya Wajahnya sesaat terlihat cerah . Sang cucu memberikan kode memohon ijin untuk masuk. Wanita
paruh baya itu bergegas berdiri dan membukakan pintu

“Malam eh pagi grand” sapa sang cucu sambil melangkah masuk

“Tidak bisa tidur juga? Tadi saat mau ke halaman depan, Satpam cerita kalau grandnie belum lama pergi ke
perpustakaan” sambung sang cucu .

“Kamu juga tidak bisa tidur, kenapa ?” Wanita paruh baya itu balik bertanya.

Sang cucu kesayangannya itu hanya tersenyum malas sambil duduk di sofa ”Sebentar lagi pendaftaran sekolah
dimulai. Aku harus memutuskan akan melanjutkan kemana. Tetap tinggal di rumah atau masuk sekolah
berasrama, lalu sekolah yang mana. Semakin banyak brosur yang aku dapat, semakin aku pusing memilih. Papi
dan mami punya harapan yang berbeda. Walau mereka tidak memaksaku untuk menuruti kemauan mereka,
namun dari wajah dan cara bicara mereka aku tahu, aku diharapkan memenuhi harapan salah satu dari mereka.
Aku jadi pusing dan susah tidur” keluh cucu kesayangannya panjang lebar

Wanita paruh baya itu hanya tersenyum. Tangannya menarik salah satu buku dari tumpukan di atas meja dan
memberikannya kepada sang cucu, yang menerimanya dengan bersemangat. Untuk urusan buku, cucu dan nenek
itu memang sangat kompak. Sang cucu selalu menerima pemberian grandnie-nya dengan senang. Setiap buku
yang diberikan pasti mengandung banyak cerita.

”Ini salah satu buku yang jika dibaca ulang memberikan kesan yang berbeda. Buku ini termasuk satu dari sedikit
buku yang sengaja grandnie koleksi lebih dari satu” paparnya dengan lembut . ”Buku ini merupakan kisah nyata
upaya penulisnya meraih pendidikan terbaik, namanya A. Fuadi” lanjutnya.

”Maksud grandnie si penggagas Komunitas Menara, yang belum lama mendirikan sekolah gratis kesekian kalinya
itu? ” tanya sang cucu dengan antusias. Berbicara dengan sang grandnie selalu menyenangkan karena ia akan
mendapat tambahan informasi tentang para penulis.

Ditatapnya Buku Ranah Tiga Warna karangan A. Fuadi, dengan editor Danya Dewanti Fuadi serta Mirna Yulistianti.
Proff reader oleh Novera Kresnawati dan Meilia Kusumadewi. ISBN buku setebal 473 halaman itu adalah 978-979-
22-6325-1. Penerbitnya sudah pasti penerbit papan atas, Gramedia Pustaka Utama

” Ini buku edisi pertama yang pernah dibicarakan oleh Oma Dina dan Oma Ine untuk dimasukan menjadi salah
satu arisan buku mereka ? Keren..........!” puji sang cucu dengan bersemangat.

”Grandnie tahu, yang beredar sekarang adalah cetakan kesekian kali. Buku ini sekarang menjadi buku bacaan
”Grandnie tahu, yang beredar sekarang adalah cetakan kesekian kali. Buku ini sekarang menjadi buku bacaan
wajib di sekolah” lanjut sang cucu dengan antusias sambil mulai membuka halaman buku.

” Dalam buku ini kamu akan tahu betapa seorang anak yang melangkah sekolah dengan tujuan ibadah dan tekat
membanggakan keluarganya bisa mendapat kemudahan di segala hal. Masih ingat cerita 5 Menara?” tanya wanita
paruh baya kepada cucunya. Sang cucu hanya memberikan anggukan singkat, ia terlihat serius membaca.

