Anda di halaman 1dari 12

WAYANG KRUCIL BLORA

Kajian Dramaturgi dan Nilai-nilai Pendidikan Pertunjukan


Kesenian Tradisonal

1. Dian Uswatun Hasanah, S.Pd., M.Pd.


Dosen Tadris Bahasa Indonesia FITK IAIN Surakarta
E-mail: dianuswatunhasanah@yahoo.co.id
2. Arif Setyawan, M.Pd.
Dosen PBSI STKIP PGRI Pacitan
Email: putra_samin@yahoo.co.id

Abstract :
The purpose of this study is there to describe (1) "the universe appears" contained
in the construct of the show krucil puppet’s Blora, (2) the "invisible universe" in
the show krucil puppet’s construct, (3) describe the educational values contained
in the puppet show krucil Blora. This research is a qualitative descriptive. The
object of the research is Krucil puppet show. Data collection techniques used
include participant observation, in-depth interviews (In-depth Interviewing), and
document analysis. Based on these results it can be concluded there aspect: (1)
'The universe seems' contained in the construct of the show krucil puppet’s Blora
include a) the place of performance, b) setting performances; c) sound grammar
d) the procedures rays e) cosmetology f) audience, and g) the play. (2) "The
universe does not seem 'contained in the construct of the show krucil puppet’s
Blora include a) the story of the puppet said krucil puppet’s b) ambeng c)
mastermind d) puppet’s krucil e) gamelan f) coconut oil; g) krucil puppet’s
storage, and h) brokohan. (3) educational values contained in the puppet’s show
krucil Blora include a) the value of moral education, b) the value of education
custom / tradition, and c) the value of education heroism.

Keywords :
krucil puppet’s Blora, dramaturgy, the educational value.

Abstrak :

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan (1) “jagad tampak” yang
terdapat dalam konstruk pertunjukan wayang krucil Blora; (2) “jagad tak nampak”
dalam konstruk pertunjukan wayang krucil Blora; (3) nilai-nilai pendidikan yang
terdapat dalam pertunjukan wayang krucil Blora. Jenis penelitian ini adalah
deskriptif kualitatif. Objek dalam penelitian adalah pertunjukan wayang krucil
Blora. Teknik pengumpulan data menggunakan observasi partisipasi, wawancara
mendalam, dan analisis dokumen. Berdasarkan hasil penelitian dapat

1
disimpulkan : (1) Unsur-unsur “jagad tampak” yang terdapat dalam konstruk
pertunjukan wayang krucil Blora antara lain a) tempat pertunjukan; b) setting
pementasan; c) tata bunyi; d) tata sinar; e) tata rias; f) penonton; dan g) lakon. (2)
Unsur-unsur ‘jagad tak tampak’ yang terdapat dalam konstruk pertunjukan
wayang krucil Blora antara lain a) cerita tutur pengkonstruk wayang krucil; b)
ambeng; c) dalang; d) wayang krucil; e) gamelan; f) minyak kelapa; g) tempat
penyimpanan wayang krucil; dan h) brokohan. (3) Nilai-nilai pendidikan yang
terdapat dalam pertunjukan wayang krucil Blora antara lain a) nilai pendidikan
moral; b) nilai pendidikan adat/ tradisi; dan c) nilai pendidikan kepahlawanan.

Kata kunci :
Wayang krucil Blora, dramaturgi, nilai-nilai pendidikan.

PENDAHULUAN
Konsep “keseimbangan” begitu lekat dengan masyarakat Jawa. Jagad
gede dan jagad cilik, sebuah konsep “keseimbangan” yang memondasi sikap
hidup keseharian masyarakat Jawa. Hal ini berjalin khidmat, ketika manusia Jawa
selalu menjaga intensitas penghambaan kepada Tuhan, solidaritas pada manusia,
dan penghormatan pada alam. Manusia Jawa akan memeroleh ketentraman
apabila mampu menganyam ketiga jalinan kehidupan itu. Suguhan keterjalinan
tersebut dapat kita nalar dari berbagai wujud kebudayaan.
Dengan gamblang Koentjaraningrat yang sependapat dengan J.J.
Honigmann, mengurai tiga perwujudan kebudayaan. Pertama, wujud kebudayaan
sebagai suatu kompleks dari ide-ide gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan.
Kedua, wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas serta tindakan
berpola dari manusia dalam masyarakat. Ketiga, wujud kebudayaan sebagai
benda-benda hasil karya manusia (1990:186-187). Ketiga ihwal tersebut saling
terkait, tidak terpisahkan antara satu dengan lainnya.
Letupan fragmen ide-ide dalam konstruk kebudayaan kerap kali
divisualkan dalam sebuah pertunjukan. Masyarakat Jawa tradisional mengakrabi
pertunjukan sebagai sebuah ornamen spiritualitas dan hiburan. Kedua ornamen itu
seakan mengisi ruang-ruang kosong dalam sebuah visual pertunjukan. Sebuah
pertunjukan pun syarat akan world view (pandangan dunia) masyarakatnya, tidak
terkecuali masyarakat Jawa.
Terdapat dua hal yang saling berkonfrontasi, namun bertaut dalam
pertunjukan. Dua hal tersebut membaur dalam satu ke satuan holistik dalam
sebuah pertunjukan. Pertama adalah “jagad tampak”, merupakan hal-hal yang
tervisualkan oleh penikmat ketika pertunjukan sedang berlangsung. Sering disebut
sebagai unsur-unsur “panggung depan”. Kedua yaitu “jagad tak tampak”, istilah
ini mengacu pada hal-hal yang tidak tervisualkan oleh penikmat, baik ketika
pertunjukan sedang berlangsung maupun di luar pertunjukan itu sendiri. Kerap
disebut dengan unsur-unsur “panggung belakang”.