”Semangat Alif untuk belajar sebesar semangat tim sepak bola yang tidak pernah dijagokan mendadak malah
menjadi juara pertama. Semangat bagaimana impian wajib dibela habis-habisan. Hidup boleh menjadi susah,
namun impian dan tekat mewujudkan cita-cita harus terus dilakukan” lanjutnya.

”Grand, memangnya tokoh Alif dalam cerita ini tidak pernah merasa jenuh atau putus atas?” tanya sang cucu
penasaran

” Pasti pernah. Biar bagaimana Alif juga manusia biasa, pasti ada rasa lelah, putus ada dan tak berdaya. Untung ia
mempunyai bekal yang kuat. Ia juga punya dua mantra yang selalu menjadi mendorongnya” jawab wanita paruh
baya itu.

”Mantra apa grand, persis seperti yang di film-film yah?” sang cucu tak habis-habisnya bertanya. Tokoh Alif
rupanya menggugah rasa keingintahuannya.

”Sebenarnya bukan mantra seperti yang kamu bayangkan. Namun lebih tepatnya kalimat pengiingat, Man
Shabara Zafira, siapa yang bersabar akan berutung” jawab wanita paruh baya sambil tertawa geli.

”Kamu masih ingat tips grandnie menghafal tanpa terasa susah?” tanya wanita paruh baya itu .

Sang cucu mengangguk dengan cepat sambil menjawab, ” kata papi waktu kecil kamarnya penuh dengan
berbagai poster tentang angka, binatang , juga ada hafalan Huruf Mandarin grandnie. Kemana pun kita
memandang, seluruh isi kamar penuh dengan hal-hal seperti itu. Karena sering melihat lama-lama papi jadi tahu
banyak hal. Padahal papi belum bisa baca, karena sering diajak diskusi makanya jadi hafal. Biasanya setelah papi
hafal, poster itu segera diganti dengan yang baru. Makanya aku juga diajari cara yang sama tulis apa yang mau
dihafal tempel di tempat yang gampang dilihat sehingga kita sering melihat, lama-lama akan hafal”

Wanita paruh baya itu tersenyum simpul lalu berkata ,” Nah tokoh Alif juga memakai cara yang sama untuk
menghafal rumus-rumus. Bayangkan untuk bisa belajar pelajaran SMA, Alif harus meminjam buku catatan dan
buku cetak temannya. Ternyata dari anak pondok yang tidak banyak mendapat pelajaran umum, ia berhasil lulus
dengan nilai 6,5 lumayan khan”

”Buku ini membawa dampak yang tidak sedikit bagi dunia pendidikan. Dahulu seorang anak akan dianggap
sekolah jika memasuki sekolah menengah yang diselenggarakan pemerintah dan swasta. Sekolah kejuruan hanya
dijadikan alternatif bagi mereka yang ingin segera bekerja dengan alasan ekonomi. Sementara mondok alias
sekolah pesantren dianggap salah satu pemecahan amsalah bagi mereka yang ingin menyekolahkan anaknya
namun tidak memiliki biaya sama sekali atau tempat para orang kaya menitipkan anak-anaknya yang terkena
masalah. Melalui buku ini mereka bisa melihat seorang anak pondok bisa melalng buana ke tiga negara dengan
beasiswa. Walau ada beberapa yang sudah terlanjur seram mendengar istilah pondok. contohnya papimu ” papar
nya panjang lebar

Sang cucu yang semula serius membaca, mengangkat wajahnya dari buku denganpenuh tanda tanya. ”Maksud
grandnie?” tanyanya

”Sebelum trilogi buku ini terbit, grandnie pernah berniat mengirim papimu bersekolah ke pondok, dimana pun
itu” jawab wanita paruh baya itu.

”Hah? Papi grand?” sang cucu bertanya dengan heran

”Grandnie sadar pengetahuan agama grandnie tidak banyak. Sebagai orang tua tunggal waktu yang tersisi untuk
”Grandnie sadar pengetahuan agama grandnie tidak banyak. Sebagai orang tua tunggal waktu yang tersisi untuk
memberikan pendidikan yang terbaik sangatlah sedikit. Apa lagi tipe papimu yang harus di awasi baru belajar.
Makanya grandnie butuh sekolah yang bisa memberikannya pelajaran 1 X 24 dari sisi agama dan umum. Dan
sepertinya pondok adalah tempat yang tepat” jawab wanita paruh baya itu

”Lalu papi mau?” sang cucu kian pensaran. Selama ini ia tidak pernah mndengar cerita soal ini.

” Mana papimu mau! Masalahnya papimu sudah terlanjur terpengaruh film-film dimana jika masuk pondok akan
menderita, menderita ukuran papimu tepatnya

”Maksud grandnie?” sang cucu kian penasaran

” Papimu merasa dia harus mencuci pakaiannya sendiri di sungai, lalu pulang pergi membawa air untuk keperluan
pondok. Persis seperti yang digambarkan di film. Padahal pondok yang sekarang sangat berbeda dengan yang
dahulu. Seorang sahabatnya sejak sekolah dasar malah masuk pesantren khusus perempuan”

”Lalu grand?” sang cucu terus mendengarkan dengan serius

” Segala cara grandnie lakukan, dari rayuan, iming-iming hadiah, sampai ancaman. Bahkan grandnie membawanya
saat ada launching trilogi buku ini supaya ia bisa mendengar langsung pengalaman dari A. Fuadi. Semuanya gagal
total papimu malah menuduh grandnie sudah tidak sayang lagi dan mau membuang dirinya, maka ia akan ambil
baju dan dengan suka rela menitipkan dirinya ke ruman yaitm piatu. Sok tahunya papimu. Butuh waktu yang lama
untuk membuat papimu mengerti maksud grandnie” papar si wanita paruh baya, matanya terlihat menerawang
mengingat-ingat kejadian di masa lalu.

Sang cucu hanya mengangguk-agukan kepalanya. Matanya tak lepas membaca kalimat-kalimat yang tercetak
dalam buku itu.

”Lalu menurut grandnie aku harus sekolah kemana?” Sang cucu bertanya dengan tatapan memelas. Memilih
sekolah ibarat menulis garis kehidupan baginya. Salah arah, berubahlah perjalan hidupnya dan ia tak mungkin
memutar waktu yang sudah berlalu

"Kok tanya grandnie, kan bukan grandnie yang mau sekolah” sahut wanita paruh baya sambil tertawa kecil. ” Coba
dengan kata hatimu, mau kemana?” lanjut wanita paruh baya itu.

”Itulah grand...., semakin dipikir semakin aku jadi pusing” keluh sang cucu.

Sang wanita paruh baya memandang wajah sayu cucunya dengan penuh kasih sayang. Sebetulnya wajar jika sang
cucu masih belum mengambil keputusan. Diusia yang tergolong ABG, mengambil keputusan yang akan
berhubungan dengan masa depan jelas sedikit menakut baginya.

“Kamu pasti sudah tahu, buat gradnie hidup adalah pilihan. Sejak tulisan grandnie di tolak di media saat kuliah
dengan alasan tulisan itu belum zamannya, maka grandnie memutuskan banyak hal yang bisa ditempuh untuk
tetap berada dalam dunia tulis menulis. Misalnya menjadi penulis bayangan untuk banyak hal. Itu sebabnya
grandnie selalu melarangmu membuka lemari besi yang disana karena di dalam banyak hasil karya grandnie
sebagai penulis bayangan. Kamu hanya perlu memantapkan pilihan, selaraskan hati, keinginan dan kemampuan,
lalu pertimbangkan hal terburuk yang mungkin terjadi.” paparnya lagi.

Sesaat sang cucu hanya terdiam sambil membuka secara acak halaman Buku Rana 3 Warna. Mendadak wajahya
terlihat ceria ditutupnya buku lalu dikempitnya . Ia bergegas berjalan menuju pintu keluar sambil berkata, ” Aku
tahu kemana aku akan bersekolah. Terima kasih buat obrolannya grandnie, wo hen ai nin” Diberikannya pelukan
sekilas sambil terseyum cerah.