2
Selain kedua fragmen tersebut, dalam suatu pertunjukan kerap
tersematkan berbagai macam nilai. Salah satu nilai yang intens muncul dalam
suatu pertunjukan yaitu nilai-nilai pendidikan. Nilai-nilai tersebut secara apik
berbaur dengan pertunjukan sehingga secara tidak sadar masyarakat (penonton)
memeroleh hiburan serta manfaat ketika menyaksikan kesenian tradisional.
Ragam pertunjukan yang kerap menyapa masyarakat Jawa adalah
wayang. Narasi penjatidirian wayang begitu estetis dinamis. Keestetisan tersebut
mencuatkan wayang dengan berbagai ragam variasi sehingga tiap-tiap daerah di
Nusantara memiliki ragam konstruk pewayangan. Wayang krucil, sekian dari
ragam variasi wayang, tidak boleh kita pandang sebelah mata keberadaan dan
kelestariaannya. Tiap-tiap daerah di Nusantara memiliki konstruk pewayangan
wayang krucil yang berlainan, baik dari segi cerita, bentuk, dan sebagainya.
Blora, daerah yang termasuk dalam lingkup pesisir utara Jawa ini, tidak
terlepas dari hal tersebut. Wayang krucil Blora memiliki konstruk pewayangan
yang cukup unik. Hal ini tidak terlepas dari dua pengkategorian wayang krucil
Blora, yakni wayang krucil hiburan (tidak disakralkan) dan wayang krucil ritus
(disakralkan), dipentaskan saat tertentu saja atau dikenal dengan wayang krucil
Janjang. Keduanya sama tetapi berbeda dan keduanya berbeda namun saling
mengisi. Selain itu, wayang krucil Blora juga memiliki nilai-nilai pendidikan yang
layak untuk dikaji.
Fokus kajian dalam penelitian ini adalah (1) apa sajakah unsur-unsur
“jagad tampak” yang terdapat dalam konstruk pertunjukan wayang krucil Blora,
(2) apa sajakah unsur-unsur “jagad tak nampak” dalam konstruk pertunjukan
wayang krucil Blora, dan (3) apa sajakah nilai-nilai pendidikan yang terdapat
dalam pertunjukan wayang krucil Blora.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan (1) unsur-unsur
“jagad tampak” yang terdapat dalam konstruk pertunjukan wayang krucil Blora,
(2) unsur-unsur “jagad tak nampak” dalam konstruk pertunjukan wayang krucil
Blora, (3) nilai-nilai pendidikan yang terdapat dalam pertunjukan wayang krucil
Blora.
Manfaat secara teoretis penelitian ini diharapkan dapat menambah
khasanah keilmuan pembaca terutama dalam bidang seni pertunjukan, humaniora,
dan pendidikan. Adapun secara praktis, diharapkan bermanfaat bagi masyarakat,
Pemerintah Daerah Blora, dan peneliti lain. Bagi masyarakat, diharapkan (1)
mampu membuka wawasan masyarakat tentang kearifan budaya lokal pada
umumnya dan wayang krucil Blora pada khususnya yang semakin tergerus
gelombang modernisasi dan globalisasi, dan (2) mengenalkan kepada masyarakat
mengenai nilai-nilai pendidikan yang terdapat dalam seni pertunjukan pada
umumnya dan wayang krucil Blora pada khususnya. Bagi Pemerintah Daerah
Blora, diharapkan bermanfaat (1) sebagai salah satu langkah untuk membantu
Pemerintah Daerah Blora dalam mendokumentasikan kesenian lokal yang ada di
Kabupaten Blora, dan (2) keikutsertaan dalam membantu Pemerintah Daerah
Blora untuk melestarikan kesenian lokal. Bagi Peneliti lain, hasil penelitian ini
dapat digunakan sebagai referensi, di samping itu juga sebagai panduan maupun
pembuka penelitian lainnya, khususnya penelitian dalam bidang pertunjukan seni,
humaniora, dan pendidikan.