"Tunggu!" seru wanita paruh baya itu mencegah cucunya keluar dari perpustakaan.
"Tunggu!" seru wanita paruh baya itu mencegah cucunya keluar dari perpustakaan.

Sang cucu berbalik dan bertanya, " apa apa grand? bukunya tidak boleh aku bawa?"

"Bukan itu!" tugas wanita paruh baya sambil terseyum

"Buku itu untukmu. Coba kamu cari misteri angka tiga dalam buku itu, jika bisa, kamu akan dapat hadiah"
tantangnya lgi

"Siap grand!" sahut sang cucu sambil bergegas pergi.

Sang wanita paruh baya mengawasi punggung cucu kesayangannya sambil terseyum. Urusan sekolah memang
bisa membuat orang sakit kepala. Ia lalu menuju meja kerja yang ada di pojok perpustakaan dan duduk kursi
empuknya. Tangannya membuka sebuah laci rahasia yang terletak di sisi bawah meja. Dikeluarkannya sebuah
tumpukan yang tersusun rapi, berkas-berkas sekolah milik anak tunggalnya. Ada buku tulis pertama saat kelas
satu sekolah dasar, raport, hasil ulangan dari yang bagus hingga yang membuatnya meringis, kartu ujian, ijasah
hingga nilai saat kuliah. Entah bagaimana sikap sang cucu jika melihat ada nilai yang memalukan disana!

Setiap lembar ulangan mengandung cerita yang berbeda, tiap kartu ujian membawa harapan yang berbeda, setiap
lembar nilai rapor menunjukkan perjuangan yang berbeda. Setiap bagian dari tumpukan yang ada di depannya
membawa cerita yang berbeda. Wanita paruh baya itu tenggelam dalam kenangan mssa lalu.

”Pagi grandnie, ada pesan dari kantor Opa Sil . Beliau dalam perjalanan sebentar lagi sampai untuk menjemput
grandnie. Hari ini ada jadwal ketemu dengan penerbit di luar kota. Transportasi sudah diatur untuk yang paling
pagi, supaya sore nanti bisa bertemu dengan EO untuk perayaan ulang tahun Opung Boni” sebuah suara halus
terdengar dari langit-langit. Asistennya baru saja mengirimkan pesan suara.

”Hah! Jam berapa sekarang? Aku belum tidur!”bathin wanita paruh baya itu sambil melirik jam yang ada di meja.
Ia terkejut , ternyata sudah Subuh. Bergegas wanita paruh baya itu memasukan berkas-berkas sekolah anak
tunggalnya dan tak lupa mengunci laci. Ia mengunci perpustakaan lalu berjalan dengan langkah mantap ke
kamarnya. Ia mungkin tak sempat tidur, namun untuk urusan Sholat Subuh dan mandi, Sil harus bersedia
menunggu. Sil boleh saja managenya, namun untuk hari ini dialah yang berkuasa. . Ia tahu kali ini Sholat
Subuhnya akan sedikit lebih lama dari yang biasanya.

http://www.facebook.com/note.php?save...|Sebelum menilai isi dari buku ini, saya telah memberikan satu bintang
terlebih dahulu kepada buku ini. Mengapa?

1. Wajah sampul depan yang cukup menarik. Rumput, daun maple kering dan sepatu yang nampak lusuh dengan
warna yang cukup lembut. Ya, saya suka. (Mungkin sebentar lagi ada embel-embel “National Bestseller” di
sampulnya)

2. Setelah membuka sampul depan, di baliknya terdapat sebuah peta wilayah Saint Raymond, Kanada. Begitu juga
dengan dibalik sampul belakang ada sebuah peta panjang dari kota Bandung dan Negara Yordania. Walau
membuat saya bingung bagaimana caranya menyampul buku ini, tapi tak apalah.