3
Penelitian mengenai pertunjukan wayang kulit pernah dilakukan oleh
Soetarno dengan mengangkat judul “Struktur Estetik Lakon Catur dan Lahire
Harjuna Sasra.” Dalam tulisan ini diungkap bahwa lakon “Janaka Catur” dan
“Harjuna Lahir” mengejawantahkan sosok manusia ideal bagi masyarakat Jawa.
Manusia ideal Jawa yang mewujud dalam fragmen hanggayuh ngaurip, berbudi
bawa laksana, ngudi sejatining becik (mencapai kesempurnaan hidup, berjiwa
besar, mengusahakan kebaikan sejati). Sosok ideal ini tersaji apik melalui tokoh
Arjuna dan Partawirya maupun Swandagni. Persamaan penelitian ini dengan
penelitian yang dilakukan sekarang ini ialah keduanya sama-sama melakukan
kajian terhadap pertunjukan seni tradisional, sedangkan perbedaannya terletak
pada fokus objek kajian dan aspek yang dikaji. Dalam penelitian ini fokus objek
kajiannya ialahpertunjukan wayang kulit dan aspek kajiannya fokus pada struktur
estetiknya. Supriyadi dalam tulisannya “Seni Tari Rakyat Lengger: Kajian
Sosiologi” mengangkat renik tentang pertunjukan tari rakyat. Tari lengger
merupakan sebuah proyeksi simbolisme kegotongroyongan masyarakat
Banyumas. Sehingga pemaknaan lengger tidak sebatas gerak ritmis organis
semata, namun di dalamnya syarat akan makna filosofis masyarakat Banyumas,
simpul Supriyadi dalam serpih tulisannya. Persamaan penelitian ini dengan
penelitian yang dilakukan sekarang ini ialah keduanya sama-sama melakukan
kajian terhadap pertunjukan seni tradisional, sedangkan perbedaannya terletak
pada fokus objek kajian dan aspek yang dikaji. Dalam penelitian ini fokus objek
kajiannya ialah pertunjukan tari lengger dan aspek kajiannya fokus pada aspek
sosiologi. Suparno melalui tulisannya yang berjudul “Respon Dalam Wayang
Kulit Terhadap Hegemoni dalam Kasus lakon Semar Mbabar Jatidiri” mencoba
mengungkap bentuk hegemoni negara terhadap pertunjukan wayang kulit.
Disimpulkan bahwa pertunjukan lakon Semar Mbabar Jatidiri dilatarbelakangi
oleh kegagalan pelaksanaan program P-4 pemerintahan Soeharto. Pemilihan
lakon ini pun sebagai bentuk pencitraan Soeharto sebagai sosok Semar nan bijak
dan arif, yang dapat menyelesaikan segala permasalahan. Persamaan penelitian ini
dengan penelitian yang dilakukan sekarang ialah keduanya sama-sama melakukan
kajian terhadap pertunjukan seni tradisional, sedangkan perbedaannya terletak
pada fokus objek kajian dan aspek yang dikaji. Dalam penelitian ini fokus objek
kajiannya ialah pertunjukan wayang kulit dan aspek kajiannya fokus pada ihwal
hegemoni.
Seni pertunjukan yang ada di Nusantara merupakan seni pertunjukan
yang identik dengan sifat kedaerahan. Sifat kedaerah di sini mengandung
pengertian terbatas pada seni pertunjukan yang memiliki ciri khas daerah tertentu.
Seni pertunjukan daerah mempunyai ciri khasnya sendiri, antara lain (1) suasana
santai dan untuk bersama --Tidak terdapat tuntutan kepada penonton untuk
memusatkan perhatiannya pada pertunjukan semata. Penonton boleh datang
terlambat dan mondar-mandir meninggalkan tempat duduk tanpa membuat
penonton lain menggerutu--; (2) terlibatnya berbagai aspek dan untuk semua
(total) --terbentuk dari paduan berbagai aspek pendukung dan dapat dinikmati
segala lapisan masyarakat serta pribadi--; dan (3) pengindahan atau stilistika
(Bandem dan Sal Murgiyanto, 1996:14-16). Kajian pertunjukan atau yang dikenal
dengan performance studies merupakan pendekatan interdisipliner yang