3. Saya suka sekali dengan pembatas bukunya yang berbentuk daun maple berwarna kecoklatan.

4. Wow, ada ucapan terima kasih untuk Goodreads Indonesia. Terima kasih telah mengingat kami dari banyak
orang/kelompok yang melingkupi hidup sang penulis.

Nah atas dasar itu, saya berikan satu bintang pendahulu untuk buku ini. Lalu bagaimana dengan isi buku ini?

1. Saya masih yakin memberikan bintang sempurna untuk buku ini hingga halaman 98. Saya cukup menyenangi
kisah kasih kedua orang tua Alif kepada anaknya. Bagaimana seorang ayah yang agak kaku dalam menunjukkan
kasih sayangnya kepada anak lelaki pertamanya. Hingga sang Ayah akhirnya *sensor*.
kisah kasih kedua orang tua Alif kepada anaknya. Bagaimana seorang ayah yang agak kaku dalam menunjukkan
kasih sayangnya kepada anak lelaki pertamanya. Hingga sang Ayah akhirnya *sensor*.

2. Lalu bagaimana setelah halaman 98? Menurut saya ceritanya tidak terlalu istimewa. Bahkan menurut saya cara
berceritanya agak kurang lancar dan cukup tersendat. Namun, masih bisa dinikmati kisanya yang kali ini bertema
“Man Shabara Zhafira” yang berarti siapa yang bersabar akan beruntung.

3. Dengan ‘mantra’ tersebut kita diajak untuk bersabar dalam menghadapi masalah yang kerap muncul dalam
hidup. Kita disajikan sebuah cerita bagaimana Alif berjuang untuk hidup dalam rantauannya. Kuliah sambil bekerja,
dimulai dari seorang ‘salesman’ keliling hingga menjadi seorang penulis. Dan pada bagian tengah hingga akhir
kita bisa menyimak kisah Alif, seorang anak kampung dekat Danau Maninjau bisa menapakkan kakinya di Kanada.

4. Saya merasa kehilangan sohibul menara di buku pertamanya. Di buku ini tak terdapat kisah mereka. Buku ini
benar-benar sangat berfokus kepada tokoh Alif. Semua perhatian tertuju kepadanya. Yah saya berharap di buku
berikutnya akan kembali ada kisah mereka.

Baiklah, untuk isinya saya berikan tiga bintang saja. Hasil akhirnya 4 bintang untuk buku ini. Ditunggu film
adaptasi dari Negeri 5 Menara. Dan juga buku terakhir dari trilogi ini. Kira-kira apa yah judul dan mantra yang
menjiwai bukunya nanti. Kita tunggu saja dan salute untuk Uda Fuadi!
|Anak-anakku...
Bila badai datang. Hadapi dengan Iman dan sabar. Laut tenang ada untuk dinikmati dan disyukuri. Sebaliknya laut
badai ada untuk ditaklukkan, bukan ditangisi. Bukankah karakter pelaut andal ditatah oleh badai yg silih berganti
ketika melintas lautan tak bertepi?

Menyambung baca buku ini dari Negeri 5 Menara semakin mengukuhkan hati untuk terus BERUSAHA.. yes, I have
let myself down, and yes I have come to tiredness as much as I want to give up -- but I never did, tapi karunia
Tuhan mana yg bisa aq ingkari? sementara di luar sana masih banyak org yg kekurangan tp terus mencoba
bertahan *dg gelegar suara Bang Togar

Alif dan buku ini mengajarkan aq nggak malu tuk mengakui, I have change course.. berani menjawab tanya
seorang kawan yg menusuk kesadaranku, "Git, lo masi inget mimpi lo mo kerja di Deplu ga?"

"Ya, Fit.. aq masih ingat, sedekat kulit menyelimuti jantungku.. Mimpiku adalah bekerja di tempat di mana aq
mampu berakulturasi, membantu & mempengaruhi org banyak.. Mungkin Deplu memang bukan tempatnya
untukku menurut-Nya, mkg yg aq tempuh sekarang inilah di mana semua akan bermula.."

Dan aq masih (akan) terus berusaha mencari kesuksesan itu.. sembari bersabar jika terantuk batu diterjang badai...

Aq masih belum tuntas menapaki Man Jadda Wajada, skg sudah kutambahkan bekalku Man Shabara Zhafira...
Semoga kita smua selalu menjadi org2 yg berusaha dan bersabar untuk meraih sukses Dunia & Akhirat.

"Iya, Fit... aq masih ingat Deplu, sayangnya Deplu bukan untukku..." balasku dg senyum.

INSPIRING MOMENTS:
- upacara bendera Hari Pahlawan, rasanya mengingat gelutan persoalan yg menimpa negeri ini, apapun itu I WILL
ALWAYS LOVE INDONESIA... GARUDA DI JANTUNGKU!
- salju!!! ^^
- pantun Rusdi
- coming back to 531 Rue Notre Dame after 11 years passed|
..:: “Walau hanya berbisik di hati, rupanya Tuhan selalu maha mendengar” ::..

Tentang – Ranah 3 Warna -


Tentang – Ranah 3 Warna -

Buku yang tetap menawarkan semangat menggapai cita-cita ini sekarang bercerita mengenai kehidupan Alif Fikri,
pasca kelulusannya menempuh ilmu di Pondok Madani. Alif kini kembali ke kampung Maninjau setelah
menggoreskan harapan Amaknya untuk belajar ilmu agama. Walau begitu, cita-citanya untuk menjadi the next
Habibie tidak pernah surut. Harapannya untuk menorehkan prestasi mendunia dalam bidang teknologi tak pernah
karam.

Tapi apa mungkin, seorang Alif yang notabene tamatan sekolah agama bisa mengikuti ujian saringan masuk
perguruan tinggi? Bahkan, ijazah saja ia tidak punya. Bukan Alif namanya jika gampang menyerah. Untung Ayah
dan Amaknya mendukung usaha Alif agar bisa belajar di perguruan tinggi. Alif mempersiapkan diri untuk ikut
ujian kesetaraan agar bisa mendapatkan ijazah. Sungguh, bukan perjuangan yang mudah.

Alif harus mampu menguasai berbagai macam mata pelajaran umum tiga tingkatan dalam waktu cepat. Modal
utamanya adalah Man Jadda Wajadda- Siapa yang bersungguh-sungguh ia akan berhasil. Alif yakin jika ia
berusaha satu tingkat lebih baik dari orang lain, ia akan mendapatkan apa yang ia inginkan.

Perjuangan itu mulai menapakan hasilnya. Memang tidak sepenuhnya seperti yang ia harapkan. Keinginannya
untuk menekuni bidang teknologi harus ia pupus karena sangat sulit menguasai pelajaran berhitung dalam waktu
singkat. Tapi Alif cukup bangga ketika akhirnya diterima di Hubungan Internasional-UNPAD. ”... sesungguhnya
doa itu didengar Tuhan, tapi Dia berhak mengabulkannya dalam berbagai bentuk. Bisa dalam bentuk yang kita
minta, bisa ditunda, atau diganti yang lebih cocok buat kita,” Hal.46.

Hidup sendirian di kota Bandung tidaklah mudah. Untung, sahabatnya –Randai, bisa membantu menumpangi Alif
selama ia belum menemukan kos yang sesuai dengan kondisi keuangannya. Di masa-masa sulit itu, Alif bahkan
harus kehilangan Ayahnya, hingga ia sempat berfikiran untuk menghentikan kuliahnya dan membantu Amaknya di
kampung. Syukurlah hal itu tidak sampai terjadi karena Amak mewanti-wanti Alif agar pulang setelah
mendapatkan gelar sarjana. Sial, persahabatannya dengan Randai sempat retak, dan Alif harus berjuang
menopang kehidupan ekonominya di kota padat itu.