4
mempertemukan berbagai ranah disiplin keilmuan. Ranah disiplin keilmuan
tersebut antara lain kajian teater, antropologi, antropologi tari, etnomusikologi,
folklor, semiotika, sejarah, linguistik, koreografi, dan kritik sastra.
Erving Goffman, seorang sosiolog interaksionis simbolis
memperkenalkan konsep dramaturgi. Dalam narasi bukunya Presentation of Self
in Everyday Life, ia memaparkan mengenai ketegangan yang terjadi antara I, diri
yang sepontan dengan me, hambatan sosial di dalam diri (Ritzer dan Douglas J.
Goodman, 2009:399). Lebih lanjut Goffman menyinggung mengenai panggung
depan dan panggung belakang terhadap peran diri individu manusia. Panggung
depan merupakan bagian dari pertunjukan yang secara umum berfungsi secara
agak tetap dan umum untuk mendefinisikan situasi bagi mereka yang
memerhatikan pertunjukan tersebut, sedangkan panggung belakang adalah tempat
fakta yang tertekan, biasanya berdekatan dengan panggung depan, namun ia juga
terpisah darinya. Dari fragmen konsep sosiologi murni tersebut akan diterapkan
dalam kajian pertunjukan wayang krucil Blora. Uraian dramaturgi dalam
penelitian ini akan dimulai dengan kajian jagad tampak atau panggung depan,
yakni berbagai aspek yang ada ketika pertunjukan wayang krucil. Aspek-aspek
jagad tampak meliputi berbagai hal, mulai dari tata letak ketika pementasan,
pencahayaan, berbagai alat musik, dan lain sebagainya. Uraian dilanjutkan dengan
kajian jagad tak tampak atau panggung belakang. Jagad tak tampak dibagi
menjadi dua fragmen, yakni jagad tak tampak ketika pertunjukan dan jagad tak
tampak di luar pertunjukan. Aspek-aspek jagad tak tampak ketika pertunjukan
mencakup berbagai hal, antara lain simbol-simbol di balik pementasan, ritus
sebelum pertunjukan, dan sebagainya. Jagad tak tampak di luar pertujukan, di
antaranya cerita tutur mengenai wayang krucil, pembuatan wayang krucil, dan
lain-lain.
Seni pertunjukan tradisional syarat akan nilai-nilai pendidikan yang
layak dijadikan teladan bagi generasi muda. Nilai-nilai pendidikan tersebut
dikemas dalam bentuk sederhana, selaras dengan kehidupan masyarakat
tradisional yang bersahaja. Kesederhanaan tersebut tidak serta merta mengurangi
esensi dari nilai-nilai pendidikan yang ingin disampaikan. Dengan nilai-nilai itu,
masyarakat (penonton) tidak akan merasa digurui. Nilai-nilai pendidikan yang
akan diungkap dalam penelitian ini antara lain, (1) nilai pendidikan moral; (2)
nilai pendidikan adat/tradisi; (3) nilai pendidikan agama/ religi; dan (4) nilai
pendidikan kepahlawanan.
Raffles dalam buku The History of Java mengungkapkan bahwa cerita
yang dimainkan dalam wayang krucil dimulai dengan berdirinya kerajaan wilayah
barat, yakni kerajaan Pajajaran dan diakhiri dengan runtuhnya kerajaan di daerah
timur, yang tidak lain adalah kerajaan Majapahit (2008:234). Dari guritan cerita
tersebut, yang menjadi cerita paling paling favorit adalah cerita petualangan
Menakjingga, raja Blambangan, dan Damarwulan, bakal raja Majapahit. Akan
tetapi setiap daerah di Jawa memilki wayang krucil dengan karakteristik yang
berbeda-beda. Perbedaan karakteristik tersebut meliputi berbagai hal, antara lain
bentuk wayang, isi cerita yang disampaikan, konsep ketika pertunjukan, dan
sebagainya. Begitu pula dengan wayang krucil Blora, memiliki karakteristik
tersendiri dibandingkan daerah-daerah lain yang ada di Jawa.

5
METODE PENELITIAN
Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif yang menggunakan metode
deskriptif. Adapun fakta-fakta yang akan dideskripsikan adalah kajian dramaturgi
dan nilai-nilai pendidikan yang terdapat dalam pertunjukan wayang krucil Blora
sebagai sebuah pertunjukan kesenian tradisional. Teknik pengumpulan data dalam
penelitian ini antara lain, (1) Observasi partisipasi; (2) Wawancara mendalam (In-depth
interviewing); dan (3) Analisis Dokumen. Teknik analisis data dalam penelitian ini
menggunakan interactive model of analysis atau model analisi interaktif yang
dikemukakan oleh Miles dan Huberman (1992:15-21). Analisis dalam penelitian
ini melibatkan hal-hal berikut, (1) pengumpulan data; (2) reduksi data; (3)
penyajian data; (4) penarikan simpulan.
Sumber data dalam penelitian ini meliputi tiga macam, yaitu tempat dan
peristiwa, informan, dan dokumen.
Tempat yang menjadi sumber data dari penelitian ini adalah Desa
Janjang, masuk dalam wilayah Kecamatan Jiken. Peristiwa yang menjadi sumber
data adalah peristiwa yang tampak dalam pertunjukan wayang krucil maupun
peristiwa di luar pertunjukan. Peristiwa yang tampak misalnya proses jalannya
pertunjukan, teknik pencahayaan, pencahayaan, alat musik yang digunakan, dan
lain sebagainya. Peristiwa di luar pertunjukan misalnya ritual sebelum
pertunjukan, proses pembuatan wayang, dan lain-lain. Informan yang dipilih
dalam penelitian ini adalah pihak-pihak yang mengetahui informasi dan
permasalahan yang mendalam tentang wayang krucil Blora, baik secara personal
maupun instansi. Sumber data dokumen atau arsip yang digunakan adalah
dokumen-dokumen yang berkaitan dengan wayang krucil, baik dokumen resmi
maupun tidak resmi.
Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan observasi
partisipasi, wawancara mendalam, dan analisis dokumen. Dalam observasi
partisipasi, peneliti melakukan pengamatan kritis terhadap data yang relevan
dengan penelitian. Pengamatan dilakukan dengan mengunjungi lokasi penelitian
yang dipilih. Wawancara mendalam dilakukan untuk menggali informasi
mengenai data penelitian pada informan, baik individu maupun instansi, yang
dianggap mengetahui seluk-beluk tentang wayang krucil Blora, baik ketika
pertunjukan maupun di luar pertunjukan. Analisis dokumen digunakan untuk
mengumpulkan dan mempelajari data-data wayang krucil Blora yang telah
tersimpan, baik berupa data tulis maupun dalam bentuk data digital (rekaman
video).
Teknik validitas data dalam penelitian ini memanfaatkan triangulasi.
Dalam penelitian ini memanfaatkan triangulasi sumber dan triangulasi penyidik.
Teknik analisis data dalam penelitian ini menggunakan interactive model
of analysis atau model analisi interaktif yang melibatkan pengumpulan data,
reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan.

6
HASIL DAN PEMBAHASAN
1. Jagad Tampak Pertunjukan Wayang Krucil Blora
a. Tempat pertunjukan
1) Manganan
Terdapat dua tempat pertunjukan wayang krucil ritus ketika acara
manganan, yakni di rumah kepala desa dan petilasan Eyang Jatikusuma dan
Jatisuwara. Ketika malam hari pertunjukan wayang krucil ritus diadakan di rumah
kepala desa, sedangkan siangnya dipentaskan di petilasan.
2) Uni
Penentuan tempat pertunjukan ketika ritus uni sepenuhnya diserahkan
kepada si empunya uni. Apabila dikategorikan, terdapat dua tempat pertunjukan
wayang krucil ketika ritus uni, yakni di petilasan Eyang Jatikusuma dan
Jatisuwara dan rumah si empunya uni.
b. Setting pementasan
Wayang krucil ritus memiliki setting pementasan yang sangat sederhana.
Area dalang dan penabuh gamelan menempati titik sentral ketika pertunjukan.
Posisi ini akan memudahkan jangkaun pandang penonton, sebab penonton
memiliki jangkauan pandang yang luas. Wayang krucil memiliki kelir yang
berlubang, penonton dapat menonton di depan dalang. Apabila dihitung secara
matematis maka luas sudut pandang penonton wayang krucil hampir 360o.
c. Tata bunyi
Tata bunyi pertunjukan wayang krucil ritus tentu saja mengandalkan
instrument gamelan, akan tetapi gamelan yang dipakai tidak sebanyak dan
selengkap wayang kulit. Instrumen gamelan dalam wayang krucil ritus antara lain
kendhang, dua buah saron, kempul laras enem, kethuk, dan kenong. Berbeda
dengan instrumen musik gamelan wayang kulit yang ekspresif, instrumen musik
gamelan pada wayang krucil cenderung monoton, karena hanya mengulang-ulang
nada yang sama.
d. Tata sinar
Tata sinar pada pertunjukan wayang krucil tidak diciptakan untuk
memunculkan efek-efek dramatis. Cahaya dari blencong, semata-mata digunakan
sebagai penerang selama pertunjukan berlangsung. Blencong berukuran sebesar
kendi sedang itu memanfaatkan minyak kelapa yang dibuat secara mandiri oleh
masyarakat Desa Janjang. Tata sinar pertunjukan wayang krucil sama sekali tidak
memanfaatkan tenaga listrik, sumber cahaya hanya dari blencong.
e. Tata rias
Tata rias yang akan diuraiakan dalam subbab ini bukanlah tata rias
dalang dan penabuh gamelan, melainkan tata rias wayang krucil ritus itu sendiri.
Warna hitam pada wayang krucil, diidentikkan dengan punakawan. Warna putih
pada wayang krucil mengidentifikasikan bahwa tokoh yang bersangkutan adalah
tokoh baik. Warna biru menandakan tokoh yang dimaksud merupakan tokoh
bergaris keturunan bangsawan. Tokoh wayang krucil yang memiliki warna merah
diidentikkan dengan tokoh berwatak keras. Warna kuning menyimbolkan sifat
sederhana pada tokoh wayang krucil.