”iza shadaqal azmu wahada sabil- kalau benar ada kemauan, akan terbuka jalan,” Alhamdulillah minat Alif di
bidang jurnalistik bisa membantu ia menopangi kehidupannya. Bahkan ia sudah bisa membantu Amak walaupun
hanya sedikit. Alif kini mempunyai mimpi baru. Menjejakkan kaki di Amerika. Mungkin, kah?

Akhirnya sebuah cahaya mampu menuntun Alif untuk menggapaikan cita-citanya. Alif berjuang mengikuti seleksi
pertukaran pelajar ke negara asing. Sampai titik ini, Alif bahkan harus bersaing dengan sahabatnya sendiri
–Randai. Rasa pesimis kerap saja muncul walaupun tidak diinginkan, namun sekali lagi, dengan keyakinannya
melebihkan usaha dan terus berdoa, akhirnya Alif mampu menjejakkan langkahnya di benua Amerika. Hola... anak
kampung Maninjau kini berada di Kanada untuk memperkenalkan kebudayaan Indonesia di sana.

Berbagai pengalaman Alif tuai di kota Saint-Raymond. Bahkan Alif juga menemukan rasa cinta di kota kecil itu.
Walaupun tetap akan ada perjuangan-perjuangan yang harus ia hadapi. Mampukah Alif bertahan? Sebuah
mantera baru... ”Man Shabara Zhafira – Siapa yang bersabar akan beruntung, berhasil meyakinkan Alif bahwa,
”segala sesuatu ada waktunya, aku ikhlaskan tangan Tuhan menuntunku meraih segala impian ini.” Hal.461. Juga
bahwa ”Man Yazr’a Yahsud – Siapa yang menanam ia akan menuai.” Alif yakin sekali akan hal itu.
”segala sesuatu ada waktunya, aku ikhlaskan tangan Tuhan menuntunku meraih segala impian ini.” Hal.461. Juga
bahwa ”Man Yazr’a Yahsud – Siapa yang menanam ia akan menuai.” Alif yakin sekali akan hal itu.

Sungguh, ini ulasan yang buruk untuk menggambarkan betapa eloknya buku ini. Berulang kali, ketika menulis
ulasan ini, jemariku terhenti, dan berkali-kali pula menekan tombol ”delete” karena merasa apa yang aku tulis
tidak mampu mewakili semua hal yang aku dapatkan dari buku ini. Ranah 3 Warna buku yang lengkap.
Perjuangan, semangat, kepercayaan... kehidupan akan cinta dan keluarga komplet dihadirkan.

Di beberapa hal memang aku sempat sebal dengan tokoh Alif, misalnya saja ketika dia mendapatkan kesempatan
pertukaran pelajar, ia ngotot ingin ditempatkan di negara tertentu. Setelah dapat, iapun masih ngotot ingin
mendapatkan kesempatan kerja di bidang yang ia sukai. Di suatu sisi aku merutuki tingkah Alif dengan gumaman,
”Oh Tuhan, sadarkah Alif bahwa banyak orang yang ingin mendapatkan kesempatan yang sama seperti yang ia
dapatkan tanpa banyak keinginan-keinginan yang lain?” namun... di sisi lain aku merasa, Ahmad Fuadi berhasil
mengambarkan sosok Alif sebagai orang dengan penuh rasa harap tinggi dan... itu membuat tokoh Alif
digambarkan lebih manusiawi. Sungguh, aku cinta Ranah 3 Warna ini.

I hope :

Aku menunggu ” Gema 1 Dunia” atau ” Jejak 1 Langkah” atau apapun nanti judul seri ketiga buku ini.

Isi : * * * * 3/4
Diksi : * * * * *
Kaver : * * * * *
Fisik buku : * * * * *
Keseluruhan : * * * * 3/4
Skor ala Yayan : A+
|Ranah 3 Warna merupakan kelanjutan dari buku Negeri 5 Menara. Kisah Alif setelah menyelesaikan
pendidikannya dari Pondok Madani.
Dimulai dengan kecemasan dan kegelisahan Alif yang ingin meraih impiannya dengan mengikuti test Sipenmaru
untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang perguruan tinggi sesuai dengan cita-cita dari dulu, ia ingin seperti
Habibie dan kuliah di ITB. Ternyata Ijazah PM tidak sama dengan ijazah SMA berarti dia tidak bisa mengikuti test
Sipenmaru kecuali dia ikut ujian persamaan.
Keinginan Alif untuk menjadi mahasiswa harus diupayakan dengan segala daya , walaupun banyak rintangan tapi
upaya yang sungguh-sungguh didukung oleh ayah dan amaknya membuahkan hasil walaupun akhirnya tidak bisa
persis dengan yang ia cita-citakan karena dia harus merubah tempat kuliah dan jurusan yang dipilih. Saat
perjuangan dari mulai persiapan ikut ujian persamaan dan tes sipenmaru disertai dukungan dan kedekatan
dengan ayahnya kadang lucu tapi sangat mengharukan, bahkan mungkin bisa membuat pembaca teringat sama
ayah masing-masing .

Dilanjutkan dengan perjuangan Alif ketika hidup dan kuliah di Bandung, bertemu dengan teman baru Agam, Wira
, Memet, juga Raisa perempuan yang sangat menarik hatinya, dan bagaimana pasang surut hubungan dengan
teman sekampungnya Randai, teman sejak kecil yang kadang suka meremehkan Alif tapi membantu nya ketika
membutuhkan tempat kost, dikala sakit atau ketika membutuhkan biaya hidup setelah ayahnya meninggal.
Hubungan mereka memburuk ketika terjadi insiden computer Randai rusak, Randai yang sedang emosi
mengeluarkan kata yang kurang enak ( bisa dimengerti sebagai ‘anak muda’ mahasiswa ketika tersentak dari tidur
mengetahui tugas yang dikerjakan susah payah sampai dia tidak tidur dan dikejar deadline -lenyap seketika
sehingga terancam tidak lulus mata kuliah itu ). - Mengingatkan kita unutk barhati-hati dalam soal pinjam
meminjam -.
Kisah Alif berlanjut dengan segala usaha dan doa untuk melanjutkan kuliah sampai dia mendapat kesempatan
untuk ikut program pertukaran pemuda ke Canada.
Ada bagian-bagian yang agak membosankan ketika membaca bagian selanjutnya ( tapi yang membosankan lebih
sedikit dari buku pertama N5M), untung masih ada cerita yang mebuat tertawa misalnya ketika membayangkan
Franc dengan logat Quebec nyanyi lagu Sunda “Euis’, juga ketika Alif & Rusdi harus lipsync agar tidak merusak
nada lagu yang dinyanyikan bersama.
Franc dengan logat Quebec nyanyi lagu Sunda “Euis’, juga ketika Alif & Rusdi harus lipsync agar tidak merusak
nada lagu yang dinyanyikan bersama.
Untunglah kelanjutan hubungan Alif dan Raisa seperti itu (baca sendiri) kalau tidak hanya seperti akhir kisah yang
lain.

Ada hal-hal yang bisa diambil sebagai hikmah dari R3W ini tapi mudah-mudahan saja cerita selanjutnya bisa
dipertahankan tidak terjebak menjadi novel dakwah yang berlebihan.

Man Shabara zhafira- siapa yang bersabar akan beruntung


Jarak antara sungguh-sungguh dan sukses hanya bisa diisi dengan sabar.

*Bintangnya dibulatkan jadi 4 karena gambar cover buku dan pembatas bukunya baguuss

Anda mungkin juga menyukai