7
Tidak sebatas dari segi warna, posisi wajah juga menentukan sifat tokoh
dalam wayang krucil. Tokoh wayang krucil berwajah menunduk memiliki
karakter cenderung pendiam. Wajah datar lurus ke depan menandakan tokoh
wayang krucil berkarakter sedang atau biasa-biasa saja. Tokoh dengan wajah
mendongak ke atas menandakan memilki karakter kasar.
f. Penonton
Jarak menonton penonton wayang krucil lebih dekat dari pada jarak
menonton penonton wayang kulit. Hal ini tidak lepas dari area pertunjukan
wayang krucil yang tidak begitu luas, berbeda dengan wayang kulit yang memiliki
area pertunjukan yang luas. Keunikan lain yang membedakan wayang krucil
dengan wayang kulit ialah penonton wayang krucil dapat berkomunikasi dengan
sang dalang, misalkan saja penonton mengejek tokoh yang dimainkan sang
dalang.
g. Lakon
Terdapat dua lakon yang dipentaskan dalam wayang krucil ritus, yakni
lakon babad dan lakon menak. Lakon babad membawakan cerita mengenai
kerajaan-kerajaan di Jawa pada masa Hindu-Budha, misalnya cerita Kerajaan
Majapahit. Lakon menak menceritakan cerita tentang kerajaan-kerajaan di tanah
arab, salah satu cerita yang sangat familiar di masyarakat ialah cerita tentang Amir
Hamzah (masyarakat di sana menyebutnya Amir Ambyah).
2. Jagad Tak Tampak Pertunjukan Wayang Krucil Blora
a. Cerita tutur pengkonstruk wayang krucil
Wayang krucil ritus tak dapat lepas dari cerita tutur tentang Eyang
Jatikusuma dan Jatisuwara dalam masyarakat Blora. Terdapat keterikatan yang
begitu lekat antara wayang krucil Blora dengan cerita tutur tersebut. Masyarakat
percaya bahwa cikal bakal wayang krucil Blora ialah kedua tokoh tersebut.
Fragmen ini tidak lepas dari lima wayang krucil keramat yang diyakini
peninggalan keduanya. Sampai saat ini kelima wayang krucil keramat tersebut
masih terjaga dan tersimpan dengan baik.
b. Ambeng
1) Ritus manganan
Terdapat tiga ragam ambeng dalam ritus ini, antara lain (1) sego golong;
(2) sego campurbawur; (3) dan sego mong. (1) Sego golong berupa nasi putih.
Sesuai dengan namanya, sego golong, nasi putih tersebut dibentuk setengah bulat.
Jumlah bulatan itu kurang lebih ada delapan bulatan, ditata berjajar --digolong-
golongkan--. Ambeng ini memiliki makna bahwa di dalam suatu masyarakat pasti
terdapat berbagai ragam individu (golongan). (2) Sego campur bawur terdiri dari
nasi putih dan kue tradisional yang bernama apem. Nasi putih pada ambeng ini
bukan nasi putih biasa, akan tetapi berupa nasi uduk. Ambeng ini memiliki makna
sekalgus harapan bahwa masyarakat yang terdiri dari individu-indiviu (golongan)
harus mau bergaul antara satu dangan lainnya --ber-campur bawur--. (3) Sego
mong merupakan ambeng paling komplit isinya, sebab di dalamnya terdapat nasi
beserta lauk pauknya. Sego mong mengandung makna harapan kepada Tuhan agar
selalu membimbing manusia --bahasa Jawanya ngemong-- menuju kebaikan.
2) Ritus Uni

8
Apabila dalam ritus manganan terdapat tiga jenis ambeng, maka dalam
ritus uni hanya terdapat dua jenis ambeng, yaitu sego campur bawur dan sego
golong panggang. Selain kedua jenis ambeng tersebut dalam ritus uni juga
terdapat sajen. Sego campur bawur dalam ritus uni dapat dimaknai sebagai
ungkapan syukur seseorang atas segala kemudahan yang diberikan Tuhan
sehingga cita-cita yang telah lama diidam-idamkan berhasil diwujudkan. Sego
golong panggang dalam ritus uni dapat dimaknai sebagai doa atau harapan
seseorang kepada Tuhan agar kehidupan ke depannya mudah untuk dilalui, sebab
cita-citanya telah terwujud.
Sajen dalam konteks ini memiliki makna pelengkap. Fungsi dari sajen
ialah untuk melengkapi ambeng yang telah ada. Terdapat beberapa renik dalam
sajen, antara lain kelapa kering dua buah, tape dua gombyok, pisang raja dua sisir,
gemblong merah dan putih, bubur abang dua piring, kupat luar dua buah, dan
kendi kecil berisis air yang lubang-lubangnya ditutup daun pisang. Pemilihan
bilangan dua-dua pada sajen menyimbolkan bahwa apa-apa yang ada di dunia ini
berpasang-pasangan. Hal itu merupakan suratan takdir dari Tuhan sehingga
manusia tidak dapat mengingkarinya.
c. Dalang
Pemaknaan dalang di sini bukanlah pengertian dalang ketika
pertunjukan. Akan tetapi penekanan ‘dalang’ di sini merupakan ihwal kaderisasi
dalang wayang krucil ritus. Untuk kaderisasi dalang wayang krucil ritus tidak
dilakukan pengkaderan secara formal. Maksud dari formal itu ialah dalang tidak
dilatih dari kecil secara intens melalui pelatihan khusus, namun kederisasi dalang
cenderung bersifat informal, artinya kaderisasi dalang melalui garis keturunan.
Apabila seseorang memilki garis keturunan dalang wayang krucil ritus, maka ia
pun suatu saat akan mewarisi bakat tersebut.
d. Wayang krucil
Wayang krucil yang dimaksudkan di sini bukanlah merujuk pada
wayang krucil ketika pentas. Akan tetapi wayang krucil di sini merujuk pada
pembuatan wayang krucil ritus. Wayang krucil ritus terdiri atas lima buah wayang
yang disakralkan dan seperangkat wayang yang tidak disakralkan. Wayang krucil
yang disakralkan dibungkus dengan kain kafan dan tidak boleh dibuka oleh siapa
pun, termasuk sang dalang. Penggantian kain kafan yang rusak dilakukan dengan
merangkap kain kafan lama dengan yang baru tanpa memperlihatkan bentuk dari
wayang krucil tersebut.
e. Gamelan
Seperti uraian wayang krucil yang dibicarakan sebelumnya, gamelan di
sini tidak mengacu pada pertunjukan, melainkan mengacu pada konteks di luar
pertunjukan, yaitu proses pembuatannya. Cerita tutur yang beredar di masyarakat,
gamelan wayang krucil ritus tersebut termasuk peninggalan dari Eyang
Jatikusama dan Jatisuwara. Walaupun hal itu masih menjadi pro dan kontra.
Golongan kontra berargumen bahwa seperangkat gamelan tersebut peninggalan
generasi setelah Eyang Jati Kususma dan Jatisuara, tanpa menyebutkan tahun
yang pasti.

9
f. Minyak kelapa
Bahan dasar dari minyak kelapa tak lain ialah kelapa. Kelapa yang
diproses untuk pembuatan minyak kelapa adalah kelapa yang telah tua. Hal yang
menarik dari pembuatan minyak kelapa dalam wayang krucil ritus ialah
pembuatannya. Ternyata tidak semua orang boleh membuat minyak kelapa untuk
wayang krucil ritus. Adapun orang yang diperbolehkan membuat minyak kelapa
ialah wanita yang telah mencapai masa manopouse. Hal ini dilakukan guna
meminimalisasi ‘hal-hal’ yang tidak diinginkan, maksudnya semisal wanita (yang
belum manopouse) membuat minyak kelapa tersebut, tiba-tiba wanita yang
bersangkutan datang bulan (dalam keadaan tidak suci). Ihwal tersebut tidak lepas
dari pertunjukan wayang krucil yang tidak sekedar menyangkut hubungan
horisontal, akan tetapi bertaut pula dengan hubungan vertikal, berupa doa-doa dan
ragam harapan kepada pada Tuhan.
g. Tempat penyimpanan wayang krucil
Terdapat hal yang menarik pada tempat penyimpanan wayang krucil
ritus. Bukan karena disimpan di tempat kepala desa, namun karena penataannya
(penempatannya) yang tidak boleh asal-asalan. Terdapat aturan tertentu yang
wajib dipatuhi dalam menyimpan wayang krucil ritus, khususnya wayang ritus
yang disakralkan. Wayang ritus yang disakral disimpan dalam keadaan berdiri,
tidak boleh ditidurkan. Apabila ditidurkan, maka masyarakat Desa Janjang akan
mendapat musibah. Selain posisi wayang krucil ritus, hal yang harus diperhatikan
dalam penyimpanan ialah arahnya. Wayang krucil harus menghadap sesuai
dengan arah rumah, apabila rumah menghadap ke utara maka wayang krucil
disimpan menghadap ke utara, apabila rumah menghadap ke selatan maka wayang
krucil disimpan menghadap ke selatan, dan seterusnya.
h. Brokohan
Brokohan adalah ritual yang dilakukan oleh kepala desa Desa Janjang
setiap hari Jumat pon di tiap bulan (dalam hitungan Jawa pendak), dengan tujuan
memohon kepada Tuhan agar Desa Janjang selalu diberi keselamatan, bahasa
sederhanya sebagai tolak balak. Acara ini dilaksanakan di tempat penyimpanan
wayang ritus. Ambeng yang digunakan dalam acara ini ialah sego golong dan
sego campurbawur. Ritual ini sifatnya wajib bagi Kepala Desa Janjang.
3. Nilai-nilai Pendidikan
a. Nilai pendidikan moral
Keutamaan persaudaraan terlihat dari kegotongroyongan (kerjasama)
masyarakat Desa Janjang ketika akan mengadakan pertunjukan wayang krucil
sebagai bagian dari rangkaian acara manganan. Warga masyarakat saling
membaur mempersiapkan segala sesuatunya, mulai dari memasak yang dilakukan
oleh ibu-ibu, pendirian atap sederhana oleh bapak-bapak guna menonton wayang
krucil, hingga mempersiapkan alat-alat petunjukan. Semuanya dilakukan penuh
kebersamaan antara satu dengan lainnya tanpa memandang status sosial maupun
harta kekayaan yang mereka miliki.
b. Nilai pendidikan adat/ tradisi
1) Prinsip kerukunan

10
Dalam pertunjukan wayang krucil Blora, prinsip kerukunan nampak dari
partisipasi masyarakat. Masyarakat begitu antusias ketika mengadakan perhelatan
wayang krucil yang menjadi bagian dari rangkain acara manganan. Wayang
krucil merupakan bentuk media sosialisasi antarwarga masyarakat. Sosialisasi
antarwarga masyarakat ini diharapkan mampu memperkuat kerukunan yang telah
terbina dalam masyarakat.
2) Prinsip hormat
Prinsip hormat dalam pertunjukan wayang krucil tidak sebatas
penghormatan kepada anggota masyarakat. Penghormatan utama justru ditujukan
kepada Tuhan Yang Maha Esa dengan menghaturkan doa serta rasa syukur atas
segala kemurahan yang diberikan selama ini. Penghormatan juga diberikan
kepada leluhur-leluhur desa yang turut andil menyemai desa. Dengan demikian,
terdapat suatu lakon masyarakat guna menjaga hubungan vertikal dan horisontal
dengan pondasi prinsip hormat.
c. Nilai pendidikan kepahlawanan
Nilai pendidikan kepahlawanan dapat ditinjau dari cerita yang dibawakan
dalam pertunjukan wayang krucil. Cerita yang dibawakan berupa cerita epos,
membawakan cerita babad dan menak. Babad adalah cerita yang melakonkan
kisah tentang kerajaan-kerajaan di Jawa, seperti Kerajaan Majapahit. Menak
merupakan cerita yang melakonkan kisah tentang kerajaan-kerajaan di Arab,
semisal cerita Amir Hamzah. Cerita epos dibawakan dengan penokohan yang
hitam putih, pertentangan antara kebaikan dan kejahatan. Berpijak dari cerita-
cerita yang dilakonkan tersebut dapat dipetik suatu nilai-nilai kepahlawanan yang
patut menjadi sauri tauladan.

SIMPULAN
Berdasarkan hasil yang telah dipaparkan di atas, dapat ditarik simpulan
sebagai berikut.
1. Unsur-unsur ‘jagad tampak’ yang terdapat dalam konstruk pertunjukan wayang
krucil Blora antara lain (1) tempat pertunjukan; (2) setting pementasan; (3) tata
bunyi; (4) tata sinar; (5) tata rias; (6) penonton; dan (7) lakon.
2. Unsur-unsur ‘jagad tak tampak’ yang terdapat dalam konstruk pertunjukan
wayang krucil Blora antara lain (1) cerita tutur pengkonstruk wayang krucil;
(2) ambeng; (3) dalang; (4) wayang krucil; (5) gamelan; (6) minyak kelapa; (7)
tempat penyimpanan wayang krucil; dan (8) brokohan.
3. Nilai-nilai pendidikan yang terdapat dalam pertunjukan wayang krucil Blora
antara lain (1) nilai pendidikan moral; (2) nilai pendidikan adat/ tradisi; dan (3)
nilai pendidikan kepahlawanan.

11
DAFTAR RUJUKAN
Bandem, I Made dan Sal Murgiyanto. 1996. Teater Daerah Indonesia.
Yogyakarta: Kanisius.
Koentjaraningrat. 1990. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta.
Miles, dan A. Michael Huberman. 1992. Analisis Data Kualitatif: Buku Sumber
Tentang Metode-metode Baru. Jakarta: UI Press.
Moleong, Lexy J. 2000. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja
Rosdakarya.
Raffles, Thomas Stamford. 2008. The History of Java diterjemahkan oleh Eko
Prasetyaningrum, dkk. Yogyakarta: Narasi.
Ritzer, George dan Douglas J. Goodman. 2009. Teori Sosiologi: Dari Teori
Sosiologi Klasik Sampai Perkembangan Mutakhir Teori Sosial
Postmodern diterjemahkan oleh Nurhadi. Yogyakarta: Kreasi Wacana.

12

Anda mungkin juga menyukai